Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang cinta damai, tatepi kita lebih mencintai kemerdekaan.
Kemerdekaan wajib dipertahankan walaupun nyawa sebagai taruhannya. Setelah para
pemimpin bangsa berjuang mempertahankan kemerdekaan secara fisik tak juga berhasil
maka para pemimpin kita melakukan perjuangan melalui meja perundingan.
Berikut adalah beberapa usaha mempertahankan kemerdekaan melalui jalan damai
atau melalui meja perundingan.
Pada periode awal kemerdekaan, partai politik dibentuk dengan derajat kebebasan
yang luas bagi setiap warga negara untuk membentuk dan mendirikan partai politik.
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu
babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam
perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas, paham,
ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan
melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa
indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan.

Pada dasarnya, perkembangan situasi politik dan kenegaraan Indonesia pada awal
kemerdekaan sangat dipengaruhi oleh pembentukan KNIP serta dikeluarkannya
Maklumat Politik 3 November 1945 oleh wakil Presiden Moh. Hatta. Isi maklumat
tersebut menekankan pentingnya kemunculan partai-partai politik di Indonesia. Partai
politik harus muncul sebelum pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat yang
dilangsungkan pada Januari 1946.

Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode
orde lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah
Supersemar sebagai titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang
merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih
terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan
ideoligi sosialisme komunisme.

Konfigurasi politik, menurut Dr. Moh. Mahfud MD, SH, mengandung arti sebagai
susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep

1
yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi
politik otoriter.

Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa Indonesia
berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk-produk
hukum yang konservatif dan pergeseran struktur pemerintahan yang lebih sentralistik
melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Pada masa
ini pula politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui
revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme.

Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim Orde Baru yang mengakhiri tahapan


tradisional tersebut pembangunan politik hukum memasuki era lepas landas lewat proses
Rencana Pembangunan Lima Tahun yang berkesinambungan dengan pengharapan
Indonesia dapat menuju tahap kedewasaan (maturing society) dan selanjutnya
berkembang menuju bangsa yang adil dan makmur.

B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana Keragaman Ideologi Partai Politik di Indonesia
2) Bagaimana Hubungan antara KNIP dan Lembaga Pemerintahan
3) Bagaimana Hubungan antara Keragaman Ideologi dan Pembentukan Lembaga
Kepresidenan
4) Bagaimana Konfigurasi Politik Era Orde Lama
5) Bagaimana Konfigurasi Politik Era Orde Baru
6) Apa Partai Politik
7) Bagaimana Partai Politik dalam Era Orde Lama
8) Bagaimana Partai Politik dalam Era Orde Baru
9) Apa sebab-sebab diadakannya perjanjian?
10) Bagaimana perisiwa perjanjian linggarjati?
11) Bagaimana perisiwa perjanjian renville?
12) Bagaimana perisiwa perjanjian roem-royen?
13) Bagaimana peristiwa konferensi meja bundar?

2
C. Tujuan
1) Mengetahui Keragaman Ideologi Partai Politik di Indonesia
2) Mengetahui Hubungan antara KNIP dan Lembaga Pemerintahan
3) Mengetahui Hubungan antara Keragaman Ideologi dan Pembentukan Lembaga .
Kepresidenan
4) Mengetahui Konfigurasi Politik Era Orde Lama
5) Mengetahui Bagaimana Partai Politik dalam Era Orde Baru
6) Mengetahui Apa Partai Politik
7) Mengetahui Bagaimana Partai Politik dalam Era Orde Lama
8) Mengetahui Konfigurasi Politik Era Orde Baru
9) Mengetahui sebab-sebab diadakannya perjanjian.
10) Mengetahui perisiwa perjanjian linggarjati.
11) Mengetahui perisiwa perjanjian renville.
12) Mengetahui perisiwa perjanjian roem-royen.
13) Mengetahui perisiwa perjanjian meja bundar.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. PERKEMBANGAN POLITIK PADA AWAL KEMERDEKAAN

1.1. Keragaman Ideologi Partai Politik di Indonesia

Maklumat Politik 3 November 1945, yang dikeluarkan oleh Moh. Hatta, hadir sebagai
sebuah peraturan dari pemerintah Indonesia yang bertujuan mengakomodasi suara rakyat
yang majemuk. Akibatnya, munculah partai-partai politik dengan berbagai ideologi.
Partai-partai politik tersebut mempunyai arah dan metode pergerakan yang berbeda-beda.
Di antaranya adalah partai politik berhaluan nasionalis, yaitu PNI penggabungan dari
Partai Rakyat Indonesia, Serikat Rakyat Indonesia, dan Gabungan Republik Indonesia
yang berdiri pada 29 Januari 1946, dipimpin oleh Sidik Djojosukaro.
Kemunculan partai-partai berhaluan sosialis-komunis pada awalnya merupakan
bentuk pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Namun, seiring perkembangannya, partai
ini menerapkan cara revolusioner yang tidak dapat diterima oleh masyarakat Indonesia.

1.2. Hubungan antara KNIP dan Lembaga Pemerintahan

Dilatarbelakangi oleh berbagai situasi negara yang genting, seperti keadaan Jakarta
di awal 1946, yang sangat rawan oleh teror dan intimidasi pihak asing , mengharuskan
para petinggi bangsa untuk memindahkan ibu kota negara ke Yogyakarta pada 4 Januari
1946 untuk sementara waktu.
Pada dasarnya, posisi wewenang KNIP dikukuhkan melalui Maklumat X, 16
Oktober 1945, yang memberikan kuasa legislatif terhadap badan tersebut. Dengan
maklumat itu, KNIP yang dibentuk pada 22 Agustus 1945, berposisi seperti layaknya
Dewan Perwakilan Rakyat untuk sementara waktu sebelum dilaksanakannya pemilihan
umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang sebenarnya. Tugas
Komisi Nasional Indonesia Pusat (KNIP) adalah membantu dan menjadi pengawas
kinerja presiden dalam melaksanakan tugas pemerintahan. KNIP mempunyai kuasa
untuk memberikan usulan kebijakan kepada presiden dalam melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan.
Sementara itu, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) bertugas untuk
membantu dan mengawasi jalannya kinerja pemerintahan di tataran lebih rendah
daripada presiden, seperti gubernur dan bupati.

4
1.3. Hubungan antara Keragaman Ideologi dan Pembentukan Lembaga
Kepresidenan

Terdapatnya keragaman ideologi yang terbagi ke dalam golongan nasionalis, agama,


dan sosialis-komunis pada era awal kemerdekaan ternyata mengandung implikasi yang
signifikan terhadap struktur kepemimpinan negara. Perubahan otoritas KNIP dan
munculnya berbagai partai politik di Indonesia menjadi dua katalisator utama terhadap
perubahan struktur kekuasaan pemerintahan. Naiknya Sutan Syahrir sebagai Perdana
Menteri Indonesia juga memiliki andil dalam perubahan itu.
Lembaga kepresidenan sendiri telah dibentuk pada 2 September 1945, pada
kesempatan itu, Presiden Soekarno membentuk susunan kabinet sebagai pelaksana
eksekutif dari lembaga kepresidenan Indonesia. Hal itu merupakan manifestasi dari
penguatan lembaga kepresidenan untuk dapat melaksanakan tugas negara dengan
optimal.
Susunan kabinet yang dibentuk pada 2 September 1945, pada dasarnya, mencerminkan
komposisi yang mewakili keragaman ideologi di Indonesia. Meskipun partai-partai
politik baru bermunculan, setelah dikeluarkannya Maklumat 3 November 1945, kondisi
keragaman ideologi ini telah berperan besar dalam susunan lembaga kepresidenan
negara.

1.4. Konfigurasi Politik Era Orde Lama

Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang
isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara
tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya kembali
UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS.
Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah
gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya.
Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno
mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut
yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang
“memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan
melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang
dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang perwujudannya
senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta
disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat berkembang. Maka problema dalam

5
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu
bukan masalah-masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma
ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-
realitas objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan
secara baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian
muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan
“Demokrasi Pancasila”.
Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan “excessive”
(berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi secara berlebihan)
seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung
(verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi
(gekwalificeerde democratie).
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai
politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung
hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam fundamental
(1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU,
Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur
mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar
tingggi berupa :
1) Gerakan separatis pada tahun 1957
2) Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga
terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah
mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah
Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang
kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro
memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis
Konstitusional.
Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh
pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu
sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya
pada perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga
merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan

6
pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya
tinggi.

1.5. Konfigurasi Politik Era Orde Baru

Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia


(G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1
Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang
memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu
untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden. Surat yang
kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu
diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli
1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan
Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia.
Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas
PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau
Buru.
Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam
program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali
dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus
nasional, yaitu :
1) Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut
juga dengan konsensus utama.
2) Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan
konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama
dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah
dan partai-partai politik dan masyarakat.
Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan konsensus
nasional antara lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi massa. Konsensus ini
kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No. XX/1966, sejak itu konsensus nasional
memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia.
Beberapa hasil konsensus tersebut antara lain penyederhanaan partai politik dan
keikutsertaan TNI/Polri dalam keanggotaan MPR/DPR. Berdasarkan semangat

7
konsensus nasional itu pemerintah Orde Baru dapat melakukan tekanan-tekanan politik
terhadap partai politik yang memiliki basis massa luas. Terlebih kepada PNI yang nota
bene partai besar dan dinilai memiliki kedekatan dengan rezim terdahulu. Pemerintah
orde baru juga melakukan tekanan terhadap partai-partai dengan basis massa Islam. Satu
contoh ketika para tokoh Masyumi ingin menghidupkan kembali partainya yang telah
dibekukan pemerintah Orde Lama, pemerintah memberi izin dengan dua syarat. Pertama,
tokoh-tokoh lama tidak boleh duduk dalam kepengurusan partai. Kedua, masyumi harus
mengganti nama sehingga terkesan sebagai partai baru.
Pada Pemilu 1971 partai-partai politik disaring melalui verifikasi hingga tinggal
sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu.
Dalam pemilu kali ini didapati Golongan Karya (Golkar) menjadi peserta pemilu. Pada
mulanya Golkar merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi fungsional dan
kekaryaan, yang kemudian pula pada 20 Oktober 1984 mendirikan Sekretariat Bersama
Golongan Karya (Sekber Golkar). Tujuannya antara lain memberikan perlindungan
kepada kelompok-kelompok fungsional dan mengkoordinir mereka dalam front nasional.
Sekber Golkar ini merupakan organisasi besar yang dikonsolidasikan dalam kelompok-
kelompok induk organisasi seperti SOKSI, KOSGORO, MKGR dan lainnya sebagai
“Political Battle Unit “ rezim orde baru.
Pasca pemilu 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai yang dilandasi
penilaian hal tersebut harus dilakukan karena partai politik selalu menjadi sumber yang
mengganggu stabilitas, gagasan ini menimbulkan sikap Pro dan Kontra karena dianggap
membatasi atau mengekang aspirasi politik dan membentuk partai-partai hanya kedalam
golongan nasional, spiritual dan karya.
Pada tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah dapat diterima
oleh partai-partai yang ada dan dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3/1975 tentang
Partai Politik dan Golongan, sistem fusi ini berlangsung hingga lima kali Pemilu selama
pemerintahan orde baru (1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997).

1.6. Partai Politik

Melihat sejarah sepanjang Orde Lama sampai Orde Baru partai politik
mempunyai peran dan posisi yang sangat penting sebagai kendaraan politik sekelompok
elite yang berkuasa, sebagai ekspresi ide, pikiran, pandangan dan keyakinan kebebasan.
Pada umumnya para ilmuwan politik menggambarkan adanya empat fungsi partai
politik, menurut Miriam Budiardjo meliputi:

8
1) Sarana komunikasi politik;
2) Sosialisasi politik;
3) Sarana rekruitmen politik;
4) Pengatur konflik.
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait dimana partai politik berperan dalam
upaya mengartikulasikan kepentingan (Interests Articulation) dimana berbagai ide-ide
diserap dan diadvokasikan sehingga dapat mempengaruhi materi kebijakan kenegaraan.
Terkait sebagai sarana komunikasi politik, partai politik juga berperan mensosialisasikan
ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik serta sebagai sarana
rekruitmen kaderisasi pemimpin Negara. Sedangkan peran sebagai pengatur konflik,
partai politik berperan menyalurkan berbagai kepentingan yang berbeda-beda.
Disamping itu, partai politik juga memiliki fungsi sebagai pembuat kebijaksanaan,
dalam arti bahwa suatu partai politik akan berusaha untuk merebut kekuasaan secara
konstitusional, sehingga setelah mendapatkan kekuasaannya yang legitimate maka partai
politik ini akan mempunyai dan memberikan pengaruhnya dalam membuat
kebijaksanaan yang akan digunakan dalam suatu pemerintahan.
Dengan demikian, fungsi partai politik secara garis besar adalah sebagai kendaraan
untuk memenuhi aspirasi warga negara dalam mewujudkan hak memilih dan hak
dipilihnya dalam kehidupan bernegara.
Selanjutnya, sejarah kepartaian di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Dari
sejarah tersebut dapai dilihat bahwa keberadaan kepartaian di Indonesia bertujuan untuk :

a) untuk menghapuskan penindasan dan pemerasan di Indonesia khususnya dan didunia


pada umumnya (kolonialisme dan imperialisme)
untuk mencerdaskan bangsa Indonesia,
b) untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
c) Untuk melaksanakan tujuan utama diatas perlu ditentukan sasaran antara, yaitu;
 Kemerdekaan di bidang politik, ekonomi dan budaya nusa dan bangsa,
 Pemerintahan Negara yang demokratis,
 Menentukan Undang-Undang Dasar Negara yang memuat ketentuan-ketentuan
dan norma-norma yang sesuai dengan nilai-nilai sosialistis paternalistic yang
agamais dan manusiawi.

9
Dari perjalanan sejarah kehidupan politik Indonesia tersebut, secara umum terdapat
dua ciri utama yang mewarnai pendirian dan pergeseran masing-masing organisasi
politik dan golongan fungsional yang ada, yaitu:
1) Kesamaan Cara untuk melaksanakan gerak kehidupan politik, organisasi politik
dan golongan fungsional, yaitu didasarkan pada persatuan dan kesatuan yang bersumber
pada kepentingan nasional dan bermuara pada kepentingan internasional. Untuk
mewujudkan hal-hal tersebut ditempuh melalui prinsip adanya kedaulatan rakyat
Indonesia.
2) Sedangkan landasan (faham, aliran atau ideologi) yang digunakan untuk
mewujudkan persatuan dan kesatuan serta kedaulatan rakyat tersebut berbeda satu sama
lain.
Kemudian, keberadaan partai politik-partai politik ini sesungguhnya untuk meramaikan
pesta demokrasi sebagai tanda adanya atau berlangsungnya proses pemilihan umum.
Dalam proses pemilihan umum ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) tujuan pemilihan umum
di Indonesia, antara lain:

 pertama, memungkinkan terjadinya pergantian pemerintah secara damai dan tertib;


 kedua, kemungkinan lembaga negara berfungsi sesuai dengan maksud UUD 1945;
 dan ketiga, untuk melaksanakan hak-hak asasi warga negara.

Dengan demikian, antara partai politik dengan pemilihan umum bagaikan dua sisi
dalam mata uang yang sama. Mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain dikarenakan
keduanya saling bergantungan dan mengisi.

2.1. Partai Politik dalam Era Orde Lama

Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang
ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil
Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November
1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa
jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan.
Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia
dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun
1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai.
Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat
pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut : PNI, NU, PKI, PSII,

10
PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun
sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan. Dengan
berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak
berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik
dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di
Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan “Deklarasi Bogor.”

2.2. Partai Politik dalam Era Orde Baru

Dalam masa Orde Baru yang ditandai dengan dibubarkannya PKI pada tanggal 12
Maret 1966 maka dimulai suatu usaha pembinaan terhadap partai-partai politik. Pada
tanggal 20 Pebruari 1968 sebagai langkah peleburan dan penggabungan ormas-ormas
Islam yang sudah ada tetapi belum tersalurkan aspirasinya maka didirikannyalah Partai
Muslimin Indonesia (PARMUSI) dengan massa pendukung dari Muhammadiyah, HMI,
PII, Al Wasliyah, HSBI, Gasbindo, PUI dan IPM.

Selanjutnya pada tanggal 9 Maret 1970, terjadi pengelompokan partai dengan


terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, Partai Katholik,
Parkindo, IPKI dan Murba. Kemudian tanggal 13 Maret 1970 terbentuk kelompok
Persatuan Pembangunan yang terdiri atas NU, PARMUSI, PSII, dan Perti. Serta ada
suatu kelompok fungsional yang dimasukkan dalam salah satu kelompok tersendiri yang
kemudian disebut Golongan Karya.
Dengan adanya pembinaan terhadap parpol-parpol dalam masa Orde Baru maka
terjadilah perampingan parpol sebagai wadah aspirasi warga masyarakat kala itu,
sehingga pada akhirnya dalam Pemilihan Umum 1977 terdapat 3 kontestan, yaitu Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu
Golongan Karya.
Hingga Pemilihan Umum 1977, pada masa ini peserta pemilu hanya terdiri
sebagaimana disebutkan diatas, yakni 2 parpol dan 1 Golkar. Dan selama masa
pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu. Hal ini mengingat Golkar
dijadikan mesin politik oleh penguasa saat itu.

B. Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Melalui Perundingan

3.1. Sebab-sebab Diadakannya Perjanjian


Perjanjian adalah persetujuan antar negara yang menimbulkan hak dan kewajiban
diantara pihak-pihak yang mengadakannya. Sebab-sebab diadakannya perjanjian tersebut

11
berawal dari kemarahan NICA yang menemukan kenyataan bahawa pemerintahan
republic Indonesia telah berjalan dengan efektif. Pihak NICA marah karena mereka
merasa sebagai pihak yang berhak menguasai Indonesia . Tentara NICA yang berhasil
menyusup masuk di antara pasukan Inggris kemudian berhasil membuat pemerintahan di
Jakarta dan memprovokasi bekas interniran untuk melakukan terror di wilayah republic
Indonesia. Selain itu, NICA juga berhasil mendaratkan 800 marinir Belanda di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 1945 yang mendapat protes keras dari pihgak Republik.
Tindakan NICA dan tentara sekutu menimbulkan konflik bersenjata di setiap wilayah.

3.2. Perjanjian Linggarjati


Perundingan Linggarjati berlangsung tanggal 10 November 1946 di Linggarjati.
Perundingan Linggarjati merupakan perundingan antara RI dengan Komisi Umum
Belanda. Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh PM. Syahrir. Delegasi Belanda
dipimpin oleh Schermerhorn. Perundingan Linggarjati dipimpin oleh Lord Killearn di
Inggris (sebagai perantara). Tanggal 15 November 1946 naskah persetujuan Linggarjati
diumumkan di Jakarta.
Hasil perundingan Linggarjati adalah sebagai berikut :
a. Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang
meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura.
b. Belanda harus meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949
c. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara federal,
dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu Negara bagiannya adalah
Republik Indonesia.
d. RepubliK Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda
dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.
e. Pengakuan secara de facto Belanda terhadap RI, meliputi wilayah Jawa, Madura, dan
Sumatera. Secara de Jure (hukum) status hubungan Internasional Indonesia tidak jelas,
tidak ada penegasan dalam perjanjian apakah Indonesia dapat melakukan hubungan
internasional atau tidak. Terjalinnya hubungan diplomasi dengan negara lain inilah yang
memicu pertentangan lebih lanjut antara Indonesia-Belanda.

Terjadi pro dan kontra mengenai perjanjian Linggarjati tetapi akhirnya Indonesia
menandatangani perjanjian ini pada 25 Maret 1947 dengan alasan :
1. Adanya keyakinan bahwa bagaimanapun juga jalan damai merupakan jalan yang
paling baik dan aman untuk mencapai tujuan Bangsa Indonesia.

12
2. Cara damai akan mendatangkan simpati dan dukungan internasional yang harus
diperhitungkan oleh lawan.
3. Keadaan militer Indonesia yang masih lemah jika menyetujui perundingan
memungkinkan Indonesia memperoleh kesempatan untuk memperkuat militer.
4. Jalan diplomasi dipandang sebagai jalan untuk memperjuangkan pengakuan
kedaulatan dan penegakan Negara RI yang berdaulat.

Pihak Belanda melanggar perjanjian Linggarjati dengan melakukan serangan pada


tanggal 21 Juli 1947 yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I

Agersi Militer Belanda I (21 Juli- 5 Agustus 1947)

Agresi Militer Belanda I atau Operasi Produk adalah operasi militer Belanda di Jawa
dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5
Agustus 1947. Agresi yang merupakan pelanggaran dari Persetujuan Linggajati ini
menggunakan kode "Operatie Product”.

Agresi Militer Belanda I dilatarbelakangi oleh perbedaan pendapat dan penafsiran


yang semakin memuncak mengenai ketentuan-ketentuan persetujuan Linggarjati. Pihak
Belanda beranggapan bahwa Republik Indonesia berkedudukan sebagai Negara
persemakmurannya. Sementara itu pihak Republik Indonesia beranggapan bahwa dirinya
adalah sebuah Negara merdeka yang berdaulat penuh. Belanda berpendapat bahwa
kedaulatan RI berada di bawah Belanda sehingga RI tidak boleh melakukan hubungan
diplomasi dengan negara lain. Belanda secara terang-terangan melanggar gencatan
senjata.

Tanggal 27 Mei 1947 Belanda menyampaikan nota/ ultimatum kepada Pemerintah RI


yang harus dijawab dalam waktu 14 hari (2 minggu). July 21 1947, Jam 06.00 komandan
pos Ankatan Laut Republik Indonesia (ALRI) di Pasir Putih yang berpangkat Letnan
memberi laporan lewat telepon ke markasnya di Panaroekan tentang munculnya Kapal
kapal perang Belanda, ia berpendapat kapal kapal itu melakukan Manuver.

Jam 10.04 pagi kapal pemburu torpedo “Piet Hein” menghujani markas ALRI tersebut
dengan tembakan meriam.Dalam waktu 10 menit kapal itu memuntahkan kurang lebih
200 peluru Britan. Itulah awal Pendaratan Pasukan Belanda di Pasir Poetih,yang bertugas
memutuskan hubungan ujung timur pulau Jawa dari bagian Jawa yang lainya dalam
Agresi Militer Belanda I. Sore harinya Kolone Biru (Colone Blauw/ E inco) Belanda di
bawah komando Lt.Kol. H.A.G. van der Hardt Aberson 15-11-1946 / 18-01-1948

13
bertolak dari Pasir Poetih menuju Jember lewat Panaroekan-Sitoebondo-
Bondowoso.Pasukan itu di awali dengan tank Sherman. Di kota Panaroekan-Sitoebondo
meraka mendapat perlawanan dari para pejuang Republik yang hanya bersaenjatakan
tombak dan granat tangan,mengingatkan meraka pada perang sucidi masa lampau,korban
di pihak para pejuang Republik sangat besar. Di selatan Sitoebondo Para pejuang
Republik berusaha menahan serangan dari dalam parit dan bunker buatan.tapi karena
kalah unggul dalam persenjataan, terpaksa mereka menarik mundur.Pertempuran terakhir
terjadi di Pabrik Gula Prajekan, dimana tersimpan 30.000 ton gula. Malamitu Kolone
mariner tersebut menginap di dalam Bangunan Pabrik.

Tujuan dilakukan Agresi Militer Belanda I adalah sebagai berikut :


1) Mengepung ibu kota dan menghancurkan kedaulatan Republik Indonesia (tujuan
politik)
2) Merebut pusat penghasilan makanan dan bahan eksport (tujuan ekonomi)
3) Menghancurkan TNI (tujuan militer)

Reaksi dunia dengan adanya Agresi Militer Belanda I yaitu, Pemerintah India dan
Australia mengajukan resolusi ke Dewan Keamanan PBB. Amerka Serikat mengeluarkan
himbauan agar pihak Belanda dan Republik Indonesia menghentikan tembak menebak.
Polandia dan Uni Soviet mendesak agar pasukan Belanda ditarik dari wilayah Republik
Indonesia. Akibat tekanan dari berbagai negara tersebut maka pada tanggal 4 Agustus
1947 Belanda bersedia menghentikan agresinya.

3.3. Perjanjian Renville


Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang
ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika
Serikat sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi
Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari
Amerika Serikat, Australia, dan Belgia.
Keinginan Belanda untuk terus memperluas wilayah kekuasaannya, yang kemudian
dikenal dengan garis demarkasi Van Mook, yaitu garis terdepan dari pasukan Belanda
setelah Agresi Militer sampai perintah genctan senjata Dewan Keamanan PBB tanggal 4
Agustus 1947. Untuk mengatasi konflik Indonesia-Belanda maka dibentuklah komisi

14
jasa baik yaitu Komisi Tiga Negara (KTN). Tujuannya untuk membantu Indonesia-
Belanda menyelesaikan konflik.
Dalam hal ini Belanda memilih Belgia yang diwakili oleh Paul van Zeeland.
Indonesia memilih Australia yang diwakili oleh Richard Kirby. RI dan Belanda memilih
Amerika Serikat yang diwakili oleh Frank Graham.
Akhirnya KTN dapat mempertemukan wakil-wakil Belanda dan RI di meja
perundingan yaitu di kapal Renville milik USA yang berlabuh di Tanjung Priok pada 8
Desember 1947 sampai 17 Januari 1948. Delegasi Indonesia dipimpin oleh PM. Amir
Syarifuddin. Delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo. Penengah
perundingan adalah KTN.
Isi persetujuan Renville adalah sebagai berikut:
1. Belanda tetap berkuasa sampai terbentuknya Republik Indonesia Serikat
2. RI sejajar kedudukannya dengan Belanda dalam Uni Indonesia Belanda.
3. Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan kekuasaannya kepada
pemerintah federal sementara.
4. RI merupakan Negara bagian dalam RIS.
5. Dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun akan diadakan pemilihan umum untuk
membentuk konstituante RIS.
6. Tentara Indonesia di daerah pendudukan Belanda harus dipindahkan ke daerah RI.
;L’’’;’;’;’’’;’;’??/Sebenarnya banyak pemimpin Negara RI menolak persetujuan Renville
tersebut tetapi akhirnya mereka bersedia menyetujui. Hal tersebut dikarenakan adanya
pertimbangan sebagai berikut:
a. Persediaan amunisi yang menipis
b. Adanya kepastian bahwa penolakan berarti serangan baru dari pihak Belanda secara
lebih hebat.
c. Adanya keterangan dari KTN bahwa itulah maksimum yang dapat mereka lakukan.
d. Tidak adanya jaminan bahwa Dewan Keamanan PBB dapat menolong.
e. Bagi RI menandatangani persetujuan Renville merupakan kesempatan yang baik untuk
membina kekuatan militer.
f. Timbul simpati dunia yang semakin besar karena RI selalu bersedia menerima
petunjuk KTN,
Akibat dari perjanjian Renville :

15
Wilayah Indonesia menjadi semakin sempit. Bagi kalangan politik, hasil perundingan
ini memperlihatkan kekalahan perjuangan diplomasi. Bagi TNI, hasil perundingan ini
menyebabkan sejumlah wilayah pertahanan yang telah susah payah dibangun harus
ditinggalkan. Muncul berbagai ketidak puasan akibat perundingan ini.
Sementara itu Belanda membentuk Negara-negara bonekanya yang terhimpun dalam
organisasi BFO (Bijeenkomst voor Federal Overlg) yang disiapkan untuk pertemuan
musyawarah federal.
Suasana perundingan melalui penengah KTN pada awal Desember 1948 memulai
menemui jalan buntu. Pada tanggal 11 Desember 1948, Belanda mengatakan bahwa
tidak mungkin lagi dicapai persetujuan antara kedua belah pihak. Empat hari kemudian
Wakil Presiden Mohammad Hatta meminta KTN untuk mengatur perundingan dengan
Belanda. tetapi Belanda menjawab pada tanggal 18 Desember 1948, pukul 23:00 malam,
bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan Persetujuan Renville. Lewat tengah malam atau
tanggal 19 Desember 1948 pagi, tentara Belanda diterjunkan di lapangan terbang
Maguwo, yang dikenal dengan istilah Aksi Militer Belanda II (2nd Dutch Military
Action).
Reaksi internasional atas serangan Belanda terhadap Republik pada tanggal 19
Desember 1948 sangat keras. Negara-negara Asia, Timur Tengah dan Australia
mengutuk serangan itu dan memboikot Belanda dengan cara menutup lapangan terbang
mereka bagi pesawat Belanda. Dalam sidangnya pada tanggal 22 Desember 1948 Dewan
Keamanan PBB memerintahkan penghentian tembak menembak kepada tentara Belanda
dan Republik Inodnesia. Atas usul India dan Birma, Konferensi Asia mengenai Indonesia
diadakan di New Delhi pada tanggal 20 Desember 1949. Amerika Serikat, Kuba, dan
Norwegia mendesak Dewan Keamanan untuk membuat resolusi yang mengharuskan
dilanjutkannya perundingan.
Pada tanggal 24 Januari 1948, Konferensi Asia di New Delhi mengirimkan resolusi
kepada Dewan Keamanan PBB, yang antara lain menuntut dipulihkannya Pemerintah
Republik ke Yogyakarta; dibentuknya Pemerintahan Interim; ditariknya tentara Belanda
dari seluruh Indonesia; dan diserahkannya kedaulatan kepada Pemerintah Indonesia
Serikat, pada tanggal 1 Januari 1950.
Atas usul Amerika Serikat, Tiongkok, Kuba, dan Norwegia, pada tanggal 28 Januari
1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang mengharuskan kedua belah
pihak menghentikan permusuhan, dipulihkannya pemerintah pusat Republik Indonesia

16
ke Yogyakarta; dilanjutkannya perundingan; dan diserahkannya kedaulatan kepada
Indonesia pada waktu yang disepakati.

Agresi Militer Belanda II

Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang
diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta
penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya
ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di
Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Agresi Militer Belanda II dilatar belakangi oleh Belanda masih ingin menguasai
Indonesia dan berusaha untuk mengingkari perjanjian Renville. 18 Desember 1948
Belanda mengeluarkan surat pernyataan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan
persetujuan gencatan perang Renville. Tetapi surat pernyataan tersebut tidak dapat
disampaikan ke pemerintahan pusat di Yogyakarta sebab dilarang oleh Belanda.
Pelaksanaan Agresi Militer Belanda II yaitu:
1. Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan serangan terhadap kota
Yogyakarta.
2. Tepatnya pada pukul 05.30 Belanda melakukan aksi membom pangkalan udara
Maguwoharjo (Lapangan Udara Adisucipto) yang dilanjutkan dengan menghancurkan
bangunan-bangunan penting dan akhirnya merambat ke pusat kota Yogyakarta dan
berhasil menguasainya.
3. Belanda berhasil menawan presiden Soekarno, wakil presiden Moh Hatta, Syahrir
(penasehat presiden),H. Agus Salim (Menlu).
4. Sebelum ditawan presiden berhasil mengirimkan surat pemberian kekuasaan kepada
Menetri Kemakmuran Syafruddin (Syarifuddin) Prawironegoro untuk membentuk
Pemerintahan Darurat RI (PDRI) di Sumatera. Jika Syarifuddin tidak dapat menjalankan
tugasnya maka presiden memerintahkan kepada Sudarsono, L.N. Palar, dan A.A
Maramis yang ada di New Delhi untuk membentuk pemerintahan RI di India.
5. Belanda akhirnya menguasai Yogyakarta dan TNI berhasil dipukul mundur hingga ke
desa-desa.
6. Belanda menganggap TNI telah kalah tetapi ternyata TNI dapat tetap mengumpulkan
kekuatan untuk melawan Belanda.
7. Sementara Belanda menyiarkan kabar ke seluruh dunia bahwa TNI sudah lemah dan

17
RI sudah tidak ada lagi.
8. Belanda melakukan sensor pers agar berita tersebut tidak tersiar keluar. Tetapi ternyata
dari radio gerilya Indonesia dapat disiarkan berita perlawanan rakyat hingga ke luar
negeri.
9. Akhirnya setelah 1 bulan dari agresi tersebut TNI mulai melakukan gerakan
menyerang kota-kota. Serangan yang terkenal adalah Serangan Umum 1 Maret 1949
terhadap kota Yogyakarta yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto, dan berhasil
menduduki kota Yogyakarta. Hal tersebut membuktikan kepada dunia bahwa TNI tidak
hancur mereka masih mempunyai kemampuan bahkan mampu menyerang Belanda.
Sehingga Belanda akhirnya mau membicarakan dalam meja perundingan.
Tujuan Belanda menyelenggarakan Agresi Militer II yaitu Belanda ingin menujukkan
kepada dunia bahwa pemerintah Republik Indonesia dan TNI secara de facto tidak ada
lagi. Tindakan perjuangan secara diplomatik yang dilakukan untuk menggagalkan tujuan
Belanda, yaitu :
a. Menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Agresi Militer Belanda II merupakan
tindakan melanggar perjanjian damai (hasil Perundingan Renville)
b. Meyakinkan dunia bahwa Indonesia cinta damai, terbukti dengan sikap menaati hasil
Perundingan Renville dan penghargaan terhadap KTN.
c. Membuktikan bahwa Republik Indonesia masih ada. Hal ini ditunjukkan dengan
eksistensi PDRI dan keberhasilan TNI menguasai Yogyakarta selama enam jam pada
Serangan Umum 1 Maret 1949.
Upaya Indonesia menarik simpati Amerika serikat hingga akhirnya mendesak Belanda
untuk menarik mundur pasukannya dari wilayah Indonesia. Dewan Keamanan PBB juga
mendesak Belanda untuk menghentikan operasi militer dan membebaskan para
pemimpin Indonesia. Desakan tersebut membuat Belanda mengakhiri agresi militer II.

3.4. Perjanjian Roem-Royen


Perjanjian Roem Royen adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda
yang ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949, kemudian dibacakan kesanggupan kedua
belah pihak untuk melaksanakan resolusi dewan keamanan PBB tertanggal 28 januari
1949 dan persetujuannya tanggal 23 Maret 1949.
Guna menjamin terlaksananya penghentian Agresi Militer Belanda II maka PBB
menganti KTN dengan membentuk UNCI (United Nations Comission for Indonesia)
yaitu komisi PBB untuk Indonesia.

18
Komisi ini selanjutnya mempertemukan Indonesia dan Belanda ke meja perundingan
pada tanggal 14 April 1949. Dimana Delegasi RI dipimpin oleh Mr. Moh. Roem (ketua),
Mr. Ali sastro Amijoyo (wakil) sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J. H Van
Royen. Perundingan diadakan di Hotel Des Indes Jakarta dipimpin oleh Merle Cochran,
anggota komisi dari Amerika Serikat.
Perundingan ini mengalami hambatan sehingga baru pada awal Mei 1949 terjadi
kesepakatan. Isi Perjanjian Roem-Royen (Roem-Royen Statement) sebagai berikut:
a. Delegasi Indonesia menyatakan kesediaan pemerintah RI untuk:
1) Pemerintah Republik Indonesia akan mengeluarkan perintah penghentian perang
gerilya.
2) Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan
keamanan.
3) Turut serta dalam KMB di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan
kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak
bersyarat.
b. Pernyataan Delegasi Belanda yang dibacakan oleh Dr. H.J. Van Royen yaitu:
1) Pemerintah Belanda setuju bahwa pemerintah RI harus bebas dan leluasa melakukan
jabatan sepatutnya dalam satu daerah meliputi karisidenan Yogyakarta.
2) Pemerintah Belanda membebaskan tak bersyarat pemimpin-pemimpin dan tahanan
politik yang tertangkap sejak 19 Desember 1948.
3) Pemerintah Belanda menyetujui RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat
4) KMB di Den Haag akan diadakan selekasnya sesudah pemerintah RI kembali ke
Yogyakarta.
Sejak bulan Juni 1949, berlangsung persiapan pemulihan pemerintahan Indonesia di
Yogyakarta. Persiapan itu berlangsung di bawah pengawasan UNCI. Sejak tanggal 24-29
Juni 1949, tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta. TNI akhirnya memasuki kota
Yogyakarta. Pada 6 Juni 1949, presiden, wakil presiden, serta para pemimpin lainnya
kembali ke Yogyakarta.
Sebagai tindak lanjut perjanjian Roem-Royen, pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan
perundingan antara RI, BFO, dan Belanda yang hasilnya sebagai berikut.
a. Tanggal 24 Juni 1949, keresidenan Yogyakarta dikosongkan oleh tentara Belanda.
Pada tanggal 1 Juli 1949, pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah tentara Republik
menguasai sepenuhnya.

19
b. Mengenai penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintahan RI
ke Yogayakarta
c. Konferensi Meja Bundar (KMB) akan diadakan di Den Haag

3.5. Konferensi Meja Bundar


Konferensi Meja Bundar dilatarbelakangi oleh usaha untuk meredam kemerdekaan
Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat
kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian
mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi,
lewat perundingan Linggarjati, perjanjian Renville, perjanjian Roem-van Roijen, dan
Konferensi Meja Bundar.
Realisasi dari perjanjian Roem-Royen adalah diselenggarakannya Konferensi
Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Konferensi tersebut berlangsung selama
23 Agustus sampai 2 November 1949. Konferensi ini diikuti oleh delegasi Indonesia,
BFO, Belanda, dan UNCI.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Delegasi BFO dipimpin oleh
Sultan Hamid dari Pontianak. Delegasi Belanda diketuai oleh J. H Van Maarseveen.
Sebagai penengah adalah wakil dari UNCI oleh Critley R. Heremas dan Marle
Cochran.
Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah:
Serahterima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik
Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas
daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin
menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi
ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa
Papua bagian barat bukan bagian dari serahterima, dan bahwa masalah ini akan
diselesaikan dalam waktu satu tahun.
Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda
sebagai kepala Negara Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia
Serikat. Pelaksanaan KMB terus dipantau oleh Badan Pekerja KNIP. Pada tanggal 23
Oktober 1949 Badan Pekerja KNIP telah menerima keterangan pemerintah mengenai
pembicaraan dalam sidang-sidang KMB yang disampaikan oleh Wakil Perdana Menteri
Sri Sultan Hamengkubuono IX. Hal lengkap KMB disampaikan Perdana Menteri
Mohammad Hatta pada Sidang Pleno KNIP tanggal 6 hingga 15 Desember 1949. KNIP

20
menerima hasil KMB dengan 226 setuju, 62 tidak setuju, dan 31 suara blangko.
PErsetujuan KNIP itu diberikan dalam dua bentuk, yakni sebuah maklumat dan dua buah
undang-undang. Maklumat KNIP diumumkan Presiden RI pada tanggal 14 Desember
1949, berisi tentang negara Repbulik Indonesia Serikat memegang kedaulatan atas
seluruh wilayah; dan bahwa alat perlengkapan RI disumbangkan kepada RIS untuk
menegakkan kedaulatannya.
Dua undang-undang yang disetujui KNIP adalah Undang-Undang No. 10 yang
berisi mengenai Induk Persetujuan KMB dan masalah kedaulatan dari Belanda kepada
RIS. SEdangkan Undang-Undang No. 11 berisi mengenai draf final Konstitusi Republik
Indonesia Serikat. Persetujuan KNIP atas hasil KMB melancarkan jalan bagi
terbentuknya Republik Indonesia Serikat, sebagaimana diharuskan oleh KMB. Pada
tanggal 14 Desember 1949 delegasi RI dan delegasi negara-negara bagian, yang
tergabung dalam BFO menandatangani Piagam Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Dengan piagam ini resmilah pula negara-negara tersebut menjadi bagian dari Republik
Indonesia Serikat.
Pada tanggal 15 Desember 1949, Dewan Pemilih Presiden RIS dibentuk. Dewan
ini diketuai oleh Mr. Mohammad Roem. Pada tanggal 16 Desember dewan ini memilih
calon tunggal Ir. Soekarno sebagai Presiden RIS. Pelantikan dilaksanakan di Siti Hinggil,
Kraton Kesultanan Yogyakarta para tanggal 17 Desember 1949. Selanjutnya Presiden
Soekarno secara resmi menunjuk Drs. Mohammad Hatta sebagai formatur kabinet. Pada
tanggal 20 Desember Kabinet RIS yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad
Hatta dilantik. Karena Presiden RI, Soekarno dan WAkil PResiden, Mohammad Hatta
menduduki jabatan barunya dalam RIS, maka untuk melaksanakan fungsinya di Negara
Republik Indonesia, ditunjuk Mr. Assaat sebagai pejabat (Acting) Presiden RI yang tetap
berkedudukan di Yogyakarta. Republik Indonesia dalam status sebagai negara bagian
RIS dikenal juga sebagai RI Yogyakarta dengan dr. Abdul Halim sebagai Perdana
Menteri.
Dengan telah selesainya pembentukan RIS dan kabinetnya, maka "penyerahan
kedaulatan" dari tangan Belanda kepada RIS sebagaimana diatur dalam KMB dapat
dilaksanakan. Pemerintah RIS menunjuk Perdana Menteri Mohammad Hatta untuk
memimpin delegasi RI ke negeri Belanda untuk menerima naskah penyerahan kedaulatan
langsung dari Ratu Yuliana. Sedangkan di Jakarta wakil RIS, Sei Sultan
Hamengkubuwono IX menerimanya dari Wakil Mahkota Belanda A.H.J Lovink.
Upacara dilaksanakan di dua tempat secara bersamaaan pada tanggal 27 Desember 1949.

21
BAB III

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil kerja keras dari seluruh wilayah Indonesia.
Kedaulatan yang diraih adalah sebuah perjuangan tiap-tiap daerah pada masa revolusi.
Upaya bangsa Indonesia untu memepertahankan kemerdekaan dilakukan melalui 2 cara,
yaitu upaya diplomasi dan fisik (konfrontasi). Salah satu upaya mempertahankan
keutuhan RI melalui jalur diplomasi yaitu diadakannya perjanjian-perjanjian
Pada periode awal kemerdekaan, partai politik dibentuk dengan derajat kebebasan yang
luas bagi setiap warga negara untuk membentuk dan mendirikan partai politik. Bahkan,
banyak juga calon-calon independen yang tampil sendiri sebagai peserta pemilu 1955.
Sistem multi partai terus dipraktikkan sampai awal periode Orde Baru sejak tahun 1966.
Padal pemilu 1971, jumlah partai politik masih cukup banyak. Tetapi pada pemilu 1977,
jumlah partai politik mulai dibatasi hanya tiga saja. Bahkan secara resmi yang disebut
sebagai partai politik hanya dua saja, yaitu PPP dan PDI. Sedangkan Golkar tidak disebut
sebagai partai politik, melainkan golongan karya saja.

4.2. Saran-Saran

Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil kerja keras dari seluruh wilayah Indonesia.
Kedaulatan yang diraih adalah sebuah perjuangan tiap-tiap daerah pada masa revolusi.
Upaya bangsa Indonesia untu memepertahankan kemerdekaan dilakukan melalui 2 cara,
yaitu upaya diplomasi dan fisik (konfrontasi). Salah satu upaya mempertahankan
keutuhan RI melalui jalur diplomasi yaitu diadakannya perjanjian-perjanjian dan
,Sebaiknya, sistem multipartai tetap dipertahankan dengan tetap memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik baru, namun perlu juga
memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam berpolitik agar tidak terjadi penyimpangan
terhadap wadah aspirasi rakyat tersebut.

22
DAFTAR PUSTAKA

Mustopo, M. Habib. 2014. Sejarah Indonesia Kelas XI SMA. Jakarta : Yudistira

Azri,Usman. http://Administrasi/Perkantoran/Makalah-Sejarah-Indonesia-perkembangan-
Politik-Awal-Kemerdekaan.htm Daring ( 19 November 2016 )

http://antosenno.wordpress.com/2010/09/30/keadaan-politik-indonesia/ Daring ( 19
November 2016 )

Hakim, Yuli Nur. http://MakalahSejarahIndonesia-Kehidupan-Ekonomi,Politik-dan-Sosial-


Masyarakat-Indonesia-pada-Awal-Kemerdekaan-Karya-Kami.htm Daring ( 20 November
2016 )

http://Kondisi-Politik-Indonesia-di-Awal-Kemerdekaan.htm Daring ( 20 November 2016 )

Makhrus. http://Perkembangan-Politik-Pada-Awal-Kemerdekaan-makhrus05.htm Daring ( 20


November 2016 )

http://vivahistoria121.blogspot.co.id/2014/12/keadaan-ekonomi-sosial-dan-politik.html
Daring ( 19 November 2016 )

23

Anda mungkin juga menyukai