PENDAHULUAN
Keseluruhan prevalensi dari AS adalah 0,25 persen, dan lebih sering terjadi
pada pria, tiga laki-laki yang didiagnosis dengan AS untuk setiap satu
perempuan. Namun, banyak rheumatologists percaya jumlah wanita dengan
AS adalah kurang terdiagnosis, karena kebanyakan wanita cenderung
mengalami gejala ringan. [ 31 ]Sebagian besar pasien, termasuk 95 persen
pasien putih, AS mengekspresikan HLA-B27 antigen [ 32 ] dan tinggi
tingkat immunoglobulin A (IgA) dalam darah. Timbulnya penyakit ini
biasanya antara 15 dan 25 tahun. [ 32 ]
B. Spondyloarthritis
1. Definisi
2. Etiologi
3. Patogenesis
Kriteria klinik
1. Nyeri pinggang dan kekakuan > 3 bulan, yang tidak reda dengan
istirahat
2. Nyeri dan kekaknan pada regio thorax
3. Gerak terbatas pada vertebra lumbalis
4. Expansi dada terbatas
5. Riwayat atau adanya bukti dari iritis atau akibatnya
5. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Tidak ada uji diagnostik yang spesifik. Terdapat anemia normositik
ringan dan laju endap darah ynag meninggi. Faktor reuma negatif. HLA-B27
pada keadaan tertentu dapat membantu diagnosis.
2. Pemeriksaan radiologi
Perubahan yang karakteristik terlihat pada sendi aksial, terutama pada
sendi sakroiliaka. Pada bulan-bulan pertama perubahan hanya dapat dideteksi
dengan tomografi komputer. Perubahan yang terjadi bersifat bilateral dan
simetris, dimulai dengan kaburnya gambaran tulang subkondral diikuti erosi.
Selanjutnya
Studi MRI dari sendi-sendi sacroiliac dan tulang belakang pada pasien dengan
SpA telah membuat kontribusi besar dalam dekade terakhir dengan
pemahaman yang lebih baik tentang perjalanan penyakit , untuk awal
diagnosis dan telah digunakan sebagai ukuran hasil obyektif untuk uji klinis .
Perubahan inflamasi aktif divisualisasikan terbaik dengan fatsaturated T2 -
tertimbang turbo urutan spin-echo atau tau singkat inversi pemulihan ( Sospol
) urutan dengan resolusi tinggi ( gambar matriks 512 piksel , ketebalan irisan
3 mm atau 4 mm ) , yang dapat mendeteksi bahkan koleksi cairan kecil seperti
tulang edema sumsum . Atau , administrasi paramagnetik sebuah media
kontras ( gadolinium ) mendeteksi peningkatan perfusi ( osteitis ) dalam
urutan T1 - tertimbang dengan kejenuhan lemak. Ini dua urutan memberi
sebagian besar tumpang tindih informasi , meskipun sesekali menerapkan
kedua metode dapat memberikan nilai tambah .
Diagnosis spondyloarthritis
Berbagai kriteria diagnosis telah dikembangkan oleh para ahli dan organisasi
internasional untuk mendiagnosis SpA. Pada tahun 1990 Amor, dkk, mengemukakan suatu
kriteria diagnosis dengan sistim skoring dari data klinis (gejala saat ini atau riwayat),
pemeriksaan radiologis sendi sakroiliakaa, latar belakang genetik (termasuk HLA-B27) dan
respon terapi terhadap obat anti-inflamasi non-steroid/OAINS (selengkapnya di lampiran 1).1
Selanjutnya para ahli yang tergabung dalam The Europen Spondyloarthropathy Study Group
(ESSG) pada tahun 1991, juga mengemukakan suatu kriteria diagnosis yang lebih sederhana yaitu
jika didapatkan adanya nyeri spinal inflamasi atau
sinovitis yang asimetrik/predominan di ekstrimitas bawah, disertai adanya salah satu
dari tujuh variabel (selengkapnya di lampiran 2).8
PLUS
1 gambaran SpA
Uveitis
Artritis Psoriasis
Entesitis (tumit) Penyakit Crohn/Colitis Ulseratif
Uveitis Infeksi yang mendahului
Daktilitis HLA-B27
Psoriasis Sakroiliitis pada pencitraan
Penyakit Crohn/Colitis Ulseratif atau
Respon baik dengan OAINS
Riwayat keluarga dengan SpA
HLA-B27 2 gambaran SpA yang lain :
Artritis
Entesitis
Daktilitis
(diadaptasi dari Rudwaleit M, dkk. Ann Rheum Dis 2011;70:25–31)
Keterangan Gambar
1. Artritis: adanya gejala saat ini atau riwayat artritis perifer yang disertai SpA (biasanya asimetris
dan/atau predominan pada ekstremitas bawah, didiagnosis secara klinis oleh dokter.
2. Entesitis: adanya gejala saat ini atau riwayat entesitis, didiagnosis secara klinis oleh dokter.
3. Daktilitis: adanya gejala saat ini atau riwayat daktilitis, didiagnosis secara klinis oleh dokter.
4. Riwayat nyeri pinggang inflamasi: adanya riwayat nyeri pinggang inflamasi yang didiagnosis
oleh rematologis.
5. Uveitis: adanya riwayat uveitis baik sekarang maupun dahulu, dan didiagnosis oleh oftalmologis.
6. Psoriasis: adanya riwayat psoriasis baik sekarang maupun dahulu, didiagnosis secara klinis oleh
dokter.
7. IBD: adanya riwayat penyakit Chron atau kolitis ulseratif baik sekarang maupun dahulu,
didiagnosis secara klinis oleh dokter.
8. Infeksi yang mendahului: adanya gejala uretritis/servisitis atau diare dalam satu bulan sebelum
timbulnya onset artritis/entesitis/daktilitis.
9. Riwayat keluarga dengan SpA: adanya riwayat ankilosing spondilitis, psoriasis, uveitis akut,
artritis reaktif, dan IBD, pada keluarga tingkat satu atau dua.
10. HLA-B27: tes positif HLA-B27 berdasarkan pemeriksaan standar.
11. Sakroilitis pada pencitraan: sakroilitis dengan grade 2-4 (unilateral) atau 3-4 (bilateral) pada
radiografi berdasarkan kriteria modifikasi New York9 atau sakroilitis aktif/akut dengan MRI
berdasarkan kriteria ASAS10 (selengkapnya di lampiran 3)
12. Respon baik dengan OAINS: membaik atau tidak adanya gejala nyeri pinggang setelah 24-48
jam pemberian dosis penuh OAINS.
13. Peningkatan CRP: peningkatan nilai CRP di atas nilai normal saat terjadinya nyeri pinggang,
dengan mengeksklusi penyebab lain.
Kriteria kombinasi menurut ASAS 2010 tersebut memberikan hasil sensitifitas dan
spesifisitas yang terbaik jika dibandingkan dengan kriteria lain yang telah dikembangkan
sebelumnya, sehingga kriteria diagnosis tersebut direkomendasikan untuk digunakan
dalam pengelolaan pasien sehari- hari. Studi yang pernah dilakukan untuk
membandingkan sensitifitas dan spesifisitas dari tiga kriteria (pada 975 pasien)
memberikan hasil seperti pada tabel 2.7
Nyeri pinggang inflamasi menjadi tampilan klinis yang cukup menentukan diagnosis
Spondiloartropati (seringkali menjadi gejala yang paling awal muncul), sehingga banyak
ahli yang mengemukakan kriteria khusus untuk manifestasi klinis tersebut. Kriteria Calin
(1977) dan kriteria Berlin (2005) adalah beberapa kriteria yang pernah dikembangkan para
ahli (selengkapnya di lampiran 4).11,12 Sedangkan kriteria yang terbaru adalah kriteria nyeri
pinggang inflamasi dari ASAS (2009) sebagaimana pada tabel 3.5
1. Tirah baring
dianjurkan berbaring dengan lutut dan posisi punggung bawah sedikit
menekuk(fleksi)
2. Rehabilitasi medik
Pada prinsipnya penanganan LBP tergantung pada problem yang dialami oleh
penderita, seperti nyeri tulang belakang, keterbatasan LGS, keterbatasan aktifitas
kehidupan sehari-hari (AKS) maupun pekerjaan. Tujuan utama rehabilitasi medik
pada LBP adalah memperbaiki impairment yaitu mengurangi nyeri punggung
bawah penderita, memperbaiki disability yang terjadi sehingga penderita mampu
kembali melakukan AKS dengan baik, serta menangani handicap yang berkaitan
dengan pekerjaan maupun kehidupan sosial penderita.
24
Program rehabilitasi medik yang diberikan pada LBP mekanik akut : Tirah baring
dengan tungkai semi-fleksi, biasanya 3-4 hari. Bila nyeri lebih dari 7-10 hari, perlu
dilakukan evaluasi penderita kembali. Penderita dapat diberikan kompres es,
kemudian kompres hangat atau dengan infrared (IR). Bila terjadi perbaikan,
penderita mulai melakukan latihan peregangan secara hati-hati (slowly and gently)
untuk otot punggung. Penderita berbaring telentang, tarik salah satu lutut ke arah
dada, kemudian lakukan dengan kedua lutut. Setelah punggung menjadi fleksibel,
boleh dilakukan latihan pelvic tilt, menekan punggung bawah ke tempat tidur
sementara pelvis diangkat, tahan beberapa saat kemudian turunkan.
Program rehabilitasi medik yang diberikan pada LBP mekanik kronik : Pada
keadaan ini biasanya diberikan latihan penguatan dinding perut, otot gluteus
maksimus dan latihan peregangan untuk otot yang memendek, terutama otot
punggung dan hamstring. (1) Penderita berbaring telentang, sendi panggul dan
lutut dalam keadaan fleksi. Dengan kekuatan otot perut, tekan pinggang hingga
menempel dasar, kemudian angkat pinggul ke atas sementara posisi pinggang tetap
dipertahankan melekat pada dasar. (2) Penderita berbaring telentang, sendi panggul
dan lutut dalam keadaan fleksi. Dengan kedua tangan di dada, angkatlah kepala
dan bahu hingga dagu menempel di dada. (3) Penderita berbaring telentang, sendi
panggul dan lutut dalam keadaan fleksi. Tarik salah satu lutut kearah perut sambil
mengangkat kepala dan bahu, seolah-olah hendak mencium lutut. Lakukan
bergantian dengan tungkai satunya. Setelah itu lakukan dengan kedua lutut
sekaligus. (4) Berdiri membelakangi dinding dengan jarak kurang lebih 15 cm dari
dinding. Tekan pinggang kearah dinding hingga tidak lagi ada celah antara
pinggang dan dinding. Pada penderita yang tidak dapat melakukan latihan karena
nyeri hebat, dapat diberikan transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS)
untuk mengontrol nyeri sampai penderita dapat melakukan latihan.
Program rehabilitasi medik yang diberikan pada LBP karena fraktur kompresi
: Penanganan secara konservatif (bila jenis fraktur stabil) meliputi tirah baring
disusul dengan korset selama 4-6 minggu. Pemberian kompres dingin dalam 24-48
jam pertama, analgetik dan muscle relaxant dapat membantu penderita. Tindakan
operatif merupakan indikasi bila kedudukan fragmen fraktur jelek.
Program rehabilitasi medik yang diberikan pada LBP karena keganasan : Korset
dapat diberikan sebagai penanganan terhadap fraktur patologik yang mungkin
terjadi atau instabilitas tulang belakang. Dalam mengurangi nyeri akibat kanker
diperlukan istirahat, pemberian analgetik, dan korset. Partisipasi dalam kegiatan
fisik dan dukungan psikologi, keluarga juga memperbaiki mental penderita.
25
Program rehabilitasi medik yang diberikan pada LBP karena Hernia Nukleus
Pulposus (HNP) : Penanganan untuk HNP mirip dengan LBP akut, yaitu
manajemen konservatif seperti tirah baring, analgetik, NSAID. Selain itu dapat
juga diberikan latihan peregangan, latihan penguatan, korset, modalitas. Tindakan
operatif dilakukan bila ditemukan defisit neurologik, terutama bila menetap dan
progresif.
Terapi Okupasi
Terapi okupasi membantu meningkatkan kualitas hidup pasien LBP terutama
yangberkaitan tan dengan AKS dan pekerjaannya. Penanganan yang dapat diberikan antara
lain latihan AKS yang disesuaikan dengan pekerjaan atau keseharian penderita misalnya
melatih penderita mengangkat dan memindahkan barang-barang pekerjaannya dengan
benar sehingga tidak membebani punggung bawah, melatih penderita menyapu dan
mengepel lantai dengan tepat tanpa membebani punggung bawah, ataupun melatih pasien
duduk sambil menulis, mengetik, atau menyetir tanpa membuat punggung bawah
membungkuk berlebihan. Saat diberi latihan, penderita juga akan diingatkan kembali
proper body mechanism yang telah diberitahu saat edukasi.
Ortotik Prostetik
Tujuan ortosis dalam penanganan LBP adalah membatasi gerakan tulang belakang dan
memberikan support terhadap abdomen. Bagi penderita LBP, korset lumbosakral
memberikan cukup imobilisasi sehingga dapat mengurangi nyeri. Selain itu, korset ini akan
meningkatkan teknanan pada abdomen sehingga membuat beban pada otot-otot punggung
bawah berkurang. Pada penderita dengan herniasi diskus atau degeneratif, korset ini
membantu sekali mengurangi nyeri. Bila pada penderita LBP karena keganasan alat bantu
seperti walker dapat membantu ambulasi serta mengurangi nyeri.
Psikologi dan behavioral therapy
Nasehat dan dukungan yang memberi manfaat bagi penderita diperlukan supaya penderita
rajin minum obat dan juga mengikuti program terapi latihan. Selain pasien, dukungan juga
diberikan kepada keluarga penderita. Program psikologi seringkali berperan juga dalam
menurunkan rasa nyeri khususnya pada kasus LBP kronis yang berlangsung lebih dari 3
bulan.
Sosial Medik
Pekerja sosial medik menilai situasi kehidupan penderita, membahas pilihan-pilihan
pengaturan keuangan dan urusan sehari-hari yang berkaitan dengan LBP yang dialami
penderita. Selain itu, pekerja sosial medik juga memberikan dukungan psikososial kepada
penderita dan keluarga, bertindak sebagai perantara dalam hubungan antara penderita,
keluarga dengan pihak luar seperti tempat kerja ataupun sekolah.
3. Pertimbangan psikologis
Perlu diinformasikan bahwa kurang dari sepertiga orang dewasa
muda akan berkembang ankilosis spondilitis (gambaran ankilosis
26
4. Terapi obat-obatan
Meskipun salisilat adalah obat paling aman dari golongan anti inflamasi
non-steroid (AINS), tetapi biasanya tidak begitu efektif pada ankilosis spondilitis.
Dari banyak NSAID yang tersedia, indometasin lebih tepat. Meskipun demikian
pada masa yang akan datang, dapat digantikan oleh obat yang lebih baru. Pada
pasien dimana indometasin tidak dapat ditolelir dengan baik, phenylbutazone dapat
digunakan. Perlu diwaspadai karena toksisitas jangka panjang menyebabkan
depresi sumsung tulang dan ulkus peptikum. Kortikosteroid efektif pada penyakit
ini.
5. Terapi radiasi
Terapi radiasi dapat mengurangi rasa sakit. Terapi terapi radiasi tidak lagi
direkomendasikan sejak terbukti berpotensial menginduksi anemia aplastik atau
leukemia.
6. Peralatan ortopedi
Contohnya : spinal braces untuk mencegah fleksi deformitas pada tulang belakang.
7. Terapi fisik
Terapi fisik penting untuk melatih mengurangi rasa nyeri. Terapi ini dilakukan
selama hidupnya. berenang dapat bermanfaat sebagai terapi fisik.
Prognosis
Secara umum, wanita lebih ringan dan jarang progresif serta lebih banyak
memperlihatkan keterlibatan sendi-sendi perifer. Sebaliknya, bamboo spine lebih
sering terlihat pada pria. Terdapat dua gambaran yang secara langsung berpengaruh
terhadap morbiditas, mortalitas, dan prognosis. Keduanya dianggap sebagai akibat
dari trauma, baik yang tidak disadari maupun trauma berat. Awalnya, terjadi lesi
destruksi pada salah satu diskovertebra, biasa terjadi pada segmen spinal yang bisa
dilokalisir, dan ditandai dengan nyeri akut atau berkurangnya tinggi badan yang
mendadak. Skintigrafi dan tomografi tulang memperlihatkan kelainan, baik elemen
anterior maupun posterior. Imobilisasi yang tepat dan diperpanjang dapat
memberikan penyembuhan pada sebagian besar kasus. Komplikasi kedua yang
menyusul trauma berat maupun yang ringan berupa fraktur yang dapat
menyebabkan koropresi komplit atau inkomplit.
Daftar Pustaka
1. Snell, R.S., 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC.
2. Rizzo, D.C., 2001. Delmar’s Fundamental of Anatomy and Physiology. USA:
Thomson learning.
3. Premkumar, K., 2004. Anatomy and Physiology. USA: Lippincott Williams &
Wilkins.
4. Apley A Graham, Solomon Louis. Apley’s System of Orthopaedics and
Fractures. 6th ed. London: English Book Society/Butterworths, 41-43
6. Sjamsjulhidayat R., Jong W.D., Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC, Jakarta,
2004, Hlm 913
Supplement