Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Anemia secara umum didefinisikan sebagai berkurangnya konsentrasi

hemoglobin didalam tubuh.Anemia bukan suatu keadaan spesifik, melainkan dapat

disebabkan oleh bermacam- macam reaksi patologis dan fisiologis. Anemia ringan

hingga sedang mungkin tidak menimbulkan gejala objektif, namun dapat berlanjut

ke keadaan anemia berat dengan gejala-gejala keletihan, takipnea, napas pendek

saat beraktivitas, takikardia, dilatasi jantung, dan gagal jantung.

Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat diseluruh dunia,

prevalensi anemia pada anak usia kurang dari 4 tahun diperkirakan terdapat 43%.

Survei Nasional di Indonesia (1992) mendapatkan bahwa 56% anak di bawah umur

5 tahun menderita anemia, pada survey tahun 1995 ditemukan 41% anak di bawah

5 tahun dan 24- 35% dari anak sekolah menderita anemia.Gejala yang samar pada

anemia ringan hingga sedang menyulitkan deteksi sehingga sering terlambat

ditanggulangi. Keadaan ini berkaitan erat dengan

meningkatnya risiko kematian pada anak.
 Anemia defisiensi besi(ADB)

adalah anemia yang disebabkan oleh kekurangan zat besi yang dibutuhkan untuk

sintesis hemoglobin. Anemia defisiensi adalah anemia akibat kekurangan zat besi

sehingga konsentrasi hemoglobin menurun di bawah 95% dari nilai hemoglobin

rata-rata

dari umur dan jenis kelamin yang sama. Hemoglobin adalah metaloprotein
(protein yang mengandung zat besi) di dalam sel darah merah yang berfungsi
sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh, pada mamalia dan
hewan lainnya. Hemoglobin juga pengusung karbon dioksida kembali menuju
paru-paru untuk dihembuskan keluar tubuh.

Cara untuk menentukan anemia diuraikan oleh anamnesis, pemeriksaan fisik

yang teliti dan didukung oleh pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium

yang dilakukan biasanya dengan mengukur Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht).

Hasil pemeriksaan tersebut hati-hati dikelirukan pada pasien dehidrasi dan masa

kehamilan.

Dalam keadaan normal jumlah sel darah merah pada rata-rata orang dewasa

kira-kira 5 juta permilimeter kubik. Eritropoesis pada orang dewasa terutama terjadi

di dalam sumsum tulang melalui stadium pematangan. Sel eritrosit berinti berasal

dari sel induk multipotensial yang kemudian berdiferensiasi menjadi sel induk

unipotensial. Sel induk unipotensial dengan rangsangan hromon eritropoetin

menjadi sel pronormoblas. Sel pronormoblas ini akan membentuk

deoxyribonucleic acid (DNA) yang diperlukan untuk tiga sampai dengan empat kali

fase mitosis. Dari tiap sel pronormoblas akan terbentuk 16 eritrosit. Sel-sel yang

sedang berada dalam fase diferensiasi dari pronormoblas sampai dengan eritrosit

dapat dikenal dari morfologinya, sehingga dapat dikenal 5 stadium pematangan.

Proses diferensiasi dari pronormoblas sampai eritrosit memakan waktu + 72 jam.

Sel eritrosit normal berumur 120 hari.


Anemia dapat diklasifikasi menurut morfologi sel darah merah dan indeks-

indeksnya. Pada klasifikasi ini mikro dan makro menunjukkan ukuran sel darah

merah, sedangkan kromik menunjukkan warnanya.

1. Anemia normositik normokrom

Dimana ukuran dan bentuk sel-sel darah merah normal serta mengandung

hemoglobin dalam jumlah normal.

MCV = 84-96 fL dan MCHC = 32-36%

Contoh anemia jenis ini adalah anemia pada :

• Perdarahan akut

• Penyakit kronik

• Anemia hemolitik

• Anemia aplastik

2. Anemia makrositik normokrom

Makrositik berarti ukuran sel-sel darah lebih besar dari normal tetapi

normokrom karena konsentrasi Hb-nya normal.

MCV meningkat dan MCHC normal. Hal ini diakibatkan oleh gangguan atau

terhentinya sintesa asam nukleat DNA seperti yang ditemukan pada defisiensi B12

dan atau asam folat.

Contoh anemia jenis ini :

• Anemia megaloblastik akibat defisiensi vitamin B12 atau asam folat.


3. Anemia mikrositik hipokrom

Mikrositik berarti ukuran sel-sel darah merah lebih kecil dari normal dan

hipokrom karena Hb dalam jumlah kurang dari normal.

MCV kurang dan MCHC kurang

Contoh anemia jenis ini yaitu :

• Anemia defisiensi besi

• Anemia penyakit kronik

• Talasemia

Salah satu tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah pucat.

Ini umumnya diakibatkan oleh berkurangnya volume darah, berkurangnya

hemoglobin dan vasokonstriksi untuk memperbesar pengiriman O2 ke organ-organ

vital. Karena faktor-faktor seperti pigmentasi kulit, suhu dan distribusi kapiler

mempengaruhi warna kulit, maka warna kulit bukan merupakan indeks pucat yang

dapat diandalkan. Warna kuku, telapak tangan dan membran mukosa mulut serta

konjungtiva dapat digunakan lebih baik guna menilai kepucatan.

Pada umumnya anemia yang terjadi diakibatkan defisiensi nutrisi seperti

defisiensi Fe, asam folat dan vitamin B12. Dalam referat ini dibahas lebih lanjut

mengenai anemia defisiensi Fe.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Anemia defisiensi fe adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya

penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron

store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.

Ditandai dengan anemia hipokromik mikrositer dan hasil laboratorium yang

menunjukkan cadangan besi kosong. Menurut WHO dikatakan anemia bila :Pada

orang dewasa Hb < 12,5 g/dl

Kebutuhan Fe dalam makanan sekitar 20 mg sehari, dari jumlah ini hanya

kira-kira 2 mg yang diserap. Jumlah total Fe dalam tubuh berkisar 2-4 gram. Kira-

kira 50 mg/Kgbb pada pria dan 35 mg/Kgbb pada wanita.

2.2 Epidemiologi

Anemia defisiensi fe merupakan anemia yang paling sering dijumpai baik

diklinik maupun masyarakat. Dari berbagai data yang dikumpulkan, didapatkan

gambaran revalensi anemia defisiensi fe seperti pada tabel

Tabel 1. Epidemiologi Anemia defisiensi besi

Di Indonesia paling banyak disebabkan oleh infestasi cacing tambang

(ankilostomiasis). Gejala yang timbul biasanya ada kemerahan dan gatal (ground

itch) pada kulit tempat larva menembus. Migrasi larva yang banyak melalui paru-

paru dapat menimbulkan gangguan seperti di atas yang dinamakan Loeffler’s


Syndrome. Pada fase akut cacing tambang dewasa dapat menimbulkan nyeri kolik

ulu hati, anoreksia, diare dan penurunan berat badan. Infeksi yang kronis dapat

menimbulkan anemia defisiensi besi dan hiponatremia, sehingga menyebabkan

pucat, sesak nafas dan lemas.

• Diet yang tidak mencukupi

• Pada wanita karena perdarahan menstruasi dan kehamilan

• Kebutuhan yang meningkat pada kehamilan, laktasi

• Absorpsi yang menurun

• Hemoglobinuria

• Penyimpanan besi yang berkurang seperti pada hemosiderosis paru

2.3 Metabolisme Fe

Terdapatnya zat besi (Fe) dalam darah baru diketahui setelah penelitian oleh

Lemeryh dan Goeffy (1713). Akan tetapi, sebenarnya berabad-abad sebelum

Masehi, bangsa Yunani dan India telah menggunakan bahan-bahan yang

mengandung Fe untuk mendapatkan tentara yang kuat. Bangsa Yunani merendam

pedang-pedang tua meminum airnya.

Tubuh manusia sehat mengandung + 3,5 g Fe yang hampir seluruhnya dalam

bentuk ikatan kompleks dengan protein. Ikatan ini kuat dalam bentuk organik, yaitu

sebagai ikatan nonion dan lebih lemah dalam bentuk anorganik, yaitu sebagai ikatan

ion. Besi mudah mengalami oksidasi atau reduksi. Kira-kira 70% dari Fe yang

terdapat dalam tubuh merupakan Fe fungsional atau esensial, dan 30% merupakan

Fe yang non esensial.


Fe esensial ini terdapat pada Hemoglobin 66%, Mioglobin 3% dan Enzim

tertentu yang berfungsi dalam transfer electron misalnya sitokromoksidase, suksinil

dehidrogenase dan zantin oksidase sebanyak 0,5%, dan Transferin 0,1%. Fe non

esensial terdapat pada cadangan dalam bentuk feritin dan hemosiderin sebanyak

25% pada parenkim jaringan kira-kira 5%. Cadangan Fe Pada wanita hanya 200-

400 mg Pada pria kira-kira 1 gram

Absorpsi Fe melalui saluran cerna terutama berlangsung di duodenum, makin

ke distal absorpsinya makin berkurang. Zat ini lebih mudah diabsorpsi dalam

bentuk fero. Transportnya melalui sel mukosa usus terjadi secara transport aktif.

Ion fero yang sudah diabsorpsi akan diubah menjadi ion feri dalam sel mukosa.

Selanjutnya ion feri akan masuk ke dalam plasma dengan perantara transferin, atau

diubah menjadi feritin dan disimpan dalam sel mukosa usus.

Secara umum :

- Bila cadangan dalam tubuh tinggi dan kebutuhan akan zat besi rendah

maka lebih banyak Fe diubah menjadi feritin

- Bila cadangan dalam tubuh rendah atau kebutuhan akan zat besii meningkat

maka Fe yang baru diserap akan segera diangkut dari sell mukosa ke

sumsum tulang untuk eritropoesis.

Eritropoesis dapat meningkat sampai lebih dari 5 kali pada anemia berat atau

hipoksia. Jumlah Fe yang diabsorpsi sangat tergantung dari bentuk dan jumlah

absolutnya serta adanya zat-zat lain. Makanan yang mengandung + 6 mg Fe/1000

kilokalori akan diabsorpsi 5-10% pada orang normal.

Absorpsi dapat ditingkatkan oleh :


• Kobal

• Inosin

• Metionin

• Vitamin C

• HCISuksinat

Asam akan mereduksi ion feri menjadi fero dan menghambat terbentuknya

kompleks Fe makanan yang tidak larut. Sebaliknya absorpsi Fe akan menurun bila

terdapat Fosfat dan Antasida misalnya :

- kalsium karbonat

- aluminium hidroksida

- magnesium hidroksida

Besi yang terdapat pada makanan hewani umumnya diabsorpsi rata-rata dua

kali lebih banyak dibandingkan dengan makanan nabati. Kadar Fe dalam plasma

berperan dalam mengatur absorpsi Fe. Absorpsi ini meningkat pada keadaan

Defisiensi Fe, Berkurangnya depot Fe, dan Meningkatnya eritropoesis. Selain itu,

bila Fe diberikan sebagai obat, bentuk sediaan, dosis dan jumlah serta jenis

makanan dapat mempengaruhi absorpsinya.

Setelah diabsorpsi, Fe dalam darah akan diikat oleh transferin (siderofilin),

suatu beta 1- globulin glikoprotein, untuk kemudian diangkut ke berbagai jaringan,

terutama ke sumsum tulang dan depot Fe. Jelas bahwa kapasitas pengikatan total

Fe dalam plasma sebanding dengan jumlah total transferin plasma, tetapi jumlah Fe

dalam plasma tidak selalu menggambarkan kapasitas pengikatan total Fe ini. Selain
transferin, sel-sel retikulum dapat pula mengangkut Fe, yaitu untuk keperluan

eritropoesis. Sel ini juga berfungsi sebagai gudang Fe.

Kalau tidak digunakan dalam eritropoesis, Fe akan disimpan sebagai

cadangan, dalam bentuk terikat sebagai feritin. Feritin terutama terdapat dalam sel-

sel retikuloendotelial (di hati, limpa, dan sumsum tulang). Cadangan ini tersedia

untuk digunakan oleh sumsum tulang dalam proses eritropoesis; 10% diantaranya

terdapat dalam labile pool yang cepat dapat dikerahkan untuk proses ini, sedangkan

sisanya baru digunakan bila labile pool telah kosong. Besi yang terdapat di dalam

parenkim jaringan tidak dapat digunakan untuk eritropoesis.

Bila Fe diberikan IV, cepat sekali diikat oleh apoferitin (protein yang

membentuk feritin) dan disimpan terutama di dalam hati, sedangkan setelah

pemberi per oral terutama akan disimpan di limpa dan sumsum tulang. Fe yang

berasal dari pemecahan eritrosit akan masuk ke dalam hati dan limpa.

Penimbunan Fe dalam jumlah abnormal tinggi dapat terjadi akibat :

• Tranfusi darah yang berulang-ulang

• Akibat penggunaan preparat Fe dalam jumlah berlebihan yang diikuti

absorpsi yang berlebihan pula. Jumlah Fe yang dieksresi setiap hari sedikit

sekali, biasanya sekitar 0,5-1 mg sehari. Eksresi terutama berlangsung

melalui Sel epitel kulit dan Saluran cerna yang terkelupas

Selain itu juga melalui :

 Keringat

 Urin

 Feses
 Kuku dan rambut yang dipotong

Pada proteinuria jumlah yang dikeluarkan dengan urin dapat meningkat

bersama dengan sel yang mengelupas

2.4 Patofisiologi Anemia

Zat besi diperlukan untuk hemopoesis (pembentukan darah) dan juga

diperlukan oleh berbagai enzim sebagai faktor penggiat. Zat besi yang terdapat

dalam enzim juga diperlukan untuk mengangkut elektro (sitokrom), untuk

mengaktifkan oksigen (oksidase dan oksigenase). Defisiensi zat besi tidak

menunjukkan gejala yang khas (asymptomatik) sehingga anemia pada balita sukar

untuk dideteksi. Tanda-tanda dari anemia gizi dimulai dengan menipisnya

simpanan zat besi (feritin) dan bertambahnya absorbsi zat besi yang digambarkan

dengan meningkatnya kapasitas pengikatan besi.

Pada tahap yang lebih lanjut berupa habisnya simpanan zat besi,

berkurangnya kejenuhan transferin, berkurangnya jumlah protoporpirin yang

diubah menjadi heme, dan akan diikuti dengan menurunnya kadar feritin serum.

Akhirnya terjadi anemia dengan cirinya yang khas yaitu rendahnya kadar Rb

(Gutrie, 186:303) Bila sebagian dari feritin jaringan meninggalkan sel akan

mengakibatkan konsentrasi feritin serum rendah. Kadar feritin serum dapat

menggambarkan keadaan simpanan zat besi dalam jaringan. Dengan demikian

kadar feritin serum yang rendah akan menunjukkan orang tersebut dalam keadaan

anemia gizi bila kadar feritin serumnya <12 ng/ml. Hal yang perlu diperhatikan

adalah bila kadar feritin serum normal tidak selalu


menunjukkan status besi dalam keadaan normal. Karena status besi yang

berkurang lebih dahulu baru diikuti dengan kadar feritin.

Diagnosis anemia zat gizi ditentukan dengan tes skrining dengan cara

mengukur kadar Hb, hematokrit (Ht), volume sel darah merah (MCV), konsentrasi

Hb dalam sel darah merah (MCH) dengan batasan terendah 95% acuan.

2.5 Sumber Alami Fe

Makanan yang mengandung Fe :

1. Dalam kadar tinggi (lebih dari 5 mg/100 g) adalah hati, jantung, kuning telur,

ragi, kerang, kacang-kacangan, buah-buahan kering tertentu

2. Dalam jumlah sedang (1-5 mg/100 g) diantaranya daging, ikan, ungags,

sayuran yang berwarna hijau, biji-bijian.

3. Dalam jumlah rendah (kurang dari 1 mg/100 g), antara lain susu dan

produknya sayuran yang kurang hijau.

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala anemia defisiensi pada umumnya adalah :

• cepat lelah

• jantung berdebar-debar

• takikardi

• sakit kepala

• mata berkunang-kunang

• letih
• lesu

Manifestasi yang paling menonjol pada anemia defisiensi besi adalah :

• pucat

• glossitis (lidah tampak pucat, licin, mengkilap, atrofi papil lidah)

• stomatitis dan keilitis angular

• koilonikia (kuku menjadi cekung ke dalam seperti sendok), ditemukan

pada 18% anemia defisiensi besi

• perdarahan dan eksudat pada retina bisa terlihat pada anemia berat (Hb 5

gram% atau kurang)

• Gejala Plummer-Vinson yaitu sukar menelan (disfagia) merupakan gejala

yang khas pada anemia defisiensi besi menahun.

2.7 Diagnosis

1. Anamnesis

1). Riwayat faktor predisposisi dan etiologi :

a. Kebutuhan meningkat secara fisiologis terutama pada masa pertumbuhan

yang cepat, menstruasi, dan infeksi kronis

b. Kurangnya besi yang diserap karena asupan besi dari makanan tidak

adekuat malabsorpsi besi c. Perdarahan terutama perdarahan saluran cerna (tukak

lambung, penyakit Crohn, colitis ulserativa)

2). Pucat, lemah, lesu, gejala pika

2. Pemeriksaan fisis

a. anemis, tidak disertai ikterus, organomegali dan limphadenopati

b. stomatitis angularis, atrofi papil lidah


c. ditemukan takikardi ,murmur sistolik dengan atau tanpa pembesaran

jantung

3. Pemeriksaan penunjang

a. Hemoglobin, Hct dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) menurun

b. Hapus darah tepi menunjukkan hipokromik mikrositik

c. Kadar besi serum (SI) menurun dan TIBC meningkat , saturasi menurun

d. Kadar feritin menurun dan kadar Free Erythrocyte Porphyrin (FEP) meningkat

e. sumsum tulang : aktifitas eritropoitik meningkat

Tabel 2. Parameter untuk menentukan status besi

Pada defisiensi besi dini apusan biasanya normal. Sulit untuk mencari

perubahan dini yang samar-samar dalam ukuran sel pada defisiensi besi dini dan

pada stadium ini nilai MCV lebih mendorong daripada apusan darah tepi. Pada

anemia defisiensi besi berat terjadi poikilositasis yang nyata dan hipokrom tanpa

noda berupa titik-titik. Umum terdapat sel-sel elips (berbentuk sigaret). Beberapa

sel muda yang terlihat pada sediaan apus seringkali muncul sebagai sel-sel target

polikromatofilik.

Ada tiga uji laboratorium yang dipadukan dengan pemeriksaan kadar Hb agar hasil

lebih tepat untuk menentukan anemia gizi besi. Untuk menentukan anemia gizi besi
yaitu :

a. Serum Ferritin (SF)

Ferritin diukur untuk mengetahui status besi di dalam hati. Bila kadar SF <

12 mg/dl maka orang tersebut menderita anemia gizi besi.

b. Transferin Saturation (ST)

Kadar besi dan Total Iron Binding Capacity (TIBC) dalam serum merupakan

salah satu menentukan status besi. Pada saat kekurangan zat besi, kadar besi

menurun dan meningkat, rasionya yang disebut dengan TS. TS < dari 16 % maka

orang tersebut defisiensi zat besi.

c. Free Erythocyte Protophorph

Bila kadat zat besi dalam darah kurang maka sirkulasi FEB dalam darah

meningkat. Kadar

normal FEB 35-50 mg/dl RBC. Secara ringkas untuk menentukan keadaan

anemia seseorang dapat dilihat pada tabel 2.

2.9 Pencegahan dan Pengobatan Anemia Defisiensi Besi

Jika anemia defisiensi besi sudah ditegakkan, pengobatan harus dilakukan

sambil mencari dan menghilangkan penyebabnya. Tetapi tidak perlu menunda

pengobatan sampai penyebabnya dihilangkan. Besi yang diberikan terdapat dalam

beberapa bentuk melalui oral, parenteral maupun tranfusi darah dengan keuntungan

dan kerugian masing-masing pemberian.

a. Meningkatkan konsumsi zat besi dari makanan

Mengkonsumsi pangan hewani dalam jumlah cukup. Namun karena harganya

cukup tinggi sehingga masyarakat sulit menjangkaunya. Untuk itu diperlukan


alternatif yang lain untuk mencegah anemia gizi besi. Memakan beraneka ragam

makanan yang memiliki zat gizi saling melengkapi termasuk vitamin yang dapat

meningkatkan penyerapan zat besi, seperti vitamin C. Peningkatan konsumsi

vitamin C sebanyak 25, 50, 100 dan 250 mg dapat meningkatkan

b. penyerapan zat besi sebesar 2, 3, 4 dan 5 kali. Buah-buahan segar dan

sayuran sumber vitamin C, namun dalam proses pemasakan 50 - 80 % vitamin C

akan rusak.Mengurangi konsumsi makanan yang bisa menghambat penyerapan zat

besi seperti : fitat, fosfat, tannin.

Suplementasi zat besi

Tabel 3. Persentase dan jumlah zat besi di dalam tablet FE yang lazim

digunakan

Pemberian suplemen besi menguntungkan karena dapat memperbaiki status

hemoglobin.

Efek samping dari pemberian besi feroral tergantung dosis yang diberikan

dan dapat diatasi dengan mengurangi dosis dan meminum tablet segera setelah

makan atau bersamaan dengan makanan.

Gejala yang timbul dapat berupa :

• mual dan nyeri lambung (+ 7-20%)

• konsipasi (+ 10%)

• diare (+ 5%)

• kolik
Gangguan ini biasanya ringan dan dapat dikurangi dengan mengurangi dosis

atau dengan pemberian sesudah makan, walaupun dengan cara ini absorpsi dapat

berkurang. Perlu diterangkan kemungkinan timbulnya feses yang berwarna hitam

kepada penderita.

Intoksikasi akut sangat jarang terjadi pada orang dewasa, kebanyakan terjadi

pada anak akibat menelan terlalu banyak table FeSO4 yang mirip gula-gula.

Intoksikasi akut ini dapat terjadi setelah menelan Fe sebanyak 1 g.

Kelainan utama terdapat pada saluran cerna, mulai dari iritasi, korosi, sampai

terjadi nekrosis.

Gejala yang timbul pada Intoksikasi Fe seringkali berupa :

• Mual

• Muntah

• Diare

• Hematemesis

• Feses berwarna hitam karena perdarahan pada saluran cerna

• Syok dan akhirnya kolaps kardiovaskular dengan bahaya kematian

Efek korosif dapat menyebabkan stenosis pylorus dan terbentuknya jaringan

parut berlebihan di kemudian hari. Gejala keracunan tersebut di atas dapat timbul

dalam waktu 30 menit atau setelah beberapa jam meminum obat.

Fortifikasi zat besi

Fortifikasi adalah penambahan suatu jenis zat gizi ke dalam bahan pangan

untuk meningkatkan kualitas pangan . Kesulitan untuk fortifikasi zat besi adalah

sifat zat besi yang reaktif dan cenderung mengubah penampilanm bahan yang di
fortifikasi. Sebaliknya fortifikasi zat besi tidak mengubah rasa, warna, penampakan

dan daya simpan bahan pangan. Selain itu pangan yang difortifikasi adalah yang

banyak dikonsumsi masyarakat seperti tepung gandum untuk pembuatan roti.

d. Penanggulangan penyakit infeksi dan parasit

Penyakt infeksi dan parasit merupakan salah satu penyebab anemia gizi besi.

Dengan menanggulangi penyakit infeksi dan memberantas parasit diharapkan bisa

meningkatkan status besi tubuh.

e. Obat-obatan lain • Riboflavin

Riboflavin (vitamin B2) dalam bentuk flavin mononukleotida (FMN) dan falavin-

adenin dinukleotida (FAD) berfungsi sebagai koenzim dalam metabolisme flavo-

protein dalam pernapasan sel. Sehubungan dengan anemia, ternyata riboflavin

dapat memperbaiki anemia normokromik normositik (pure red-cell aplasia).

Anemia defisiensi riboflavin banyak terdapat pada malnutirisi protein kalori,

dimana ternyata faktor derisiensi Fe dan penyakit infeksi memegang peranan pula.

Dosis yang digunakan cukup 10 mg sehari per oral atau IM.

• Piridoksin

Vitamin B6 ini mungkin berfungsi sebagai koenzim yang merangsang

pertumbuhan heme.

Defisiensi piridoksin akan menimbulkan anemia mikrositik hipokromik. Pada

sebagian besar penderita akan terjadi anemia normoblastik sideroakrestik dengan

jumlah Fe non hemoglobin yang banyak dalam prekursor eritrosit, dan pada

beberapa penderita terdapat anemia megaloblastik. Pada keadaan ini absorpsi Fe


meningkat, Fe-binding protein menjadi jenuh dan terjadi hiperferemia, sedangkan

daya regenerasi darah menurun. Akhirnya akan didapatkan gejala hemosiderosis.

• Kobal

Defisiensi kobal sebelum pernah dilaporkan pada manusia. Kobal dapat

meningkatkan

jumlah hematokrit, hemoglobin dan dapat meningkatkan jumlah hematokrit,

hemoglobin dan eritrosit pada beberapa penderita dengan anemia refrakter, seperti

yang terdapat pada penderita talasemia, infeksi kronik atau penyakit ginjal, tetapi

mekanisme yang pasti tidak diketahui. Kobal merangsag pembentukan eritropeoitin

yang berguna untuk meningkatkan ambilan Fe oleh sumsum tulang, tetapi ternyata

pada penderita anemia refrakter biasanya kadar eritropoietin sudah tinggi.

Penyelidikan lain mendapatkan bahwa kobal menyebabkan

eritropoietin sudah tinggi. Penyelidikan lain mendapatkan bahwa kobal

menyebabkan hipoksia intrasel sehingga dapat merangsang pembentukan eritrosit.

Kobal sering terdapat dalam campuran sediaan Fe, karena ternyata kobal dapat

menigkatkan absorpsi Fe melalui usus.

Akan tetapi, harus diingat bahwa kobal dapat menimbulkan efek toksik

berupa :

- erupsi kulit

- struma

- angina

- tinnitus

- tuli
- payah jantung

- sianosis

- koma

- malaise

- anoreksia

- mual

- muntah

Tembaga Seperti telah diketahui kedua unsur ini terdapat dalam sitokrom

oksidase, maka ada sangkut paut metabolisme tembaga (Cu) dan Fe. Hingga

sekarang belum ada kenyataan yang menunjukkan pentingnya penambahan Cu baik

dalam makanan ataupun sebagai obat, dan defisiensi Cu pada manusia sangat jarang

terjadi. Pada hewan percobaan, pengobatan anemia defisiensi Fe yang disertai

hipokupremia dengan sediaan Fe, bersama atau tanpa Cu, memberikan hasil yang

sama.

Sebaliknya, pada anemia dengan defisiensi Cu (yang sukar dibedakan dari

defisiensi Fe) diperlukan kedua unsur tersebut karena pada hewan dengan defisiensi

Cu absorpsi Fe akan berkurang.


2. 10 Pemantauan Terapi

a. Periksa kadar hemoglobin setiap 2 minggu

b. Kepatuhan orang tua dalam memberikan obat

c.Gejala sampingan pemberian zat besi yang bisa berupa gejala gangguan

gastrointestinal misalnya konstipasi, diare, rasa terbakar diulu hati, nyeri abdomen

dan mual. Gejala lain dapat berupa pewarnaan gigi yang bersifat sementara.

Tumbuh Kembang

a. Penimbangan berat badan setiap bulan

b. Perubahan tingkah laku

c. Daya konsentrasi dan kemampuan belajar pada anak usia sekolah dengan

konsultasi ke ahli psikologi

d. Aktifitas motorik
BAB III

PENUTUP

Anemia dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan gejala-gejala anemia pada

umumnya seperti lemah, lesu, lelah, pusing, sakit kepala, sulit tidur, gelisah, kurang

konsentrasi dan ada riwayat perdarahan, trauma atau penyakit kronik. Pada

pemeriksaan fisik didpaat pucat pada konjungtiva mata. Pemeriksaan laboratorium

didapat nilai Hb dan Ht yang kurang dari normal. Pemeriksaan penunjang dapat

membantu kita untuk membedakan jenis anemia. Gambaran darah tepi pada anemia

defisiensi besi menunjukkan mikrositik hipokrom.

Terapi anemia sebaiknya dilakukan dengan cepat dan tepat. Secara umum kita

mengobati penyebab anemianya. Tetapi pada keadaan tertentu kita harus mengobati

anemianya walapun

penyebabnya belum diketahui. Tidak setiap anemia harus ditransfusi, oleh

karena bahaya tranfusi cukup banyak. Tetapi pada pasien-pasien yang terancam

jiwanya transfusi harus dilakukan secepat mungkin untuk mencegah terjadinya

gagal jantung yang mengancam.


DAFTAR PUSTAKA

1. Harrison’s; Anemia; Principles of Internal Medicine, 16th edition;


International edition; 1998; page 335-339.

2. Soeparman, Sarwono Waspadji; Ilmu Penyakit Dlaam Jilid II, Balai


Penerbit FKUI Jakarta; 1990; hal. 393-441.

3. Prie S.A, dkk. Hematologi. Patofisiologi buku 2 Konsep Klinis Proses


Proses Penyakit . jakarta : EGC 195. Cetakan I.

4. M Clark, SF. 2008. Iron Deficiency Anemia. Nutrition in Clinical Practice,


23(2): 128-141

5. Stoltzfus RJ. Defining iron deficiency anemia in public health terms: a time
for reflection. J Nutr. 2001;131:565S-7 


6. Maketa V, Mavoko HM, Luz RI, Zanga J, Lubiba J, 
 Kalonji A, dkk . e


relationship between plasmodium infection, anaemia and nutritional status
in asympto- matic children aged under ve years living in stable transmission
zones in Kinshasa, Democratic Republic of Congo. Malaria Journal
2015;14:83. 


7. Amalia A, Tjiptaningrum A. Diagnosis dan Tatalaksana Anemia Defisiensi


Besi. Journal MAJORITY. Lampung. 2016: volume 5:166-169.

Anda mungkin juga menyukai