Anda di halaman 1dari 17

ASFIKSIA NEONATORUM

Asfiksia neonatorum adalah suatu kejadian bayi baru lahir yang gagal bernafas secara

spontan dan teratur segera setelah lahir (Hutchinson, 1967). Keadaan ini disertai dengan

hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis. Hipoksia yang terdapat pada penderita

asfiksia ini merupakan factor terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir

terhadap kehidupan ekstrauterin (Gabriel Duc, 1971). Penilaian statistic dan pengalaman

klinis atau patologi anatomis menunjukkan bahwa keadaan ini merupakan penyebab utama

mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. Hal ini dibuktikan oleh Drage dan Berendes (1966)

yang mendapatkan bahwa skor apgar yang redah sebagai manifestasi hifoksia berat pada bayi

saat lahir akan memperlihatkan angka kematian yang tinggi.

Haupt (1971) memperlihatkan bahwa frekuensi gangguan pendarahan pada bayi

sebagai akibat hipoksia sangat tinggi. Asidosis, gangguan kardiovaskular serta komplikasi

sebagai akibat langsung dari hipoksia merupakan peneybab utama kegagalan adaptasi bayi

baru lahir (James, 1958). Kegagalan ini akan sering berlanjut menjadi gangguan pernafasan

pada hari hari pertama setelah lahir (James, 1959). Penyelidikan patologi anatomis yang

dilakukan oleh Larrhoe dan Amakawa (1971) menunjukkan nekrosis berat dan difus pada

jaringan otak bayi yang meninggal karena hipoksia. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa

sekule neurologis sering ditemukan pada penderita asfiksia berat. Keadaan ini sangat

menghambat pertumbuhan fisis dan mental bayi di kemudian hari. Untuk menghindari atau

mengurangi kemungkinan tersebut di atas, perlu dipikirkan tindakan istimewa yang tepat dan

rasionil sesuai dengan perubahan yang mungkin terjadi pada penderita asfiksia.

Etiologi
Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama kelahiran dan

kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atai

pengangkutan oksigen dari ibu ke janin, akan terjadi asfiksia janin atau neonates. Gangguan

ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir. Hamper sebagian

besar asfiksia bayi baru lahir ini merupakan kelanjutan asfiksia janin, karena itu penilaian

janin selama masa kehamilan, persalinan memegang peranan yang sangat penting untuk

keselamatan bayi. Chamberlain (1970) mengemukakan bahwa asfiksia yang timbul dalam

masa kehamilan dapat dibatasi atau dicegah dengan melakukan pengawasan antenatal yang

adekuat dan melakukan koreksi sedini mungkin terhadap setiap kelainan yang terjadi.

Selanjutnya dikemukakan bahwa penghentian kehamilan dapat dipikirkan bbila kelainan

yang timbul tidak dapat diatasi dan keadaan bayi telah mengijinkan. Gangguan yang timbul

pada akhir kehamilan atau persalinan hamper selalu disertai anoksia/hipoksia janin dan

berakhir dengan asfiksia neonates. Keadaan ini perlu mendapat perhatian utama agar

persiapan dapat dilakukan dan bayi mendapat perawatan yang adekuat dan maksimal pada

saat lahir. Dengan demikian dapat diharapkan kelangsungan hidup yang sempurna untuk bayi

tanpa gejala sisa.

Towell (1966) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan pernafasan pada bayi

yang terdiri dari:

1. Factor ibu

Hipoksia ibu. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.

Hipoksia ibu inidapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika

atau anestisia dalam.

Gangguan aliran darah uterus. Mengurangnya aliran darah pada uterus akan

menyebabkan berkurangnya pengaliran oksigen ke pasenta dan demikian pula ke

janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan:


a. Gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni, atau tetani uterus akibat

penyakit atau obat

b. Hipotensi ,mendadak pada ibu karena pendarahan

c. Hipertensi pada penyakit eclampsia dan lain-lain.

2. Factor pasenta

Pertukaran gas ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksia

janinakan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya solusio

plasenta, pendarahan plasenta dan lain lain

3. Factor fetus

Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh

darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan

aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, tali pusat

melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir dan lain-lain

4. Factor neonates

Depresi pusat pernafasan pada bayi barulahir dapat terjadi karena beberapa hal yaitu:

a. Pemakaian obat anesthesia/analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung

dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin,

b. Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya pendarahan intracranial,

c. Kelainan kongenital bayi misalnya hemia diafragmatika, atresia/stenosis saluran

pernafasan, hypoplasia paru dan lain-lain.

Perubahan patofisiologis dan gambaran klinis.

Pernafasan spontan bayi baru lahir bergantung kepada kondisi janin pada masa

kehamilan dan persalinan. Proses kelahiran sendiri selalu menimbulkan asfiksia ringanyang
bersifat sementara pada bayi (asfiksia transien). Proses ini dianggap sangat perlu untuk

merangsang kemoreseptor pusat pernafasan agar terjadi ‘primary gasping’ yang kemudian

akan berlanjut dengan pernafasan teratur ( James, 1958). Sifat asfiksia ini tidak mempunyai

pengaruh buruk karena reaksi adaptasi bayi dapat mengatasinya.

Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen selama

kehamilan/persalinan, akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi

fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkank kematian. Kerusakan dan

gangguan fungsi ini dapat reversible atau tidak bergantung kepada berat dan lamanya asfiksia

(Caddeyro-Barcia, 1968). Pada percobaan binatang yang dikerjakan oleh Dawes (1968),

ternyata bahwa asfiksia yang ditimbulkan pada binatang percobaan memperlihatkan suatu

pola klinis tertentu. Hal ini sesuai dengan observasi klinis yang tampak pada bayi asfiksia.

Asfiksia yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnu (‘primary apnoea’) disertai dengan

penurunan frekuensi jantung . selanjutnya bayi akan memperlihatkan usaha bernafas

(‘gasping’) yang kemudian diikuti oleh pernafasan teratur. Pada penderita asfisia berat, usa

bernafas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya berada dalam periode apnu kedua (‘secondary

apnoea’). Pada tingkat ini disamping bradikardia ditemukan pula penurunan tekanan darah.

Dawes menggambarkan hasil penyelidikannya dalam suatu diagram (lihat gambar 5).
Gambar 5: beberapaata klinis dan laboratorium selama proses asfiksia.

Pada sekema di atas digambarkan pula efek resusitasi pada penyelidikan tersebut. Di samping

adanya perubahan klinis, akan terjadi pula gangguan metobolisme dan perubahan

keseimbangan asam-basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama gangguan pertukaran gas

mungkin hanya menimbulkan asidosis respiratorik. Bila gangguan berlanjut, dalam tubuh

bayi akan terjadi proses metebolisme anaerobic yang berupa glikolisis glikogen tubuh,

sehingga sumber glikogen tubuh, terutama pada jantuung dan hati akan berkurang. Asam

organic yang terkadi akibat metabolisme ini akan menyebabkan timbulnya perubahan
asidosis metabilik. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang

disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya:

a. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung,

b. Terjadinya asidosis metabolic akan mengakibatkan menurunnya sel jaringna,

termasuk otot jantung, sehingga menimbulkan kelemahan jantung,

c. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan tetap

tingginyaresistensi pembuluh darah paru, sehingga sirkulasi darah ke paru dan

demikian pula ke system sirkulasi tubuh lain akan mengalami gangguan.

Asidosis dan gangguan kardiovaskular yang terjadi dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel

otak. Kerusakan sel otak yang terjadi menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan

bayi selanjutnya.

Maclaurin (1970) menggambarkan secara skematis perubahan yang penting dalam

tubuh selama proses asfiksia disertai hubungannya dengan gambaran klinis (lihat gambar 6).
Gambar 6: sekema perubahan-perubahan yang terjadi selama proses asphyxia (Maclaurin,

1970)

Pada sekema tersebut secara sederhana disimpulkan keadaan pada asfiksia yang perlu

mendapat perhatian sebaiknya, yaitu:

1. Menurunnya tekanan O2 darah (PaO2),

2. Meningginya CO2 darah (Pa CO2),

3. Menurunnya pH (akibat asidosis respiratorik dan metabolik),

4. Dipakainya sumber glikogen tubuh untuk metabolisme anaerobic,

5. Terjadinya perubahan system kardiovaskular.


Mengenal dengan tepat perubahan tersebut diatas sangat penting, karena hal itu merupakan

menifestasi daripada tingkat asfiksia yang terjadi. Tindakan yang dilakukan pada bayi

asfiksia hanya akan berhasil dengan baik bila perubahan yang terjadi dapat dikoreksi secara

adekuat.

Dalam praktek, menentukan tingkat asfiksia bayi dengan tepat membutuhkan penglaman dan

observasi klinis yang cukup. Pada tahun lima puluhan digunakan kriteria ‘breathing time’ dan

‘crying time’ untuk menilai keadaan bayi. Kriteria ini kemudian ditinggalkan, karena tidak

dapat memberikan informasi yang tepat pada keadaan tertentu (Apgar 1966). Virginia. Apgar

(1953, 1958) mengusulkan beberapa kriteria klinis untuk menentukan keadaan bayi baru lahir.

Kriteria initernyata berguna karena berhubungan erat dengan perubahan keseimbangan asam-

basa pada bayi (Drage dan Berendes, 1966). Di samping itu dpat pula memberikan gambaran

beratnya perubahan kardiovaskular yang ditemukan . penilaian secara apgar ini juga

mempunyai hubungan yang bermakna dengan mortalitas dan mordibitas bayi baru lahir

(Drage, 1964). Cara ini dianggap paling ideal dan telah banyak digunakan di mana-mana.

Patokan klinis yang dinilai ialah:

1. Menghitung frekuensi jantung,

2. Melihat usaha bernafas,

3. Menilai tonus otot

4. Menilai reflex rangsangan,

5. Menimperhatikan warna kulit.

Setiap kriteria diberi angka tertentu dan penilaian itu sekarang lazim disebut skor Apgar (lihat

tabel 5). Skor Apgar ini biasanya di nilai 1 menit setelah bayi lahir lengkap, yaitu pada saat

bayi telah diberi lingkungan yang baik serta telah dilakukan persiapan lendir dengan

sempurna. Skor Apgar 1 menit menunjukkan beratnya asfiksia yang diderita dan baik sekali
sebagai pedoman untuk menentukan cara resitasi. Skor Apgar perlu pula dinilai setelah lima

menit bayi lahir, karena hal ini mempunyai korelasi yang erat dengan morbiditas dan

mortalitas neonatal (Drage, 1966).

TABEL 5: SKOR APGAR

Tanda 0 1 2 Jumlah nilai

Frekuensi Tidak ada < 100/menit >100/menit

jantung

Usaha bernafas Tidak ada Lambat, tidak Menangis kuat

teratur

Tonus otot Lumpuh Ektremitas Gerakan aktif

sedikit

Refleks Tidak ada Gerakan sedikit Menangis

Warna Biru/pucat Tubuh Tubuh dan

kemerahan, ekstremitas

ekstremitas biru kemerahan

Dalam menghadapi bayi dengan asfiksia berat, penilaian cara ini kadang membuang waktu

dan hal ini dianjurkan untuk menilai secara cepat (Pediatric’s Staff, Roy. Wom. Hosp. Aust,

1967). (1) menghitung frekuensi jantung dengan cara meraba xilfistemum atau a. umbilikalis

dan menentukan apakah jumlahnya lebih atau kurang dari 100/menit, (2) menilai tonus otot

apakah baik/buruk, (3) melihat warna kulit.

Atas dasar pengalaman klinis di atas, asfiksia neonatorum dapat di bagi dalam:
1. ‘Vigorous baby’. Skor Apgar 7-10, dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak

memerlukan tindakan istimewa

2. ‘Mild-moderate asphyxia’ (asfiksia sedang). Skor Apgar 4 – 6. Pada pemeriksaan fisis

akan terlihat frekuensi jantung dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik,

sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.

3. (a) Asfiksia berat. Skor apgar 0 – 3. Pada pemeriksaan fisis ditemukan frekuensi

jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang-kadang

pucat, refleks iritabilitas tidak ada.

(b) asfiksia berat dengan henti jantung. Dimaksudkan dengan henti jantung ialah

keadaan (1) bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir

lengkap, (2) bunyi jantung bayi menghilang post parfum. Dalam hal ini pemeriksaan

fisis lainnya sesuai dengan yang ditemukan pada penderita asfiksia berat.

Tindakan pada asfiksia neonatorum

Tujuan mengatasi asfiksia ialah untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan

membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul di kemudian hari. Tindakan yang

dikerjakan pada bayi lazim disebut resusitasi bayi batu lahir.

Sebelum resusitasi dikerjakan, perlu diperhatikan bahwa:

1. Factor waktu sangat penting. Makin lama bayi menderita asfiksia, perubahan

homeositasis yang timbul makin berat, resusitasi akan lebih sulit dan kemungkinan

timbulnya sekuele akan meningkat

2. Kerusakan yang timbul pada bayi akibat anoksia/hipoksia antenatal tidak dapat

diperbaiki, tetapi kerusakan yang terjadi karena anoksia/hipoksia pascanatal harus

dicegah dan diatasi


3. Riwayat kehampilan dan partus akan memberikan keterangan yang jelas tentang

factor penyebab terjadinya depresi pernafasan pada bayi baru lahir

4. Penilaian bayi baru lahir perlu dikenal baik, agar resusitasi yang dilakukan dapat

dipilih dan ditentukan secara adekuat.

Prinsip dasar yang perlu diingat ialah:

1. Memberi lingkungan yang baik pada bayi dan mengudahakan saluran pernafasan tetap

bebas serta merangsang timbulnya pernafasan, yaitu agar oksigenasi dan pengeluaran

CO2 berjalan lancer

2. Memberikan bantuan pernafasan secara aktif pada bayi yang menunjukkan usaha

pernafasan lemah

3. Melakukan koreksi terhadap asidosis yang terjadu

4. Menjaga agar sirkulasi darah tetap baik

Cara resusitsi

Terbagi atas tindakan umum dan tindakan khusus

Tindakan umum

1. Pengawasan suhu

Bayi baru lahir secara relative banyak kehilangan panas yang diikuti oleh penurunan

suhu tubuh (Miller dan Oliver, 1966). Penurunan suhu tubuh ini akan mempertinggi

metabolism sel jaringan sehingga kebutuhan oksigen meningkat (Hey dan Hill, 1969).

Hal iniakan mempersulit keadaan bayi, apalagi bayi menderita asfiksia berat. Perlu

diperhatikan agar bayi mendapat lingkungan yang baik segera setelah lahir. Harus di

cegah/dikurangi kehilangan panas dai kulit. Pemakaian sinarlampu yang cukup kuat

untuk pemanasan luar dapat dianjurkan dan pengeringan tubuh bayi perlu dikerjakan

untuk mengurangi evaporasi.


2. Pembersihan jalan nafas

Saluran nafas bagian atas segera dibersihkan dari lendir dan cairan amnion. Tindakan

ini harus dilakukan dengan cermat dan tidak perlu tergesa-gesa atau kasar. Perlu

diperhatikan pula saat itu bahwa letak kepala harus lebih rendah untuk memudahkan

dan melancarkan keluarnya lendir. Bila terdapat lendir kental yang melekat di trakea

dan sulit di keluarkan dengan pengisapan biasa, dpat digunakan larigoskop neonatal

sehingga pengisapan dapat dilakukan dengan melihat semaksimalnya, terutama pada

bayi dengan kemungkinan infeksi. Pengisapan yang dilakukan dengan ceroboh akan

menimbulkan penyakit sperti spasma laring, kolaps paru atau kerusakan sel mukosa

jalan nafas.

3. Rangsangan untuk menimbulkan pernafasan

Bayi yang tidak memperlihatkan usaha bernafas 20 detik setelah lahir dianggap

sedikit banyak telah menderita depresi pusat pernafasan (Hall, 1969). Dalam hal ini

rangsangan terhadap bayi harus segera dikerjakan. Pada sebagian besar bayi

pengisapan lendir dan cairan amnion yang dilakukan malalui nasofaring akan segera

menimbulkan rangsangan pernafasan. Pengaliran O2 yang cepat kedalam mukosa

hidung dan faring. Bila tindakan ini tidak berhasil beberapa cara stimulasi lain perlu

dikerjakan. Rangsangan nyeri pada bayi dapat ditimbulkan dengan memukul kedua

kaki bayi, menekan tendon Achilles atau memberikan suntikan vitamin K terhadap

bayi tertentu. Hindarilah pemukulan didareah bokong atau punggung bayi untuk

menvegah timbulnya pendarahan alat dalam (James dan Apgar, 1966). Bila tindakan

tersebut tidak berhasil, cara lain pun tidak akanmemberi hasil yang diharapkan.

Dalam hal ini tindakan utama ialah memperbaiki ventilasi . perlu dikemukakan bahwa

melakukan kompresi dinding toraks untuk menimbulkan tekanan negative dalam


rongga dada tidak akan bermanfaat pada paru bayi yang belum berkembang. Tindakan

ini mungkin akan menimbulkan kerusakan parunya sendiri atau pendarahan hati

Tindakan khusus

Tindakan umum yang dibicarakan di atas dilakukan pada setiap bayi baru lahir. Bila tindakan

ini tidak memperoleh hasil yang memuaskan, barulah dilakukan tindakan khusus. Cara yang

dikerjakan disesuaikan dengan beratnya asfiksia yang timbul pada bayi yang

dimanifestasikan oleh tinggi rendahnya skor Apgar.

Asfiksia berat (skor Apgar 0 – 3)

Resusitasi aktif dalam hal ini harus segera dikerjakan. Langkah utama ialah

memperbaiki ventilasi paru dengan memberikan O2 dengan tekanan dan intermiten. Cara

yang terbaik adalah dengan melakukan intubasi endotrakeal. Setelah kateter diletakkan dalam

trakea, o2 diberikan dengan tekanan tidak lebih dari 30 cm H2O. hal ini untuk mencegah

kemungkinan terjadinya inflasi paru berlebihan sehingga dapat terjadi rupture alveoli.

Tekananpsotif ini dilakukan dengan meniupkan udara yang mengandung O2 tinggi kedalam

kateter secara mulut ke pipa atau ventilasi kantong ke pipa. Bila diragukan akan timbulnya

infeksi, terhadap bayi mendapat tindakan ini daoat diberikan antibiotika profilaksis. Keadaan

asfiksia berat ini hamper selalu disertai asidosis yang membutuhkan koreksi segera, karena

itu bikarbonas natrikus diberikan dengan dosis 2 – 4 mEq/kgbb (di bagian IKA FKUI-RSCM

Jakarta digunakan larutan bikarbonas natrikus 7.5% dengan dosis 2 – 4 ml/kgbb). Kedua obat

ini di suntikansecara intravena dengan perlahan-lahan melalui vena umbilikalis. Perlu

diperhatikan bahwa reaksi optimal obat-obatan ini akan tampak jelas apabila pertukaran gas

(ventilasi) paru sedikitbanyak telah berlangsung.

Usaha pernafasan (‘gasping’) biasanya mulai timbul setelah tekanan positif ini diberikan 1- 3

kali. Bila setelah 3 kali inflasi tidak didapatkan perbaikan pernafasan atau frekuensi jantung,
masase jantung eksternal harus segera dikerjakan dengan frekuensi 80 – 100/menit. Tindakan

ini dilakukan dengan diselingi ventilasi tekanan dengan perbandingan 1 : 3, yaitu setiap 1 kali

ventilasi tekanan diikuti 3 kali kompresi dinding toraks. Bila tindakan ini dilakukan

bersamaan mungkin akan terjadi komplikasi berupa pneumotoraks atau pneumomediastinum.

Bila tindakan ini tidak memberikan hasil yang diharapkan, bayi harus dinilai kembali, yaitu

karena hal ini mungkin disebabkan oleh gangguan keseimbangan asam-basa yang belum

dikoreksi dengan baik atai adanya kemungkinan gangguan organic seperti hernia

diafragmaitka, atresia atau jstenosis jalan nafas dan lain-lain

Asfiksia berat dengan disertai henti jantung

Tidnakan yang dilakukan sesuai dengan penderitaa asfiksia berat hanya dalam hal ini

disamping pemasangan pipe endotrakeal, segerapula dilakuka masase jantung external.

Asfiksia sedang (skor Apgar 4 – 6)

Dalam hal ini dapat dicoba melakukan stimulasi agar timbul refleks pernafasan. Bila

dalam waktu 30 – 60 detik tidak timbul pernafasan spontan, ventilasi aktif yang harus segera

dimulai. Ventilasi aktif yang sederhana dapat dilakukan secara ‘frog breathing’. Cara ini

dikerjakan dengan meletakkan kateter O2 intranasal dan O2 dialirkan dengan aliran 1 -2

1/menit. Agar saluran nafas bebas, bayi diletakkandalam posisidorsofleksi kepala. Secara

ritmis dilakukan gerakan membuka dan menutup nares dan mulut, disertai gerakan dagu

keatas dan kebawah dalam frequensi 20kali/menit. Tindakan ini dilakukandengan

memperhatikan gerakan dinding toraks dan abdomen. Bila bayi memperlihatkan gerakan

pernafasan spontan, usahakanlah mengikuti gerakan tersebut. Ventilasi ini dihentikan bila

setelah 1 – 2 menit tidak dicapai hasil yang diharapkan. Dalam hal ini segera dilakukan

ventilasi paru dengan tekanan positif secara tidak langsung


Ventilasi ini dapat dikerjakan dengan dua acara, yaitu ventilasi mulut ke mulut atau ventilasi

kantong ke masker. Sebelum ventilasi dikerjakan, ke dalam mulutbayi dimasukkan ‘plastic

pharyngeal airway’ yang berfungsi mendorong pangkal lidah ke depan agar jalan nafas tetap

berada dalam keadaan bebas. Pada ventilasi mulut ke mulut, sebelumnya mulut penolong

diisi dulu dengan O2sebelum melakukan peniupan. Ventilasi dilakukan secara teratur dengan

frekuensi 20-30 kali/menit dan diperhatikan gerakan pernafasan sponttan yang mungkin

timbul. Tindakan dinyatakan tidak berhasil bila setelah dilakukan beberapa saat terjadi

penurunan frekuensi jantung atau perburukan tonus otot. Intubasi Endotrakeal harus segera

dikerjakan dan bayi diperlakukan sebagai penderita asfiksia berak.

Bikarbonas natrikus dan glukosa dapat diberikan pada bayi apabila 3 menit setelah lahir tidak

memperlihatkan pernafasan teratur, walaupun ventilasi telah dilakukan dengan adekuat. Cara

dan dosis obat yang diberikan sesuai dengan cara yang dilakukan terhadap penderita asfiksia

berat.

Tindakan lain dalam resusitasi

1. Pengisapan cairan lambung.

Tindakan ini dilakukan pada bayi tertentu, yaitu untuk menghidarkan

adanyaregurgitasi dan aspirasi. Sebaiknya pengisapan ini dilakukan pada bayi yang

sebelumnya menderita gawat janin, prematuries, bayi ibu penderita diabetes mellitus

dan pada bayi yang waktu persalinan dipengaruhi secara tidak langsung oleh obat.

Manfaat lain yang dapat diperoleh dari pengisapan cairan lambung ialah:

a. Mengenal secaradini adanya atresia/steonosia esophagus.

b. Bila ditemukan caran lambung yang berlebihan (lebih dari 30 ml),ingatlah

kemungkinan akan obstruksi usus letak tinggi,


c. Bila ditemukan jumlah sel darah putih yang tinggi pada sediaan langsung cairan

lambung, bayi sudahh hamper pasti telah kontak dengan infeksi cairan amnion

(amnionitis). Pengisapan cairan lambung mungkin jugamenimbulkan efek yang

kurang baikseperti bradikardia atau serangan apnu, spasme laring. Karena itu

tindakan ini dikerjakan bila keadaan bayi telah mengijinkan

2. Penggunaan Obat

Obat analeptic seperti koramin, lobelin, vandid dan yang lain-lain, sekarang sudah

tidak di anjurkan lagi untuk digunakan, sedangkan penderita afiksia berat, obat itu

merupakan indikasi kontra.beberapa obat narkotika dan analgetika yang diberikan

pada ibu 2 – 4 jam sebelum bayi lahir, dapat menimbulkan depresi pernafasan pada

bayi saat lahir. Obat tersebut misalnya morfin, heroin, petidin. Pada keadaan ini

dianjurkan memberikan antidotumnya berupa nalorpin dengan dosis 0.2mg/kgbb

dandan diberikan secara intravena atau intramuskulus dalam.

3. Profilaksis terhadap blenorea

Tindakan ini harus tetap dilakukan dengan memberikan nitras argenti 1% setelah

pemberian, mata dibilas dengan garam fisiologis untuk mengurangi bahaya iritasi

4. Faktor aseptic dan antiseptik

Pada setiap tidnakan yang dilakukan pada bayi baru lahir, harus selalu diperhatikan

factor aseptic dan antiseptic. Bila sterilitas tindakan diragukan, segera diberikan

antibiotika profilaksis

5. Beberapa klinik menganjurkan cara lain dalam mengatasi bayi dengan afiksia berat.

Cara tersebut ialah:

Hipotermia. Asfiksia berat dapat diatasi dengan hipotermia yang dalam, yaitu untuk

mengurangi/membatasi kerusakan sel jaringan (terutama otak). Tindakan ini dianggap


bermanfaat karena dapat mengurangi kebutuhan sel jaringan akan oksigen. Sikap ini

belum banyak dianut, karena manfaatnya tidak pasti.

Oksigen hiperbarik. Caraini dianut oleh beberapa klinik di Inggris. Bayi diletakkan

dengan ruangan tertutup yang berisi oksigen dengan tekanan atmosfir yang tinggi.

Cara ini dianggap memperlihatkan hasil yang sama dengan ventilasi tekanan positif.

Disamping itu beberapa sarjana menganggap bahwa tindakan ini berfaedah (James,

1966).

Anda mungkin juga menyukai