Anda di halaman 1dari 6

1.

Sejarah media cetak di indonesia


Media cetak merupakan salah satu bentuk media massa yang sudah ada sejak lebih dari
200 tahun yang lalu. Media cetak pertama kali diterbitkan di Eropa pada abad ke 70. Di Indonesia
media cetak berkembang dan menjadi bagian dari masyarakat. Media massa terdiri dari tiga bagian
utama, yaitu media cetak atau media visual, media audio, dan juga media audio visual. Media
yang pertama kali digunakan untuk menyampaikan pesan komunikasi ke masyarakat adalah media
cetak seperti surat kabar (koran), majalah, brosur dan lain sebagainya. Media cetak di Indonesia,
semenjak reformasi, terdapat 1.500 media cetak (data Juli 1999), baik itu surat kabar maupun
majalah. Sekitar 70 % dari media cetak terbit di Jakarta, dan sisanya tersebar di seluruh daerah
dari Sabang sampai merauke (Aceng Abdullah, 2000:10). Sejak pertengahan 80-an, kualitas
media cetak kita makin membaik, baik dari sudut tiras, perwajahan, maupun kualitas isinya. Media
cetak kita pun semakin beragam dan spesifik sehingga semakin memudahkan para praktis public
relations untuk mempertajam mitra kerjanya dan gampang menentukan pemilihan media. Saat itu
media cetak yang terbit, misalnya media cetak khusus untuk wanita, baik itu majalah maupun
tabloid, misalnya Kartini dan Femina. Spesifikasi ini merambah pula pada bidang hiburan,
olahraga, anak-anak, remaja, politik, ekonomi, budaya, hukum, otomotif, agama dan kesehatan.
Dengan dukungan permodalan dan manajemen yang baik, kini semakin banyak wartawan yang
tampil baik, latar belakang pendidikan mereka banyak yang lulusan S.1 dan S.2, karena itulah,
media massa kita semakin berkualitas.[1]
Surat kabar merupakan media massa yang paling tua dibandingkan dengan media massa
lainnya. Sejarah mencatat keberadaan surat kabar dimulai sejak ditemukannya mesin cetak oleh
Johann Gutenberk di Jerman. Sedangkan kebaradaan surat kabar di Indonesia ditandai dengan
perjalanan panjang melalui lima periode yakni masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang,
menjelang kemerdekaan, dan awal kemerdekaan.[2]
2. Peran media konvensional di Indonesia
Menurut Serjono Soekanto (1990:269) peran adalah aspek dinamis kedudukan (status).
peran lebih banyak menunjuk pada fungsi penyesuaian diri dan sebagai suatu prose. Peran media
sebagai sumber informasi bagi khalayak.
Dalam menjalankan paradigmanya media massa berperan:
 Sebagai institusi pencerahan masyarakat, yaitu perannya sebagai media edukasi.
Media massa menjadi media yang setiap saat mendidik masyarakat supaya cerdas,
terbuka pikirannya, dan menjadi masyarakat yang maju.
 Selain itu media massa juga menjadi media informasi, yaitu media yang setiap saat
menyampaikan informasi kepada masyarakat. Dengan informasi yang terbuka dan
jujur dan benar disampaikan media massa kepada masyarakat, maka masyarakat
akan menjadi masyarakat yang kaya dengan informasi, sebaliknya pula masyarakat
akan menjadi masyarakat yang informatif masyarakat yang dapat menyampaikan
informasi yang jujur kepada madia massa. Selain itu, informasi yang banyak
dimiliki oleh masyarakat, menjadikan masyarakat sebagai masyarakat dunia yang
dapat berpartisipasi dengan berbagai kemampuannya.
 Terakhir media massa sebagai media hiburan. Sebagai Agent Of Change, media
massa juga menjadikan institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi
corong kebudayaan,katalisator perkembangan budaya. Sebagai Agent Of Change
yang dimaksud adalah juga mendorong agar perkembangan budaya itu dapat
bermanfaat bagi manusia bermoral dan masyarakat sakinah, dengan demikian
media massa juga berperan untuk mencegah berkembangnya budaya-budaya yang
justru merusak peradaban manusia dan masyarakatnya.[3]
3. Media Konvensional Di Era Modern
Fenomena pengaruh internet pada media cetak tsb tidak bisa dicegah, dan sedapat mungkin
bersinergi dengan format internet. Walaupun internet dapat meningkatkan risiko informasi,
aksesibilitas yang bebas, interaktivitas, globalitas, konektivitas komunikasi personal, ekonomis
dan politik, serta hilangnya kontrol jurnalistik atas pasar informasi. Namun, dengan edisi online
internet mampu menjangkau jumlah pengunjung situs yang lebih besar. Sejauh pengamatan
penulis, sinergi media cetak dengan internet memperkuat penentuan diri khalayak dalam hal
informasi dan membuat mereka lebih bebas dari media konvensional. Internet sebagai media
teknologi baru juga mempengaruhi transformasi jurnalisme secara fundamental (Pavlik, 2001).
Seperti serba berita (ubiquitous news), akses informasi global, peliputan saat itu juga
(instantaneous reporting), interaktif, wujud isi aneka media (multimedia content), serta
penyediaan isi yang luar biasa spesifik (extreme content customization).[4]

a. Televisi: Media yang paling berpengaruh


Sejak pertama kali ditemukan oleh Paul Gottlieb Nipkow, seorang mahasiswa 23
tahun dari Jerman pada tahun 1884, televisi telah berkembang secara luas baik
sebagai teknologi maupun sebagai sektor media. Tidak diragukan lagi, penyiaran
televisi telah memainkan peran penting dalam dinamika masyarakat di abad 20 dan
21. Dari sisi bisnis, kanal televisi merupakan pembeli-iklan terbesar dan
mendominasi share periklanan. Di Indonesia, belanja iklan televisi tetap lebih
tinggi dibanding sektor media lain (61%) (Nielsen, 2011a).
b. Pers dibagi menjadi dua yaitu pers cetak dan pers elektronik, salah satu pers
elektronik di Indonesia adalah Radio. Radio merupakan salah satu bentuk media
massa yang banyak digunakan masyarakat untuk mengakses informasi. Radio
pertama kali ditemukan oleh Marconi pada tahun 1896. Pada awalnya radio
berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan informasi dan berita ataupun untuk
kepentingan kenegaraan secara umum. Radio publik atau komersil baru muncul
pada tahun 1920-an (Masduki, 2006:2). Sejak tahun itu perkembangan radio
berkembang pesat. Radio merupakan sumber informasi yang kompleks mulai dari
fungsi tradisional, radio sebagai penyampai berita dan informasi, perkembangan
ekonomi, pendongkrak popularitas, hingga propaganda politik dan ideologi sistem
komunikasi radio adalah sistem komunikasi yang tidak menggunakan kawat dalam
proses perambatannya, melainkan menggunakan udara atau ruang angkasa sebagai
bahan penghantar.[5] Kenyataan bahwa radio dan televisi termasuk dalam lingkup
pers jika diadakan jumpa pers (press conference), maka yang meliput berita dalam
pertemuan itu bukan hanya wartawan surat kabar, majalah dan kantor berita,
melainkan juga wartawan-wartawan televisi dan radio. Ini karena dalam radio dan
televisi juga terdapat kegiatan jurnalistik yang hasilnya berbentuk berita seperti
yang dimuat dalam surat kabar (Onong Uchjana effendi, 2009:145).[5] Radio
komunitas telah diakui sebagai institusi penyiaran yang legal di dalam UU
Penyiaran no. 32/2002. Dengan pengakuan ini, diharapkan pemerintah akan terus
mendukung radio komunitas yang, seperti yang telah kita lihat, telah menjadi
bagian penting di dan untuk komunitas di mana ia berada. Terlepas dari masalah
perijinan, penetapan Peraturan Pemerintah (PP) no. 51/2005 tentang Lembaga
Penyiaran Komunitas membawa harapan untuk membangkitkan pertumbuhan
radio komunitas. Sayangnya, ini hanya harapan yang tak nyata. Peraturan tersebut
yang berisi batasan-batasan yang cenderung mempersulit pembentukan komunitas
penyiaran. Contohnya, peraturan tersebut membatasi jangkauan siarnya hanya
sampai 2,5 km, di mana ini hanya relevan di daerah yang padat penduduk seperti
di Jawa dan Bali. Terlebih lagi, radius ini dibatasi lagi dengan Effective Radiated
Power (ERP) maksimum 50 Watt saja. Menurut PP ini, radio komunitas tidak
boleh melakukan penggalangan dana dengan cara menerima program-program
iklan, atau menjadi bagian dari lembaga berbasis keuntungan. Semua sumber
pendanaan radio komunitas hanya dapat diperoleh melalui hibah, sponsor dan
sumber-sumber lainnya yang tidak mengikat. Namun, peraturan yang sama
mewajibkan radio komunitas untuk membayar biaya ijin penyiaran dan
penggunaan frekuensi. Puncak dari pembatasan ini adalah, adanya pengawasan
dari Kementerian Komunikasi dan Informasi terhadap seluruh proses pengajuan
ijin penyiaran.[6]
c. ketika jumlah pembaca media cetak mengalami penuruhan, perusahaan-
perusahaan media cetak harus beradaptasi dengan teknologi baru jika tidak mau
bisnis mereka berakhir. Strategi lain untuk membuat sirkulasi tetap hidup adalah
dengan memasukkan isu-isu arus utama yang juga diberitakan oleh media lain. Hal
ini tentu mengancam keberagaman konten dan informasi di media cetak, terlepas
dari keberagaman kepemilikan di dalam media cetak. Bisnis media cetak harus
memiliki strategi-strategi baru dan harus melakukan inovasi agar dapat tetap
bertahan. Sinergi antara media cetak dan media online perlu dibangun untuk
menjaga agar bisnis media cetak tetap berjalan. Satu cara yang dapat dilakukan
adalah dengan menyediakan penggalan berita atau teaser news di media online,
sementara berita selengkapnya hanya dapat dibaca pada media cetak.
Dibandingkan media online, media cetak membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk menjangkau pembacanya, tetapi media cetak dapat memberikan wawasan
yang lebih mendalam pada isu-isu tersebut. Kekuatan media cetak terletak pada
prinsip akurasi dan verifikasi yang mereka pegang. Prinsip-prinsip dasar
jurnalisme ini tidak terlalu umum di media online, mungkin karena media online
memprioritaskan perkembangan berita secara real time dibandingkan verifikasi
maupun kesahihannya. Terlebih lagi, dengan informasi yang melimpah di Internet,
media cetak membantu publik untuk ‘menyaring’ apa yang penting dan apa yang
tidak – terlepas dari subjektifitasnya.[5]
media cetak, terutama surat kabar, merupakan alat penting bagi kekuasaan. Banyak
pemilik media menyadari hal ini dan mereka tidak akan membiarkan bisnis ini
berakhir begitu saja. Hal ini menyiratkan bahwa media cetak, khususnya surat
kabar, akan tetap bertahan di tengah gempuran perkembangan teknologi media
karena media cetak merupakan senjata politik dari pemiliknya.[5]
4. Pengaruh Media Online Terhadap Media Konvensional

Hal ini lah yang dapat menunjukan bahwa secara tidak langsung ada persaingan yang
sangat ketat antara jurnalisme online dan surat kabar. Selain itu jurnalisme online lebih dipilih
oleh masyarakat karena memiliki keunggulan lebih murah, langsung, cepat, dan dapat berinteraksi
langsung dengan masyarakat dan juga memiliki fitur multimedia, dan media online
menyampaikan berita secara cepat dan singkat.

Dengan pergeseran generasi masyarakat dan perubahan gaya hidup tersebut maka media
cetak semakin terancam kedudukannya dalam menyediakan informasi. Hal sederhana yang dapat
membuat media online menjadi ancaman bagi surat kabar yaitu pada jumblah pembaca surat kabar
yang makin hari makin menurun. Selain itu sifat jurnalisme online yang selalu up-to-date tiap saat
dengan bebagai informasinya, yang kapan pun dan di mana pun masyarakat dapat langsung
mengaksesnya melalui handphone, smarth phone, atau gadgetnya yang saat ini bukan menjadi
barang mahal lagi.

Perubahan gaya hidup ini di dukung dengan hasil survei yang dilakukan oleh Pew Project
For Excellence in Journalism tahun 2010. Dimana 34% responden membaca berita secara online
dalam 1 x 24 jam (31% memilih membaca melalui surat kabar) dan secara keseluruhan waktu,
41% membaca melalui media online dan 10% membaca melalui surat kabar. Generasi usia 18 –
29 tahun, 65% menyatakan sumber utama berita mereka adalah internet.

Kehadiran media online merupakan hal yang positif bagi perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi. Namun hal yang perlu dicermati dari hasil survei ini adalah bagaimana
industri surat kabar dapat melakukan suatu hal yang mampu mempengaruhi generasi usia 18-29
tahun ini untuk membaca surat kabar.

Pada awalnya media online hanya memindahkan isi beritanya yang ada di surat kabar ke
media internet dan tidak ada perbedaan sama sekali antara berita versi online dan cetak.
Munculnya portal media online dari beberapa surat kabar ini, secara tidak langsung menunjukan
bahwa dunia surat kabar telah menyadari bahwa mereka perlu melakukan inovasi-inovasi dan
mengikuti perkembangan yang ada saat ini. Melakukan penyesuaian dan mengikuti
perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat ini perlu dilakukan.

Secara keseluruhan penyajian berita pada media online dan media konvensional dapat
saling melengkapi. Media online dan media konvensional dikatakan saling melengkapi karena
ketika suatu berita di tulis secara singkat dan tidak mendalam di media online, kemungkinan besar
orang akan mencari sumber berita lain untuk melengkapi berita yang dirasa belum mendalam pada
media online. Sama halnya seperti media cetak, ketika berita yang di sajikan hanya berupa tulisan
atau kalimat-kalimat dan gambar saja, pembaca dapat dengan mudah melihat video terkait suatu
berita di media online dari media cetak yang di bacanya.[7]

Anda mungkin juga menyukai