Anda di halaman 1dari 24

KORIOAMNIONITIS

Try Mutiara Suci Ramadhani

1840312432

Pembimbing :

dr. Firman Abdullah, Sp.OG

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUD Achmad Moctar

2019
BAB 1

PENDAHULUAN

Infeksi bakteri pada rongga amnion adalah salah satu penyebab terpenting

terjadinya peningkatan mortalitas perinatal dan morbiditas maternal. 1 Terdapat

berbagai sinonim untuk korioamnionitis di beberapa kepustakaan, beberapa

diantaranya "amnionitis", "intrapartum infection", "amniotic fluid infection" dan

“intra-amniotic infection". Korioamnionitis merupakan infeksi akut pada cairan

ketuban, janin dan selaput korioamnion yang disebabkan terutama oleh bakteri.

Pada kehamilan cukup bulan, korioamnionitis didiagnosa pada sekitar 5%-7%

kehamilan. Korioamnionitis dihubungkan dengan ketuban pecah dini dan

persalinan lama. Periode ketuban pecah yang lama merupakan faktor risiko yang

paling tinggi peranannya dalam patogenesis korioamnionitis. Makin lama jarak

antara ketuban pecah dengan persalinan, makin tinggi pula risiko morbiditas dan

mortalitas ibu dan janin.2-3 Bakteri penyebabnya biasanya polimikrobial dan

biasanya mencakup bakteri fakultatif dan anaerob. 4

Risiko yang dapat terjadi pada janin akibat infeksi ini adalah sepsis,

respiratory distress, kejang, perdarahan intraventrikular dan cedera neurologis

yang lain. Pada ibu, risiko yang dapat terjadi adalah sepsis, endometritis pasca

persalinan, pelvik thrombophlebitis septik dan infeksi luka.5

Faktor ras secara tunggal tidak menjadi faktor resiko terjadinya

korioamnionitis. Usia ibu lebih memiliki peranan penting sebagai faktor resiko.

Ibu yang hamil di usia muda memiliki perilaku yang relatif kurang baik dalam

1
menjaga higiene urogenitalnya, sehingga meningkatkan risiko bakterial vaginosis,

infeksi saluran kemih, dan infeksi asendens.6

Korioamnionitis mengakibatkan mortalitas perinatal yang signifikan, saat

ini mencapai 5-25% terutama pada neonatus dengan berat lahir rendah. Walaupun

mortalitas maternal jarang terjadi, namun korioamnionitis merupakan penyebab

signifikan terjadinya morbiditas maternal. Oleh karena itu penatalaksanan

koriamnionitis berupa pemberian antibiotik dan pengakhiran kehamilan harus

dipertimbangkan sebaik mungkin.4,6,7

1.2 Batasan Masalah

Batasan penulisan ini membahas mengenai definisi, epidemiologi,etiologi,

faktor risiko, patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis

korioamnionitis.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk menambah pengetahuan pembaca dan

penulis mengenai korioamnionitis.

1.4 Metode Penulisan

ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk dari
berbagai literatur.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Korioamnionitis atau infeksi intra uterin merupakan infeksi akut pada cairan

ketuban, janin dan selaput korioamnion yang disebabkan oleh bakteri. 2 Bakteri

dapat ditemukan melalui amniosintesis transabdominal sebanyak 20% pada

wanita dengan persalinan preterm tanpa manifestasi klinis infeksi.

2.2 Epidemiologi

Penelitian membuktikan bahwa insiden korioamnionitis adalah 0,5-2% dari

semua persalinan.9 Infeksi ini berhubungan dengan ketuban pecah dini dan

persalinan lama. Sekitar 25% infeksi intrauterin disebabkan oleh ketuban pecah

dini. Makin lama jarak antara ketuban pecah dengan persalinan, makin tinggi

pula risiko morbiditas dan mortalitas ibu dan janin.2-3

Insidensi dari korioamnionitis adalah 5-7% dari kehamilam aterm dan

sekitar 25% dari partus preterm.2 Korioamnionitis merupakan komplikasi paling

serius bagi ibu dan janin, bahkan berlanjut menjadi sepsis. Korioamnionitis

tersamar (‘silent’), yang disebabkan oleh beragam mikroorganisme, baru-baru ini

muncul sebagai salah satu penjelasan kasus-kasus pecah ketuban, persalinan

prematur, atau keduanya. Korioamnionitis meningkatkan morbiditas janin dan

neonatus secara bermakna.3

3
2.3 Etiologi

Bakteri penyebabnya biasanya polimikrobial dan biasanya mencakup

bakteri fakultatif dan anaerob. Bakteri yang paling sering ditemukan adalah

bakterial vaginosis yang mencakup spesies Bacteroides, Fusobacterium,

Gardnerella vaginalis dan M. Hominis. Bakteria fakultatif yang sering ditemukan

adalah Streptococcus grup B dan E. Coli.10

Korioamnionitis seringkali merupakan suatu proses polimikrobial dimana

organisme penyebabnya seringkali multipel. Mikrobiologi korioamnionitis telah

banyak diteliti, akan tetapi hasilnya masih sering kontroversial. Organisme

penyebab sepsis puerperalis dan korioamnionitis adalah Streptokokus hemolitikus,

yang sejak tahun 1930-1949 disebut Streptokokus serta hemolitikus (Grup B).

Selanjutnya beberapa bakteri lain seperti Streptokokus anaerobik, Chlamydia

trachomatis, Mycoplasma dan Cytoplasma dan Cytomegalovirus juga disebutkan

sebagai penyebab korioamnionitis. Gibbs dan kawan-kawan pada tahun 1982

mengidentifikasi mikroorganisme yang ditemukan dalam air ketuban pasien

dengan korioamnionitis dengan hasil Bacteriodes Sp (25%), Gardnerella

vaginalis (24%), grup β streptokokkus (GBS) (12%), streptokokus aerobik jenis

lain (13%), E coli (10%), dan Gram negatif lain (10%).11

2.4 Faktor Risiko

Faktor ras secara tunggal tidak menjadi faktor resiko terjadinya

korioamnionitis. Usia ibu lebih memiliki peranan penting sebagai faktor resiko.

Ibu yang hamil di usia muda memiliki perilaku yang relatif kurang baik dalam

4
menjaga higiene urogenitalnya, sehingga meningkatkan risiko bakterial vaginosis,

infeksi saluran kemih, dan infeksi asendens.6

Semua faktor yang meningkatkan risiko pajanan berkepanjangan ketuban

janin dan/atau rongga uterus terhadap mikroba dari vagina akan meningkatkan

risiko korioamnionitis. Faktor-faktor ini meliputi nuliparitas (karena nuliparitas

akan meningkatkan lama waktu persalinan), persalinan prematur, ketuban pecah

dini, pemeriksaan vagina dengan jari, kateter intrauterin, dan infeksi urogenital

(terutama infeksi vagina atau serviks, termasuk infeksi menular seksual (IMS).

Terdapat bukti bahwa mekonium di dalam cairan amnion juga meningkatkan

risiko infeksi ibu dan/atau korioamnionitis, mungkin dengan cara menekan

respon imun ibu atau dengan mengganggu komposisi cairan ketuban dengan

cara menurunkan pertahanannya terhadap mikroba.12

Terdapat faktor risiko tambahan seperti penyakit kronis ibu, status nutrisi ibu,

dan stres emosional, semua hal tersebut bisa meningkatkan kerentanan wanita

terhadap infeksi dengan cara mempengaruhi fungsi sistem imun. Hubungan pasti

antara faktor-faktor risiko tersebut, imunitas ibu, dan korioamnionitis, merupakan

hal yang kompleks dan masih diteliti. 12

2.5 Patofisiologi

Korioamnionitis terjadi akibat infeksi asenden mikroorganisme dari

serviks dan vagina setelah terjadinya ketuban pecah dan persalinan8,10. Selain itu

dapat pula akibat infeksi transplasental yang merupakan penyebaran hematogen

dan bakteremia maternal dan induksi bakteri pada cairan amnion akibat

iatrogenik pada pemeriksaan amniosintesis, pasca transfusi intrauterin dan

5
kordosintesis. Faktor risiko terjadinya korioamnionitis adalah waktu antara

ketuban pecah dan persalinan, penggunaan monitor fetal internal, jumlah

pemeriksaan dalam selama persalinan, nulipara, dan adanya bakterial

vaginosis.4,13

Gambar 1. Tempat potensial infeksi bakteri di uterus.10

Korioamnionitis terjadi paling sering saat persalinan sesudah pecahnya

selaput ketuban. Walaupun sangat jarang, korioamnionitis dapat juga terjadi pada

keadaan dimana selaput ketuban masih intak11.

Sebanyak 3% dari neonatus yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis

dengan pecahnya selaput ketuban < 24 jam sebelum persalinan, akan menderita

bakteremia. Bila pecahnya selaput ketuban terjadi >24 jam maka sebanyak 17%

neonatus akan mengalami bakteremia10.

6
Pada keadaan selaput ketuban yang masih intak, korioamnionitis sangat

jarang terjadi. Hal ini mungkin disebabkan oleh infeksi Listeria monosytogenes,

yang merupakan batang gram positif anaerob, yang menginfeksi janin secara

hematogen (infeksi transplasental) dan dapat menyebabkan kematian janin.

Gejala pada ibu dapat asimtomatis atau hanya berupa demam ringan dan jarang

menyebabkan sepsis pada ibu. Streptokokus grup A juga dapat menyebakan

infeksi janin dan rongga amnion pada selaput ketuban yang masih intak10.

Organisme penyebab infeksi menyebar pertama kali ke dalam ruang korio

desidua, dan pada beberapa kasus dapat melintas melalui membran korioamnion

yang masih utuh dan masuk ke dalam cairan amnion, sehingga menyebabkan

infeksi pada janin11.

Setiap kehamilan dengan korioamnionitis merupakan faktor risiko

penyebab prematuritas dan ketuban pecah dini. Banyak penelitian yang

menghubungkan antara korioamnionitis dengan persalinan prematur. Teori yang

paling banyak dipergunakan saat ini adalah teori invasi bakteri dari ruang

koriodesidua, yang memulai terjadinya proses persalinan preterm. Hal ini

dikarenakan pelepasan endotoksin dan eksotoksin oleh bakteri akan

mengakitivasi desidua dan membran fetus untuk memproduksi beberapa sitokin,

yang diantaranya tumor nekrosis factor-α (TNF- α), interleukin-1α,

interleukin-1β, interleukin-6, interleukin-8, dan granulosite coloni stimulating

factor (GCsF). Kemudian seluruh sitokin, endotoksin dan eksotoksin akan

menstimulasi sintesis prostaglandin yang akan terakumulasi dengan sintesis dan

pelepasan metaloprotease dan komponen bioaktif lainnya. Prostaglandin akan

menstimulasi kontraksi uterus sementara metaloprotease akan menyerang

7
membran korioamnion yang akan menyebabkan pecahnya membran.

Metaloprotease akan membentuk kolagen di serviks yang menyebabkan

terjadinya perlunakan serviks11.

Persalinan prematur disebabkan akibat janin itu sendiri. Pada janin yang

terinfeksi terjadi peningkatan kadar sekresi kortikotropin akibat peningkatan dari

corticotropin releasing hormone (CRH) dari hipotalamus janin dan juga produksi

CRH dari plasenta. Hal ini akan meningkatkan kadar produksi adrenal janin

berupa peningkatan kortisol yang berhubungan dengan peningkatan kadar

prostaglandin11.

Gambar 2. Kolonisasi bakteri koriodesidua dapat menyebabkan persalinan

prematur11

8
2.6 Diagnosis

Tanda dan gejala klinis korioamnionitis meliputi11 :

1. Demam (suhu intrapartum > 100.4˚ F atau > 37,8˚ C)

2. Takikardia ibu (>120x/menit)

3. Takikardia janin (>160x/menit)

4. Cairan ketuban berbau atau tampak purulen

5. Uterus teraba tegang

6. Leukositosis ibu (leukosit 15.000-18.000 sel/mm3)

Bila terdapat dua dari enam gejala diatas ditemukan pada kehamilan, maka risiko

terjadinya neonatal sepsis meningkat.

Gibbs, dkk mengemukakan gejala dan tanda infeksi intrapartum yaitu suhu

ibu ≥ 37,8˚C dan 2 atau lebih dari kondisi dibawah ini: takikardia ibu (>100

x/menit), takikardia janin (>160 x/menit), nyeri uterus, cairan amnion berbau dan

leukositosis ibu (>15.000 sel/mm3).8

Korioamnionitis seringkali bukan suatu gejala akut, namun merupakan

suatu proses kronis dan tidak menunjukkan gejala sampai persalinan dimulai atau

terjadi ketuban pecah dini. Bahkan sampai setelah persalinan sekalipun pada

wanita yang terbukti memiliki korioamnionitis (melalui pemeriksaan histologis

atau kultur) dapat tidak ditemukan tanda klasik diatas selain tanda-tanda

prematuritas11.

Terdapat beberapa metode laboratorium lain yang diharapkan dapat

membantu penegakkan diagnosis, beberapa diantaranya seperti pemeriksaan

serum CRP (C-reative protein) maternal, pemeriksaan esterase leukosit cairan

amnion, dan deteksi asam organik bakterial dengan kromatografi gas-cairan.11

9
Peningkatan kadar CRP memiliki spesifisitas yang tinggi untuk diagnosis

korioamnionitis. Kadar CRP rata-rata pada kehamilan adalah 0,7-0,9 mg/dl.

Terdapat peningkatan sedikit selama persalinan.4,13

Pemeriksaan langsung dari cairan amnion dapat memberikan kriteria yang

lebih pasti dari korioamnionitis. Kombinasi pewarnaan Gram dan kultur dari hasil

amniosintesis merupakan metode diagnostik terbaik. 8

Hasil pemeriksaan mikroskopik yang menunjang diagnosis

korioamnionitis adalah ketika terlihat set leukosit mononuclear dan

polimonorfonuklear menginfiltrasi selaput korion. Sebelum 20 minggu hampir

semua sel leukosit polimorfonuklear adalah sel yang berasal dari ibu, sedangkan

selanjutnya merupakan respon inflamasi dari janin9.

Dari pemeriksaan-pemeriksaan diatas tidak satupun yang cukup sensitif

dan spesifik digunakan secara tersendiri terlepas dari gejala dan tanda klinis

untuk mendiagnosis korioamnionitis.

2.7 Tatalaksana

Wanita dengan korioamnionitis sebaiknya mendapat terapi antimikroba

dan janin dilahirkan tanpa memandang usia gestasi. 3,4 Mengingat bahwa

penyebabnya adalah polimikrobial, sebaiknya digunakan antibiotika intravena

berspektrum luas. Untuk sebagian besar kasus, cukup digunakan antibiotika

tunggal. Regimen intravena yang direkomendasikan termasuk cefoxitin (4x2gr),

cefotetan (2x2gr), piperasilin atau mezlocilin (4x3-4gr), ampisilin sulbaktam

(4x3gr), tikarsilin/klavulanat (4x3gr). Namun untuk kasus yang lebih serius

misalnya sepsis atau infeksi anaerob serius dengan adanya cairan amnion berbau

10
busuk, terapi kombinasi yang terdiri dari penisilin atau ampisilin, aminoglikosida

dan agen anaerob seperti klindamisin (3x900gr) sebaiknya digunakan.4 Dosis

ampisilin yang digunakan adalah 2 gr tiap 4 atau 6 jam, gentamisin 1,5mg/kg tiap

8 jam.14 Literatur lain menganjurkan pemberian gentamisin 5mg/kgBB/hari dosis

tunggal.2,15 Altematif lain pengganti terapi kombinasi adalah terapi tunggal

menggunakan imipenam/cilastatin (4x500gr), namun penggunaannya pada

kehamilan belum banyak diteliti.4

Antibiotika seharusnya diberikan secepatnya setelah diagnosis

korioamnionitis ditegakkan. Sebab dari penelitian telah dibuktikan bahwa

pemberian terapi intrapartum dibandingkan dengan postpartum akan menurunkan

kejadian sepsis & pneumonia neonatal dan morbiditas postpartum ibu. 4

Pemberian antibiotika sesegera mungkin (tanpa menunggu bayi lahir) memberi

dampak pada terapi antibiotika pada janin. Jika antibiotika diberikan intrapartum,

maka pemberian antibiotika untuk bayi diberikan terus menerus selama 7 hari.

Namun jika antibiotika ibu diberikan setelah kelahiran bayi, maka dapat diperiksa

kultur darah bayi dan antibiotika dapat dihentikan pada hari ke-3 jika kultur tidak

tumbuh.4

Persalinan sebaiknya pervaginam4. Jika persalinan tidak timbul spontan,

maka dilakukan induksi persalinan.2 Induksi persalinan dapat dilakukan dengan

medikamentosa dan dapat pula dengan cara mekanik. Pemberian medikamentosa

dilakukan dengan pemberian prostaglandin E2 ( Dinoproston ), prostaglandin E1

(Misoprostol) dan Oksitosin.

Persalinan perabdominam meningkatkan resiko demam postpartum akibat

infeksi (endometritis) pada ibu. Seksio sesarea sendiri meningkatkan resiko

11
endometritis dari 10% (pada persalinan pervaginam) menjadi 30%, dan

kejadiannya semakin meningkat dengan adanya korioamnionitis pada saat

dilakukan seksio.11 Terjadi peningkatan morbiditas ibu 5 kali lipat jika

dibandingkan dengan persalinan pervaginam. 3

Seksio sesarea dapat pula dipertimbangkan bila diperkirakan persalinan

belum selesai dalam interval 12 jam setelah diagnosis ditegakkan. Hal ini

didasarkan dari suatu penelitian yang mengemukakan tidak terdapatnya

peningkatan infeksi neonatus jika interval antar diagnosis dan persalinan kurang

dari 12 jam, namun peningkatan kejadian infeksi neonatus setelah interval 12 jam

belum dapat dipastikan. Sehingga, jika interval antara diagnosis dengan

persalinan diperkirakan lebih dari 12 jam, persalinan perabdominam bijaksana

untuk dipertimbangkan.4

Durasi pemberian antibiotika setelah persalinan belum dapat dipastikan.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu literatur menyarankan

pemberian terapi parenteral hingga 1-2 hari postpartum, tanpa tambahan

antibiotika oral sesudahnya.4

2.8 Komplikasi

2.8.1 Komplikasi Maternal

Korioamnionitis dapat meningkatkan 2-3 kali lipat persalinan secara

perabdominan dan 2-4 kali lipat terjadinya endomiometritis, infeksi perlukaan,

abses pelvik, bakteremia, dan post partum hemorragic. Peningkatan terjadinya

post partum hemorragic kelihatannya disebabkan oleh kontraksi uterus yang

disfungsional karena adanya inflamasi. 10% ibu dengan korioamnionitis memiliki

12
hasil kultur darah yang positif (bakteremia) sebagian besar oleh bakteri GBS dan

E.coli. Namun komplikasi lainnya seperti DIC, ARDS, septic shock, kematian

maternal jarang terjadi.8

2.8.2 Komplikasi Fetus

Paparan infeksi pada fetus dapat menimbulkan kematian fetus, sepsis

neonatus, dan beberapa komplikasi postnatal lainnya. Respon fetus terhadap

infeksi yang disebut Fetal Inflammatory Response Syndrome (FIRS) dapat

menyebabkan komplikasi berikut ini. FIRS merupakan kebalikan proses dari

Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS). Karena parameternya hampir

sama dengan SIRS, maka agak sulit membedakannya dengan yang terjadi pada

fetus, FIRS sebenarnya dapat dideteksi bila terjadi peningkatan IL-6 pada darah

umbilical (tali pusat) yang biasanya didapatkan pada persalinan preterm dan

PPROM namun kadang dapat muncul pada umur kehamilan aterm. Penunjuk

histopatologik dari FIRS adalah funisitis dan korionik vaskulitis. FIRS sekarang

dikenal sebagai representasi respon pertahanan fetus terhadap infeksi atau

mediasi perlukaan yang dapat melepas sitokin dan chemokines seperti

interleukins, TNF-alpha, C-reactive protein, dan matriks melloproteinases. FIRS

juga dihubungkan dengan persalinan preterm yang dapat menimbulkan kematian

dan berhubungan pada neonatus preterm dengan kegagalan multi organ, termasuk

penyakit paru kronis, leukomalasia periventrikular dan cerebral palsy. Meski

FIRS dapat ditimbulkan oleh inflamasi non infeksis, namun manifestasinya

biasanya lebih terlihat pada proses infeksi. Meski kontoversial, paparan fetus

pada mycoplasma genital ( U. Urealyticum dan M. Hominis) memiliki hubungan

dengan sindrom respon sistem inflamasi, pneumonia. 8

13
2.8.3 Komplikasi jangka panjang untuk neonatus

Neonatus yang terpapar oleh infeksi intrauterin dan inflamasi dapat

menampakkan efek advers saat atau segera setelah lahir. Efek advers yang

muncul termasuk kematian perinatal, asfiksi, sepsis neonatus dini, septic shock,

pneumonia, intraventrikular hemorrhagic (IVH), kerusakan serebral di white

matter, dan kelumpuhan jangka panjang termasuk cerebral palsy.8

2.9 Prognosis

Korioamnionitis mengakibatkan mortalitas perinatal yang signifikan,

terutama pada neonatus dengan berat lahir rendah. Secara umum terjadi

peningkatan 3-4 kali lipat kematian perinatal diantara neonatus dengan berat lahir

rendah yang dilahirkan oleh ibu dengan korioamnionitis.4 Selain itu terjadi juga

peningkatan kejadian respiratory distress syndrome (RDS), hemoragia

intraventrikular, dan sepsis neonatal.

Berlawanan dengan kejadian pada bayi dengan berat lahir rendah, di

negara maju neonatus cukup bulan yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis

dapat bertahan dengan baik. Hanya sedikit bahkan tidak terjadi peningkatan

mortalitas perinatal, risiko sepsis dan pneumonitis juga jarang terjadi pada

neonatus cukup bulan. Namun pada negara berkembang, dilaporkan pneumonia

kongenital akibat infeksi intraamnion merupakan salah satu penyebab tersering

kematian pada neonatus cukup bulan.4

Korioamnionitis jarang mengakibatkan mortalitas maternal, namun

merupakan penyebab signifikan terjadinya morbiditas maternal. Bakteremia

14
terjadi pada 2-5% kasus dan terjadi peningkatan kejadian infeksi postpartum. 4

Korioamnionitis intrapartum meningkatkan resiko infeksi purpuralis setelah

persalinan pervaginam menjadi 13%, dibandingkan dengan 6% jika tidak ada

korioamnionitis intrapartum.7

15
BAB 3

LAPORAN KASUS

1. Anamnesis :

a. Identitas :
Nama :
Umur :
Jenis kelamin :
Alamat :
Pendidikan :
Pekerjaan :

b. Keluhan utama :
Keluar air-air banyak dari kemaluan sejak

c. Riwayat penyakit sekarang :


- Keluar air-air banyak dari kemaluan sejak
- Air ketuban berwarna
- Keluar darah bercampur lendir ( )
- Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari ( )
- Demam ( )
- Nyeri saat buang air kecil ( )
- Tidak haid sejak

d. Riwayat Kehamilan/ Persalinan/ Nifas/ Ginekologi:


Pasien Kehamilan ke

e. Riwayat Penyakit Dahulu :


Tidak ada riwayat penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM, HT dan alergi
sebelumnya

16
f. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga dengan kelainan/penyakit keturunan, menular dan
kejiwaan

g. Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan & Kebiasaan


Pasien seorang Ibu Rumah Tangga

2. Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum : sedang
- Kesadaran : Compos mentis
- Tanda-tanda vital :
Tekanan darah:
Nadi:x/i
Pernapasan:x/i
Suhu:
- Kulit : Dalam Batas Normal
- Kelenjar Getah Bening : Dalam Batas Normal
- Kepala : Dalam Batas Normal
- Rambut : Dalam Batas Normal
- Mata : Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik
- Telinga : Dalam Batas Normal
- Hidung : Dalam Batas Normal
- Tenggorokan : Dalam Batas Normal
- Gigi dan Mulut : Dalam Batas Normal
- Leher : Dalam Batas Normal
- Dada :
Paru : - Inspeksi : Normochest, Pergerakan kanan = kiri
- Palpasi : Fremitus kanan = kiri
- Perkusi : Sonor kanan = kiri
- Auskultasi : Vesikuler kiri = kanan
Jantung : - Inspeksi : Normochest, Iktus Kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC 5

17
- Perkusi : Batas Jantung Normal
- Auskultasi : S1S2 Reguler, bising-, gallop-
- Punggung : Dalam Batas Normal
- Anggota Gerak : udem - , clubbing finger –
- Status Obstetri :
Wajah : Chloasma Gravidarum +
Mammae : Membesar, areola papilla mammae hiperpigmentasi +, pembesaran
kelenjar +,
Kolostrum –
Abdomen : Inspeksi : lesi-, scar-, kontur perut cembung, linea nigra+, striae
gravidarum +
Palpasi: Leopold 1: teraba massa tidak keras, tidak bulat, tidak
melenting
Leopold 2: teraba tahan terbesar disebelah kanan
Leopold 3: teraba massa keras, bulat, melenting,
terfiksir
Leopold 4: Konvergen
Auskultasi : DJJ: 143x/i
TFU : 29 cm

3. Pemeriksaan Penunjang
Hemoglobin : g/dl
Leukosit :
Trombosit :
Hematokrit : %

4. Diagnosis

5. Terapi atau rencana tindakan.


- Kontrol KU, VS, DJJ, HIS
- IVFD D5 20 tpm
- Dexamethasone 2 amp iu

18
- O2 5 Liter
- Siapkan SCTPP emergency

19
BAB 4
KESIMPULAN

Korioamnionitis atau infeksi intra uterin merupakan infeksi akut pada cairan

ketuban, janin dan selaput korioamnion yang disebabkan oleh bakteri. Bakteri

penyebabnya biasanya polimikrobial dan biasanya mencakup bakteri fakultatif

dan anaerob. Semua faktor yang meningkatkan risiko pajanan berkepanjangan

ketuban janin dan/atau rongga uterus terhadap mikroba dari vagina akan

meningkatkan risiko korioamnionitis. Periode ketuban pecah yang lama

merupakan faktor risiko yang paling tinggi peranannya dalam patogenesis

korioamnionitis. Makin lama jarak antara ketuban pecah dengan persalinan,

makin tinggi pula risiko morbiditas dan mortalitas ibu dan janin.

Korioamnionitis terjadi akibat infeksi asenden mikroorganisme dari serviks

dan vagina setelah terjadinya ketuban pecah dan persalinan. Korioamnionitis

seringkali bukan suatu gejala akut, namun merupakan suatu proses kronis dan

tidak menunjukkan gejala sampai persalinan dimulai atau terjadi ketuban pecah

dini. Bahkan sampai setelah persalinan sekalipun pada wanita yang terbukti

memiliki korioamnionitis (melalui pemeriksaan histologis atau kultur) dapat tidak

ditemukan tanda klasik diatas selain tanda-tanda prematuritas. Namun secara

umum gejala dan tanda infeksi intrapartum yaitu suhu ibu ≥ 37,8˚C dan 2 atau

lebih dari kondisi dibawah ini: takikardia ibu (>100 x/menit), takikardia janin

(>160 x/menit), nyeri uterus, cairan amnion berbau dan leukositosis ibu (>15.000

sel/mm3) .

20
Tatalaksana pada wanita dengan korioamnionitis biasanya dengan terapi

antimikroba dan janin dilahirkan tanpa memandang usia gestasi. Korioamnionitis

jarang mengakibatkan mortalitas maternal, namun merupakan penyebab

signifikan terjadinya morbiditas maternal.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Huleihel M, Golan H, Hallak M, et al. Intra uterine infection/inflammation


during pregnancy and offspring brain damage : Possible mechanisms
involved. Reproductive biology and endrocrinology. BioMed Central 2004.
http://www.rbej.com
2. Infeksi dalam persalinan. Dalam: Saifudin AB ed. Buku Acuan Nasional
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2001: 255-8
3. Abnormalitis of the placenta, umbilical cord and membranes. In:
Cunningham FG, Gant NE, Leveno KJ, Bloom SL, et al eds. Williams
Obstetrics. 22nd ed. New York: McGraw Hill; 2005: 625
4. Gravett NG, Sampson JE. Other infectious conditions. In: James DK, Steer
PJ, Weiner CP, et al. High Risk Pregnancy Management Options. London:
WB Saunders Co Ltd ; 1996: 513-5
5. Leveno KJ et al. Korioamnionitis. Williams Manual of Obstetrics, 21 st ed
Boston McGraw-Hill. 2003
6. Sherman MP, Otsuki K. Maternal Korioamnionitis. E-Medicine 2003.
http://www.emedicine.com/specialties/neonatology.
7. Pueperal infection. In: Cunningham FG, Gant NE, Leveno KJ, Bloom SL, et
al eds Williams Obstetrics. 22nd ed. New York: McGraw Hill; 2005: 712
8. Tita, Alan T.N. Diagnosis and Management of Korioamnionitis.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3008318/
9. Newton, Edward R. Chorioammnionitis and Intraamniotic Infection. Clinical
Obstetrics and Gynecology Vol 36, Number 4. Lippincot Co. 1993; 795-808
10. Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW. Intrauterine infection and preterm
delivery. New England Journal Of Medicine. 2000. http://www.nejm org
11. Gibbs RS, Sweet RL, DufF WP. Maternal and Fetal Infectious Disorder. In :
Creasy RK, Resnik R, eds. Matemal-Fetal Medicine. 5th ed. Philladelphia :
WB Saunders. 2004: pp 741-99

22
12. Sumber: Fahey JO. Clinical management of intra-amniotic infection and
korioamnionitis: a review of literature. J Midwifery Womens
Health. 2008;53(3):227-235.
13. Arias F. Premature Rupture of Membrane. Practical Guide to: High Risk
Pregnancy and Delivery, 2 nd ed. St Louis: Mosby Year Book; 1993: 100-113
14. Gardner K. Emergency delivery, preterm labor and postpartum hemorrage. In:
Pearlman MD, Tintinalli JE, Dyne PL. Obstetric & Gynecologic
Emergencies Diagnosis & Management. New York: McGraw-Hill; 2004:
320
15. Ketuban pecah dini. Dalam: Saifuddin AB ed. Buku Panduan Praktis
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohadjo: M-115

23

Anda mungkin juga menyukai