Tugas Perjanjian Int Eca Fix
Tugas Perjanjian Int Eca Fix
BAB I
DISUSUN OLEH :
Aisyah
02011181520081
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
BAB I
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL
1. Pendahuluan
Perwujudan atau realisasi hubungan-hubungan internasional dalam
bentuk perjanjian-perjanjian internasional telah sejak lama dilakukan oleh
beberapa negara di dunia. Maka, dapat dikatakan bahwa selama hubungan
antara negara-negara atau bangsa-bangsa masih berlangsung, selama itu pula
masih akan selalu muncul perjanjian-perjanjian internasional.
Kegiatan dan partisipasi Indonesia lazimnya dirumuskan dalam
berbagai instrument hukum. Dalam treaty-making-practice, dapat dibedakan
antara perjanjian yang sangat penting yang lazimnya disebut treaty atau
convention. Sedangkan untuk perjanjian yang mengatur pelaksanaan ketentuan
yang terdapat dalam perjanjian umum disebut persetujuan (agreement).
Pasal 11 UUD 1945 merupakan landasan hukum pembuatan perjanjian
internasional di Indonesia. Landasan hukum tersebut masih memerlukan
pengkajian yang lebih mendalam guna memperoleh penjelasan yang
memuaskan semua pihak.
Sebagai usaha untuk menjelaskan ketemtuan pada pasal ini maka pada
tanggal 22 Agustus 1960, Presiden Soekarno menerbitkan surat
No.2826/HK/60 Tentang Pembuatan Peranjian dengan Negara Lain. Dalam
surat tersebut, Presiden Soekarno menafsirkan bahwa terdapat perjanjian yang
disahkan oleh Presiden setelah disetujui DPR dengan Undang-undang dan
persetujuan yang disahkan sendiri oleh Presiden dengan Keppres.
Pemerintah Republik Indonesia akhirnya mengundangkan RUU tentang
Perjanjian Internasional sebagai UU No. 24 Tahun 2000 pada tanggal 23
Oktober 2000 untuk keluar dari Conflict of Law dalam bidang Hukum Tata
Negara. Undang-undang ini sangat penting artinya bagi menciptakan kepastian
hukum, pedoman yang jelas dan kebijakan satu pintu mekanisme pembuatan
dan pengesahan perjanjian internasional di Indonesia.
Suatu Perjanjian baik bilateral maupun multilateral dapat memuat klausula tentang
piagam pengesahan. Piagam pengesahan ini dibuat oleh masing-masing negara setelah
mereka meratifikasi perjanjian tersebut sesuai dengan ketentuan prosedur
konstitusional yang sesuai dengan negara masing-masing.
A. Persyaratan
Lembaga persyaratn ini muncul ketika suatu Negara pigak hendak melakukan
pengesahan perjanjian dan atau pada saat kehendak melakukan pengesahan hasil
amandemen perjanjian, jika perjanjian itu menentukan demikian. Adanya lembaga
persyaratan ini disebabkan karena suatu Negara yang ikut serta sebagai pihak
perjanjian tidak dapat menyetujui seluruh isi dari perjanjian tersebut, sehingga terdapat
ketentuan yang tidak sesuai dengan kepentingan nasional negara yang bersangkutan.
1.1 Pengertian Persyaratan
Persyaratan merupakan suatu pernyataan sepihak yang diajukan oleh suatu negara
pada waktu ia menandatangani, menerima, mengesahkan, menyetujui atau menyatakan
ikut serta pada suatu perjanjian multilateral untuk menghinddarkan atau merubah
dampak hukum dari ketentuan tertentu dari perjanjian internasional.
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 Ayat (5) Konvensi Wina apabila telah lewat masa
1 tahun, berarti pensyaratan yang diajukan oleh Negara yang bersangkutan dianggap
mengikat bagi seluruh negara dalam pihak perjanjian.
- Pasal 20 ayat 3 konvensi menetapkan, bahwa jika perjanjian itu merupakan suatu
anggaran dasar dari suatu organisasi internasional kecuali ditentukan lain persyaratan
yang diajukan itu memerlukan persetujuan dari organ yang berkompeten dari
organisasi internasional itu.
2. Konvensi Tokyo Tahun 1963 tentang Offences and Certains other Acts
Pengertian
Perlu ditegaskan secara jelas bahwa ketiga istilah ini dipergunakan untuk
menunjukkan suatu proses perubahan yang menyangkut ketentuan-ketentuan
perjanjian internasional.
Persetujuan untuk suatu amandemen tidak diperlukan dari semua pihak perjanjian
yang asli, sebab dalam praktiknya dewasa ini, dalam amandemen perjanjian harus
dengan perjanjian yang lain dan mengikat hanya bagi pihak-pihak peserta perjanjian
berikutnya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan keadaan dengan ketentuan
Pasal 54 tentang penghentian suatu perjanjian yang harus dengan persetujuan secara
bulat dari semua pihak peserta perjanjian yang bersangkutan.
1. Setiap usul amandemen suatu perjanjian harus diberitahukan kepada semua pihak;
2. Setiap Negara pihak perjanjian berhak juga menjadi pihak perjanjian hasil
amandemen;
3. Perjanjian hasil amandemen tidak mengikat setiap negara pihak perjanjian yang
tidak ikut menjadi pihak perjanjian yang telah diamandemen;
Dalam Pasal 41 Konvensi Wina secara jelas mengatur jelas tentang ketentuan
persetujuan untuk memodifikasi perjanjian multilateral diantara Negara pihak
perjanjian. Modifikasi ini dapat dilakukan jika;
Kecuali dalam hal sebagaimana diatur Ayat 1 butir a perjanjian menentukan lain,
maka para pihak yang melakukan modifikasi ini harus memberitahukan maksud
mereka itu kepada pihak lain untuk membuat persetujuan dan modifikasi perjanjian
yang akan mereka buat.
1. Maksud yang berlainan jelas timbul dari perjanjian itu sendiri untuk tidak
diberlakukan dalam seluruh wilayahnya;
Perjanjian tidak dapat memberikan hak kepada negara ketiga, jadi suatu
negara tidak dapat menuntut hak dari ketentuan suatu perjanjian bila negara
tersebut bukan pihak perjanjian tersebut. Meskipun demikian hukum internasional
memperkenalkan pula beberapa pengecualian terhadap prinsip-prinsip yang
tersebut diatas yaitu;