Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN POST SECTIO CAESARIA DENGAN PRE-EKLAMSIA

BERAT

I. Konsep Teori Sectio Caesaria


A. Definisi sectio caesaria
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus. (Sarwono, 2005)
Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat
sayatan pada dinding uterus melalui depan perut atau vagina. Atau disebut
juga histerotomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim. (Mochtar, 1998)

B. Etiologi
Menurut Mochtar (1998) faktor dari ibu dilakukannya sectio caesarea
adalah plasenta previa , panggul sempit, partus lama, distosia serviks, pre
eklamsi dan hipertensi. Sedangkan faktor dari janin adalah letak lintang dan
letak bokong.
Menurut Manuaba (2001) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah
ruptur uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan
indikasi dari janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram.
Dari beberapa faktor sectio caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab
sectio caesarea sebagai berikut :
1. CPD (Chepalo Pelvik Disproportion)
2. KPD (Ketuban Pecah Dini)
3. Janin Besar (Makrosomia)
4. Kelainan Letak Janin
5. Bayi kembar
6. Faktor hambatan jalan lahir
7. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
C. Jenis-jenis
1. Abdomen (SC Abdominalis)
a. Sectio Caesarea Transperitonealis
Sectio caesarea klasik atau corporal: dengan insisi memanjang pada
corpus uteri. Sectio caesarea profunda: dengan insisi pada segmen
bawah uterus.
b. Sectio caesarea ekstraperitonealis
Merupakan sectio caesarea tanpa membuka peritoneum parietalis dan
dengan demikian tidak membuka kavum abdominalis.
2. Vagina (sectio caesarea vaginalis)
Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesaria dapat dilakukan apabila:
a. Sayatan memanjang (longitudinal)
b. Sayatan melintang (tranversal)
c. Sayatan huruf T (T Insisian)
3. Sectio Caesarea Klasik (korporal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-
kira 10cm.
Kelebihan:
a. Mengeluarkan janin lebih memanjang
b. Tidak menyebabkan komplikasi kandung kemih tertarik
c. Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal

Kekurangan:

a. Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada


reperitonial yang baik.
b. Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri
spontan.
c. Ruptura uteri karena luka bekas SC klasik lebih sering terjadi
dibandingkan dengan luka SC profunda. Ruptur uteri karena luka
bekas SC klasik sudah dapat terjadi pada akhir kehamilan,
sedangkan pada luka bekas SC profunda biasanya baru terjadi
dalam persalinan.
d. Untuk mengurangi kemungkinan ruptura uteri, dianjurkan supaya
ibu yang telah mengalami SC jangan terlalu lekas hamil lagi.
Sekurang -kurangnya dapat istirahat selama 2 tahun. Rasionalnya
adalah memberikan kesempatan luka sembuh dengan baik. Untuk
tujuan ini maka dipasang akor sebelum menutup luka rahim.
4. Sectio Caesarea (Ismika Profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada segmen bawah
rahim kira-kira 10cm
Kelebihan:
a. Penjahitan luka lebih mudah
b. Penutupan luka dengan reperitonialisasi yang baik
c. Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan isi
uterus ke rongga perineum
d. Perdarahan kurang
e. Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptur uteri
spontan lebih kecil

Kekurangan:

a. Luka dapat melebar ke kiri, ke kanan dan bawah sehingga dapat


menyebabkan arteri uteri putus yang akan menyebabkan
perdarahan yang banyak.
b. Keluhan utama pada kandung kemih post operatif tinggi.

D. Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan/hambatan pada proses persalinan yang
menyebabkan bayi tidak dapat lahir secara normal / spontan, misalnya
plasenta previa sentralis dan lateralis, panggul sempit, disproporsi cephalo
pelvic, rupture uteri mengancam, partus lama, partus tidak maju, pre-eklamsia,
distosia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi tersebut menyebabkan perlu
adanya suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio Caesarea (SC).
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan
menyebabkan pasien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan
masalah intoleransi aktivitas. Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan
fisik akan menyebabkan pasien tidak mampu melakukan aktivitas perawatan
diri pasien secara mandiri sehingga timbul masalah defisit perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan,
dan perawatan post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada pasien.
Selain itu, dalam proses pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi pada
dinding abdomen sehingga menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan,
pembuluh darah, dan saraf - saraf di sekitar daerah insisi. Hal ini akan
merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin yang akan menimbulkan
rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses pembedahan berakhir, daerah insisi
akan ditutup dan menimbulkan luka post op, yang bila tidak dirawat dengan
baik akan menimbulkan masalah risiko infeksi.
E. Pemeriksaan penunjang
1. Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari
kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada
pembedahan.
2. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
3. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
4. Urinalisis / kultur urine
5. Pemeriksaan elektrolit
F. Penatalaksanaan medis
1. Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka
pemberian cairan perintavena harus cukup banyak dan mengandung
elektrolit agar tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada
organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa diberikan biasanya DS 10%,
garam fisiologi dan RL secara bergantian dan jumlah tetesan
tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah diberikan transfusi darah
sesuai kebutuhan.
2. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah
penderita flatus lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan
peroral. Pemberian minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh
dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh.
3. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi:
a. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah
operasi
b. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur
telentang sedini mungkin setelah sadar
c. Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5
menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu
menghembuskannya.
d. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi
setengah duduk (semifowler)
e. Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien
dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan
kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke5 pasca
operasi.
4. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak
enak pada penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan
perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi
tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.
5. Pemberian obat-obatan
a. Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda
setiap institusi
b. Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
1) Supositoria = ketopropen sup 2x/24 jam
2) Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
3) Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
c. Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat
diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C
6. Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan
berdarah harus dibuka dan diganti
7. Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu,
tekanan darah, nadi,dan pernafasan.
G. Komplikasi
a. Infeksi Puerperalis
Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa
hari dalam masa nifas atau dapat juga bersifat berat, misalnya peritonitis,
sepsis dan lain-lain. Infeksi post operasi terjadi apabila sebelum
pembedahan sudah ada gejala - gejala infeksi intrapartum atau ada faktor -
faktor yang merupakan predisposisi terhadap kelainan itu (partus lama
khususnya setelah ketuban pecah, tindakan vaginal sebelumnya). Bahaya
infeksi dapat diperkecil dengan pemberian antibiotika, tetapi tidak dapat
dihilangkan sama sekali, terutama SC klasik dalam hal ini lebih berbahaya
daripada SC transperitonealis profunda.
b. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang
arteria uterina ikut terbuka atau karena atonia uteri
c. Luka kandung kemih
d. Embolisme paru - paru
e. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya perut
pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi
ruptura uteri. Kemungkinan hal ini lebih banyak ditemukan sesudah sectio
caesarea klasik.
II. Konsep Teori Pre-eklamsia Berat
A. Definisi pre-eklamsia berat
Pre eklampsia merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan dimana
hipertensi terjadi setelah minggu ke-20 pada wanita yang sebelumnya
memiliki tekanan darah normal dan diartikan juga sebagai penyakit
vasospastik yang melibatkan banyak sistem dan ditandai oleh
hemokonsentrasi, hipertensi dan proteinuria (Bobak, Lowdermilk, & Jensen,
2005).
Sedangkan PEB (Pre-eklampsia berat) adalah pre-eklampsia yang
berlabihan yang terjadi secara mendadak. Wanita dapat dengan cepat
mengalami eklampsia. Hal ini merupakan kedaruratan obstertik dan
penatalaksanaannya harus segera dimulai.
B. Etiologi
Penyebab pre-eklampsia belum diketahui secara jelas. Penyakit ini
dianggap sebagai "maladaptation syndrome" akibat penyempitan pembuluh
darah secara umum yang mengakibatkan iskemia plasenta (ari-ari) sehingga
berakibat kurangnya pasokan darah yang membawa nutrisi ke janin. Namun
ada beberapa faktor predisposisi terjadinya pre eklamsia, diantaranya yaitu:
a. Primigravida atau primipara mudab (85%).
b. Grand multigravida
c. Sosial ekonomi rendah.
d. Gizi buruk.
e. Faktor usia (remaja; < 20 tahun dan usia diatas 35 tahun).
f. Pernah pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya.
g. Hipertensi kronik.
h. Diabetes mellitus.
i. Mola hidatidosa.
j. Pemuaian uterus yang berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan ganda
atau polihidramnion (14-20%).
k. Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan eklamsia (ibu dan saudara
perempuan).
l. Hidrofetalis.
m. Penyakit ginjal kronik.
n. Hiperplasentosis: mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi
besar, dan diabetes mellitus.
o. Obesitas.
p. Interval antar kehamilan yang jauh.
C. Patofisiologi

Pada preeklampsia terdapat penurunan aliran darah. Perubahan ini


menyebabkan prostaglandin plasenta menurun dan mengakibatkan iskemia
uterus. Keadaan iskemia pada uterus, merangsang pelepasan bahan
tropoblastik yaitu akibat hiperoksidase lemak dan pelepasan renin uterus.
Bahan tropoblastik berperan dalam proses terjadinya endotheliosis yang
menyebabkan pelepasan tromboplastin. Tromboplastin yang dilepaskan
mengakibatkan pelepasan tomboksan dan aktivasi/ agregasi trombosit deposisi
fibrin. Pelepasan tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme
sedangkan aktivasi/agregasi trombosit deposisi fibrin akan menyebabkan
koagulasi intravaskular yang mengakibatkan perfusi darah menurun dan
konsumtif koagulapati. Konsumtif koagulapati mengakibatkan trombosit dan
faktor pembekuan darah menurun dan menyebabkan gangguan faal
hemostasis. Renin uterus yang di keluarkan akan mengalir bersama darah
sampai organ hati dan bersama- sama angiotensinogen menjadi angiotensin I
dan selanjutnya menjadi angiotensin II. Angiotensin II bersama tromboksan
akan menyebabkan terjadinya vasospasme. Vasospasme menyebabkan lumen
arteriol menyempit. Lumen arteriol yang menyempit menyebabkan lumen
hanya dapat dilewati oleh satu sel darah merah. Tekanan perifer akan
meningkat agar oksigen mencukupi kebutuhan sehingga menyebabkan
terjadinya hipertensi. Selain menyebabkan vasospasme, angiotensin II akan
merangsang glandula suprarenal untuk mengeluarkan aldosteron. Vasospasme
bersama dengan koagulasi intravaskular akan menyebabkan gangguan perfusi
darah dan gangguan multi organ.
Gangguan multiorgan terjadi pada organ- oragan tubuh diantaranya
otak, darah, paru- paru, hati/ liver, renal dan plasenta. Pada otak akan dapat
menyebabkan terjadinya edema serebri dan selanjutnya terjadi peningkatan
tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial yang meningkat menyebabkan
terjadinya gangguan perfusi serebral, nyeri dan terjadinya kejang sehingga
menimbulkan diagnosa keperawatan risiko cedera. Pada darah akan terjadi
endotheliosis menyebabkan sel darah merah dan pembuluh darah pecah.
Pecahnya pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya pendarahan,
sedangkan sel darah merah yang pecah akan menyebabkan terjadinya anemia
hemolitik. Pada paru-paru, LADEP akan meningkat menyebabkan terjadinya
kongesti vena pulmonal, perpindahan cairan sehingga akan mengakibatkan
terjadinya edema paru. Edema paru akan menyebabkan terjadinya gangguan
pertukaran gas. Pada hati, vasokontriksi pembuluh darah akan menyebabkan
gangguan kontraktilitas miokard sehingga menyebabkan payah jantung dan
memunculkan diagnosa keperawatan penurunan curah jantung. Pada ginjal,
akibat pengaruh aldosteron, terjadi peningkatan reabsorpsi natrium dan
menyebabkan retensi cairan dan dapat menyebabkan terjadinya edema
sehingga dapat memunculkan diagnosa keperawatan kelebihan volume cairan.
Selain itu, vasospasme arteriol pada ginjal akan meyebabkan penurunan GFR
dan permeabilitas terhadap protein akan meningkat. Penurunan GFR tidak
diimbangi dengan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus sehingga menyebabkan
diuresis menurun sehingga menyebabkan terjadinya oligouri dan anuri.
Oligouri atau anuri akan memunculkan diagnosa keperawatan gangguan
eliminasi urin. Permeabilitas terhadap protein yang meningkat akan
menyebabkan banyak protein akan lolos dari filtrasi glomerulus dan
menyenabkan proteinuria. Pada mata, akan terjadi spasmus arteriola
selanjutnya menyebabkan edema diskus optikus dan retina. Keadaan ini dapat
menyebabkan terjadinya diplopia dan memunculkan diagnosa keperawatan
risiko cedera. Pada plasenta penurunan perfusi akan menyebabkan
hipoksia/anoksia sebagai pemicu timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta
sehinga dapat berakibat terjadinya Intra Uterin Growth Retardation serta
memunculkan diagnosa keperawatan risiko gawat janin.
Hipertensi akan merangsang medula oblongata dan sistem saraf
parasimpatis akan meningkat. Peningkatan saraf simpatis mempengaruhi
traktus gastrointestinal dan ekstrimitas. Pada traktus gastrointestinal dapat
menyebabkan terjadinya hipoksia duodenal dan penumpukan ion H
menyebabkan HCl meningkat sehingga dapat menyebabkan nyeri epigastrik.
Selanjutnya akan terjadi akumulasi gas yang meningkat, merangsang mual dan
timbulnya muntah sehingga muncul diagnosa keperawatan ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Pada ektremitas dapat terjadi
metabolisme anaerob yang menyebabkan ATP diproduksi dalam jumlah yang
sedikit yaitu 2 ATP dan pembentukan asam laktat. Terbentuknya asam laktat
dan sedikitnya ATP yang diproduksi akan menimbulkan keadaan cepat lelah,
lemah sehingga muncul diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas. Keadaan
hipertensi akan mengakibatkan seseorang kurang terpajan informasi dan
memunculkan diagnosa keperawatan kurang pengetahuan.
D. Manifestasi klinis
Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dengan urutan
pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan
akhirnya proteinuria. Pada pre eklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala
subyektif. Sedangkan pada pre eklampsia berat ditemukan gejala subjektif
berupa sakit kepala di daerah frontal, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di
daerah epigastrium, dan mual atau muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan
pada pre eklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa
eklampsia akan timbul. Penegakkan diagnosa pre eklampsia yaitu adanya
2 gejala di antara trias tanda utama, dimana tanda utamanya yaitu hipertensi
dan 2 tanda yang lain yaitu edema atau proteinuria. Tetapi dalam praktik
medis hanya hipertensi dan proteinuria saja yang dijadikan sebagai 2 tanda
dalam penegakkan diagnosa pre eklamsia.
E. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan pre
eklamsia yaitu sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Darah Lengkap dan Apusan Darah
a) Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal
hemoglobin untuk wanita hamil adalah 12-14 gr%).
b) Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%).
c) Trombosit menurun (nilai rujukan 150.000-450.000/mm3)
b. Urinalisis
Ditemukan protein dalam urine.
c. Pemeriksaan Fungsi Hati
a) Bilirubin meningkat (N= < 1 mg/dL).
b) LDH (laktat dehidrogenase) meningkat.
c) Aspartat aminomtransferase (AST) > 60 uL.
d) Serum Glutamat Pirufat Transaminase (SGPT) meningkat
(N= 15-45 u/ml)
e) Serum Glutamat Oxaloacetic transaminase (SGOT)
meningkat (N= < 31 u/ml)
f) Total protein serum menurun (N= 6,7 – 8,7 g/dL)
d. Tes Kimia Darah
Asam urat meningkat > 2,7 mg/dL, dimana nilai normalnya yaitu
2,4 – 2,7 mg/d
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Ultrasonografi (USG).
Hasil USG menunjukan bahwa ditemukan retardasi perteumbuhan
janin intra uterus. Pernafasan intrauterus lambat, aktivitas janin
lambat, dan volume cairan ketuban sedikit.
b. Kardiotografi
Hasil pemeriksaan dengan menggunakan kardiotografi menunjukan
bahwa denyut jantung janin lemah.
F. Penatalaksanaan medis
1. Pencegahan atau Tindakan preventif
a. Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu secara teliti,
mengenali tanda-tanda sedini mungkin (pre-eklamsi ringan), lalu
diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih
berat.
b. Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-eklemsi
kalau ada faktor-faktor predisposisi.
c. Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan,
serta pentingnya mengatur diet rendah garam, lemak, serta karbohidrat
dan tinggi protein, juga menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan
2. Penatalaksanaan atau Tindakan kuratif
Tujuan utama penatalaksanaan atau penanganan adalah untuk mencegah
terjadinya pre-eklamsia berlanjut dan eklamsia, sehingga janin bisa lahir
hidup dan sehat serta mencegah trauma pada janin seminimal mungkin.
a. Penanganan pre eklamsia ringan
Pengobatan hanya bersifat simtomatis dan selain rawat inap, maka
penderita dapat dirawat jalan dengan skema periksa ulang yang lebih
sering, misalnya 2 kali seminggu. Penanganan pada penderita rawat
jalan atau rawat inap adalah dengan istirahat ditempat, diit rendah
garam, dan berikan obat-obatan seperti valium tablet 5 mg dosis 3 kali
sehari atau fenobarbital tablet 30 mg dengan dosis 3 kali 1 sehari.
Diuretika dan obat antihipertensi tidak dianjurkan, karena obat ini tidak
begitu bermanfaat, bahkan bisa menutupi tanda dan gejala pre-
eklampsi berat. Bila gejala masih menetap, penderita tetap dirawat
inap.Monitor keadaan janin : kadar estriol urin, lakukan aminoskopi,
dan ultrasografi, dan sebagainya.Bila keadaan mengizinkan, barulah
dilakukan induksi partus pada usia kehamilan minggu 37 ke atas.
b. Penanganan pre eklamsia berat
a) Pre eklamsia berat pada kehamilan kurang dari 37 minggu.
Jika janin belum menunjukan tanda-tanda maturitas paru-paru
dengan uji kocok dan rasio L/S, maka penanganannya adalah
sebagai berikut:
b) Berikan suntikan sulfas magnesikus dengan dosis 8 gr
intramuskular kemudian disusul dengan injeksi tambahan 4 gr
itramuskular selama tidak ada kontraindikasi.
c) Jika ada perbaikan jalannya penyakit, pemberian sulfas
magnesikus dapat diteruskan lagi selama 24 jam sampai dicapai
kriteria pre-eklamsia ringan kecuali ada kontraindikasi.
d) Selanjutnya ibu dirawat, diperiksa, dan keadaan janin
dimonitor, serta berat badan ditimbang seperti pada pre
eklamsia ringan, sambil mengawasi timbulnya lagi gejala.
e) Jika dengan terapi diatas tidak ada perbaikan dilakukan
terminasi kehamilan dengan induksi partus atau tindakan lain
tergantung keadaan.
Jika pada pemeriksaan telah dijumpai tanda-tanda kematangan
paru janin, maka penatalaksanaan kasus sama seperti pada
kehamilan diatas 37 minggu.
c. Pre eklamsia berat pada kehamilan lebih dari 37 minggu.
1. Penderita dirawat inap
a) Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar isolasi.
b) Berikan diet rendah garam dan tinggi protein.
c) Berikan suntikan sulfas magnesikus 8 gr intramuskular, 4 gr
digluteus kanan dan 4 gr digluteus kiri.
d) Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap 4 jam.
e) Syarat pemberian MgSO4 adalah refleks patella positif;
diuresis 100 cc dalam 4 jam terakhir; respirasi 16 kali per
menit, dan harus tersedia antidotumnya yaitu kalsium glukonas
10% dalam ampul 10 cc.
f) Infus dekstrosa 5% dan ringer laktat.
2. Berikan obat anti hipertensif : injeksi katapres 1 ampul IM dan
selanjutnya dapat diberikan tablet katapres 3 kali ½ tablet atau 2
kali ½ tablet sehari.
3. Diuretika tida diberikan kecuali bila terdapat edema umum, edema
paru dan kegagalan jantung kongestif. Untuk itu dapat disuntikan 1
ampul IV lasix.
4. Segera setelah pemberian sulfas magnesikus kedua, dilakukan
induksi partus dengan atau tanpa amniotomi. Untuk induksi dipakai
oksitosin (pitosin atau sintosinon) 10 satuan dalam infus tetes.
5. Kala II harus dipersingkat dengan ekstraksi vakum atau forceps,
jadi ibu dilarang mengedan.
6. Jangan diberikan methergin postpartum, kecuali bila terjadi
perdarahan yang disebabkan atonia uteri.
7. Pemberian sulfas magnesikus, kalau tidak ada kontraindikasi,
kemudian diteruskan dengan dosis 4 gr setiap 4 jam dalam 24 jam
post partum.
8. Bila ada indikasi obstetrik dilakukan seksio sesarea.
3. Perawatan Mandiri untuk Kasus Pre Eklamsia
a. Aromatherapy : penelitian membuktikan bahwa minyak tertentu dapat
menimbulkan efek pada penurunan tekanan darah dan membantu
relaksasi seperti : levender, kamomile, kenanga, neroli dan cendana.
Tetapi ada juga aromatehrapy yang dapat meningkatkan tekanan darah
diantaranya rosemary, fenel, hyssop dan sage.
b. Pijat : pijat bagian punggung, leher, bahu, kaki, bisa memberikan
ketenangan dan kenyamanan.
c. Shiatsu, tai chi, yoga, dan latihan relaksasi
d. Terapi nutrisi : spesialis nutrisi menganjurkan penggunaan vitamin dan
suplemen mineral, khususnya zinc dan vitamin B6.
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pre eklamsia tergantung
pada derajat pre eklamsia yang dialami. Namun yang termasuk komplikasi pre
eklamsia antara lain:
1. Komplikasi pada Ibu
a. Eklamsia.
b. Tekanan darah meningkat dan dapat menyebabkan perdarahan otak
dan gagal jantung mendadak yang berakibat pada kematian ibu.
c. Gangguan fungsi hati: Sindrom HELLP (Hemolisis, Elevated, Liver,
Enzymes and Low Plateleted) dan hemolisis yang dapat menyebabkan
ikterik. Sindrom HELLP merupakan singkatan dari hemolisis
(pecahnya sel darah merah), meningkatnya enzim hati, serta rendahnya
jumlah platelet/trombosit darah. HELLP syndrome dapat secara cepat
mengancam kehamilan yang ditandai dengan terjadinya hemolisis,
peningkatan kadar enzim hati, dan hitung trombosit rendah. Gejalanya
yaitu mual, muntah, nyeri kepala, dan nyeri perut bagian kanan atas.
d. Solutio plasenta.
e. Hipofebrinogemia yang berakibat perdarahan.
f. Gangguan fungsi ginjal: oligo sampai anuria.
g. Perdarahan atau ablasio retina yang dapat menyebabkan kehilangan
penglihatan untuk sementara.
h. Aspirasi dan edema paru-paru yang dapat mengganggu pernafasan.
i. Cedera fisik karena lidah tergigit, terbentur atau terjatuuh dari tempat
tidur saat serangan kejang.
j. DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) atau kelainan
pembekuan darah.
2. Komplikasi pada Janin
a. Hipoksia karena solustio plasenta.
b. Terhambatnya pertumbuhan janin dalam uterus sehingga terjadi
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas perinatal.
c. Asfiksia mendadak atau asfiksia neonatorum karena spasme pembuluh
darah dan dapat menyebabkan kematian janin (IUFD).
d. Lahir prematur dengan risiko HMD (Hyalin Membran Disease).
III. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Data Subjektif
a. Umur biasanya sering terjadi pada primigravida , < 20 tahun atau > 35 tahun
b. Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan tekanan darah, adanya
edema, pusing, nyeri epigastrium, mual, muntah, penglihatan kabur,
pertambahan berat badan yang berlebihan yaitu naik > 1 kg/minggu,
pembengkakan ditungkai, muka, dan bagian tubuh lainnya, dan urin keruh dan
atau sedikit (pada pre eklamsia berat < 400 ml/24 jam).
c. Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal, anemia, vaskuler esensial,
hipertensi kronik, DM.
d. Riwayat kehamilan: riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion serta
riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya
e. Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun
selingan
f. Psikososial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan,
oleh karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi resikonya.
2. Data Objektif
a. Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam.
b) Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, dan lokasi edema.
c) Perkusi : untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat
pemberian SM jika refleks positif.
d) Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal
distress. Selain itu, untuk pre eklamsia ringan tekanan darah pasien
> 140/90 mmHg atau peningkatan sistolik > 30 mmHg dan
diastolik > 15 mmHg dari tekanan biasa (base line level/tekanan
darah sebelum usia kehamilan 20 minggu). Sedangkan untuk pre
eklamsia berat tekanan darah sistolik > 160 mmHg, dan atau
tekanan darah diastolik > 110 mmHg.
b. Pemeriksaan Penunjang
a) Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2
kali dengan interval 4-6 jam
b) Laboratorium : proteinuria dengan kateter atau midstream
(biasanya meningkat hingga 0,3 gr/lt atau lebih dan +1 hingga +2
pada skala kualitatif), kadar hematokrit menurun, BJ urine
meningkat, serum kreatinin meningkat, uric acid biasanya > 7
mg/100 ml.
c) Berat badan : peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu.
d) Tingkat kesadaran: penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan
pada otak.
e) USG: untuk mengetahui keadaan janin.
f) NST: untuk mengetahui kesejahteraan janin.
3. Diagnosa keperawatan
Menurut Herdman (2012), diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yaitu
sebagai berikut:
a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan pre
eklamsia berat.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi akibat
penimbunan cairan paru : adanya edema paru.
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload dan
afterload.
d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
f. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor
psikologis dan ketidakmampuan untuk mencerna, menelan, dan
mengabsorpsi makanan.
g. Risiko cedera berhubungan dengan diplopia, dan peningkatan
intrakranial: kejang
4. Intervensi keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional


keperawatan hasil
1 Risiko Setelah dilakukan Neurologic 1. Klien dengan
ketidakefektifan tindakan monitoring cedera kepala
perfusi jaringan keperawatan selama 1. Monitor akan
otak ...x24 jam ukuran pupil, mempengaruhi
berhubungan diharapkan status bentuk, reaktivitas pupil
dengan pre neurologi membaik simetris dan karena pupil
eklamsia berat. dan ketidakefektifan reaktifitas diatur oleh
perfusi jaringan pupil syaraf cranialis
serebral teratasi 2. Monitor 2. Mengetahui
dengan indikator: keadaan klien penurunan
NOC: Management dengan GCS kesadaran klien
neurology 3. Monitor TTV 3. Memantau
1. Status 4. Monitor status kondisi
neurologi respirasi: hemodinamik
syaraf ABClevels, klien
sensorik dan pola nafas, 4. Mengetahui
motorik kedalaman kondisi
dalam batas nafas, RR pernafasan
normal 5. Monitor reflek klien
2. Ukuran pupil muntah 5. Peningkatan
normal 6. Monitor TIK
3. Pola pergerakan 6. Memonitor
pergerakan otot kelemahan
mata normal 7. Monitor 7. Memonitor
4. Pola nafas tremor persyarafan di
efektif 8. Monitor reflek perifer
5. TTV dalam babinski 8. Reflek
batas normal 9. Identifikasi babinsky (+)
6. Pola istirahat kondisi gawat menunjukan
dan tidur darurat pada adanya
tidak ada pasien. perdarahan otak
terganggu 10. Monitor tanda 9. Peningkatan
7. Tidak peningkatan TIK dengan
muntah tekanan tanda muntah
8. Tidak intrakranial proyektil,
gelisah 11. Kolaborasi kejang,
dengan dokter penurunan
jika terjadi kesadaran
perubahan
kondisi pada
klien
No Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional
keperawatan hasil
2 Gangguan Setelah dilakukan NIC: Airway a. Untuk
pertukaran gas tindakan management mempermudah
berhubungan keperawatan ....x24 a. Posisikan klien pertukaran gas
dengan jam, status untuk
ventilasi- respiratori: memaksimalkan b. Untuk
perfusi akibat pertukaran gas potensi memantau
penimbunan dengan kriteria hasil: ventilasinya. kondisi jalan
cairan paru : 1. Status mental b. Identifikasi nafas klien
adanya edema dalam batas kebutuhan klien
paru. normal (5) akan insersi jalan c. Untuk
2. Dapat nafas baik aktual mengeluarkan
melakukan maupun potensial. sputum
napas dalam c. Lakukan terapi d. Memantau
(5) fisik dada kondisi
3. Tidak terlihat pernafasan klien
sianosis (5) d. Auskultasi suara
4. Tidak nafas, tandai area e. Memantau
mengalami penurunan atau kondisi klien
somnolen (4) hilangnya ventilasi
5. PaO2 dalam dan adanya bunyi
rentang tambahan
normal (4) e. Monitor status
6. pH arteri pernafasan dan
normal (4) oksigenasi, sesuai
7. ventilasi- kebutuhan
perfusi dalam
kondisi
seimbang (4)
N Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional
o keperawatan hasil
3 Penurunan Setelah dilakukan 1. Evaluasi adanya 1. Menunjukan jantung
curah jantung tindakan nyeri dada dalam kondisi abnormal
berhubungan keperawatan 2. Catat adanya 2. Takikardi, bradikardi
dengan selama ...x24 jam disritmia 3. Tanda dan gejala
perubahan diharapkan jantung penurunan cardiac output
preload dan penurunan curah 3. Catat adanya : pucat, akral dingin,
afterload. jantung teratasi tanda dan gejala udema ekstermitas
dengan indikator: penurunan 4. Gagal jantung kiri
NOC: cardiac output menyebabkan udema di
- Cardiac 4. Monitor status paru dan gagal jantung
Pump pernafasan yang kanan menyebabkan
effectivenes menandakan udema ekstermitas
s gagal jantung 5. Mengetahui adanya
- Circulation 5. Monitor balance kelebihan cairan karena
Status cairan klien biasanya udema
- Vital Sign 6. Monitor respon 6. Mengetahui respon
Status pasien terhadap pasien terhadap obat
- Tissue efek pengobatan 7. Udema paru
perfusion: antiaritmia menyebabkan dyspnea
perifer 7. Monitor adanya 8. Stres menambah berat
1. TTV dalam dyspneu, kerja jantung
batas fatigue, 9. Mengetahui kondisi
normal tekipneu dan hemodinamik klien
2. Dapat ortopneu 10. Suara jantung tambahan,
mentolerans 8. Anjurkan untuk S3, S4
i aktivitas, menurunkan 11. Ronchi basah
tidak ada stress menunjukan adanya
kelelahan 9. Monitor TTV cairan di pulmo
3. Tidak ada 10. Monitor irama 12. Dyspnea, cepat dan
edema paru jantung dangkal
4. Tidak ada 11. Monitor 13. Memungkinkan
asites frekuensi dan terjadinya sianosis
5. Tidak ada irama 14. Kurang 02 menyebabkan
udema pernapasan sianosis perifer
perifer 12. Monitor pola 15. Membantu suplai O2 ke
6. Tidak pernapasan pasien
terjadi abnormal
penurunan 13. Monitor suhu,
kesadaran warna, dan
7. Tidak ada kelembaban
distensi kulit
Vena 14. Monitor
jugularis sianosis perifer
8. Tidak ada 15. Jelaskan pada
distensi pasien tujuan
dari pemberian
oksigen
N Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional
o keperawatan hasil
4 Kelebihan Setelah dilakukan 1. Monitor 1. Pengeluaran urin
volume tindakan pengeluaran urin, mungkin sedikit dan
cairan keperawatan catat jumlah dan pekat karena penurunan
berhubungan selama 3x24 jam, warna saat perfusi ginjal.
dengan diharapkan volume dimana diuresis Pemantauan urin dengan
gangguan cairan pasien stabil terjadi. memperhatikan jumlah
mekanisme dengan kriteria 2. Monitor dan dan warna urin akan
regulasi hasil: hitung intake dan membantu dalam proses
1. Keseimbangan output cairan penentuan diagnosa
intake dan selama 24 jam pasien.
output cairan 3. Pertahankan 2. Pemantauan intake dan
2. TTV normal duduk atau tirah output cairan membantu
3. BB stabil dan baring dengan dalam proses penentuan
tidak terdapat posisi keseimbangan cairan dan
edema semifowler atau elektrolit pasien.
4. Menyatakan posisi yang 3. Posisi duduk atau tirah
pemahaman nyaman bagi baring dengan posisi
tentang pasien selama semifowler dapat
pembatasan fase akut. meningkatkan filtrasi
cairan 4. Monitor TTV ginjal dan menurunkan
individual terutama TD dan produksi ADH sehingga
CVP (bila ada). meningkatkan diuresis.
5. Monitor rehidrasi 4. Hipertensi dan
cairan dan batasi peningkatan CVP
asupan cairan. menunjukkan kelebihan
6. Timbang berat cairan dan dapat
badan setiap hari menunjukkan kongesti
jika paru serta gagal jantung.
memungkinkan 5. Pemantauan dan
dan amati turgor pembatasan cairan akan
kulit serta adanya menentukan BB ideal,
edema. keluaran urin, dan respon
7. Kolaborasi terhadap terapi.
pemberian 6. Berat badan, turgor kulit,
medikasi seperti dan adanya edema
pemberian mempengaruhi kondisi
diuretik: cairan dalam tubuh.
furosemid, 7. Diuretik bertujuan untuk
spironolacton, menurunkan volume
dan plasma dan menurunkan
hidronolacton. retensi cairan dijaringan
sehingga menurunkan
risiko terjadinya edema.
N Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional
o keperawatan hasil
5 Intoleransi Setelah dilakukan 1. Kaji aktivitas dan 1. Mengetahui aktivitas dan
aktivitas tindakan periode istirahat periode istirahat pasien
berhubungan keperawatan pasien, serta upaya untuk
dengan selama 3x24 jam, rencanakan dan menurunkan keletihan
kelemahan pasien mempunyai jadwalkan dan kelemahan pasien.
umum cukup energi untuk periode istirahat
beraktivitas dan tirah baring 2. Tahapan-tahapan yang
sehingga toleran yang cukup dan diberikan membantu
terhadap aktivitas, adekuat. proses aktivitas secara
dengan kriteria 2. Berikan latihan perlahan dengan
hasil: aktivitas fisik menghemat tenaga
1. TTV normal secara bertahap namun tujuan tepat.
2. EKG normal (ROM, ambulasi 3. Mengurangi pemakaian
3. Koordinasi dini, cara enargi sampai kekuatan
otot, tulang, berpindah, dan pasien pulih kembali.
dan anggota pemenuhan 4. Mencegah dan
gerak lainnya kebutuhan mengurangi anemia berat
baik dasar). yang berakibat pada
4. Pasien 3. Bantu pasien kelemahan.
melaporkan dalam memenuhi 5. Menjaga kemungkinan
kemampuan kebutuhan dasar. adanya respon abnormal
dalam ADL 4. Lakukan terapi dari tubuh sebagai akibat
komponen darah dari latihan.
sesuai resep bila
pasien menderita
anemia berat.
5. Kaji aktivitas dan
respon pasien
setelah latihan
aktivitas
(Monitor TTV).
N Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional
o keperawatan hasil
6 Ketidakseimb Setelah dilakukan 1. Kaji pola makan, 1. Meningkatkan nafsu
angan nutrisi: tidakan kebiasaan makan, makan pasien dan
kurang dari keperawatan dan makanan menghindari makanan
kebutuhan selama 3x24 jam yang disukai yang alergi.
tubuh b.d diharapkan pasien. 2. Monitor KU pasien,
faktor kebutuhan nutrisi 2. Kaji TTV pasien mengetahui kemampuan
psikologis pasien terpenuhi secara rutin, pasien dalam memenuhi
dan dengan kriteria status mual, kebutuhan nutrisi.
ketidakmamp hasil: muntah, dan 3. Meminimalkan
uan untuk a. Masukan per bising usus. anoreksia dan
mencerna, oral meningkat 3. Berikan makanan mengurangi iritasi
menelan, dan b. Porsi makan sesuai diet dan gaster.
mengabsorpsi yang disediakan berikan selagi 4. Pasien termotivasi untuk
makanan. habis hangat. makan.
c. Masa dan tonus 4. Jelaskan 5. Meningkatkan
otot baik pentingnya kenyamanan saat makan.
d. Tidak terjadi makanan untuk 6. Glukosa dalam
penurunan BB kesembuhan. karbohidrat cukup efektif
e. Mual dan 5. Anjurkan pasien untuk pemenuhan energi,
muntah tidak makan sedikit sedangkan lemak sulit
ada . tetapi sering. untuk diserap sehingga
6. Anjurkan pasien akan membebani hepar,
untuk protein baik untuk
meningkatkan meningkatkan dan
asupan nutrisi mempercepat
yang adekuat kesembuhan pasien,
terutama makanan berserat
makanan yang membantu mencegah
banyak terjadinya konstipasi.
mengandung 7. Meningkatkan proses
karbohidrat atau penyembuhan
glukosa, protein,
dan makanan
berserat.
7. Kolaborasi
dengan ahli gizi
untuk pemberian
diet sesuai
indikasi.
N Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional
o keperawatan hasil
7 Risiko cedera Setelah dilakukan 1. Identifikasi 1. Mengetahui
berhubungan tindakan keterbatasan penyebab pasien
dengan keperawatan fisik dan mengalami risiko
diplopia, dan selama 3x24 jam, kognitif cedera.
peningkatan diharapkan tidak pasien yang 2. Memberikan
intrakranial: terjadi cedera, dapat pengetahuan kepada
kejang dengan kriteria meningkatka pasien
hasil: n risiko sehinggapasien bisa
1. Pasien tidak cedera. terhindar dari cedera.
mengeluh 2. Ajarkan 3. Mengantisipasi hal-
pusing. pasien untuk hal yang dapat
2. Pasien tidak meminimalka menyebabkan
mengalami n cedera, terjadinya cedera.
cedera 3. Dampingi 4. Sayuran hijau dapat
3. Pasien pasien dalam menambah darah dan
mampu melakukan mengobati anemia
menjelaska pemenuhan serta diet rendah
n cara kebutuhan garam dapat
mencegah ADL. mengurangi
terjadinya 4. Anjurkan kekambuhan
cedera pasien untuk penyakit hipertensi.
banyak
mengkonsum
si makanan
yang dapat
menambah
darah seperti
sayur-
sayuran hijau
dan diet
rendah garam
untuk
menurunkan
tekanan
darah,
sehingga bisa
mengurangi
pusing.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, I.J. 2001. Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Jakarta : EGC

Doengoes, Marylinn. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan Maternal / Bayi. Jakarta : EGC

Manuaba, I.B. 1999. Operasi Kebidanan Kandungan Dan Keluarga Berencana Untuk Dokter
Umum. Jakarta : EGC

Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 2. Jakarta : EGC

Sarwono, Prawiroharjo,. 2005. Ilmu Kandungan, Cetakan ke-4. Jakarta : PT Gramedi

Wilkinson M. Judith. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC, Edisi 7. Jakarta:EGC

Prawirohardjo, S. 2000. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

Bobak, I.M., Deitra L.L., & Margaret D. J. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas, Edisi
4. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai