DEFINISI
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi (ektasis) dan
distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik, persisten atau ireversibel.
Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus
berupa destruksi elemen-elemen elastis, otot-otot polos bronkus, tulang rawan dan pembuluh-
pembuluh darah. Bronkus yang terkena umumnya adalah bronkus kecil (medium size),
sedangkan bronkus besar umumnya jarang.1
Klasifikasi2
(1) Bronkiektasis silindris atau tubular, ditandai dengan dilatasi saluran napas.
(2) Bronkiektasis varikosa (dinamai demikian karena gambarannya mirip dengan vena
varikosa), ditandai dengan area konstriktif fokal disertai dengan dilatasi saluran napas sebagai
akibat dari defek pada dinding bronkial.
(3) Bronkiektasis kistik atau sakular, ditandai dengan dilatasi progresif saluran napas yang
berakhir pada kista ukuran besar, sakula, atau gambaran grape-like clusters (gambaran
bronkiektasis yang paling berat).
EPIDEMIOLOGI
ETIOLOGI
Beberapa literatur menyebutkan bahwa penyebab yang paling umum dari bronkiektasis
adalah infeksi, namun penelitian yang dilakukan oleh Pasteur dkk di Inggris pada tahun 2000
mendapatkan data dari 150 kasus bronkiektasis, 53% kasus tidak dapat diidentifikasi kausa
spesifiknya.1
Bronkiektasis dapat disebabkan oleh kongenital, dalam hal ini bronkiektasis terjadi
sejak individu masih dalam kandungan, faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan
perkembangan fetus memegang peran penting. Bronkiektasi yang muncul kongenital
mempunyai ciri sebagai berikut. Pertama, bronkiektasis mengenai hampir seluruh cabang
bronkus pada satu atau kedua paru. Kedua, bronkiektasis kongenital sering menyertai penyakit-
penyakit kongenital lainnya, misalnya Mucoviscidosis (Cystic pulmonary fibrosis), sindrom
Kartagener (sinusitis paranasal atau situs inversus), hipo atau hiperglobulinemia dan tidak
adanya tulang rawan bronkus, penyakit jantung bawaan dan kifoskoliosis kongenital.1
Mekanisme yang mungkin mendasari bronkiektasis pasca infeksi adalah adanya infeksi
pada saat awal kehidupan yang menyebabkan kerusakan struktural pada saluran napas yang
masih dalam tahan pengembangan, sehingga mengakibatkan saluran napas rentan terhadap
infeksi berulang, dan dengan berjalannya waktu, infeksi persisten tersebut mengakibatkan
bronkiektasis. Beberapa infeksi saluran napas yang dapat menyebabkan bronkiektasis
termasuk: pertusis, bakteri gram negatif (Pseudomonas aeruginosa, Haemophilus influenzae),
virus (HIV, Paramyxovirus, adenovirus, dan influenza), Mycobacterium tuberculosis, dan
atypical mycobacteria.2
Bronkiektasis dapat mengenai bronkus pada satu segmen paru, bahkan dapat secara
difus mengenai kedua paru. Bagian paru yang sering terkena dan merupakan tempat
predisposisi bronkiektasis adalah lobus tengah paru kanan, bagian lingula kiri lobus atas,
segmen basal pada lobus bawah kedua paru.1
PATOGENESIS
Patogenesis bronkiektasis yang disebabkan oleh infeksi dapat dijelaskan sebagai berikut:1
Infeksi sekunder. Tiap pasien bronkiektasis tidak selalu disertai infeksi sekunder pada
lesi (daerah bronkiektasis). Secara praktis apabila sputum pasien bronkiektasis bersifat mukoid
dan putih jernih, menandakan tidak atau belum ada infeksi sekunder. Sebaliknya apabila
sputum pasien yang semula berwarna putih jemih kemudian berubah wamanya menjadi kuning
atau kehijauan atau berbau busuk berarti telah terjadi infeksi sekunder. Untuk menentukan jenis
kumannya bisa dilakukan pemeriksaan mikrobiologis. Sputum berbau busuk menandakan
adanya infeksi sekunder oleh kuman anaerob (Fusifosnis fusformis, Treponema vincenti) dan
kuman aerob yang sering meng-infeksi bronkiektasis contohnya Streptococcus pneumoniae
dan Haemophilus influenza.
Bronkiektasis diawali dengan adanya penyempitan di cabang bronkial yang dipicu oleh
suatu infeksi, dimana mikroorganisme berkolonisasi di permukaan mukosa saluran napas
membentuk suatu lapisan yang disebut biofilm untuk melindungi diri dari sistem imun manusia
dan menjadi media untuk pertumbuhan mikroorganisme tersebut atau mikroorganisme
lain. Kolonisasi mikroorganisme tersebut kemudian menyebabkan rusaknya epitelium pada
kondisi kronik. Jaringan parenkim sekitar terinfiltrasi oleh sel inflamatori. Rusaknya
jaringan sekitar menyebabkan dilatasi dalam bentuk silindrikal, varikosa atau distensi
sistik denganhancurnya struktur jaringan sekitar. Hal ini akan memicu terjadinya gangguan
dari fungsi mukosiliar dalam membersihkan mukus dari saluran napas menyebabkan mukus
tertahan disaluran napas dan dapat menjadi tempat untuk infeksi saluran napas lainnya.
Kemudian penebalan mukosa bronkial akan terjadi, dan pada pemeriksaan histologi
akan tampak gambaran metaplasia dari epitelium sel skuamosa.3
GEJALA KLINIS2
DIAGNOSIS
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat ditemukan keluhan yang pasien rasakan.
Pada pasien yang datang, sering ditemukan batuk produktif yang berlangsung kronik dan
frekuensi mirip seperti bronkitis kronik (bronchitic-like syndroms). Terdapat sputum yang
dapat menyebabkan bau mulut yang sangat sangat tidak sedap. Bisa terdapat hemoptisis atau
batuk darah yang terjadi pada 50% kasus bronkiektasis, sesak napas dan demam berulang.1
Pemeriksaan penunjang2
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah rutin, walaupun tidak spesifik, sangat penting untuk memonitor
masing-masing individu. Kadar hemoglobin dapat rendah sehubungan dengan anemia pada
penyakit kronik, dapat pula terjadi polisitemia sebagai akibat dari hipoksia kronik. Peningkatan
sel darah putih mengindikasikan keberadaan infeksi akut. Keadaan limfopenia merupakan awal
kecurigaan untuk pemeriksaan defisiensi imun. Eosinofilia dapat ditemukan pada (walaupun
tidak spesifik) allergic bronchopulmonary aspergillosis. CRP adalah protein fase akut yang
sering diperiksakan pada penderita penyakit saluran napas yang mengalami eksaserbasi akut
untuk menentukan ada tidaknya respons inflamasi sistemik. Pada pasien bronkiektasis stabil
didapatkan kadar CRP diatas nilai normal. Pada beberapa penelitian kadar CRP berhubungan
dengan penurunan fungsi paru dan tingkat keparahan penyakit.
Pemeriksaan Radiologis
Dilatasi bronkus, yang merupakan tanda kardinal bronkiektasis, pada HRCT dapat
diidentifikasi dengan adanya rasio bronkoarterial > 1 (BAR > 1), kurangnya bronchial
tapering, dan terlihatnya saluran napas sampai dengan 1 cm dari permukaan pleura atau
berdekatan dengan permukaan pleura mediastinal. Rasio bronkoarterial adalah perbandingan
antara diameter bronkial dengan diameter arteri yang berdampingan, rasio > 1 adalah abnormal
dan dikenal dengan istilah signet ring sign.
Pemeriksaan Mikrobiologi
TATALAKSANA2
Antibiotik
Pada saat eksaserbasi, antibiotik dapat diberikan secara oral maupun intravena sesuai
dengan derajat klinis penderita. Antibiotik oral yang digunakan, bila memungkinkan,
sebaiknya berdasarkan hasil pemeriksaan kultur sputum. Menurut British Thoracic Society
guideline for non-CF Bronchiectasis 2010, apabila tidak terdapat data bakteriologis, maka
antibiotik lini pertama yang dapat digunakan adalah amoksisilin 500 mg tiga kali sehari atau
klaritromisin 500 mg dua kali sehari (untuk penderita alergi penisilin) selama 14 hari. Regimen
dosis tinggi (misalnya amoksisilin 1 gram tiga kali sehari, atau amoksisilin 3 gram dua kali
sehari) mungkin diperlukan pada penderita dengan bronkiektasis berat yang telah terjadi
kolonisasi kronis Haemophilus influenzae. Ciprofloxacin dapat diberikan pada penderita
dengan kolonisasi Pseudomonas aeruginosa, dimana penggunaannya harus hati-hati pada
orangtua. Antibiotik kombinasi tidak diperlukan pada pasien dengan infeksi Haemophilus
influenzae, Moraxella catarrhalis, Staphylococcus aureus (methicillin-sensitive) dan
Streptococcus pneumoniae. Apabila didapatkan lebih dari satu patogen, dapat dipilih antibiotik
yang mencakup kedua patogen. Kombinasi dapat dilakukan jika didapatkan pola resistensi
yang tidak memungkinkan dilakukan terapi tunggal. Pada penderita dengan kultur
Pseudomonas aeruginosa sensitif terhadap ciprofloxacin, monoterapi dengan ciprofloxacin oral
dapat digunakan sebagai terapi lini pertama. Antibiotik kombinasi harus digunakan untuk
infeksi Pseudomonas aeruginosa yang resisten. MRSA harus diterapi dengan dua antibiotik
oral atau satu agen intravena.
Higienitas Bronkopulmoner
Penatalaksanaan Bedah
Reseksi bedah pada bronkiektasis hanya dilakukan dengan pertimbangan khusus,
diantaranya pada pasien dengan kelainan terlokalisasi yang gagal dengan terapi medis dan
menderita gejala klinis yang memperburuk kualitas hidup pasien. Konsep dasar tindakan bedah
pada bronkiektasis adalah menghilangkan area parenkim paru yang rusak yang menyebabkan
penetrasi antibiotik tidak dapat berjalan dengan baik. Jaringan paru yang rusak menjadi area
reservoir bakteri yang menyebabkan infeksi berulang. Beberapa hal yang memengaruhi
suksesnya tindakan bedah antara lain: reseksi komplit area yang terlibat, intervensi awal untuk
mencegah terjadinya perkembangan mikroba resisten dan penyebaran ke segmen paru yang
berdekatan, terapi antibiotik preoperasi sesuai dengan kultur dan sensitivitas, terapi antibiotik
tetap dilanjutkan setelah operasi, perbaikan suplementasi nutrisi preoperasi sesuai indikasi,
antisipasi terhadap komplikasi yang mungkin terjadi.
KOMPLIKASI1
Ada beberapa komplikasi bronkiektasis yang dapat dijumpai pada pasien, antara lain :
• Bronkitis kronik.
• Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis. Bronkiektasis sering mengalami infeksi
berulang, biasanya sekunder terhadap infeksi pada saluran napas bagian atas. Hal ini
sering terjadi pada mereka yang drainage sputumnya kurang baik.
• Pleuritis. Komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya pneumonia.
Umumnya merupakan pleuritis sicca pada daerah yang terkena.
• Efusi pleura atau empiema (jarang).
• Abses metastasis di otak. Mungkin akibat septikemia oleh kuman penyebab infeksi
supuratif pada bronkus. Sering menjadi penyebab kematian.
• Hemoptisis. Terjadi karena pecahnya pembuluh darah cabang vena (arteri pulmonalis),
cabang arteri (arteri bronkialis) atau anastomosis pembuluh darah. Komplikasi
shernoptisis hebat dan tidak terkendali merupakan tindakan bedah gawat darurat
(indikasi pembedahan). Sering pula hemoptisis masifyang sulit diatasi ini merupakan
penyebab kematian utama pasien bronkiektasis.
• Sinusitis. Keadaan ini sering ditemukan dan merupakan bagian dari komplikasi
bronkiektasis pada saluran napas.
• Kor pulmonal kronik (KPK). Komplikasi ini sering terjadi pada pasien bronkiektasis
yang berat dan lanjut atau mengenai beberapa bagian paru. Pada kasus ini bila terjadi
anastomosis cabang-cabang arteri dan vena pulmonalis pada dinding bronkus
(bronkiektasis), akan terjadi arterionvenous shunt, terjadi gangguan oksigenasi darah,
timbul sianosis sentral, selanjutnya terjadi hipoksemia. Pada keadaan lanjut akan terjadi
hipertensi pulmonal, kor pulmonal kronik. Selanjutnya dapat terjadi gagal jantung
kanan.
• Kegagalan pernapasan. Merupakan komplikasi paling akhir yang timbul pada pasien
bronkiektasis yang berat dan luas.
PROGNOSIS1
Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada berat ringannya serta luasnya penyakit
waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat (konservatif ataupun
pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit. Pada kasus-kasus yang berat dan tidak
diobati, prognosisnya jelek, survivalnya tidak akan lebih dari 5- 15 tahun. Kematian pasien
tersebut biasanya karena pneumonia, empiema, payah jantung kanan, hemoptisis dan lain-lain.
Pada kasus-kasus tanpa komplikasi bronkitis kronik berat dan difus biasanya disabilitasnya
yang ringan.
PENCEGAHAN1
• Pengobatan dengan antibiotik atau cara-cara lain secara tepat terhadap semua bentuk
pneumonia yang timbul pada anak, akan dapat mencegah (mengurangi) timbulnya
bronkiektasis.
• Tindakan vaksinasi terhadap pertusis dan lain-lain (influenza, pneumonia) pada anak
dapat pula diartikan sebagai tindakan preventif terhadap timbulnya bronkiektasis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
2. Wahyuni Hariyanto, Helmia Hasan. Bronkiektasis. Jurnal Respirasi Vol. 2 No. 2 Mei
2016. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo. 2016
3. Vendrell M, et al. Diagnosis and Treatment of Bronchiectasis. Arch Bronconeumol,
2008 ;44(11) :629-40.