Anda di halaman 1dari 28

I.

PENDAHULUAN

Spondyloarthritis atau spondyloarthropathy adalah nama untuk


sekumpulan dari peradangan rehumatik yang menyebabkan arthritis, jenis
yang tersering ialah ankylosing spondylitis, yang dominan meyerang tulang
belakang, diantara lain adalah, axial spondyloarthrits, yang sering menyerang
tulang belakang dan pelvis, peripheral spondyloarthritis yang sering
menyerang kaki dan tangan, reaktif arthritis ( reiter’s syndrom), psoriatic
arthritis dan enteropathic arthritis ( yang diasosiasikan dengan irritable bowel
dissease ).

Spondyloarthritis merupakan penyakit inflamasi kronik, bersifat


sistemik, ditandai dengan kekakuan progresif, dan terutama menyerang sendi
tulang belakang (vertebra) dengan penyebab yang tidak diketahui. Penyakit
ini dapat melibatkan sendi-sendi perifer, sinovia, dan rawan sendi, serta
terjadi osifikasi tendon dan ligamen yang akan mengakibatkan fibrosis dan
ankilosis tulang. Terserangnya sendi sakroiliaka merupakan tanda khas
penyakit ini. Ankilosis vertebra biasanya terjadi pada stadium lanjut dan
jarang terjadi pada penderita yang gejalanya ringan.

Dalam sepuluh tahun terakhir penelitan spondyloathritis mengalami


banyak perkembangan, terutama mengenai pengobatan, diagnosa awal, dan
pemeriksaan penunjang.

insidensnya sebanding dengan artritis rematoid. Sekitar 20% donor


darah dengan HLA-B27 menderita kelainan sakroilitis. Manifestasi biasanya
dimulai pada masa remaja dan jarang di atas 40 tahun, lebih banyak pada pria
daripada wanita (5 : 1). Angka kekerapan bervariasi antara 1,0--4,7%.3-7.
Dalam referat ini, akan dibahas dari mulai spondyloarthtis itu sendiri sanmpai
dengan penanganan spondyloarthritis.
Ada dua perberdaan mendasar antara spondyloarthritis dengan rheumatoid
arthritis. Perbedaan untamanya adalah antibodi yang dinamakan rheumatoid
faktor. Rheumatoid arthrits merupakan tipe peradangan arthritis dan penderita
memilika faktor rheumatoid dan dinamakan seropositif, sedangkan
spondyloarthritis adalah tipe peradangan arthritis yang tidak memiliki
antibodi rheumatoid faktor sehingga dinamakan seronegatif
spondyloarthropathy, atau seronegatif arthritis.

Keseluruhan prevalensi dari AS adalah 0,25 persen, dan lebih sering terjadi
pada pria, tiga laki-laki yang didiagnosis dengan AS untuk setiap satu
perempuan. Namun, banyak rheumatologists percaya jumlah wanita dengan
AS adalah kurang terdiagnosis, karena kebanyakan wanita cenderung
mengalami gejala ringan. [ 31 ]Sebagian besar pasien, termasuk 95 persen
pasien putih, AS mengekspresikan HLA-B27 antigen [ 32 ] dan tinggi
tingkat immunoglobulin A (IgA) dalam darah. Timbulnya penyakit ini
biasanya antara 15 dan 25 tahun. [ 32 ]

HLA-B27 antigen juga diungkapkan oleh Klebsiella bakteri, yang


ditemukan dalam kadar tinggi dalam tinja dari pasien AS. Sebuah teori
menunjukkan adanya bakteri dapat menjadi pemicu penyakit, dan
mengurangi jumlah pati dalam diet (yang bakteri ini perlu tumbuh) dapat
bermanfaat bagi pasien AS. Sebuah tes diet ini mengakibatkan gejala
berkurang dan peradangan pada pasien dengan AS serta tingkat IgA pada
individu dengan dan tanpa AS. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
menentukan apakah perubahan diet mungkin memiliki efek klinis pada
perjalanan penyakit .

B. Spondyloarthritis
1. Definisi

Spondyloarthropathies (SpA) adalah kelompok arthritis inflamasi


yang terdiri dari ankylosing spondylitis (AS), reaktif arthritis, arthritis /
spondylitis berhubungan dengan psoriasis (PSA) dan arthritis / spondylitis
terkait dengan penyakit radang usus (IBD). Hubungan dengan antgen
leukosit manusia ( HLA) – b27, keterlibatan perifer terutama dari ekstremitas
bawah, sakroiliitis, spondilitis, enthesitis, dactylitis, uveitis, lesi mukosa usus
dan lesi kulit adalah manifestasi bersama dari penyakit tersebut. Kategorisasi
seorang pasien individu menjadi subset dari SpA bisa sulit karena kurangnya
kriteria yang jelas untuk diagnosis [ 3 ]. Yang baru dikembangkan Penilaian
spondyloarthritis International Society (ASAS) mengusulkan kriteria
klasifikasi untuk mengklasifikasikan SpA sesuai dengan manifestasi klinis
terkemuka, terutama aksial atau didominasi perifer, dengan atau tanpa
psoriasis terkait, IBD atau infeksi sebelumnya.

2. Etiologi

Masih belum diketahui secara pasti etiologi dari spondyloarthritis tapi


diduga karena dipengatuhi oleh faktor genetik yaitu adanya HLA – B27, HLA
–B27 terdapat pada permukaan sel darah putih ditemukan terutama pada jenis
ankylosing spondylitis.

Faktor genetik sangat mempengaruhi dari etiologi spondyloartritis,


karena gen HLA – B27. Antigen leukosit manusia B27-B merupakan alel HLA
dari MHC kelas I molekul dan merupakan penanda genetik kerentanan
didirikan paling untuk AS. HLA-B27 gen menunjuk sebuah keluarga paling
sedikit 31 terkait erat alel, yang dikenal sebagai subtipe. Tidak semua subtipe
yang terkait dengan AS, HLA-B * 2705 ditemukan dalam semua populasi,
seperti induk HLA B27-molekul. Sebagian besar subtipe adalah hasil dari satu
atau lebih substitusi asam amino sebagian besar akibat dari perubahan dalam
ekson 2 dan 3 yang menyandi-alpha 1 dan alpha-2 domain dari rantai berat
dan sepanjang pola geografis tertentu. Subtipe yang paling umum (HLA-B *
2705, B * 2702, B * 2704, dan B * 2707) berhubungan dengan AS. Subtipe
HLA-B * 2706 dan B * 2709, yang ditemukan di Asia Tenggara dan Sardinia,
masing-masing, tidak berhubungan dengan AS.

Fungsi utama dari molekul HLA Kelas I adalah untuk menyajikan


antigen peptida ke αß reseptor pada sel T-sitotoksik (CD8 +) T limfosit. HLA
Kelas I molekul terdiri dari rantai 45-kD berat polimorfik, noncovalently
dikomplekskan dengan rantai cahaya larut nonpolymorphic, 12-kD unit
monomorfik, ß2m. Rantai berat itu sendiri terdiri dari 3 domain, α1, α2, α3.
Yang 2 pertama domain bersama-sama membentuk 2 heliks antiparalel
beristirahat pada platform lembar lipit 8-terdampar, yang itu sendiri bertumpu
pada struktur 2 gentong berasal dari domain ketiga dan ß2m. Beristirahat di
dalam platform merupakan peptida antigenik yang biasanya 8-11 asam amino
panjang. Peptida ini berasal dari protein endogen dan dari protein dari virus
dan bakteri yang telah menginvasi sel. Peptida antigenik yang bersentuhan
dengan rantai berat di beberapa lokasi yang dikenal sebagai "kantong." Saku
ini ditujukan AF sepanjang platform. Fitur yang membedakan HLA-B27 dari
HLA Kelas lain yang paling aku alel adalah residu dari saku yang disebut B-
jadi dari rantai berat. Ini saku B menampung residu kedua peptida antigenik.
Residu asam glutamat lapisan ini saku HLA-B27 B sangat penting,
mendiktekan bahwa saku B HLA-B27 dapat menampung hanya residu
arginin dari peptida. Sebagai akibatnya, residu peptida yang paling cocok
adalah arginin. Memang, urutan peptide HLA-B27 endogen menujukkan
bahwa peptide antigenik paling terkait dengan HLA-B27 memiliki arginin
sebagai residu kedua.

Dalam sel-antigen penyajian, molekul MHC menyajikan peptida yang


berasal dari antigen ke sel T CD8. Para peptida terbentuk dari degradasi
protein dalam sitoplasma oleh proteasomes. Peptida pendek ini diangkut ke
ER di mana mereka bertemu MHC kelas I molekul. Molekul MHC kelas I
melipat dengan peptida yang kemudian diangkut ke permukaan sel melalui
aparatus Golgi. Pengakuan kompleks MHC-peptida oleh reseptor T-sel dari
limfosit T antigen-spesifik melengkapi presentasi antigen.

3. Patogenesis

Berbeda dengan rheumatoid arthritis yang menyerang membran


sinovial, ankylosing spondylitis menyerang bagian dari insersi tendon,
ligamen, fascia dan jaringan fibrosa kapsul sendi dan dinamakan "entheses".
Proses patologis adalah salah satu proses fibrosis progresif dan pengerasan
dalam jaringan lunak periarticular: yang dinamakan proses "enthesopathy".

Penyakit ini secara perlahan menyebar sepanjang tulang belakang


yang mempengaruhi capsul posterior facet join. Lumbal vertebra mungkin
dapat terkena pada stadium dini. Tulang vertebra juga dapat menjadi rigid
atau kaku. Elemen sistemik yang terlibat meliputi mata, paru, jantung dan
kelenjar prostat.
Psoriatic arthritis telah lama diketahui terjadi dalam
keluarga. Kemungkinan peran faktor genetik diilustrasikan oleh
pengamatan.

 Sekitar 40 persen pasien dengan psoriasis atau PSA memiliki riwayat


keluarga gangguan ini pada keluarga tingkat pertama
 Studi keluarga di PSA telah menunjukkan bahwa penyakit ini adalah
55 kali lebih mungkin terjadi di antara kerabat tingkat pertama
dibandingkan kelompok kontrol yang tidak berhubungan. Sebuah
peningkatan yang signifikan risiko PSA antara tingkat pertama
kerabat pasien dengan PSA juga telah dijelaskan [ Tingkat kesesuaian
untuk PSA jauh lebih tinggi dari itu untuk psoriasis (30 versus 7
persen) [ 8 ].
 Ada konkordansi besar untuk psoriasis antara kembar monozigot
daripada di antara kembar dizigot [ 6 ].

HLA antigen - Penemuan major histocompatibility complex pada kromosom


enam diizinkan studi lebih lanjut faktor genetik dalam PSA. Sejumlah
asosiasi telah diidentifikasi:

 Antigen leukosit manusia (HLA)-B13, HLA-B17, HLA-B57, dan


HLA-Cw * 0602 terjadi dengan peningkatan frekuensi pada pasien
dengan PSA bila dibandingkan dengan populasi umum
 HLA berikut alel secara signifikan terkait dengan PSA dibandingkan
dengan psoriasis dalam analisis regresi multivariat yang
membandingkan 712 pasien PSA dengan 335 pasien psoriasis dan 713
kontrol yang sehat: B * 8, B * 27 * 38 B, dan C * 06. Haplotipe
independen terkait dengan PSA dibandingkan dengan psoriasis
termasuk HLA-B * 18, HLA-C * 07, HLA-B * 27, HLA-B38, dan
HLA-B * 8. Nilai tertinggi prediksi positif tercatat dengan HLA-B27
(dengan asumsi prevalensi 30 persen PSA pada pasien dengan
psoriasis, PPV = 0,64)
 Pasien dengan PSA, bila dibandingkan dengan mereka dengan
psoriasis tidak rumit, menunjukkan peningkatan frekuensi HLA
antigen B7 dan B27 dan frekuensi yang lebih rendah dari HLA-DR7
dan HLA-CW7 .Namun, frekuensi HLA-B27 dalam PSA tidak
setinggi seperti di ankylosing spondylitis atau artritis reaktif, dan
sejumlah pasien dengan psoriasis dan spondyloarthropathy adalah
HLA-B27 negatif. Selain itu, banyak pasien dengan PSA dan HLA-
B27 tidak memiliki manifestasi tulang belakang.
 Beberapa, tetapi tidak semua, penelitian telah menunjukkan hubungan
antara PSA dan HLA-DR4, antigen yang telah terbukti berhubungan
dengan rheumatoid arthritis. Namun, asosiasi ini dapat ditunjukkan
hanya pada pasien dengan PSA yang memiliki polyarthritis.
HLA-DRB1 * 04 alel pada pasien dengan PSA berbeda dengan pada
pasien dengan rheumatoid arthritis (RA). HLA-DRB1 * 0401 alel
hadir lebih jarang di antara HLA-DRB1 * 04 pasien positif dengan
PSA dibandingkan mereka dengan RA, sedangkan HLA-DRB1 *
0402 lebih sering pada mereka dengan PSA dibandingkan pada
mereka dengan RA].Prevalensi satu atau lebih dari ansambel HLA-
DRB1 alel yang terkait dengan RA, secara kolektif disebut sebagai
pengkodean "bersama epitop" (SE), tidak secara signifikan lebih besar
pada pasien PSA daripada kelompok kontrol yang sehat, tetapi
kehadiran salah satu ini alel SE meningkat pada orang dengan
penyakit erosif. HLA-B27 antigen di hadapan HLA-DR7, HLA-DQ3
dalam ketiadaan HLA-DR7, dan HLA-B39 adalah prediktor untuk
perkembangan penyakit, sedangkan HLA-B22 adalah pelindung
 Gen PSORS1, dilaporkan HLA-Cw * 06:02, adalah wilayah
kerentanan terkuat untuk psoriasis. Dalam sebuah penelitian terhadap
909 pasien PSA, TNF-857T *, sebuah gen yang meningkatkan
transkripsi tumor necrosis factor (TNF), adalah alel risiko PSA
independen PSORS1
 Dalam perbandingan kasus PSA dengan pasien psoriasis dan tidak ada
penyakit muskuloskeletal yang ditentukan oleh rheumatologist,
frekuensi HLA-C * 0602 secara signifikan lebih rendah di PSA. HLA-
C * 06 dikaitkan dengan interval yang lebih panjang antara timbulnya
kulit dan penyakit sendi, sedangkan B * 27 alel secara signifikan
meningkat frekuensinya dalam PSA dan dikaitkan dengan interval
pendek antara waktu onset kulit dan penyakit sendi

Sementara pathogenesis dari sindrom reiter adalah Genetik ditentukan


HLA-B27 terkait pola reaktivitas terhadap infeksi tertentu memainkan peran
kunci dalam patogenesis sindrom Reiter dan arthritides terkait. Sejauh ini
patogen enterik Shigella, Salmonella, Yersinia dan Campylobacter serta
Chlamydia diperoleh seksual secara serius telah dicurigai sebagai agen
memicu. Namun infeksi oleh mikroba ini tidak menjelaskan semua kasus,
menyiratkan bahwa lainnya, sampai sekarang tidak diketahui faktor etiologi
yang terlibat. Patogen enterik atas berbagi fitur keterlibatan mukosa,
sedangkan invasi kelenjar getah bening dan bakteremia tidak terjadi pada
infeksi shigella. Jadi fitur terakhir adalah penentu hampir penting dalam
patogenesis arthritis. Mikroba milik flora mikroba asli manusia, seperti yang
umum patogen saluran kemih, belum dikaitkan dengan arthritis reaktif. Studi
telah dilakukan pada respon imun humoral dan seluler di Yersinia dan infeksi
klamidia ditemani dan tidak disertai dengan radang sendi, tetapi mereka tidak
menunjukkan adanya fitur pemersatu yang bisa menjelaskan patogenesis
arthritis. Ada kemungkinan bahwa subjek HLA-B27-positif terlalu sensitif
terhadap beberapa mediator peradangan.
4. Gejala klinis

Peradangan ringan sampai menengah biasanya bergantian dengan


periode tanpa gejala. Gejala yang paling sering ditemukan adalah nyeri
punggung, yang intensitasnya bervariasi dari satu episode ke episode lainnya
dan bervariasi pada setiap penderita. Nyeri sering memburuk di malam hari.

Kekakuan di pagi hari yang akan hilang jika penderita melakukan


aktivitas,juga sering ditemukan. Nyeri punggung dan kejang otot-ototnya
seringkali bisa berkurang jika penderita membungkukkan badannya ke depan.
Karena itu penderita sering mengambil posisi membungkuk, yang bisa
menyebabkan bungkuk menetap bila tidak diobati.

Pasien dengan ankylosing spon


mempengaruhi tulang belakang
dan dada atas. Tulang punggung
telah menyatu dalam posisi tertek
Pada penderita lainnya, tulang belakang dengan jelas tampak lurus
dan kaku. Nyeri punggung bisa disertai dengan hilangnya nafsu makan,
penurunan berat badan, kelemahan dan anemia.

Jika sendi yang menghubungkan tulang iga dan tulang belakang


meradang, rasa nyeri akan membatasi kemampuan dada untuk mengembang
dan untuk menarik nafas dalam. Kadang-kadang nyeri dimulai di sendi yang
besar, seperti panggul, lutut dan bahu.

Sepertiga penderita mengalami serangan berulang dari peradangan


mata (iritisakut),yang biasanya tidak mengganggu penglihatan.

Pada penderita lainnya, peradangan bisa menyerang katup jantung.


Jika kerusakan tulang belakang menekan saraf atau urat saraf tulang belakang,
bisa timbul mati rasa, kelemahan atau nyeri di daerah yang
dipersarafinya.Sindroma kauda equina (Sindroma Ekor Kuda) merupakan
komplikasi yang jarang, berupa gejala yang timbul jika kolumna tulang
belakang yang meradang, menekan sejumlah saraf yang berjalan dibawah
ujung urat saraf tulang belakang. Gejalanya berupa impotensi, inkontinensia
uri di malamhari, sensasi yang berkurang pada kandung kemih dan rektum
dan hilangnya refleks mata kaki.

Manifestasi pada Tulang.

Keluhan yang umum dan karakteristik awal penyakit ialah nyeri


pinggang dan sering menjalar ke paha. Nyeri biasanya menetap lebih dari 3
bulan, disertai dengan kaku pinggang pada pagi hari, dan membaik dengan
aktivitas fisik atau bila dikompres air panas. Nyeri pinggang biasanya tumpul
dan sukar ditentukan lokasinya, dapat unilateral atau bilateral. Nyeri bilateral
biasanya menetap, beberapa bulan kemudian daerah pinggang bawah menjadi
kaku dan nyeri. Nyeri ini lebih terasa seperti nyeri bokong dan bertambah
hebat bila batuk, bersin, atau pinggang mendadak terpuntir. Inaktivitas lama
akan menambah gejala nyeri dan kaku. Keluhan nyeri dan kaku pinggang
merupakan keluhan dari 75% kasus di klinik. Nyeri tulang juksta-artikular
dapat menjadi keluhan utama, misalnya entesis yang dapat menyebabkan
nyeri di sambungan kostosternal, prosesus spinosus, krista iliaka, trokanter
mayor, tuberositas tibia atau tumit. Keluhan lain dapat berasal dari sendi
kostovertebra dan manubriosternal yang menyebabkan keluhan nyeri dada,
sering disalahdiagnosiskan sebagai angina.

Manifestasi di Luar Tulang

Manifestasi di luar tulang terjadi pada mata, jantung, paru, dan


sindroma kauda ekuina. Manifestasi di luar tulang yang paling sering adalah
uveitis anterior akut, biasanya unilateral, dan ditemukan 25--30% pada
penderita SA dengan gejala nyeri, lakrimasi, fotofobia, dan penglihatan
kabur. Manifestasi pada jantung dapat berupa aorta insufisiensi, dilatasi
pangkal aorta, jantung membesar, dan gangguan konduksi. Pada paru dapat
terjadi fibrosis, umumnya setelah 20 tahun menderita SA, dengan lokasi pada
bagian atas, biasanya bilateral, dan tampak bercak-bercak linier pada
pemeriksaan radiologis, menyerupai tuberculosis.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pola gejala-gejalanya dan foto
rontgen dari tulang belakang dan sendi yang terkena, dimana bisa dilihat
adanya erosi pada persendian antara tulang belakang dan tulang panggul
(sendi sakroiliaka) dan pembentukan jembatan antara tulang belakang, yang
menyebabkan kekakuan pada tulang belakang. Laju endap darah cenderung
meningkat. Pada 90% penderita ditemukan gen spesifik HLA-B27

Clinical symptoms or past history: 1


Lumbar or dorsal pain during the night, or morning stiffness of lumbar
or
dorsal spine
Asymmetric oligoarthritis 2
Buttock pain 2
Sausage-like toe or digit (dactylitis ) 2
Heel pain or any other well defined enthesiopathy (enthesitis)* 2
Iritis 2
Non-gonococcal urethritis or cervicitis accompanying, or within 1 1
month
before, the onset of arthritis
Acute diarrhoea accompanying, or within 1 month before, the onset of 1
Arthritis
Presence or history of psoriasis, balanitis, or inflammatory bowel 2
disease
(ulcerative colitis or Crohn disease)
Radiological finding: 3
Sacroiliitis (grade >2 if bilateral; grade >3 if unilateral
Genetic background: 2
Presence of HLA-B27, or familial history of ankylosing spondylitis,
Reiter
syndrome, uveitis, psoriasis, or chronic enterocolopathies
Response to treatment: 2
Good response to NSAIDs in less than 48 h, or relapse of the pain in
less
than 48 h if NSAIDs discontinued
Kriteria diagnosa untuk spondyloarthritis

Kriteria klinik

1. Nyeri pinggang dan kekakuan > 3 bulan, yang tidak reda dengan
istirahat
2. Nyeri dan kekaknan pada regio thorax
3. Gerak terbatas pada vertebra lumbalis
4. Expansi dada terbatas
5. Riwayat atau adanya bukti dari iritis atau akibatnya

5. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium
Tidak ada uji diagnostik yang spesifik. Terdapat anemia normositik
ringan dan laju endap darah ynag meninggi. Faktor reuma negatif. HLA-B27
pada keadaan tertentu dapat membantu diagnosis.

2. Pemeriksaan radiologi
Perubahan yang karakteristik terlihat pada sendi aksial, terutama pada
sendi sakroiliaka. Pada bulan-bulan pertama perubahan hanya dapat dideteksi
dengan tomografi komputer. Perubahan yang terjadi bersifat bilateral dan
simetris, dimulai dengan kaburnya gambaran tulang subkondral diikuti erosi.
Selanjutnya

terjadi penyempitan celah sendi akibat adanya jembatan interoseus dan


osifikasi. Beberapa tahun kemudian terjadi ankilosis komplit. Pemeriksaan
anteroposterior sederhana sudah cukup untuk mandeteksi sakroilitis yang
merupakan awal perubahan. Terlihat pengapuran ligamen-ligamen spina
anterior dan posterior disertai demineralisasi korpus vertebra membentuk
gambaran bamboo spine.
Tampak adanya perubahan sacroiliac bilateral merupakan ciri SA
Diagnosis definitif ditegakkan berdasarkan:

1. Gambaran radiografi sakmiliitis bilateral derajat 3-4 ditambah 1 atau


lebih kriteria di atas, atau
2. Gambaran radiografi sakroiliitis unilateral derajat 3-4 atau sakroilitis
bilateral derajat 2 dtambah kriteria 1 atau kriteria 2+3.
Diagnosis kemungkman SA (probable) ditegakkan berdasarkan: Gambaran
radiografi sakroiliitis derajat 3-4, tanpa disertai kriteria tersebut di atas.
MRI

Studi MRI dari sendi-sendi sacroiliac dan tulang belakang pada pasien dengan
SpA telah membuat kontribusi besar dalam dekade terakhir dengan
pemahaman yang lebih baik tentang perjalanan penyakit , untuk awal
diagnosis dan telah digunakan sebagai ukuran hasil obyektif untuk uji klinis .
Perubahan inflamasi aktif divisualisasikan terbaik dengan fatsaturated T2 -
tertimbang turbo urutan spin-echo atau tau singkat inversi pemulihan ( Sospol
) urutan dengan resolusi tinggi ( gambar matriks 512 piksel , ketebalan irisan
3 mm atau 4 mm ) , yang dapat mendeteksi bahkan koleksi cairan kecil seperti
tulang edema sumsum . Atau , administrasi paramagnetik sebuah media
kontras ( gadolinium ) mendeteksi peningkatan perfusi ( osteitis ) dalam
urutan T1 - tertimbang dengan kejenuhan lemak. Ini dua urutan memberi
sebagian besar tumpang tindih informasi , meskipun sesekali menerapkan
kedua metode dapat memberikan nilai tambah .

Perubahan kronis seperti degenerasi lemak dan erosi adalah

terbaik dilihat dengan menggunakan turbo urutan spin-echo T1. MRI


kerangka aksial dilakukan dengan seluruh tubuh dengan ketebalan irisan 4
mm . Seluruh tulang sakral harus tertutup dari anterior untuk batas posterior ,
yang biasanya membutuhkan setidaknya 10-12 potong . Administrasi
paramagnetik sebuah media kontras ( gadolinium ) , biasanya diikuti dengan
pencitraan dengan T1 - tertimbang turbo urutan spin-echo lemak jenuh ,
mungkin memberikan Informasi tambahan pada peradangan aktif. Sebuah
protokol pencitraan tulang belakang yang efisien terdiri dari T1 – sagital
tertimbang turbo urutan spin-echo dan sagital lemak jenuh T2 - tertimbang
turbo urutan spin-echo , atau Sospol urutan dengan resolusi tinggi . Jika media
kontras paramagnetik diberikan ,urutan T1 - tertimbang dengan kejenuhan
lemak harus digunakan dalam orientasi sagital . Irisan melintang berguna
untuk penilaian bagian posterior tulang belakang . Namun, untuk pencitraan
rutin urutan transversal tulang belakang adalah memakan waktu dan karena
itu kurang layak . Irisan koronal. seluruh tulang belakang dapat digunakan
untuk penilaian yang lebih baik dari costovertebral dan sendi costotransverse
dan sendi facet. Pada bagian berikut , penjelasan rinci aktif lesi inflamasi dan
kronis dari sendi-sendi sacroiliac dan tulang khas untuk SpA diberikan ,
dengan banyak contoh gambar. Karena peradangan aktif sendi SI telah
menjadi. parameter penting untuk diagnosis awal aksial SpA , khusus
penekanan telah diberikan untuk mendefinisikan '' positif '' lesi. Selanjutnya ,
perangkap dalam diagnosis MRI Spondyloarthritis khusus Temuan dibahas
dan ditampilkan . Sebelum menilai lesi inflamasi atau kronis aktif MRI perlu
untuk menentukan urutan MRI . Hal ini biasanya dapat dilakukan dengan
melihat cairan tulang belakang ,diskus intervertebralis dan jaringan lemak
subkutan. Beberapa metode skoring untuk menilai aktivitas inflamasi, Di
tulang belakang dan sendi sacroiliac telah digunakan di masa lalu dan juga
baru-baru ini dibandingkan dengan masing-masing . Namun ,tidak satupun
dari mereka telah terbukti sejauh ini lebih unggul .Active inflammatory
lesions (STIR/post-gadolinium T1):

– bone marrow oedema (osteitis)


– capsulitis
– synovitis
– enthesitis

Chronic inflammatory lesions (normally T1):


– sclerosis
– erosions
– fat deposition
– bony bridges/ankylosis

Diagnosis spondyloarthritis
Berbagai kriteria diagnosis telah dikembangkan oleh para ahli dan organisasi
internasional untuk mendiagnosis SpA. Pada tahun 1990 Amor, dkk, mengemukakan suatu
kriteria diagnosis dengan sistim skoring dari data klinis (gejala saat ini atau riwayat),
pemeriksaan radiologis sendi sakroiliakaa, latar belakang genetik (termasuk HLA-B27) dan
respon terapi terhadap obat anti-inflamasi non-steroid/OAINS (selengkapnya di lampiran 1).1
Selanjutnya para ahli yang tergabung dalam The Europen Spondyloarthropathy Study Group
(ESSG) pada tahun 1991, juga mengemukakan suatu kriteria diagnosis yang lebih sederhana yaitu
jika didapatkan adanya nyeri spinal inflamasi atau
sinovitis yang asimetrik/predominan di ekstrimitas bawah, disertai adanya salah satu
dari tujuh variabel (selengkapnya di lampiran 2).8

Kriteria yang terbaru dikemukakan oleh The Assessment of SpondyloArthritis


international Society (ASAS) pada tahun 2010 yang menggabungkan kriteria untuk
kasus dengan manifestasi klinis aksial dan perifer
Gambar 1. Kriteria Diagnosis Spondiloartropati ASAS 2010

Sakroiliitis pada HLA-B27 PLUS

gambaran SpA Artritis atau entesitis atau daktilitis

PLUS
1 gambaran SpA

Uveitis
Artritis Psoriasis
Entesitis (tumit) Penyakit Crohn/Colitis Ulseratif
Uveitis Infeksi yang mendahului
Daktilitis HLA-B27
Psoriasis Sakroiliitis pada pencitraan
Penyakit Crohn/Colitis Ulseratif atau
Respon baik dengan OAINS
Riwayat keluarga dengan SpA
HLA-B27 2 gambaran SpA yang lain :

Artritis
Entesitis
Daktilitis
(diadaptasi dari Rudwaleit M, dkk. Ann Rheum Dis 2011;70:25–31)

Keterangan Gambar
1. Artritis: adanya gejala saat ini atau riwayat artritis perifer yang disertai SpA (biasanya asimetris
dan/atau predominan pada ekstremitas bawah, didiagnosis secara klinis oleh dokter.
2. Entesitis: adanya gejala saat ini atau riwayat entesitis, didiagnosis secara klinis oleh dokter.
3. Daktilitis: adanya gejala saat ini atau riwayat daktilitis, didiagnosis secara klinis oleh dokter.
4. Riwayat nyeri pinggang inflamasi: adanya riwayat nyeri pinggang inflamasi yang didiagnosis
oleh rematologis.
5. Uveitis: adanya riwayat uveitis baik sekarang maupun dahulu, dan didiagnosis oleh oftalmologis.
6. Psoriasis: adanya riwayat psoriasis baik sekarang maupun dahulu, didiagnosis secara klinis oleh
dokter.
7. IBD: adanya riwayat penyakit Chron atau kolitis ulseratif baik sekarang maupun dahulu,
didiagnosis secara klinis oleh dokter.
8. Infeksi yang mendahului: adanya gejala uretritis/servisitis atau diare dalam satu bulan sebelum
timbulnya onset artritis/entesitis/daktilitis.
9. Riwayat keluarga dengan SpA: adanya riwayat ankilosing spondilitis, psoriasis, uveitis akut,
artritis reaktif, dan IBD, pada keluarga tingkat satu atau dua.
10. HLA-B27: tes positif HLA-B27 berdasarkan pemeriksaan standar.
11. Sakroilitis pada pencitraan: sakroilitis dengan grade 2-4 (unilateral) atau 3-4 (bilateral) pada
radiografi berdasarkan kriteria modifikasi New York9 atau sakroilitis aktif/akut dengan MRI
berdasarkan kriteria ASAS10 (selengkapnya di lampiran 3)
12. Respon baik dengan OAINS: membaik atau tidak adanya gejala nyeri pinggang setelah 24-48
jam pemberian dosis penuh OAINS.
13. Peningkatan CRP: peningkatan nilai CRP di atas nilai normal saat terjadinya nyeri pinggang,
dengan mengeksklusi penyebab lain.
Kriteria kombinasi menurut ASAS 2010 tersebut memberikan hasil sensitifitas dan
spesifisitas yang terbaik jika dibandingkan dengan kriteria lain yang telah dikembangkan
sebelumnya, sehingga kriteria diagnosis tersebut direkomendasikan untuk digunakan
dalam pengelolaan pasien sehari- hari. Studi yang pernah dilakukan untuk
membandingkan sensitifitas dan spesifisitas dari tiga kriteria (pada 975 pasien)
memberikan hasil seperti pada tabel 2.7

Tabel 2. Perbandingan kriteria diagnosis Spondiloartropati 7

Set kriteria Spondiloartropati Sensitifitas Spesifisitas


• Kriteria ESSG 66.7% 72.0%
• Kriteria Modifikasi ESSG (dengan MRI) 79.1% 68.8%
• Kriteria Amor 55.6% 86.7%
• Kriteria Modifikasi Amor (dengan MRI) 67.5% 86.7%
• Kriteria ASAS (kombinasi spondiloartritis aksial dan perifer) 79.5% 83.3%

Nyeri pinggang inflamasi menjadi tampilan klinis yang cukup menentukan diagnosis
Spondiloartropati (seringkali menjadi gejala yang paling awal muncul), sehingga banyak
ahli yang mengemukakan kriteria khusus untuk manifestasi klinis tersebut. Kriteria Calin
(1977) dan kriteria Berlin (2005) adalah beberapa kriteria yang pernah dikembangkan para
ahli (selengkapnya di lampiran 4).11,12 Sedangkan kriteria yang terbaru adalah kriteria nyeri
pinggang inflamasi dari ASAS (2009) sebagaimana pada tabel 3.5

Tabel 3. Kriteria Nyeri Pinggang Inflamasi menurut ASAS (2009) 5

Pada pasien dengan nyeri pinggang bawah kronik >3bulan


• Onset usia pasien <45 tahun
• Onset perlahan-lahan
• Perbaikan dengan aktifitas/latihan fisik
• Tidak perbaikan dengan istirahat
• Nyeri di malam hari

Nyeri pinggang inflamasi jika minimal terdapat 4 dari 5 kriteria tersebut

Sensitifitas 77% dan spesifisitas 91,7%

(diadaptasi dari Sieper J, dkk. Ann Rheum Dis 2009;68:784–8)


Pada berbagai kriteria yang dikemukakan di atas termasuk ASAS 2010, digunakan hasil
pemeriksaan HLA-B27 positif sebagai salah satu kriteria yang menunjang diagnosis
Spondiloartropati. Banyak studi yang telah mendapatkan korelasi yang sangat kuat antara
HLA-B27 dengan Spondiloartropati termasuk perannya dalam etiopatogenesisnya, namun
terdapat variasi pada berbagai populasi yang berbeda di seluruh dunia. Penelitian yang pernah
dilakukan di Indonesia tentang HLA-B27 dan Spondiloartropati membagi dua populasi
yaitu populasi Indonesia Asli dan populasi Indonesia Keturunan Cina dengan hasil yang
berbeda. Pada populasi Indonesia Keturunan Cina didapatkan prevalensi subtype B*2704
yang tinggi dengan prevalensi SpA yang juga tinggi. Pada kelompok penderita
Spondiloartropati jika dilakukan pemeriksaan HLA-B27 (tanpa subtipe) akan didapatkan
hasil positif 62- 94% pada populasi Indonesia Keturunan Cina, dan hanya sekitar 8% pada
populasi Indonesia Asli. Sehingga pemeriksaan HLA-B27 dalam praktek sehari-hari (tanpa
subtipe) lebih berguna untuk membantu penegakan diagnosis Spondiloartropati untuk
populasi Indonesia Keturunan Cina dibandingkan populasi Indonesia Asli.13-16
Langkah selanjutnya adalah setiap kasus yang sudah memenuhi kriteria diagnosis
Spondiloartropati, diupayakan untuk diklasifikasikan ke dalam salah satu subkelompok
Spondiloartropati, dengan melihat berbagai kriteria diagnosis masing-masing penyakit
tersebut (akan dibahas pada masing-masing topik/ subkelompok bersangkutan). Hal ini
tentu juga berdampak pada pilihan terapi dan juga prognosis yang berbeda pada masing-
masing subkelompok penyakit.
23

Rekomendasi Diagnosis Spondiloartropati


1. Setiap kasus dengan nyeri pinggang inflamasi 3 bulan, maupun
artritis perifer yang asimetris, dan/atau yang predominan di
ekstrimitas bawah harus dicurigai sebagai Spondiloartropati, dan
direkomendasikan untuk evaluasi lebih lanjut dengan kriteria
diagnosis ASAS 2010.
2. Setiap kasus yang dicurigai Spondiloartropati harus dilakukan
anamnesis detail tentang riwayat artritis termasuk keterlibatan
tulang belakang, Psoriasis, Penyakit Crohn/Colitis Ulseratif, nyeri
bokong, Uveitis, Entesitis, Infeksi saluran cerna/kemih/genital,
riwayat keluarga, dan respon terapi terhadap OAINS.
3. Nyeri pinggang inflamasi menjadi salah satu manifestasi klinis utama,
dan direkomendasikan menggunakan kriteria ASAS 2009.
4. Pemeriksaan penunjang yang disarankan adalah foto polos,
USG muskuloskeletal dan/atau MRI tulang belakang, dan sendi
sakroiliaka, serta sendi lain yang terlibat.
5. Pemeriksaan LED dan CRP tidak spesifik, tapi dapat membantu
menilai aktifitas penyakitnya.
6. Pemeriksaan HLA-B27 dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis, tapi tidak direkomendasikan dilakukan
secara rutin.
7. Setiap kasus yang sudah memenuhi kriteria diagnosis
Spondiloartropati diupayakan untuk diklasifikasikan ke dalam
salah satu subkelompok Spondiloartropati.

Tujuan pengobatan Spondyloarthritis hampir sama dengan rheumatoid arthritis:

1. Tirah baring
dianjurkan berbaring dengan lutut dan posisi punggung bawah sedikit
menekuk(fleksi)

2. Rehabilitasi medik
Pada prinsipnya penanganan LBP tergantung pada problem yang dialami oleh
penderita, seperti nyeri tulang belakang, keterbatasan LGS, keterbatasan aktifitas
kehidupan sehari-hari (AKS) maupun pekerjaan. Tujuan utama rehabilitasi medik
pada LBP adalah memperbaiki impairment yaitu mengurangi nyeri punggung
bawah penderita, memperbaiki disability yang terjadi sehingga penderita mampu
kembali melakukan AKS dengan baik, serta menangani handicap yang berkaitan
dengan pekerjaan maupun kehidupan sosial penderita.
24

Program rehabilitasi medik yang diberikan pada LBP mekanik akut : Tirah baring
dengan tungkai semi-fleksi, biasanya 3-4 hari. Bila nyeri lebih dari 7-10 hari, perlu
dilakukan evaluasi penderita kembali. Penderita dapat diberikan kompres es,
kemudian kompres hangat atau dengan infrared (IR). Bila terjadi perbaikan,
penderita mulai melakukan latihan peregangan secara hati-hati (slowly and gently)
untuk otot punggung. Penderita berbaring telentang, tarik salah satu lutut ke arah
dada, kemudian lakukan dengan kedua lutut. Setelah punggung menjadi fleksibel,
boleh dilakukan latihan pelvic tilt, menekan punggung bawah ke tempat tidur
sementara pelvis diangkat, tahan beberapa saat kemudian turunkan.

Program rehabilitasi medik yang diberikan pada LBP mekanik kronik : Pada
keadaan ini biasanya diberikan latihan penguatan dinding perut, otot gluteus
maksimus dan latihan peregangan untuk otot yang memendek, terutama otot
punggung dan hamstring. (1) Penderita berbaring telentang, sendi panggul dan
lutut dalam keadaan fleksi. Dengan kekuatan otot perut, tekan pinggang hingga
menempel dasar, kemudian angkat pinggul ke atas sementara posisi pinggang tetap
dipertahankan melekat pada dasar. (2) Penderita berbaring telentang, sendi panggul
dan lutut dalam keadaan fleksi. Dengan kedua tangan di dada, angkatlah kepala
dan bahu hingga dagu menempel di dada. (3) Penderita berbaring telentang, sendi
panggul dan lutut dalam keadaan fleksi. Tarik salah satu lutut kearah perut sambil
mengangkat kepala dan bahu, seolah-olah hendak mencium lutut. Lakukan
bergantian dengan tungkai satunya. Setelah itu lakukan dengan kedua lutut
sekaligus. (4) Berdiri membelakangi dinding dengan jarak kurang lebih 15 cm dari
dinding. Tekan pinggang kearah dinding hingga tidak lagi ada celah antara
pinggang dan dinding. Pada penderita yang tidak dapat melakukan latihan karena
nyeri hebat, dapat diberikan transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS)
untuk mengontrol nyeri sampai penderita dapat melakukan latihan.

Program rehabilitasi medik yang diberikan pada LBP karena fraktur kompresi
: Penanganan secara konservatif (bila jenis fraktur stabil) meliputi tirah baring
disusul dengan korset selama 4-6 minggu. Pemberian kompres dingin dalam 24-48
jam pertama, analgetik dan muscle relaxant dapat membantu penderita. Tindakan
operatif merupakan indikasi bila kedudukan fragmen fraktur jelek.

Program rehabilitasi medik yang diberikan pada LBP karena osteoporosis


: Penanganannya dengan pemasangan korset, pemanasan (IR), latihan.

Program rehabilitasi medik yang diberikan pada LBP karena keganasan : Korset
dapat diberikan sebagai penanganan terhadap fraktur patologik yang mungkin
terjadi atau instabilitas tulang belakang. Dalam mengurangi nyeri akibat kanker
diperlukan istirahat, pemberian analgetik, dan korset. Partisipasi dalam kegiatan
fisik dan dukungan psikologi, keluarga juga memperbaiki mental penderita.
25

Program rehabilitasi medik yang diberikan pada LBP karena Hernia Nukleus
Pulposus (HNP) : Penanganan untuk HNP mirip dengan LBP akut, yaitu
manajemen konservatif seperti tirah baring, analgetik, NSAID. Selain itu dapat
juga diberikan latihan peregangan, latihan penguatan, korset, modalitas. Tindakan
operatif dilakukan bila ditemukan defisit neurologik, terutama bila menetap dan
progresif.

Terapi Okupasi
Terapi okupasi membantu meningkatkan kualitas hidup pasien LBP terutama
yangberkaitan tan dengan AKS dan pekerjaannya. Penanganan yang dapat diberikan antara
lain latihan AKS yang disesuaikan dengan pekerjaan atau keseharian penderita misalnya
melatih penderita mengangkat dan memindahkan barang-barang pekerjaannya dengan
benar sehingga tidak membebani punggung bawah, melatih penderita menyapu dan
mengepel lantai dengan tepat tanpa membebani punggung bawah, ataupun melatih pasien
duduk sambil menulis, mengetik, atau menyetir tanpa membuat punggung bawah
membungkuk berlebihan. Saat diberi latihan, penderita juga akan diingatkan kembali
proper body mechanism yang telah diberitahu saat edukasi.
Ortotik Prostetik
Tujuan ortosis dalam penanganan LBP adalah membatasi gerakan tulang belakang dan
memberikan support terhadap abdomen. Bagi penderita LBP, korset lumbosakral
memberikan cukup imobilisasi sehingga dapat mengurangi nyeri. Selain itu, korset ini akan
meningkatkan teknanan pada abdomen sehingga membuat beban pada otot-otot punggung
bawah berkurang. Pada penderita dengan herniasi diskus atau degeneratif, korset ini
membantu sekali mengurangi nyeri. Bila pada penderita LBP karena keganasan alat bantu
seperti walker dapat membantu ambulasi serta mengurangi nyeri.
Psikologi dan behavioral therapy
Nasehat dan dukungan yang memberi manfaat bagi penderita diperlukan supaya penderita
rajin minum obat dan juga mengikuti program terapi latihan. Selain pasien, dukungan juga
diberikan kepada keluarga penderita. Program psikologi seringkali berperan juga dalam
menurunkan rasa nyeri khususnya pada kasus LBP kronis yang berlangsung lebih dari 3
bulan.
Sosial Medik
Pekerja sosial medik menilai situasi kehidupan penderita, membahas pilihan-pilihan
pengaturan keuangan dan urusan sehari-hari yang berkaitan dengan LBP yang dialami
penderita. Selain itu, pekerja sosial medik juga memberikan dukungan psikososial kepada
penderita dan keluarga, bertindak sebagai perantara dalam hubungan antara penderita,
keluarga dengan pihak luar seperti tempat kerja ataupun sekolah.

3. Pertimbangan psikologis
Perlu diinformasikan bahwa kurang dari sepertiga orang dewasa
muda akan berkembang ankilosis spondilitis (gambaran ankilosis
26

spondilitis).mereka juga membutuhkan dukungan psikologis dalam


menerima pentingnya perkembangan bentuk tubuh yang lebih baik dan
harus melakukan exercise setiap hari.

4. Terapi obat-obatan
Meskipun salisilat adalah obat paling aman dari golongan anti inflamasi
non-steroid (AINS), tetapi biasanya tidak begitu efektif pada ankilosis spondilitis.
Dari banyak NSAID yang tersedia, indometasin lebih tepat. Meskipun demikian
pada masa yang akan datang, dapat digantikan oleh obat yang lebih baru. Pada
pasien dimana indometasin tidak dapat ditolelir dengan baik, phenylbutazone dapat
digunakan. Perlu diwaspadai karena toksisitas jangka panjang menyebabkan
depresi sumsung tulang dan ulkus peptikum. Kortikosteroid efektif pada penyakit
ini.

5. Terapi radiasi
Terapi radiasi dapat mengurangi rasa sakit. Terapi terapi radiasi tidak lagi
direkomendasikan sejak terbukti berpotensial menginduksi anemia aplastik atau
leukemia.

6. Peralatan ortopedi
Contohnya : spinal braces untuk mencegah fleksi deformitas pada tulang belakang.

7. Terapi fisik
Terapi fisik penting untuk melatih mengurangi rasa nyeri. Terapi ini dilakukan
selama hidupnya. berenang dapat bermanfaat sebagai terapi fisik.

8. Operasi bedah ortopedi


Tujuan utama terapi bedah adalah untuk mencegah deformitas tulang belakang
yang lebih berat.

Prognosis

Prognosis dari SA sangat bervariasi dan susah diprediksi. Secara umum,


penderita lebih cenderung dengan pergerakan yang normal daripada timbulnya
restriksi berat. Keterlibatan ekstraspinal yang progresif merupakan determinan
penting dalam menentukan prognosis. Beberapa survei epidemiologis
27

menunjukkan bahwa apabila penyakitnya ringan, berkurangnya pergerakan spinal


yang ringan, dan berlangsung dalam 10 tahun pertama maka perkembangan
penyakitnya tidak akan memberat. Keterlibatan sendi-sendi perifer yang berat
menunjukkan prognosis buruk. Sebagian besar penderita dengan SA
memperlihatkan keluhan serta perlangsungan yang ringan dan dapat dikontrol
sehingga dapat menjalankan tugas dan kehidupan sosial dengan baik.

Secara umum, wanita lebih ringan dan jarang progresif serta lebih banyak
memperlihatkan keterlibatan sendi-sendi perifer. Sebaliknya, bamboo spine lebih
sering terlihat pada pria. Terdapat dua gambaran yang secara langsung berpengaruh
terhadap morbiditas, mortalitas, dan prognosis. Keduanya dianggap sebagai akibat
dari trauma, baik yang tidak disadari maupun trauma berat. Awalnya, terjadi lesi
destruksi pada salah satu diskovertebra, biasa terjadi pada segmen spinal yang bisa
dilokalisir, dan ditandai dengan nyeri akut atau berkurangnya tinggi badan yang
mendadak. Skintigrafi dan tomografi tulang memperlihatkan kelainan, baik elemen
anterior maupun posterior. Imobilisasi yang tepat dan diperpanjang dapat
memberikan penyembuhan pada sebagian besar kasus. Komplikasi kedua yang
menyusul trauma berat maupun yang ringan berupa fraktur yang dapat
menyebabkan koropresi komplit atau inkomplit.

Daftar Pustaka

1. Snell, R.S., 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC.
2. Rizzo, D.C., 2001. Delmar’s Fundamental of Anatomy and Physiology. USA:
Thomson learning.
3. Premkumar, K., 2004. Anatomy and Physiology. USA: Lippincott Williams &
Wilkins.
4. Apley A Graham, Solomon Louis. Apley’s System of Orthopaedics and
Fractures. 6th ed. London: English Book Society/Butterworths, 41-43

5. Robert Bruce Salter, Text Book Of Disorders And Injuries Of The


Musculoskeletal System, 1983. p 201
28

6. Sjamsjulhidayat R., Jong W.D., Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC, Jakarta,
2004, Hlm 913

Supplement

Anda mungkin juga menyukai