Anda di halaman 1dari 31

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA FRAKTUR RADIUS, ULNA

DISUSUN OLEH :

NAMA : DIYA ROSALINA

NIM : A21612041

PRODI : S1 KEPERAWATAN / 5B

TUGAS : SISTEM INTEGUMEN

DOSEN PEMBIMBING : Ns. ABDUL SYAFEI, S.Kep., M.Kes

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

SITI KHADIJAH PALEMBANG

T.A 2018 / 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan YME atas segala limpahan
karuniaNya. sehingga saya dapat menyelesaikan tugas mata kuliah system
muskuloskeletal. Pada makalah ini saya akan membahas tentang gangguan fraktur
radius, ulna.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis
peroleh dari berbagai sumber yang berkaitan dengan fraktur. Tak lupa penyusun
ucapkan terima kasih kepada pengajar mata kuliah system muskuloskeletal atas
bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan
mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis harap dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi
kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita, khususnya bagi penulis.
Memang makalah ini masih jauh dari sempurnah, maka penulis mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.

Palembang, November 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................................2
Daftar Isi ..................................................................................................................3
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang ...........................................................................................4
B. Tujuan Penulisan ........................................................................................5
C. Manfaat Penulisan ......................................................................................5
II. Konsep Teori
A. Definisi ......................................................................................................7
B. Anatomi dan Fisiologi................................................................................7
C. Etiologi .......................................................................................................9
D. Manifestasi Klinik ......................................................................................9
E. Klasifikasi ................................................................................................10
F. Pemeriksaan Penunjang ...........................................................................13
G. Patofisiologi .............................................................................................15
H. Patoflow ...................................................................................................16
I. Komplikasi ...............................................................................................18
J. Penatalaksanaan .......................................................................................19
K. Pemeriksaan Diagnostik...........................................................................20
III. Konsep Askep
A. Pengkajian Teori .....................................................................................21
B. Diagnosis..................................................................................................26
C. Intervensi..................................................................................................26
IV. Penutup
A. Simpulan ..................................................................................................31
B. Saran ........................................................................................................31
Daftar Pustaka ........................................................................................................32

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Fraktur menurut FKUI (2000) adalah rusaknya dan terputusnya
kontinuitas pada tulang. Pengertian fraktur pada anggota tubuh, disesuaikan
menurut anatominya, misalnya, Radius, Ulna. Dari pengertian diatas, fraktur
radius merupakan suatu gangguan integritas tulang yang ditandai dengan
rusaknya atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang dikarenakan tekanan
yang berlebihan yang terjadi pada lengan bawah.
Fraktur lebh sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan
umur dibawah 45 tahun dan sering berhubugan dengn olahraga pekerjaan atau
kecelakaan (Riskesdas, 2011). Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan
langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak dan bahkan kontraksi
otot ekstrim (Brunner & Suddart, 2001)
Terdapat kompikasi yang ditimbulkan akibat fraktur, seperti
komplikasi awal (syok, sindroma emboli lemak, sindroma kompartemen dan
infeksi) dan komplikasi lanjut (delayed union, non-union, mal-union, kaku
sendi lutut, refraktur) (Brunner & Suddart, 2001). Salah satu komplikasi yang
terjadi adalah kaku sendi yang jika tidak ditangani dapat mengakibatkan
kecacatan fisik. Kaku sendi yang diakibatkan oleh fratur dapat dipulihkan
secara berthap dengan mobilisasi persendian yaitu dengan latihan Range of
Motion (ROM) atau latihan pergerakan sendi. Pada klien dengan post operasi
ROM perlu dilakukan sesegera mungkin untuk menghindari komplikasi
lanjutan yang diakibatkan oleh kekakan sendi. (Potter & Perry, 2005)
Penatalaksanaan fraktur memerlukan tindakan yang rinci yaitu
dengan mengembalikan atau memperbaiki bagian-bagian yang patah ke
dalam bentuk semula, imobilisasi untuk mempertahankan bentuk dan
memperbaiki fungsi bagian tulang yang rusak. Dengan sedemikian rumitnya
penanganan fraktur tersebut maka peran perawat adalah memberikan asuhan
keperawatan gawat darurat pada pasien yang mengalami fraktur secara

4
komprehensif sehingga pasien mendapatkan perawatan yang optimal. Oleh
sebab itu penanganan pada pasien yang mengalami fraktur memerlukan
pengawasan dan perhatian serta secara teratur dan diharapkan kerja sama
antara keluarga pasien dan tenaga kesehatan (perawat dan dokter).
Dari uraian diatas penulis merasa tertarik untuk mengambil kasus ini
dengan judul “ ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR RADIUS DAN
ULNA”.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mendapatkan gambaran secara umum proses keperawatan pada klien
dengan fraktur radius, ulna.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat mengetahui konsep penyakit fraktur radius, ulna
b. Dapat melakukan pengkajian pada klien dengan fraktur radius, ulna
c. Dapat mengetahui dan merumuskan diagnosa keperawatan yang
muncul pada klien dengan fraktur radius, ulna
d. Dapat menyusun rencana asuhan keperawatan dengan fraktur dengan
fraktur radius, ulna

C. Manfaat Penulisan
a. Manfaat Bagi Klien
Diharapkan dapat dilakukan penanganan yang cepat dan tepat serta
mencegah komplikasi lebih lanjut akibat fraktur
b. Manfaat Bagi Penulis
Diharapkan dapat memahami kosep penyakit dan penanganan pasien
dengan tepat
c. Manfaat Bagi Pendidik
Diharapkan mampu menambah referensi serta pengetahuan mengenai
kasus klien dengan fraktur radius, ulna dengan asuhan keperawatan yang
diberikan dan intervensi yang telh dilakukan.

5
BAB II
KONSEP TEORI
A. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai
jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar
dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer dan Bare, 2002)

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur


akibat dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit
seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis (Mansjoer,
2000).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasa


nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan
krepitasi (Doenges, 2002).

B. Anatomi dan Fisiologi


1. Anatomi

6
2. Fisiologi
Radius adalah tulang di sisi lateral lengan bawah merupakan tulang
pipa dengan sebuah batang dan dua ujung dan lebih pendek dari tulang
ulna. Ujung atas radius kecil dan memperlihatkan kepala berbentuk
kancing dengan permukaan dangkal yang bersendi dengan kapitulum dari
humerus. Sisi-sisi kepala radius bersendi dengan takik radial dari ulna. Di
bawah kepala terletak leher dan di bawah serta di sebeelah medial dari
leher ada tuberositas radii, yang dikaitkan pada tendon dan insersi otot
bisep. (Price dan Wilson, 2006)
Batang radius. Di sebelah atas batangnya lebih sempit dan lebih
bundar daripada dibawah dan melebar makin mendekati ujung bawah.
Batangnya melengkung ke sebelah luar dan terbagi dalam beberapa
permukaan, yang seperti pada ulna memberi kaitan kepada flexor dan
pronator yang letaknya dalam di sebelah anterior dan di sebelah posterior
memberi kaitan pada extensor dan supinator di sebelah dalam lengan
bawah dan tangan.(Ibid)
Fungsi dari tulang pada lengan bawah atau tulaang radius adalah
untuk pronasi dan supinasi harus dipertahankan dengan menjaga posisi
dan kesejajaran anatomik yang baik. Secara umum fungsi tulang menurut
Price dan Wilson (2006) antara lain:
a. Sebagai kerangka tubuh.
Tulang sebagai kerangka yang menyokong dan memberi bentuk
tubuh.
b. Proteksi
Sistem muskuloskeletal melindungi organ- organ penting, misalnya
otak dilindungi oleh tulang-tulang tengkorak, jantung dan paru-paru
terdapat pada rongga dada (cavum thorax) yang di bentuk oleh tulang-
tulang kostae (iga).
c. Ambulasi dan Mobilisasi
Adanya tulang dan otot memungkinkan terjadinya pergerakan tubuh
dan perpindahan tempat, tulang memberikan suatu system pengungkit

7
yang di gerakan oleh otot- otot yang melekat pada tulang tersebut ;
sebagai suatu system pengungkit yang digerakan oleh kerja otot- otot
yang melekat padanya.
d. Deposit Mineral
Sebagai reservoir kalsium, fosfor,natrium,dan elemen- elemen lain.
Tulang mengandung 99% kalsium dan 90% fosfor tubuh
e. Hemopoesis
Berperan dalam bentuk sel darah pada red marrow. Untuk
menghasilkan sel- sel darah merah dan putih dan trombosit dalam
sumsum merah tulang tertentu.

C. Etiologi
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi
lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang-orang yang baru
saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam
angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.

D. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan
warna. (Smeltzer dan Bare, 2002).
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.

8
2. Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen
satu dengan yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera

F. Klasifikasi fraktur
Menurut Mansjoer (2002) ada tidaknya hubungan antara patahan
tulang dengan dunia luar dibagi menjadi 2 antara lain:
1. Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c. Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.
2. Fraktur terbuka (open atau compound fraktur)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit yang
memungkinkan atau potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari
luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah.

9
Derajat patah tulang terbuka :
a. Derajat I
Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
b. Derajat II
Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen
jelas.
c. Derajat III
Luka lebar, rusak hebat atau hilang jaringan sekitar.

Menurut Mansjoer (2002) derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu:


1. Patah tulang lengkap (complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya
atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan
fragmen tulang biasanya berubah tempat.
2. Patah tulang tidak lengkap (incomplete fraktur)
Bila antara patahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi
patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut green
stick.

Menurut Price dan Wilson (2006) kekuatan dan sudut dari tenaga
fisik, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan
apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap
terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap
tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.

Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan hubungannya


dengan mekanisme trauma ada 5 yaitu:
1. Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2. Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.

10
3. Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya spiral yang di sebabkan
oleh trauma rotasi.
4. Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kearah permukaan lain.
5. Fraktur Avulsi : fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya.

Menurut Smeltzer dan Bare (2002) jumlah garis patahan ada 3 antara lain:
1. Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2. Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3. Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.

Klasifikasi fraktur antebrachii :


1. Fraktur antebrachii, yaitu fraktur pada kedua tulang radius dan ulna
2. Fraktur ulna (nightstick fractur), yaitu fraktur hanya pada tulang ulna
3. Fraktur Montegia, yaitu fraktur ulna proksimal yang disertai dengan
dislokasi sendi radioulna proksimal
4. Fraktur radius, yaitu fraktur hanya pada tulang radius
5. Fraktur Galeazzi, yaitu fraktur radius distal disertai dengan dislokasi
sendi radioulna distal

11
G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges (2000) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada
pasien fraktur antara lain:
1. Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2. Scan tulang, tomogram, CT- scan atau MRI : memperlihatkan fraktur dan
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah lengkap : hematokrit mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur

12
atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan sel darah putih
adalah respon stress normal setelah trauma.
4. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfuse multiple, atau cedera hati.

H. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup
bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit (Smeltzer dan Bare, 2002).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang
dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin
direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk
tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan
asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer.
Bila tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan
tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan
rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan
sindrom compartment (Ibid).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan
ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur
tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti
tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (Smeltzer dan Bare, 2002). Pasien
yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara

13
lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang
perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan
berkurangnyan kemampuan perawatan diri (Carpenito, 2007).
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang
dipertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan
meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri
merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak
mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama
tindakan operasi (Price dan Wilson, 2006).

I. Patoflow

Trauma, proses patologi, penuaan, mal nutrisi

Rusak atau terputusnya kontinuitas tulang

Kerusakan jaringan PO serabut saraf dan


lunak dan kulit sumsum tulang
Hematoma Hemoragy
Port dientry serabut saraf putus
Vasodilatasi hipovolemik
eksudat plasma kehilangan sensasi
Resiko
infeksi dan migrasi hipotensi

Resiko
Infeksi inflamasi suplai O2 cidera
ke otak
Delayet union supresi

Syok hipopolemik,
Mal union Gang. pola nyeri kesadaran
tidur

14
Deformitas mobilisasi Gang. mobilitas
fisik

Gang. citra Nyeri


Kerusakan
tubuh
integritas
kulit

Sumber : http://www.ilmukeperawatan.com/askep.html

I. Komplikasi
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2002) dan Price dan
Wilson (2006) antara lain:
1. Komplikasi awal fraktur antara lain : syok, sindrom emboli lemak,
sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik, akibat perdarahan (banyak
kehilangan darah eksternal bisa menyebabkan penurunan oksigenasi)
dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi
pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.
b. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam
pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari
tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi
stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan
terjadinya globula lemak pada aliran darah.
c. Sindroma Kompartement
Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa
disebabkan karena penurunan ukuran kompartement otot karena fasia

15
yang membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau balutan
yang menjerat ataupun peningkatan isi kompartement otot karena
edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah
(misalnya : iskemi dan cidera remuk).
d. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak ada nadi,
CRT menurun, sianosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
e. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa
juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan
plat.
f. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali
dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2002).

2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union,
delayed union, dan non union.
a. Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupakan
penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

16
b. Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed
union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan
karena penurunan suplai darah ke tulang.
c. Non union
Non union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Non union di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis.
Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang (Price dan
Wilson, 2006).

J. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
a. Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi perkuatan
dengan K-Wire (Kawat kirschner), misalnya pada fraktur jari
b. Reduksi terbuka dengan fiksasi internal (ORIF : Open Reduction
Internal Fixation).
Merupakan tndakan pembedahan dengan melakukan insisi pada
daerah fratur, kemudian melakukan iplanr pins, screw, wires, rods,
plates dan protesa pada tulang yang patah
2. Penataksanaan Keperawatan
a. Proteksi (tanpa reduksi atau immobilisasi).
Proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma lebih lanjut dengan
cara memberikan sling (mitela) pada anggota gerak bawah
b. Immobilisasi dengan bidai eksternal (tanpa reduksi).
Biasanya menggunakan plaster of paris (gips) atau dengan bermacam-
macam bidai dari plastic atau metal. Metode ini digunakan pada

17
fraktur yang perlu dipertahankan posisinya dalam proses
penyembuhan.
c. Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna yang
menggunakan gips. Reduksi yang dilakukan melawan kekuatan
terjadinya fraktur. Penggunaan gips untuk mobilisasi merupakan alat
utama pada teknik ini
d. Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi. Tindakan
ini mempunyai dua tujuan utama yaitu berupa reduksi yang bertahap
dan imobilisasi

K. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan
proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi
yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-
ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan
hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-
ray:
a. Bayangan jaringan lunak.
b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya
seperti:

a. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur


yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan

18
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur
saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
b. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
c. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
d. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-
5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat
pada tahap penyembuhan tulang.
3. Pemeriksaan lain-lain
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
f. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995).

19
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Anamnesa
1. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
a. Provoking Incident
Apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi
nyeri?
b. Quality of Pain
Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau gambarkan? Apakah
seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk?
c. Region (radiation, relief)
Apakah rasa sakit bisa reda? Apakah rasa sakit menjalar atau
menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi?
d. Severity (Scale) of Pain
Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan
skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e. Time
Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari

20
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s
yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan
kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
6. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat

Pola-Pola Fungsi Kesehatan


1. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup

21
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
2. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien
bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
3. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak.
4. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan
tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur
5. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu
oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien
terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko
untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain
6. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap

22
7. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image)
8. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur
9. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak
serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
10. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif
11. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan
karena nyeri dan keterbatasan gerak klien

PemeriksaanFisik
1. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
a. Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti:
b. Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.

23
c. Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut.
d. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
2. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a. Sistem Integumen : Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
b. Kepala : Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c. Leher : Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
d. Muka : Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e. Mata : Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan)
f. Telinga :Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
g. Hidung : Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h. Mulut dan Faring : Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
i. Thoraks : Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j. Paru
1. Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
2. Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
3. Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
4. Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
k. Jantung

1. Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.

24
2. Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
3. Auskultasi : suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l. Abdomen
1. Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
2. Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
3. Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
4. Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
m. Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan jaringan muskuloskeletal
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan terapi
pembatasan aktifitas
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan Resiko infeksi
berhubungan dengan pertahanan tubuh sekunder tidak adekuat
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik : nyeri
5. Resiko cidera berhubungan dengan putusnya serabut saraf

C. Intervensi
1. Dx 1 : Nyeri akut berhubungan dengan agen-agen yang menyebabkan cidera
fisik (cidera jaringan lunak)
Tujuan : setelah dlakukan tindakan selama 2 x 24 jam diharapakan nyeri
dapat berkurang atau hilang
kriteria Hasil : Pasien mengatakan nyeri berkurang atau hilang,
menunjukkan tindakan santai, dapat beraktivitas, tidur, istirahat,
menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik
sesuai indikasi
Intervesi Rasional
a. Evaluasi keluhan nyeri, perhatikan a. untuk memulihkan pengawasan

25
lokasi, karakteristik nyeri dan kaji keefektif -an intervensi, tingkat
tingkat nyeri dengan standar ansietas dapat mem -pengaruhi
PQRST persepsi atau reaksi terhadap nyeri
b. Dorong pasien untuk b. membantu dalam menghilangkan
mengkomunikasi -kan masalah ansietas
sehubungan cidera c. memungkinkan pasien untuk siap
c. Jelaskan prosedur sebelum secara mental dalam aktivitas, begitu
memulai tindakan juga berpartisipasi dala mengontrol
d. Lakukan dan awasi latihan rentang tingkat kenyamanan
gerak aktif dan pasif d. mempertahankan kekuatan atau
e. Monitor tanda-tanda vital, mobilitas otot yang sakit dan
observasi kondisi umum pasien memudahkan resolusi inflamasi pada
dan keluhan pasien jaringan yang cidera
f. Atur posisi yang aman dan nyaman e. untuk mengetahui perkembangan
g. Pertahankan imobilisasi pada kesehatan klien
bagian yang sakit f. mengurangi nyeri dan pergerakan
h. Kolaborasi dalam pemberian g. nyeri dan spasme diskontrol dengan
analgetik sesuai indikasi imobilisasi
h. menurunkan nyeri atau spasme otot

2. Dx 2 : Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan keruskan


neuromuskuler dan musculoskeletal, nyeri post operasi
Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 2 x 24 jam diharapak pasien dapat
melakukan mobilitas fisik secara mandiri
Kriteria Hasil : meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat
yang paling tinggi yang mungkin, mempertahankan posisi fungsional,
meningkatkan kekuatan atau fungsi yang sakit
Intervesi Rasional
a. Kaji keadaan mobilisasi dan a. informasi yang benar yang dapat
persepsi pasien terhadap meningkatkan kemajuan kesehatan

26
imobilisasi b. meningkatkan aliran darah ke otot,
b. Bantu pasien dalam rentang gerak, tulang, dan mencegah kontraktur
latihan dan bantu ROM c. meningkatkan kekuatan otot dan
c. Bantu dan dorong pasien dalam sirkulasi serta kesehatan diri
aktivitas perawatan diri d. menurunkan resiko komplikasi tirah
d. Bantu dan dorong pasien dalam baring (decubitus)
mobilisasi e. mengawasi adanya hipotensi postural
e. Observasi tekanan darah dan atur karena tirah baring, posisi elevasi
posisi elevasi tungkai dapat mengurangi edema
f. Ubah posisi secara periodic dan f. mencegah atau menurunan insiden
dorong pasien untuk latihan batuk komplikasi kulit dan pernafasan
efektif dan napas dalam g. meminimalkan nyeri dan mencegah
g. Pertahankan tirah baring dan salah posisi
melatih tangan serta ekstremits h. mobilisasi menurunkan komplikasi
yang sakit dengan lembut i. berguna dalam pembuatan aktivitas
h. Beri bantuan dalam menggunakan program latihan mobilisasi
alat gerak
i. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik
untuk melatih pasien

3. Dx 3 : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik,


medikasi, bedah perbaikan, perubahan pigmentasi dan peubahan sensasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan kerusakan integritas kulit menjadi minimal
Kriteria Hasil : Pasien menyatakan ketidaknyamanan hilang dan mencapai
penyembuhan luka sesuai indikasi
Intervensi Rasional
a. Kaji / catat ukuran, warna, kedalaman a. untuk menentukan intervensi
luka, perhatikan jaringan nekrotik dan selanjutnya, mengetahui indikasi,
kondisi disekitar luka keefektifan intervensi dan terapi

27
b. Massase kulit dan penonjolan tulang yang diberikan
c. Ubah posisi pasien dengan sering b. menurunkan tekanan pada area
d. Beri bantalan di bawah kulit yang yang peka
terpasang traksi c. meminimalkan resiko terjadinya
e. Lakukan perawatan pada area kulit kerusakan kulir ( decubitus )
yang terpasang gips atau traksi ataupun d. meminimalkan tekanan pada area
yang dilakukan tindakan bedah yang terpasang gips atau traksi
f. Kolaborasi dengan dokter dalam e. mencegah terjadinya kerusakan
pemberian obat-obatan topical kulit
g. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk f. mempercepat proses
pemberian diit penyembuhan
g. mempercepat terjadinya proses
penyembuhan

4. Dx 4 : Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive, keancuran


jaringan (kehilangan barier kulit) dan kerusakan respon imun
Tujuan : setelah dilakuka tidakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
terjadinya kerusakan integritas kulit menjadi minimal
Kriteria Hasil : mencapai penyembuhanluka sesuai waktu, bebas drainase
purule atau eritea dan demam
Intervensi Rasional
a. Pantau kondisi umum pasien dan a. mengetahui perkembangan
monitor tanda-tanda vital, kaji tanda- kesehatan pasien
tanda infeksi b. mencegah terjadinya kerusakan
b. Inspeksi kulit terhadap adanya iritasi kulit yang lebih luas
c. Kaji sisi pen dan kulit. Perhatikan c. untuk mengidentifikasi timbulnya
adanya keluhan peningkatan nyeri infeksi local
d. Observasi keadaan luka terhadap d. mengetahui tanda-tanda infeksi gas
pembentukan bulla, krepitasi dan bau gangrene
drainase yang tidak enak e. kekuatan otot, spasme tonus otot

28
e. Kaji tonus otot dan reflex tendon rahang menunjukkan tanda tetanus
f. Inspeksi kulit terhadap adanya iritasi f. mencegah terjadinya kerusakan
g. Selidiki adanya nyeri yang muncul kulit yang lebih luas
secara tiba-tiba, perhatikan adanya g. merupakan indikasi terjadinya
keluhan peningkatan nyeri osteomyelitis
h. Kolaborasi dengan dokter dalam h. program pengobatan untuk
pemberian antibiotic dan vitamin C mencegah infeksi, untuk menjamin
keseimbangan Nitrogen positif dan
meningkatkn proses peyembuhan

5. Dx 5 : gangguan citra tubuh berhubungan dengan deformitas


Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 2 x 24 jam diharapkan pasien dpat
mengekspresikan perasaanya dan dapat menggunakan koping adaptif
Kriteria Hasil : klien dapat mengungkapkan perasaannya dan dapat
menggunakan keerampilan koping yang positif dalam mengatasi perubahan
citra
Intervesi Rasional
a. Berikan kesemptan kepada klien a. meningkatkan harga diri klien dan
untuk mengungkapkaperasaannya mem -bina hubungan saling percaya
b. Bersama-sama klien mencari degan meng -ungkapkan perasaan
alternative koping yang positif dapat membantu penerimaan diri
c. Kembangkan komunikasi dan bina b.dukungan perawat pada klien dapat
hubungan antara klien kelurga dan meningkatkan percaya diri klien
teman serta berikan aktifitas rekreasi c. memberikan semangat bagi klien
dan penerimaan guna mengatasi agar dapat memandang dirinya
perubahan body image secara positif dan tidak merasa
rendah diri

29
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Kesimpulan dari asuhan keperawatan pada dengan Fraktur radius ulna
merupakan terputusnya jaringan dan kontinuitas tulang radius sebelah dan
atau dikedua lengan klien . Sedangkan penyebab dari fraktur tersebut adalah
Cidera atau benturan, fraktur patologik, fraktur patologik terjadi pada daerah-
daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh karena tumor, kanker dan
osteoporosis dan fraktur beban, seperti baru di terima dalam angkatan
bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.

Adapun tanda dan gejala dari fraktue tersebut adalah klien merasakan
nyeri hebat dan sulit untuk menggerakkan bgaian fraktur tersebut yaitu bagian
lengan bawah sebelah kiri.

B. Saran
a. Untuk Rumah Sakit
Meningkatkan mutu pendidikan baik tiap tiap perawatnya dimana dalam
hal ini tidak hanya dibutuhkan skill dalam tiap tindakan yang akan
dilakuakn namun intelegensi tiap tindakan hendaknya dilakukan juga
b. Untuk Institusi Pendidikan
 Mengadakan seminar seminar yang berhubungan dengan Fraktur
 Memperdalam materi pada setiap mahasiswa dalam pemahaman
materi Fraktur
 Memperbanyak literature tantang Fraktur .

30
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Desvita Kusuma. 2014. Karya Ilmiah Akhir Ners : Analisis Praktik Klinik
Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan ada Pasien Fraktur RSUD
Gatot Subroto. Universitas Indonesia : FKUI

Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamentak Keperawatan : Konsep, Proses,
dan Praktik. Jakarta : EGC

Smeltzer, S. C dan Bare, B. G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah


Brunner Suddarth. Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC

Mansjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius

Price, A. S. dan Wilson M. L., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Alih Bahasa: dr. Brahm U. Penerbit. Jakarta: EGC

Carpenito, Lynda Juall. 2007. Rencana Asuhan dan Pendokumentasian.


Keperawatan. Alih Bahasa Monika Ester. Edisi 2. Jakarta : EGC

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem


Muskuloskeletal. Jakarta: EGC

31

Anda mungkin juga menyukai