Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENYAKIT KUNING DAN ASKEP

Dosen pengampu : Lailatul Mustaghfiroh, M.Keb

Disusun oleh :
Nama :
Nim :

AKADEMI KEBIDANAN ISLAM AL-HIKMAH JEPARA


2015 - 2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian .................................................................................................. 2
B. Etiologi ...................................................................................................... 3
C. Patofisiologi .............................................................................................. 5
D. Gejala dan tanda klinis .............................................................................. 5
E. Diagnosis ................................................................................................... 7
F. Pengobatan ................................................................................................ 9

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................................... 10
B. Saran .......................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit kuning yang dikenal dalam bahasa ilmiah medis dengan
nama icterus atau Jaundice adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
perubahan yang terjadi pada warna kulit tubuh yang menguning, sclera
(bagian putih pada mata) dengan kelenjar ludah yang disebabkan oleh
meningkatnya kadar bilirubin pada tubuh manusia atau binatang atau
hewan yang memiliki sel darah merah.
Penyakit kuning tergolong berbahaya jika tubuh penderita sudah
menjadi kuning. Penderita harus segera mendapat perawatan di rumah
sakit dan disarankan agar jangan banyak bergerak atau mengeluarkan
tenaga.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada ikterus?
2. Bagaimana definisi dari ikterus?
3. Bagaimana etiologi dari ikterus?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari ikterus?
5. Bagaimana patofisiologi dari ikterus?
6. Bagaimana diagnosa dari ikterus?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien ikterus.
2. Untuk mengetahui definisi dari ikterus
3. Untuk mengetahui etiologi dari ikterus
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari ikterus
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari ikterus
6. Untuk mengetahui diagnosa dari ikterus

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput
akibat penumpukan bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus
dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya
kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak
dikendalikan. Atau bisa juga Ikterus adalah akumulasi abnormal pigmen
bilirubin dalarn darah yang menyebabkan air seni berwarna gelap, warna
tinja menjadi pucat dan perubahan warna kulit menjadi kekuningan.
Ikterus merupakan kondisi berubahnya jaringan menjadi berwarna kuning
akibat deposisi bilirubin. Ikterus paling mudah dilihat pada, sklera mata
karena elastin pada sklera mengikat bilirubin.
Ikterus harus dibedakan dengan karotenemia yaitu warna kulit
kekuningan yang disebabkan asupan berlebihan buah-buahan berwarna
kuning yang mengandung pigmen lipokrom, misalnya wortel, pepaya dan
jeruk. Pada karotemia warna kuning terutama tampak pada telapak tangan
dan kaki disamping kulit lainnya. Sklera pada karotemia tidak kuning.
Istilah ikterus dapat dikacaukan dengan kolestasis yang umumnya disertai
ikterus. Definisi kolestasis adalah hambatan aliran empedu normal normal
untuk mencapai duodenum. Kolestatasis ini dulu sering dinamakan
jaundice obstruktif.
Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal pada sklera mata, dan
kalau ini terjadi kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dL (34
sampai 43 uniol/L). Jika ikterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata
maka bilirubin mungkin sebenamya sudah mencapai angka 7 mg%.
Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna kulit
dan sklera akibat akumulasi pigmen bilirubin dalam darah dan jaringan.
Kadar bilirubin harus mencapai 35-40 mmol/l sebelum ikterus
menimbulkan manifestasi klinik.

2
Jaundice (berasal dari bahasa Perancis ‘jaune’ artinya kuning) atau
ikterus (bahasa Latin untuk jaundice) adalah pewarnaan kuning pada kulit,
sklera, dan membran mukosa oleh deposit bilirubin (pigmen empedu
kuning-oranye) pada jaringan tersebut.

B. Etiologi
Ikterus merupakan suatu keadaan dimana terjadi penimbunan
pigmen empedu pada tubuh menyebabkan perubahan warna jaringan
menjadi kuning, terutama pada jaringan tubuh yang banyak mengandung
serabut elastin sperti aorta dan sklera (Maclachlan dan Cullen di dalam
Carlton dan McGavin 1995). Warna kuning ini disebabkan adanya
akumulasi bilirubin pada proses (hiperbilirubinemia). Adanya ikterus yang
mengenai hampir seluruh organ tubuh menunjukkan terjadinya gangguan
sekresi bilirubin. Berdasarkan penyebabnya, ikterus dapat dibedakan
menjadi 3, yaitu:
1. Ikterus pre-hepatik
Ikterus jenis ini terjadi karena adanya kerusakan RBC atau
intravaskular hemolisis, misalnya pada kasus anemia hemolitik
menyebabkan terjadinya pembentukan bilirubin yang berlebih.
Hemolisis dapat disebabkan oleh parasit darah, contoh: Babesia sp.,
dan Anaplasma sp. Menurut Price dan Wilson (2002), bilirubin yang
tidak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air sehingga tidak
diekskresikan dalam urin dan tidak terjadi bilirubinuria tetapi terjadi
peningkatan urobilinogen. Hal ini menyebabkan warna urin dan feses
menjadi gelap. Ikterus yang disebabkan oleh hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi bersifat ringan dan berwarna kuning pucat. Contoh kasus
pada anjing adalah kejadian Leptospirosis oleh infeksi Leptospira
grippotyphosa.
2. Ikterus Hepatik
Ikterus jenis ini terjadi di dalam hati karena penurunan
pengambilan dan konjugasi oleh hepatosit sehingga gagal membentuk

3
bilirubin terkonjugasi. Kegagalan tersebut disebabkan rusaknya sel-sel
hepatosit, hepatitis akut atau kronis dan pemakaian obat yang
berpengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel hati. Gangguan
konjugasi bilirubin dapat disebabkan karena defisiensi enzim
glukoronil transferase sebagai katalisator (Price dan Wilson 2002).
3. Ikterus Post-Hepatik
Mekanisme terjadinya ikterus post hepatik adalah terjadinya
penurunan sekresi bilirubin terkonjugasi sehinga mengakibatkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi bersifat larut di
dalam air, sehingga diekskresikan ke dalam urin (bilirubinuria)
melalui ginjal, tetapi urobilinogen menjadi berkurang sehingga warna
feses terlihat pucat. Faktor penyebab gangguan sekresi bilirubin dapat
berupa faktor fungsional maupun obstruksi duktus choledocus yang
disebabkan oleh cholelithiasis, infestasi parasit, tumor hati, dan
inflamasi yang mengakibatkan fibrosis.
Migrasi larva cacing melewati hati umum terjadi pada hewan
domestik. Larva nematoda yang melewati hati dapat menyebabkan
inflamasi dan hepatocellular necrosis (nekrosa sel hati). Bekas infeksi
ini kemudian diganti dengan jaringan ikat fibrosa (jaringan parut)
yang sering terjadi pada kapsula hati. Cacing yang telah dewasa
berpindah pada duktus empedu dan menyebabkan cholangitis atau
cholangiohepatitis yang akan berdampak pada penyumbatan/obstruksi
duktus empedu. Contoh nematoda yang menyerang hati anjing adalah
Capillaria hepatica. Cacing cestoda yang berhabitat pada sistem
hepatobiliary anjing antara lain Taenia hydatigena dan Echinococcus
granulosus. Cacing trematoda yang berhabitat di duktus empedu
anjing meliputi Dicrocoelium dendriticum, Ophisthorcis tenuicollis,
Pseudamphistomum truncatum, Methorcis conjunctus, M. albidus,
Parametorchis complexus, dan lain-lain.

4
C. Patofisiologi
Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan
eritrosit. Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan
puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan menurun
mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.
Ikterus fisiologis Secara umum, setiap neonatus mengalami
peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada
hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola
ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin
serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan
kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama
setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12
mg/dL dengan bilirubin terkonjugasi < 2 mg/dL.
Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan
faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak
bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan
berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina
cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-
4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus
fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena
polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari
dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konjugasi di hepar
yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

D. Gejala dan tanda klinis


Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa.
Disamping itu dapat pula disertai dengan gejala-gejala:
1. Dehidrasi
Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum,
muntah-muntah)
2. Pucat

5
Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis.
Ketidakcocokan golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau
kehilangan darah ekstravaskular.
3. Trauma lahir
Bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan
tertutup lainnya.
4. Pletorik (penumpukan darah)
Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan
memotong tali pusat, bayi KMK.
5. Letargik dan gejala sepsis lainnya
6. Petekiae (bintik merah di kulit)
Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis atau
eritroblastosis.
7. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal)
Sering berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital,
penyakit hati.
8. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)
9. Omfalitis (peradangan umbilikus)
10. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
11. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
12. Feses dempul disertai urin warna coklat
Pikirkan ke arah ikterus obstruktif, selanjutnya konsultasikan
ke bagian hepatologi.
Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan
traktus biliaris, dan evaluasi serta manajemen pasien jaundice merupakan
permasalahan yang sering dihadapi oleh ahli bedah. Serum bilirubin
normal berkisar antara 0,5 – 1,3 mg/dL; ketika levelnya meluas menjadi
2,0 mg/dL, pewarnaan jaringan bilirubin menjadi terlihat secara klinis
sebagai jaundice. Sebagai tambahan, adanya bilirubin terkonjugasi pada
urin merupakan satu dari perubahan awal yang terlihat pada tubuh pasien.

6
Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang
dihasilkan dari sel darah merah tua oleh sistem retikuloendotelial.
Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak larut ditransportasikan ke hati terikat
dengan albumin. Bilirubin ditransportasikan melewati membran sinusoid
hepatosit kedalam sitoplasma. Enzim uridine diphosphate–glucuronyl
transferase mengkonjugasikan bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak larut
dengan asam glukoronat untuk membentuk bentuk terkonjugasi yang larut-
air, bilirubin monoglucuronide dan bilirubin diglucuronide. Bilirubin
terkonjugasi kemudian secara aktif disekresikan kedalam kanalikulus
empedu. Pada ileum terminal dan kolon, bilirubin dirubah menjadi
urobilinogen, 10-20% direabsorbsi kedalam sirkulasi portal. Urobilinogen
ini diekskresikan kembali kedalam empedu atau diekskresikan oleh ginjal
didalam urin.

E. Diagnosis
1. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun
masih dapat digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit
diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias
penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak
direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih
boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining
positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan
ikterus secara visual, sebagai berikut:
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di
siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih
parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat
pada pencahayaan yang kurang.
Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui
warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.

7
Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian
tubuh yang tampak kuning. (tabel 1)
2. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan
diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya
intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini
merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan
morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total.
Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil).
Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk,
bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.
Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif
untuk mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102)
dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode standar
diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru
lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini
hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4
mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa
pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi
yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval prediksi
cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur
TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat
digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan
TSB.
Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang
untuk tujuan skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh
dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun
transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi
dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya
ensefalopati hiperbilirubin.

8
F. Pengobatan
Jika penyebabnya adalah penyakit hati (misalnya hepatitis virus),
biasanya jaundice akan menghilang sejalan dengan perbaikan penyakitnya.
Jika penyebabnya adalah penyumbatan pada saluran empedu,
biasanya dilakukan pembedahan atau endoskopi sesegera mungkin, untuk
membuka saluran yang tersumbat.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Ikterus adalah disklorasi kulit, mukosa membran dan sclera oleh
karena peningkatan kadar bilirubin dalam serum ( > 2 mg/dL ).
(Perinatologi)
2. Ikterus Fisiologis umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar
bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama > 2mg/dL.
3. Ikterus Patologis
 Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan
fototerapi
 Peningkatan kadar bilirubin total serum . 0,5 mg/dL/jam.
4. Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologis atau patologis
atau kombinasi keduanya.
5. Penatalaksanaannya yaitu dengan strategi pencegahan, penggunaan
farmakoterapi, dan fototerapi serta transfuse tukar.

B. Saran
Bagi pembaca di sarankan untuk memahami hal-hal yang berkaitan
dengan Penyakit kuning (Ikterus), Sehingga dapat di lakukan upaya-upaya
yang bermanfaat untuk menanganinya secara efektif dan efisien.

10
DAFTAR PUSTAKA

http://ranierembeuz.blogspot.co.id/2012/09/askep-ikterus-jaundice.html
http://erikacandra.blogspot.co.id/2012/09/ikterus.html
http://obatsehattradisional.com/tag/askep-penyakit-kuning/
http://anto-dava.blogspot.co.id/2010/06/sakit-kuning-jaundice.html
http://blog-asuhankeperawatan.blogspot.co.id/2014/03/asuhan-keperawatan-
penyakit-kuning.html

11

Anda mungkin juga menyukai