Epidemiologi
Reaksi alergi obat menjadi penyebab kematian nomor 5 dari semua
penyakit. Sekitar 30-45% berhubungan dengan reaksi obat pada kulit. Adverse
Cutaneos Drug Reaction (ACDR) adalah suatu reaksi efek simpang obat yang
terjadi pada kulit, baik berupa perubahan yang tidak diinginkan pada struktur atau
fungsi kulit, apendiks kulit atau membran mukosa dan mencakup semua efek
simpang yang berhubungan dengan erupsi obat, tanpa memperhatikan etiologi. Di
Amerika tingkat kematian untuk TEN, SJS, dan DRESS masing-masing adalah
28,6%, 2,2% dan 5,9%. Di negara berkembang seperti India tingkat kematian
untuk erupsi makulopapular secara signifikan lebih tinggi, Stevens Johnson
Syndrome (SJS), di bawah 5% dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)
mendekati 20-30%. Jenis obat yang paling berisiko adalah golongan
antimikrobial (40%) diikuti oleh golongan Obat Anti Inflamtory Nonsteroidal
(OAINS) (35.3%).
Di Indonesia, penelitian mengenai prevalensi reaksi alergi obat pada kulit
masih terbatas. Diharapkan dengan banyaknya data, dapat membantu para dokter
mendiagnosis dini dan memastikan penggunaan obat yang aman. Faktor yang
berhubungan dengan meningkatnya risiko reaksi hipersensitivitas obat adalah
asma, SLE (Systemic Lupus Erythematosus), atau pada pengguna beta bloker.
Walaupun pasien atopik tidak banyak tersensitisasi oleh obat, tetapi pasien atopic
memiliki risiko tinggi untuk menghadapi reaksi alergi serius.
Etiopatogenesis
Mekanisme terjadinya erupsi obat dapat secara non imunologik dan
imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik.
1. Mekanisme imunologis
Erupsi obat dengan mekanisme imunologik disebut erupsi obat alergik.
Mekanisme imunologik erupsi obat alergik terjadi pada pemberian obat kepada
penderita yang sudah mempunyai hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Obat
dan metabolitnya berfungsi sebagai hapten yang menginduksi antibody humoral.
Terjadinya reaksi hipersensitivitas karena obat harus dimetabolisme terlebih
dahulu menjadi produk yang secara kimia sifatnya reakif.
Reaksi alergik yang secara (immediate), terjadi dalam beberappa menit
dan ditandai dengan urtikaria, hipotensi dan shok. Bila reaksi itu membahayakan
jiwa maka disebut syok anafilaksis. Reaksi yang cepat (accelerated) timbul dari 1
sampai 72 jam sesudah pemberian obat dan kebanyakan bermanifestasi sebagai
urtikaria. Kadang-kadang berupa rash morbiliformis atau edema laring. Reaksi
yang lambat (late) timbul lebih dari 3 hari. Diperkirakan reaksi jenis cepat dan
lambat ini ditimbulkan oleh antibody IgG, tetapi beberapa reaksi hemolitik dan
exanthema dihubungkan dengan antibody IgM.
Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologi yang dikemukakan oleh
Coomb & Gell, suatu reaksi alergi terhadap obat dapat mengikuti salah satu dari
ke empat jalur berikut ini:
A. Tipe I Reaksi Anafilaktik
Reaksi obat yang diperantarai IgE biasanya terjadi karena penisilin
atau golongannya. Reaksi dapat terjadi dalam beberapa menit setelah
pemakaian obat. Gejala biasanya bervariasi seperti pruritus, urtikaria, spasme
bronkus, dan edema laring bahkan dapat menyebabkan terjadinya syok
anafilaktik dengan hipotensi dan kematian. Sel mast dan basofil yang
tersentisisasi akan melepaskan mediator-mediator kimia (histamin) atau
lemak (leukotriens / prostaglandin) yang akan menimbulkan gejala klinik
yang berbeda-beda tergantung dari interaksi organ target (kulit, sistim
respirasi, GIT atau sistim kardiovaskuler) dengan mediator kimia tersebut.
Penelitian terbaru mengatakan reaksi obat perantaraan IgE lebih diakibatkan
peran basofil daripada sel mast. Pelepasannya dipicu ketika terjadi konjugasi
protein obat polifalen yang terbentuk secara in vivo dan behubungan dengan
molekul IgE yang mensensitisasi sel-sel.
B. Tipe II Reaksi Sitotoksik
Reaksi tipe II hipersensitivitas Gell-Coombs dicirikan oleh interaksi
antigen-antibodi, mengakibatkan produksi lokal anafilotoksin (C5a), leukosit
polimorfonuklear (PMN) dan cedera jaringan akibat pelepasan hidrolitik
neutrofil enzim setelah autolisis. Reaksi tipe ini dapat disebabkan oleh obat
(antigen) dan memerlukan penggabungan antara IgE dan IgM dengan antigen
yang melekat pada sel. Hal ini menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh
sel efektor yang diperantai komplemen.
Gabungan obat-antibodi-komplemen terfiksasi pada sel sasaran.
Sebagai sel sasaran ialah berbagai macam sel biasanya eritrosit, leukosit,
trombosit yang mengakibatkan lisis sel, sehingga reaksi tipe II disebut juga
reaksi sitolisis atau sitotoksik.
Erupsi obat alergik yang berhubugan dengan tipe ini ialah purpura, bila
sel sasarannya trombosit. Obat lain yang menyebabkan alergik tipe ini ialah
penisilin, sefalosporin, streptomisin, klorpromazin, sulfonamida, analgesik,
dan antipiretik.
C. Tipe III Reaksi Kompleks Imun
Reaksi ini ditandai oleh pembentukan kompleks antigen, antibodi (IgG
dan IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen.
Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan berbagai mediator di
antaranya enzim-enzim yang dapat merusak jaringan. Kompleks imun akan
beredar dalam sirkulasi dan kemudian dideposit pada sel sasaran.
D. Tipe IV Reaksi Alergi Selular Tipe Lambat
Reaksi ini melibatkan limfosit, Antigen Presenting Cell (APC), dan sel
Langerhan yang mempresentasi antigen kepada limfosit T. Limfosit T yang
tersentisisasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini di sebut reaksi
tipe lambat karena baru timbul 12 - 48 jam setelah pajanan dengan antigen
menyebabkan pelepasan serangkaian limfokin.
2. Mekanisme Non-Imunologis
Reaksi “pseudo-allergik” menstimulasi reaksi alergi yang bersifat
antibody dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin
dan kontras media. Ada teori yang menyatakan bahwa ada satu atau lebih
mekanisme yang terlibat, pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung,
aktivasi langsung dari sistem komplemen , atau pengaruh langsung pada
metabolisme enzim arakidonat sel.
Efek kedua diakibatkan oleh proses farmakologik obat terhadap tubuh
yang dapat menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena
penggunaan kemoterapi antikanker. Penggunaan obat-obat tertentu secara
progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan
mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi generalisata difus.
Klasifikasi
1. Erupsi obat alergik ringan
Erupsi eksantematosa
Urtikari dengan atau tanpa edema
Dermatitis medikamentosa
Erupsi purpurik
Eksantema fikstum (fixed drug eruption/FDE)
Eritema nodosum
Eritema multiforme
Lupus eritematosus
Erupsi likenoid
2. Erupsi obat alergik berat
Pustular eksantema generalisata akut (PEGA)
Eritroderma
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ)
Nekrolisis epidermal toksik (NET) atau sindrom Lyell
Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms
Gambaran Klinis
Manifestasi erupsi obat yang tersering adalah erupsi morbiliformis,
urtikaria, angioedema, fixed drug eruption, sedangkan yang terberat termasuk
sindroma Stevens Jhonson, nekrosis epidermal toksik, serta beberapa manifestasi
lain berupa dermatitis kontak alergik, dermatitis eksfoliative, purpura, vaskulitis,
reaksi fotoalergik, eritema multiformis dan eritema nodosum.
a. Erupsi Makulopapular atau Morbiliformis
Morbiliformis disebut juga erupsi eksantematosa yang merupakan erupsi
obat yang paling sering dijumpai. Erupsi ini timbul generalisata dan simetris, dan
dapat terdiri atas eritema, makula yang berkonfluens, dan/atau papul yang tersebar
di wajah, telapak tangan dan kaki. Membran mukosa tidak terkena. Lesi biasanya
mucul dalam 1 – 2 minggu setelah inisial terapi, tapi kadang-kadang dapat muncul
setelah obat dihentikan. Lesi selalu diikuti dengan gejala pruritus, dapat pula
diikuti demam, edema fasial / kelopak mata, malaise, dan nyeri sendi yang
biasanya hilang dalam beberapa hari sampai minggu setelah obat dihentikan.
Erupsi dapat hilang tanpa penghentian obat, namun hal ini sangat jarang terjadi.
Sebaliknya, ruam dapat berkembang progresif menjadi eritroderma atau dermatitis
eksfoliativa dengan melanjutkan terapi.
Gambar 2. Urtikari
Gambar 3. Angioedema
c. Fixed drug eruption
Fixed drug eruption atau disebut juga eksantema fikstum merupakan
erupsi obat yang sering dijumpai ketiga. Lesi berupa makula oval atau bulat,
biasanya numular, berwarna merah atau keunguan di bagian tengah, berbatas
tegas, seiring dengan waktu lesi bisa menjadi bula, mengalami deskuamasi atau
menjadi krusta. Ukuran lesi bervariasi mulai dari lentikuler sampai plakat. Pada
awalnya lesi biasanya soliter, namun jika penderita meminum obat yang sama
maka lesi yang lama akan timbul kembali disertai dengan lesi yang baru.
Timbulnya kembali lesi ditempat yang sama menjelaskan arti kata “fixed” pada
nama penyakit tersebut.
Tempat predileksi adalah di sekitar mulut, di daerah bibir dan daerah penis
pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit kelamin karena berupa erosi
yang kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan rasa panas setempat. Lesi
kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama dan baru hilang
bahkan sering menetap.
Gambar 5. Purpura
e. Eritema nodusum
Eritema nodusum merupakan erupsi obat yang jarang terjadi. Kelainan
kulit berupa eritema yang lunak dan nodus yang nyeri dengan eritema diatasnya
disertai gejala umum berupa demam, malese dan artritis tidak biasa pada eritema
nodusum yang diinduksi obat. Distribusi lesi simetris dengan tempat
predileksinya di daerah tungkai bawah. Pada kasus yang berat dapat mengenai
paha dan lengan. Awitan cepat namun regresi perlahan. Eritema nodusum dapat
pula disebabkan oleh beberapa penyakit lain misalnya tuberculosis, infeksi
streptokokus, dan leprae.
Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilaksanakan untuk membantu
memastikan penyebab erupsi obat alergik.
1. Uji tempel(Patch test)
Uji tempel sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya 6 minggu
setelah erupsi mereda. Pada uji tempel ini jarang terjadi anafilaksis, untuk
mengantisipasinya dianjurkan mengamati penderita dalam waktu setengah
jam setelah penempelan. Tidak dianjurkan melakukan uji tempel selama
erupsi masih aktif maupun segera sesudahnya.
2. Uji provokasi (exposure test)
Uji provokasi ini memerlukan persiapan untuk menghadapi
kemungkinan reaksi anafilaksis maka uji ini harus dilakukan dibawah
pengawasan petugas medis yang terlatih. Pada uji ini bertujuan untuk
mencetuskan tanda dan gejala klinis yang lebih ringan dengan pemberian obat
dosis kecil biasanya dosis 1/10 dari obat penyebab sudah cukup untuk
memprovokasi reaksi dan provokasi biasanya sudah muncul dalam
beberapa jam.
Pemilihan pemeriksaan tersebut didasarkan atas mekanisme
imunologis yang mendasari erupsi obat. Namun perlu diingat bahwa
pemeriksaan tersebut merupakan pemeriksaan penunjang dan hasilnya
memerlukan interpretasi yang teliti.
Diagnosis
Diagnosis erupsi obat berdasarkan:
a. Anamnesis
Riwayat menggunakan obat secara sistemik (jumlah dan jenis obat, dosis, cara
pemberian, lama pemberian, runtutan pemberian pengaruh paparan matahari)
atau kontak obat pada kulit yang terbuka (erosi, ekskoriasi, ulkus). Riwayat
atopi diri dan keluarga, alergi terhadap alergen lain, serta alergi obat
sebelumnya.
b. Pemeriksaan fisik
Adanya kelainan klinis sesuai dengan jenis masing- masing reaksi.
Penghentian obat yang diikuti penurunan gejala klinis merupakan petunjuk
kemungkinan erupsi disebabkan oleh obat tersebut. Perlu diperhatikan
distribusi lesi yang menyebar, simetris atau setempat, bentuk kelainan yang
timbul (urtikaria, purpura, eksantema, papul, eritroderma, eritema nodusum).
Diagnosis banding
1. Dermatitis kontak iritan
2. Urtikari selain karena obat
Tatalaksana
Pengobatan erupsi obat alergik belum memuaskan, antara lain karena
kesukaran dalam memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau
metabolitnya.
1. Prinsip
Hentikan obat yang diduga sebagai penyebab.
Atasi keadaan umum, terutama pada yang berat untuk life saving.
Berikan obat anti alergi yang paling aman dan sesuai.
2. Topikal
Pemberian terapi topical tidak spesifik, bergantung pada kondisi dan
luas lesi kulit sesuai dengan prinsip dermatoterapi.
Misalnya pada erosi akibat epidermolisis pada sjs/TEN dapat diberikan
bahan keratoplasti asam salisilat 1-2%.
Pada purpura dan eritema nodosum tidak perlu.
3. Sistemik
Atasi keadaan umum terutama kondisi vital.
Pada erupsi obat alergik ringan diberikan kortikosteroid 0,5
mg/kgBB/hari sedangkan pada erupsi obat alergi berat diberikan
kortikosteroid 1-4 mg/kgBB/hari. Selama pemberian kortikosteroid
waspadai efek samping yang terjadi misalnya perdarahan intestinal,
resiko sepsis, dan peningkatan gula darah
Anthistamin merupakan lini pertama pada urtikaria dan pruritus, atau
erupsi obat alergi yang disertai rasa gatal yang berat misalnya
eritroderma atau eksantematosa.
Terapi sistemik lain yang pernah dilaporkan adalah penggunaan
siklosporin , plasmaferesis, dan immunoglobulin intravena (IVIg).
Edukasi
1. Penjelasan kondisi pasien, diminta menghentikan obat tersangka penyebab.
2. Bila pasien sembuh: berikan kartu alergi, berisi daftar obat yang diduga
menyebabkan alergi, kartu tersebut selalu diperlihatkan kepada petugas
kesehatan setiap kali berobat.
3. Pasien diberi daftar jenis obat yang harus dihindarinya (obat dengan rumus
kimia yang sama)
Prognosis
Prognosis tergantung pada bentuk manifestasi alergi obat, varian lesi, usia,
penyakit sistemik yang mendasari, dan respon terhadap terapi. Erupsi kulit karena
obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera
disingkirkan.
DAFTAR PUSTAKA
Budianti WK. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: Erupsi Obat Alergik Edisi
ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Menaldi, Sri linuwih SW. 2015. Ilmu Penyakit kulit dan kelamin edisi ke-7.
Jakarta: Badan penerbit FKUI
Shear NH, Knowles SR, Shapiro L. 2008. Cutaneous Reactions to Drugs. Dalam :
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell, editor.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. New York :
McGrawHill ;p 355-62.
Siregar RS. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, LeffellDJ,editor.
2012. Dalam: Fitzpatrick‟sDematology in General Medicine. Edisi ke-8.
New York :McGraw-Hill.