PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Auricula (daun telinga) terdiri dari antihelix yang membentuk huruf Y, dengan bagian
crux superior di sebelah kiri dari fossa triangularis, crux inferior pada sebelah kanan dari
fossa triangularis, antitragus berada di bawah tragus, sulcus auricularis merupakan sebuah
struktur depresif di belakang telinga di dekat kepala, concha berada di dekat saluran
pendengaran, angulus conchalis yang merupakan sudut di belakang concha dengan sisi
kepala, crus helix yang berada di atas tragus, cymba conchae merupakan ujung terdekat dari
2
concha, meatus akustikus eksternus yang merupakan pintu masuk dari saluran pendengaran,
fossa triangularis yang merupakan struktur depresif di dekat anthelix, helix yang merupakan
bagian terluar dari daun telinga, incisura anterior yang berada di antara tragus dan antitragus,
serta lobus yang berada di bagian paling bawah dari daun telinga, dan tragus yang berada di
depan meatus akustikus eksternus.23,24,25,26
Meatus akustikus eksternus (liang telinga luar) merupakan sebuah tabung berkelok
yang menghubungkan auricula dengan membran timpani. Pada orang dewasa panjangnya
lebih kurang 1 inchi atau kurang lebih 2,5 cm, dan dapat diluruskan untuk memasukkan
otoskop dengan cara menarik auricula ke atas dan belakang. Pada anak kecil auricula ditarik
lurus ke belakang, atau ke bawah dan belakang. Bagian meatus yang paling sempit adalah
kira-kira 5 mm dari membran timpani.233,25,26
Rangka sepertiga bagian luar meatus adalah kartilago elastis, dan dua pertiga bagian
dalam adalah tulang yang dibentuk oleh lempeng timpani. Meatus dilapisi oleh kulit, dan
sepertiga luarnya mempunyai rambut, kelenjar sebasea, dan glandula seruminosa. Glandula
seruminosa ini adalah modifikasi kelenjar keringat yang menghasilkan sekret lilin berwarna
coklat kekuningan. Rambut dan lilin ini merupakan barier yang lengket, untuk mencegah
masuknya benda asing.23,24,25,26
Saraf sensorik yang melapisi kulit pelapis meatus berasal dari n.auriculotemporalis dan
ramus auricularis n. vagus. Sedangkan aliran limfemenuju nodi parotidei superficiales,
mastoidei, dan cervicales superficiales.25,26
3
1.1.2 Telinga Tengah
Telinga tengah adalah ruang berisi udara di dalam pars petrosa ossis temporalis
yang dilapisi oleh membrana mukosa. Ruang ini berisi tulang-tulang pendengaran
yang berfungsi meneruskan getaran membran timpani (gendang telinga) ke
perilympha telinga dalam. Kavum timpani berbentuk celah sempit yang miring,
dengan sumbu panjang terletak lebih kurang sejajar dengan bidang membran timpani.
Di depan, ruang ini berhubungan dengan nasopharing melalui tuba auditiva dan di
belakang dengan antrum mastoid.25,26
Membran timpani adalah membrana fibrosa tipis yang berwarna kelabu mutiara.
Membran ini terletak miring, menghadap ke bawah, depan, dan lateral. Permukaannya
konkaf ke lateral. Pada dasar cekungannya terdapat lekukan kecil, yaitu umbo, yang
terbentuk oleh ujung manubrium mallei. Bila membran terkena cahaya otoskop,
bagian cekung ini menghasilkan "refleks cahaya" yang memancar ke anterior dan
inferior dari umbo.25,26
4
Membran timpani berbentuk bulat dengan diameter lebih-kurang 1 cm. Pinggirnya
tebal dan melekat di dalam alur pada tulang. Alur itu, yaitu sulcus timpanicus, di bagian
atasnya berbentuk incisura. Dari sisi-sisi incisura ini berjalan dua plica, yaitu plica mallearis
anterior dan posterior, yang menuju ke prosessus lateralis mallei. Daerah segitiga kecil pada
membran timpani yang dibatasi oleh plika-plika tersebut lemas dan disebut pars flaccida. Ba-
gian lainnya tegang disebut pars tensa. Manubrium mallei dilekatkan di bawah pada
permukaan dalam membran timpani oleh membran mukosa. Membran tympan sangat peka
terhadap nyeri dan permukaan luarnya dipersarafi oleh n.aurikulotemporalis dan ramus
aurikularis n. vagus.25,26
Tonjolan tulang berkembang dari dinding anterior meluas ke belakang pada dinding
medial di atas promontorium dan di atas fenestra vestibuli. Tonjolan ini menyokong m. tensor
timpani. Ujung posteriornya melengkung ke atas dan membentuk takik, disebut processus
cochleariformis. Di sekeliling takik ini tendo m. tensor timpani membelok ke lateral untuk
sampai ke tempat insersionya yaitu manubrium mallei.23,24,25,26
5
Sebuah rigi bulat berjalan secara horizontal ke belakang, di atas promontorium dan
fenestra vestibuli dan dikenal sebagai prominentia canalis nervi facialis. Sesampainya di
dinding posterior, prominentia ini melengkung ke bawah di belakang pyramis.26
Tuba eustachius terbentang dari dinding anterior kavum timpani ke bawah, depan, dan
medial sampai ke nasopharynx. Sepertiga bagian posteriornya adalah tulang dan dua pertiga
bagian anteriornya adalah cartilago. Tuba berhubungan dengan nasopharynx dengan berjalan
melalui pinggir atas m. constrictor pharynges superior. Tuba berfungsi menyeimbangkan
tekanan udara di dalam cavum timpani dengan nasopharing.25,26
Antrum mastoid terletak di belakang kavum timpani di dalam pars petrosa ossis
temporalis, dan berhubungan dengan telinga tengah melalui auditus ad antrum, diameter
auditus ad antrum lebih kurang 1 cm.26
Dinding anterior berhubungan dengan telinga tengah dan berisi auditus ad antrum,
dinding posterior memisahkan antrum dari sinus sigmoideus dan cerebellum. Dinding lateral
tebalnya 1,5 cm dan membentuk dasar trigonum suprameatus. Dinding medial berhubungan
dengan kanalis semicircularis posterior. Dinding superior merupakan lempeng tipis tulang,
yaitu tegmen timpani, yang berhubungan dengan meninges pada fossa kranii media dan lobus
temporalis cerebri. Dinding inferior berlubang-lubang, menghubungkan antrum dengan
cellulae mastoideae.26
Telinga dalam osseus terdiri atas tiga bagian: vestibulum, canalis semicircularis,
dan cochlea. Ketiganya merupakan rongga-rongga yang terletak di dalam substantia
kompakta tulang, dan dilapisi oleh endosteum serta berisi cairan bening, yaitu
perilympha, yang di dalamnya terdapat labyrinthus membranaceus.25,26
6
Gambar 4. Telinga Dalam
Ketiga canalis semicircularis, yaitu canalis semicircularis superior, posterior, dan lateral
bermuara ke bagian posterior vetibulum. Setiap canalis mempunyai sebuah pelebaran di
ujungnya disebut ampulla. Canalis bermuara ke dalam vestibulum melalui lima lubang, salah
satunya dipergunakan bersama oleh dua canalis. Di dalam canalis terdapat ductus semicir-
cularis. 23,24,26
Canalis semicircularis superior terletak vertikal dan terletak tegak lurus terhadap sumbu
panjang os petrosa. Canalis semicircularis posterior juga vertikal, tetapi terletak sejajar
dengan sumbu panjang os petrosa. Canalis semicircularis lateralis terletak horizontal pada
dinding medial aditus ad antrum, di atas canalis nervi facial is.24,26
Cochlea berbentuk seperti rumah siput, dan bermuara ke dalam bagian anterior
vestibulum. Umumnya terdiri atas satu pilar sentral, modiolus cochleae, dan modiolus ini
dikelilingi tabung tulang yang sempit sebanyak dua setengah putaran. Setiap putaran
berikutnya mempunyai radius yang lebih kecil sehingga bangunan keseluruhannya berbentuk
kerucut. Apex menghadap anterolateral dan basisnya ke posteromedial. Putaran basal pertama
dari cochlea inilah yang tampak sebagai promontorium pada dinding medial telinga
tengah.23,25,26
Modiolus mempunyai basis yang lebar, terletak pada dasar meatus acusticus internus.
Modiolus ditembus oleh cabang-cabang n. cochlearis. Pinggir spiral, yaitu lamina spiralis,
mengelilingi modiolus dan menonjol ke dalam canalis dan membagi canalis ini. Membran
basilaris terbentang dari pinggir bebas lamina spiralis sampai ke dinding luar tulang, sehingga
membelah canalis cochlearis menjadi scala vestibuli di sebelah atas dan scala timpani di
sebelah bawah. Perilympha di dalam scala vestibuli dipisahkan dari cavum timpani oleh basis
7
stapedis dan ligamentum annulare pada fenestra vestibuli. Perilympha di dalam scala tympani
dipisahkan dari cavum timpani oleh membrana tympani secundaria pada fenestra cochleae.
23,26
Telinga dalam membranaceus terletak di dalam telinga dalam osseus, dan berisi
endolympha dan dikelilingi oleh perilympha. telinga dalam membranaceus terdiri atas
utriculus dan sacculus, yang terdapat di dalam vestibulum osseus; tiga ductus semicircularis,
yang terletak di dalam canalis semicircularis osseus; dan ductus cochlearis yang terletak di
dalam cochlea. Struktur-struktur ini sating berhubungan dengan bebas.24,25,26
Utriculus adalah yang terbesar dari dua buah saccus vestibuli yang ada, dan
dihubungkan tidak langsung dengan sacculus dan ductus endolymphaticus oleh ductus
utriculosaccularis.26
Sacculus berbentuk bulat dan berhubungan dengan utriculus, seperti sudah dijelaskan di
atas. Ductus endolymphaticus, setelah bergabung dengan ductus utriculosaccularis akan
berakhir di dalam kantung buntu kecil, yaitu saccus endolymphaticus. Saccus ini terletak di
bawah duramater pada permukaan posterior pars petrosa ossis temporalis.27
Pada dinding utriculus dan sacculus terdapat receptor sensorik khusus yang peka
terhadap orientasi kepala akibat gaya berat atau tenaga percepatan lain.26
8
a. Serebrum (Otak Besar)
Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer. Hemisfer kanan
berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol
bagian tubuh sebelah kanan. Masing-masing hemisfer terdiri dari empat lobus. Keempat lobus
tersebut masing-masing adalah lobus frontal, lobus parietal, lobus oksipital dan lobus temporal.12
1. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum. Daerah ini berfungsi
untuk menerima impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan dengan segala bentuk
sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatik.13
2. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan dari serebrum. Pada
daerah ini terdapat area motorik untuk mengontrol gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca
sebagai pusat bicara; dan area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual.13
3. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus oksipital oleh garis yang ditarik
secara vertikal ke bawah dari ujung atas sulkus lateral. Lobus temporal berperan penting dalam
kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.13
4. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal. Lobus ini berhubungan
dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap
objek yang ditangkap oleh retina mata.13
9
b. Serebelum (Otak Kecil)
Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak. Serebelum terletak di bagian
bawah belakang kepala, berada di belakang batang otak dan di bawah lobus oksipital, dekat dengan
ujung leher bagian atas. Serebelum adalah pusat tubuh dalam mengontrol kualitas gerakan. Serebelum
juga mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh,
mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Selain itu, serebelum berfungsi
menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan
mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.14
c. Batang Otak
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar dan
memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak bertugas untuk mengontrol tekanan darah, denyut
jantung, pernafasan, kesadaran, serta pola makan dan tidur.13
2.2.1 Definisi
Abses serebri otogenik adalah abses otak yang terjadi akibat komplikasi intrakranial oleh
penyakit otitis media kronik terutama yang disertai dengan kolestetatoma.1
2.2.2 Epidemiologi
Abses otak otogenik hampir selalu terjadi di lobus temporalis atau serebelum sisi yang sama
dengan telinga yang terinfeksi. Angka kejadian meningitis akibat komplikasi intrakranial adalah 34%,
abses otak menempati urutan kedua -25% (15% di lobus temporal dan 10% diserebelum).2
Kematian abses otak pada masa pra-antibiotika sangat tinggi. Kejadian di Indonesia pernah
dilaporkan 5 dari 6 penderita abses otak meninggal. Kemudian antara 1950-1960 dari 35 penderita
abses otak otogenik angka kematian 6% pada tahun 1961-1971 dari 18 kasus abses.16
Walaupun angka kesakitan dan kematian komplikasi intra-kranial turun dari 35% menjadi 5% sejak
pemakaian antibiotika, teknik diagnosis dan metode operasi yang canggih dan maju, abses otak masih
merupakan kasus fatal.17
Di Walton Hospital sekitar 0,5% otitis media akut dan 3% OMSK berkembang menjadi abses
otak dengan angka kematian sebesar 47,2%. Kebanyakan karena terlambat mendapatkan
pengobatan.17
10
Di RS dr. Mochammad Hoesin dari tahun 2005 - 2009 ditemukan sebanyak 9 kasus abses
otak otogenik. Kasus terbanyak dijumpai dalam tahun 2009 ini sebanyak 5 kasus.18 Abses otak
otogenik dapat mengenai semua kelompok umur. Bayi dan anak mempunyai kekerapan tertinggi.
Laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Laki-laki lebih banyak terkena abses serebri otogenik
daripada perempuan, dengan perbandingan 5 : 1.11
2.2.3 Patogenesis
Patogenesis dari komplikasi melibatkan interaksi yang kompleks antara organisme yang
spesifik dan keadaan host. Respon dari host yang penting dianggap menjadi penyebab terjadinya
komplikasi adalah terbentukya jaringan granulasi yang menyebabkan obstruksi untuk drainase dan
aerasi dan destruksi dari struktur tulang dan selanjutya terbentuk lingkungan yang anaerob.2
lnfeksi yang berasal dari rongga mastoid dapat menyebar ke intrakranial melalui beberapa
jalan yaitu:2
a. Melalui erosi pada tulang akibat proses infeksi akut maupun resorbsi oleh kolesteatom atau osteitis
pada infeksi kronik telinga tengah.
b. Penyebaran secara retrograd trombofleblitis, melalui vena emisaria yang berjalan menembus tulang
dan dura ke sinus venosus, selanjutnya mengenai struktur intrakranial.
c. Melalui jalan anatomis dari tingkap lonjong dan bulat, meatus akustikus internus, koklea,
akuaduktus vestibularis dan diantara struktur temporal.
Abses di sub korteks akan menembus substansia alba sehingga akan terjadi trombophlebitis,
edema dan akhirnya ensefalitis
Terjadi fokal nekrosis dan pencairan yang secara cepat akan menimbulkan abses, kemudian
mikroglial dan elemen-elemen mesoblatik vaskuler dimobilisasi untuk membentuk kapsul yang dapat
terdeteksi dalam 2 minggu dari onset absesnya dan dalam 5 - 6 minggu kapsul terbentuk sempurna
dengan tebal 2 mm, ketika kapsul terbentuk edema disekitar otak akan berkurang.
11
c. Tahap pembesaran abses
Terjadi aktifitas lagi dalam asbes sehingga menyebabkan ukuran abses meningkat dan
menekan struktur sekitarnya.
Abses mendesak dinding kapsul sehingga terbentuk abses multilokuler atau pecah ke dalam
sistem ventrikuler dan rongga subarakhnoid.
Abses otak otogenik memerlukan penegakan diagnosis dini, penatalaksanaan cepat serta tepat
karena angka kematiannya tinggi. Meskipun telah banyak kemajuan diagnostik khususnya CT Scan
dan MRI, abses otak otogenik sering terlambat diketahui. 17
Gejala umum abses otak adalah gejala proses desak ruang ditambah gejala infeksi. Stadium
awal abses otak berupa ensefalitis, yang menimbulkan edema otak dan peningkatan tekanan
intrakranial, menyebabkan gejala mual, nyeri kepala dan muntah, somnolen dan bingung kadang-
kadang disertai delusi dan halusinasi. Bila penyakit bertambah berat dapat terjadi stupor dan koma.
Edema papil mulai timbul 10-14 hari setelah onset. Pada kasus progresif dapat terjadi herniasi tentoria
atau herniasi tonsil serebelum ditandai dengan fiksasi dan dilatasi pupil dan akhirnya paralisis
pernafasan.19
Kapsul mulai terbentuk dalam 10-14 hari. Kapsul fibrosis terbentuk dalam 5-6 minggu.
Pembentukan kapsul tersebut diikuti menurunnya gejala karena berkurangnya ensefalitis dan edema di
sekitar abses. Kekambuhan terjadi jika abses berkapsul pecah dan menyebabkan abses satelit; hal
tersebut masih dapat terjadi walaupun telah terbentuk dinding abses fibrosis yang kuat.19
Berdasarkan patogenesisnya, gejala dan tandaklinis dapat dibagi menjadi empat stadium yaitu
20
:
a. Stadium inisial
Gejalanya adalah demam tidak terlalu tinggi, rasa mengantuk, kehilangan konsentrasi,
kehilangan nafsu makan, nyeri kepala serta malaise, kadang-kadang mual dan muntah nonproyektil.
12
b. Stadium laten
Secara klinis tidak jelas karena gejala berkurang. Terdapat malaise, kurang nafsu makan dan
nyeri kepala yang hilang timbul.
c. Stadium manifes
Membesar khasnya ditandai dengan gejala dan tanda dari peningkatan tekanan intrakranial,
iritasi dan tekanan pada tempat yang khusus di otak. Dapat terjadi kejang fokal atau afasia pada abses
lobus temporal. Pada abses serebelum terjadi ataksia atau tremor. Nyeri kepala hebat disertai mual
dan muntah proyektil dianggap khas untuk penyakit intrakranial.
d. Stadium akhir
Berupa kesadaran menurun dari sopor sampai koma dan akhirnya meninggal karena ruptur
abses ke dalam sistem ventrikel dan rongga subarakhnoid.
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik terutama gejala dan tanda
infeksi telinga tengah, disertai pemeriksaan neurologik. Kecurigaan abses otak pada pasien OMSK
adalah adanya nyeri kepala hemikranial atau seluruh kepala, kesadaran menurun, edema papil.
Kelainan neurologik fokal tidak selalu dijumpai; jika ada, memperkuat kecurigaan terhadap abses
otak.20
Pemeriksaan penunjang berupa: pemeriksaan darah dan cairan serebrospinal, rontgen foto
kepala atau mastoid, EEG, dan CT scan. Pada pemeriksaan darah umumnya ditemukan jumlah
leukosit normal atau sedikit meningkat, biasanya <15000/mm3, LED meningkat antara 45-55
mm/jam. Pungsi lumbal harus dilakukan kecuali jika ada tanda peninggian tekanan intrakranial. 19
Biasanya pungsi lumbal menunjukkan peninggian tekanan, protein dan hitun gsel tetapi mungkin
didapatkan nilai normal.19,20
Pemeriksaan CT scan dengan kontras sangat penting untuk menegakkan diagnosis abses otak;
akan tampak sebagai daerah hipodens dikelilingi oleh lingkaran yang disebut tanda cincin atau ring
sign.4 Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan pus dari tempat abses.21
13
Gambar 2. CT scan yang menunjukkan abses multipel di lobus temporal sinistra
Pemeriksaan MRI dapat dilakukan apabila diagnosis cenderung ke arah abses otak atau
serebritis tetapi pada pemeriksaan tomografi komputer tidak dijumpai adanya abses atau serebritis.
Kelebihan pemeriksaan dengan MRI adalah gambaran lebih jelas antara daerah yang edema dengan
dengan jaringan otak disekelilingnya dan hal ini dapat mendiagnosis adanya abses otak pada stadium
lebih dini, gambaran MRI memberikan penilaian yang lebih akurat adanya penyebaran ke daerah
ekstraparenkim yang digambarkan dengan hiperdensitas intraventrikuler dan penyangatan di daerah
periventrikuler.19
2.2.7 Penatalaksanaan
Ukuran abses sangat penting untuk menentukan terapi dan evaluasi selanjutnya; jika ≥ 2,5cm
dan tidak berrespon terhadap antibiotika atau > 3 cm, dianjurkan eksisi abses.4,9,10CT scan
14
dikerjakan setiap minggu atau jikatimbul gejala baru. Jika keadaan klinis me-netap atau membaik,
antibiotika intravenadapat dilanjutkan sampai 4-6 minggu.11 Jika abses mengecil maka antibiotika oral
diteruskan 2-6 bulan dan CT scan dikerjakan setiap 2-4 bulan selama 1 tahun untuk menghindari
kekambuhan.20
Tindakan mastoidektomi dilakukan 3-4 haris esudah kraniotomi atau dapat lebih cepat
tergantung keadaan klinis pasien; sebelumnya diberi antibiotika spektrum luas selama 2 minggu.
Kelainan neurologi yang timbul merupakan tanda gagalnya pengobatan yang dapat dilihat dengan CT
scan; keadaan ini merupakan indikasi bedah, jika keadaan memungkinkan.20 Pada pasien yang
absesnya sudah membentuk kapsul dengan defisit neurologik atau abses membesar harus dilakukan
tindakan bedah sesegera mungkin.5
2.2.8 Komplikasi
c. Edema otak
Dua hal yang paling ditakuti dari abses otak adalah terjadinya herniasi sekunder dan ruptur
abses ke dalam ruang subaraknoid. Hal ini dapat dihindari dengan memantau pasiensecara ketat.20
2.2.9 Prognosis
15
Tergantung kecepatan diagnosis serta pengobatan yang diberikan. Prognosis makin
buruk, jika abses berukuran besar, abses ruptur kedalam sistem ventrikel, abses disertai meningitis,
empiema, dan hidrosefalus serta abses multipel.4
Ada sekuele neurologik masing-masing terjadi 35%dan 30% - 55%. Epilepsi atau fokus
epilepsi terjadi 29% kasus dan tampak lebih sering setelah evakuasi pus. Penyembuhan abses akan
diikuti terjadinya kejang epilepsi pada 50% penderita dewasa dan biasanya serangan pertama akan
timbul 6 - 12 bulan setelah tindakan operasi. Penyembuhan pada anak di bawah 10 tahun tidak tampak
adanya gejala sisa. 1
Meskipun jarang kepustakaan yang menyebutkan rekurensi abses otak, tetapi sebenarnya hal
ini dapat terjadi meskipun angka kejadiannya sangat kecil. Abses otak terjadi rekurensi oleh karena
kapsul abses yang tidak terabsorbsi sempurna.2
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Abses serebri otogenik adalah abses otak yang terjadi akibat komplikasi intrakranial
oleh penyakit otitis media kronik terutama yang disertai dengan kolestetatoma. Abses otak
otogenik merupakan kegawatdaruratan di bidang THT, dimana keadaan ini adalah komplikasi
yang serius karena dapat mengancam jiwa atau dapat pula menjadi kondisi yang mengancam
jiwa bila tidak ditangani dengan baik.
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik terutama gejala dan
tanda infeksi telinga tengah, disertai pemeriksaan neurologik. Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan guna membantu memperkuat diagnose berupa: pemeriksaan darah dan cairan
serebrospinal, rontgen foto kepala atau mastoid, EEG, dan CT scan.
Penatalaksanaan abses otak otogenit ini pada prinsipnya adalah melokalisasi infeksi
dengan antibiotika, menghilangkan sumber infeksi di telinga dengan mastoidektomi dan
evakuasi abses otak. Prognosis dari abses otak otogenik ini sediri tergantung dari kecepatan
diagnosis serta pengobatan yang diberikan.
17
Daftar Pustaka
1. Neely J. Intratemporal and Intracranial Complications of Otitis Media. In: Bailey BJ,
ed. Head and Neck Surgery- Otolaryngology. 3th ed. Philadelphia: W.W Lippincot,
2001. p. 1759-72.
2. Ludman H. Complications of Suppurative Otitis Media. In: Bootth J, ed. Scottʼs
Brown’s Otolaryngology Otology. 5th ed. London : Butterworth & Co, 1987. p. 264 -
83.
3. Helmi, Djaafar ZA, Restuti RD. Komplikasi Otitis media supuratif dalam Buku ajar
llmu kesehatan Telinga Hidung tenggorok Kepala leher. Edisi Keenam. Balai penerbit
FKUI. 2007.p.78-84.
4. Singh D, Gupta V, Singh AK, Sinha S. Evolution of Otogenic Brain Abscess and
Management Protocol. J Indian Pediatr. 2001; 38: 169-73.
5. Bradley J, Manning P, Shaw M. Brain Abscess Secondary to Otitis Media. J Laryngol
otol 1984; 98 : 1885-91.
6. Mayfield F, Tew J. Neurosurgery. In: Paparella M, Shumrick D, ed. Otolaryngology.
1st ed. Philadelphia: W.B Saunders Co., 1973. p. 849-56.
7. Levine SC, De Souza c. lntracranial complication of otitis media in
GlassockSchambaugh surgery of the ear. Fifth edition. Ontario decker 1nc.2003. p.
443- 462
8. Thapa N, Shrivastav RP. lntracranial complication of chronic suppurative otitis
media, attico-antral type: Experience at TUTH. J Neuroscience 1 : 36-39. 2A04
9. Nunez DA, Browning GG> Risk of developing an intracranial abscess. J Laryngol
Otol. 1990; 104 p. 468-72
10. Harris JP, Kim DW, Darrow DH. Complication of Chronic Otitis media dalam
surgery of the ear and the temporal bone. Second edition. Lippincott Williams&
Wilkins. 2005. p.219-229
11. Ashoor AA, Fachartzt. Otogenic brain abscess management. Bahrain medical
Bulletin. Vol. 27, No. 1. 2005
12. Centers for Disease Control and Prevention. 2004. Data collection of primary central nervous
system tumors. National Program of Cancer Registries Training Materials. Atlanta,Georgia :
U.S. Department of Health and Human Services Centers for Disease Controland Prevention.
13. Ellis, Harold. 2006. Clinical Anatomy: Applied Anatomy for Student & Junior Doctors. 11th
edition. USA: Blackwell Publishing.
18
14. Clark RK. 2005. Anatomy and Understanding the Human Body Physiology.London : Jones
and Barlett Publishers. Pp. 204-205.
15. Dyah, Trining., Sedjawidada, R., Bonifacius., Sompa, W., dan Wahyudi. Abses Otak
Otogenik sebagai Komplikasi Intrakranial OMSK. 11th Scientific Otology Meeting Grand
Clarion Hotel and Convention-Makassar.
16. Ballenger JJ. Complication of ear disease. In : Ballenger JJ 13thed Philadelphia : Lea and
Febiger ,1985 : 1170-76.
17. Ettinger MG. Brain Abscess. In: Baker AB, Baker LH. Clinical Neurology, vol 2
Philadelphia: Harper & Row Publ. 1985 :1-25
18. Ghanie, Abla. 2009. Abses Otak Otogenik RSMH PALEMBANG. Simposium Otologi 2 Pito
4 Perhati-KL Palembang.
19. Austin D. Complication of Acute and Chronic Otitis
Media. In: Ballenger JJ, ed. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 15th ed. Philadelp
hia: William & Wilkins, 1996. p. 1037-53
20. Djaafar ZA, Widodo W. Diagnosis dan Terapi Medikamentosa dan
Terapi Bedah pada Abses Otak Otogenik. ORLI 2001; 31: 5-10
21. Ernoehazy W. Brain Abscess. Last modified March 16,
2006; Available at: http://www.emedicine.com/emerg/topic 67. htm. Accessed June 7, 2006
22. Hakim, AA. 2005. Abses Otak. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38 No.4
23. Ballantyne J, Govers J. Scott Brown’s Disease of the Ear, Nose, and Throat. Vol. 5.
Publisher: Butthworth Co.Ltd.; 1987.
24. Boies, Adams. Buku Ajar Penyakit THT. 6th edition. Jakarta: EGC; 1997.
25. Moore, Keith L. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: EGC; 2002.
26. Snell Richard. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6th edition. Jakarta:
EGC; 2006.
27. http://www.jludwick.com/Notes/Miscellaneous/Insurance.html
19