Anda di halaman 1dari 41

REFERAT

PENYAKIT ALERGI AKIBAT KERJA PADA PARU-PARU

YY

Disusun oleh :
Aristya Dewi Pratiwi 030.13.028
Carla Octavani 030.13.044
Dimas Muhammad 030.13.055
Efi Purwanti 030.13.066
Enel Rizka Aulia 030.13.068
Florentina Eunice C 030.13.080
Galuh Merdiana Putri 030.13.081

Pembimbing :
Dr. Ridhwan Harrianto, MHSc, SpOK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA


KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
PERIODE 14 JANUARI 2019 – 16 FEBRUARI 2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................... i


BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 2
2.1 Definisi Occupational Asthma .............................................. 2
2.1.1 Epidemiologi ................................................................ 2
2.1.2 Etiologi .......................................................................... 2
2.1.3 Faktor Risiko ................................................................ 3
2.1.4 Patofisiologi................................................................... 4
2.1.5 Manifestasi Klinis ......................................................... 6
2.1.6 Diagnosis ....................................................................... 6
2.1.7 Penatalaksanaan ............................................................ 10
2.1.8 Prognosis ...................................................................... 11
2.2 Definisi Hypersensitivity Pneumonitis .................................. 11
2.2.2 Etiologi ......................................................................... 11
2.2.2 Epidemiologi ................................................................. 13
2.2.3 Faktor Risiko ................................................................ 13
2.2.4 Patofisiologi................................................................... 14
2.2.5 Manifestasi Klinis ......................................................... 16
2.2.6 Diagnosis ....................................................................... 16
2.2.7 Diagnosis Banding ....................................................... 23
2.2.8 Prognosis ...................................................................... 23
2.2.9 Komplikasi ................................................................... 24
2.2.10 Pencegahan dan Pengendalian.....................................24
2.3 Definisi Bysinosis..................................................................27
2.3.2 Epidemiologi.................................................................27
2.3.3 Faktor Risiko.................................................................28
2.3.4 Gejala Klinis..................................................................28
2.3.5 Patogenesis....................................................................29
2.3.6 Diagnosis........................................................................30
2.3.7 Penatalaksana dan Pengendalian....................................33
BAB III KESIMPULAN......................................................................... 35
BAB IV DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 36

3
BAB I
PENDAHULUAN

Pada tahun 2004, WHO melaksanakan penelitian untuk menilai angka kematian
akibat pekerjaan dan tahun yang hilang karena disabilitas akibat pekerjaan, pada
penelitian tersebut didapatkan adanya 457.000 kematian akibat paparan partikulat
udara, disusul oleh cedera akibat kerja sebanyak 352.000 kematian, dan karsinogen
sebanyak 177.000 kematian, dan faktor ergonomi sebesar 1.000 kematian. Tahun yang
hilang karena disabilitas atau disability-adjusted life year (DALYs) terbanyak
disebabkan oleh cedera akibat kerja, disusul oleh paparan partikulat udara, bising,
karsinogen, dan stresor ergonomi.
Dari data diatas, dapat dikatakan bahwa ancaman penyakit paru akibat kerja
merupakan hal yang serius sehingga perlu dilakukan peneliitian lebih lanjut agar dapat
ditemukan penyebab serta usaha pencegahannya. Penelitian di Indonesia mengenai
penyakit paru akibat kerja masih terbatas pada penentuan determinan penyakit asma
akibat kerja pada tahun 2018. Hasil dari penelitian tersebut terbatas pada kesimpulan
bahwa penyakit asma lebih tinggi angka kejadiannya pada pekerja dibandingkan yang
tidak bekerja, dan memiliki angka kejadian tertinggi pada pekerja yang terpapat oleh
bahan bakar dengan energi utama kayu bakar. 1
Pada tulisan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai penyakit paru akibat kerja
dengan etiologi alergi. Batasan pembahasan merupakan dua penyakit paru alergi yaitu
asma akibat kerja (OA), pneumonitis hipersensitivitas (HP) dengan berbagai alergen.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI Occupational Asthma


Asma akibat kerja adalah penyakit yang ditandai dengan adanyaobstruksi
saluran nafas yang reversible / saluran nafas yang hiperresponsif terhadap berbagai
sebab / kondisi yang berhubungan dengan lingkungan kerja tertentu dan tidak terhadap
rangsangan yang berasal dari luar tempat kerja.2

2.1.1 EPIDEMIOLOGI
Asma akibat kerja merupakan penyakit paru akibat kerja yang sering di jumpai
dimasyarakat terutama dinegara maju. Prevalensi asma akibat kerja berbeda antara satu
negara dengan yang lain tergantung pada lingkungan pekerjaannya, secara umum
terjadi sekitar 5-10 % penduduk.Dari hasil observasi American Thoracis society (ATS)
dinegara maju, parapekerja 15 % menderita asma akibat kerja dan merupakan
penyakittersering akibat kerja. Dari penelitian The Surveillance of Work Occupational
Respiratory Disease (SWORD) penderita asma akaibat kerjasekitar 26 % di Inggris dan
diperkirakan 52 % terdapat di Columbia. DiAmerika Serikat diperkirakan 15 %
penderita asma akibat kerja. DiJepang 15 % dari kasus asma adalah asma akibat kerja,
makin lamapenderita asma akibat kerja semakin meningkat, terlihat dari laporan
diKanada, dimana tahun 1977 asma kerja peringkatnya dibawah penderitaasbetosis dan
silikosis, namun tahun 1986 berada diurutan teratas.3,4 Di Indonesia belum ada data
pasti tentang penyakit asma akibatkerja namun diperkirakan 2-10 % penduduk dan 2 %
dari seluruh penderita asma tersebut adalah asma akibat kerja.

2.1.2 ETIOLOGI
Telah diketahui lebih dari 250 bahan atau zat yang dapat menimbulkan asma
akibat kerja.Paparan partikel yang terhirup ditempat kerja merupakan salah satu sebab
timbulnya asma akibat kerja. Berat ringannya gangguantergantung intensitas dan durasi
paparan bahan hirupan. Disamping itu ukuran partikel dan konsentrasi debu diudara
juga ikut menentukan progresi gangguan napas. 12 bahan atau zat yang dapat
menimbulkan asma akibat kerja dapat dikelompokkan atas 2 yaitu:

2
2.1.3 Faktor risiko serangan asma
Berdasarkan kesepakatan para ahli maka diketahui bahwa serangan asma, kejadian
asma, keparahan asma dan kematian karena asma dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Faktor-faktor tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1. Faktor pejamu : Faktor dari pasien meliputi jenis kelamin, ras, hiperresponsif
saluran nafas, dan status gizi.
2. Faktor lingkungan : Faktor dari luar diri pasien yang meliputi alergen dalam
rumah (tungau debu rumah, alergen hewan piaraan, alergen kecoa, jamur), atau
alergen luar (serbuk sari, jamur). Dapat berupa pula pajanan pekerjaan (pekerja
pabrik, awak angkutan), asap rokok (perokok pasif, perokok aktif), polusi udara
(polutan luar rumah, polutan dalam rumah, ventilasi udara), serta infeksi saluran
nafas (infeksi virus, infeksi bakteri, infeksi parasit).

3
2.1.4 PATOFISIOLOGI
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang dikarakteristikan dengan proses yang
sangat kompleks dan melibatkan beberapa komponen yaitu hiperresponsif dari
bronkial, inflamasi dan remodeling saluran pernafasan
Penyempitan saluran napas
Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari timbulnya gejala dan
perubahan fisiologis asma. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya
penyempitan saluran napas yaitu kontraksi otot polos saluran napas, edema pada
saluran napas, penebalan dinding saluran napas dan hipersekresi mukus.
Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon terhadap berbagai mediator
bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah mekanisme dominan terhadap
penyempitan saluran napas dan prosesnya dapat dikembalikan dengan bronkodilator.
Edema pada saluran napas disebabkan kerena adanya proses inflamasi. Hal ini penting
pada eksaserbasi akut. Penebalan saluran napas disebabkan karena perubahan struktural
atau disebut juga ”remodelling”.Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan
kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan
(healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan
pergantian sel-sel yang mati atau rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan
tersebut melibatkan perbaikan jaringan yang rusak dengan jenis sel parenkim yang
sama dan pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan penyambung yang
menghasilkan jaringan parut. Pada asma kedua proses tersebut berkontribusi dalam
proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan
struktur yang komplek yang dikenal dengan airway remodelling.
Inflamasi kronis yang terjadi pada bronkus menyebabkan kerusakan jaringan yang
menyebabkan proses perbaikan (repair) yang terjadi berulang-ulang. Proses remodeling
ini yang menyebabkan terjadinya asma. Namun, pada onset awal terjadinya proses ini
kadang-kadang sebelum disesbkan oleh inflamasi eosinofilik, dikatakan proses
remodeling ini dapat menyebabkan asma secara simultan. Proses dari remodeling ini

4
dikarakteristikan oleh peningkatan deposisi protein ekstraselular matrik di dalam dan
sekitar otot halus bronkial, dan peningkatan daripada ukuran sel atau hipertropi dan
peningkatan jumlah sel atau hiperplasia.

Hiperreaktivitas saluran napas


Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis yang
secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggungjawab
terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui dengan
pasti tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas
(hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan
kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratorik terutama daerah
peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran respiratorik selama kontraksi otot
polos.

5
2.1.5 MANIFESTASI KLINIS
Gejala biasanya timbul sesaat setelah terpapar oleh alergen dan seringkali berkurang
atau menghilang jika penderita meninggalkan tempat kerjanya. Gejala seringkali
semakin memburuk selama hari kerja dan membaik pada akhir minggu atau hari libur.
Beberapa penderita baru mengalami gejalanya dalam waktu 12 jam setelah terpapar
oleh alergen.gejalanya berupasesak nafas, bengek, batuk, merasakan sesak di dada.

2.1.6 Diagnosis asma akibat kerja


Diagnosis asma akibat kerja ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang terdiri dari tes faal paru, tes provokasi bronkus dan test
imunologi atau test pajanan dengan alergen spesifik.
Diagnosis kelompok dalam WRA
Langkah-langkah diagnostik individu dari formulir WRA berikut sesuai dengan metode
yang disebutkan sebelumnya di bagian ini pada diagnosis alergi WRA. Namun, SIC
dapat menjadi positif meskipun pada temuan IgE negatif, misalnya dalam kasus yang
menderita isosianat, platinum atau asma iritan dengan latensi (jelas tidak cocok untuk
iritasi akut yang diinduksi).
1. Asma yang diperburuk oleh pekerjaan atau Work-aggravated asthma.
Kumpulan gejala ditandai dengan penurunan gejala yang sudah ada sebelumnya
atau asma non-kerja bersamaan saat bekerja tanpa interval laten terutama oleh
agent iritan. Ada perubahan serupa di fungsi paru yang terkait dengan paparan
kerja seperti halnya dengan OA yang diinduksi alergen atau iritan 6.
2. Asma imbas iritan atau Irritant-induced asthma 7.

6
a. Asma yang diinduksi iritan akut (Sindrom disfungsi jalan napas reaktif,
RADS) 7. Diagnosisnya adalah berbasis retrospektif dan kriteria, mis.
ACCP kriteria untuk diagnosis sindrom disfungsi jalan napas reaktif
(RADS) (harus memenuhi delapan kriteria) :
 Tidak adanya keluhan pernafasan sebelumnya.
 Timbulnya gejala setelah satu insiden paparan atau kecelakaan.
 Paparan dengan gas, asap, asap, atau uap dengan sifat iritan hadir
sangat tinggi konsentrasi.
 Timbulnya gejala dalam waktu 24 jam setelah paparan dengan
kegigihan gejala setidaknya selama tiga bulan.
 Gejala asma yang disimulasikan: batuk, mengi, dyspnea
 Adanya sumbatan aliran udara pada tes fungsi paru (tes awal harus
dilakukan tak lama setelah paparan).
 Adanya bronkial nonspesifik yang sangat responsif.
 Penyakit paru lainnya disingkirkan.
b. Tidak secara tiba-tiba timbul asma iritan. Berkebalikan dari RADS,
asma iritan ini disebabkan paparan rendah namun kronis atau paparan
berulang terhadap iritan sebagian besar dikisaran batas pajanan kerja
hal itu biasa terjadi pada mereka yang menderita atopi atau asma pada
masa anak-anak.
c. Asma iritan dengan latensi 5. Asma ini masih kontroversial yang
didefinisikan menjadi :
 Tidak ada asma sebelumnya
 Interval laten dari paparan pertama terhadap penyakit
 Tidak ada paparan akut massif
 Gejala yang berkaitan dengan paparan biasa pada agen penyebab
 Perkembangan asma dari kedua tes di tempat kerja atau tes inhalasi
spesifik atau pengukuran serial PEF yang valid pengukuran jauh
dari tempat kerja
 Mekanisme alergi sangat tidak mungkin

7
ANAMNESA
Semua pekerja yang menderita asma dilakukan anamnesis yang teliti mengenai apa
yang terjadi dilingkungan kerjanya. Hal yang perlu ditanyakan :
a. Kapan mulai bekerja ditempat sekarang.
b. Apakah tinggal dilingkungan tempat bekerja.
c. Apa pekerjaan sebelumnya.
d. Apa yang dikerjakan setiap hari
e. Proses apa yang terjadi ditempat kerja.
f. Bahan – bahan apa yang dipergunakan dalam pekerjaan sehari-hari.
g. Apa saja keluhan yang dirasakan dan sejak kapan mulai dirasakan.
h. Apakah keluhan yang dirasakan berkurang setelah pulang kerja.
i. Apakah gejalanya membaik bila berada jauh dari tempat kerja atau pada saat hari
libur
Pada asma akibat kerja yang berat belum memberikan perbaikan yang berarti saat libur
1 atau 2 hari pada akhir minggu, tetapi diperlukan waktu yang lebih lama. Gejala klinis
bervariasi umumnya penderita asma akibat kerja mengeluh batuk berdahak dan nyeri
dada, sesak nafas serta mengi, beberapa pekerja merasakan gejala penyerta seperti
rhinitis, iritasi pada mata dan dermatitis.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pada asma akibat kerja sama dengan asma pada umumnya, biasanya
dalam batas normal, jadi tidak ada pemeriksaan yang spesifik pada pasien asma akibat
kerja, namun perlu diperhatikan apakah terdapat jejas akibat bahan iritan, luka bakar
atau dermatitis karena bahan / zat ditempat kerja.7
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Spirometri
Pemeriksaan dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator untuk melihat
adanya hambatan jalan napas dan untuk melihat respon bronkodilator untuk
mendiagnosis asma akibat kerja. Bila terjadi penurunan Volume Ekspirasi Paksa detik
pertama (VEP I) >10 % atau peningkatan VEP1 >12 % setelah pemberian bronkodilator
berarti terdapatnya asma yang berhubungan dengan pekerjaan. Pengukuran Arus
Puncak Ekpirasi (APE) minimal 4 kali sehari selama 2 minggu dan diagnosa asma
akibat kerja dapat ditegakkan bila terdapat 20 % atau lebih variasi APE pada siang hari
. Pemeriksaan ini mudah dan dapat dilakukan pasien sendiri baik pada saat sebelum
bekerja, diantara waktu kerja, setelah bekerja dan sebelum tidur.

8
Tes Provokasi Bronkus
1. Tes Provokasi bronkus non spesifik.
Adanya hiperaktivitas bronkus dapat diuji dengan tes provokasi bronkus mengunakan
bahan histamin atau metakolin. Hasil tes provokasi bronkus yang normal bukan berarti
tidak terdapat asma akibat kerja, karena derajat hiperaktivitas bronkus dapat berkurang
bila penderita dibebaskan dari pajanan setelah beberapa lama. Reaksi yang timbul
setelah tes provokasi bronkus dengan bahan inhalasi tertentu dapat berupa reaksi cepat,
reaksi lambat dan bifasik atau reaksi yang berkepanjangan. Pada jenis reaksi yang
cepat, reaksi timbul dalam beberapa menit setelah inhalasi dan mencapai efek maksimal
dalam 30 menit dan biasanya berakhir setelah 60-90 menit. Pada jenis reaksi lambat
reaksi baru timbul 4-6 jam setalah tes berlangsung, efek maksimal tercapai setelah 8-
10 jam dan berakhir dalam 24-48 jam. Sedangkan tipe bifasik ditandai dengan
timbulnya reaksi cepat kemudian membaik dan diteruskan dengan timbulnya reaksi
lambat. Pada reaksi yang berkepanjangan tidak ada masa pemulihan antara timbulnya
reaksi cepat dengan reaksi lambat, sehingga terjadi reaksi terus menerus.
2. Tes Provokasi bronkus Spesifik
Tes provokasi bronkus dengan alergen spesifik merupakan gold standar untuk
diagnosis asma akibat kerja, tetapi karena banyak menimbulkan serangan asma serta
harus dilaksanakan dirumah sakit pusat dengan tenaga yang terlatih, maka tes ini jarang
dilakukan. Sebelum tes dilakukan, harus diketahui bahan yang dicurigai sebagai
alergen ditempat kerja dan kadar pajanan serta dalam bentuk apa bahan tersebut berada
dilingkungan kerja.
Indikasi utama uji provokasi bronkus dengan bahan spesifik adalah :
1. Bila pekerja asma akibat kerja, tidak diketahui zat penyebabnya.
2. Bila pekerja terpajan lebih dari satu zat penyebab asma kerja.
3. Bila diperlukan konfirmasi untuk diagnosis penyakit sebelum pekerja berhenti
/ pindah karena diduga menderita asma kerja.

3. Tes Kulit dan Tes Serologi.


Pemeriksaan ini dilakukan bila agen penyebabnya bahan dengan berat molekul besar,
karena merangsang terjadinya reaksi imunologi Bila tes ini positif maka menyokong
untuk diagnosis asma akibat kerja.

9
2.1.7 Penatalaksanaan asma akibat kerja
Penatalaksanaan asma akibat kerja sama dengan asma lain secara umum, yang penting
adalah menghindari dari pajanan dari bahan penyebab asma, makin cepat terbebas dari
pajanan makin baik prognosisnya. Melanjutkan pekerjaan ditempat pajanan bagi
pekerja yang telah tersensitisasi akan memperburuk gejala dan fungsi paru meskipun
telah dilengkapi dengan alat pelindung ataupun pindah keruang lain yang lebih sedikit
pajanannya. Pada RADS, bila resiko terjadinya pajanan ulang dengan bahan iritan
dengan konsentrasi tinggi bisa dihindarkan, maka
penderita tidak perlu pindah tempat kerja. Bila terdapat resiko terpajan lagi pada bahan
iritan dengan konsentrasi tinggi, dianjurkan untuk pindah tempat kerja.
Pemindahan kerja sulit dilakukan, karena tidak mempunyai keahlian ditempat lain.
Bagi mereka yang menolak pindah kerja harus diberitahukan bahwa apabila terjadi
perburukan gejala atau memerlukan penambahan pemakaian obat-obatan atau
penurunan fungsi paru atau peningkatan derajat hipereaktiviti bronkus maka penderita
seharusnya pindah kerja. Pemantauan merupakan hal yang tidak kalah pentingnya pada
penderita asma akibat kerja. Pada penderita yang telah pindah kerja ketempat yang
bebas pajanan harus dilakukan pemeriksaan ulang setiap 6 bulan selama 2 tahun.
Menghindari paparan terhadap alergen penyebab akan memberikan kesembuhan pada
50 % kasus. Banyak penelitian mendapatkan bahwa gejala asma serta obstruksi bronkus
dan hiperreaktifitas menetap walaupun sudah tidak terpapar oleh alergen tersebut.
Pengobatan farmakologi asma akibat kerja sama dengan asma lainnya diantaranya
dengan pemberian kortikosteroid inhalasi. Pemberian kortikosteroid inhalasi pada asma
kerja lebih bermanfaat jika diberikan lebih awal setelah diagnosis asma kerja
ditegakkan. Kepada orang yang telah terdiagnosis asma akibat kerja yang tetap bekerja
dan mendapat terapi kortikosteroid inhalasi (Beclometason dipropianat 2 x 500 mg dan
bronkodilator kerja panjang (Salmeterol 2 x 50 mg ) dapat mencegah perburukan fungsi
paru. Pengobatan dan pencegahan asma akibat kerja dengan cara Desensitisasi hanya
dapat diberikan pada beberapa bahan saja seperti debu, binatang laboratorium,
sedangkan dengan bahan kimia sangat berbahaya.

2.1.8 PROGNOSIS
Pada kasus yang ditemukan dengan diagnosis asma maka harus diberikan tatalaksana
langsung dan dicari tahu penyebab asma dengan melakukan survey pada tempat kerja

10
dan pajanan bahan yang dihadapi. Kira-kira 50% kasus gejala masih terus bertahan
walaupun sudah berhenti terkena pajanan. Penegakkan diagnosis dini dan pemindahan
pasien dari pajanan lebih lanjut sangat menentukan prognosis yang baik.

2.2 DEFINISI PNEUMONITIS


Asma akibat kerja atau occupational asthma (OA) adalah asma yang disebabkan oleh
agen spesifik di lingkungan kerja. OA dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu
sensitizer-induced asthma dan irritant-induced asthma.
Pneumonitis hipersentivitas (HP) adalah peradangan paru yang disebabkan oleh
reaksi alergi setelah inhalasi debu, jamur, atau bahan kimia.

2.2.1 ETIOLOGI
Vandenplas pada tahun 2011 menyebutkan bahwa etiologi OA dapat
digolongkan menjadi dua kelompok yaitu senyawa high molecular weight (HMW) dan
senyawa low molecular weight (LMW). Etiologi HMW berasal dari protein dari
tumbuhan atau binatang, sedangkan LMW berupa garam platinum, pewarna reaktif,
anhidrat asam, sulfonekloramid, dan beberapa spesies kayu. OA paling banyak
menjangkit pekerja di pabrik pembuatan roti, pabrik pemroses makanan, pengecat,
penata rambut, pengrajin kayu, pekerja kesehatan, janitor, petani, teknisi laboratorium,
dan pengelas. 8
Sforza pada tahun 2017 menyebutkan bahwa penyebab HP yang terdapat pada
lingkungan kerja adalah mikroba, protein tumbuhan dan binatang, kimia organik dan
anorganik. Contoh terbaru menyatakan bahwa pekerja yang terpapar aerosol logam
sering mengandung mycobacteria.

11
12
2.2.2 EPIDEMIOLOGI
Asma akibat kerja memiliki prevalensi sebesar 3% di Spanyol dan dan 3.1% di
Selandia Baru. Proyek SWORD memantau langsung naik turunnya penyebab dari
penyakit paru akibat kerja. Penelitian tahun 2013 menyatakan bahwa pekerja di pabrik
enzim dan detergen di Australia memiliki prevlensi atopi sebesar 64% dan OA sebesar
50%, sedangkan di Inggris, prevalensi OA pada pekerja laboratorium hewan sebesar
10%. 9
Di Amerika Serikat, HP merupakan 2% dari seluruh penyakit paru interstisial,
sedangkan di Eropa HP merupakan 4-15% dari seluruh penyakit paru interstisial.
Bentuk HP yang paling banyak ditemukan terdapat pada petani, atau dinamakan
farmer’s lung. Penyakit ini terjadi pada 0.4-7% petani.

2.2.3 FAKTOR RISIKO


 Pekerjaan
Beberapa pekerjaan dan hobi memiliki risiko pneumonitis yang lebih tinggi. Ada lebih
dari 300 zat yang diketahui, yang bila terhirup debu halus, menyebabkan pneumonitis
hipersensitif. Beberapa masalah yang biasa dilihat diberi nama khusus yang terkait
dengan sumber debu, termasuk:10-11
o Farmer’s lung: terlihat pada petani dan pekerja ternak, kondisi ini disebabkan
oleh jamur yang tumbuh pada jerami dan biji-bijian dan aerosol dari pestisida
yang digunakan.
o Bird fancier’s lung: (juga disebut pigeon breeder’s disease) disebabkan oleh
partikel pernapasan dari bulu atau kotoran banyak spesies burung.
o Humidifier lung: dapat berkembang dengan menghirup jamur yang tumbuh di
pelembap udara, pendingin udara dan sistem pemanas, khususnya jika tidak
dirawat dengan baik.
o Hot tub lung: dapat berkembang dengan menghirup bakteri yang mungkin
ditemukan dalam uap air yang berasal dari bak air panas dalam ruangan.10,11
Seseorang yang bekerja dalam pekerjaan tertentu, mungkin berisiko tinggi mengalami
pneumonitis hipersensitif. Ini termasuk petani, pekerja sayur atau sapi perah, penangan
burung dan unggas, pekerja hewan dan penangan hewan, pemrosesan dan pemuat
gandum dan tepung, penggilingan kayu, pengupasan kayu dan produsen kertas dan
papan dinding. Faktor risiko lain adalah menghirup bahan kimia tertentu yang
diproduksi di pabrik plastik, pengecatan, dan industri elektronik.12

13
 Pengobatan kanker
Beberapa obat kemoterapi dapat menyebabkan pneumonitis, seperti halnya terapi
radiasi ke paru-paru. Kombinasi keduanya dapat meningkatkan risiko penyakit paru
yang ireversibel.12

2.2.4 PATOFISIOLOGI
Hipersensitivitas pneumonitis (HP) adalah spektrum gangguan yang diperantarai
imunitas, ditandai oleh peradangan difus paru interstitial, bronkioli terminal, dan
alveoli. Peradangan disebabkan oleh pemaparan antigen inhalasi dalam waktu lama
atau sering, umumnya berukuran kurang dari 5 μm. Meskipun antigen penyebab ada di
mana-mana, insiden penyakitnya relatif kecil. Mekanisme two-hit telah diusulkan di
mana individu baik secara genetik cenderung untuk terkena pneumonitis
hipersensitivitas atau mereka dengan paparan lingkungan yang berat berada pada
peningkatan risiko terjadinya penyakit. Paparan antigen serangan kedua menyebabkan
terjadinya penyakit atau perburukan penyakit. 13
Daftar pajanan potensial yang menyebabkan pneumonitis hipersensitivitas terus
meningkat. Secara umum telah dikelompokkan menjadi tiga kategori utama: mikroba,
protein hewani, dan bahan kimia berbobot molekul rendah. Sebagai contoh, debu dari
produk biji-bijian, bahan tanaman (misalnya, kayu, kulit kayu, kompos), atau alat
penguap reservoir air (misalnya, bak air panas, pendingin udara), walaupun tidak secara
intrinsik bersifat antigenik, sering menjadi tempat berkembangnya beragam mikroba
antigen. Protein hewani dengan berat molekul tinggi dan rendah ditemukan pada bulu,
tinja, bulu, dan produk hewani lainnya yang secara umum dapat menyebabkan penyakit
pada peternak burung, hewan, atau bahkan pada mereka yang memiliki bantal dan
perabot yang penuh. Akhirnya, molekul dengan berat molekul rendah dan bahan
anorganik (misalnya, isosianat, seng, nikel) dikenal sebagai haptens yang dapat
membentuk kompleks antigenik dengan protein inang. 13
Setelah paparan antigen, mayoritas individu tidak menunjukkan adanya respon
inflamasi berkelanjutan yang dapat menyebabkan pneumonitis hipersensitivitas. Hal ini
mungkin berkaitan dengan toleransi imun masing-masing individu. Dapat ditemukan
adanya alveolitis limfositik ringan, tetapi umumnya tidak disertai gejala. Sel T regulator
menekan respon imun sel Th1 dan Th2. Dalam studi eksperimental, ketidakmampuan
untuk menekan proliferasi sel T tersebut dikaitkan dengan perkembangan penyakit. 14

14
Pada pasien yang terus mengalami gejala, pneumonitis hipersensitivitas
diklasifikasikan sebagai akut, subakut (intermiten), atau progresif kronis. Mekanisme
penyakit tidak sepenuhnya dipahami. Pneumonitis hipersensitif akut diduga terjadi
melalui reaksi hipersensitif tipe III. Sebagian besar pasien menunjukkan bukti adanya
antibodi spesifik dalam penelitian serum dan bronchoalveolar lavage yang
menunjukkan tingkat kemokin proinflamasi yang tinggi. Hal ini lebih lanjut didukung
oleh penemuan komplemen dan deposisi imunoglobulin di dinding pembuluh pada
imunofluoresensi. 14
Bentuk subakut dan kronis dari pneumonitis hipersensitif diperkirakan lebih bertransisi
menuju tipe IV, reaksi sel T, reaksi hipersensitivitas. Sel penyajian antigen (yaitu, sel
dendritik dan makrofag alveolar) menghadirkan antigen pada sel CD4 + Th1 dan Th17.
Hal ini memicu kaskade inflamasi dengan pelepasan banyak faktor, termasuk interferon
(IFN) ‒γ, tumor necrosis factor (TNF), interleukin (IL) ‒17, dan IL-22. Lingkungan
sitokin dan kemokin pada akhirnya menghasilkan infiltrasi sel mononuklear, makrofag,
dan fibroblas yang berkelanjutan. Apoptosis limfosit jaringan paru dihambat oleh IL-
17, yang mengakibatkan tingginya prevalensi limfosit di paru-paru. Hal ini dapat
menghasilkan pola granuloma noncaseating, bronkiolitis terlihat pada patologi. Pada
tahap kronis, pola sitokin CD4 + Th2 mendominasi. Hal ini berkorelasi dengan
perkembangan fibrotik pada penyakit lanjut.14
Secara histologis, pneumonitis hipersensitivitas kronis ditandai dengan peradangan
interstitial dan destruksi alveolar (honeycombing). Celah kolesterol atau badan asteroid
hadir di dalam atau di luar granuloma non-kantung. Area pneumonia interstitial seluler
dengan sel raksasa atau granuloma yang mengelilingi bronkiolus dapat membantu
membedakan pneumonitis hipersensitif kronis dari pneumonia interstitial biasa (UIP)
atau pneumonia interstitial spesifik nonspesifik (NSIP). Fibrosis centrilobular,
peribronchiolar, dan fibrosis penghubung juga merupakan ciri penting.

2.2.5 GEJALA KLINIS


Gejala pneumonitis yang paling umum adalah sesak napas yang disertai dengan batuk
kering. Jika pneumonitis tidak terdeteksi atau tidak segera diobati maka penyakit
mungkin secara bertahap berkembang menjadi pneumonitis kronis, yang dapat
menyebabkan jaringan parut (fibrosis) di paru.11,12 Presentasi klinis pneumonitis

15
hipersensitif (HP) dikategorikan sebagai akut, subakut, atau kronis, sesuai dengan
durasi penyakit.14
Gejala klinis pneumonitis hipersensitif akut adalah sebagai berikut:
 Sindrom flu seperti demam, kedinginan, malaise, batuk, sesak dada, dispnea,
dan sakit kepala.
 Berkembang dalam 4-6 jam setelah paparan signifikan.
 Gejala biasanya sembuh secara bertahap dalam waktu 12 jam hingga beberapa
hari setelah tidak terpapar antigen.
 Dapat berulang setelah paparan berikutnya.
Presentasi klinis pneumonitis hipersensitivitas subakut (intermiten) adalah sebagai
berikut:
 Timbulnya batuk produktif, dispnea, kelelahan selama berminggu-minggu
hingga berbulan-bulan.
 Progresif menjadi batuk dan dispnea persisten.
 Dapat terjadi pada individu dengan reaksi akut yang sering.
 Dapat terjadi anoreksia dan / atau penurunan berat badan.
Presentasi klinis pneumonitis hipersensitif kronis adalah sebagai berikut:
 Mungkin memiliki penyakit akut / subakut yang tidak diakui atau tidak diobati.
 Sering timbul tanpa episode akut yang jelas, muncul sebagai penyakit
berbahaya.
 Dispnea progresif, batuk, kelelahan, malaise, dan / atau penurunan berat badan.

2.2.6 PENEGAKKAN DIAGNOSIS


Pasien yang ditemukan dengan kecurigaan PPI ( Penyakit Paru Interstisial )
harus dievaluasi lengkap untuk kemungkinan penyakit lain, karena infeksi (terutama
pada imunodefisiensi dan transplantasi) bisa mempunyai gambaran yang mirip PPI.
Demikian pula metastasis keganasan yang difus serta gagal jantung kongestif harus
dipikirkan bila latar belakang kliniknya mendukung.14
PPI terdiri atas berbagai penyakit yang memiliki kemiripan dalam gejala,
perubahan fisiologi, gambaran radiologi dan gambaran histopatologinya. Gejala
umumnya berupa sesak napas saat beraktivitas. Fungsi respirasi menunjukkan
gambaran restriktif. Terdapat pula gradien alveolar-arteri yang abnormal dan
penurunan kapasitas difusi paru. Gambaran gejala histopatologi umum yang dimiliki

16
oleh semua penyakit dalam kelompok ini adalah campuran antara infiltrat peradangan
alveolus (aktif/akut) dengan daerah berparut / fibrotik (kronik). Pada stadium lanjut
akan tampak kistik, gambaran sarang lebah. Gambaran ini disebut sebagai usual
interstitial pneumonia. 14

Anamnesis
Proses diagnostik pada PPI dimulai dari riwayat faktor lingkungan, paparan
pekerjaan, penggunaan obat dan riwayat keluarga. Riwayat penyakit sekarang harus
dieksplorasi progresivitasnya, serta hubungannya dengan batuk darah, demam dan
gejala-gejala di luar paru lainnya. Gejala yang kurang dari 4 minggu dengan demam
mengarah pada BOOP, pneumonitis hipersensitif atau akibat obat. Sebaliknya
gambaran akut seperti ini tidak ditemukan pada FPI, histiositosis paru dan PPI akibat
penyakit jaringan ikat. Pasien dengan sarkoidosis dan sindrom Lofgren juga bisa
terdapat demam sebentar, eritema nodosum dan artritis. 14
Evaluasi umur, status merokok dan jenis kelamin juga bisa membantu. PPI
umumnya terjadi pada orang dewasa, terutama diatas 50 tahun. Sarkoidosis paru
umumnya terjadi pada dewasa muda atau paruh baya. Granulomatosis sel Lagerhans
(disebut juga histiositosis X paru atau granuloma eosinofilik) secara khas muncul pada
perokok muda. RBILD muncul hanya pada perokok. Limfangiomiomatosis yaitu suatu
kelainan yang jarang ditemukan dan terjadi hanya pada perempuan usia subur. 14
Riwayat pekerjaan bisa mengarahkan pada kecurigaan inhalasi. Kecurigaan
pneumonitis hipersensitivitas umumnya timbul setelah ada riwayat pekerjaan yang
beresiko terhadap paparan zat inhalasi. Riwayat obat-obatan yang diminum,
penggunaan obat-obat alternatif dan obat-obat yang dijual bebas perlu dicari karena
banyak PPI merupakan akibat penggunaan obat. Riwayat disfagia atau aspirasi
mengarahkan pada pneumonia aspirasi, scleroderma atau mixed connectice tissue
disease. Sinusitis berulang mengarah pada granulomatosis Wagener. 14
Batuk darah menunjukkan ke arah sindrom perdarahan alveolar seperti pada
sindrom Goodpasture, lupus erimatosus sistemik, granulomatisis Wagener, kapilaritis
paru. Artritis mencurigakan ke arah berbagai penyakit vaskular kolagen atau
sarkoidosis. Gejala pada kulit dan otot mengarahkan pada dermatomiositis atau
polimiositis. Sicca syndrome (mata dan mulut kering) mencurigakan akan sarkoidosis,
sindrom Sjogren atau penyakit vaskular kolagen lainnya. 14

17
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada sistem pernapasan seringkali tidak menolong
penegakkan diagnosis. Sebaliknya temuan fisik di luar toraks sering membantu
memperjelas penyakit yang terjadi. Misalnya kelainan kulit disertai dengan
limfadenopati dan hepatosplenomegali mengarahkan pada sarkoidosis. Nyeri otot dan
kelemahan otot paroksimal mencurigakan adanya pilomiositis. Adanya artritis
mengarahkan pada sarkoidosis dan penyakit vaskular kolagen. Atralgia juga bisa terjadi
pada FPI tetapi jarang sampai menyebabkan sinovitis atau artritis akut. Sklerodaktili,
fenomena Raynaud dan lesi telangiektasia adalah gambaran khas skleroderma dan
sinrom CREST. Iridosiklitis, uveitis tau konjungtivitis mungkin berhubungan dengan
skleroderma dan sindrom vaskular kolagen. Kelainan saraf pusat disertai diabetes
insipidus atau disfungsi kelenjar pituitary anterior mengarahkan pada sarkoidosis.
Diabetes insipidus tanpa gangguan saraf pusat mencurigakan ke arah granulomatosis
sel Lagerhans, sementara epilepsi dan retardasi mental menunjukkan adanya
kemungkinan tuberous sclerosis. 15

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium pada dugaan PPI harus meliputi pemeriksaan darah
perifer lengkap, hiting jenis leukosit, laju endap darah, fungsi ginjal dan fungsi hati,
elektrolit (Na, K, Cl, Ca), urinalisis dan tes penapisan untuk penyakit vaskular kolagen.
Apabila diperlukan dapat juga diperiksa kadar Angiotensin Converting Enzyme (ACE)
dan Creatinin Kinase (CK). 15
Seluruh foto yang pernah dibuat harus dibandingkan. Dengan membandingkan
kita bisa mendapatkan keterangan tentang awitan kronisitas, progresivitas, maupun
stabilitas penyakit. Walaupun jarang, bisa saja ditemukan foto toraks yang normal pada
PPI. Bila terdapat kelainan, distribusi dan gambaran kelainan dapat membantu
mempersempit diferensial diagnosa.
Gambaran kelainan yang didominasi daerah apeks/atas, mengarahkan pada
sarkoidosis, beriliosis, granulomatosis sel Lagerhans, fibrosis kistik, silikosis dan
ankylosing spondilitis. Gambaran kelainan yang didominasi daerah tengah dan bawah
menunjukkan FPI, karsinomatosis limfangitik, pneumonia eosinifilik subakut,
asbestosis, skleroderma dan artritis dermatoid. Adanya adenopati hilus bilateral
sekaligus paratrakeal mencurigakan ke arah sarkoidosis. Adanya kalsifikasi “kulit
telur” memungkinkan adanya sarkoidosis atau silikosis. Karsinomatosis

18
limfangitik ditandai antara lain dengan garis Kerley B tanpa kardiomegali sementara
gambaran paru adalah gambaran PPI. 15
Gambaran infiltrat di lobus atas dan lobus tengah yang cenderung ke tepi
sehingga bagian tengah atau hilis cenderung lebuh bersih, atau sering disebut bayangan
film negatif dari edema paru mengarah ke pneumonia eosinofilik kronik. Infiltrat
bilateral pada saat dan lobus yang sama mencurigakan ke arah BOOP, pneumonia
eosinofilik kronik, PPI imbas obat, pneumonitis radiasi kambuhan/recall.
Adanya plak atau penebalan lokal pleura pada gambaran umum PPI mengarah
ke dugaan asbestosis. Penebalan pleura yang difus bisa juga pada pleurisy asbestos dan
bisa juga akibat artritis reumatoid, skleroderma atau keganasan. Adanya efusi pleuri
mencurigakan ke arah artrits reumatoid, lupus eritematosus sistemik, reaksi obat,
penyakit paru akibat asbestos, amiloidosis, limfangioleiomiomatosis atau
karsinomatosis limfangitik. Dalam konteks PPI, gambaran volume paru yang relatif
normal atau bahkan membesar, mencurigakan ke arah adanya obstruksi saluran napas
dan ini dapat terjadi pada limfangioleiomiomatosis, granuloma eosinofilik, pneumonia
hipersensitivitas, tuberous sclerosis dan sarkoidosis. Dalam menafsirkan temuan ini,
harus disadari bahwa foto toraks hanya memberikan penilaian semikuantitatif dari
volume paru dan seringkali tidak mencerminkan keadaan fungsional dan histologis
yang terjadi. Walau bagaimanapun juga kombinasi foto toraks dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan laboratorium, diagnosis bisa sangat mengarah. 15
Apapun sebabnya, gangguan restriktif paru dan penurunan kapasitas difusi paru
adalah gambaran yang dominan pada PPI. Akibatnya umumnya tes fungsi paru
menunjukkan adanya PPI dan menunjukkan beratnya penyakit, tetapi tidak bisa
membedakan berbagai penyebab PPI. FEV 1 % umumnya normal karena baik FEV
maupun FVC sama-sama turun. Dlco adalah pemeriksaan selisih tekanan oksigen di
alveolus dengan di arteri (PAO2-PaO2) bisa normal atau meninggi tergantung beratnya
penyakit. Walaupun sangat tidak spesifik, pemeriksaan ini diyakini sebagai parameter
yang sensitif untuk menilai adanya disfungsi paru terutama pada stadium dini. Dlco
juga berguna untuk pengawasan perkembangan penyakit dan hasil pengobatan.
Perubahan PAO2-PaO2 saat istirahat, FVC, dan Dlco dalam 1 tahun, akan
menggambarkan prognosis PPI. 15
Penyakit seperti polimiositis, scleroderma dan lupus eritematosus sistemik
harus dipikirkan bila uji pada pasien yang kooperatif menunjukkan penurunan maximal
voluntary ventilation (MVV) yang lebih besar dari penurunan maximal voluntary

19
pressure = MIP) sehubungan dengan kelemahan otot. Bila terdapat kelainan obstruktif
saluran napas, harus dipikirkan adanya PPOK, asma atau bronkiektasis yang menyertai
PPI. 15
Evaluasi fungsi paru saat latihan, baik tunggal maupun serial dapat membantu
penatalaksanaan PPI. Beratnya hipoksemia imbas latih dan perbedaan tekanan O2
alveolus-arteri (gradient A-alfa O2) berhubungan dengan beratnya fibrosis paru. 15
Diagnosis pasti ILD adalah dengan biopsi paru. Untuk mendapatkan hasil
jaringan yang terbaik, biopsi dilakukan dengan open lung biopsy yang mortaliti dan
morbiditinya tinggi. Selain itu bisa juga dengan prosedur video-assisted thoracoscopy
(VATS) yang relatif lebih mahal dari biopsi transbronkial maupun dengan pemeriksaan
bronchoalveolar lavage (BAL) yang merupakan pendekatan diagnostik lain dari ILD.
Prosedur transbronkial dan BAL dilakukan dengan menggunakan bronkoskop serat
lentur (fiberoptic bronchoscopy) yang morbiditi dan mortalitinya lebih rendah.
Pemeriksaan BAL bertujuan untuk mendapatkan sampel sel-sel dan komponen
nonselular dari unit bronkoalveolar yang dapat digunakan untuk menentukan diagnosis,
menentukan stadium penyakit, dan menilai kemajuan terapi (follow up) pada beberapa
penyakit ILD. 15

Pneumonitis hipersensitivitas
HP atau extrinsic allergic alveolitis (EAA) suatu sindrom akibat inhalasi
antigen berulang terutama partikel organik seperti bakteri termofilik, protein avian,
jamur dan bahan kimia. Apabila terjadi interaksi dengan antigen maka akan terdapat
kompleks imun yang terdeposisi di paru (reaksi Arthus) dan terdapat produksi antibodi
IgG dan IgM di paru. Pembentukan granuloma terjadi akibat infiltrasi makrofag dan
16
limfosit ke dalam dinding bronkiolus dan dinding alveoli.
Pneumonitis hipersensitivitas ditandai dengan kelainan yang terjadi pada suatu
kelompok (kluster), orang yang memiliki lingkungan atau pekerjaan yang sama. Oleh
karena itu Pneumonitis hipersensitivitas bukanlah reaksi idiosinkrasi orang tertentu
akibat paparan zat tertentu. Peradangan paru akibat masuknya zat ke saluran napas
secara individual, seperti misalnya hipersensitivitas pada suatu orang tertentu akibat
cairan bilas bronkus saat bronkoskopi, tidak digolongkan pada Pneumonitis
hipersensitivitas. Beberapa contoh Pneumonitis hipersensitivitas antara lain adalah
bagasosis di Lousiana Amerika Serikat, penyakit paru operator mesin (mesin operator’s
lung), penyakit paru petani (farmers lung disease= FLD), penyakit penggemar burung

20
( bird’s fancier’s disease= BFD) di Eropa dan Amerika, penyakit peternak merpati
(pigeon breader disease=PBD) di Meksiko dan Amerika Serikat, paru ventilator,
Pneumonitis hipersensitivitas musim panas Jepang (Japanese Summer – type
hypersensitivity Pneumonia). 16
Gambaran klinik PH bisa akut atu kronik. Pada kondisi akut, sesak napas, batuk
kering, mialgia, menggigil, diaforesis, sakit kepala dan malaise. Dapat timbul 2-9 jam
pasca paparan. Puncak gejala akan tampak antara 6-24 jam dan akan berkurang sendiri
tanpa terapi umumnya dalam 1-3 hari. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai demam,
takipneu, ronki di kedua basal dan bisa sianosis. 3
Sebagaimana umumnya pada PPI, pada PH akut gambaran radiologi didominasi
oleh gambaran radiodensitas nodular tidak berbatas tegas, dengan daerah ground glass
atau bahkan konsolidasi. Sedangkan pada PH kronik, garis-garis radiodensitas yang
menggambarkan fibrosis lebih menonjol dan bercampur dengan bayangan nodular.
Gambaran ini terutama ada di lobus atas. 3
Pada CT scan terutama HRCT, pasien dengan PH kronik akan menunjukkan
nodul sentrilobular multiple dengan diameter 2-4 mm dengan daerah-daerah ground
glass. Daerah ground glass ini lebih mendominasi di lobus bawah. Berbeda dari
sarkoidosis, nodul pada PH tidak menempel pada pleura atau berkas bronkovaskular.
Bisa ditemukan lekositosis dengan netrofilia dan limfopenia di darah tepi. Pada
bilasan brunkus terdapat netrofilia. Walaupun disebut hipersensitivitas atau reksi alergi
tetapi pada PH terdapat eosinofilia atau peningkatan IgE. Tanda peradangan non
spesifik seperti LED atau CRP bisa meningkat. Terdapat peningkatan IgG, IgM dan
IgA terhadap zat yang menimbulkan perangsangan di dalam serum dan cairan bronkus
Untuk menegakkan diagnosis PH digunakan kriteria mayor dan minor (tabel 1).
Diagnosis PH tegak bila semua kriteria mayor harus terpenuhi dan minimal terdapat 4
kriteria minor serta penyakit lain yang serupa telah disingkirkan.
Jenis PH dan lokasi geografis PH membedakan prognosis dari PH. Misalnya
penyakit peternak merpati di Eropa memiliki prognosis yang baik, tetapi di Meksiko
penyakit yang sama memiliki kematian dalam 5 tahun mencapai 30 %.
Kriteria mayor Kriteria minor
1. Ada bukti paparan antigen yang 1. Ronki kedua basal paru
sesuai, baik dari anamnesis 2. Kapasitas difusi paru menurun

21
maupun pemeriksaan antibodi 3. Hipoksemia arteri, baik karena
serum latihan atau saat istirahat
2. Gejala yang sesuai dengan PH 4. Kelaianan histologi paru yang
3. Kelainan radiologi atau histologi sesuai dengan PH
yang sesuai PH 5. Adanya peningkatan suhu,
lekosit, perubahan radiologi atau
peningkatan gradient alveolar-
arteri (ditandai dengan penurunan
PaO2) setelah adanya paparan
alamiah dengan antigen yang
diduga
6. Limfositosis dari cairan lavase
bronkus

Tatalaksana
Penatalaksanaan penyakit ini dimulai dari menjauhkan pasien dari paparan. Bila
belum terjadi fibrosis yang luas, kelainan umumnya akan membaik dalam beberapa hari
hingga sebulan. Balum ada penelitian formal akan penggunaan steroid, tetapi prednison
atau prednisolon sering digunakan pada PH dengan dosis 40-60 mg/ hari sampai 2
minggu lalu diturunkan bertahap dalam waktu 1-2 bulan. Penggunaan steroid
tampaknya mempercepat pengurangan peradangan aktif sehingga perbaikan klinis
lebih cepat. Tetapi steroid tidak berguna pada proses kronis (fibrosis) yang sudah
terjadi, sehingga setelah 6 bulan, saat tanpa steroid pun peradangan aktif sudah
berkurang, keadaan paru tidak akan berbeda antara yang mendapat steroid dan yang
tidak mendapat steroid.

2.2.7 Diagnosis Banding 17


Karena gejala HP tidak spesifik, maka harus diingat diagnosis banding sebagai
berikut:
 Pada HP bentuk akut, harus dipertimbangkan kemungkinan penyakit lain: pneumonia
atipikal atau viral, penyakit kolagen vaskular sindroma toksik debu organik, dan
beberapa trauma paru akibat inhalasi akut.

22
 Bila berhadapan kasus HP dengan wheezing, maka pikirkanlah adanya: asma
bronkial, allergic bronchopulmonary , aspergilosis dan byssinosis.
 Pada HP kronis, harus dipikirkan penyakit kronis lain: tuberkulosis milier,
sarkoidosis, infeksi jamur, granuloma eosinofilik, dan fibrosis paru idiopatik.

2.2.8 PROGNOSIS 18,19


Prognosis bervariasi tergantung pada bentuk penyakit (akut atau kronis) dan
lokasi kejadian pajanan antigen. Contoh, farmer’s lung disease prognosisnya baik di
Quebec (Kanada). Tetapi kasus yang sama di Finlandia prognosisnya kurang baik.
Sering timbul gangguan fungsi paru dan kematian. Penyebab dari keadaaan tersebut
belum jelas, mungkin adanya perbedaan struktur antigen dan cara pajanannya.
Meskipun angka mortalitas dalam literatur tidak dijelaskan secara rinci namun di
Inggris dan Wales dari tahun 1968 hingga 2008 terdapat 878 kematian karena HP
dengan angka mortalitas lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan dan
meningkat seiring peningkatan usia.
Berdasarkan studi kohort Danish dimana diagnosa berdasarkan kriteria saat ini,
5 tahun survival HP yaitu sebesar 93%. Berdasarkan antigen penyebab, beberapa studi
menyatakan birdfancier’s hypersensitivity pneumonitis memiliki prognosis buruk
dibandingkan farmer’s lung, kemungkinan disebabkan pasien dengan fibrosis pada
HRCT dan atau biopsi paru memiliki prognosis yang buruk. Faktor-faktor yang
dihubungkan dengan prognosis yang buruk yaitu lamanya pajanan, usia tua, pola
histologi fibrosis NSIP (non-specific interstitial pneumonia) atau UIP (usual interstitial
pneumonia), digital clubbing, dan besarnya intensitas pajanan.

2.2.9 KOMPLIKASI 20
HP dapat menyebabkan komplikasi fatal jika tidak didiagnosis atau dikendalikan
dengan baik, misalnya:
1. Kerusakan paru irreversibel dan fungsi paru berkurang secara permanen karena
fibrosis berat serta kemampuan yang terganggu untuk mengoksidasi darah selama
pernapasan normal.
2. Hipertensi pulmonal akibat kerusakan pembuluh darah di paru-paru.
3. Gagal jantung akibat inflamasi sehingga membuat jantung lebih sulit memompa
darah ke dan melalui paru-paru.

23
2.2.10 Pencegahan dan Pengendalian penyakit sistem respirasi akibar kerja21
Tindakan pencegahan merupakan tindakan yang paling penting pada
penatalaksanaan penyakit sistem respirasi akibat kerja. Berbagai tindakan pencegahan
perlu dilakukan untuk mencegah timbulnya penyakit atau mengurangi laju penyakit.
Five level prevention atau lima tingkat pencegahan umum dari Leavell and Clark yang
dapat dilakukan adalah :
1. Health Promotion (Promosi Kesehatan) Langkah pencegahan awal untuk
menghindari adanya penyakitparu akibat kerja, yaitu : Pengenalan lingkungan kerja
kepada tenaga kerja agar tenaga kerja dapat mengetahui bahaya – bahaya apa saja yang
dapat terjadi di lingkungan kerjanya dan tenaga kerja dapat mencegahnya.
a. Sebelumnya, dokter perusahaan harus membuat peta resiko (risk matrix) area
pekerjaan. Setelah itu, dokter perusahaan dan pihak-pihak terkait bidang
kesehatan perusahaan lainnya, seperti paramedis perusahaan bekerja sama
untuk mensosialisasikan kepada pekerja tentang agen-agen yang dapat
menyebabkan penyakit paru, seperti agen biologi dan kimia.
b. Membentuk peraturan atau perundang - undangan tentang perlindungan paru
para pekerja untuk mencegah adanya penyakit paru akibat kerja.
c. Membentuk program perlindungan dan perawatan yang diikutsertakan dalam
program pendidikan, yaitu memuat informasi tentang paru sehat dan
penyakit paru yang terkait dengan pekerjaan.
d. Memberikan pengenalan diri tentang penyakit paru dan penggunaan prosedur
perlindungan, sebagai contoh, program perlindungan paru pada pekerja di
daerah yang kering dan berpotensi timbulnya angin yaitu dengan
menggunakan masker penutup hidung.
e. Mengadakan rekreasi ke tempat yang berhawa sejuk agar paru tenaga kerja
tidak selalu terpapar oleh agen.
f. Menempatkan posisi ventilasi yang tepat dan cukup apabila tempat kerja
tertutup.
2. Specific Protection (Pemberian Perlindungan Khusus)
a. Menciptakan kondisi tempat kerja yang baik dan sanitasinya baik.
b. Pemeriksaan kesehatan dilakukan sebelum penempatan dan berkala, juga
perhatian khusus pada paru. Pemeriksaan kesehatan berkala dianjurkan

24
dilakukan dengan selang waktu 6 bulan sampai 2 tahun, tergantung pada
tingkat paparan di tempat kerja.
c. Tenaga kerja hendaknya memakai masker agar tidak terpapar oleh agenagen
penyebab penyakit paru. Selain itu, pekerja dilarang untuk merokok karena
akan menyebabkan paru pekerja lebih rentan apabila terpapar oleh agen –
agen penyebab penyakit, baik debu, mikroorganisme, bahan kimia, dan
sebagainya.
d. Isolasi sumber agar tidak mengeluarkan debu diruang kerja dengan „Local
Exhauster‟ atau dengan melengkapi water sprayer pada cerobong asap.
e. Substitusi alat yang mengeluarkan debu dengan yang tidak mengeluarkan
debu.
f. Memakai metode basah yaitu, penyiraman lantai dan pengeboran basah (Wet
Drilling).
g. Dengan alat berupa Scrubber, Elektropresipitator, dan Ventilasi Umum.

3. Early diagnosis and promt treatmen (Diagnosa dini dan Terapi segera)
a. Mencari tenaga kerja yang mempunyai resiko menderita penyakit paru.
b. Memeriksa daya pacu paru-paru, kapasitas maksimal oksigen paru tenaga
kerja sehingga dapat mengetahui gambaran perkembangan kesehatan tenaga
kerja.
c. Anamnesis riwayat medis lengkap termasuk riwayat pajanan di tempat kerja
dan lingkungan
d. Pemeriksaan penunjang:
- Pemeriksaan langsung untuk mengidentifikasi kondisi ekstraparu yang
berkontribusi terhadap impairment seperti pemeriksaan darah lengkap dan
EKG.
- Pemeriksaan untuk menilai impairment respirasi yaitu foto toraks.
Spirometri, DLco (single breath diffusing capacity), Ct scan, Bal, dan lain –
lain.
- Pemeriksaan faal paru dan radiologi sebelum seorang menjadi pekerja dan
pemeriksaan secara berkala untuk deteksi dini kelainan yang timbul. Bila
seseorang telah mendenita penyakit, memindahkan ke tempat yang tidak
terpapar mungkin dapat mengurangi laju penyakit.

25
- Penderita yang atopik idealnya dianjurkan menghindari tempat yang jelas
tepat mencetuskan serangan asma, seperti produksi sutra, deterjen, dan
pekerjaan

4. Dissability Limitation (pembatasan ketidakmampuan/kecacatan)


a. Terapi yang tepat untuk menghentikan penyakit dan cegah komplikasi dan
kecacatan.
b. Mencegah progesivity dan antisipasi komplikasi seperti berhenti merokok,
profilaksis TB pada pekerja silika Pekerja hendaklah berhenti merokok terutama
bila bekerja pada tempat-tempat yang mempunyai risiko terjadi penyakit
bronkitis industri dan kanker paru, karena asap rokok dapat meninggikan risiko
timbulnya penyakit.
c. Penyediaan fasilitas untuk membatasi cacat dan cegah kematian
d. Memberikan waktu istirahat atau cuti kepada pegawai yang sakit untuk berobat.
5. Rehabilitasi
a. Menempatkan tenaga kerja yang terkena penyakit paru di tempat yang tidak
berisiko untuk memperburuk keadaan parunya.
b. Apabila tidak dapat dipindahkan, maka tenaga kerja yang terkena penyakit paru
diberikan perlindungan ekstra, seperti pemakaian masker khusus dan pemberian
waktu yang relatif singkat untuk menghindari paparan agen penyebab penyakit
paru lebih lama dan memperburuk keadaan paru.
c. Memberikan perlindungan ekstra pada tempat – tempat yang berisiko untuk
menyebabkan penyakit paru.

2.3 Bisinosis
2.3.1 Definisi
Kata bisinosis berasal dari perkataan Yunani byssos yang berarti fine flax atau
fine linnen yang dihasilkan tanaman flax. Penyakit Bisinosis adalah penyakit
pneumoconiosis yang disebabkan oleh pencemaran debu napas atau serat kapas di
udara yang kemudian terhisap ke dalam paru-paru. Debu kapas atau serat kapas ini
banyak dijumpai pada pabrik pemintalan kapas, pabrik tekstil, perusahaan dan

26
pergudangan kapas serta pabrik atau bekerja lain yang menggunakan kapas atau tekstil;
seperti tempat pembuatan kasur, pembuatan jok kursi dan lain sebagainya.22 Dalam
literature lain juga dikatakan bisinosis adalah penyakit paru akibat kerja dengan
karakterisasi penyakit saluran pernafasan akut atau kronis yang dijumpai pada pekerja
pangolahan kapas.23
Umumnya penyakit paru lingkungan berlangsung kronis menetap kadang-kadang
sulit diketahui kapan mulainya, terpapar oleh polutan jenis apa atau saat pekerja bekerja
di bagian mana dari tempat kerjanya mendapatkan paparan. Terutama bila pekerja juga
seorang perokok. Pasien umumnya mengeluh sesak napas, batuk-batuk, mengi, batuk
mengeluarkan dahak. Pasien penyakit paru kerja umumnya mengeluh penyakit paru
(asma) timbul atau makin berat apabila is berada di tempat kerja dan mengurang lagi
apabila keluar dari tempat tersebut. Karena polutan berefek tidak hanya pada paru tetapi
juga pada organ di luar paru, maka pasien juga bisa mengeluh akibat proses-proses-di
luar paru yang mungkin timbul. 23

2.3.2 Epidemiologi
Pekerja-pekerja yang bekerja di lingkungan pabrik tekstil, yang mengolah kapas
sejak penguraian kapas, pembersihan, pemintalan dan penenunan, semuanya termasuk
mempunyai risiko timbulnya byssinosis. Diketahui bahwa di masing-masing bagian
tersebut kadar/konsentrasi debu kapas tidak sama, maka besarnya risiko juga berbeda-
beda. Studi klinis sebelumnya melaporkan bahwa angka kejadian bronkitis kronis pada
para pekerja pabrik tekstil sekitar 4,5-26%. Pekerja yang bekerja pada bagian
pembersihan kapas untuk dipintal, pembersihan mesin-mesin tersebut mempunyai
risiko paling tinggi terjadinya bissinosis.22
Pekerja-pekerja yang bekerja di lingkungan pabrik tekstil, yang mengolah kapas
sejak penguraian kapas, pembersihan, pemintalan dan penenunan, semuanya termasuk
mempunyai risiko timbulnya byssinosis. Diketahui bahwa di masing-masing bagian
tersebut kadar/konsentrasi debu kapas tidak sama, maka besarnya risiko juga berbeda-
beda. Studi klinis sebelumnya melaporkan bahwa angka kejadian bronkitis kronis pada
para pekerja pabrik tekstil sekitar 4,5-26%. Pekerja yang bekerja pada bagian
pembersihan kapas untuk dipintal, pembersihan mesin-mesin tersebut mempunyai
risiko paling tinggi terjadinya bissinosis.23

2.3.3 Faktor Risiko

27
Faktor-Faktor yang Dapat Mempengaruhi Berat atau Ringannya Grade Bisinosis
1. Lamanya bekerja di industri tekstil.
2. Level dari paparan debu
Penyebab yang sebenarnya sampai debu kapas bisa mengakibatkan bisinosis masih
tetap merupakan tantangan untuk dilakukan penelitian yang lebih lanjut. Dan selama
puluhan tahun berlaku hipotesis mengenai etiologi bisinosis berikut :
1. Efek mekanis debu kapas yang dihirup ke dalam paru.
2. Akibat pengaruh endotoksin bakteri Gram-negatif pada fungsi pernafasan
3. Merupakan reaksi allergi dari pekerja kepada debu kapas.
4. Akibat bekerjanya zat kimia dari debu kapas kepada paru seperti zat kimia
bronkho-konstriktor atau enzim.
5. Reaksi psikis dari para pekerja
Namun tidak secara tunggal dari etiologi diatas yang sebenarnya dapat dibuktikan
secara pasti sebagai penyebab bisinosis, oleh karena itu beberapa peneliti mengusulkan
teori jamak bisinosis di mana kelima faktor penyebab diatas bersama-sama menjadi
penyebab yang menimbulkan gejala penyakit.

2.3.4 Gejala Klinis


Masa inkubasi penyakit bisinosis cukup lama, yaitu sekitar 5 tahun. Tanda-
tanda awal penyakit bisinosis ini berupa sesak napas, terasa berat pada dada,
terutama pada hari Senin (yaitu hari awal kerja pada setiap minggu). Secara psikis
setiap hari Senin bekerja yang menderita penyakit bisinosis merasakan beban berat
pada dada serta sesak nafas. Reaksi alergi akibat adanya kapas yang masuk ke dalam
saluran pernapasan juga merupakan gejala awal bisinosis. Pada bisinosis yang sudah
lanjut atau berat, penyakit tersebut biasanya juga diikuti dengan penyakit bronchitis
kronis dan mungkin juga disertai dengan emphysema.

Gejala yang Ditimbulkan Menurut Tingkat Beratnya oleh Schilling

1. Tingkat 0 : Tidak ada gejala


2. Tingkat ½ : Kadang-kadang berat di dada (chest tightness) dan pendek nafas
(shortness of breath) pada hari Senin atau rangsangan pada alat-
alat pernafasan pada hari-hari Senin (hari pertama bekerja
sesudah tidak bekerja 2 hari)

28
3. Tingkat 1 : Berat di dada atau pendek nafas pada hari-hari Senin hampir pada
setiap minggu.
4. Tingkat 2 : Berat di dada atau pendek nafas pada hari-hari Senin dan hari-
hari lainnya pada setiap minggu.
5. Tingkat 3 : Bisinosis dengan cacat paru.

Sedangkan Menurut WHO


1. Derajat B 1 Rasa tertekan di dada dan atau sesak napas pada hari pertama kembali
bekerja
2. Derajat B 2 Rasa tertekan di dada dan atau sesak napas pada hari pertama kembali
bekerja dan pada hari-hari bekerja selanjutnya
Dengan menggunakan tingkatan berdasarkan beratnya gejala diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa pekerja yang memiliki gejala Bisinosis dengan tingkatan lebih
tinggi cenderung memiliki resiko penurunan fungsi paru yang lebih besar.
Gambaran Bisinosis berbeda dengan asma, dimana pada asma terdapat reaksi cepat
antara 10 – 30 menit setelah terpajan protein antigen untuk menimbulkan gejala,
sedangkan gejala pada Bisinosis adalah reaksi lambat yang membutuhkan waktu
hingga beberapa jam. Perbedaan lain, yaitu Bisinosis mengenai sebagian pekerja yang
terpajang sedangkan asma hanya sebagian kecil saja. Selain itu, pada Bisinosis tidak
ada riwayat keluarga dan riwayat asma seperti pada penderita asma.

2.3.5 Patogenesis
Patogenesis bisinosis sebenarnya tidak benar-benar dipahami, Namun
tampaknya diawali dengan inhalasi beberapa komponen aktif dalam bracts (daun di
sekitar dahan bola kapas) yang menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast di dalam
paru. Pelepasan histamin tersebut menyebabkan timbulnya gejala pada hari pertama
kerja setelah libur hari minggu24. Selanjutnya, John B. Wrest 25 mengungkapkan bahwa
inhalasi debu organik lebih menyebabkan reaksi jalan napas daripada reaksi alveolar.
Sehingga dapat dikatakan bahwa terjadinya bisinosis diakibatkan oleh terjadinya
penyempitan jalan napas karena menghirup debu kapas, rami, serat rami, atau goni 25.

Secara lebih rinci, inhalasi debu yang sangat mungkin mengandung endotoksin
bakteri menyebabkan terjadi pelepasan histamin yang kemudian menimbulkan adanya
kontraksi otot polos yang mengakibatkan orang-orang dengan bisinosis umumnya

29
mengalami gejala mengi, sesak napas, sesak dada, dan batuk-batuk selama hari kerja
(selama terpapar atau mendapat paparan debu).26 Selain itu,bronkokonstriksi yang
dihasilkan tersebut juga menyebabkan munculnya dipsnea selain mengi. 27

Selanjutnya, paparan jangka panjang debu kapas, rami, atau serat jute dapat
menyebabkan terbentuknya jaringan parut permanen pada paru-paru dan saluran
pernapasan yang mengakibatkan munculnya penyakit pada paru-paru dan paru-paru
melemah. Selain itu, partikel-partikel debu kapas yang tak terlihat juga masuk ke dalam
alveoli paru-paru melalui inhalasi kemudian masuk ke dalam limfa (getah bening) yang
selanjutnya menyebabkan kerusakan pada alveoli, penyempitan saluran udara,
berkurangnya kapasitas untuk mempertahankan oksigen, dan dengan terakumulasinya
debu kapas, para pekerja mulai merasakan sesak di dada (feeling of chest tightness) .26

Gejala bisinosis mungkin muncul dalam kecepatan beberapa jam setelah


paparan dan berkurang ketika pekerja meninggalkan lingkungan pabrik.25 Namun,
masa inkubasi dari bisinosis itu sendiri adalah 5 tahun.27 Dan berdasarkan studi
epidemiologi, paparan harian lebih dari 20 tahun menyebabkan gangguan fungsi paru
permanen yang tipe atau jenisnya berhubungan dengan PPOK.26 Sebab, paparan
terhadap debu kapas, vlas, henep, atau sisal yang terus menerus selama bertahun-tahun
menyebabkan iritasi saluran pernapasan bagian atas dan bronkus, kemudian setelah
paparan berlanjut maka terjadi penyakit paru obstruktif kronis.24

2.3.6 Diagnosis Bisinosis

Diagnosis penyakit bisinosis pada tingkat dini ditegakkan dengan cara


mewawancarai para pekerja untuk menemukan rasa hari senin, sedangkan
pemeriksaaan klinis, laboratoris dan rontgen paru bisa saja tidak menunjukkan ada
kelainan, kecuali uji fungsi paru (ventilasi ekspirasi paksa/FEV 1,0).24 William N. Rom
dan Steven B. Markowitz.28 menjelaskan bahwa tidak ada kriteria universal untuk
mendiagnosis bisinosis. Kemudian, Ronald B. George menjelaskan bahwa diagnosis
bisinosis yang utama atau paling utama bergantung pada riwayat pekerjaan dari pola
gejala karakteristik bisinosis yang dihubungkan dengan paparan terhadap debu kapas
atau debu alami tekstil lainnya.29. Sementara menurut J. Jeyaratnam dan David Koh,30
diagnosis bisinosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat klinis dan riwayat pajanan.

William N. Rom dan Steven B. Markowitz28 juga menjelaskan bahwa secara

30
tradisional, kriteria yang lebih umum digunakan untuk menetapkan bisinosis adalah
gejala khas hari petama atau gejala hari senin. Diagnosis sering dilakukan berdasarkan
gejala-gejala pada pekerja berupa pendek napas dan sesak napas/rasa dada tertekan
serta pengetahuan dokter mengenai keadaan industri dan keadaan klinis dimana
penyakit ini mungkin terjadi. Sementara Cherie Berry dkk (2007) 31 menjelaskan bahwa
pemeriksaan kesehatan yang akan diberikan kepada calon karyawan sebelum tugas
awal mereka harus mencakup :

1) Riwayat medis untuk mengidentifikasi masalah kesehatan yang ada atau penyakit
yang dapat mempengaruhi pernapasan.

2) Kuesioner pernapasan standar menanyakan tentang masalah seperti batuk, sesak


dada dan riwayat merokok.

3) Tes fungsi paru (pernapasan) termasuk kapasitas paksa vital (FVC), jumlah udara
yang bisa memaksa keluar setelah mengambil napas dalam-dalam, dan volume
ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1), jumlah udara dipaksa keluar selama detik
pertama ekspirasi.

Uji fungsi paru adalah alat untuk mengevaluasi sistem pernapasan, kelainan
yang terkait, riwayat penyakit pasien, penelitian berbagai kondisi paru dan uji invasif
seperti bronkoskopi dan biopsi terbuka paru. Uji fungsi paru dapat membantu diagnosis
dan penatalaksanaan pasien penyakit paru atau jantung, penentuan toleransi tindakan
pembedahan, evaluasi kesehatan untuk kepentingan asuransi, penelitian epidemiologi
terhadap bahaya suatu substansi serta prevalensi penyakit dalam komunitas.32

Metode yang paling sering digunakan untuk menilai fungsi paru adalah Spirometri.
Selain itu, spirometri merupakan suatu pemeriksaan yang menilai fungsi terintegrasi
mekanik paru, dinding dada dan otot-otot pernapasan dengan mengukur jumlah volume
udara yang dihembuskan dari kapasitas paru total (TLC) ke volume residu. Pada
Spirometri, dapat dinilai 4 volume paru dan 4 kapasistas paru, yaitu 32:

. Volume paru:

1. Volume tidal, yaitu jumlah udara yang masuk ke dalam dan ke luar dari paru
pada pernapasan biasa.

31
2. Volume cadangan inspirasi, yaitu jumlah udara yang masih dapat masuk ke
dalam paru pada inspirasi maksimal setelah inspirasi biasa.
3. Volume cadangan ekspirasi, yaitu jumlah udara yang dikeluarkan secara aktif
dari dalam paru setelah ekspirasi biasa.
4. Volume residu yaitu jumlah udara yang tersisa dalam paru setelah kspirasi
maksimal.
Kapasistas Paru

1. Kapasitas paru total, yaitu jumlah total udara dalam paru setelah inspirasi
maksimal.
2. Kapasitas vital, yaitu jumlah udara yang dapat diekspirasi maksimal setelah
inspirasi maksimal.
3. Kapasitas inspirasi, yaitu jumlah udara maksimal yang dapat masuk ke dalam
paru setelah akhir ekspirasi biasa.
4. Kapasitas residu fungsional, yaitu jumlah udara dalam paru pada akhir ekspirasi
biasa. Hasil spirometri yang mendokumentasikan penurunan FEV1 dapat
mendukung diagnosis bisinosis.
Gambaran penurunan FEV 1 yang bermakna (10% atau lebih) setelah terpajan
selama 6 jam pada hari pertama bekerja setelah akhir minggu memberikan bukti
objektif tentang efek akut. Derajat perbaikan penyumbatan jalan napas dapat dikaji
dengan tes FEV1 sebelum giliran tugas dilakukan setelah dua hari tidak terpajan.30
Selain itu, menurut John B. West 26 uji fungsi paru menunjukkan pola obstruktif dengan
penurunan FEV1, FEV/FVC, FEF 25-75%, dan FVC. Abnormalitas tersebut khasnya
memburuk secara bertahap pada hari kerja. Namun, penyembuhan baik parsial maupun
komplet terjadi pada malam hari atau selama akhir pekan dan tidak adanya bukti
terkena parenkim serta foto toraks terlihat normal.

2.3.7 Penatalaksana dan Pengendalian

Sebagai penyebab byssinosis, pengendalian paparan debu membutuhkan


pemahaman mengenai asal debu tersebut, faktor yang memperngaruhi jumlah debu
yang berhubungan dengan serat, serta karakterisitik fisik dan kimianya. Dengan ini,
maka dapat dilakukan berbagai metode pengendalian debu di setiap proses.

32
Proses pembuatan kapas memiliki beberapa tahapan dimana terdapat perbedaan jumlah
paparan debu dan juga kontaminan didalamnya

Pada proses pertama pembuatan kapas, yaitu penanaman dan panen tanaman
kapas, terdapat bahaya paparan debu yang tinggi, ditambah dengan penggunaan bahan
kimia untuk memperbaiki kualitas tanah yang membuat tanaman kapas menjadi lebih
berdebu. Terdapat dua tipe panen yang dilakukan dalam prosesnya, yaitu panen
menggunakan tangan dan menggunakan mesin. Panen menggunakan tangan
memproduksi lebih sedikit debu dalam prosesnya dibandingkan menggunakan mesin.
Sebelum memasuki proses selanjutnya yaitu penjeratan, kapas disimpan dalam tempat
penyimpanan yang dapat dipengaruhi beberapa faktor seperti kelembaban yang dapat
meningkatkan pertumbuhan bakteri dan jamur, oleh karena itu, pengendalian debu pada
tahap ini adalah edukasi mengenai faktor yang mempengaruhi komponen debu dan juga
metode panen yang tepat dan lebih sedikit menghasilkan debu.
Proses kedua yaitu penjeratan atau ginning, dilakukan pemisahan biji dari
batang-batang tanaman kapas. Proses ini menghasilkan produk serat yang juga
mengandung debu dengan partikel yang respirabel. Teknik pengendalian pada proses
ini adalah secara engineering yaitu penguapan atau steaming serat-serat kapas. Namun
perlu diperhatikan juga proses pengeringan yang dibutuhkan setelah penguapan, karena
jika serat menjadi lembab, maka pertumbuhan bakteri dan jamur akan meningkat.
Proses terakhir adalah penggilingan, mengubah serat serat halus menjadi
benang. Pada proses ini jumlah debu tidak berubah dari proses penjeratan.
Pengendalian debu yang dilakukan ialah secara mekanis yaitu menggunakan mesin,
penutupan mesin, dan juga pembuatan ventilator udara pada ruangan produksi.

33
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang diakibatkan oleh atau dihubungkan
dengan lingkungan kerja. Lingkungan kerja tidak hanya terbatas pada tempat kerja
formal seperti pabrik atau tempat kerja lain yang terorganisir dengan baik tetapi dapat
juga tempat kerja informal seperti industri rumah tangga, industri tekstil yang dikelola
secara sederhana, pengelolaan timbal aki bekas, penggunaan pestisida oleh petani,
penggunaan solder timah pada jasa perbaikan alat elektronik dan lain-lain, penyakit

34
akibat kerja yang paling sering mengenai saluran nafas diantaranya adalah asma dan
rhinitis.
Asma akibat kerja merupakan asma yang disebabkan oleh lingkungan kerja dan
bukan oleh rangsangan di luar tempat kerja dan diagnosis asma kerja akan berpengaruh
terhadap pekerja dan lingkungan kerja. Work-related asthma (WRA) atau asma yang
berhubungan dengan pekerjaan terdiri dari asma kerja (occupational asthma/OA) dan
asma yang diperburuk oleh faktor pekerjaan (work-excacerbated asthma/WEA)
merupakan penyakit paru kerja yang paling banyak dijumpai. Pneumonitis
hipersentivitas (HP) adalah peradangan paru yang disebabkan oleh reaksi alergi setelah
inhalasi debu, jamur, atau bahan kimia.
Etiologi OA dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu senyawa high
molecular weight (HMW) dan senyawa low molecular weight (LMW). Etiologi HMW
berasal dari protein dari tumbuhan atau binatang, sedangkan LMW berupa garam
platinum, pewarna reaktif, anhidrat asam, sulfonekloramid, dan beberapa spesies kayu.
OA paling banyak menjangkit pekerja di pabrik pembuatan roti, pabrik pemroses
makanan, pengecat, penata rambut, pengrajin kayu, pekerja kesehatan, janitor, petani,
teknisi laboratorium, dan pengelas.
Penyebab HP yang terdapat pada lingkungan kerja adalah mikroba, protein
tumbuhan dan binatang, kimia organik dan anorganik. Kedua penyakit ini berpotensial
menimbulkan morbiditas akut, disability jangka panjang, mempunyai dampak sosial
dan ekonomi. Penyakit Bisinosis adalah penyakit pneumoconiosis yang disebabkan
oleh pencemaran debu napas atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke dalam
paru-paru. Debu kapas atau serat kapas ini banyak dijumpai pada pabrik pemintalan
kapas, pabrik tekstil. Dan pencegahan dan pengendalian penyakit paru akibat kerja
dengan 5 cara : promotion, pelindung diri, early diagnostic, Dissability Limitation ,
rehabilitatif
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. DETERMINANTS OF ASTHMA DISEASE IN WORKERS OF PRODUCTIVE AGE


IN INDONESIA BASIC HEALTH RESEARCH 2013 Buletin Penelitian Kesehatan,
Vol. 46, No. 1, Maret 2018: 11 - 22
2. Baratawidjaja K, Harjono T. Asma Akibat Kerja.Buku Ajar IlmuPenyakit Dalam Jilid II
edisi ketiga.Balai Penerbit FKUI Jakarta,2001;33-42

35
3. Yeung MC. Malo JL.Occupational Asthma.The New England Journal of Medicine.vol
333 no 2, 2007;107-112.4.
4. Aditama TY.Asma Kerja. Penyakit Paru Akibat Kerja.PendidikanKedokteran
Berkelanjutan Ikatan Dokter Indonesia,1997;37-42.
5. Jordan B Minov1, Jovanka Karadzinska-Bislimovska1, Engin Tutkun2, Kristin
Vasilevska3, Saso Stoleski1 and Mijakoski D1 .Clinical and Functional
Outcomes of Sensitizer-Induced Asthma in Bakers and Cotton Workers after
Removal from Exposure. Institute for Occupational Health of R. Macedonia, R.
Macedonia. January, 2016. P (2)1.001-006.
6. Tor B Aasen1, P Sherwood Burge2, Paul K Henneberger3, Vivi Schlünssen4, Xaver Baur5.
Diagnostic Approach In Cases With Suspected Work-Related Asthma. on behalf of the
ERS Task Force on the Management of Work-related Asthma and EOM Society. Aasen
et al. Journal of Occupational Medicine and Toxicology 2013, 8:17

7. David Fishwick1, Chris Barber1, Samantha Walker2, Alister Scott3. Asthma In The
Workplace: A Case-Based Discussion And Review Of Current Evidence. Centre for
Workplace Health, Health and Safety Laboratory, Buxton, Derbyshire and the University
of Sheffield, Sheffield, UK. Prim Care Respir J 2013; 22(2): 244-248

8. Costabel U, Bonella F, Guzman J. Chronic hypersensitivity pneumonitis. Clin Chest


Med. 2012;33(1):151–163. doi: 10.1016/j.ccm.2011.12.004.
9. (Epidemiology of occupational asthma Cori Copilevitz, MD, Mark Dykewicz, MD* C.
Copilevitz, M. Dykewicz / Immunol Allergy Clin N Am 23 (2003) 155–166)
10. Hypersensitivity Pneumonitis Symptoms, Causes and Risk Factors [Internet]. American
Lung Association. 2019 [cited 9 February 2019]. Available from:
https://www.lung.org/lung-health-and-diseases/lung-disease-lookup/hypersensitivity-
pneumonitis/symptoms-causes-risks.html
11. Pneumonitis - Symptoms and causes [Internet]. Mayo Clinic. 2019 [cited 9 February
2019]. Available from: https://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/pneumonitis/symptoms-causes/syc-20352623
12. Occupational risk factors - ERS [Internet]. Erswhitebook.org. 2019 [cited 9 February
2019]. Available from: https://www.erswhitebook.org/chapters/occupational-risk-
factors/
13. Hsleh C, Kamangar N. Hypersensitivity Pneumonitis Clinical Presentation: History,
Physical Examination [Internet]. Emedicine.medscape.com. 2019 [cited 9 February
2019]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/299174-clinical#b1

36
14. Brinkmann C, Kurtboke I. Extrinsic allergic alveolitis-causing actinomycetes in indoor
and farm environments. MICROBIOLOGY AUSTRALIA * SEPTEMBER 2018
10.1071/MA18045.
15. Mohammed Abdulrazzaq Jabbar, Zailina Hashim, Huda Zainuddin, Rukman Awang
Hamat , Lye Munn-Sann. Respiratory Health Effects of Metalworking Fluid among
Metal Machining Workers: Review Article. sia Pacific Environmental and Occupational
Health Journal (ISSN 2462 -2214), Vol 3(2): 15-19, 2017
16. Christine Cramer, Vivi Schlünssen, Elisabeth Bendstrup, Zara, dkk. Risk of
hypersensitivity pneumonitis and interstitial lung diseases among pigeon breeders. Eur
Respir J 2016; 48: 818–825
17. Miller R, Allen TC, Barrios RJ, Beasley MB, Burke L, Cagle PT, et all. Hypersensitivity
pneumonitis. Arch Pathol Lab Med 2018;142:120- 126.
18. Sforza R, Marinou A. Hypersensitivity pneumonitis: a complex lung disease. Clin Mol
Allergy 2017;15:6.
19. Hanley A, Hubbard RB, Navaratnam V. Mortality trends in asbestosis, extrinsic
allergic alveolitis and sarcoidosis in England and Wales. Respir Med
2011;105:1373-9
20. Spagnolo P, Rossi G, Cavazza A, Bonifazi M, Paladini I, Bonella F, et al.
Hypersensitivity pneumonitis: a comprehensive review. J Investig Allergol Clin
Immunol 2015;25(4):237-250.

22. Sudoyo, A.W; Setiyohadi, B; Alwi, I; Simadibrta, MK; Setiati, S; 2006. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
23. Baratawidjaja, GK. 2010. Bisinosis dan hubungannya dengan obstruksi akut:
penelitian pada karyawan perusahaan tekstil di Jakarta dan sekitarnya. Dalam
http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.
jsp?id=83630&lokasi=lokal. Jakarta.

24. Suma'mur P.K 2014. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES),
Jakarta, Sagung Seto.
25. Farooque, M. I., Khan, B., Aziz, F., Moosa, M., Raheel, M., Kumar, S. dan
Mansuri, F. A. 2008. Byssinosis: as seen in cotton spinning mill workers of
Karachi. JOURNAL-PAKISTAN MEDICAL ASSOCIATION, 58, 95.
26. Kalasuramath, S., Kumar, M., K, S. M., Deshpande, D. V. dan S, V. C. 2015.
Incidence Of Byssinosis, Effects Of Indoor Pollutants And Associated Risk
Factors On Lung Functioned Among Women Working In Cotton Mills.
International Journal of Basic and Applied Physiology, 4, 152-160.

37
27. West, J. B. 2010. Patofisiologi Paru Esensial Edisi 6, Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
28. Djatmiko, R. D. 2016. Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Yogyakarta,
Deepubish.
29. Rom, W. N. dan Markowitz, S. B. 2007. Environmental and Occupational
Medicine: Fourth Edition, Philadelphia, USA, Lippincott Williams & Wilkins.
30. George, R. B., Light, R. W., Matthay, M. A. dan Matthay, R. A. 2005. Chest
Medicine Essentials of Pulmonary and Critical Care Medicine: Fifth Edition,
Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins.
31. Jeyaratnam, J. dan Koh, D. 2010. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja, Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
32. Berry, C., McNeely, A., Beauregard, K. dan Geddie, J. E. 2007. A Guide for
Persons Employed in Cotton Dust Environments, North Carolina, N.C.
Departmenet of Labor Occupational Safety and Health Program.
33. Harahap, F. dan Aryastuti, E. 2012. Uji Fungsi Paru. CDK-192, 39.

38

Anda mungkin juga menyukai