PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Ny.M
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 52 tahun
Alamat : RT 01 Sumber Jaya
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Suku Bangsa : Jambi
No RM : 91 64 88
Tanggal Masuk RS : 24 April 2019
Ruang Perawatan : Neurologi
DAFTAR MASALAH
No. Masalah Aktif Tanggal Masalah Pasif Tanggal
1. Kejang 24-4-2019
2. Nyeri Kepala 24-4-2019
2
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis. Anamnesis dilakukan pada
hari Jumat, tanggal 25 April 2019
1. Keluhan Utama : Kejang berulang sejak ± 6 jam SMRS
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Lokasi : Seluruh tubuh
Onset : Sejak ± 6 jam SMRS
Kualitas : Kejang berulang
Kuantitas : kejang 2 kali yang berlangsung ± 5 menit
Kronologis :
Pasien diantar keluarga dengan keluhan kejang sejak ± 6 jam
SMRS. Kejang berulang sebanyak 2 kali yang berlangsung selama
± 5 menit. Kejang pertama terjadi pada pukul 17.00, setelah kejang
pasien tidak sadar selama 1 jam. Kemudian pasien sadar dan
mengalami kejang kembali pada pukul 19.00 setelah itu pasien
dibawa kerumah sakit. Kejang terjadi di seluruh tubuh, mata
mendelik keatas disertai dengan kaku dan kelonjotan, pasien dalam
keadaan tidak sadar. Keluarga pasien mengatakan sebelum kejang,
pasien kelelahan. Setelah kejang pasien mengatakan badannya
lemas. Kejang pertama kali dialami pasien 1 tahun yang lalu,
setelah itu pasien mengaku mengalami kejang 2-3 kali dalam
sebulan. Kejang biasanya terjadi jika pasien sangat kelelahan.
Pasien tidak pernah berobat untuk kejangnya.
Selain kejang pasien juga mengatakan sering mengalami nyeri
kepala, nyeri dirasakan hilang timbul dari bagian depan kepala
hingga ke bagian belakang kepala. Akan tetapi nyeri lebih berat
pada kepala bagian belakang. Nyeri kepala juga sudah dirasakan
pasien sejak 1 tahun yang lalu, dan memberat sejak 1 bulan
terakhir. Biasanya pasien meminum obat yang dibeli di warung
atau berobat ke bidan desa saat nyeri kepala sudah tidak
tertahankan lagi. Keluhan pasien tidak disertai dengan demam,
3
mual (-), muntah (-) BAB dan BAK normal. Pasien tidak
mengeluhkan pandangan kabur atau pandangan ganda maupun
kelemahan anggota gerak.
4. Riwayat Pengobatan
2 Tahun SMRS pasien sudah meminum obat-obatan dari dokter Obat
yang diminum pasien antara lain: Depakote 1x500 mg dan Asam Folat
1x1
4
2. Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 86 kali/menit
Respirasi : 21 kali/menit, pernapasan reguler
Suhu : 36,6°C
Berat badan : 55 kg
Tinggi Badan : 163 cm
BMI : 55 kg/1,632 m2= 20,7 kg/m2
Status Gizi : Normal
3. Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Edema palpebra (-/-), conjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
bulat, isokor, refleks cahaya (+/+),
katarak (-/-)
THT : Dalam batas normal
Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa kering (-),
lidah hiperemis (-), T1-T1, faring
hiperemis (-).
Leher : JVP 5-2 cm H2O, pembesaran KGB (-),
pembesaran tiroid (-)
Dada
Jantung :
- Inspeksi : Tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V
- Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, gallop (-),
murmur (-)
Paru :
5
- Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan
dan kiri
- Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-),
fremitus taktil sama kanan dan kiri
- Perkusi : Vocal fremitus sama kiri dan kanan,
sonor (+/+)
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing
(-/-)
Perut :
- Inspeksi : Tampak datar, distensi (-), massa (-)
- Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (-),
undulasi (-), shifting dullness (-), hepar
dan lien tidak teraba
- Perkusi : Timpani (+)
- Auskultasi : Bising usus (+) N
Alat kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-/(-), sianosis (-/-)
4. Status Neurologis
1) Kesadaran kualitatif : Compos Mentis
2) Kesadaran kuantitatif (GCS) : (E4 V4 M6)
3) Tanda rangsang meningeal :
Kaku kuduk :-
Brudzinsky 1 :-
Brudzinsky 2 : -|-
Brudzinsky 3 : -|-
Brudzinsky 4 : -|-
Laseque : >700 / >700
Kernig : >1350 / >1350
6
4) Saraf kranial :
1. N. I (Olfactorius )
Daya pembau Kanan Kiri Keterangan
Subjektif Sulit Sulit
Sulit dinilai
dinilai dinilai
Objektif (dengan bahan) Sulit Sulit
Sulit dinilai
dinilai dinilai
7
2. N.II (Opticus)
Kanan Kiri Keterangan
Daya penglihatan Sulit Sulit
Lapang pandang dinilai dinilai
Pengenalan warna Sulit Sulit
Funduskopi dinilai dinilai
Sulit dinilai
Sulit Sulit
dinilai dinilai
Tidak Tidak
dilakukan dilakukan
3. N.III (Oculomotorius)
Sela mata Simetris Simetris
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Pergerakan bola mata Normal Normal
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
Strabismus Tidak ada Tidak ada
Ekso/endotalmus Tidak ada Tidak ada
Pupil:
Bentuk, besar Bulat, isokor, Bulat, isokor, 3
3 mm mm
Reflex cahaya langsung + +
Reflex konvergensi + +
Reflex konsensual + +
Diplopia Tidak ada Tidak ada
4. N. IV (Trokhlearis)
Pergerakan bola mata ke Normal Normal
bawah-dalam
Diplopia Tidak ada Tidak ada
8
5. N. V (Trigeminus)
Motorik
Membuka mulut Normal
Mengunyah Normal
Mengigit Normal
Sensibilitas Muka
Oftalmikus Normal Normal
Maksila Normal Normal
Mandibula Normal Normal
Reflek Kornea Normal Normal
6. N. VI (Abduscens)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Dbn Dbn
Dalam batas
ke lateral
normal
Strabismus (-) (-)
7. N. VII (Facialis)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Saat diam
Mengernyitkan dahi simetris simetris
Senyum
memperlihatkan gigi Dbn Dbn
Daya perasa 2/3 Tidak Tidak
anterior lidah dilakuka dilakuka
n n
Dbn Dbn
9
8. N. VIII (Vestibulo-Kokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Pendengaran
Tuli konduktif (-) (-)
Tuli sensorineural (-) (-) Dalam batas
normal
Vestibular
Nistagmus horizontal (-) (-)
9. N. IX (Glossofaringeus)
Kanan Kiri
Arkus faring Dbn Dbn
Daya perasa 2/3 posterior lidah Dbn Dbn
10. N. X (Vagus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus faring Dbn Dbn Dalam batas
Disfonia Sulit dinilai Sulit dinilai normal
Refleks muntah Dbn Dbn
11. N. XI (Assesorius)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Menoleh Dbn Dbn Dalam batas
Mengangkat bahu Dbn Dbn normal
Trofi Eutrofi Eutrofi
10
12. N. XII (Hipoglossus)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik Dbn Dbn
Trofi eutrofi eutrofi Dalam batas
Tremor (-) (-) normal
Disartri (-) (-)
5) Sistem motorik :
Kanan Kiri Keterangan
Ekstremitas atas
Kekuatan 5 5
Tonus N N
Trofi Eu Eu
Ger. Involunter (-) (-)
Ekstremitas bawah
Kekuatan 5 5
Tonus N N
Trofi Eu Eu
Ger. Involunter (-) (-)
6) Sistem sensorik :
Sensasi Kanan Kiri Keterangan
Raba Dbn Dbn
Nyeri Dbn Dbn
Suhu Dbn Dbn
Propioseptif Dbn Dbn
11
7) Refleks :
Refleks Kanan Kiri Keterangan
Fisiologis
Biseps (+) (+)
Triseps (+) (+)
Patella (+) (+)
Achilles (+) (+)
Patologis
Hoffman (-) (-)
Tromer (-) (-) Reflek patologis
Babinski (-) (-) (-)
Chaddock (-) (-)
Openheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
9) Sistem otonom :
Berkemih : Tidak ada keluhan
Defekasi : Tidak ada keluhan
Keringat : Tidak ada keluhan
12
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium klinik dilakukan pada tanggal 25 April 2018
1. WBC : 16,55.109/L (normal: 4-10.109/L)
2. HGB : 13,7 g/dL (normal: 11-16 g/dL)
3. PLT : 325.109/L (normal: 100-300.109/L)
4. GDS : 96 mg/dL (normal: <200 mg/dL)
5. Natrium : 145,18 mmol/L (normal: 135-148 mmol/L)
6. Kalium : 3,86 mmol/L (normal: 3,5-5,3 mmol/L)
7. Chlorida : 108,58 mmol/L (normal: 98-110 mmol/L)
8. Calcium : 1,31 mmol/L (normal: 1,19-1,23 mmol/L)V.
13
RINGKASAN
S: Pasien diantar keluarga dengan keluhan kejang-kejang sejak ± 1 hari
SMRS. Kejang berulang-ulang sebanyak 8 kali yang berlangsung selama ±
2-3 menit. Kejang terjadi di seluruh tubuh disertai dengan kaku dan
kelonjotan, pasien dalam keadaan tidak sadar. Saat kejang, mata terbelalak
ke atas, Keluarga pasien mengatakan sebelum kejang, pasien pasien tampak
pucat lalu terjadilah kejang. Keluarga pasien juga mengatakan, saat kejang
tampak badan pasien yang kaku seluruh badan dan lalu setelah kaku pasien
kelonjotan. Keluarga pasien mengatakan,setiap setelah serangan kejang
pasien sadar kembali lalu mengantuk dan tidur. Keluhan pasien tidak
disertai dengan demam, mual (-),muntah (-) BAB dan BAK normal. Pasien
tidak mengeluhkan baik pandangan maupun kelemahan anggota gerak.
Keluarga mengatakan bahwa dalam 2 tahun terakhir ini pasien
mengkonsumsi obat-obatan dari dokter Namun 3 bulan terakhir pasien
tidak minum obat kembali.
Riwayat trauma waktu kecil di sangkal, riwayat kejang demam ada saat
usia 7 bulan dan sudah berobat ke dokter lalu dinyatakan sembuh, riwayat
epilepsi dalam keluarga disangkal.
Status Neurologikus
Tanda rangsang meningeal : negatif
14
Saraf cranialis : baik
15
o Setelah suatu serangan pasien harus ditemani dan diberi
dukungan hingga fase bingung yang menyertainya telah hilang
seluruhnya dan pasien memperoleh kembali keseimbangannya.
Medikamentosa:
IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Injeksi Diazepam 1 ampul bolus pelan jika kejang
Phenytoin 3 x 100 mg
Terapi lain teruskan
- Depakote 1x500 mg
- As. Folat 1x1 .
VI. PROGNOSIS
Quo Ad Vitam: Ad bonam. Pada pasien ini tidak ditemukan
kelainan tanda vital, serta tidak mengalami penurunan kesadaran
ataupun muntah proyektil.
Quo Ad Sanationam: Dubia Ad Bonam. kejang yang diderita
pasien tidak diketahui kausanya, sehingga rekurensi dapat terjadi,
namun dengan terapi yang adekuat, gejala yang berat dapat
diminimalisir dan dengan terapi preventif diharapkan dapat
meminimalisir frekuensi serangan.
Quo Ad Functionam: Dubia Ad Bonam. Epilepsi tidak mudah
disembuhkan secara total, hanya dapat ditekan rekurensinya.
16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
17
3.1 Definisi
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan
tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.3
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi >30 menit atau kejang
berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.4
3.2 Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi. Sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
18
Angka epilepsy lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsy di negara
maju ditemukan sekitar 50/100.000. Sementara di Negara berkembang
mencapai 100/100.000.5
3.3 Etiologi
Etiologi Epilepsi kemungkinan disebabkan oleh:
19
Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan
saraf pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat
(SSP), gangguan metabolic, malformasi otak kongenital, asphyxia
neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
serta kelainan neurodegenerative.
Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-
Gastaut dan epilepsy mioklonik.7
3.4 Klasifikasi
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi
dan klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan
faktor-faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik
atau idiopatik), usia dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan.
Sedangkan klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi berdasarkan
gambaran klinis dan elektroensefalogram.
1. Bangkitan parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala sensorik
c. Dengan gejala otonomik
d. Dengan gejala psikik
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
Dengan gangguan kesadaran saja
Dengan automatisme
20
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik, tonik
atau klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan
umum
b. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan
umum
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial
kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum
21
bentuk dekortikasi. Biasanya kesadaran hilang hanya beberapa
menit terjadi pada anak 1-7 tahun.
4) Bangkitan atonik/astatik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan
ini bisa di menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut
lemas, atau kehilangan total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta
mendapatkan luka-luka. Biasanya penderita akan kehilangan
kekuatan otot dan terjatuh secara tiba-tiba. Bangkitan ini jarang
terjadi.
5) Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di
sebebkan aleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng
singkat. Keadaan ini diikuti sentakan bilateral yang lamanya 1 menit
sampai beberapa menit yang sering asimetris dan bisa predominasi
pada satu anggota tubh. Serangan ini bisa bervariasi lamanya,
seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat ke satu saat lain.
6) Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis serang
klasik epilepsi serangan ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan
atau pendengaran selama beberapa saat yang diikuti oleh kehilangan
kesadaran secara cepat. Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai
dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak kemudian diiukti oleh
kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-klonik
(gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan,
penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan
bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara
perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan
tertidur setelahnya.
22
Klasifikasi ILAE (1989) untuk tipeepilepsy dan sindrom epilepsiadalah :3
2. Epilepsi Umum
2.1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1. Kejang neonatus familial benigna
2.1.2. Kejang neonatus benigna
2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.4. Epilepsi lena pada anak
2.1.5. Epilepsi lena pada remaja
2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik – klonik pada saat
terjaga
23
2.1.8. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu
di atas
2.1.9. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi
yang spesifik
2.2. Kriptogenik atau Simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan
usia)
2.2.1. Sindrom West (spasme infantiil dan spasme salam)
2.2.2. Sindrom Lencox – Gastaut
2.2.3. Epilepsi Mioklonik astatic
2.2.4. Epilepsi mioklonik lena
2.3. Simtomatik
2.3.1. Etiologi non spesifik
Ensefalopati mioklonik dini
Ensefalopati pada infantiil dini dengan burst supresi
Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak
termasuk di atas
2.3.2. Sindrom Spesifik
2.3.3. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan Sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1. Bangkitan Umum dan fokal
3.1.1. Bangkitan neonatal
3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur
dalam
3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau – Kleffner)
3.1.5. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi diatas
3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom Khusus
4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1. Kejang demam
24
4.1.2. Bangkitan kejang / status epileptikus yang timbul hanya
sekali( isolated)
4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian
metabolic akut, atau toksis, alcohol, obat-obatan, eklamsia,
hiperglikemi non ketotik
4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi
reflektorik)
3.5 Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih
dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi
aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion
channel opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya
dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik.Aktivitas neuron
diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan
oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron.
25
Gambar : Silbernagl S. Color Atlas Pathopysiology. New York : Thieme.2000
26
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada
korteks serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya
epilepsi:
27
orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis
rangsangan berbeda-beda.
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini
dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas
timbulnya epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi
merupakan kerja sama SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan
epilepsi pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang
yang rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak
ada.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium
dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium.
Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ),
dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan
teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel,
bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium.
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang
tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak
secara serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
28
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila
konsentrasi GABA (gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak
manusia yang menderita epilepsi ternyata kandungan GABA
rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik
(IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA.
Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic disebabkan oleh hilang
atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter
inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak
sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa
perubahan pada salah satu komponennya bias menghasilkan inhibisi tak
lengkap yang akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada
sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak
secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan
manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2
penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA )
sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu
fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai macam
penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara
neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital,
hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin.Kelainan tersebut dapat
mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron
eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai.
Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain
di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan
kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan
selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan
jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di
daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50%
epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat
hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan. Pada bayi dan anak-
anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek traumatik,
gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya.Efek ini dapat
29
berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada
neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau
lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi,
gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan
epilepsi.Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi,
dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan
petit mal serta benigne centrotemporal epilepsy. Walaupun demikian proses
yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.
30
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah
atau mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah
dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca
akan mencetuskan letupan depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik
berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh
sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan
epilepsy. Suatu sifat khas serangan epilepsy ialah bahwa beberapa saat
serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah
pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic.Selain itu juga system-sistem
inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-
menerus berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan epilepsy terhenti ialah kelelahan neuron-neuron
akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.
31
dan epilepsi.Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan
prinsip kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik
membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan
epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik)
begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini
terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan
terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa. Berbicara mengenai kanal
ion maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan
dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion
ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame
neuron.
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka
bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi.
Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu.Dalam hal
epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid
(GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin
(yang sampai sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi,
asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab
terhadap memori dan proses belajar.
32
Halusinasi
Gejalanya meliputi :
33
3.8 Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
34
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan
sekunder. Epilepsi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan
tonik-klonik. Manifestasi klinik: kedua golongan epilepsi grand mal tersebut
sama, perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau
preiktal sebelum serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik
selalu didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus
epileptogen pada permukaan otak.Aura dapat berupa perasaan tidak enak,
melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh,
mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya.Bangkitan sendiri dimulai
dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas penderita terhenti. Kemudian
penderita mengalami kejang tonik. otot-otot berkontraksi sangat hebat,
penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru
terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan
jeritan epilepsi.Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik yang
seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si sakit ke
tanah.Kejang tonik-klonik berlangsung 2 - 3 menit. Selain kejang-kejang
terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya
35
negatif, mulut berbuih dan sianosis.Kejang berhenti secara berangsur-angsur
dan penderita dalam keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit
kemudian penderita bangun, termenung dan kalau tak diganggu akan tidur
beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai setahun sekali.
Minor :
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi
umum yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi..
Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm
atau sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak
laki-laki. Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan
dengan kerusakan otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat
trauma, infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan
kepala kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-
kadang disertai teriakan atau tangisan,miosis atau midriasis pupil, sianosis dan
berkeringat.
36
lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan.Manifestasi klinik ini disebut
Jacksonian marche Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi).9
37
Semestinya tidak banyak kesulitan dalam mengenali penyakit nyeri
kepala sekunder seperti glaukoma, sinusitis purulen, perdarahan subaraknoid,
dan meningitis bakterial atau viral. Semua nyeri kepala lain yang berdasarkan
lokasi, kualitas nyerinya dan karakteristik presipitasi tidak sesuai dengan salah
satu tipe primer harus dicurigai simtomatik gangguan kranial, servikal atau
sistemik.2
3. Pemeriksaan penunjang
38
a. Pemeriksaan radiologis
Arteriografi dan pneumoensefalografi dilakukan bila perlu.
Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
informatif yang dapat memastikan diagnosis epilepsy. Gelombang yang
ditemukan pada EEG berupa gelombang runcing, gelombang paku,
runcing lambat, paku lambat. Pemeriksaan tambahan lain adalah
pemeriksaan foto polos kepala
b. Pemeriksaan psikologis atau psikiatris
Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik
turunnya kesadaran.
39
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku
majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas,
misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia,
epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3
siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran
EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang
timbul secara serentak (sinkron).
a. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang
penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan
ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman
video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis
dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali
gambaran klinis yang ada.Prosedur yang mahal ini sangat
bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui
secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi
refrakter.Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan
prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.
40
Gambar: profil EEG pada pasien Epilepsi
41
3.9 Penatalaksanaan
42
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan
antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam
penelitian lanjut. Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat
antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang
mempunyai mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan
dengan receptor NMDA dan AMPA yakni glutamat dan GABA).Pada hewan
percobaan ditemukan bahwa potensi levetirasetam berkorelasi dengan
perpaduan ikatan obat tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan efek sebagai
antiepilepsi. Dari data penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat
digunakan pada penderita epilepsi dengan berbagai penyakit saraf sentral
lainnya seperti pasien epilepsi dengan gangguan kognitif, karena ternyata
levetirasetam tidak berinteraksi dengan obat CNS lainnya. Salah satu andalan
dari levetirasetam yang berfungsi sebagai antikonvulsan adalah dengan
ditemukannya ikatan levetirasetam dengan protein SVA2. Dari beberapa
penelitian membuktikan bahwa vesikel protein SVA2 di sinaptik adalah satu-
satunya protein yang mempunyai ikatan dengan levetirasetam mendasar pada
karakter serta pendistribusian molekul protein sebagai antikonvulsan. Keadaan
ini terbukti pada hewan percobaan bahwa pemberian levetirasetam yang analog
dengan protein SVA2 di vesikel berpotensi sebagai antikonvulsan.
1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah
dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu
pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai
tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap
samapai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.
4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat
mengontrol bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah
43
mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara
perlahan.
5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan
tidak terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua.
44
Ada 2 syarat yang penting diperhatikan ketika hendak menghentikan
OAE yakni:
45
BAB IV
ANALISIS KASUS
46
BAB V
KESIMPULAN
47
DAFTAR PUSTAKA
48
49