Anda di halaman 1dari 20

TUGAS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

BAB I

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

DISUSUN OLEH :
Aisyah

02011181520081

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
BAB I
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

1. Pendahuluan
Perwujudan atau realisasi hubungan-hubungan internasional dalam
bentuk perjanjian-perjanjian internasional telah sejak lama dilakukan oleh
beberapa negara di dunia. Maka, dapat dikatakan bahwa selama hubungan
antara negara-negara atau bangsa-bangsa masih berlangsung, selama itu pula
masih akan selalu muncul perjanjian-perjanjian internasional.
Kegiatan dan partisipasi Indonesia lazimnya dirumuskan dalam
berbagai instrument hukum. Dalam treaty-making-practice, dapat dibedakan
antara perjanjian yang sangat penting yang lazimnya disebut treaty atau
convention. Sedangkan untuk perjanjian yang mengatur pelaksanaan ketentuan
yang terdapat dalam perjanjian umum disebut persetujuan (agreement).
Pasal 11 UUD 1945 merupakan landasan hukum pembuatan perjanjian
internasional di Indonesia. Landasan hukum tersebut masih memerlukan
pengkajian yang lebih mendalam guna memperoleh penjelasan yang
memuaskan semua pihak.
Sebagai usaha untuk menjelaskan ketemtuan pada pasal ini maka pada
tanggal 22 Agustus 1960, Presiden Soekarno menerbitkan surat
No.2826/HK/60 Tentang Pembuatan Peranjian dengan Negara Lain. Dalam
surat tersebut, Presiden Soekarno menafsirkan bahwa terdapat perjanjian yang
disahkan oleh Presiden setelah disetujui DPR dengan Undang-undang dan
persetujuan yang disahkan sendiri oleh Presiden dengan Keppres.
Pemerintah Republik Indonesia akhirnya mengundangkan RUU tentang
Perjanjian Internasional sebagai UU No. 24 Tahun 2000 pada tanggal 23
Oktober 2000 untuk keluar dari Conflict of Law dalam bidang Hukum Tata
Negara. Undang-undang ini sangat penting artinya bagi menciptakan kepastian
hukum, pedoman yang jelas dan kebijakan satu pintu mekanisme pembuatan
dan pengesahan perjanjian internasional di Indonesia.

2. Istilah dan Pengertian Perjanjian Internasional


Seorang pakar Hukum Internasional di Indonesia, Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, S.H., L.L.M. mengatakan bahwa secara yuridis penggunaan
istilah untuk perjanjian internasioanl tidak mempunyai arti tertentu, semuanya
merupakan perjanjian dalam arti perjanjian internasional yang diadakan antara
anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk menimbulkan akibat
hukum tertentu.
Pendirian Mochtar diatas senada dengan pendapat Michael Akehurst,
yang menyatakan bahwa beberapa istilah perjanjian mempunyai makna yang
relative. Berikut ini adalah beberapa istilah perjanjian yang telah umum
digunakan dalam praktik.
a. Treaty
Menurut Elias, terminology treaty, dapat digunakan menurut pengertian
umum dan pengertian khusus. Secara umum, pengertuan treaty mencakup
segala macam bentuk perjanjian internasional. Kemudian, secara khusus treaty
merupakan perjanjian internasional yang mencakup seluruh
perangkat/instrument yang dibuat oleh subjek hukum internasional dan
memiliki kekuatan mengikat menurut hukum internasional.
b. Convention
Istilah ini dipergunakan untuk jenis perjanjian multilateral yang bersifat
“law making treaties”, yang merumuskan atau pun menciptakan kaidah-kaidah
hukum internasional baru bagi masyarakat dunia.
c. Agreement
Agreement yang dalam Bahasa Indonesia berarti “persetujuan”
lazimnya hanya mengatur materi muatan yang memiliki cakupan yang lebih
sempir daripada treaty. Hal demikian Nampak jelas dalam praktiknya yang
lebih cenderung menggunakan ”persetujuan” untuk perjanjian bilateral.
d. Memorandum of Understanding
Memorandum saling kesepahaman merupakan perjanjian yang
mengatur pelaksanaan teknik operasional suatu perjanjian induk.
e. Protocol
Protokol merupakan suatu dokumen yang digunakan untuk menetapkan
suatu persetujuan internasional yang lazimnya bersifat perjanjian tambahan.
f. Charter
Istilah ini dikenal sebagai Anggaran Dasar suatu organisasi
internasional yang sesuai dengan arti konstitusi atau Undang-undang Dasar.
g. Declaration
Deklarasi merupakan suatu perjanjian dan berisikan ketentuan-
ketentuan umum dimana pihak-pihak pada deklarasi tersebut berjanji untuk
melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu di masa yang akan datang
dengan mengenyampingkan ketentuan yang hanya bersifat formalitas.
h. Final Act
Merupakan suatu dokumen yang berisikan ringkasan laporan sidang
dari suatu konfensi internasional yang memuat perjanjian atau konvensi yang
dihasilkan dari konfensi tersebut yang tidak jarang berisikan himbauan berupa
harapan yang dianggap penting. Final Act berfungsi sebagai kesaksian
berakhirnya suatu pentahapan proses pembuatan perjanjian internasional.
i. Arrangement
Merupakan bentuk persetujuan untuk mengatur pelaksanaan teknik
operasional suatu perjanjian induk.
j. Exchange of Notes
Pertukaran Nota merupakan perjanjian internasional yang bersifat
umum, dimana negara penerima mengulangi secara utuh isi surat yang
diberikan oleh negara pengusul perjanjian tersebut dan selanjutnya menerima
usulan perjanjian tersebyt. Namun, dalam praktiknya, pertukaran nota dipakai
sebagai penjelasan pasal-pasal tertentu dari suatu perjanjian.
k. Agreed Minutes dan Summary Records
Merupakan catatan mengenai hasil perundingan yang telah disepakati
oleh para pihak dalam perjanjian.
l. Process Verbal
Terminologi ini dipergunakan untuk mencatat pertukaran atau
penyimpangan piagam pengesahan atau untuk mencatat kesepakatan mengenai
hal-hal yang bersifat teknik administratif atau perubahan-perubahan kecil
dalam suatu persetujuan.
m. Pact
Terminologi ini digunakan untuk menunjuk suatuu ”soleman
agreement” yang khsus.
n. Statute
Statute merupakan sebutan Anggaran Dasar suatu organisasi
internasional. Dapat juga berupa anggaran dasar untuk beroperasinya suatu
institusi yang memiliki tugas sebagai badan pengawas internasional.
o. Covenant
Istilah ini bersumber dari Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson,
yang digunakan sebagai terminology Piagam Liga Bangsa-bangsa.

Beberapa istilah tersebut diatas dilihat secara yuridis tidak mempunyai


arti tertentu selain perjanjian internasional.

3. Pengertian (definisi) Perjanjian Internasional


Perjanjian internasional adalah semua perjanjian yang dibuat oleh negara
sebagai salah satu subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum
internasional dan berisikan ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum.
Kemudian, dalam Pasal 1 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2000 Tentang
Perjanjian Internasional dirumuskan: “Dalam undang-undang ini yang dimaksud
dengan: perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama
tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.”
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa yang dimaksud dengan perjanjin
internasional adalah setiap perjanjian di bidang hukum publik, diatur oleh hukum
internasional, dan dibuat oleh pemerintah dengan negara organisasi internasional,
atau subjek hukum internasional lain.

4. Bentuk dan Klasifikasi Perjanjian Internasional


A. Bentuk Perjanjian Internasional.
Secara garis besar, bentuk dari perjanjian internasional itu dapat dikenali
dalam dua bentyuk saja, yaitu:
a. Perjanjian Internasional Dalam Bentuk Tertulis
Dalam praktek hubungan antar Negara akhir-akhir ini semua
transaksi internasional , hasil kesepakatan kedua belah pihak
maupun lebih sering dituangkan dalam bentuk perjanjian
internasional tertulis. Hal ini disebabkan karena perjanjian
internasional dalam bentuk tertulis memiliki beberapa kelebihan
seperti ketegasan , kejelasan dan lebih menjamin kepastian hukum
, dan juga dituangkan dalam suau dok tertulis.
b. Perjanjian Internasional Tak Tertulis
Istilah perjanjian internasional tidak tertulis tidak dapat begitu
sama dengan Perjanjian Lisan. Karena perjanjian lisan merupakan
bagian atau bentuk dalam Perjanjian Internasional tak terulis.
Ruang lingkupnya yaitu pernyataan sepihak atau deklarasi sepihak
dan komunike bersama Negara-negara.
B. Klasifikasi Perjanjian Internasional.
Dari beberapa sudut pandang, perjanjian international dapat
diklasisikasikan dalam enam segi sudut pandang, sebagai berikut:
a. Pihak-pihak (subyek) yang mengadakanperjanjian;
b. Jumlah pihak yang membuat perjanjian;
c. Corak atau bentuk dari perjanjian;
d. Mekanisme dan tahap-tahap pembuatan perjanjian;
e. Sifat pelaksanaan perjanjian itu sendiri; dan
f. Fungsi perjanian dalam perkembangan hukum internasional secara
progresif.

5. Fungsi Perjanjian Internasional.


Fungsinya dalam hal pembentukan dan perkembangan hukum internasional
tersebut, dapat dikategorikan dalam tiga macam fungsi:
a. Merumuskan/ menyatakan ataupun menghapuskan aturan-aturan hukum
internasional yang sudah ada
b. Merubah dan/atau menyempurnakan ataupun menghapuskan kaidah-
kaidah hukum internasional yang sudah ada , untuk mengatur tindakan
yang akan dating.
c. Membentuk kaidah-laidah hukum internasional baru sama sekali, yang
belum ada sebelumnya.

6. Panduan Umum Pembuatan Perjanjian Internasional*)

 Proses pembuatan dan pengesahan Perjanjian Internasional, secara umum harus


mengacu pada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional yang memuat ketentuan sebagai berikut :
a. Lembaga Negara dan Lermbaga Pemerintah, baik Departemen maupun
Non-Departemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai
rencana untuk membuat Perjanjian Internasional, terlebih dahulu
melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Departemen Luar Negeri.
b. Mekanisme konsultasi dan koordinasi dengan Departemen Luar Negeri.
c. Koordinasi ini dimaksudkan untuk menciptakan kesamaan persepsi
agar selaras dengan kepentingan nasional.
d. Mekanisme konsultasi dan koordinasi juga bertujuan untuk
memfasilitasi kepentingan instansi terkait didaerah.
e. Pembuatan Perjanjian Internasional dilakukan melalui tahap
penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan dan
penandatanganan serta pengesahan.
f. Departemen Luar Negeri ikut serta dalam setiap tahap pembuatan
Perjanjian Internasional, sejak penjajakan hingga pengesahannya.
g. Sesuai dengan UU, Departemen Luar Negeri menerbitkan surat kuasa
kepada wakil Pemerintah Daerah atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
Pemerintah Indonesia.
h. Naskah yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak diserahkan ke
Departemen Luar Negeri c.q Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial
Budaya, untuk disimpan di ruang perjanjian. Kemudian Direktorat
Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya akan membuat naskah resmi
demi kepentingan pemerintah/non-pemerintah.
i. Departemen Luar Negeri turut serta memantau dan mengevaluasi
pelaksaan Perjanjian Internasional dimaksud.
j. Prinsip-prinsip Perjanjian Internasional :
(1) Aman ditinjau dari segi politis.
(2) Aman ditinjau dari segi keamanan.
(3) Aman ditinjau dari segi yuridis.
(4) Aman ditinjau dari segi teknis.
 Proses pembuatan Perjanjian Internasional oleh daera mengikuti pola
Mekanisme umum Hubungan Luar Negeri, tahap-tahap pembuatan Perjanjian
Internasional :
a. Tahap Penjajakan - melalui inisiatif Instansi Lembaga Pemerintahan.
b. Tahap Perundingan – melalui pertemuan dari para pihak.
c. Tahap Perumusa Naskah – hasil kesepakatan dari perundingan para
pihak.
d. Tahap Penerimaan – ditandai dengan pemafaran pada naskah.
e. Tahap Penandatanganan – melegalisasi hasil perundingan untuk
dituangkan ke naskah.
 Berdasarkan prakarsa-prakarsa Pihak Indonesia. Pola mekanisme dan
koordinasi yang dilakukan, sbb :
a. Instansi pemrakarsa melakukan koordinasi dengan Departemen Luar
Negeri.
b. Instansi pemrakarsa mengadakan rapat interdep.
c. Komunikasi dapat dilakukan melalui surat menyurat.
d. Departemen Luar Negeri memberi Kebijakan Politik Luar Negeri.
e. Departemen Luar Negeri menyediakan informasi kerjasama dengan
pihak lain.
f. Departemen Luar Negeri mengkomunikasikan rencana kerjasama
dengan Perwakilan Diplomatik pihak asing.
g. Departemen Luar Negeri memberitahukan hasil koordinasi kerjasama.
h. Kesepakatan dituangkan dalam Perjanjian Internasional yang lazim.
i. Departemen Luar Negeri turut memantau pelaksanaan kerjasama.
 Berdasarkan prakarsa-prakarsa Pihak Asing. Pola mekanisme dan koordinasi
yang dilakukan, sbb :
a. Setelah melakukan pertimbangan, Departemen Luar Negeri
menyampaikan secara resmi tawaran program kerjasama.
b. Tawaran tersebut, disampaikan secara resmi tanggapan berupa usulan
program kerjasama.
c. Usulan program kerjasam dibahas dalam rapat interdep.
d. Departemen Luar Negeri menyampaikan hasil rapat interdep.
e. Departemen Luar Negeri memberitahukan hasil koordinasi kerjasam
dengan Pihak Asing.
f. Departemen Luar Negeri turut memantau pelaksanaan kerjasama.

7. Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional


Bedasrkan ketentuan Pasal 24 dan 25 Konvensi Wina 1969 , dapat dijelaskan
bahwa secara garis besarnya saat mulai berlakunya suatu perjanjian dapat
dibedakan:
a. Untuk perjanjian bilateral dan multiteral terbatas mengenai masalah secara
teknis , atau hanya sebagai pelaksanaan atau realisasi dari satu perjanjian
yang mengatur masalah yang lebih besar , dan ohak-pihak yang
mengadakan perundingan diberikan kewenangan penuh, untuk menyatakan
persetujuan untuk terikat pada perjanjian tsb, maka mulai berlakulah pada
penanda tangan perjanjian oleh wakil-wakil yang berkuasa penuh yang
bersangkutan .
b. Untuk perjanjian-perjanjian bilateral dan multiteral terbatas mengenai
masalah yang penting bagi para pihak, dalm hal ini penting atau tidaknya
subtansi suatu perjanjian internasional , sepenuhnya ditentukan oleh para
pihak itu sendiri. Untuk perjanjian semacam ini tentu saja persetujuan untuk
terikat pada suatu perjanjian tidak dinyatkan oleh wakil yang berkuasa
penuh yang melakukan perundingan , melainkan oleh pihak eksekutif yang
berwenang dari Negara pengirim masing-masing.
c. Sedangkan mengenai mulai berlakunya ditentukan dalam klausula penutup
perjanjian itu sendiri. Misalnya perjanjian itu dinyatakan mulai berlaku
pada saat setelah pertukaran piagam pengesahan antara para pihak ( untuk
perjanjian bilateral), atau dapat pula dintakan bahwa perjanjian (multiteral)
itu mulai berlaku pada hari ke tigapuluh setelah tanggal penyimpanan ketiga
puluh lima instrument ratifikasi atau aksensi.

8. Pertukaran dan Penyimpanan Piagam Perjanjian Internasional

A. Pertukaran Piagam Pengesahan Perjanjian Internasional

Suatu Perjanjian baik bilateral maupun multilateral dapat memuat klausula tentang
piagam pengesahan. Piagam pengesahan ini dibuat oleh masing-masing negara setelah
mereka meratifikasi perjanjian tersebut sesuai dengan ketentuan prosedur
konstitusional yang sesuai dengan negara masing-masing.

Untuk Perjanjian yang bersifat bilateral, kedua piagam haruslah dipertukarkan


untuk dapat berlakunya suatu perjanjian. Dalam praktek untuk pertukaran piagam
ratifikasi diperlukan suatu upacara yang dinamakan “Upacara Pertukaran Piagam
Pengesahan” dalam pembuatan suatu proses verbal.

B. Penyimpanan Piagam Pengesahan Perjanjian Internasional

Dalam hal perjanjian multilateral piagam perjanjian internasional harus


disimpan atau didepositkan dalam suatu tempat atau negara tertentu. Pada umumnya
tempat tersebut adalah Sekretariat suatu Badan Internasional di suatu atau beberapa
negara tertentu sebagaimana yang elah disepakati bersama oleh para pihak pada
perjanjian dan disebutkan secara tegas dalam perjanjian internasional tersebut.

Apabila suatu perjanjian multilateral dinyatakan berlaku, lalu ada Negara-negara


lain dan menyatakan turut serta pada perjanjian tersebut dan mendepositkan piagam
keikutsertaannya maka perjanjian itu mulai berlaku sejak tanggal pendepositan
tersebut.
Dalam prakteknya ditunjuk suatu negara yang bertugas untuk menyimpan yang
telah disepakati oleh umum adalah negara dimana konferensi yang menghasilkan
perjanjian itu diselenggarakan. Dalam hal ini di Pasal 76-77 Konvensi Wina 1969 telah
diatur semua tugas dan kewajiban dari pihak yang ditugaskan untuk melakukan
penyimpanan itu. Sementara itu, apabila Indonesia yang menjadi pemrakarsa maupun
penyimpan dokumen tersebut maka telah diterbitkan ketentuan terkait hal itu dalam
Bab V UU Nomor: 24 Tahun 2009 tentang Perjanjian Internasional Pasal 17.

C. Pendaftaran dan Publikasi Perjanjian Internasional

Berdasarkan ketentuan Pasal 102 Piagam PBB suatu perjanjian internasional


wajib didaftarkan kepada Sekretariat PBB oleh pihak-pihak yang menjadi peserta
perjanjian internasional tersebut. Pendaftaran itu diikuti pula dengan publikasinya
secara luas dan terbuka didalam media publikasi milik PBB, yaitu UNTS (United
Nations Treaty Series). Melalui pendaftaran dan publikasi ini, jelas sudah terdapat
semacam keterbukaan kepada semua anggota PBB, bahwa sudah terjadi suatu
kesepakatan antara pihak dalam suatu perjanjian internasional yang mengatur hal-hal
tertentu.

9. Persyaratan, Amandemen dan Modifikasi Perjanjian

A. Persyaratan

Lembaga persyaratn ini muncul ketika suatu Negara pigak hendak melakukan
pengesahan perjanjian dan atau pada saat kehendak melakukan pengesahan hasil
amandemen perjanjian, jika perjanjian itu menentukan demikian. Adanya lembaga
persyaratan ini disebabkan karena suatu Negara yang ikut serta sebagai pihak
perjanjian tidak dapat menyetujui seluruh isi dari perjanjian tersebut, sehingga terdapat
ketentuan yang tidak sesuai dengan kepentingan nasional negara yang bersangkutan.
1.1 Pengertian Persyaratan

Persyaratan merupakan suatu pernyataan sepihak yang diajukan oleh suatu negara
pada waktu ia menandatangani, menerima, mengesahkan, menyetujui atau menyatakan
ikut serta pada suatu perjanjian multilateral untuk menghinddarkan atau merubah
dampak hukum dari ketentuan tertentu dari perjanjian internasional.

1.2 Klasifikasi Persyaratan

Menurut Renata Szafarz, tipe-tipe persyaratan terdiri dari;

1. Peryaratan yang berkaitan dengan ketentuan sengketa

2. Persyaratan terhadap ketentuan lain dari penutup

3. Persyaratan terhadap inti dari perjanjian

4. Persyaratan terhadap makna hakiki.

1.3 Prosedur Pengajuan Persyaratan

Pasal 23 Ayat 1 Konvensi Wina 1969 menentukan bahwa: suatu persyaratan,


penerimaan secara tegas atas persyaratan dan penolakan atau keberatan terhadap
pensyaratan harus dirumuskan dalam bentuk tertulis dan dikomunikasikan kepada
Negara-negara peserta dan Negara-negara lain yang berhak untuk menjadi peserta pada
perjanjian.

Berdasarkan ketentuan Pasal 20 Ayat (5) Konvensi Wina apabila telah lewat masa
1 tahun, berarti pensyaratan yang diajukan oleh Negara yang bersangkutan dianggap
mengikat bagi seluruh negara dalam pihak perjanjian.

2. Persyaratan menurut Ketentuan Konvensi Wina 1969


- Menurut Pasal 19 Konvensi, bahwa negara pihak berhak mengajukan persyaratan
ketika melakukan penandatanganan, pengesahan, penerimaan, menyatakan persetujuan
atau menyatakan ikut serta pada suatu perjanjian. Kecuali bila persyaratan adalah
dilarang oleh perjanjian tersebut.

- Pasal 20 Ayat 1 Konvensi menyebutkan bahwa bila persyartan diizinkan oleh


perjanjian, maka tidak perlu meminta suatu pernyataan diterima oleh Negara lain,
kecuali jika hal demikian disebutkan dalam pejanjian itu.

- Pasal 20 ayat 3 konvensi menetapkan, bahwa jika perjanjian itu merupakan suatu
anggaran dasar dari suatu organisasi internasional kecuali ditentukan lain persyaratan
yang diajukan itu memerlukan persetujuan dari organ yang berkompeten dari
organisasi internasional itu.

- Pasal 20 ayat 4 mengatur tentang hubungan hukum negara yang mengajukan


persyaratan dengan negara yang menerima maupun dengan Negara yang menolak
persyaratan.

- Pasal 21 Ayat 2 Konvensi menetapkan bahwa pensyaratan tidaklah merubah


ketentuan-ketentuan perjanjian bagi pihak lainnya inter se.

- Pasal 22 Ayat 2 konvensi mengatur tentang Penarikan kembali persyaratan dan


penarikan kembali penolakan terhadap persyaratan yang pernah diajukan.

- Pasal 23 Ayat 1 Konvensi mengatur tentang mekanisme pengajuan, penerimaan


dan penolakan pensyaratan.

3. Praktek Indonesia dalam hal pensyaratan

Hanya sedikit sekali Indonesia telah menyatakan terikat pada Konvensi


internasional disertai dengan pensyaratan, seperti;
1. Ratifikasi Konvensi Jenawa tentang Hukum Laut 1958 (UNCLOS I), dengan UU
No. 19 Tahun 1961.

2. Konvensi Tokyo Tahun 1963 tentang Offences and Certains other Acts

3. Konvensi Tunggal Narkoba Tahun 1961

4. Konvensi Mengenai Perbudakan 1926

B. Amandemen dan Modifikasi Perjanjian Internasional

Pengertian

Amandemen dimaksud secara jelas merupakan suatu perubahan resmi suatu


perjanjian yang bertujuan untuk merubah ketentuan-ketentuannya yang berkaitan
dengan kepentingan semua pihak. Mengenai istilah revisi umumnya menurut
Budiono Kusumohamidjojo merupakan perubahan suatu perjanjian secara umum,
sedangkan amandemen dimaksudkan perubahan terhadap ketentuan-ketentuan
tertentu saja dari suatu perjanjian. Untuk Modifikasi menurut J.G. Starke adalah
perubahan terhadap ketentuan-ketentuan suatu perjanjian yang dilakukan oleh para
pihak peserta perjanjian itu sendiri.

Perlu ditegaskan secara jelas bahwa ketiga istilah ini dipergunakan untuk
menunjukkan suatu proses perubahan yang menyangkut ketentuan-ketentuan
perjanjian internasional.

Pengaturan Umum mengenai Amandemen dan Modifikasi Perjanjian

Persetujuan untuk suatu amandemen tidak diperlukan dari semua pihak perjanjian
yang asli, sebab dalam praktiknya dewasa ini, dalam amandemen perjanjian harus
dengan perjanjian yang lain dan mengikat hanya bagi pihak-pihak peserta perjanjian
berikutnya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan keadaan dengan ketentuan
Pasal 54 tentang penghentian suatu perjanjian yang harus dengan persetujuan secara
bulat dari semua pihak peserta perjanjian yang bersangkutan.

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Pasal 39 Konvensi Wina, bahwa


peraturan-peraturan yang terdapay dalam Part II Konvensi WINA 1969, berlaku juga
terhadap perjanjian hasil amandemen, kecuali perjanjian iyu menentukan cara lain.
Keadaan demikian dapat dimaklumi karena persetujuan atas perubahan dimaksud
merupakan perjanjian internasional yang terdapat dalam Part II Konvensi WIna.

Amandemen Perjanjian Multilateral

Konvensi Wina 1969 mengatur tentang amandemen perjanjian multilateral pada


PART IV, Pasal 40 Ayat (1,2,3,4 dan 5). Secara garis besarnya dapay diatur seperti
berikut ini;

1. Setiap usul amandemen suatu perjanjian harus diberitahukan kepada semua pihak;

2. Setiap Negara pihak perjanjian berhak juga menjadi pihak perjanjian hasil
amandemen;

3. Perjanjian hasil amandemen tidak mengikat setiap negara pihak perjanjian yang
tidak ikut menjadi pihak perjanjian yang telah diamandemen;

4. Setiap negara pihak perjanjian setelah berlakunya perjanjian hasil amandemen


haruslah, jika tidak ada penegasan niat yang berbeda oleh negara dimaksud.

Modifikasi Perjanjian Multilateral

Dalam Pasal 41 Konvensi Wina secara jelas mengatur jelas tentang ketentuan
persetujuan untuk memodifikasi perjanjian multilateral diantara Negara pihak
perjanjian. Modifikasi ini dapat dilakukan jika;

1. Kemungkinan untuk melakukan modifikasi demikian adalah ditentukan oleh


perjanjian, atau
2. Modifikasi demikian tidak dilarang oleh perjanjian itu;

3. Modifikasi tidak akan mempengaruhi hak dan kewajiban Negara pihak


perjanjian itu;

4. Tidak berhubungan dengan suatu pelanggaran tertentu yang akan bertentangan


dengan pelaksanaan yang efektif dari maksud dan tujuan perjanjian secara keseluruhan.

Kecuali dalam hal sebagaimana diatur Ayat 1 butir a perjanjian menentukan lain,
maka para pihak yang melakukan modifikasi ini harus memberitahukan maksud
mereka itu kepada pihak lain untuk membuat persetujuan dan modifikasi perjanjian
yang akan mereka buat.

10. Akibat-Akibat Hukum Perjanjian Internasional

A. Akibat Perjanjian terhadap Negara-Negara pihak

Sebagai sumber utama hukum internasional, perjanjian pada prinsipnya hanya


mengikat negara negara pihak saja. Sifat mengikat ini berarti negara negara pihak
harus menaati dan menghormati pelaksanaan perjanjian tersebut. Daya ikat
perjanjian adalah didasrkan pada prinsip “pacta sun servanda”.

Dalam kerangka hukum nasional, setelah perjanjian internasional tersebut


disahkan oleh badan yang berwenang, maka pemerintah wajib melaksanakannya.
Pengimplementasian perjanjian dilakukan oleh semua organ negara.

Pada prinsipnya suatu perjanjian internasional berlaku di dalam wilayah


nasional negara pihak itu masing-masing. Kecuali dalam kemungkinan;

1. Maksud yang berlainan jelas timbul dari perjanjian itu sendiri untuk tidak
diberlakukan dalam seluruh wilayahnya;

2. Perjanjian itu menentukan lain.


B. Akibat Perjanjian Terhadap Negara Ketiga

Perjanjian tidak dapat memberikan hak kepada negara ketiga, jadi suatu
negara tidak dapat menuntut hak dari ketentuan suatu perjanjian bila negara
tersebut bukan pihak perjanjian tersebut. Meskipun demikian hukum internasional
memperkenalkan pula beberapa pengecualian terhadap prinsip-prinsip yang
tersebut diatas yaitu;

1. Perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga, atas


persetujuan mereka;

2. Perjanjian yang memberikan hak-hak kepada negara ketiga;

3. Perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga tanpa


persetujuan mereka.

11. Penafsiran Perjanjian internasional


Peranan lembaga penafsiran, melalui penafsiran ini makna yang
terkandung dalam ketentuan hukum internasional umum atau perjanjian
internasional maupun maksud dan tujuannya akan diketahui.
Dalam hubungan ini Lord Mc Nair, berpendapat bahwa : “....no part of
the law of Treaties which the tactwriter approaches with more interpretation
than question of interpretation”. Merupakan suatu fakta bahwa dalam struktur
hukum internasional suatu badan yang berwenang penuh untuk memberikan
interpretasi pada Perjanjian Internasional yang mengikat semua negara.
Dalam kepustakaan hukum internasional dikenal tiga aliran, yaiutu :
1. “Preparatories:”, aliran ini berpedoman pada kehendak para
pembuat perjanjian terlepas dari teks perjanjian itu.
2. “Textual school”, naskah perjanjian seharusnya diberikan arti
atau makna yang biasa.
3. “Teological School”, menitik beratkan dalam interprestasikan
dengan melihat objek dari perjanjian.

Dalam hubungan ini Mahkamah Internasional juga menggunakan


“principle of subsequent practice” negara dalam penerapan ketentuan
perjanjian merupakan suatu bukti mengenai apa yang sebenarnya merupakan
objek serta tujuan perjanjian itu.

Mungkin “principle of effectiveness” sutau perjanjian itu ditafsirkan


demikian rupa sehingga memberi efek hukum kepada objek serta tujun
perjanjian itu sesuai dengan arti/makna yang biasa diberikan kepada kata-kata
dari perjanjian tersebut. Kesimpulannya, bahwa ternyata tidak/belum ada suatu
standar yang paling tepat untuk dipakai dalam melakukan penafsiran suatu
Perjanjian Internasional.

12. Prosedur penyelesaian Perselisihan Perjanjian Internasional.

Dalam hubungan ini mengklaim pembatalan itu tetap dapat mengambil


pembatalan itu tetap dapat mengambil suatu jalannya sendiri Misalnya dengan
pengunduran diri dari perjanjian. Suatu badan yudicial diharapkan cukup
berwibawa untuk menangani setiap perselisihan hukum yang timbul di antara
negara-negara cukuplah diberikan yurisdiksinya kepada International Court
of Justice, namun pada kenyataanya hanya sejumlah kecil yang bersedia
menyerahkan perselisihan hukum mereka.

Dalam kenyataanya Pasal 33 Piagam PBB hanya menetapkan cara-


cara penyelesaian yang dapat digunakan oleh negara-negara yang
bersengketa, sehingga bilamana suatu negara peserta tidak setuju dengan cara
penyelesaian yang dianjurkan oleh program PBB, maka masih dapat
dilakukan pengambilan keputusan sepihak. Misalnya berupa pengunduran diri
(“unilateral denunciation”) dari perjanjian tersebut.
Selanjutnya Pasal 66 Konvensi ini menetapkan: dalam hal adanya suatu
perselisihan mengenai pelaksanaanatau penafsiran suatu ketentuan dalam
Bagian V Konvensi ini, maka setiap pihak dapat mengusulkan
dipergunakannya prosedur yang tercantum dalam Annex Konvensi ini, dan
permohonan tersebut diserahkan kepada sekretaris Jenderal PBB.

Berdasrakan rumusan butir 7 dari Annex, pengeluaran biaya komisi


ini akan dibebankan kepada Majelis umum PBB. Meskipun dilain pihak
diberikan argumentasi bahwa laporan dari komisi ini mempunyai
“recommendatory character” dan dengan sertanya anggota-anggota PBB
serta Sekjen PBB secara nyata laporan tersebut memiliki kekuatan mengikat
secara politis.

Anda mungkin juga menyukai