Npm : 13K241001
Mata Kuliah : Sejarah Ibnu Sina
A. Wahyu
Kata wahyu berasal dari bahasa arab, bukan bahasa ajam. Pengertian wahyu
menurut bahasa etimologi, mempunyai beberapa arti, seperti : kecepatan,
bisikan,isyarat,kitab. Wahyu adalah lafazhmusytarak, artinya mempunyai beberapa
makna atau arti.
Pengertian wahyu secara terminologi adalah firman (petunjuk) Allah yang
disampaikan kepada para nabi dan awliya.
B. Ilham
Kata ilham berasal dari kata yang berarti menelan. Keika berubah kewazan if’al,
yakni alhma yulhimu ilhaman, maka kata ilham bermakna menelan dalam
artimenghujamkan ke dalam jiwa, Allah berfirman;
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya.(QS. Asy-Syams : 8)
Muhammad Rasyid Ridha dalam Al-Wahyul Muhammadi memberikan pengertian,
bahwa ilham adalah suatu perasaan emosional yang diyakini oleh jiwa yang karnanya jiwa
itu terdorong untuk melakukan yang dikehendakinya oleh dorongan ilham itu, tanpa
disertai kesadaran jiwa sendiri dari mana datangnya, keadaannya hamper sama dengan
persaan lapar, dahaga, sedih, senang dan sebagainya.
Al-Quran al-Karim mengisyaratkan tentang tiga bentuk turunnya wahyu kepada manusia:
1. Tuhan berbicara secara langsung dan tanpa perantara, yaitu antara Tuhan dan Rasulullah
Saw tidak terdapat perantara dan penghalang, dan Rasul secara langsung menerima
wahyu dari sumbernya.
2. Tuhan berbicara dari balik tabir, hijab atau penghalang.
3. Tuhan berbicara dengan mengutus malaikat pembawa wahyu.
Terdapat tabir dan penghalang antara Tuhan dan Nabi Muhammad Saw, tentunya makna
hijab dan tabir di sini bukanlah bahwa penerima wahyu dihalangi dari berhubungan langsung
dengan kalam Tuhan, melainkan jelas bahwa pembicara adalah Tuhan, akan tetapi dengan
alasan hikmah-Nya, Nabi menerima wahyu dari balik tabir dan beliau akan mendengarkan
pesan dari Yang Haq dari balik tabir atau melalui lisan pembawa wahyu dan perantara-Nya.
Sangat jelaslah bahwa di sini pun rasul secara langsung menerima pesan Tuhan dan
kalam mulia-Nya, oleh karena itu jika rasul menerimanya dari balik tabir, dikatakan bahwa
wahyu dari balik tabir, dan jika menerimanya dalam bentuk cahaya, maka wahyu yang beliau
terima adalah langsung dan tanpa perantara.
Demikian juga manakala wahyu diperoleh melalui Jibril As, namun penerima wahyu
tidak menyadari kehadirannya, maka wahyu yang seperti inipun akan dikatakan sebagai
wahyu tanpa perantara.
Pada hakikatnya malaikat merupakan media tajalli dan manifestasi pesan Tuhan, dan
bukannya bermakna bahwa pesan Ilahi ini diambil melalui pemahamannya kemudian dia
menjelaskannya dengan sarana lisannya.
Oleh karena itu, jika dikatakan bahwa malaikat pembawa wahyu adalah amin dan
terpercaya, hal ini tidak bermakna sebagai pemegang amanat sebagaimana yang umum
dipahami oleh manusia dimana amanat berpindah dari tangan pemilik amanat kepada
pemegang amanat.
Di sini meskipun pemegang amanat maksum (suci dari segala bentuk kesalahan dan
kekeliruan) dan terlepas dari segala khianat, tetap tidak ternafikan dari kapabilitas esensinya
dari khianat, sementara mengenai malaikat persoalan ini akan muncul dalam bentuk yang
lain.
Pada prinsipnya malaikat bukanlah penerima dan pemindah wahyu dalam makna umum
(misalnya dia menerima wahyu dengan cara memahaminya terlebih dahulu, kemudian
menyampaikan apa yang diserapnya itu kepada Nabi), dia bukanlah eksistensi yang berfungsi
sebagai perantara antara Tuhan dan rasul-Nya, melainkan hanya sekedar sebagai media bagi
tajallinya wahyu dan manifestasinya ilmu Tuhan itu sendiri.
Jika Rasulullah Saw menyadari media tajalli ini, maka dikatakan bahwa pembicaraan
Tuhan kepada rasul dilakukan melalui malaikat, dan jika rasul -meskipun mengetahui ilmu
Ilahi dan kandungan wahyu berada dalam media ini dan ia melihat refleksinya- tidak
menyadarinya dan hanya memperhatikan sumber wahyu dan kandungan pesan, maka wahyu
yang berkaitan dengannya ini merupakan wahyu tanpa perantara. Hal ini sebagaimana
seseorang yang melihat gambar di dalam cermin dan lalai terhadap cerminnya itu sendiri.
Dengan dasar inilah Allamah Thabathabai Ra berkata, "Seluruh bagian turunnya wahyu
bisa dianggap berasal dari Tuhan secara langsung dan tanpa perantara."
Dan dengan dalil inilah sehingga pada ayat-ayat lain al-Quran, wahyu dalam seluruh
persoalannya bersandar kepada Tuhan dan ini bukan sebuah penyandaran majasi,
sebagaimana hal ini tersirat dalam firman-Nya, " Sesungguhnya Kami telah memberikan
wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi
yang (datang) setelahnya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismail,
Ishaq, Ya‘qub dan anak cucunya (Bani Isra’il), Isa, Ayub, Yunus, Harun, dan Sulaiman."
(Qs. An-Nisa [4]: 163)
Perhatian:
Wahyu bukan merupakan bagian dari ilmu hushuli, melainkan semacam ilmu syuhudi
(penyaksian mistikal), hudhuri, dan perolehan sempurna dari luar dan alam ghaib. Perolehan ini
dengan dalil kehadiran langsung hakikat-hakikat keberadaan di hadapan sang penerima, secara
esensi tidak memiliki kapabilitas salah dan keliru, dan menggambarkan adanya kemungkinan
kesalahan di sini dalam bentuk yang paling minimal adalah bermakna penafian prinsip-prinsip
wahyu atau penolakan hakikat wahyu.
Dengan definisi seperti ini kita akan sampai pada poin asasi berikut:
1. Pada prinsipnya wahyu merupakan persoalan yang mungkin dan merupakan salah satu dari
tingkatan ilmu.
2. Hakikat wahyu adalah perolehan dan penyaksian alam ghaib dan dalam hakikat ini tidak ada
sedikitpun kesalahan di dalamnya.
3. Manusia dalam perjalanan menyempurnanya akan bisa sampai pada suatu tempat dimana
wahyu bisa diturunkan kepadanya dan akan mengantarkannya pada maqam ishmah.