Anda di halaman 1dari 14

BAB I

TINJAUAN MEDIS

A. Definisi
1. Hipertropi prostat adalah pembesaran dari kelenjar prostat yang disebabkan oleh
bertambahnya sel-sel glandular dan interstitial yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretral dan gangguan aliran urine, dan kebanyakan terjadi pada umur lebih dari 50 tahun.
2. Benigna Prostat Hipertropi (BPH) adalah pertumbuhan dari nodula-nodula fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat, jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma
fibrosa yang jumlahnya berbeda-beda. (Price, 2005 : 1154).
3. BPH adalah suatu keadaan dimana kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke
atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutupi orifisium uretra
(Brunner and Suddart, 2001 : 1625).
Dari beberapa pengertian diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Benigna
Prostat Hipertropi (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat yang disebabkan oleh
bertambahnya sel-sel glanduler dan interstitial atau pertumbuhan dari nodula-nodula
fibroadenomatosa yang menutupi orifisium uretra sehingga menyumbat aliran urine, dan
biasanya terjadi pada pria diatas usia 50 tahun.
B. Etiologi
Ada beberapa teori yang mengemukakan penyebab terjadinya hipertropi prostat antara
lain :
1. Teori sel Stem ( Isaacs 1984,1987 )
Berdasarkan teori ini jaringan prostat pada orang dewasa berada pada keseimbangan antara
pertumbuhan sel dan sel yang mati.Keadaan ini disebut Steady State. Pada jaringan prostat
terdapat sel stem yang dapat berproli serasi lebih cepat sehingga terjadi hiperplasia kelenjar
penuretral.
2. Teori Mc Neal ( 1987 )
Menurut Mc Neal pembesaran prostat jinak dimulai dari zona transisi yang letaknya sebelah
proksimal dan spinater eksternal pada kedua sisi verumen tatum di zona periuretral.
3. Teori Di Hidro Testosteron ( DHT )
Testosteron yang diohasilkan oleh sel leyding jumlah testosteron yang dihasilkan oleh testis
kira-kira 90 % dari seluruh produksi testosteron. Sedang yang 10 % dihasilkan oleh kelenjar
adrenal. Sebagian besar testosteron dalam keadaan terikat dengan protein dalam bentuk
serum. Bendung hormon ( SBH ) sekitar 20 % testosteron berada dalam keadaan bebas dan
testosteron bebas inilah yang memegang peranan peranan dalam proses terjadinya
pembesaran prostat testosteron bebas dapat masuk ke dalam sel prostat dengan menembus
membran sel ke dalam sitoplasma sel prostat sehingga membentuk DHT heseplar kompleks
yang akan mempengaruhi asam RNA yang menyebabkan terjadinya sintyesis protein
sehingga dapat terjadi profilikasi sel.
C. Patofisiogi
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testoteron estrogen,
karena produksi testoteron menurun dan terjadi konversi testoteron menjadi estrogen pada
jaringan adiposa diperifer. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi
perubahan patologi anatomik. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi
pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan
serat detrusor kedalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang
disebut tuberkulasi. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding.
Apabila kedaan ini berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi berkontraksi sehingga terjadi retensi urine.
Biasanya ditemukan gejala obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor
gagal berkontraksi sehingga kontraksi menjadi terputus.Gejala iritasi terjadi karena
pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna saat miksi atau pembesaran prostat yang
menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, vesika sering berkontraksi meskipun belum
penuh.
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urine sihingga pada akhir
miksi masih ditemukan sisa urine dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada
akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga
penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urine terus terjadi maka vesika tidak
mampu lagi menampung urine sehingga tekanan intra vesika terus meningkat melebihi
tekanan tekanan sfingter dan obstruksi sehingga menimbulkan inkontinensia paradoks.
Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko-ureter, hidroueter, hidronefrosis dan gagal ginjal.
Proses kerusakan ginjal dipercepat apabila terjadi infeksi. Sisa urine yang terjasi selama
miksi akan menyebabkan terbentuknya batu endapan yang dapat menyebabkan hematuria,
sistisis dan pielonefritis.
D. Manifestasi Klinis
Adapun gejala kilinis dari hipertropi prostat dapat terbagi 4 grade yaitu :
1. Pada grade I (congestif)
a. Mula-mula pasien berbulan-bulan atau bertahun-tahun susah kencing dan mulai mengedan.
b. Kalau miksi merasa tidak puas.
c. Urine keluar menetes dan puncuran lemah.
d. Nocturia.
e. Ereksi lebih lama dari normal dan libido lebih dari normal.
f. Pada Citoscopy kelihatan hiperemia dan orifreum urether internal lambat laun terjadi varises
akhirnya bisa terjadi pendarahan (blooding).

2. Pada Grade 2 (residual)


a. Bila miksi terasa panas
b. Nocturi bertambah berat
c. Tidak dapat buang air kecil (kencing tidak puas)
d. Bisa terjadi infeksi karena sisa air kencing
e. Tejadi panas tinggi dan bisa meninggal
f. Nyeri pada daerah pinggang dan menjalar keginjal.
3. Pada grade 3 (retensi urine)
a. Ischuria paradorsal
b. Incontinential paradorsal
4. Pada grade 4
a. Kandung kemih penuh.
b. Penderita merasa kesakitan.
c. Air kencing menetes secara periodik (overflow incontinential).
d. Pada pemeriksaan fisik yaitu palpasi abdomen bawah untuk meraba ada tumor kerena
bendungan hebat.
e. Dengan adanya infeksi penderita bisa meninggal dan panas tinggi sekitar 40-41 C.
f. Kesadaran bisa menurun.
g. Selanjutnya penderita bisa koma
E. Pemerisaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Laboratorium
Analisis urine dilakukan untuk mengetahui adanya silinder, kristal-kristal, sel darah pada
hipertropi prostat yang disertai infeksi maka pada urine ditemukan adanya leukosit dan
adanya bakteri. Untuk mengetahui fungsi ginjal dilakukan pemerisaan BUN dan kreatin.
Selain itu untuk mengetahui fungsi ginjal dapat dilakukan dengan pemeriksaan Phenol Sulfo
Phtalein (PSP) test. Setelah penyuntikan PSP lebih dari 30 menit, jika PSP yang dikeluarkan
melalui urine ± 50 % berarti normal tetapi jika PSP yang keluar hanya 25 % kemungkinan
terdapat sisa urine dalam kandung kemih atau fungsi ginjal menurun (Rumahorbo, 2000 : 73).
2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan Blass Nier Overzicht (BNO) untuk melihat ada tidak komplikasi dari BPH
yang berupa batu dalam kandung kemih. Pada pemeriksaan IVP ditemukan lekukan pada
dasar kandung kemih yang disebabkan karena desakan kelenjar prostat yang membesar
(Rumahorbo, 2000 : 73).
3. Pemeriksaan Cystoscopy/Panendoscopy
Cystoscopy adalah pemeriksaan langsung pada kandung kemih dengan menggunakan
alat yang disebut cystoskop. Dengan pemeriksaan ini kita dapat melihat derajat pembesaran
dari kelenjar prostat dan perubahan sekunder pada dinding kandung kemih, misalnya
trabekulasi, divertikulasi, infeksi, batu atau tumor (Rumahorbo, 2000 : 73).
4. USG transabdominal atau transrektal (transrectal ultrasonography), untuk mengetahui
pembesaran prostat, menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urine dan keadaan patologi
lain (tumor, divertikel, batu).
F. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin
beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati
prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat
mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000).
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen
yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan
membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis
urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat,
2005).

G. Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi (Tindakan Non Operatif)
Tindakan non operatif dilakukan bila pembesaran prostat masih ringan atau stadium
dini, dimana residual urine belum ditemukan atau tidak ada. Bila ditemukan adanya
peradangan prostat diberikan antimikrobial dan sizt bath, untuk klien dengan resiko tinggi
seperti infark jantung, decompensatio cordis berat tindakan yang dilakukan yaitu kateterisasi
dower dan memperbaiki keadaan umum.
Kateterisasi juga dilakukan pada kien yang mengalami retensi urine akut dan pada klien
yang tidak bisa mengosongkan kandung kemih secara spontan, kateter ini dipasang terus
menerus dan diganti setiap 4 hari (Rumahorbo, 2000 : 74).
2. Tindakan Operatif (Pembedahan)
Pembedahan dilakukan jika terdapat residual lebih dari 50 ml adanya trabekulasi yang
jelas. Pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat prostat disebut prostatektomi.
Prostatektomi dibagi kedalam 4 jenis yaitu sebagai berikut :
a. Trans Urethral Resection (TUR)
Trans Urethral Resection (TUR) dilakukan pada BPH yang kecil dengan berat 35-50
gram dan pembesaran terjadi pada lobus tengah yang langsung melingkari uretra. TUR juga
dilakukan pada klien yang tidak bisa dilakukan Open Prostatctomy karena keadaan umum
yang buruk. Operasi ini dengan menggunakan alat resectoskop yang dimasukan ke dalam
kandung kemih melalui uretra dengan mereseksi lobus median dan satu lobus lateral sehingga
klien dapat BAK dengan baik (Rumahorbo, 2000 : 74).
b. Suprapubic Transversal Prostatctomy (Prostatektomi Suprapubis)
Suprapubic Transversal Prostatctomy adalah salah satu metode mengangkat kelenjar
melalui insisi abdomen yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat
dari atas (Brunner & Suddart, 2001 : 1626). Operasi ini dilakukan bila berat prostat 40 gram
atau lebih, adanya trabekulasi yang sangat besar dan prostat yang sangat besar intra vesikal
(Rumahorbo, 2000 : 74).
c. Retropubic Ekstravesikal Prostatctomy (Prostatektomi Retropubik)
Tindakan operasi ini dilakukan dengan membuat insisi abdomen rendah mendekati
kelenjar prostat yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tetapi tidak memasuki kandung
kemih.
d. Perineal Prostatektomy
Mengangkat kelenjar prostat melalui insisi perineum, fossa ischiarectalis langsung ke
prostat (Rumahorbo, 2000 : 75).
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas
Dikaji tentang identitas klien yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa, pendidikan terakhir, status perkawinan, alamat, diagnosa medis, nomor medrek,
tanggal masuk rumah sakit dan tanggal pengkajian, juga identitas penganggungjawab klien
yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan terakhir, dan hubungan dengan
klien.
2. Riwayat kesehatan klien
a. Alasan masuk
Merupakan alasan yang mendasari klien dibawa ke rumah sakit atau kronologis yang
menggambarkan perilaku klien dalam mencari pertolongan.
b. Keluhan utama
Merupakan keluhan yang dirasakan oleh klien saat dilakukan pengkajian, dimana pada
klien dengan BPH keluhan yang dirasakan sebelum operasi diantaranya nyeri pada saat
BAK, urine keluar dengan menetes, pancaran urine lemah dan sulit saat memulai BAK.
Sedangkan keluhan yang mungkin dirasakan setelah operasi diantaranya nyeri pada luka
operasi (Brunner & Suddart, 2001 : 1629).
Data subjektif dan objektif sebelum operasi
1) Data Subyektif
a) Klien mengatakan nyeri saat berkemih
b) Sulit kencing
c) Frekuensi berkemih meningkat
d) Sering terbangun pada malam hari untuk miksi
e) Keinginan untuk berkemih tidak dapat ditunda
f) Nyeri atau terasa panas pada saat berkemih
g) Pancaran urin melemah
h) Merasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
i) Kalau mau miksi harus menunggu lama
j) Jumlah urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
k) Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
l) Urin terus menetes setelah berkemih
m) Merasa letih, tidak nafsu makan, mual dan muntah
n) Klien merasa cemas dengan pengobatan yang akan dilakukan
2) Data Obyektif
a) Ekspresi wajah tampak menhan nyeri
b) Terpasang kateter
Data subjektif dan objektif sesudah operasi
1) Data Subyektif
a) Klien mengatakan nyeri pada luka post operasi
b) Klien mengatakan tidak tahu tentang diet dan pengobatan setelah operas
2) Data Obyektif
a) Ekspresi tampak menahan nyeri
b) Ada luka post operasi tertutup balutan
c) Tampak lemah
d) Terpasang selang irigasi, kateter, infus
c. Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan dari keluhan utama yang dirasakan klien.
d. Riwayat kesehatan masa lalu
Dikaji tentang penyakit yang pernah diderita klien seperti penyakit jantung, ginjal, dan
hipertensi, juga riwayat pembedahan yang pernah dialami saat dulu, baik yang berhubungan
dengan timbulnya BPH, maupun yang tidak (Brunner & Suddart, 2001 : 1629).
e. Riwayat kesehatan keluarga
Dikaji apakah aggota dalam keluarga klien ada yang menderita penyakit seperti klien,
penyakit menular seperti TBC, dan penyakit keturunan seperti DM, Hipertensi, Jantung, dan
Asma. Jika ada riwayat penyakit keturunan maka dibuat genogram (AKPER Kota Sukabumi,
2005 : 52).
3. Data biologis dan fisiologis
a. Pola aktivitas harian
Dalam aktivitas sehari-hari dikaji pola aktivitas sebelum sakit dan setelah sakit.
1) Pola makan dan minum
a). Makan
Dikaji tentang frekuensi makan, jenis diit, porsi makan, riwayat alergi terhadap suatu
jenis makanan tertentu, pada klien BPH biasanya terjadi penurunan napsu makan akibat mual
(Brunner & Suddart, 2001 : 1625).
b). Minum
Dikaji tentang jumlah dan jenis minuman setiap hari. Minuman yang harus dihindari
pada klien BPH yaitu minuman yang mengandung kafein dan alkohol, karena dapat
meningkatkan diuresis sehingga kemungkinan sisa urine dapat bertambah banyak dalam
kandung kemih (retensi urine).
2) Pola eliminasi
a). Buang air besar (BAB)
Frekuensi BAB, warna, bau, konsistensi feses dan keluhan klien yang berkaitan dengan BAB.
Pada klien BPH biasanya terjadi konstipasi akibat protrusi prostat kedalam rektum (Doenges,
2000 : 671).
b). Buang air kecil (BAK)
Pada klien BPH terjadi peningkatan BAK, nokturia, hematuria, nyeri saat BAK, urine keluar
dengan menetes, sulit saat BAK dan terjadi retensi urine (Brunner & Suddart, 2001 : 1625).
3) Pola istirahat tidur
Waktu tidur, lamanya tidur setiap hari, apakah ada kesulitan dalam tidur. Pada klien
BPH terjadi nokturia dan hal ini mungkin akan mengganggu istirahat tidur klien (Brunner &
Suddart, 2001 : 1625).
4) Pola personal higiene
Dikaji mengenai frekuensi dan kebiasaan mandi, keramas, gosok gigi dan
menggunting kuku. Pada klien BPH yang sudah mengalami komplikasi dan juga faktor usia
yang sudah tua kemungkinan dalam perawatan dirinya tersebut memerlukan bantuan baik
sebagian maupun total.
5) Pola mobilisasi fisik
Dikaji tentang kegitan dalam pekerjaan, mobilisasi, olah raga, kegiatan diwaktu luang
dan apakah keluhan yang dirasakan klien mengganggu aktivitas klien tersebut.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dalam keperawatan dipergunakan untuk memperoleh data objektif dari
riwayat keperawatan klien, dalam pemeriksaan fisik terdapat 4 teknik yaitu Inspeksi, Palpasi,
Perkusi dan Auskultasi.
1). Sistem Persarafan
Pada klien BPH baik pre dan post operasi terdapat rangsangan nyeri akibat dari
obstruksi, retensi urine dan luka insisi. Tingkat kesadaran pada klien BPH compos mentis
(Brunner & Suddart, 2001 : 1629).

2). Sistem Endokrin


Pada klien BPH terjadi penurunan jumlah hormon testosteron (Samsuhidajat, 2004 :
782).
3). Sistem Perkemihan
Pre operasi pada klien BPH ditemukan peningkatan frekuensi BAK, nokturia,
hematuria, nyeri pada saat BAK, urin keluar dengan menetes, retensi urine dan terdapat nyeri
tekan pada area CVA serta terjadi pembesaran ginjal jika sudah terdapat kerusakan ginjal
(Brunner & Suddart, 2001 : 1625).
Biasanya klien post operasi 1-5 hari dipasang kateter dan irigasi kandung kemih
kontinyu (spooling) (Brunner & Suddart, 2001 : 1630).
4). Sistem Pencernaan
Pada klien BPH dengan pre operasi terjadi mual dan muntah akibat dari penekanan
lambung (Brunner & Suddart, 2001 : 1625), konstipasi dan kebiasaan mengedan saat BAK
akan menyebabkan hernia dan hemoroid (Samsuhidajat, 2004 : 783). Sedangkan pada post
operasi dapat terjadi mual karena efek anestesi sehingga timbul anoreksia.
5). Sistem Kardiovaskuler
Pada klien BPH dengan pre operasi, kaji tentang riwayat penyakit jantung dan
hipertensi. Jika sudah ada kerusakan ginjal maka akan terjadi peningkatan tekanan darah
tetapi peningkatan tekanan darah dan nadi juga dapat terjadi bila klien merasa nyeri.
Sedangkan pada post operasi dapat terjadi penurunan tekanan darah, peningkatan frekuensi
nadi, anemis, dan pucat jika klien mengalami syok (Brunner & Suddart, 2001 : 1623).
6). Sistem Pernapasan
Pada klien BPH dengan pre operasi dan post operasi dapat terjadi peningkatan
frekuensi napas akibat nyeri yang dirasakan klien.
7). Sistem Muskuloskeletal
Pada klien BPH dengan pre operasi dan post operasi terjadi keterbatasan pergerakan
dan immobilisasi akibat nyeri yang dirasakan oleh klien.
8). Sistem Integumen
Pada klien BPH dengan pre operasi dapat terjadi peningkatan suhu tubuh akibat
terjadi proses infeksi, sedangkan pada post operasi terdapat luka insisi jika dilakukan
prostatektomi terbuka (Brunner & Suddart, 2001 : 1629).
9). Sistem Reproduksi
Pada klien BPH dengan post operasi dapat terjadi disfungsi seksual bahkan sampai
terjadi impotensi. Pada saat ejakulasi cairan sperma dapat bercampur dengan urine sehingga
dapat terjadi infeksi tetapi hal ini tidak mengganggu fungsi seksual (Brunner & Suddart, 2001
: 1629).
4. Data psikologis
a. Status emosional
Dikaji tentang keadaan emosi klien. Pada klien BPH dengan pre operasi, biasanya
terjadi ansietas sehubungan dengan prosedur pembedahan.
b. Konsep diri
1). Citra tubuh
Sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar maupun tidak sadar.
2). Identitas diri
Kesadaran tentang diri sendiri yang dapat diperoleh individu dari observasi dan
penilaian terhadap dirinya menyadari inidividu bahwa dirinya berbeda dengan orang lain.
3). Peran
Serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan oleh masyarakat
dihubungkan dengan fungsi individu didalam kelompok sosialnya.
4). Ideal diri
Persepsi individu tentang bagaimana ia seharusnya bertingkah laku berdasarkan
standar pribadi.
5). Harga diri
Penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisis seberapa banyak
kesesuaian tingkah laku dengan dirinya.
c. Mekanisme koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari pengalaman yang
menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologik. Mekanisme koping terdiri dari :
a. Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk menganggulangi
ansietas dan upaya untuk menanggulangi ansietas.
b. Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi
c. Menarik diri
5. Data sosial dan budaya
a. Pola komunikasi dan interaksi
Kejelasan klien dalam kebiasaan berbicara, kemampuan dan keterampilan klien
berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.
b. Support sistem
Dikaji bagaimana dukungan keluarga dan orang terdekat dalam proses penyembuhan
penyakit klien.

6. Data spiritual
a. Pola religius
Agama yang dianut klien, kegiatan agama dan kepercayaan yang dilakukan klien selama
ini apakah ada gangguan aktivitas beribadah selama sakit.
b. Kepercayaan dan keyakinan
Bagaimana sikap klien terhadap petugas kesehatan dan keyakinan klien terhadap penyakit
yang dideritanya.
7. Data penunjang
Data penunjang meliputi farmakoterapi dan prosedur diagnostik medik seperti
pemeriksaan darah, urine, radiologi dan cystoscopy.
B. Diagnosa
1. Gangguan rasa nyaman nyeri sehubungan dengan retensi urine, infeksi urinaria dan distensi
kandung kemih, luka pembedahan (post op).
2. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan atau prosedur pembedahan
(pre op).
3. Resiko kekurangan volume cairan dan elektrolit sehubungan dengan pendarahan.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, immobilitas, pemasangan alat
kateter
5. Resiko infeksi sehubungan dengan retensi urine dan terpasangnya dower kateter
6. Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, tanda dan gejala serta perawatan dirumah
sehubungan dengan kurang informasi.

C. Penyimpangan KDM
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2001, Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 3, EGC, Jakarta.
Corwin, J. Elizabeth, 2001, Buku Saku Pathofisiologi, EGC, Jakarta.

Doenges, Moorhouse & Geissler, 2001, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerbit EGC, Jakarta.

Price & Wilson, 1995, Pathofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Penerbit EGC, Jakarta.

Sjamsuhidajat & Wim de Jong, 1997, Ilmu Bedah, Penerbit EGC, Jakarta.

Staf Pengajar Patologi Anatomi FKUI, 1993, Patologi, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai