PENDAHULUAN
Gigi impaksi adalah gigi yang gagal erupsi ke dalam lengkung rahang pada kisaran waktu
yang diperkirakan. Suatu gigi mengalami impaksi akibat dari kekurangan ruang, lapisan tulang
yang padat atau jaringan lunak yang tebal, infeksi kronis, dan kelainan tumbuh kembang gigi
(Michael,2004). Jalan erupsi yang salah dari gigi permanen, kemungkinan besar disebabkan oleh
kegagalan resorpsi gigi desidui sehingga terjadi persistensi dan dapat menimbulkan kegagalan
erupsi gigi permanen sehingga gigi menjadi impaksi (Londhe,2009). Pada umumnya gigi
mengalami impaksi akibat panjang lengkung gigi yang tidak dapat menampung gigi dan panjang
lengkung gigi yang lebih kecil daripada panjang total mesiodistal gigi. Gigi-geligi yang
seringkali mengalami impaksi adalah gigi molar tiga rahang atas dan bawah, gigi kaninus rahang
atas dan premolar rahang bawah.3 Banyaknya kasus impaksi kaninus sebesar 0,8–2,8 %
(Gupta,2012)
Dari sekian gigi yang sering mengalami impaksi, gigi kaninus rahang atas merupakan
gigi kedua terbanyak setelah gigi molar ketiga rahang bawah. Prevalensinya kira-kira 1,5% dan
kaninus impaksi pada posisi palatal lebih banyak dua kali lipat dibandingkan posisi bukal.
Diagnosis dan penatalaksanaan yang terlambat menyebabkan lamanya waktu perawatan di klinik
dan terjadi kerusakan ke struktur sekitar gigi, misalnya resorpsi akar gigi insisivus lateralis.
Etiologi gigi kaninus impaksi belum diketahui secara pasti. Terdapat bukti gigi kaninus ektopik
di palatal yang terjadi di anggota keluarga yang sama dapat berhubungan dengan kelainan yang
juga terjadi pada gigi insisivus lateralis, misalnya kelainan bentuk, berjejal, dan erupsi yang
terlambat. Erupsi gigi kaninus normal dapat dipalpasi pada sulkus bukalis pada usia 10-11 tahun.
Umumnya gigi kaninus atas erupsi pada usia 12,3 tahun pada perempuan dan 13,1 tahun pada
laki-laki (Chausu,2002)
Gigi yang impaksi dapat menyebabkan gangguan estetik pada penderitanya sehingga
mempengaruhi psikologis seseorang. Karena itu perlu dideteksi secara dini jalannya
pertumbuhan gigi, terutama saat gigi geligi campuran sehingga penatalaksanaannya dapat
dilakukan segera dan didapat hasil yang lebih baik (Bayram,2006). Penyebab gigi impaksi dapat
bermacammacam, diantaranya ukuran lengkung rahang dan gigi yang tidak sesuai, posisi benih
gigi, tanggalnya gigi sulung sebelum waktunya, trauma, ankilosis, neoplasma, atau dilaserasi
akar.
II. PEMBAHASAN
Beberapa teknik dapat digunakan untuk membuka mahkota gigi impaksi. Salah satunya
adalah apically positioned flap, yaitu menaikkan posisi flap ke arah apikal yang melibatkan
attached gingiva di sekitar gigi impaksi. Erupsi gigi impaksi harus melewati attached gingival
dan bukan melalui gingival alveolar. Hal tersebut merupakan keuntungan teknik ini. Flap harus
direfleksikan dari puncak tulang alveolar dan dijahit pada lokasi attached gingival berada di
sekitar mahkota gigi yang terlihat (Profitt,2009).
Setelah flap dikembalikan pada posisi semula dan dijahit dengan menggunakan metode
interrupted,luka ditutup dengan tampon dan dilakukan evaluasi perdarahan sekitar 10 menit.
Tampon selanjutnya dilepas 30 menit dengan instruksi pada pasien yaitu tidak boleh berkumur
terlalu sering, tidak menghisap luka, dan tidak memainkan dengan lidah pada bekas operasi.
Setelah bedah, pasien diberikan medikasi oral antibiotik, analgesik dan anti-inflamasi. Kontrol
bedah dilakukan pada hari ketujuh untuk melihat bagaimaa penyembuhan luka dan selanjutnya
dilakukan pengambilan jahitan.
III. KESIMPULAN
Gigi kaninus impaksi harus dipertimbangkan untuk erupsi karena merupakan penyokong
utama pipi dan struktur hidung. Kehilangan gigi kaninus satu sisi mengakibatkan muka bagian
tengah tidak simetris, sedangkan kehilangan gigi kaninus dua sisi menyebabkan bibir atas
tampak datar. Erupsi gigi kaninus impaksi dengan pendekatan bedah dan traksi ortodontik perlu
dilakukan pada usia muda agar menghasilkan struktur periodontal dan estetik yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Bayram M. Bilaterally impacted maxillary central incisors: Surgical exposure and orthodontic
treatment: A case report. J Contemp Dent Pract 2006; 7 (4)
Brencheley Z, Oliver RG. Morphology of anterior teeth associated with displaced canines. Br J
Orthod. 1997; 24: 41–5.
Dixon AD. Buku pintar anatomi untuk kedokteran gigi (terj). Ed.ke-5. Jakarta, Hipokrates; 1993.
H. 187-190; 327-338; 472-473.
Kokich VG. Surgical and orthodontic management of impacted maxillary canines. Am J Orthod
Dentofacial Orthop. 2004; 126: 278-83
Londhe CSM. Management of bilateral impacted maxillary canines. MJAFI. 2009; 65: 190-219.
Michael M. Peterson’s of oral and maxillofacial surgery. 2nd ed. BC Decker Inc. Hamilton,
London; 2004. H. 140-153.
Peck S, Peck L, Kataja M. Concomitant occurrence of canine malposition and tooth agenesis:
Evidence of orofacial genetic fields. Am J Orthod Dentofac Orthop 2002; 122: 657-60.
Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut. Jakarta, EGC; 1996. H. 60-75
Pranjoto HE, Sjamsudin J. Perawatan gigi impaksi anterior rahang atas pada remaja. Maj Ked
Gigi (Dent J). 2005; 38(3): 142-145
Proffit WR. Contemporary Orthodontics. 4rd ed. St. Louis: Mosby; 2009. p.539-41.