Anda di halaman 1dari 51

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi adalah suatu keadaan saat tubuh kemasukan bibit penyakit (kuman)
sehingga menimbulkan gejala demam atau panas tubuh sebagai suatu reaksi tubuh
menolak antigen (kuman) agar dapat melumpuhkan atau mematikan kuman
tersebut.Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan mikroorganisme
lainnya.Dalam makalah ini kami membahas infeksi virus yang dapat ditularkan
seperti Tuberkulosis,Diare,Tifoid, dan Kusta.

Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular granulomatosa kronik yang


telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu dan paling sering disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru,
85% dari seluruh kasus TBC adalah TBC paru, sisanya (15%) menyerang organ
tubuh lain mulai dari kulit, tulang, organ-organ dalam seperti ginjal, usus, otak,
dan lainnya (Icksan dan Luhur, 2008). Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum,
TBC dibagi dalam: TBC paru BTA positif: sekurangnya 2 dari 3 spesimen sputum
BTA positif, TBC paru BTA negatif: dari 3 spesimen BTA negatif, foto toraks
positif (Rani, 2006). Infeksi pada paru-paru dan kadang-kadang pada struktur-
struktur di sekitarnya, yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis
(Saputra, 2010).

Diare (berasal dari bahasa Yunani dan Latin: dia, artinya melewati, dan
rheein, yang artinya mengalir atau lari) merupakan masalah umum untuk orang
yang menderita “pengeluaran feses yang terlalu cepat atau terlalu encer”
(Goodman dan Gilman, 2003). Diare adalah meningkatnya frekuensi dan
berkurangnya konsistensi buang air besar (BAB) dibanding dengan pola BAB
normalnya. Terjadinya BAB 3x atau lebih dalam sehari dengan konsistensi
lembek atau cair yang tidak seperti biasanya, yang biasanya hanya dua atau tiga
kali dalam seminggu (Yulinah, 2008).
2

Demam typhoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh


bakteri Salmonella typhi (Balentine, 2005). Kuman Salmonella Typhi ini terdapat
di dalam kotoran, urine manusia dan juga pada makanan dan minuman yang
tercemar kuman yang dibawa oleh lalat (Prabu, 1996). Faktor-faktor yang
mempengaruhi banyaknya penderita demam typhoid adalah tingkat pengetahuan
masyarakat yang masih rendah tentang pencegahan penyakit tersebut dan masih
rendahnya status sosial ekonomi masyarakat serta masih banyaknya pembawa
kuman (carier) di masyarakat (Sabdoadi, 1991).

Kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang penyebabnya ialah


Mycobacterium leprae dan bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Masa tunas dari penyakit kusta
sangat bervariasi, yaitu antara 40 hari sampai 40 tahun dan pada umumnya
penyakit ini membutuhkan waktu antara tiga hingga lima tahun (Kosasih dkk.,
2007). Pada sebagian besar orang yang telah terinfeksi dapat teridentifikasi
dengan tanpa gejala atau asimptomatik, namun pada sebagian kecil
memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat,
khususnya pada tangan dan kaki.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara penularan dari ke 4 penyakit tersebut?
2. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus skenario?
3. Apakah di perlukan pemeriksaan penunjang pada kasus tersebut?
4. Apa etiologi dari ke 4 pasien tersebut?
5. Bagaimana pencegahan untuk ke 4 penyakit tersebut?
6. Apa saja gejala klinis dari kasus tersebut?
7. Apa saja manifestasi yang terdapat pada rongga mulut dari penyakit
tersebut?
8. Apa yang menyebabkan pasien mengalami parestesi?
9. Apakah ada komplikasi pada masing-masing kasus tersebut?
10. Apa suspek untuk ke 4 pasien tersebut?
3

1.3. Tujuan Pembelajaran


1. Mahasiawa mampu memahami dan menjelaskan tentang klasifikasi dari
TBC,Tifoid,Diare,dan Kusta.
2. Mahasiawa mampu memahami dan menjelaskan tentang pemeriksaan dari
TBC,Tifoid,Diare,dan Kusta.
3. Mahasiawa mampu memahami dan menjelaskan tentang gejala klinis dari
TBC,Tifoid,Diare,dan Kusta.
4. Mahasiawa mampu memahami dan menjelaskan tentang etiologi dari
TBC,Tifoid,Diare,dan Kusta.
5. Mahasiawa mampu memahami dan menjelaskan tentang pathogenesis dan
penularan dari TBC,Tifoid,Diare,dan Kusta.
6. Mahasiawa mampu memahami dan menjelaskan tentang pencegahan dari
TBC,Tifoid,Diare,dan Kusta.
7. Mahasiawa mampu memahami dan menjelaskan tentang prognosis dari
TBC,Tifoid,Diare,dan Kusta.
8. Mahasiawa mampu memahami dan menjelaskan tentang penatalaksaan
dari TBC,Tifoid,Diare,dan Kusta.
4

BAB II

PEMBAHASAN

SKENARIO 3

“Infeksi Bakteri”

Pada suatu puskesmas terdapat beberapa orang pasien dengan keluhan


batuk yang tidak sembuh sejak lama, diantaranya ada yang mengalami luka pada
mukosa mulut yang sangat sakit. Beberapa pasien mengalami diare hebat. Pasien
lain mengeluhkan sakit perut dan demam tinggi. ada juga pasien yang mengalami
penyakit kulit seperti korengan yang tidak berasa (parastesi). Di labolatorium
terlihat pemeriksaan basil tahan asam yang positif,juga ada beberapa pemeriksaan
yang lain. Rupanya daerah tersebut terdapat beberapa kejadian luar biasa yang
melibatkan beberapa penyakit. Bagaimana penatalaksanaan secara komprehensif
pada daerah tersebut?

Klarifikasi Istilah

1. Diare
Diare adalah suatu penyakit dimana fases mengalami perubahan menjadi
cair terjadi paling sedikit 3x dalam 24 jam.
2. Korengan
Korengan adalah suatu luka yang membusuk dan bernanah.
3. Kejadian luar biasa
Kejadian luar biasa adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan/kematianyang bermakna secara epidermiologis pada suatu
daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat
menjurus pada kejadian wabah.
4. Komprehensif
Komprehensif berati menyeluruh, bersifat luas dan lengkap
5

5. Parastesia
Parastesia adalah suatu kondisi dimana tubuh mengalami sensasi panas
seperti,tertusuk-tusuk jarum, mati rasa atau kekebasan.
1.1 Menetapkan Masalah
1. Bagaimana cara penularan dari ke 4 penyakit tersebut?
2. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus skenario?
3. Apakah di perlukan pemeriksaan penunjang pada kasus tersebut?
4. Apa etiologi dari ke 4 pasien tersebut?
5. Bagaimana pencegahan untuk ke 4 penyakit tersebut?
6. Apa saja gejala klinis dari kasus tersebut?
7. Apa saja manifestasi yang terdapat pada rongga mulut dari penyakit
tersebut?
8. Apa yang menyebabkan pasien mengalami parestesi?
9. Apakah ada komplikasi pada masing-masing kasus tersebut?
10. Apa suspek untuk ke 4 pasien tersebut?

1.2 Brain Storming/Curah Pendapat


1. Bagaimana cara penularan dari ke 4 penyakit tersebut?
Pasien TBC
- Melalui udara yang tercemar seperti batuk dan terkena percikan dahak
batuk pasien
Pasien diare
- Melalui air yang tercemar dan makanan yang terinfeksi
Pasien demam typoid
- Melalui makanan, minuman yang tercemar
Pasien kusta
- Penularan bisa melalui kontak langsung dengan penderita

2. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus skenario?


Pasien TBC

- Diberikan obat rifampisin,


6

Pasien diare

- Pemberian antibiotik,konsumsi banyak cairan

- Antibiotik flurokuinolon

- Mengkonsumsi oralit

Pasien demam typoid

- Pemberian antibiotik seperti azitromisin

- Pemberian cipri untuk orang yang tidak hamil (rika)


Pasien kusta

- Memberikan rimfapisin,

- Pembedahan untuk memperbaiki jaringan yang rusak

3. Apakah di perlukan pemeriksaan penunjang pada kasus tersebut?


Pasien 1 TBC dilakukan pemeriksaan BTA
- Pemeriksaan fisik dengan cara mendengarkan suara napas
- Bisa juga dilakukan dengan pemeriksaan foto rontgen
- Bisa juga dilakukan dengan pemeriksaan pewarnaan panas zlehl neilse
- Adanya nodul yang terkalsifikasi pada perifer paru
- Pasien ke-2 diare
- Pemeriksaan feses, pemeriksaan darah dan pemeriksaan siqmoidoskopi
dan kolonoskopi

Pasien ke-3 Demam Typoid


- Pemeriksaan darah (trombosit)
- Pemeriksaan bakteriologi
- Pemeriksaan pcr untuk melacak dna bakteri samonella
- Pasien ke-4 Kusta
- Pemeriksaan kerokan kulit dimana hasilnya bisa positif dan negatif
7

4. Apa etiologi dari ke 4 pasien tersebut?


- Pasien TBC disebabkan mycobacterium tuberculosis
- Demam typoid disebabkan oleh bakteri mycobacterium salmonella typoid
- Kusta disebabkan oleh mycobacterium leprae
- Diare disebabkan oleh bakteri ecoli
- Diare bisa disebabkan oleh ecoli yang patogen dan shigella,dan bisa juga
disebabkan oleh virus, dan demam typoid disebabkan oleh salmonella
paratypi
- Demam typoid disebabkan oleh bakteri enterica

5. Bagaimana pencegahan untuk ke 4 penyakit tersebut?


Pasien TBC
- Menutup mulut saat batuk,jangan membuang dahak sembarangan untuk
yang sudah terkena.
- Hindari makan dengan satu tempat atau satu piring berdua
- Pemberian vaksin pada bayi sebelum usia 6 bulan
Pasien diare
- Kalau makan lihat dulu kebersihannya,cuci tangan WHO dengan air
mengalir
- Menutup makanan dan minuman agar terhindar dari lalat atau serangga
Pasien demam typoid
- Menjaga kebersihan,memperhatikan makanan dan minuman,jaga
kesehatan
- Menutup makanan dan minuman agar terhindar dari lalat atau serangga
- Pemberian vaksin secara oral atau paranteral
Pasien kusta
- Untuk vaksin belum ada,pencegahan hanya bisa dilakukan dengan
pengobatan
- Dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat
8

6. Apa saja gejala klinis dari kasus tersebut?


Pasien TBC
- Demam tinggi,berkeringat malam hari,sesak nafas
- Pasien mengalami penurunan nafsu makan
Pasien diare
- Feses lembek,mual,muntah,kram perut
- Feses ada darah,dehidrasi,sakit kepala,demam
Pasien demam typoid
- Demam meningkat setiap hari,nyeri otot,berkeringat.
- Demam dan menurun pada pagi hari
- Sakit kepala pada daerah frontal,susah buang air besar
Pasien kusta
- Mati rasa, muncul luka namun tidak terasa sakit
- Muncul lesi pucat,pembesaran syaraf pada siku dan lutut
- Gambaran klinis kusta ada 2 : pausibacilaris bercak putih.kalau yang
multibacilari lesi berwana kemerahan dan bengkak

7. Apa saja manifestasi yang terdapat pada rongga mulut dari penyakit
tersebut?
- Pasien TBC
- Manifestasi pada rongga mulut biasanya ada pigmentasi tapi terlihat datar.

8. Apa yang menyebabkan pasien mengalami parestesi?


- kusta biasanya menyerang syaraf tepi kulit sehingga mengalami parastesi

9. Apakah ada komplikasi pada masing-masing kasus tersebut?


- Pasien TBC
- Pasien diare
- Xerostomia
- Pasien demam typoid
- Kejang,pendarahan,perforasi usus
9

- Xerostomia
- Pasien kusta
- Mati rasa, kelemahan pada otot.
- Cacat progresif,hilang alis dan bulu mata,jari jemari hilang .
-
10. Apa suspek untuk ke 4 pasien tersebut?
- Pada pasien 1 menderita TBC ,Pasien ke-3 menderita demam typoid
- pasien ke- 2 menderita diare,pasien ke-4 menderita kusta
- kusta biasanya menyerang syaraf tepi kulit sehingga mengalami parastesi
1.3 Menganalisis Permasalahan

Penyakit Endemik

Bakteri

TBC Diare Tifoid Kusta

Pemeriksaan
Gejala Klinis
Etiologi
Patogenesis
Penularan
Pencegahan
Prognosis
Penatalaksanaan

1.4 Learning Objektif


1. Mahasiawa mampu memahami dan menjelaskan tentang klasifikasi dari
TBC,Tifoid,Diare,dan Kusta.
10

2. Mahasiawa mampu memahami dan menjelaskan tentang pemeriksaan dari


TBC,Tifoid,Diare,dan Kusta.
3. Mahasiawa mampu memahami dan menjelaskan tentang gejala klinis dari
TBC,Tifoid,Diare,dan Kusta.
4. Mahasiawa mampu memahami dan menjelaskan tentang etiologi dari
TBC,Tifoid,Diare,dan Kusta.
5. Mahasiawa mampu memahami dan menjelaskan tentang pathogenesis dan
penularan dari TBC,Tifoid,Diare,dan Kusta.
6. Mahasiawa mampu memahami dan menjelaskan tentang pencegahan dari
TBC,Tifoid,Diare,dan Kusta.
7. Mahasiawa mampu memahami dan menjelaskan tentang prognosis dari
TBC,Tifoid,Diare,dan Kusta.
8. Mahasiawa mampu memahami dan menjelaskan tentang penatalaksaan
dari TBC,Tifoid,Diare,dan Kusta.

1.5 Belajar Mandiri

Dalam step ini kami melakukan belajar mandiri, yaitu dengan mencari
berbagai literature yang berhubungan dengan tujuan pembelajaran baik dari
internet, buku, maupun dari pakarnya langsung.

1.6 Hasi Belajar Mandiri dari Tujuan Pembelajaran


1.6.1 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan klasifikasi
Tuberkulosis, Diare, Tifoid, dan Kusta
a. TUBERKULOSIS

Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis yang dapat menyerang pada berbagai organ tubuh mulai dari paru
dan organ di luar paruseperti kulit, tulang, persendian, selaput otak, usus serta
ginjal yang sering disebut dengan ekstrapulmonal TBC. Penyakit tuberkulosis
sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi. Menurut hasil penelitian, penyakit
tuberkulosis sudah ada sejak zaman Mesir kuno yang dibuktikan dengan
penemuan pada mumi. dan penyakit ini juga sudah ada pada kitab pengobatan
11

Cina'pen tsao'sekitar 5000 tahun yang lalu. Pada tahun 1882, lmuwan Robert
Koch berhasil menemukan kuman tuberkulosis, yang merupakan penyebab
penyakit ini. Kuman ini berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama'
Mycobacterium tuberculosis'.

b. DIARE

Diare adalah sebuah penyakit di saat tinja atau feses berubah menjadi cair yang
biasanya terjadi paling sedikit tiga kali dalam 24 jam. Di negara berkembang diare
adalah penyebab kematian paling umum. Diare merupakan penyebab kurang gizi
yang penting terutama pada anak. Diare menyebabkan anoreksia (kurangnya nafsu
makan) sehingga mengurangi asupan gizi, dan diare dapat mengurangi daya serap
usus terhadap sari makanan. Dalam keadaan infeksi, kebutuhan sari makanan pada
anak yang mengalami diare akan meningkat, sehingga setiap serangan diare akan
menyebabkan kekurangan gizi. Jika hal ini berlangsung terus-menerus akan
mengakibatkan gangguan pertumbuhan anak. Diare dibedakan menjadi dua
berdasarkan waktu serangan (onset), yaitu:

1. Diare akut (<2 minggu)

2. Diare kronik (>2 minggu).

Diare dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:

1. keadaan lingkungan,

2. pbrilaku masyarakat,

3. pelayananmasyarakat

4. gizi,

5. kependudukan,

6. pendidikan,

7. keadaan sosial ekonomi.


12

c. TIFOID

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada
pencernaan, dan gangguan kesadaran. Penyebab penyakit ini adalah Salmonella
typhi yang mempunyai ciri-ciri basil Gram negatif.

d. KUSTA

Kusta berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau
lepra disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman.
Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae. Kusta
menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit. Penyakit ini adalah
tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernafasan
atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Penyakit kusta
adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah yang sangat
kompleks. Masalah yang ada bukan saja dari segi medisnya, tetapi juga masalah
sosial, ekonomi, budaya, serta keamanan dan ketahanan nasjonal. Penyakit kusta
merupakan salah satu manifestasi kemiskinan karena kenyataannya sebagian besar
penderita kusta berasal dari golongan ekonomi lemah. Penyakit kusta bila tidak
ditangani dengan cermat dapat menyebabkan cacat, dan keadaan ini menjadi
penghalang bagi pasien kusta dalam menjalani kehidupan bermasyarakat untuk
memenuhi kebutuhan sosial ekonominya.

1.6.2 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan


penunjang dari Tuberkulosis, Diare, Tifoid, dan Kusta
a. TUBERKULOSIS

1.Pemeriksaan Jasmani

Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya
tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya
13

terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior ,
serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan
antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa,
kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura.
Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai
tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa,
terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan
kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran
kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”

2. Pemeriksaan Bakteriologik

a. Bahan pemeriksasan Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman


tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi
(termasuk biopsi jarum halus/BJH)

b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara pengambilan dahak 3 kali,


setiap pagi 3 hari berturutturut atau dengan cara: • Sewaktu/spot (dahak sewaktu
saat kunjungan) • Dahak Pagi ( keesokan harinya ) • Sewaktu/spot ( pada saat
mengantarkan dahak pagi) Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan
dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau
lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada
fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi)
sebelum dikirim ke laboratorium. Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat
sediaan apus kering di gelas objek atau untuk kepentingan biakan dan uji
resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam
kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis
14

identitas penderita yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan


laboratorium. Bila lokasi fasiliti laboratorium berada jauh dari klinik/tempat
pelayanan penderita, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui
jasa pos. Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring: • Kertas
saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya •
Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari
kertas saring sebanyak + 1 ml • Kertas saring dilipat kembali dan digantung
dengan melubangi pada satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak •
Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman,
misal di dalam dus • Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan
dalam kantong plastik kecil • Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap
udara) dengan melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi
• Di atas kantong plastik dituliskan nama penderita dan tanggal pengambilan
dahak • Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat
laboratorium.

c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain Pemeriksaan bakteriologik dari


spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (BAL), urin, faeces dan
jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara • Mikroskopik •
biakan

3. Pemeriksaan mikroskopik:

Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen pewarnaan Kinyoun Gabbett


Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
screening) Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, dahak dipekatkan lebih
dahulu dengan cara sebagai berikut : • Masukkan dahak sebanyak 2 – 4 ml ke
dalam tabung sentrifuge dan tambahkan sama banyaknya larutan NaOH 4% •
Kocoklah tabung tersebut selam 5 – 10 menit atau sampai dahak mencair
sempurna • Pusinglah tabung tersebut selama 15 – 30 menit pada 3000 rpm •
Buanglah cairan atasnya dan tambahkan 1 tetes indicator fenol-merahpada
15

sediment yang ada dalam tabung tersebut, warnanya menjadi merah • Netralkan
reaksi sedimen itu dengan berhati-hati meneteskan larutan HCl 2n ke dalam
tabung sampai tercapainya warna merah jambu ke kuning-kuningan • Sedimen ini
selanjutnya dipakai untuk membuat sediaan pulasan (boleh juga dipakai untuk
biakan M.tuberculosis ) lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali
pemeriksaan ialah bila : 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif 1 kali
positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian bila 1 kali positif, 2 kali
negatif → Mikroskopik positif bila 3 kali negatf → Mikroskopik negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala bronkhorst atau
IUATLD

Catatan : Bila terdapat fasiliti radiologik dan gambaran radiologik menunjukkan


tuberkulosis aktif, maka hasil pemeriksaan dahak 1 kali positif, 2 kali negatif tidak
perlu diulang. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis
dengan metode konvensional ialah dengan cara : • Egg base media (Lowenstein-
Jensen, Ogawa, Kudoh) • Agar base media : Middle brook Melakukan biakan
dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi
Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis
(MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan
melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun
pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul

4. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam
bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : •
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah • Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh
bayangan opak berawan atau nodular • Bayangan bercak milier • Efusi pleura
unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) Gambaran radiologik yang dicurigai
16

lesi TB inaktif • Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas •
Kalsifikasi atau fibrotik • Kompleks ranke • Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru
dan atau penebalan pleura Luluh Paru (Destroyed Lung ) : • Gambaran radiologik
yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis
disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis,
multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau
penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut. • Perlu dilakukan
pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit Luas lesi
yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb
(terutama pada kasus BTA dahak negatif) : • Lesi minimal , bila proses mengenai
sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari volume paru yang
terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus
spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan
tidak dijumpai kaviti • Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

5. Pemeriksaan Penunjang Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti


tuberkulosis adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman
tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik
baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat. 1.
Polymerase chain reaction (PCR): Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih
yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah
dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan
ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam
pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan
diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan
sesuai standar. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak
ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai
sebagai pegangan untuk diagnosis TB ? Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut
diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun luar paru
sesuai dengan organ yang terlibat. 2. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai
metoda a.1: a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) Teknik ini
17

merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa
proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara
lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama. b.
Mycodot Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia.
Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada
suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke
dalam serum penderita, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik
anti LAM dalam jumlah yang memadai yang sesuai dengan aktiviti penyakit,
maka akan timbul perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi dengan mudah
c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) Uji ini merupakan salah satu jenis uji
yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi d. ICT Uji Immunochromatographic
tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi
M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT tuberculosis merupakan uji diagnostik TB
yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma
M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut
diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik
(2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) dismaping garis kontrol. Serum
yang akan diperiksa sebanyak 30 µl diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian
serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi
IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan
membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit
terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.
Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi
harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang
terdeteksi. Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai pegangan
untuk diagnosis.

6. Pemeriksaan BACTEC Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC


ini adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang
kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin
18

ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat
untuk membantu menegakkan diagnosis.

7. Pemeriksaan Cairan Pleura Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta
cairan pleura perlu dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu
menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis
cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah

8. Pemeriksaan histopatologi jaringan Bahan histopatologi jaringan dapat


diperoleh melalui biopsi paru dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans
thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah
bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi
dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsi dilakukan
untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra paru
Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada
jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma
dengan perkejuan

9. Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan


indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama
dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat
kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat
digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta
kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula
kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu
dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju
endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang
spesifik.

10. Uji tuberkulin Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi
infeksi TB di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan
prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu
19

diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai
makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya
atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau bula. Pada pleuritis
tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada malnutrisi dan infeksi
HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan
kemudian. Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya
menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang analog dengan ; a) reaksi peradangan
dari lesi yang berada pada target organ yang terkena infeksi atau b) status respon
imun individu yang tersedia bila menghadapi agent dari basil tahan asam yang
bersangkutan (M.tuberculosis).

b. DIARE

Untuk menegakan diagnosis diare selain melakukan anamnesis juga dapat


dilakukan pemeriksaan laboratorium.Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare
infeksi dimulai dari pemeriksaan feses adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak
mengandung leukosit, jika ada itu dianggap sebagai penanda inflamasi kolon baik
infeksi maupun non infeksi. Karena netrofil akan berubah, sampel harus diperiksa
sesegera mungkin. Sensitifitas lekosit feses terhadap inflamasi patogen
(Salmonella, Shigella dan Campylobacter) yang dideteksi dengan kultur feses
bervariasi dari 45% - 95% tergantung dari jenis patogennya.3 Penanda yang lebih
stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin. Laktoferin adalah glikoprotein
bersalut besi yang dilepaskan netrofil, keberadaannya dalam feses menunjukkan
inflamasi kolon. Positip palsu dapat terjadi pada bayi yang minum ASI. Pada
suatu studi, laktoferin feses, dideteksi dengan menggunakan uji agglutinasi lateks
yang tersedia secara komersial, sensitifitas 83 – 93 % dan spesifisitas 61 – 100 %
terhadap pasien dengan Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp, yang
dideteksi dengan biakan kotoran. Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien
tersangka atau menderita diare inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis,
test lekosit feses atau latoferin positip, atau keduanya. Pasien dengan diare
berdarah yang nyata harus dilakukan kultur feses untuk EHEC O157 : H7.1
Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau kehilangan cairan harus
20

diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum, kreatinin, analisa gas
darah dan pemeriksaan darah lengkap5,8,10,14 Pemeriksaan radiologis seperti
sigmoidoskopi, kolonoskopi dan lainnya biasanya tidak membantu untuk evaluasi
diare akut infeksi.

c. TIFOID

Pemeriksaan darah tepi Pemeriksaan hematologi pada demam tifoid tidak


spesifik. Dapat ditemukan adanya anemia normokromik normositer dalam
beberapa minggu setelah sakit. Anemia dapat terjadi antara lain oleh karena
pengaruh berbagai sitokin dan mediator sehingga terjadi depresi sumsum tulang,
penghentian tahap pematangan eritrosit maupun kerusakan langsung pada
eritrosit. Disamping itu anemia bisa disebabkan perdarahan usus.. Hitung leukosit
umumnya rendah, berhubungan dengan demam dan toksisitas penyakit, memiliki
variasi yang lebar, leukopenia, jarang dibawah 2500/ mm3, umumnya terjadi
dalam waktu 1 hingga 2 minggu setelah sakit. Leukositosis dapat mencapai
20.000-25.000/mm3, yang menandakan adanya suatu abses pyogenik.
Trombositopenia dapat merupakan suatu tanda penyakit yang berat serta
terjadinya suatu gangguan koagulasi intravaskuler.

d. KUSTA
Pemeriksaan Serologi

Tes serologi merupakan tes diagnostik penunjang yang paling banyak


dilakukan saat ini. Selain untuk penunjang diagnostik klinis penyakit kusta, tes
serologi juga dipergunakan untuk diagnosis infeksi M. leprae sebelum timbul
manifestasi klinis. Uji laboratorium ini diperlukan untuk menentukan adanya
antibodi spesifik terhadap M. leprae di dalam darah. Dengan diagnosis yang tepat,
apalagi jika dilakukan sebelum timbul manifestasi klinis lepra diharapkan dapat
mencegah penularan penyakit sedini mungkin. Pemeriksaan serologis kusta yang
kini banyak dilakukan cukup banyak manfaatnya, khususnya dalam segi
seroepidemiologi kusta di daerah endemik. Selain itu pemeriksaan ini dapat
membantu diagnosis kusta pada keadaan yang meragukan karena tanda-tanda
21

klinis dan bakteriologis tidak jelas. Karena yang diperiksa adalah antibodi spesifik
terhadap basil kusta maka bila ditemukan antibodi dalam titer yang cukup tinggi
pada seseorang maka patutlah dicurigai orang tersebut telah terinfeksi oleh
M.leprae. Pada kusta subklinis seseorang tampak sehat tanpa adanya penyakit
kusta namun di dalam darahnya ditemukan antibodi spesifik terhadap basil kusta
dalam kadar yang cukup tinggi.

Beberapa jenis pemeriksaan serologi kusta yang banyak digunakan, antara


lain: A. Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test) Uji ini
menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh yang telah dilabel dengan zat
fluoresensi. Hasil uji ini memberikan sensitivitas yang tinggi namun
spesivisitasnya agak kurang karena adanya reaksi silang dengan antigen dari
mikrobakteri lain. B. Radio Immunoassay (RIA) 34 Uji ini menggunakan antigen
dari M. leprae yang dibiakkan dalam tubuh Armadillo yang diberi label radio
aktif. C. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination) 34 Uji ini
berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1 dengan antibodi dalam
serum. Uji MLPA merupakan uji yang praktis untuk dilakukan di lapangan,
terutama untuk keperluan skrining kasus seropositif. D. Antibodi monoklonal
(Mab) epitop MLO4 dari protein 35-kDa M.leprae menggunakan M. leprae
sonicate (MLS) yang spesifik dan sensitif untuk serodiagnosis kusta. Protein 35-
kDa M. leprae adalah suatu target spesifik dan yang utama dari respon imun
seluler terhadap M. leprae, merangsang proliferasi sel T dan sekresi interferon
gamma pada pasien kusta dan kontak. 34 34 Universitas Sumatera Utara E. Uji
ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay) Uji ELISA pertama kali digunakan
dalam bidang imunologi untuk menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi
di dalam suatu sampel, dimana interaksi tersebut ditandai dengan menggunakan
suatu enzim yang berfungsi sebagai penanda.35 Dalam perkembangan
selanjutnya, selain digunakan sebagai uji kualitatif untuk mengetahui keberadaan
suatu antibodi atau antigen dengan menggunakan antibodi atau antigen spesifik,
teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif untuk mengukur
kadar antibodi atau antigen yang diuji dengan menggunakan alat bantu berupa
22

spektrofotometer. Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen


antibodi yang terbentuk dengan diberi label (biasanya berupa enzim) pada ikatan
tersebut, selanjutnya terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan
spektrofotometer dengan panjang gelombang tertentu. Pemeriksaan ini umumnya
menggunakan plat mikro untuk tempat terjadinya reaksi. 35 Terdapat tiga metode
ELISA, antara lain: 34-36 35 A. Direct ELISA Pada direct ELISA, antigen
melekat pada fase solid dan bereaksi dengan antibodi sekunder yang dilabel
enzim, kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan warna yang
dapat diukur dengan spektrofotometer. Universitas Sumatera Utara B. Indirect
ELISA Pada indirect ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi dengan
antibodi primer, kemudian dilakukan penambahan antibodi sekunder yang dilabel
enzim dan terjadi reaksi antara antibodi primer dengan antibodi sekunder yang
dilabel enzim, kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan warna
yang dapat diukur dengan spektrofotometer. C. Sandwich ELISA. Pada sandwich
ELISA, prinsip kerjanya hampir sama dengan direct ELISA, hanya saja pada
sandwich ELISA, larutan antigen yang diinginkan tidak perlu dipurifikasi. Dalam
bidang penyakit kusta, uji ELISA dapat dipakai untuk mengukur kadar antibodi
terhadap basil kusta, misalnya antibodi anti PGL-1, antibodi anti protein 35kD,
dan lain-lain. Kelas antibodi yang diperiksa juga ditentukan, misalnya IgM anti
PGL-1, IgG anti PGL-1 dan sebagainya. Untuk antibodi anti PGL-1 biasanya IgM
lebih dominan dibandingkan IgG. Pemeriksaan ELISA dikembangkan
menggunakan reagen poliklonal atau monoklonal yang telah terbukti sangat
spesifisik terhadap residu gula dari PGL-1 dan memungkinkan deteksi titer anti
PGL-1 pada pasien kusta atau kontak serumah. Untuk menentukan nilai ambang
(cut off) dari hasil uji ELISA ini, biasanya ditentukan setelah mengetahui nilai
setara individu yang sakit kusta dan Universitas Sumatera Utara yang tidak sakit
kusta. Di daerah Jawa Timur, nilai ambang untuk antibodi IgM anti PGL-1 telah
diketahui sekitar 605 μ/ml. Pada penelitian ini akan menggunakan metode indirect
ELISA untuk mengukur kadar antibodi IgM anti PGL-1 pada penderita kusta.
Salah satu keuntungan dari uji ELISA adalah sensitif karena dapat mendeteksi
dari level 0,01 μg/ml.
23

1.6.3 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan gejala klinis dari


Tuberkulosis, Diare, Tifoid, dan Kusta
a. TUBERKULOSIS

Untuk mengetahui tentang penderita tuberkulosis dengan baik harus dikenali


tanda dan gejalanya. Seseorang ditetapkan sebagai tersangka penderita
tuberkulosis paru apabila ditemukan gejala klinis utama (cardinal symptom) pada
dirinya.

Gejala utama pada tersangka TBC adalah: . batuk berdahak lebih dari tiga
minggu, . batuk berdarah, . sesak napas, . nyeri dada. Gejala lainnya adalah
berkeringat pada malam hari, demam tidak tinggi/meriang, dan penurunan berat
badan. Dengan strategi yang baru (DOTS, directly observed treatment
shortcourse), gejala utamanya adalah batuk berdahak dan/atau terus-menerus
selama 3 minggu atau lebih. Berdasarkan keluhan tersebut, seseorang sudah dapat
ditetapkan sebagai tersangka. Gejala lainnya adalah gejala tambahan. Dahak
penderrta harus diperiksa dengan pemeriksaan mikroskopis.

b. DIARE

Beberapa gejala dan tanda diare antara lain:

1. Gejala umum

a. Berak cair atau lembek dan sering adalah gejala khas diare,

b. Muntah, biasanya menyertai diare pada gastroenteritis akut.


24

c. Demam, dapat mendahului atau tidak mendahului gejala diare.

d. Gejala dehidrasi, yaitu mata cekung, ketegangan kulit menurun, apatis,


bahkan gelisah.

2. Gejala spesifik

a. Vibrio cholera: diare hebat, warna tinja seperti cucian beras dan berbau amis.

b. Disenteriform: tinja berlendir dan berdarah.

Diare yang berkepanjangan dapat menyebabkan:

1. Dehidrasi (kekurangan cairan) Tergantung dari persentase cairan iubuh


yang hilang, dehidrasi dapat terjadi ringan, sedang, atau berat"

2. Gangguan sirkulasi Pada diare akut, kehilangan cairan dapat terjadi dalam
waktu yang singkat. Bila kehilangan cairan ini lebih dari 10% berat badan,
pasien dapat mengalami syok atau presyok yang disebabkan oleh
berkurangnya volume darah (hipovolemia)

3. Gangguan asam-basa (asidosis)

Hal ini terjadi akibat kehilangan cairan elektrolit (bikarbonat) dari dalam
tubuh. Sebagai kompensasinya tubuh akan bernapas cepat untuk membantu
meningkatkan pH arteri.

4. Hipoglikemia (kadar gula darah rendah) Hipoglikemia sering terjadi pada


anak yang sebelumnya mengalami malnutrisi (kurang gizi). Hipoglikemia
dapat mengakibatkan koma. Penyebab yang pasti belum diketahui,
kemungkinan karena cairan ekstraseluler menjadi hipotonik dan air masuk ke
dalam cairan intraseluler sehingga terjadi edema otak yang mengakibatkan
koma.

5. Gangguan gizi Gangguan ini terjadi karena asupan makanan yang kurang
dan output yang berlebihan. Hal ini akan bertambah berat bila pemberian
makanan dihentikan, serta sebelumnya penderita sudah mengalami
kekurangan gizi (malnutrisi).
25

c. TIFOID

Demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam menetap
(kontinyu) atau remiten pada minggu kedua.Demam terutama sore/ malam
hari,sakit kepala,nyeri otot,anoreksia,mual, muntah, obstipasi atau diare. Demam
merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita
demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi
parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau
Pneumococcus daripada S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam
tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih
mungkindisebabkanolehmalaria.Namundemikian demam tifoid dan malaria dapat
timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam
tinggi dapat menyerupai gejala meningitis,disisi lainS. typhijuga dapat menembus
sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang
mendominasi gambaran klinis,yaitu konfusi,stupor,psikotik atau koma. Nyeri
perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Padatahap lanjut dapat
muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus.

d. KUSTA

Tiga gejala utama (cardinal sign) penyakit kusta adalah:

1. Makula hipopigmentasi atau anestesi pada kulit.

2. Kerusakan saraf perifer.

3. Hasil pemeriksaan laboratorium dari kerokan kulit menunjukkan BTA


positif.
26

1.6.4 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etiologi dari


Tuberkulosis, Diare, Tifoid, dan Kusta
a. TUBERKULOSIS

Penyebab penyakit tuberkulosis adalah bakteri Mycobacterium tuberculosrs


dan Mycobacterium bovis. Kuman tersebut mempunyai ukuran 0,5-4 mikron x
0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular
atau tidak mempunyai selubung. tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri
dari lipoid (terutama asam mikolat). Bakterr ini mempunyai sifat istimewa, yaitu
dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga
sering disebut basil tahan asam (BTA), serta tahan terhadap zat kimia dan fisik.
Kuman tuberkulosis juga tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman
dan aerob. Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100"C selama 5-10
menit atau pada pemanasan 60'C selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95%
selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat
yang lembab dan gelap (bisa berbulan-bulan), namun tidak tahan terhadap sinar
atau aliran udara. Data pada tahun'1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan
90% udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara
per jam.

b. DIARE

Penyebab diare dapat disebabkan sebagai berikut ,yaitu :

1. Yirus. Rotavirus (40-60%), Adenovirus.

2. Bakteri: Eschericfia coli (20-30%), Shigella sp. (1-2%), Vibrio cholerae,


dan lain-lain.

3. Parasit: Entamoeba histolytica (.1%), Giardia lamblia, Cryptosporrdium (4-


11%).

4. Keracunan makanan.

5. Malabsorpsi: karbohidrat, lemak, dan protein.


27

6. Alergi: makanan, susu sapi.

7. lmunodefisiensi: AIDS"

c. TIFOID

Salmonella typhi (S. typhi) merupakan kuman pathogen penyebab demam


tifoid,yaitu suatu penyakit infeksi sistemik dengan gambaran demam yang
berlangsung lama, adanya bakteremia disertai inflamasi yang dapat merusak usus
dan organ-organ hati.

d. KUSTA

Penyebab penyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium leprae yang berbentuk


batang dengan ukuran panjang 1-B mikron, lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel, dan bersifat tahan
asam (BTA). Penyakit kusta bersifat menahun karena bakteri kusta memerlukan
waktu 12-2 1 hari untuk membelah drri dan masa tunasnya rata-rata 2-5 tahun.
Penyakit kusta dapat ditularkan kepada orang lain melalui saluran pernapasan dan
kontak kulit. Bakteri kusta ini banyak terdapat pada kulit tangan, daun telrnga,
dan mukosa hidung.

1.6.5 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pathogenesis dan


penularan penyakit dari Tuberkulosis, Diare, Tifoid, dan Kusta
a. TUBERKULOSIS
1. Pathogenesis dari tuberculosis

Secara klinis, tuberkulosis dapat terjadi melalui infeksi primer dan pasca
primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena kuman tuberkulosis untuk
pertama kalinya. Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, di dalam
alveoli (gelembung paru) terjadi peradangan. Hal ini disebabkan oleh kuman
tuberkulosis yang berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru. Waktu
terjadinya infeksi hingga pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6
minggu. Kelanjutan infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk
dan respon daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan kuman TB
28

dengan cara menyelubungi kuman dengan jaringan pengikat. Ada beberapa


kuman yang menetap sebagai “persister” atau “dormant”, sehingga daya tahan
tubuh tidak dapat menghentikan perkembangbiakan kuman, akibatnya yang
bersangkutan akan menjadi penderita tuberkulosis dalam beberapa bulan. Pada
infeksi primer ini biasanya menjadi abses (terselubung) dan berlangsung tanpa
gejala, hanya batuk dan nafas berbunyi. Tetapi pada orang-orang dengan sistem
imun lemah dapat timbul radang paru hebat, ciri-cirinya batuk kronik dan bersifat
sangat menular. Infeksi pasca primer terjadi setelah beberapa bulan atau tahun
setelah infeksi primer.

Ciri khas tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas
dengan terjadinya efusi pleura. Risiko terinfeksi tuberkulosis sebagian besar
adalah faktor risiko eksternal, terutama adalah faktor lingkungan seperti rumah tak
sehat, pemukiman padat dankumuh. Sedangkan risiko menjadi sakit tuberkulosis,
sebagian besar adalah faktor internal dalam tubuh penderita sendiri yang
disebabkan oleh terganggunya sistem kekebalan dalam tubuh penderita seperti
kurang gizi, infeksi HIV/AIDS, dan pengobatan dengan immunosupresan.
Penderita tuberkulosis paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh
(BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali
dikelirukan dengan kasus kambuh. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan obat
antituberkulosis (OAT) tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan
simtomatis. Resistensi terhadap OAT terjadi umumnya karena penderita yang
menggunakan obat tidak sesuai atau patuh dengan jadwal atau dosisnya.
Resistensi ini menyebabkan jenis obat yang biasa dipakai sesuai pedoman
pengobatan tidak lagi dapat membunuh kuman.
2. Penularan tuberculosis
1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman
ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei).
Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak.
29

3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan


dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat
mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan
selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan
lembab.
4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat
kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien
tersebut.
5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB
ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan
lamanya menghirup udara tersebut.
Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan:
1. 50% meninggal
2. 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
3. 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular
b. DIARE
1. Pathogenesis diare

Patogenesis diare akut : yaitu masuknya jasad renik yang masih hidup ke
dalam usus halus setelah melewati rintangan asam lambung. Jasad renik itu
berkembang biak di dalam usus halus. Kemudian jasad renik mengeluarkan
toksin. Akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan
menimbulkan diare

Patogenesis diare kronik : lebih kompleks dan faktor-faktor yang


menimbulkannya ialah infeksi bakteri, parasit, malabsorbsi, malnutrisi dan lain-
lain.

Sebagai akibat diare akut maupun kronis akan terjadi kehilangan air dan
elektronik (dehidrasi) yang mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan
asam basa (asidosis metabolik, hipokalemi, dan sebagainya), gangguan gizi akibat
30

kelaparan (masukan makanan kurang, pengeluaran bertambah), hipoglikemia,


gangguan sirkulasi darah.

2. Penularan diare

Penyakit diare ini penularannya dapat melalui kontaminasi agent (penyebab


penyakit) seperti virus, bakteri dan sebagainya dengan makanan, minuman yang
kemudian dimakan oleh orang sehat. Penyakit ini biasanya juga termasuk dalam
penyakit yang sumber penularannya melalui perantaraan air atau sering disebut
sebagai water borne diseases. Agent penyebab penyakit diare sering dijumpai
pada sumber- sumber air yang sudah terkontaminasi denag agent penyebab
penyakit, air yang sudah tercemar apabila digunakan oleh orang sehat bisa
membuat orang terssebut terpapar dengan agent penyebab penyakit diare.
Penyakit menular yang disebabkan oleh perantaraan air secara langsung
biasannya dikalangan masyarakat disebut penyakit bawaan air “Water Borne
Diseases”. Penyakit- penyakit ini hanya bisa menyebar apabila mikro organisme
penyebabnya dapat masuk kedalam sumber air yang dipakai masyarakat untuk
memenuhi kebutuhannya sehari- hari, jenis mikroba yang dapat menyebar lewat
air seperti virus, bakteri protozoa dan metazoa. Penyakit diare merupakan salah
satu penyakit yang dapat ditularkan melalui air yang disebabkan oleh bakkteri
vibrio cholera, E. Coli, Salmonella paratyphi dan shigella dysentriae yang
disebabkan oleh protozoa entamoeba histolytica dan sebagainnya.

c. TIFOID
1. Pathogenesis tifoid

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia


melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh
asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila
respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
31

oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah
bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia
pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel
fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia
yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.

2. Penularan tifoid

Penularan penyakit ini adalah melalui air dan makanan yang terinfeksi
Salmonella typhi. Kuman Salmonella dapat bertahan lama dalam makanan.
Dengan adanya penularan tersebut dapat dipastikan higyene makanan dan higyene
personal sangat berperan dalam masuknya bakteri ke dalam makanan (Kusuma,
2015).

d. KUSTA
1. Pathogenesis kusta

Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh manusia masa sampai


timbulnya gejala dan tanda adalah sangat lama dan bahkan bertahun-tahun, masa
inkubasinya bisa 3-20 tahun. Sering kali penderita tidak menyadari adanya proses
penyakit di dalam tubuhnya. Umumnya penduduk yang tinggal di daerah endemis
mudah terinfeksi, namun banyak orang punya kekebalan alamiah dan tidak
menjadi penderita kusta (Agusni, 2001). Mycobacterium leprae seterusnya
bersarang di sel schwann yang terletak di perineum, karena basil kusta suka
daerah yang dingin yang dekat dengan dengan kulit dengan suhu sekitar 27-300C.
Mycobacterium leprae mempunyai kapsul yang dibentuk dari protein 21 KD,
yang mampu -2 Gberikatan dengan reseptor yang dipunyai sel schwann yaitu
laminin -dystroglycam. Kemampuan adesi tersebut merupakan carareceptor
32

sejenis invasi basil kusta pada perineum, sel schwnn sendiri merupakan sejenis
fagosit yang bisa menangkap antigen seperti M. leprae, tetapi tidak dapat
menghancurkannya karena sel tersebut tidak mempunyai MHC klas II yang
mampu berikatan dengan SD4 limfosit, akibatnya basil kusta dapat berkembang
biak di sel schwann (Agusni, 2003). Sel schwann seterusnya mengalami kematian
dan pecah, lalu basil kusta dikenali oleh sistem imunitas tubuh host, tubuh
melakukan proteksi melalui 2 (dua) aspek yaitu imunitas non-sepesifik dan
spesifik, makrofag menjadi aktif memfagosit dan membersihkan dari semua yang
tidak dikenali (non-self). Peran Cell Mediated Immunity sebagai proteksi kedua
tubuh mulai mengenali DNA mengidentifikasi antigen dari M. leprae. Ternyata
makrofag mampu menelan M. leprae tetapi tidak mampu mencernanya. Limfosit
akan membantu makrofag untuk menghasilkan enzim dan juices agar proses
pencernaan dan pelumatan berhasil. Keterkaitan humoral immunity dan Cell
Mediated Immunity dalam membunuh basil kusta dapat memunculkan rentangan
spektrum gambaran klinik penyakit kusta seperti tipe Tuberkuloid – Tuberkuloid
(TT), tipe Borderline Tuberkuloid (BT), tipe Borgerline – Borderline (BB), tipe
Borderline Lepromatous (BL) dan tipe Lepromatous – Lepromatous

2. Penularan kusta

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi basiller (MB)
kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti
belum diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta
dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit. Timbulnya kusta bagi
seseorang tidak mudah, dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa faktor
antara lain :Faktor Sumber Penularan.Sumber penulatan adalah penderita kusta
tipe MB. Penderita MB inipun tidak akan menularkan kusta, apabila berobat
teratur.Faktor Kuman Kusta.Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia
antara 1 – 9 hari tergantung pada suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuamn
kusta yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.Faktor Daya
Tahan Tubuh.Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari
hasil penelitian menunjukkan gambaran sebagai berikut:
33

Dari 100 orang yang terpapar :

- 95 orang tidak menjadi sakit.


- 3 orang sembuh sendiri tanpa obat.
- 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh
pengobatan.
1.6.6 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pencegahan dari
Tuberkulosis, Diare, Tifoid, dan Kusta
a. TUBERKULOSIS

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terkena penyakit
TBC Paru :

1. Hindari kontak dengan penderita TBC


Sebisa mungkin hindari kontak dengan penderita batuk khususnya TBC.
Meski demikian, jangan sampai mendiskriminasi para penderita.

2.Gunakan Masker
Selalu sediakan masker saat berada di tempat umum terutama dalam ruangan
tertutup seperti bus, pesawat, kereta api, dan mal. Masker dapat mencegah
penyebaran kuman TBC.

3. Ventilasi atau saluran udara yang baik


Ventilasi dan saluran udara yang baik dapat menghambat penyebaran kuman
TBC. Bakteri tersebut dapat berkembang biak di lingkungan yang lemban.
Bakteri TBC juga bisa mati jika terkena cahaya matahari langsung.

4. Menjaga daya tahan tubuh


Sistem imun yang rendah membuat penularan TBC akan semakin mudah.
Hindari gaya hidup yang dapat membuat daya tahan tubuh menurun seperti
merokok dan begadang. Tingkatkan daya tahan tubuh denagn istirahat yang
cukup dan makan-makanan yang bergizi.
34

b. DIARE

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terkena diare :

1. Selalu pakai alas kaki

Diare sering disebabkan karena kuman atau bakteri yang masuk kedalam
tubuh melalui kulit. Ditempat yang becek atau banyak genangan air sering
menjadi tempat bersarangnya kuman dan bakteri. Bakteri dan kuman dapat masuk
kedalam tubuh melalui kulit kaki yaitu pada pori-pori kulit kita. Untuk mencegah
masuknya kuman atau bakteri penyebab diare maka pakailah alas kaki, apalagi
jika kita berada di tempat-tempat yang rentan terdapat banyak kuman dan bakteri
seperti jamban, maka pakailah alas kaki sebagai usaha cara mencegah diare
dan berbagai penyakit yang masuk.Alas kaki yang anda pakai pilihlah yang
nyaman agar anda bisa melakukan aktivitas dengan lancar. Apabila musim hujan
lebih sering terdapat genangan air di berbagai tempat sehingga anda harus lebih
perhatian dan hati-hati dalam menjaga kesehatan dan kebersihan tubuh anda.

2. Rajin cuci tangan

Tangan merupakan anggota tubuh kita yang sangat sering melakukan aktivitas
daripada anggota tubuh lainnya. Karena seringnya melakukan aktivitas sehingga
lebih rentan terdapat kuman ataupun bakteri akibat tertempel dari berbagia benda
yang kita pegang seperti memegang buku yang usang, memegang tangga ketika di
mall yang tangga itu telah dipegang oleh banyak orang yang tangannya belum
tentu bersih dari kuman dan bakteri. Untuk itu kita dianjurkan minimal mencuci
tangan setelah melakukan kegiatan, sebelum makan, setelah makan, setelah buang
air besar serta sebelum memegang bayi.Cuci tangan anda dengan menggunakan
sabun agar kuman dan bakteri benar-benar mati sehingga, tangan anda steril dan
bersih dari kuman dan bakteri. Tanamkan kebiasaan cuci tangan pada diri anda
serta pada keluarga anda terutama pada anak-anak. Kebiasaan mencuci tangan
35

pada anak-anak akan menjadi kebiasaan yang baik untuk menjaga kebersihan
serta kesehatan tubuh sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara sehat.

3. Jaga kebersihan lingkungan

Lingkungan tempat kita tinggal dan tempat kita beraktifitas seperti kerja
sangat perlu dijaga kebersihannya. Lingkungan yang bersih akan menjadikan
tubuh kita terhindar dari berbagai penyebab penyakit termasuk penyakit diare.
kebersihan lingkungan mencakup kebersihan rumah, halaman rumah, serta
selokan belakang rumah. Selokan yang mampet dapat menyebabkan mampetnya
air sehingga menciptakan genangan air yang dapat menjadi sarang berbagai bibit
penyakit.Sampah yang ada juga harus dikelola dengan baik agar tidak
menimbulkan banyak lalat menghinggapi. Bahaya makanan yang dihinggapi
lalat merupakan salah satu hewan yang dapat menghantarkan bibit penyakit. Bibit
penyakit yang dapat menyebabkan anda sakit perut serta diare jika dikonsumsi.

4. Masak makanan hingga matang

Faktor makanan juga sering menjadi faktor penyebab seseorang mengalami


diare. Makanan yang kita konsumsi harus diperhatikan kebersihannya karena jika
makanan yang kita konsumsi tidak bersih maka kuman atau bakteri yang terdapat
pada makanan dapat ikut masuk kedalam tubuh kita. Selain dengan mencuci
makanan yang akan kita konsumsi, usaha lain yang dapat kita lakukan untuk
mencegah kuman masuk kedalam tubuh kita yaitu dengan cara memasak makanan
sampai matang.

5. Simpan makanan di lemari es

Makanan yang masih ada simpanlah di dalam kulkas sehingga aman dari
berbagai bakteri dan kuman. Suhu kulkas yang dingin tidak mampu ditembus
kuman atau bakteri, mereka tidak nyaman berada pada suhu yang rendah.
36

Sebelum makanan akan dimakan kembali maka panasi terlebih dahulu. bakteri
dan kuman juga tidak bisa berada di suhu yang tinggi sehingga jika makanan
dipanasi atau dimasak pada suhu yang tinggi akan mematikan kuman dan bakteri
yang menempel pada makanan.Langkah ini dilakukan agar makanan yang kita
konsumsi selain enak juga sehat sehingga masuk ke dalam tubuh kita bisa
menjaga sumber tenaga bukan sumber penyakit. Makanan yang masuk kedalam
tubuh kita tetapi tidak steril maka dapat menjadikan sumber penyakit. Maka kita
harus sangat berhati-hati dengan makanan yang akan kita konsumsi.

6. Konsumsi air yang matang

Air merupakan sumber kehidupan bagi kita. Air mempunyai manfaat sangat
banyak untuk kehidupan dan tubuh kita. Tetapi hati-hati dalam menggunakan air
karena jika kita tidak jeli didalam air banyak terdapat kuman atau bakteri jika air
tidak dimasak, dipanaskan dengan sinar matahari ataupun dengan proses
kloronasi.

c. TIFOID

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terkena demam
tifoid ,yaitu sebagai berikut:

1. Cuci tangan sebelum dan sesudah mengolah makanan dan minuman, serta
setelah buang air kecil atau besar, maupun usai membersihkan kotoran,
misalnya saat mencuci popok bayi.
2. Jika ingin bepergian ke tempat yang memiliki kasus penyebaran tifus,
sebaiknya pastikan air yang akan diminum sudah direbus sampai matang.
3. Jika harus membeli minuman, sebaiknya beli air minum dalam kemasan.
4. Kurangi membeli jajanan secara sembarangan di pinggir jalan, karena
mudah sekali terpapar bakteri.
5. Hindari mengonsumsi es batu yang bukan dibuat sendiri.
37

6. Hindari mengonsumsi buah dan sayuran mentah, kecuali terlebih dahulu


dicuci dengan air bersih dan kulitnya dikupas.
7. Batasi konsumsi jenis-jenis makanan boga-bahari (seafood), terutama yang
masih mentah, karena tingkat kesegarannya sulit diketahui secara pasti.
8. Sebaiknya gunakan air matang untuk menggosok gigi atau berkumur,
terutama jika sedang berada di tempat yang belum dijamin kebersihannya.
9. Bersihkan kamar mandi secara teratur. Hindari bertukar barang pribadi,
seperti handuk, seprai, dan peralatan mandi. Cuci benda-benda tersebut
secara terpisah di dalam air hangat.
10. Hindari konsumsi susu yang tidak dipasteurisasi (bukan susu kemasan).
11. Konsumsi antibiotik yang diresepkan oleh dokter dan ikutilah petunjuk
pemakaian yang telah diberikan. Pengobatan antibiotik harus dilakukan
hingga periode pengobatan berakhir untuk mencegah resistensi obat.

d. KUSTA

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit kusta :

1. Menjaga daya tahan tubuh

Menjaga daya tahan tubuh adalah langkah awal yang harus Anda lakukan.
Mulai dari mengatur pola makan dan memperhatikan jenis makanan yang
dikonsumsi, menjaga tubuh agar dapat beristirahat cukup, dan rutin melakukan
olahraga 3-4 kali dalam seminggu. Agar lebih optimal, Anda juga bisa
mengonsumsi suplemen vitamin untuk mendukung kesehatan Anda.

2. Perhatikan ventilasi lingkungan sekitar

Kuman lepra bertahan hidup di luar tubuh manusia selama 24-48 jam atau
bisa lebih, tergantung pada suhu di sekitarnya. Karena semakin panas udara di
luar, semakin cepat kuman lepra akan mati. Perhatikan ventilasi di rumah atau
tempat kerja Anda. Pastikan sinar matahari bisa masuk ke dalam rumah, terutama
ke daerah yang lembap.
38

3. Hindari berpergian ke daerah endemik kusta

Apabila Anda berencana melakukan perjalanan, perhatikan keadaan daerah


yang Anda kunjungi. Beberapa negara berikut ini di laporkan memiliki 1.000
kasus baru penyakit kusta oleh WHO pada tahun 2011-2015

 Afrika: Congo, Ethiopia, Madagascar, Nigeria, Mozambique, dan


Tanzania
 Asia : Bangladesh, India, Myanmar, Nepal, Filipina, Indonesia
 Amerika : Brazil

4. Jika ada keluarga yang mengalami kusta, ingatkan untuk mengonsumsi


obat hingga sembuh

Mengonsumsi obat dan kontrol ke dokter atau fasilitas kesehatan secara rutin
dapat memutus rantai penularan kusta. Pengobatan yang rutin ini bisa mencegah
terjadinya kecacatan yang permanen pada penderita kusta.

5. Pakai masker dan jaga kebersihan

Menggunakan masker apabila kontak dengan penderita dapat membantu


Anda untuk mencegah penularan kuman lepra. Selain itu, jangan lupa untuk
menjaga kebersihan seperti cuci tangan setelah melakukan kontak dengan
penderita penyakit kusta.

1.6.7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan prognosis dari


Tuberkulosis, Diare, Tifoid, dan Kusta
a. TUBERKULOSIS

Prognosis tuberkulosis paru (TB paru) tergantung pada diagnosis dini dan
pengobatan. Tuberkulosis extra-pulmonary membawa prognosis yang lebih
buruk.
39

b. DIARE

Dengan penggantian Cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan


terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya sangat
baik dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan
penyakit, morbiditas dan mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut
usia. Di Amerika Serikat, mortalits berhubungan dengan diare infeksius < 1,0 %.
Pengecualiannya pada infeksi EHEC dengan mortalitas 1,2 % yang berhubungan
dengan sindrom uremik hemolitik.

c. TIFOID

Prognosis tifoid bergantung pada umur, keadaan umum, derajat kekebalan


penderita, jumlah dan virulensi salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan.
d. KUSTA

Prognosis penyakit kusta bergantung pada tipe kusta apa yang diderita oleh
pasien, akses ke pelayanan kesehatan, dan penanganan awal yang diterima oleh
pasien.Relaps pada penderita kusta terjadi sebesar 0,01 – 0,14 % per tahun dalam
10 tahun. Perlu diperhatikan terjadinya resistensi terhadap dapson atau
rifampisin.Karena berkurangnya kemampuan imunitas tubuh, kehamilan pada
pasien kusta wanita yang berusia dibawah 40 tahun dapat mempercepat timbulnya
relaps atau reaksi, terutama reaksi tipe 2. Secara keseluruhan, prognosis kusta
pada anak lebih baik karena pada anak jarang terjadi reaksi kusta

1.6.8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penatalaksaan dari


Tuberkulosis, Diare, Tifoid, dan Kusta
a. TUBERKULOSIS

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3


bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari
paduan obat utama dan tambahan. Obat utama yang dipakai dalam terapi
Tuberculosis Paru antara lain sebagai berikut :
40

1) Rifampisin

Rifampisin ; 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu atau (BB > 60
kg : 600 mg, BB 40-60 kg : 450 mg, BB < 40 kg : 300 mg, Dosis intermiten
600 mg / kali) Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni,
keringat, air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses
metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada
penderita agar dimengerti dan tidak perlu khawatir. Efek samping ringan yang
dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik ialah :

- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang


- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

2) Isoniazid (INH)

Dosis yang diberikan untuk obat INH adalah 5 mg/kg BB, maksimal
300mg, 10 mg /kg BB 3 X seminggu, 15 mg/kg BB 2 X semingggu atau (300
mg/hari untuk dewasa. lntermiten : 600 mg / kali). Efek samping ringan dapat
berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di
kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin
dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan
tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai
defisiensi piridoksin (syndrom pellagra). Efek samping berat dapat berupa
hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi
hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan
pedoman TB pada keadaan khusus.

3) Pirazinamid

Obat ini digunakan pada saat fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X
semingggu, 50 mg /kg BB 2 X semingggu atau : BB > 60 kg : 1500 mg, BB
40-60 kg : 1 000 mg, BB < 40 kg : 750 mg Efek samping utama ialah hepatitis
41

imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus).


Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadangkadang dapat
menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan
berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi
reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.

4) Streptomisin

Pada obat streptomisin ini di berikan dosis 15mg/kgBB atau (BB >60kg :
1000mg, BB 40 - 60 kg : 750 mg, BB < 40 kg : sesuai BB). Efek samping
utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur
penderita.

5) Etambutol
Untuk obat ini diberikan fase intensif dengan dosis 20mg /kg BB, fase
lanjutan 15 mg/kg BB, 30mg/kg BB 3X seminggu, 45 mg/kg BB 2 X
seminggu atau : (BB >60kg : 1500 mg, BB 40 -60 kg : 1000 mg, BB < 40 kg :
750 mg, Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali). Etambutol dapat menyebabkan
gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk
warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut
tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25
mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu.
Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah
obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko
kerusakan okuler sulit untuk dideteksi TBC.
b. DIARE
1) Pemberian cairan
Pemberian cairan pada pasien diare dan memperhatiakn derajat
dehidrasinya dan keadaan umum.
a) Pemberian cairan pasien dengan dehidrasi ringan dan sedang
42

Cairan diberikan per oral berupa cairan yang berisikan NaCl dan
Na HCO3, KCl dan glukosa untuk diare akut dan karenapada anak di atas
umur 6 bulan kadar natrium 90 ml g/L. Pada anak dibawah 6 bulan
dehidrasi ringan / sedang kadar natrium 50-60 mfa/L, formula lengkap
sering disebut : oralit.
b) Cairan parontenal
Sebenarnya ada beberapa jenis cairan yang diperlukan sesuai
dengan kebutuhan pasien, tetapi kesemuanya itu tergantugn tersedianya
cairan stempat. Pada umumnya cairan Ringer laktat (RL) diberikan
tergantung berat / rignan dehidrasi, yang diperhitugnkan dengan
kehilangan cairan sesuai dengan umur dan BB-nya.
- Belum ada dehidrasi
Per oral sebanyak anak mau minum / 1 gelas tiap defekasi.
- Dehidrasi ringan
1 jam pertama : 25-50 ml / kg BB per oral
selanjutnya : 125 ml / kg BB / hari
- Dehidrasi sedang
1 jam pertama : 50-100 ml / kg BB per oral (sonde)
selanjutnya 125 ml / kg BB / hari
- Dehidrasi berat Tergantung pada umur dan BB pasien.

2) Pengobatan dietetik
Untuk anak di bawah 1 tahun dan anak di atas 1 tahun dengan BB
kurang dari 7 kg jenis makanan :
- Susu (ASI adalah susu laktosa yang mengandung laktosa rendah dan asam
lemak tidak jenuh, misalnya LLM, al miron).
- Makanan setengah padar (bubur) atau makanan padat (nasitim), bila anak
tidak mau minum susu karena di rumah tidak biasa.
- Susu khusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan susu
dengan tidak mengandung laktosa / asam lemak yang berantai sedang /
tidak sejuh.
43

3) Obat-obatan
Prinsip pengobatan diare adalah mengganti cairan yang hilang
melalui tinja dengan / tanpa muntah dengan cairan yang mengandung
elektrolit dan glukosa / karbohidrat lain (gula, air tajin, tepung beras sbb).
- Obat anti sekresi
Asetosal, dosis 25 mg/ch dengan dosis minimum 30 mg.
Klorrpomozin, dosis 0,5-1 mg / kg BB / hari
- Obat spasmolitik, dll umumnya obat spasmolitik seperti papaverin, ekstrak
beladora, opium loperamia tidak digunakan untuk mengatasi diare akut
lagi, obat pengeras tinja seperti kaolin, pektin, charcoal, tabonal, tidak ada
manfaatnya untuk mengatasi diare sehingg tidak diberikan lagi.
- Antibiotik
Umumnya antibiotik tidak diberikan bila tidak ada penyebab yang jelas
bila penyebabnya kolera, diberiakn tetrasiklin 25-50 mg / kg BB / hari.
Antibiotik juga diberikan bile terdapat penyakit seperti : OMA, faringitis,
bronkitis / bronkopneumonia.
c. TIFOID

Penggunaan antibiotik merupakan terapi utama pada demam tifoid, karena


pada dasarnya patogenesis infeksi Salmonella Typhi berhubungan dengan
keadaan bakterimia.Pemberian terapi antibiotik demam tifoid pada anak akan
mengurangi komplikasi dan angka kematian, memperpendek perjalan penyakit
serta memperbaiki gambaran klinis salah satunya terjadi penurunan demam.2
Namun demikian pemberian antibiotik dapat menimbulkan drug induce fever,
yaitu demam yang timbul bersamaan dengan pemberian terapi antibiotik dengan
catatan tidak ada penyebab demam yang lain seperti adanya luka, rangsangan
infeksi, trauma dan lain-lain.Demam akan hilang ketika terapi antibiotik yang
digunakan tersebut dihentikan.20,21 Kloramfenikol masih merupakan pilihan
pertama pada terapi demam tifoid, hal ini dapat dibenarkan apabila sensitivitas
Salmonella Typhi masih tinggi terhadap obat tersebut.Tetapi penelitian-penelitian
44

yang dilakukan dewasa ini sudah menemukan strain Salmonella Typhi yang
sensitivitasnya berkurang terhadap kloramfenikol,untuk itu antibiotik lain seperti
seftriakson, ampisilin, kotrimoksasol atau sefotaksim dapat digunakan sebagai
pilihan terapi demam tifoid.

1) Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotik lini pertama terapi demam
tifoid yang bersifat bakteriostatik namun pada konsentrasi tinggi dapat
bersifat bakterisid terhadap kuman- kuman tertentu serta berspektrum luas.
Dapat digunakan untuk terapi bakteri gram positif maupun
negatif.Kloramfenikol terikat pada ribosom subunit 50s serta menghambat
sintesa bakteri sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada proses sintesis
protein kuman.Sedangkan mekanisme resistensi antibiotik ini terjadi
melalui inaktivasi obat oleh asetil transferase yang diperantarai faktor-
R.Masa paruh eliminasinya pada bayi berumur kurang dari 2 minggu
sekitar 24 jam.Dosis untuk terapi demam tifoid pada anak 50-100
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis.Lama terapi 8-10 hari setelah suhu
tubuh kembali normal atau 5-7 hari setelah suhu turun. Sedangkan dosis
terapi untuk bayi 25-50 mg/kgBB.

2) Seftriakson
Seftriakson merupakan terapi lini kedua pada kasus demam tifoid
dimana bakteri Salmonella Typhi sudah resisten terhadap berbagai obat.
Antibiotik ini memiliki sifat bakterisid dan memiliki mekanisme kerja
sama seperti antibiotik betalaktam lainnya, yaitu menghambat sintesis
dinding sel mikroba, yang dihambat ialah reaksi transpeptidase dalam
rangkaian reaksi pembentukan dinding sel.Dosis terapi intravena untuk
anak 50-100 mg/kg/jam dalam 2 dosis, sedangkan untuk bayi dosis
tunggal 50 mg/kg/jam.
45

3) Ampisilin
Ampisilin memiliki mekanisme kerja menghambat pembentukan
mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba.Pada
mikroba yang sensitif, ampisilin akan menghasilkan efek bakterisid.Dosis
ampisilin tergantung dari beratnya penyakit, fungsi ginjal dan umur
pasien.Untuk anak dengan berat badan <20 kg diberikan per oral 50-100
mg/kgBB/hari dalam 4 dosis, IM 100-200 mg/kg/BB/hari dalam 4
dosis.Bayi yang berumur <7 hari diberi 50 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis,
sedangkan yang berumur >7 hari diberi 75 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis.

4) Kotrimoksasol
Kotrimoksasol merupakan antibiotik kombinasi antara trimetoprim
dan sulfametoksasol, dimana kombinasi ini memberikan efek
sinergis.Trimetoprim dan sulfametoksasol menghambat reaksi enzimatik
obligat pada mikroba.Sulfametoksasol menghambat masuknya molekul P-
Amino Benzoic Acid (PABA) ke dalam molekul asam folat, sedangkan
trimetoprim menghambat enzim dihidrofolat reduktase mikroba secara
selektif.Frekuensi terjadinya resistensi terhadap kotrimoksasol lebih
rendah daripada masing-masing obat, karena mikroba yang resisten
terhadap salah satu komponen antibiotik masih peka terhadap komponen
lainnya.Dosis yang dianjurkan untuk anak ialah trimetoprim 8
mg/kgBB/hari dan sulfametoksasol 40 mg/kgBB/hari diberikan dalam 2
dosis.

5) Sefotaksim
Sefotaksim merupakan antibiotik yang sangat aktif terhadap
berbagai kuman gram positif maupun gram negatif aerobik.Obat ini
termasuk dalam antibiotik betalaktam, di mana memiliki mekanisme kerja
menghambat sintesis dinding sel mikroba.Mekanisme penghambatannya
melalui reaksi transpeptidase dalam rangkaian reaksi pembentukan
dinding sel. Dosis terapi intravena yang dianjurkan untuk anak ialah 50 –
46

200 mg/kg/h dalam 4 – 6 dosis.Sedangkan untuk neonatus 100 mg/kg/h


dalam 2 dosis.
d. KUSTA
1) Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan
pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi
rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini
bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat,
mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO
1995 sebagai berikut:
a) Tipe PB (Pause Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
- Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
- DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah

Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah


selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya
masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi
menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi
dalam pengawasan.

b) Tipe MB (Multi Basiler)


Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
- Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
- Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg /hari diminum dirumah
- DDS 100 mg/hari diminum dirumah
47

Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan


selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya
masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998)
pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18
bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

2) Perawatan Umum
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah
kecacatan. terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi
saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu
keadaan reaksi netral.
a) Perawatan mata dengan lagophthalmos
- Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau
kotoran
- Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
- Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
b) Perawatan tangan yang mati rasa
- Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda- tanda
luka, melepuh
- Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang
setengah jam
- Keadaan basah diolesi minyak
- Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
- Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
- Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
c) Perawatan kaki yang mati rasa
- Penderita memeriksa kaki tiap hari
- Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
- Masih basah diolesi minyak
- Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
48

- Jari-jari bengkok diurut lurus


- Kaki mati rasa dilindungi
d) Perawatan luka
- Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
- Luka dibalut agar bersih
- Bagian luka diistirahatkan dari tekanan

Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas


49

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpula

Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis yang dapat menyerang pada berbagai organ tubuh mulai dari paru
dan organ di luar paruseperti kulit, tulang, persendian, selaput otak, usus serta
ginjal yang sering disebut dengan ekstrapulmonal TBC.

Diare adalah sebuah penyakit di saat tinja atau feses berubah menjadi cair
yang biasanya terjadi paling sedikit tiga kali dalam 24 jam. Diare disebabkan oleh
virus Yirus. Rotavirus (40-60%), Adenovirus. Dan bakteri: Eschericfia coli (20-
30%), Shigella sp. (1-2%), Vibrio cholera.

Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan
nama yang menemukan kuman. Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh
infeksi Mycobacterium leprae. Kusta menyerang berbagai bagian tubuh
diantaranya saraf dan kulit. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada
saraf tepi dan mukosa dari saluran pernafasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda
yang bisa diamati dari luar

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai


saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan
pada pencernaan, dan gangguan kesadaran. Penyebab penyakit ini adalah
Salmonella typhi yang mempunyai ciri-ciri basil Gram negatif.

1.7. Saran

Prefalensi Tuberculosis, Diare, Tifoid, dan Kusta oleh lembaga-lembaga


terkait, baik melalui upaya preventif maupun kuratif. Perlu dilakukan
penyebarluasan informasi mengenai faktor resiko penyakit kepada masyarakat
pada umumnya dan pada kelompok dengan resiko tinggi pada khususnya.
50

Masyarakat dihimbau untuk tetap menjaga tingkat kebersihan lingkungan dan


tingkat kebersihan makanan.
51

DAFTAR PUSTAKA

Jahja Riawati,Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia


, tahun 2010.

Umar Zein Khalid Huda Sagala Josia Ginting Fakultas Kedokteran


Divisi,Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Sumatera Utara.tahun, 2000

A.A Made Sucipta1 1Dosen Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan


Denpasar Agungmade, October 21, 2002.

Retno Asti Werdhani, “Pathofisiologi,Diagnosis, dan Klasifikasi Tuberkulosis”,


Dapertemen Ilmu Kedokteran Komunikasi. tahun 2003.

Drh.Hiswani,MKes,”Diare merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat


yang kejadiannya sangat erat dengan keadaan santiasi lingkungan“Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara.tahun,2003.

Aditama,TY.(2005). Tuberkulosis Paru: Masalah dan penanggulangannya.


Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta : Alpers.

Asmadi. 2008.Tehnik Prosedural Keperawatan: Konsep Aplikasi


Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai