oleh
3. Etiologi
Penyebab Gagal Ginjal Kronik adalah diabetes militus, hipertensi, iskemia
pada ginjal, zat toxic, sumbatan atau obstruksi, penyakit autoimun dan kalainan
filtrasi pada ginjal (Snively & Gutierres, 2004). Penyebab Gagal Ginjal Kronik
menurut National Kidney Foundation /NKF (2010) adalah:
a. Diabetes militus dan Hipertensi
Dua penyebab utama penyakit ginjal kronis diabetes dan tekanandarah tinggi.
Diabetes militus terjadi ketika gula darah terlalu tinggi, menyebabkan
kerusakan pada banyak organ dan otot dalamtubuh, termasuk ginjal dan
jantung, serta pembuluh darah, saraf,dan mata. Tekanan darah tinggi atau
hipertensi, terjadi ketika tekanan darah meningkat pada dinding pembuluh
darah. Jika tidakdikontrol dengan baik, tekanan darah tinggi bisa menjadi
penyebab serangan jantung, stroke dan Gagal Ginjal Kronik.
b. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis menyebabkan peradangan dan kerusakan unitpenyaringan
ginjal, merupakan penyebab ketiga yang paling sering terjadi pada penyakit
ginjal kronis. Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginjal
progresif dan difus yang seringkali berakhir dengan gagal ginjal kronik.
Glomerulonefritis berhubungan dengan penyakit-penyakit sistemik seperti
lupus eritomatosus sistemik, poliartritis nodosa, granulomatosus wagener.
Glomerulonefritis (glomerulopati) yang berhubungan dengan diabetes mellitus
(glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan penyakit
ginjal kronik. Glomerulonefritis yang berhubungan dengan amilodois sering
dijumpai pada pasien-pasien dengan penyakit menahun seperti tuberkulosis,
lepra, osteomielitis arthritis rheumatoid dan myeloma. Gambaran klinis
glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari
pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang
harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis.
c. Polikistik Ginjal
Polikistik ginjal merupakan penyakit ginjal bawaan sejak lahir. Keadaan ini
mengakibatkan kista pada ginjal yang akan merusak jaringan disekitarnya.
Penyakit ginjal polikitik yakni ditemukannya banyak kista yang tersebardi
kedua ginjal baik di kortek maupun dimedula yang dapat disebabkan
olehkelainan genetik atau berbagai keadaan atau penyakit.
Penyakit ginjal polikistik merupakan gangguan herediter yang terutama
mengenaitubulus ginjal yang dapat berakhir dengan gagal ginjal. Penyakit
ginjal polikistik ditandai dengan kista-kista multiple, bilateral yang
mengadakan ekspansi danlambat laun mengganggu dan menghancurkan
parenkim ginjal normal akibatpenekanan. Ginjal dapat membesar (kadang-
kadang sebesar sepatu bola) dan terisi oleh cairan jernih atau hemoragik.
Penyakit ginjal polikistik dibagi menjadi dua bentuk yaitu :
1) Ginjal Polikistik Resesif Autosomal (Autosomal Resesif Polycystic
Kidney/ARPKD)
Ginjal polikistik resesif autosomal juga dikeanal sebagai penyakit polikistik
infantil, gangguan autosom resesif yang jarang ini mungkin tidak terdeteksi
sampai sesudah masa bayi.
2) Ginjal Polikistik Dominan Autosomal (Autosomal Dominant Polycystic
Kidney/ADPKD)
Merupakan penyakit multisistemik dan progresif yang dikarakteristikan
dengan formasi dan pembesaran kista renal di ginjal dan organ lainnya
(pancreas, limfa). Ginjal polikistik dominan autusomal adalah penyakit
ginjal genetik yang paling sering ditemukan. Kelainan ini dapat didiagnosa
melalui biopsi ginjal.
Keduanya merupakan kelainan herediter autosomal, yaitu pada dewasa
merupakan autosomal dominan, sedangkan pada anak-anak merupakan
autosomal resesif. Ini ditandai dengan kerukasan kedua ginjal, dengan adanya
infiltrat kista-kista berbagai ukuran ke dalam parekim ginjal, sehingga fungsi
ginjal semakin menurun.
d. Lupus
Penyakit ini dalam ilmu kedokteran disebut Systemic LupusErythematosus
(SLE), yaitu ketika penyakit ini sudah menyerangseluruh tubuh atau sistem
internal manusia.
e. Malformasi pada saluran perkemihan
Adanya sumbatan karena tumor, batu ginjal atau sumbatan karenaada
pembesaran kelenjar prostat pada pria.
f. Infeksi saluran kencing yang berulang
Infeksi menyebabkan refluk balik bakteri dari saluran kencing menuju ginjal
sehingga juga dapat menyebabkan kerusakan ginjal.
Berdasarkan etiologi penyakit atau penyakit yang menyertai, Suharyanto
dan Madjid (2009) mengklasifikasikannya dalam tabel ini bawah ini.
Tabel 4. Etiologi Gagal Ginjal Kronik berdasarkan Penyakit
Klasifikasi Penyakit Penyakit
Penyakit infeksi dan peradangan Pielonefritis kronik
Glomerulonefritis
Penyakit vaskuler hipertesif Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis maligna
Stenosis arteri renalis
Gangguan jaringan penyambung Lupus eritematosus sistemik
Poliartritis nodusa
Sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital dan herediter Penyakit ginjal polikistik
Asidosis tubulus ginjal
Penyakit metabolik Diabetes Melitus
Gout Disease
Hipertiroidisme
Nefropati toksi Penyalahgunaan analgesic
Nefropati timbale
Nefropati obstruksi Saluran kemih bagian atas : kalkuli,
neoplasma, fibrosis retroperineal.
Saluran kemih bagian bawah : hipertropi
prostat, striktur uretra, anomali leher
kandung kemih dan uretra.
Sumber: Suharyanto Toto dan Abdul Madjid. 2009. Asuhan Keperawatan pada
Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Trans Info Media.
Penyebab gagal ginjal kronik cukup banyak tetapi untuk keperluan klinis dapat
dibagi dalam 2 kelompok :
1. Penyakit parenkim ginjal
a. Penyakit ginjal primer : Glomerulonefritis, Mielonefritis, Ginjal polikistik,
Tbc ginjal
b. Penyakit ginjal sekunder: Nefritis lupus, Nefropati, Amilordosis ginjal,
Poliarteritis nodasa, Sclerosis sistemik progresif, Gout, DM
Penyakit ginjal obstruktif: Pembesaran prostat, batu saluran kemih, refluks
ureter. Secara garis besar penyebab gagal ginjal dapat dikategorikan infeksi
yang berulang dan nefron yang memburuk, obstruksi saluran kemih, destruksi
pembuluh darah akibat diabetes dan hipertensi yang lama, scar pada jaringan
dan trauma langsung pada ginjal.
5. Patofisiologi
Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ke
tubuh. Panas tersebut dapat dipindahkan melalui konduksi atau radiasi
elektromagnetik, derajat luka bakar yang berhubungan dengan beberapa faktor
penyebab, konduksi jaringan yang terkena dan lamanya kulit kontak dengan
sumber panas. Kulit dengan luka bakar mengalami kerusakan pada epidermis,
dermis maupun jaringan subkutan tergantung pada penyebabnya. Terjadinya
integritas kulit memungkinkan mikroorganisme masuk kedalam tubuh.
Kehilangan cairan akan mempengaruhi nilai normal cairan dan elektrolit tubuh
akibat dari peningkatan pada permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi
perpindahan cairan dari intravaskular ke ekstravaskuler melalui kebocoran kapiler
yang berakibat tubuh kehilangan natrium, air, klorida, kalium dan protein plasma.
Kemudian terjadi edema menyeluruh dan dapat berlanjut pada syok hipovolemik
apabila tidak segera ditangani (Hudak dan Gallo, 1996).
Menurunnya volume intra vaskuler menyebabkan aliran plasma ke ginjal
dan GFR (Rate Filtrasi Glomerular) akan menurun sehingga haluaran urin
meningkat. Jika resusitasi cairan untuk kebutuhan intravaskuler tidak adekuat
bisa terjadi gagal ginjal dan apabila resusitasi cairan adekuat, maka cairan
interstitiel dapat ditarik kembali ke intravaskuler sehingga terjadi fase diuresis.
Menurut Baradero (2008), progresi CKD melewati empat tahap
perkembangan yaitu penurunan cadangan ginjal, insufisiensi ginjal, gagal ginjal,
dan end stage renal disease.
1) Penurunan cadangan gunjal
a) Sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi
b) Laju filtrasi glomerulus 40-50% normal
c) BUN dan jreatinin serum masih normal
d) Pasien asimtomatik
2) Insufisiensi ginjal
a) 75-80% nefron tidak berfungsi
b) Laju filtrasi glomerulus 20-40% normal
c) BUN dan kreatinin serum mulai meningkat
d) Anemia ringan dan azotemia ringan
e) Nokturia dan poliuria
3) Gagal ginjal
a) Laju filtrasi glomerulus 10-205 normal
b) BUN dan kreatinin serum meningkat
c) Anemia, azotemia, dan asidosis metabolic
d) Berat jenis urine
e) Polyuria dan nokturia
f) Gejala gagal ginjal
4) End stage renal disease
a) Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi
b) Laju filtrasi glomerulus kurang dari 10% normal
c) BUN dan kreatinin tinggi
d) Anemia, azotemia, dan asidosis metabolic
e) Berat jenis urine tetap 1,010
f) Oliguria
g) Gejala gagal ginjal
Selama gagal ginjal kronik, beberapa nefron termasuk glomeruli dan
tubula masih berfungsi, sedangkan nefron yang lain sudah rusak dan tidak
berfungsi lagi. Nefron-nefron yang utuh mengalami hipertrofi dan memproduksi
volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan
penurunan laju filtrasi glomerolus. Kompensasi nefron yang masih utuh dapat
membuat ginjal mempertahankan fungsinya sampai tiga perempat nefron rusak.
Solute dalam cairan menjadi lebih banyak dari yang dapat direabsorbsi dan
mengakibatkan diuretic osmotic dengan polyuria dan haus. Akhirnya, nefron yang
rusak bertambah dan terjadi oliguria akibat sisa metabolism tidak diseksresikan.
Tanda dan gejala timbul akibat cairan dan elektrolit yang tidak seimbang,
perubahan fungsi regulator tubuh, dan retensi solute. Anemia terjadi karena
produksi eritrosit juga terganggu (sekresi eritropoietin ginjal berkurang). Pasien
mengeluh cepat lelah, pusing, dan letargi.
Hiperurisemia sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Fosfat
serum juga meningkat, tetapi kalsium mungkin normal atau dibawah normal. Hal
ini disebabkan eksresi ginjal terhadap fosfat menurun. Ada peningkatan produksi
parathormon sehingga kalsium serum mungkin normal.
Tekanan darah meningkat karena adanya hypervolemia, ginjal
mengeluarkan vasopressin (renin). Kulit pasien juga mengalami hiperpigmentasi
serta kulit tampak kekuningan atau kecoklatan. Uremic frosts adalah kristal
deposit yang tampak pada pori-pori kulit, sisa metabolism yang tidak dapat
diseksresikan oleh ginjal dieksresikan mellaui kapiler kulit yang halus sehingga
tampak uremic frosts. Pasien dengan gagal ginjal yang berkembang dan menjadi
berat (tanpa pengobatan efektif) dapat mengalami tremor otot, kesemutan betis
dan kaki, pericarditis dan pleuritis. Tanda ini dapat hilang apabila gagal ginjal
ditangani dengan modifikasi diet, medikasi, dan/atau dialysis.
Gejala uremia terjadi sangat perlahan dan gejala azotemia juga
berkembang termasuk letargi, sakit kepala. Kelelahan fisik dan mental, berat
badan menurun, cepat marah, dan depresi. Gagal ginjal yang berat menunjukkan
gejala anoreksia, mual, muntah yang berlangsung terus, pernapasan pendek,
edema, pitting, serta pruritus.
6. Komplikasi
Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer & Bare (2001) dan Suwitra
(2006) adalah sebagai berikut.
a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme, dan
masukan diit berlebih.
b. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin
angiotensin aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan
kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion Anorganik.
f. Uremia akibat peningkatan kadar urea dalam tubuh.
g. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
h. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
i. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis
Urinalisis adalah pemeriksaan mikroskopik urine. Prosedur ini memeriksa
sedimen setelah urine disentrifugasi. Urine yang normal hampir tidak
mengandung sedimen (Baradero, dkk, 2008). Pemeriksaan urin mencakup
evaluasi hal-hal berikut:
1) Observasi warna dan kejernihan urin
2) Pengkajian bau urin
3) Pengukuran keasaman dan berat jenis urin
4) Tes untuk memeriksa keberadaan protein, glukosa dan badan keton dalam
urin.
5) Pemeriksaan mikroskopik sedimen urin sesudah melakukan pemusingan
(centrifuging) untuk medeteksi sel darah merah (hematuria), sel darah
putih, silinder (silindruria), kristal (kristaluria), pus (piuria) dan bakteri
(bakteriuria).
Urinalisis dapat mendeteksi dan menunjang diagnosa penyakit ginjal
dengan menmukan protein urin, eritrosit dan leukosit dan denan menemukan
berbagau silinder dalam sedimen urin (Speicher, 2006). Hal-hal yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan urinalisis pada gagal ginjal akut dan kronis, yaitu:
1) Volume: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguri), yang terjadi
setelah ginjal rusak, pada gagal ginjal kronis juga dapat dihasilkan urine
tak ada (anuria).
2) Warna: pada gagal ginjal akut dan kronis urine berwarna kotor atau keruh,
sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin dan
porfirin. Pada penderita gagal ginjal kronis juga didapatkan kekeruhan
urine yang mungkin disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, partikel koloid,
fosfat atau urat.
3) Berat jenis: pada penderita gagal ginjal akut berat jenis urine kurang dari
1,020 dapat menunjukkan penyakit ginjal, contoh glomerulonefritis,
pielonefritis dengan kehilangan kemampuan untuk memekatkan,
sedangkan pada gagal ginjal kronis adalah kurang dari 1,015 dan akan
menetap pada 1,010 yang menunjukkan kerusakan ginjal.
4) Osmolalitas: gagal ginjal akut dan kronis memiliki nilai intrepretasi yang
sama yaitu kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal, dan
rasio urine/serum 1:1.
5) Klirens kreatinin:pada gagal ginjal akut dan kronik secara bermakna
menurun sebelum BUN dan kreatinin serum menunjukkan peningkatan
bermakna.
6) Natrium: pada gagal ginjal akut nilai atau jumlah dari natrium dapat
menurun sedangkan pada gagal ginjal kronis dapat menunjukkan jumlah
yang lebih dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mengabsorpsi
natrium dengan baik.
7) Protein: pada gagal ginjal akut jumlah atau nilai proteinuria pada derajat
rendah (1-2+) dan sedimen dapat menunjukkan infeksi atau nefritis
interstisial. Sedangkan pada gagal ginjal kronis derajat protenuria terletak
pada derajat tinngi (3-4+) menunjukkan kerusakan glomerulus bila
terdapat sedimen dan perubahan warna (Doenges, 2000).
b. Darah
Penilaian CKD dengan ganguan yang serius dapat dilakukan dengan
pemerikasaan laboratorium, seperti: kadar serum sodium/natrium dan
potassium/kalium, pH, kadar serum phospor, kadar Hb, hematokrit, kadar urea
nitrogen dalam darah (BUN), serum dan konsentrasi kreatinin urin, urinalisis. Hb:
menurun pada adanya anemia
1) Sedimen: sering menurun mengikuti peningkatan kerapuhan/penurunan
hidup.
2) pH: asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena penurunan
kemampuan ginjal untuk mengekresikan hidrogen dan hasil akhir
metabolisme.
3) BUN/kreatinin: terdapat peningkatan yang tetap dalam BUN, dan laju
peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan protein),
perfusi renal, dan masukkan protein. Serum kreatinin meningkat pada
kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum bermanfaat dalam
pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan penyakit. Biasanya
meningkat pada proporsi rasio 10:1.
4) Osmolalitas serum: labih besar dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan
urine.
5) Kalium: meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel
darah merah).
6) Natrium: biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
7) pH, kalsium dan bikarbonat: menurun.
8) Klorida, fosfat, dan magnesium: meningkat.
9) Protein: penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan
protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan
penurunan sintesis karena kekurangan asam amino esensial (Doenges,
2000).
c. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan
gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia).
d. Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta
prostate.
e. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal
Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen
dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen. Berberapa pemeriksaan
radiologi yang biasa digunanakan untuk mengetahui gangguan fungsi ginjal
antara lain:
1) Flat-Plat radiografy/Radiographic keadaan ginjal, ureter dan vesika
urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan kalsifikasi dari
ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil yang
mungkin disebabkan karena adanya proses infeksi.
2) Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat secara
jelas struktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan memakai kontras
atau tanpa kontras.
3) Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi keadaan
fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan pada kasus
gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma, pembedahan, anomali
kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses / batu ginjal, serta
obstruksi saluran kencing.
4) Aortorenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri, vena,
dan kepiler pada ginjal dengan menggunakan kontras. Pemeriksaan ini
biasanya dilakukan pada kasus renal arteri stenosis, aneurisma ginjal,
arterovenous fistula, serta beberapa gangguan bentuk vaskuler.
5) Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi kasus
yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi pada ginjal
serta post transplantasi ginjal.
f. Biopsi Ginjal
Biopsi Ginjal untuk mengdiagnosa kelainann ginjal dengan mengambil
jaringan ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus
golomerulonepritis, neprotik sindom, penyakit ginjal bawaan, ARF, dan
perencanaan transplantasi ginjal.
g. Gas darah arteri
Gas darah arteri memberikan determinasi objektif tentang oksigenasi darah
arteri, pertukaran gas alveoli, dan keseimbangan asam basa. Dalam
pemeriksaan ini diperlukan sampel darah arteri yang diambil dari arteri
femoralis, radialis, atau brakhialis dengan menggunakan spuit yang telah diberi
heparin untuk mencegah pembekuan darah sebelum dilakukan uji
laboratorium. Pada pemeriksaan gas darah arteri pada penderita gagal ginjal
akan ditemukan hasil yaitu asidosis metabolik dengan nilai PO2 normal,PCO2
rendah, pH rendah, dan defisit basa tinggi (Grace dan Borley, 2006).
1) Pencitraan radionuklida
Dapat menunjukkan kalikektasis, hidronefrosis, penyempitan dan lambatnya
pengisian dan pengosongan sebagai akibat dari GGA.
8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan
homeostasis selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada CKD dan faktor
yang dapat dipulihkan (misal obstruksi) diidentifikasi dan ditangani (Smeltzer &
Bare, 2001). Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga
yaitu sebagai berikut.
a. Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal
ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk CKD harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum >150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
5) Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolic
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
2) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kelainan neuromuscular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
6) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
1) Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan
biokimiawi darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan
dengan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah
satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan
hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis
dilakukan pada klien GGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute
Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal.
2) Dialisis Peritoneal
Dialisis peritoneal merupakan alternatif hemodialisis pada
penanganan gagal ginjal akut dan kronis. Dialisis peritoneal dilakukan
dengan menginfuskan 1-2 L cairan dialisis ke dalam abdomen melalui
kateter. Dialisat tetap berada dalam abdomen untuk waktu yang berbeda-
beda (waktu tinggal) dan kemudian dikeluarkan melalui gaya gravitasi
ke dalam wadah yang terletak di bawah pasien. Setelah drainase selesai,
dialisat yang baru dimasukkan dan siklus berjalan kembali. Pembuangan zat
terlarut dicapai melalui difusi, sementara ultrafiltrasi dicapai melalui
perbedaan tekanan osmotik dan bukan dari perbedaan tekanan hidrostatik
seperti pada hemodialisis
3) Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai
oleh pasien gagal ginjal stadium akhir, meskipun sebagian pasien
mungkin tetap memilih dialisis di rumah mereka sendiri sesudah
mendapatkan latihan dari perawat khusus. Tindakan standar dalam
transplantasi ginjal dengan merotasikan ginjal donor dan meletakannya
pada fosa iliaka kontralateral resipien. Ureter kemudian terletak di
sebelah anterior pembuluh darah ginjal ke dalam kemih resipien. Arteria
renalis beranastomosis end-to-end pada arteri iliaka interna, dan vena
renalis beranastomosis dengan vena iliaka komunis atau eksternal.
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%)
faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal
ginjal alamiah
b) Kualitas hidup normal kembali
c) Masa hidup (survival rate) lebih lama
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan
obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
D. Konsep Hemodialisis
2) Diagnosa Keperawatan
a) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan
retensi cairan dan natrium
b) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan hipermetabolisme, nausea, vomitting, intake kurang
c) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialisis.
d) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
suplai O2 dan nutrisi ke jaringan sekunder.
e) Kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik
dalam kulit, gangguan turgor kulit atau uremia, pruritus.
3) Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional
Keperawatan
1 Kelebihan volume Setelah dilakukan 1. Terbebas dari Fluid management
cairan berhubungan tindakan keperawatan edema, efusi, 1. Ukur masukan dan 1. Menunjukkan status
dengan penurunan selama 1x24 diharapkan anasarka haluaran, catat volume sirkulasi,
haluaran urin, diet pasien menunjukkan 2. Bunyi nafas bersih, keseimbangan positif terjadinya atau perbaikan
berlebih, serta pengeluaran urin tepat tidak ada (pemasukan melebihi perpindahan cairan, dan
resistensi cairan dan dengan pemasukan dyspneu/orthopneu pengeluaran). Timbang respon terhadap terapi.
natrium sekunder 3. Terbebas dari berat badan tiap hari, dan Keseimbangan
terhadap penurunan NOC: distensi vena catat peningkatan lebih positif/peningkatan berat
fungsi ginjal 1. Electrolit and acid jugularis, reflek dari 0,5 kg/hari. badan sering
base baance hepatojugular (+) menunjukkan retensi
2. Fluid balance 4. Memelihara tekanan 2. Awasi tekanan darah dan cairan lanjut. Mengetahui
3. Hydration vena sentral, CVP. Catat pemasukan dan
tekanan kapiler JVD/Distensi vena. pengeluaran dari cairan.
paru, output jantung 2. Peningkatan tekanan
dan vital sign alam darah biasanya
batas normal berhubungan dengan
5. Terbebas dari kelebihan volume cairan,
kelelahan, mungkin tidak terjadi
kecemasan atau karena perpindahan
kebingungan cairan keluar area
6. Menjelaskan vaskuler. Distensi juguler
indikator kelebihan eksternal dan vena
cairan abdominal sehubungan
3. Auskultasi paru, catat dengan kongesti vaskuler.
penurunan/tak adanya 3. Peningkatan kongesti
bunyi nafas dan pulmonal mengakibatkan
terjadinya bunyi konsolidasi, gangguan
tambahan (contoh pertukaran gas, dan
krekels). komplikasi, (contoh
edema paru).
4. Awasi disritmia jantung. 4. Mungkin disebabkan oleh
Auskultasi bunyi GJK, penurunan perfusi
jantung, catat terjadinya arteri koroner, dan
irama gallop S3/S4. ketidakseimbangan
elektrolit.
5. Kaji derajat perifer atau 5. Perpindahan cairan pada
edema dependen. jaringan sebagai akibat
retensi natrium dan air,
penurunan albumin, dan
penurunan ADH.
6. Kolaborasikan dengan 6. Digunakan dengan
tim medis pemberian perhatian untuk
diuretic (spironolakton mengontrol edema dan
(Aldakton); furosemid asites. Menghambat efek
(lasix). aldosteron, meningkatkan
ekskresi air sambil
menghemat kalium, bila
terapi konservatif dengan
tirah baring dan
pembatasan natrium tidak
mengatasi.
2 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan 1. Adanya peningkatan Nutritional management
nutrisi: kurang dari tindakan keperawatan berat badan sesuai 1. Kaji status nutrisi. 1. Mengetahui status nutrisi
kebutuhan tubuh selama 2x24 jam dengan tujuan pasien.
berhubungan dengan diharapkan pasien 2. Berat badan ideal 2. Ukur masukan diet 2. Memberikan informasi
katabolisme protein, mempertahankan status sesuai dengan tinggi harian dengan jumlah tentang kebutuhan
pembatasan diet, nutrisi adekuat badan kalor. pemasukan/defisiensi
perubahan membran 3. Mampu 3. Bantu dan dorong pasien 3. Diet yang tepat penting
mukosa mulut, NOC: mengidentifikasi untuk makan, jelaskan untuk penyembuhan.
peningkatan 1. Nutritional status: food kebutuhan nutrisi alasan tipe diet. Beri Pasien mungkin makan
metabolisme, and fluid intake 4. Tidak ada tanda- makan pasien bila pasien lebih baik bila keluarga
anoreksia, mual dan 2. Nutritional status: tanda malnutrisi mudah lelah atau biarkan terlibat dan makanan
muntah nutrient intake 5. Menunjukkan orang terdekat membantu yang disukai sebanyak
3. Weight control peningkatan fungsi pasien. Pertimbangkan mungkin.
pengecapan dari pemilihan makanan yang
menelan disukai. 4. Membantu meningkatkan
6. Tidak terjadi 4. Berikan makanan sedikit nafsu makan pasien,
penurunan berat tapi sering, sajikan Buruknya toleransi
badan yang berarti makanan kesukaan terhadap makan banyak
pasien kecuali mungkin berhubungan
kontraindikasi. dengan peningkatan
tekanan intra-abdomen
/asites.
5. Perdarahan dari varises
esofagus dapat terjadi
5. Berikan makanan halus, pada serosis berat.
hindari makanan kasar 6. Membantu pasien untuk
sesuai indikasi. mendapatkan BB
6. Timbang BB tiap hari. ideal/normal.
7. Kebersihan dan kesegaran
mulut dapat
meningkatkan nafsu
7. Lakukan perawatan makan pasien.
mulut, berikan penyegar 8. Glukosa menurun karena
mulut. gangguan glikogenesis,
penurunan simpanan
8. Awasi pemeriksaan glikogen atau masukan
laboratorium (contoh: tak adekuat. Protein
glukosa serum, albumin, menurun karena
total protein, amonia). gangguan metabolisme,
penurunan sistesis
hepatik, atau kehilangan
ke rongga peritoneal
(asites). Peningkatan
kadar amonia perlu
pembatasan masukan
protein untuk mencegah
komplikasi serius.
Sudoyo A, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI
Syamsir, Alam dkk. 2007. Gagal Ginjal. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.