Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia terletak di daerah pertemuan lempeng-lempeng tektonik yang


mengakibatkan indonesia berada di jalur gempa, patahan-patahan yang berakibat
seringnya terjadi gempa. Selain itu Indonesia juga memiliki banyak sekali gunung
berapi yang aktif, tercatat ada sekitar 140 gunung berapi yang masih aktif di
Indonesia. Salah satu gunung yang paling aktif din Indonesia adalah gunug
merapi.

Gunug merapi memiliki ketinggian sekitar 2930 mdpl, gunung ini terletak
di bagian tengah jawa yang merupakan gunung api teraktif di Jawa dan bahkan
Indonesia. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa
Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, kabupaten Boyolali di sisi utara
dan timur, serta kabupaten Klaten di sisi tenggara. Kawsan hutan di sekitar
puncaknya menjadi Taman Nasional Gunung Merpi sejak tahun 2004. Gunung ini
sangat berbahaya karena menurut catatan modern mengalami erupsi (puncak
keaktifan) setiap dua sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh permukiman
yang sangat padat. Sejak tahun 1548, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali.
Kota Magelang dan Kota Yogyakarta adalah kota besar terdekat, berjarak di
bawah 30 km dari puncaknya. Di lerengnya masih terdapat permukiman sampai
ketinggian 1700 m dan hanya berjarak empat kilometer dari puncak. Oleh karena
tingkat kepentingannya ini, Merapi menjadi salah satu dari enam belas gunung api
dunia yang termasuk dalam proyek Gunung Api Dekade Ini.

Sebagai gunug yag aktif, gunung merapi tentunya memiliki potensi yang
bahay yang sewaktu-waku dapat mengancam keselamatan masyarakat di sekitar
apabila sedang mengalami erupsi. Terlebih lereng gunung Merapi merupakan
wilayah yang padat penduduk. Beberapa kecamatan di kabupaten Sleman yang
berada di lereng merapi adalah Cangkringan, Pakem, Turi, Tempel, dan
Ngemplak sehingga daerah tersebut menjadi daerah dengan resiko bencan erupsi
yang tinggi.

Bahaya utama yang mengancam sekitar wilayah Merapia adalah aliran


awan panas (piroclastic flows), lontaran batu (pijar), hujan abu lebat, lelehan lava
(lava flow) dan gas beracun disamping bahaya sekunder banjir lahar dingin yang
dapat terjadi pada musim penghujan (Nurjannah, dkk, 2011). Letusan terbesar
ataupun erupsi terbesar yang terjadi akhir-akhir ini adalah letusan Merapi pada
Oktober- November 2010. Hal inilah yang akan menjadi sasaran objek pembuatan
paper oleh penulis.

1
1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan maklah ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui bagaimana penanganan yang dilakukan pada saat terjadinya


bencana (tahap tanggap darurat).
2. Mengetahui bagaimana tindakan yang dilakukan untuk mengatasi dampak
bencana pada saat pasca bencana.
3. Apa yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi bencana dalam hal
mitigasi struktural dan mitigasi non struktural.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bencana Letusan Gunung Merapi Oktober- November 2010

Menurut Laporan Tanggap Darurat Erupsi Tahun 2010 Kabupaten


Sleman, siklus erupsi Gunung Merapi adalah setiap 2-7 tahun sekali. Saat
mengalami aktivitas erupsi, arah letusan Gunung Merapi selau berubah-ubah
karena terjadinya perubahan bentuk puncak yang disebabkan oleh aktivitas erupsi
gunung Merapi. Salah satu letusan terbesar Merapi yang baru-baru ini terjadi
adalah letusan Merapi pada Oktober- November 2010. Pada saat itu, dampak dari
letusan Merapi sangat besar. Aliran awan panas menyapu daerah yang berada di
lereng Merapi Sapuan awan panas tersebut juga menimbulkan korban baik
meninggal ataupun luka-luka. Selain awan panas, pada saat itu Merapi juga
mengeluarkan aliran lahar dingin berjumlah 150 juta m3 dan 35% dari jumlah
tersebut masuk ke Kali Gendol dan sisanya masuk ke sungai lainnya yang berhulu
di Gunung Merapi (Sumber: http://www.vsi.esdm.go.id/index.php
/gunungapi/data-dasar-gunungapi/542-gMerapi? start=1).

Korban bencana akibat letusan Gunung Merapi meliputi korban


meninggal, korban luka, dan pengungsi. Jumlah korban akibat bencana Merapi
2010 adalah 346 korban meninggal, 5 korban hilang, 121 korban luka berat.
Korban meninggal berdasarkan fase erupsi pertama yaitu 26 Oktober – 4
November 2010 adalah 40 orang dan pada fase erupsi kedua yaitu 5 November –
23 Mei 2011 berjumlah 306 orang. Penyebab korban jiwa tersebut 186
diantaranya karena luka bakar dan 160 lainnya non luka bakar (Sumber: Laporan
Tanggap Darurat Erupsi Tahun 2010 Kabupaten Sleman). Selain menimbulkan
dampak korban jiwa dan luka-luka, erupsi Merapi juga menyebabkan kerugian
yang sangat besar pada sektor perekonomian. Sebagian besar mata pencaharian
penduduk di lereng Gunung Merapi adalah petani dan peternak. Dari kejadian
erupsi pada 2010 lalu saja tercatat 3.361 hewan ternak mati. Saat terjadinya
erupsi, banyak warga yang sudah mengungsi kembali lagi ke desa asal untuk
mengurus ternaknya yang masih berada didalam kawasan rawan bencana saat
merapi masih dalam status Awas. Kurangnya kesadaran akan resiko bahaya ini
tentunya sangat mengancam keselamatan mereka apabila sewaktu-waktu Merapi
mengeluarkan material erupsi.

Erupsi Gunung Merapi juga menimbulkan kerugian material yang tidak


sedikit. Kerusakan dan kerugian akibat erupsi Merapi dibagi dalam lima sektor
yaitu: pemukiman, infrastruktur, sosial, ekonomi dan lintas sektor. Total perkiraan

3
kerusakan dan kerugian akibat erupsi Gunung Merapi di Kabupaten Sleman
adalah sebesar Rp. 5,405 trilyun yang terdiri dari : nilai kerusakan sebesar
894,357 milyar rupiah serta nilai kerugian sebesar, 4,511 trilyun (Sumber:
Laporan Tanggap Darurat Erupsi Tahun 2010 Kabupaten Sleman). Berdasarkan
peta daera rawan bencana erupsi Merapi yang dikeluarkan Balai Penyelidikan dan
Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, ada 31 dusun di
Kecamatan Cangkringan dan Kecamatan Ngemplak, Sleman, yang termasuk
dalam daerah rawan. 31 dusun tersebut dikategorikan dalam daerah rawan
bencana I hingga III. Daerah rawan bencana III artinya terancam langsung awan
panas meski dalam letusan normal, daerah rawan bencana II adalah jika terjadi
letusan besar dan muncul hujan abu lebat, sedangkan untuk kawasan bencana I
jika muncul ancaman lahar. (Sumber:
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/200726--tak-hanya-8--31dusunlereng-
Merapi-rawan-)

Delapan dusun yang ada di dua desa di Kecamatan Cangkringan, Sleman,


termasuk ke dalam daerah rawan bencana III yang artinya rawan terkena dampak
primer langsung yaitu tersapu awan panas meskipun dalam letusan normal.
Dusun-dusun tersebut direkomendasikan untuk tidak dijadikan tempat tinggal lagi
tetapi lahannya masih dapat dimanfaatkan. Delapan dusun itu adalah Dusun
Kinahrejo, Ngrangkah dan Pangukrejo di Desa Umbulharjo, dan Dusun Petung,
Kaliadem, Jambu, Kopeng, Kalitengah Lor di Desa Glagaharjo. Selain lokasi
tersebut, lokasi lain yang direkomendasikan untuk tidak dijadikan tempat tinggal
adalah dusun-dusun yang berada di sekitar aliran awan panas yang melalui Kali
Gendol sepanjang 15 kilometer. Jarak minimal yang direkomendasikan di
bantaran sungai adalah 300 meter karena jarak tersebutlah yang dinilai aman.
(Sumber:http://nasional.news.viva.co.id/news/read/199529-dusun-mbah-maridjan-
tak-bolehdihuni-lagi).

2.2 Pengertian Tahap Tanggap Darurat

Tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan


segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang
ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta
benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Tahapan keadaan darurat
bencana meliputi Siaga Darurat, Tanggap Darurat dan Transisi ke Pemulihan.
Sistem Komando Tanggap Darurat Bencana adalah suatu standar
penanganan darurat bencana yang mengintegrasikan pengerahan fasilitas,
peralatan, personil, prosedur dan komunikasi dlm suatu struktur organisasi.

4
Komando tanggap darurat bencana adalah organisasi penanganan tanggap
darurat bencana yang dipimpin oleh seorang Komandan dan dibantu oleh staf
komando dan staf umum, memiliki struktur organisasi standar yang menganut
satu komando dengan mata rantai dan garis komando yang jelas.
Staf Komando adalah pembantu Komandan Tanggap Darurat Bencana
(KTDB) dalam menjalankan tugas kesekretariatan, hubungan masyarakat,
perwakilan instansi/lembaga serta keselamatan dan keamanan.
Staf Umum adalah pembantu KTDB dalam menjalankan fungsi utama
komando untuk bidang operasi, bidang perencanaan, bidang logistik dan bidang
peralatan serta bidang administrasi keuangan untuk penanganan tanggap darurat
Dalam masa tanggap darurat ini dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai
berikut (1) Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan dan
sumber daya, (2) Penentuan status keadaan darurat bencana, (3) Penyelamatan dan
evakuasi masyarakat yang terkena bencana, (4) Pemenuhan kebutuhan dasar, (5)
Perlindungan terhadap kelompok rentan, dan (6) Pemulihan dengan segera
prasarana dan sarana vital.
Hal-hal yang terkait dengan tanggap darurat meliputi kemudahan akses
dalam pengerahan SDM, peralatan dan logistik; kemudahan akses berupa
komando dan sistem komando; pos komando tanggap darurat; pos komando
lapangan tanggap darurat; dan penyusunan rencana operasi tanggap darurat.
Penyelenggaraan Komando Tanggap Darurat meliputi (1) Rencana
operasi, (2) Permintaan sumberdaya, (3) Pengerahan sumberdaya, dan (4)
Pengakhiran. Pelaksanaan ini didukung dengan fasilitas komando posko (tanggap
darurat dan lapangan), personil, gudang, sarana dan prasarana, transportasi,
peralatan, alat komunikasi, serta informasi bencana dan dampaknya. Rencana
operasi merupakan perencanaan dengan rencana tindakan menjadi acuan bagi
setiap unsur pelaksana komando. Permintaan sumberdaya dilakukan oleh
Komandan dengan mengajukan permintaan sumberdaya kepada Kepala
BPBD/BNPB. Selanjutnya Kepala BPBD/BNPB meminta dukungan sumberdaya
kepada instansi/lembaga terkait upaya PB. Instansi/lembaga wajib segera
memobilisasi sumberdaya ke lokasi bencana.

Pengerahan sumberdaya dilakukan melalui pengiriman didampingi


personil instansi/lembaga dan penyerahannya dilengkapi dengan administrasi
sesuai dengan ketentuan berlaku. Dalam hal ini BNPB/BPBD
mendukung mobilisasi sumber daya. Untuk pengakhiran dilakukan oleh Kepala
BNPB/BPBD dengan membuat rencana pengakhiran dengan Surat Perintah
(SPRINT) Pengkahiran. Selanjutnya Komando Tanggap Darurat Bencana
dibubarkan sesuai waktu dengan SK Pembubaran.

5
Proses tanggap darurat dinyatakan selesai dengan adanya pernyataan resmi
Gubernur/Bupati/Walikota. Dengan selesainya tanggap darurat maka fungsi Pos
Komando Tanggap Darurat kembali ke Pusdalops, dan tugas Incident
Commander (IC) menjadi selesai, serta semua sumberdaya kembali ke posisi
semula/sumbernya. Tahap upaya PB selanjutnya adalah masuk ke dalam masa
transisi ke proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana, serta
kehidupan/kegiatan sosial-ekonomi masyarakat sudah mulai berjalan.
Dalam setiap kegiatan mesti ada evaluasi dan pelaporan. Komandan
Tanggap Darurat Bencana melakukan rapat evaluasi setiap hari dan membuat
rencana kegiatan hari selanjutnya. Hasil evaluasi menjadi bahan laporan harian
kepada Kepala BNPB/BPBD dengan tembusan kepada Pimpinan
Instansi/Lembaga terkait. Untuk pelaporan dilakukan dengan mekanisme sebagai
berikut (1) Instansi/lembaga/organisasi terkait dalam penanganan darurat bencana
wajib melaporkan kepada Kepala BNPB/BPBD sesuai kewenangannya dengan
tembusan kepada Komandan Tanggap Darurat Bencana, (2) Pelaporan meliputi
pelaksanaan Komando Tanggap Darurat Bencana, jumlah/kekuatan sumberdaya
manusia, jenis dan jumlah peralatan/logistik, serta sumberdaya lainnya termasuk
sistem distribusinya secara tertib dan akuntabel, (3) Komandan Tanggap Darurat
Bencana sesuai tingkat kewenangannya mengirimkan laporan harian, laporan
khusus, dan laporan insidentil pelaksanaan operasi tanggap darurat bencana
kepada Kepala BNPB/BPBD dengan tembusan kepada instansi/
lembaga/organisasi terkait, dan (4) Kepala BPBD melaporkan kepada
Bupati/Walikota/Gubernur dan Kepala BNPB, Kepala BNPB melaporkan kepada
Presiden.

2.3 Menajemen Bencana

Banyaknya peristiwa bencana yang terjadi di Indonesia yang menimbulkan


banyak korban jiwa dan harta benda. Dapat kita sadari bahwa manajemen bencana
di negara kita ini masih kurang baik dari yang kita harapkan, selama yang kita
tahu manajemen hanya datang sewaktu-waktu saja padahal kita berada pada
wilayah yang rawan terhadap bencana. Manajemen bencana merupakan kegiatan-
kegiatan yang dilakukan untuk mengendalikan bencana dan keadaan darurat,
sekaligus memberikan kerangka kerja untuk menolong masyarakat dalam keadaan
beresiko tinggi agar dapat menghindari ataupun pulih dari dampak bencana.

Adapun tujuan dari dibuatnya manajemen bencana antara lain (1)


Mengurangi atau menghindari kerugian secara fisik, ekonomi maupun jiwa yang
dialami oleh perorangan, masyarakat negara; (2) Mengurangi penderitaan korban
bencana; (3) Mempercepat pemulihan; (4) Memberikan perlindungan kepada
pengungsi atau masyarakat yang kehilangan tempat ketika kehidupannya
terancam.

6
Secara umum kegiatan manajemen bencana dibagi kedalam tiga kegiatan
utama, yaitu:
1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, dan peringatan dini.
2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat
untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan Search and
rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian.
3. Kegiatan pasca bencan yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi,
dan rekonstruksi.

Kegiatan pada tahap pra bencana selama ini banyak dilupakan. Padahal
justru kegiatan pada tahap pra bencana ini sangatlah penting karena apa yang
sudah dipersiapkan pada tahap ini merupakan modal dalam menghadapi bencana
dan pasca bencana. Sedikit sekali pemerintah bersama masyarakat maupun swasta
memikirkan tentang langkah-langkah atau kegiatan-kegiatan apa yang perlu
dilakukan didalam menghadapi bencana atau bagaimana memperkecil dampak
bencana.

Kegiatan saat terjadi bencana yang dilakukan segera pada saat kejadian
bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupaya
penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian, akan
mendapatkan perhatian penuh baik dari pemerintah bersama maupun
masyarakatnya. Pada saat terjadinya bencana biasanya begitu banyak pihak yang
menaruh perhatian dan mengulurkan tangan memberikan bantuan tenaga, moril
maupun material. Banyaknya bantuan yang datang sebenarnya merupakan sebuah
keuntungan yang harus dikelola dengan baik, agar setiap bantuan yang masuk
dapat tepat guna, tepat sasaran, tepat manfaat, dan terjadi efisiensi.

Kegiatan pada tahap pasca bencana, terjadi proses perbaikan kondisi


kondisi masyarakat yang terkena bencana, dengan memfungsikan kembali
prasarana dan sarana pada keadaan semula. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan
adalah bahwa rehabilitasi dan reskonstruksi yang akan dilaksanakan harus
memenuhi kaidah-kaidah kebencanaan serta tidak hanya melakukan rehabilitasi
fisik saja, tetapi juga perlu diperhatikan juga rehabilitasi psikis yang terjadi seperti
ketakutan, trauma atau depresi.

2.4 Pengertian Mitigasi Bencana

Mitigasi didefinisikan sebagai tindakan yang diambil sebelum bencana


terjadi dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan dampak bencana
terhadap masyarakat dan lingkungan (King dalam Kusumasari, 2014:22). Tujuan
mitigasi adalah pengurangan kemungkinan resiko, pengurangan konsekuensi

7
resiko, menghindari resiko, penerimaan resiko, serta transfer, pembagian, atau
penyebarluasan resiko (Kusumasari, 2014:22).

Ada dua jenis mitigasi, yaitu struktural dan non struktural. Mitigasi
struktural didefinisikan sebagai usaha pengurangan resiko yang dilakukan melalui
pembangunan atau perubahan fisik melalui penerapan solusi yang dirancang.
Mitigasi non struktural meliputi pengurangan kemungkinan atau konsekuensi
resiko melalui modifikasi proses-proses perilaku manusia atau alam, tanpa
membutuhkan penggunaan struktur yang dirancang (Kusumasari, 2014:23).

2.5 Pengertian Mitigasi Gunung Berapi

Gunung berapi atau gunung api adalah bentuk timbunan (kerucut dan
lainnya) dipermukaan bumi yang dibangun oleh tibunan rempah letusan, atau
tempat munculnya batuan lelehan atau magma/rempah lepas/gas yang berasal dari
dalam bumi (Nurjanah dkk, 2012: 30). Dalam buku Manajemen Bencana
disebutkan upaya-upaya mitigasi bencana gunung berapi, yaitu:

a. Pemantauan, aktivitas gunung api dipantau selama 24 jam menggunakan


alat pencatat gempa (seismograf).

b. Tanggap Darurat, yaitu mengevaluasi laporan dan data, membentuk tim


Tanggap Darurat, mengirimkan tim ke lokasi, melakukan pemeriksaan
secara terpadu.

c. Pemetaan, Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung berapi dapat


menjelaskan jenis dan sifat bahaya gunung berapi, daerah rawan bencana,
arah penyelamatan diri, lokasi pengungsian, dan pos penanggulangan
bencana.

d. Penyelidikan gunung berapi menggunakan metoda Geologi, Geofisika,


dan Geokimia.

e. Sosialisasi, petugas melakukan sosialisasi kepada Pemerintah Daerah serta


masyarakat terutama yang tinggal di sekitar gunung berapi.

8
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pembahasan

3.1.1 Mitigasi Struktural

Dalam pelaksanaan mitigasi struktural, BPBD Sleman melakukan


pembangunan rumah sesuai standar kawasan rawan bencana yang bekerjasama
dengan Tim REKOMPAK dibawah koordinasi Dirjen Cipta Karya Kementrian
Pekerjaan Umum. Dalam mitigasi ini masyarakat dilibatkan dengan membagi
masyarakat menjadi kelompok-kelompok pemukim. Dalam mitigasi ini banyak
pihak swasta/NGO yang membantu, seperti Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat,
ASB, SGM. Terdapat peranan komunitas setempat dan Tim REKOMPAK untuk
mensosialisasikan kegiatan mitigasi ini.

Pada saat pembuatan sabo BPBD Sleman berkoordinasi dengan Balai


Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak (BBWSSO), Balai Sabo, Balai Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK), dan Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Peranan masyarakat turut dilibatkan dengan
memberikan saran mengenai desain sabo.

Mitigasi melalui alat peringatan dini (EWS) mayoritas disediakan oleh


pemerintah, meskipun ada bantuan dari pihak swasta. Masyarakat juga berinisiatif
untuk membeli alat komunikasi berupa handy talky (HT) untuk menerima dan
memperbaharui informasi Gunung Merapi.

Pelaksanaan mitigasi pembuatan barak pengungsian dimulai dengan


membuat skenario kejadian erupsi Gunung Merapi. Dalam pembuatan skenario ini
semua stakeholder dilibatkan, baik dari pihak swasta/NGO dan masyarakat.
Masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan mitigasi ini adalah mengenai informasi
tentang jumlah pengungsi dan kapasitas barak pengungsian yang kurang akurat,
sehingga terjadi over kapasitas ketika kondisi darurat.

BPBD Sleman juga menyiapkan sarana dan prasarana yang menunjang


proses evakuasi. BPBD Sleman berkoordinasi dengan pemerintah terkait seperti
TNI dan Kepolisian untuk penyediaan armada evakuasi. Masyarakat menyiapkan
transportasi yang diorganisir dalam sebuah tim khusus yang memiliki tugas dan
tanggung jawabnya. Tim ini disebut Tim Pengurangan Resiko Bencana (Tim
PRB) tingkat dusun. Selain sarana transportasi, jalur evakuasi juga mendapat
perhatian. Masalah yang dihadapi BPBD Sleman adalah belum terpisahnya jalur
evakuasi dengan jalur tambang. Oleh karena itu BPBD Sleman melakukan

9
koordiansi dengan Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi, Dinas Sumber
Daya Alam Energi dan Mineral dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten Sleman. BPBD Sleman juga membuat rambu-rambu penunjuk arah
jalur evakuasi menuju ke tempat yang aman seperti balai desa dan barak
pengungsian.

3.1.2 Mitigasi Non Struktural

Pelaksanaan mitigasi non struktural tidak berbeda dengan mitigasi


struktural. Dalam kegiatan pemantauan pengamatan status Gunung Merapi, BPBD
Sleman berkoordinasi dengan BPPTK, BMKG, dan BBWSSO. Mekanisme
penentuan status menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten Sleman.
Pemantauan Gunung Merapi juga dilakukan oleh masyarakat yang tergabung
dalam komunitas-komunitas. Penyebaran informasi melalui radio, sehingga biasa
disebut radio komunitas.

Dalam kegiatan mitigasi penyampaian informasi, BPBD Sleman sebagai


koordinator yang mengkoordinasi instansi-instansi terkait baik dari Pemkab
Sleman, BPPTK, BMKG, Posko Utama Pakem, Posko Kecamatan, Kantor Desa,
dan komunitas-komunitas di Kawasan Rawan Bencana hingga informasi sampai
kepada masyarakat.

Mitigasi juga dilakukan dengan membuat peta kawasan rawan bencana.


Namun peraturan pemetaan ini mendapat penolakan dari warga yang tinggal di
daerah yang dinyatakan kawasan rawan bencana. Hal ini dikarenakan tidak
dilibatkannya masyarakat dalam perumusan peraturan tersebut. Sehingga
masyarakat kurang memahami maksud dan tujuan dari pemerintah. Keadaan yang
demikian menyebabkan upaya penertiban peraturan pemanfaatan lahan dilakukan
oleh pemerintah mengalami hambatan, sehingga sampai sekarang masih ada
dusun yang tidak mau direlokasi.

Dalam pelaksanaan mitigasi BPBD Sleman juga melakukan sosialisasi.


Dalam melakukan sosialisasi BPBD Sleman berkoordinasi dengan instansi lain
seperti BPPTK untuk menjelaskan secara ilmiah kondisi Gunung Merapi yang
sesungguhnya. Selain itu dalam sosialisasi, BPBD Sleman juga dibantu oleh
komunitas setempat.

Kegiatan peningkatan kapasitas masyarakat dilaksanakan melalui progran


Desa Tangguh Bencana. Pelaksanaannya hasil kerjasama antara pemerintah,
swasta (NGO) dan masyarakat. Dalam mewujudkan Desa Tangguh Bencana para
stakeholder ini membentuk Tim Pengurangan Resiko Bencana (PRB) Tingkat
Dusun. Tim PRB Tingkat Dusun yang difasilitasi oleh BPBD Sleman dan swasta

10
(NGO) bermusyawarah untuk menentukan kegiatan-kegiatan dalam upaya
penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas di masyarakat.

3.2 Analisa

Mitigasi merupakan tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau


mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana. Mitigasi dianggap
sebagai landasan dari manajemen bencana (Federal Emergency Management
Agency/FEMA, dalam Kusumasari 2014:22).

Pelaksanan mitigasi sangatlah kompleks sehingga membutuhkan peranan


banyak pihak. Dalam pelaksanaan mitigasi struktural maupun non struktural,
BPBD Sleman bertindak sebagai koordinator yang mengkoordinasi antar instansi
terkait. Koordinasi menjadi salah satu faktor yang menunjukkan performa suatu
organisasi dalam kehandalannya melaksanakan mitigasi bencana. Koordinasi
diperlukan untuk mengkoordinasikan berbagai organisasi yang memiliki keahlian
dibidangnya sehingga dapat membentuk network yang saling berkolaborasi guna
mendukung pelaksanaan mitigasi. Koordinasi menjadi sangat penting untuk
dilakukan. Sebab bencana memerlukan jaringan antarorganisasi daripada jaringan
tunggal karena setiap organisasi mungkin kurang memiliki pengalaman, prosedur
operasi standar, dan teknologi yang sesuai (Moynihan, dalam Kusumasari,
2014:51).

Pada beberapa tahun yang lalu pendekatan top-down seringkali


mengabaikan sumber daya lokal yang berpotensi ikut andil dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana. Pengabaian itu berimplikasi pada
kurang maksimalnya penyelenggaraan penanggulangan bencana. Dalam
pelaksanaan mitigasi, BPBD Sleman memiliki strategi mitigasi pengurangan
resiko bencana berbasis masyarakat, sehingga dalam berbagai hal terkait kegiatan
mitigasi, masyarakat selalu diikutsertakan. Apalagi bagi masyarakat yang tinggal
di lereng Gunung Merapi menganggap bahwa Gunung Merapi bukanlah ancaman
melainkan berkah.

Pendekatan berbasis masyarakat akan mengurangi gejolak penolakan pada


kegiatan-kegiatan mitigasi bencana.

Dalam pelaksanaan mitigasi bencana erupsi Gunung Merapi yang berbasis


masyarakat, pemerintah seharusnya mengikutsertakan masyarakat dan komunitas
dalam berbagai kegiatan mitigasi. Namun ada kebijakan mitigasi yang belum
mengikutsertakan masyarakat seperti pemetaan kawasan rawan bencana sehingga
terjadi penolakan terhadap kebijakan tersebut. Hal ini nampak dari 3 dusun yang
tidak bersedia direlokasi.

11
Selain partisipasi, masyarakat di lereng Merapi juga telah memiliki inisiasi
untuk membuat dirinya berdaya dalam menghadapi bencana. Hal ini dikarenakan
masyarakat mulai sadar untuk hidup harmoni berdampingan dengan bahaya erupsi
Gunung Merapi. Masyarakat membentuk komunitas-komunitas yang turut serta
dalam kegiatan mitigasi, seperti komunitas relawan SKSB dan AMC.

Tidak hanya membentuk komunitas, masyarakat juga berinisiasi untuk


melengkapi diri dengan peralatan untuk memperoleh informasi yang akurat.
Inisiasi ini nampak dari dengan sukarela masyarakat membeli memiliki handy
talky (HT) secara swadaya, maskipun kearifan lokal seperti membunyikan
kentongan saat terjadi bencana masih dilakukan.

Dalam memperlancar pelaksanaan mitigasi, BPBD Sleman juga menjalin


kerjasama dengan swasta/NGO dan perguruan tinggi. Bantuan diberikan berupa
materi, pikiran dan tenaga. Pihak ketiga ini membantu dalam menyediakan dan
melengkapi fasilitas umum dan fasilitas sosial, ikut membangun alat EWS, ikut
berpartisipasi dalam rencana pembuatan barak pengungsian, sebagai mitra
pemerintah yang membantu menjalankan program-program peningkatan kapasitas
masyarakat, memberikan advokasi dan pendampingan serta menjadi fasilitator
agar masyarakat dapat mandiri dan berdaya menghadapi bencana. Pihak-pihak ini
antara lain Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, SGM, ASB, Metro TV, UGM,
UPN, dan UII.

Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, utamanya mitigasi,


ketersediaan informasi terkini, kredibel, dan cepat adalah penting untuk menilai,
mamantau dan membuat kebijakan. Oleh sebab itu ketersediaan data, seperti
demografi, populasi, status sosial-ekonomi masyarakat sangatlah penting untuk
dimiliki pemerintah, utamanya BPBD. Data yang ada juga harus update.
Kenyataannya, data yang ada biasanya out of date sehingga dalam pengambilan
suatu keputusan atau kebijakan menjadi kurang tepat.

12
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian tentang pelaksanaan mitigasi bencana Erupsi
Gunung Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman sudah berjalan
cukup baik sesuai dengan tuntutan yang. Adapun bukti yang mendukung
keberhasilan pelaksanaan program mitigasi bencana, yaitu:
1. Koordinasi. Koordinasi dengan instansi terkait akan mendukung
keberhasilan program mitigasi dan akan menutupi keterbatasan BPBD.
2. Partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat akan meningkatkan
antusiasme masyarakat dalam kegiatan pengurangan resiko bencana dan
dengan keikutsertaan masyarakat juga akan meminimalisir penolakan
karena mayarakat akan merasa memiliki kebijakan yang telah dibuatnya
bersama-sama.
3. Inisiasi dari masyarakat. Hal ini menandakan adanya perubahan
pandangan terhadap bencana di masyarakat dan pemahaman cara
mengurangi resiko bencana.
4. Kerjasama antara pemerintah dengan swasta/NGO. Keterbatasan tenaga
ahli, personel, dan anggaran dapat ditutup dengan adanya kerjasama
dengan swasta/NGO.

5. Informasi. Data sangat menunjang keberhasilan dari mitigasi. Tanpa


adanya informasi yang akurat dan aktual maka program mitigasi tidak
dapat berjalan maksimal. Kemudahan dalam mengakses informasi juga
membuat mitigasi berjalan dengan lancar.

4.2 SARAN

Berdasarkan kesimpulan yang telah disampaikan, maka saran yang akan


diberikan berupa masukan untuk memaksimalkan faktor-faktor penentu
keberhasilan mitigasi, baik mitigasi struktural maupun non struktural, dengan
tujuan agar kedepan penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat berjalan
lebih optimal.
1. Perlunya pertisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan. Hal ini untuk
menghindari penolakan masyarakat pada kebijakan mitigasi.

2. Bantuan berupa pikiran dan keahlian lebih dioptimalkan sehingga


kerjasama dengan swasta/NGO dan komunitas internasional tidak terbatas
pada bantuan materi.
3. Perlunya update data dan informasi sehingga kebijakan mitigasi dapat
berjalan maksimal.

13
DAFTAR PUSTAKA

Nurjannah, dkk. (2012). Manajemen Bencana. Bandung: Alfabeta.

Bencana Mengancam Indonesia. (2011). Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Kusumasari. (2014). Manajemen Bencana dan Kapabilitas Pemerintah Lokal.


Yogyakarta: Gava Media

Dampak Letusan Gunung Merapi Mencapai Rp 3,56 Triliyun. (2011, Maret).


Majalah GEMA BNPB Vol.2 No.1: 17

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/199529-dusun-mbah-maridjan-tak-
bolehdihuni-lagi

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/200726--tak-hanya-8--31dusunlereng-
Merapi-rawan-

http://www.vsi.esdm.go.id/index.php /gunungapi/data-dasar-gunungapi/542-
gMerapi? start=1

http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/11/02/11/163686-
kerugian-sementara-erupsi-merapi-capai-rp-5-4-triliun

14
15

Anda mungkin juga menyukai