Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
2
BAB I
PENDAHULUAN
Untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dari proses berpikir yang benar, dalam
arti sesuai dengan tujuan mencari ilmu pengetahuan, maka seorang pengamat
atau peneliti harus menggunakan penalaran yang benar dalam berpikir. Hasil
penalaran itu akan menghasilkan kesimpulan yang dianggap sahih dari sisi
keilmuan. Secara definisi, nalar merupakan kemampuan atau daya untuk
memahami informasi dan menarik kesimpulan. Dengan nalar tersebut, seseorang
akan menyajikan gagasan atau pendapat secara tertib, runtut, teratur dan
mengikuti struktur yang sifatnya logis (mantik). Dengan nalar, ilmu dapat
berfungsi menjelaskan, meramalkan dan mengendalikan keadaan atau kejadian.
Ontologi adalah ilmu yang mengkaji apa hakikat ilmu atau pengetahuan
ilmiah yang sering kali secara populer banyak orang menyebutnya dengan ilmu
3
pengetahuan, apa hakikat kebenaran rasional atau kebenaran deduktif dan
kenyataan empiris yang tidak terlepas dari persepsi ilmu tentang apa dan
bagaimana. Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang dapat
dipikirkan manusia secara rasional dan bisa diamati melalui panca indera manusia.
Berdasar pada latar belakang inilah, penulis membuat makalah dengan judul
1.3 Tujuan
Mengetahui bagaimana Anti-Realisme Dalam Ontologi Kotemporer
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fiksionalisme
13
meruntuhkan argumen indispensabilitas, maka realisme ontologis menjadi
dogma yang tidak terjustifikasi.
Konklusi dari argumen ini yaitu bilangan-bilangan real ada. Jika kita
menambahkan bahwa bilangan-bilangan real ada tidak terikat pada
matematikawan, maka kita berakhir pada realisme dalam ontologi. Bilangan-
bilangan real tidak tampak terdapat di ruang dan waktu, dan mereka tidak
masuk ke dalam relasi-relasi kausal dengan objek-objek fisik maupun
manusia.
Field menerima premis pertama dan ketiga, yang mewakili tesis-tesis yang
sekarang umum diterima tentang komitmen ontologis. Dia juga menerima
premis (4), kebenaran fisika, dan dia mengambil pandangan pandangan biasa
tentang sifat objek-objek matematis. Field tentu saja menolak konklusi dari
argumen tersebut. Dia mengemukakan suatu kasus terperinci untuk menolak
premis (2). indispensabilitas analisis real bagi fisika. Field setuju bahwa
matematika berguna dalam sains, menyebutkan bahwa matematika adalah
suatu kebutuhan praktis bagi ilmuwan sains. Membuang matematika
sangatlah tidak mungkin. Tetapi ini bukanlah mengakui bahwa matematika
6
bersifat esensial bagi sains pada segi ontologis yang relevan. Field memiliki
pandangan bahwa dalam suatu segi, sains dapat dilakukan tanpa matematika.
Ini tersirat dalam judul dari bukunya, Science Without Numbers.
Ingat kembali bahwa suatu bahasa nominalistik adalah bahasa yang tidak
merujuk ke, dan tidak memiliki kuantor-kuantor yang mencakup, objek-objek
abstrak seperti bilangan atau himpunan. Seperti kita ketahui, bahasa ilmiah
sains yang lazim tidak nominalistik. Formulasi-formulasi baku dari berbagai
prinsip sains sendiri memuat terminologi matematis dan melibatkan objek-
objek matematis. Putnam (1971) mengemukakan bahwa pengupayaan sains
dalam suatu bahasa nominalistik tidak memberikan harapan. Aspek pertama
dari kasus Field adalah untuk membantah pernyataan Putnam tensebut.
dengan memberikan formulasi-formulasi nominalistik' bagi teori-teori dalam
sains.
Tentu saja terlalu merepotkan bagi satu orang nominalis saja untuk
memberikan versi yang dapat diterima bagi tiap teori sains yang kini ada. Itu
akan menuntutkan penguasaan seluruh rentang sains kontemporer: mekanika
kuantum, relativitas umum, kimia, fisiologi, astronomi, ekonomi, dan
sebagainya. Sebagai gantinya. Field mengembangkan suatu versi nominalistik
yang terperinci bagi teori gravitasi Newton, dan beberapa ekstensi dari sana.
Ini diharapkan menjadi suatu paradigma untuk cabang- cabang lain dalam
sains masa kini.
7
Field memandang bahwa titik-titik ruang-waktu dan daerah-daerah ruang-
waktu bersifat konkret dan tidak abstrak. Dengan kata-kata lain, titik-titik dan
daerah-daerah bukan objek-objek matematis. Pertama, aspek-aspek dari
kumpulan titik ruang-waktu, misalnya kardinalitas dan geometrinya,
tergantung pada teori fisika, bukan pada teori matematis. Teori gravitasi
sendiri menentukan ciri-ciri struktural dari titik-titik. Kedua, dan yang lebih
penting, ciri-ciri yang ikut hadir pada titik-titik ruang-waktu, misalnya
kepemilikan gaya gravitasi yang relatif besar, adalah bagian-bagian esensial
dari penjelasan-penjelasan kausal untuk fenomena yang teramati.
8
asumsi-asumsi struktural yang relevan melalui aksioma- aksioma tentang
berbagai relasi itu. Aksioma-aksiomanya menyimpulkan bahwa ruang-waktu
adalah kontinu dan lengkap. Dia secara brilian menunjukkan bagaimana
memformulasikan pengganti pengganti bagi turunan-turunan dan integral-
integral dalam bahasa mekanika nominalistik.
Pada kasus geometri atau teori gravitasi Newton, suatu penjelasan intrinsik
diformulasikan dalam bahasa struktur ruang-waktu, dan tidak melibatkan
struktur bilangan-bilangan real yang lebih kaya. Dengan kata-kata lain,
penjelasan intrinsik diformulasikan dalam suatu bahasa sintetik.
9
Penekanan Field pada penjelasan-penjelasan intrinsik tergambarkan oleh
fakta bahwa presentasi dari banyak aspek dalam fisikanya dicapai dengan
merefleksi pada ciri-ciri (yang terkait geometri dan fisika) dari ruang-waktu
yang tidak berubah-ubah dalam pilihan kerangka referensi dan satuan-satuan
pengukuran. Ciri-ciri yang tidak mengalami perubahan ini menghasilkan
aksioma-aksioma yang tepat. Pokok perkara dalam hal ini sebaiknya dikaji
secara ekstensif berdasarkan kesuburan dan kekuatan dari penjelasan-
penjelasan ekstrinsik, yaitu penjelasan-penjelasan yang melibatkan teori-teori
matematis yang kaya.
B. Konstruksi Modalitas
10
Program umumnya adalah untuk meinggalkan istilah kemestian dan
kemungkinan, menggantikannya dengan peristilahan objek-objek abstrak
seperti himpunan dan bilangan. Terdapat sekelompok filsuf matematika
berdedikasi yang membalikkan orientasi ini. Mereka menyangkal eksistensi
objek-objek matematis, seperti himpunan dan bilangan, dan menerima
sekurang-kurangnya beberapa bentuk modalitas. Lebih tepatnya, filsuf-filsuf
ini lebih tidak skeptik terhadap modalitas daripada terhadap. misalnya, teori
himpunan (bila dipahami secara harfiah sebagai teori objek-objek abstrak).
Oleh karena itu, mereka mencoba merumuskan kembali matematika
sehubungan dengan modalitas. Putnam sendiri permah menjadi anggota dari
kelompok ini (1967). Di sini, kita membahas sekilas tentang seorang anti-
realis ontologis terkemuka lainnya yaitu Charles Chihara (1990) Chihara
memberikan penerus hagi penjelasan 'tanpa-kelas' dari Russell Rencana
Russell kira-kira adalah bahwa sebarang referensi ke himpunan-himpunan
seharusnya dieliminasi demi pembicaraan ciri-ciri atau sifat-sifat. Misalnya,
kita menggantikan pembicaraan himpunan kucing-kucing dengan ciri dari
[keadaanl seekor kucing.
11
menyediakan pengganti-pengganti untuk objek-objek matematis yang
terlibutkan dalam sains (kecuali matematika), Chihara tidak dapat membatasi
kajian pada bahasa-bahasa yang ada sekarang ini, misalnya bahasa Inggris.
Satu langkah yang mungkin adalah membayangkan ekstensi-ekstensi ideal
dari bahasa Inggris, tetapi kalimat-kalimat terbuka dalam suatu ekspansi ideal
bahasa Inggris tampaknya seabstrak bilangan-bilangan dan himpunan-
himpunan. Oleh karena itu, Chihara berpaling kepada modalitas, dan
membicarakan kemungkinan untuk menuliskan kalimat-kalimat terbuka di
mana kemungkinan-kemungkinan tidak terbatas pada bahasa-bahasa aktual
yang telah atau akan diberlakukan.
A Subject With No Object (1997) yang ditulis oleh John P. Burgess dan
Gideon Rosen menyajikan penjelasan kitis yang terperinci dan luas
cakupannya tentang program-program untuk mengembangkan matematika
(atau matematika yang digunakan dalam sains) tanpa referensi ke objek-
objek abstrak seperti bilangan dan himpunan. Judul buku itu menyiratkan
seperti apa jadinya matematika seandainya salah satu dari program-program
tersebut berhasil, yaitu, suatu bidang kajian tanpa objek.
Salah satu pertanyaan fundamental yang dibahas oleh Burgess dan Rosen
terkait dengan motivasi untuk realisme dalam ontologi, berikut juga motivasi
untuk nominalisme. Mengapa seseorang harus mempercayai eksistensi objek-
objek abstrak seperti bilangan dan himpunan? Mengapa seseorang hendaknya
meninggalkan keyakinan tersebut? Mereka mendeskripsikan sosok nominalis
stereotype yang berfokus pada kesukaran-kesukaran epistemik tentang objek-
objek abstrak. Nominalis stereotype ini mengemukakan bahrwa sungguh
suatu misteri bagaimana manusia, sebagai mahluk fisik di alam semesta fisik,
dapat memiliki pengetahuan tentang realm matematis yang ahadi, terpisah,
dan akausal. Dia berargumentasi bahwa, karena tidak terdapat koneksi-
koneksi kausal antara entitas-entitas matematis dan diri kita sendiri (Maddy
1990 bagaimanapun), maka seorang realis ontologis tidak dapat menjelaskan
pengetahuan matematis tanpa mempostulatkan beberapa kemampuan mistis
12
untuk memahami alam semesta matematis, Di sini, sang nominalis stereotype
mencemoohkan postulasi Godel tentang kemampuan intuisi matematis, yang
sering kali dicirikan sebagai kemampuan mistis semata.
13
Pertimbangan yang merujuk ke intuisi filosofis atau ke beberapa
generalisasi dari apa yang berlaku untuk entitas-entitas yang kita paling
kenali kepada apa yang mesti berlaku untuk sebarang entitas mana saja
tidaklah dapat diterima oleh sosok realis ontologis khas yang dideskripsikan
oleh Burgess dan Rosen ini. Jadi, para tingkatan stereotype, Burgess dan
Rosen menggambarkan bahwa masing-masing pihak mengklaim
keunggulannya dan menimpakan beban kepada kubu lawannya. Selain itu,
masing-masing pihak mengisyaratkan bahwa tanggung jawab bukti
sedemikian berat hingga tidak dapat dipenuhi. Barangkali, realis dalam
ontologi tidak dapat benar-benar menunjukkan bagaimana pengetahuan
matematis dapat cocok dengan sifat abstrak dari objek-objek matematis,
sedangkan nominalis tidak dapat benar- benar memberikan alasan-alasan
ilmiah sains yang kuat tentang mengapa teori-teori terbaik dalam sains harus
direvisi untuk mengeliminasi referensi kepada objek-objek matematis.
Berikut ini disajikan sekilas gambaran pendekatan baru bagi masalah lama
tentang eksistensi objek-objek matematis dari Jody Azzouni dan Mark
Balaguer. Dengan jalur berbeda, masing-masing penulis ini mengemukakan
bahwa argumen-argumen filosofis adalah, dan dalam suatu segi tentulah,
tidak cukup untuk menentukan apakah objek-objek matematis himpunan-
himpunan dan bilangan-bilangan ada secaa tidak terikat pada matematikawan.
Mereka mengusulkan agar perkara tersebut dipandang transendental.
14
mengapa kelembaman kausal objek-objek matematis tampak tidak memiliki
peran dalam matematika sendiri, atau dalam sains untuk perkara tersebut
Apakah tentang praktik matematika dan sains yang memungkinkan
matematika dan sains berjalan dengan istilah-istilah yang merujuk kepada
objek-objek dengan mana kita tidak memiliki kontak kausal? Apakah yang
dikatakan semua ini tentang objek-objek matematis? Fokus utama
Metaphysical Myths, Mathematical Practice (1994) dari Azzouni adalah sifat
dari referensi dan kebenaran dalam matematika. Bagaimana referensi dan
kebenaran ini berbeda dari referensi dan kebenaran dalam bahasa biasa dan
dalam sains-sains empirik? Perkara-perkara ontologi terletak tidakau
daritahapan-pusat, karena sescorang tidak dapat menentukan sifat referensi
tanpa penjelasan tentang apa yang kita rujuk itu Azzouni memandang bahwa
praktik matematis menentukan referensi matematis jika setiap hal lain pun
berbuat demikian, dan oleh karena itu filsuf perlu memperhatikan prakrik.
Untuk mendeskripsikan praktik matematis deduktif, Azzouni mengajukan apa
yang disebutnya suatu open-ended family of postulate systems. Sistem-sistem
yang beraneka ragam itu diambil berdasarkan konsensus di dalam komunitas-
komunitas matematika dan sains.
15
Di sisi lain, buku Piatonism and Anti-Platonism in Mathematics (1998)
dari Balaguer menyajikan beberapa konklusi yang tegas dan mengejutkan.
Pertama, terdapat tepat satu versi yang dapat dipertahankan dari platonisme,
atau apa yang discbutkan di sini sebagai realisme dalam ontologi'. Satu
pandangan ini bersifat tidak dapat diruntuhkan, kebal terhadap setiap dan
semua tantangan rasional. Kedua, terdapat tepat satu versi yang dapat
dipertahankan dari 'anti-platonisme, atau nominalisme, dan satu pandangan
ini pun tidak dapat diruntuhkan. Olch karena itu, tidak ada jalan untuk
menentukan apakah objek-objek matematis itu ada atau tidak. Konklusi
ketiga dari Balaguer adalah yang paling tegas: dilema epistemik disebabkan
oleh ketiadaan fakta tentang perkara apakah objek-objek matematis itu ada
atau tidak ada.
C. STRUKTURALISME
16
objek matematis. Benacerraf dan Hellman mengemukakan dan membela
versi-versi pandangan yang tidak mensyaratkan eksistensi objek-objck
matematis, sedangkan Resnik dan Shapiro adalah realis dalam ontologi.
dalam batas-batas tertentu. Versi-versi strukturalisme yang ada at ini
memiliki percabangan-percabangan dalam gagasan-gagasan seperti
eksistensi, objek, dan identitas, sekurang-kurangnya saat item-itemtu
digunakan dalam matematika.
17
penerus, suatu objek awal yang unik, dan memenuhi prinsip induksi. Bilangan
2 adalah posisi kedua dalam struktur bilangan asli, dan 6 adalah posisi
keenam. Tidak satu pun dari dua bilangan memiliki independensi dari struktur
di mana mereka merupakan posisi-posisi, dan sebagai posisi-posisi dalam
struktur ini, tidak satu pun dari bilangan-bilangan tersebut yang 'tidak terikat'
pada (independen dari) satu bilangan lainnya.
Tentu saja, seorang anak kecil dapat belajar banyak tentang bilangan 2 saat
dia hampir tidak mengetahui apa pun tentang bilangan-bilangan lainnya
seperti 6 atau 6.000.000. Tetapi independensi episiemik ini tidak menghalangi
keterkaitan ontologis antara bilangan-bilangan asli. Dengan analogi seseorang
dapat mengetahui banyak tentang suatu objek fisik, misalnya bola basket,
meski dia hampir tidak mengetahui apa pun tentang molekul dan atom.
Namun demikian, ini tidak berarti bahwa bola basket secara ontologis tidak
terikat pada molekul-molekul dan atom-atom yang menyusunnya.
Kita ambil sebuah kasus dalam bidang linguistik, Mari bayangkan bahwa
dengan menggunakan proses abstraktif. seorang ahli tata bahasa tiba pada
suatu struktur kompleks yang dia sebut English. Selanjutnya, misalkan
18
kemudian terbukti bahwa korpus dari English gagal dalam cara-cara yang
signifikan untuk menjadi contoh-contoh bagi pola tersebut, sehingga banyak
dari klaim-klaim yang dikemukakan oleh linguis kita tadi tentang strukturnya
akan terfalsifikasi. Dengan nada mengejek, para linguis yang lain menamakan
struktur tadi Tenglish Namun demikian, banyak sekali dari pengetahuan
linguis kita tadi tentang Tenglish sebagai pola tetap berlaku; karena dia telah
sanggup mendeskripsikan suatu pola dan mendiskusikan beberapa cirinya.
Serupa demikian, saya memandang bahwa kita mengetahui banyak sekali
tentang ruang Euclid meski ia tidak dapat dicontohkan [diwujudkan] secara
fisik. (Resnik 1982).
Sekarang mari kita sekilas melihat lagi suatu perkara yang muncul dalam
pembahasan rekonstruksi nominalistik' oleh Hartry Field (1980) untuk teori
gravitasi Newton yang telah dibahas lebih awal. Field mempertahankan
pandangannya bahwa objek-objek matematis itu tidak ada, tetapi ontologi
dari fisikanya mencakup titik-titik dan daerah-daerah ruang-waktu yang
banyaknya tak-hingga. Dia mengemukakan bahwa titik dan daerah ruang-
waktu itu konkret, objek-objek fisik, dan dengan demikian tidak matematis
19
Objeksi nominalistik untuk penggunaan bilangan-bilangan real bukanlah
pada alasan-alasan [kardinalitas] bilangan-bilangan real itu atau tentang
asumsi-asumsi struktural (misal, kelengkapan Cauchy) yang lazim dibuat
tentang mereka. Lebih tepatnya, objeksi itu pada keabstrakan mereka: bahkan
mempostulasikan satu bilangan real akan telah menjadi pelanggaran terhadap
nominalismeDi sisi lain, mempostulatkan entitas-entitas yang banyaknya
infinit .. bukanlah objeksi bagi nominalisme; tidak pula hal itu menjadi lebih
dapat dikeluhkan bila seseorang mempostulatkan bahwa entitas-entitas fisik
ini menaati asumsi-asumsi struktural yang beranalogi dengan yang para
platonis postulatkan untuk bilangan-bilangan real.
20
waktunya mencirikan suatu struktur yang sangat mirip dengan struktur R
kuadrupel-kuadrupel dari bilangan-bilangan real. Selain itu, Field
membukikan teorema-leorema tentang struktur ini. Berdasarkan pandangan
strukturalisme, dia dengan demikian terlibatkan dalam matematika, sains
struktur. Aktivitas membuktikan hal-hal tentang ruang-waktu sama jenisnya
dengan aktivitas membuktikan teorema-teorema tentang bilangan-bilangan
real. Kedua-duanya adalah studi deduktif tentang suatu struktur.
21
memiliki universal-universal itu. Pada pandangan ini, 'satu-pada- banyak
seecara ontologis mendahului apa yang banyak' -nya. Oleh karena itu,ang
tidak dapat memusnahkantype bahkan jika dia menghancurkan setiap token
dari huruf ini.
22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Fiksionalisme matematika atau bisa disebut sebagai fiksionalisme
adalah gagasan terbaik sebagai sebuah reaksi terhadap platonisme
matematika. Platonisme adalah (a) tinjauan yang ada tentang objek
matematika yang bersifat abstrak (yaitu objek matematika
nonspatiotemporal), dan (b) kalimat serta teori-teori matematika dimana
kita dapat memberikan gambaran yang benar tentang objek-objek.
23
DAFTAR PUSTAKA
Wahyudin, 2014. Sejarah dan Filsafat Matematika. Tersedia
https://pustaka.ut.ac.id Modul 9
https://www.academia.edu/36773458/Filsafat_Ilmu_Makalah_Ontologi
http://ferischa14.blogspot.com/2013/01/fiksionalisme-dalam-filsafat-
matematika_2698.html
24