Anda di halaman 1dari 33

Case Report Session

APPENDISITIS

Oleh :
Ahmad Muhtar 1740312619
Osalina Toemapa 1740312602

Preseptor
dr. Juni Mitra, Sp.B-KBD

KEPANITERAAN KLNIK BAGIAN ILMU BEDAH RSUP DR. M DJAMIL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG
2019

i
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis,


dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering1. Apendisitis akut
mapun kronis menjadi salah satu pertimbangan pada pasien yang mengeluh nyeri
perut atau pasien yang menunjukkan gejala iritasi peritoneal1
Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun
tidak umum pada anak sebelum usia sekolah. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan
pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis Appendicitis. Proporsi
kejadian appendicitis akut lebih tinggi daripada yang kronis. Appendicitis kronis
hanya menyumbang sekitar 1-5% dari kejadian appendicitis.2
Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan appendiks
yang terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparosopy.
Apendiktomi yang dilakukan sebelum perforasi prognosisnya baik. Komplikasi
yang dapat terjadi pada appendicitis adalah perforasi peritonitis, dan massa
periapendikular. Kematian dapat terjadi pada beberapa kasus. Setelah operasi
masih dapat terjadi infeksi pada 30% kasus apendix perforasi atau apendix
gangrenosa.2
1.2 Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk memahami serta menambah pengetahuan

tentang appendicitis kronik

1.3 Batasan Masalah

Batasan penulisan ini membahas mengenai epidemiologi, etiologi,

patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, dan komplikasi

appendicitis kronis

ii
1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan ini yaitu menggunakan tinjauan kepustakaan yang

merujuk pada berbagai literatur dan rekam medis pasien.

iii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering1. Apendisitis akut mapun
kronis menjadi salah satu pertimbangan pada pasien yang mengeluh nyeri perut atau
pasien yang menunjukkan gejala iritasi peritoneal. Periapendikular Infiltrat adalah
proses radang apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum dan usus –
usus dan peritoneum disekitarnya sehingga membentuk massa (appendiceal mass).

2.2 EPIDEMIOLOGI
Insiden apendisitis di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara
berkembang. Namun dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya turun secara
bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh oleh meningkatnya penggunaan makanan
berserat dalam menu sehari-hari. Proporsi kejadian appendicitis akut lebih tinggi
daripada yang kronis. Appendicitis kronis hanya menyumbang sekitar 1-5% dari
kejadian appendicitis.
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari
satu tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun,
setelah itu menurun. Insiden pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali
pada umur 20-30 tahun, insiden lelaki lebih tinggi. Massa apendiks lebih sering
dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau lebih; daya tahan tubuh telah
berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk
membungkus proses radang.2
Apendisitis jarang terjadi pada bayi, menjadi semakin sering pada masa anak-
anak, dan insiden tertinggi terjadi pada umur belasan hingga 20 tahunan. Setelah
insiden apendisitis menurun, meskipun masih banyak keingin tahuan mengenai
apendisitis, tetapi kenyataannya apendisitis jarang dilaporkan dalam berbagai
literature sejak 500 tahun yang lalu3.

4
2.3 ANATOMI
Appendix merupakan organ berlumen berbentuk cacing, panjangnya kira-kira 10
cm (kisaran 3-15 cm) dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, appendix
berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan
ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65%
kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkaxn apendiks
bergerak dan geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya5.
Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum,
dibelakang kolon asendens, atau ditepi lateral kolon asendens. Gejala klinis
apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. Vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n.torakalis X. oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar
umbilicus. Perdarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri
nonkolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi,
apendiks akan mengalami gangrene.
Menurut letaknya, apendiks dibagi menjadi beberapa macam :
 Appendix retrocecalis, terletak dibelakang coecum
 Appendix pelvicum, terletak menyilang a. iliaca externa dan masuk ke dalam
pelvis
 Appendix postcecalis terletak dibelakang atas kiri dari ileum
 Appendix retroileal
 Appendix decendentis, terletak descenden ke caudal.

5
2.4 ETIOLOGI
a. Obstruksi lumen apendiks yang disebabkan oleh:
Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada apendisitis akut. Fecalith
merupakan penyebab umum obstruksi apendiks, yaitu sekitar 20% pada anak dengan
apendisitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi apendiks. Penyebab yang
lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa apendiks, barium yang
mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama
Oxyuris vermicularis.2,4
Obstruksi apendiks juga dapat terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika
tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, corpus alienum seperti
pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya apendisitis. Faktor lain
yang mempengaruhi terjadinya apendisitis adalah trauma, stress psikologis, dan
herediter.
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi.
Fecalith ditemukan pada 40% kasus apendisitis akut sederhana, sekitar 65% pada

6
kasus apendisitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus apendisitis akut
gangrenosa dengan perforasi.

Appendicitis (dengan fecalith)

b. Sekresi mukosa apendiks yang persistent, distensi yang bertahap dengan


inflamasi pada apendiks, pertumbuhan bakteri yang berlebihan, dan pada
kondisi yang diikuti oleh progresivitas, iskemia, gangrene, dan perforasi yang
diikuti oleh obstruksi lumen.
c.. Peranan lingkungan: diet dan higiene

Di awal tahun 1970an, Burkitt mengemukakan bahwa diet orang Barat dengan
kandungan serat rendah, lebih banyak lemak, dan gula buatan berhubungan dengan
kondisi tertentu pada pencernaan. Apendisitis, penyakit Divertikel, carcinoma
Colorectal lebih sering pada orang dengan diet seperti di atas dan lebih jarang
diantara orang yang memakan makanan dengan kandungan serta lebih tinggi. Burkitt
mengemukakan bahwa diet rendah serat berperan pada perubahan motilitas, flora
normal, dan keadaan lumen yang mempunyai kecenderungan untuk timbul fecalith.

2.5 PATOFISIOLOGI
Apendisitis disebabkan oleh obstruksi yang diikuti oleh infeksi. Kira-kira
60% kasus berhubungan dengan hyperplasia submukosa yaitu pada folikel limfoid,
35% menunjukkan hubungan dengan adanya faecalit, 4% kaitannya dengan benda

7
asing dan 1% kaitannya dengan stiktur atau tumor dinding apendiks ataupun sekum.
Hiperplasi limfatik penting pada obstruksi dengan frekuensi terbanyak terjadi pada
anak-anak, sedangkan limfoid folikel adalah respon apendiks terhadap adanya infeksi.
Obstruksi karena fecalit lebih sering terjadi pada orang tua. Adanya fekalit didukung
oleh kebiasaan, seperti pada orang barat urban yang cenderung mengkonsumsi
makanan rendah serat, dan tinggi karbohidrat dalam diet mereka3.
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, faecalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma1. Obstruksi tersebut menyebabkan mucus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut
akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan
ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh
nyeri epigastrium1.
Bila sekresi mucus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut sebagai
apendisitis supuratif akut1. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi
apendisitis perforasi1. Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus
yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa local
yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi
abses atau menghilang1.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua
perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah1.

8
Kecepatan terjadinya peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus
yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus
tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila proses
melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul peritonitis.
Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan
tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu penderita harus
benar-benar istirahat (bedrest).

2.6 GEJALA
1. Gejala klasik yaitu nyeri sebagai gejala utama
a. Nyeri dimulai dari epigastrium, secara bertahap berpindah ke region
umbilical, dan akhirnya setelah 1-12 jam nyeri terlokalisir di region
kuadrant kanan bawah.
b. Urutan nyeri bisa saja berbeda dari deskripsi diatas, terutama pada anak
muda atau pada seseorang yang memiliki lokasi anatomi apendiks yang
berbeda.

9
2. Anoreksia adalah gejala kedua yang menonjol dan biasanya selalu ada untuk
beberapa derajat kasus. Muntah terjadi kira-kira pada tiga perempat pasien.
3. Urutan gejala sangat penting untuk menegakkan diagnose. Anoreksia diikuti
oleh nyeri kemudian muntah (jika terjadi) adalah gejala klasik. Muntah
sebelum nyeri harus ditanyakan untuk kepentingan diagnosis5.

Gambaran klinis apendisitis akut


 Tanda awal  nyeri mulai di epigastrium atau region umbilikalis
disertai mual dan anoreksia
 Nyeri pindah ke kanan bawah menunjukkan tanda rangsangan
peritoneum local dititik McBurney
 Nyeri tekan
 Nyeri lepas
 Defans muskuler
 Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
 Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (rovsing sign)
 Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan
(Blumberg sign)
 Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak, seperti bernafas
dalam, berjalan, batuk, mengedan
Dikutip dari buku ajar ilmu bedah wim de Jong hal. 641
Kriteria untuk mendiagnosis appendicitis kronis
o Riwayat nyeri perut kanan bawah > 14 hari
o Adanya bukti radang kronik appendiks baik secara makroskopis maupun
mikroskopis
o Hilangnya keluhan pasca apendektomi

Skor Alvarado

10
Semua penderita dengan suspek apendisitis akut dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya
ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan
pemeriksaan PA terhadap jaringan apendiks dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2
kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut.

Tabel. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis Appendicitis akut.


Gejala Klinik Value

Gejala Adanya migrasi nyeri 1

Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Tanda Nyeri tekan 2

Nyeri lepas 1

Febris 1

Lab Leukositosis 2

Shift to the left 1

Total poin 10

Keterangan:

0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil

5-6 : bukan diagnosis Appendicitis

7-8 : kemungkinan besar Appendicitis

9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis

Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka
tindakan bedah sebaiknya dilakukan.

11
2.7 PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang ditemukan tergantung dari tahapan penyakit dan
lokasi dari apendiks.
1. Suhu dan nadi sedikit lebih tinggi pada awal penyakit. Suhu yang lebih tinggi
mengindikasikan adanya komplikasi seperti perforasi maupun abses.
2. Nyeri pada palpasi titik McBurney ( dua pertiga jarak dari umbilicus ke spina
iliaca anterior) ditemukan bila lokasi apendiks terletak di anterior. Jika lokasi
apendiks pada pelvis, pemeriksaan fisik abdomen sedikit ditemukan kelainan,
dan hanya pemeriksaan rectal toucher ditemukan gejala significant.
3. Tahanan otot dinding perut dan rebound tenderness mencerminkan tahap
perkembangan penyakit karena berhubungan dengan iritasi peritoneum.
4. Beberapa tanda, jika ada dapat membantu dalam menegakkan diagnosis
a. Rovsing’s sign yaitu nyeri pada kuadran kanan bawah pada palpasi
kuadran kiri bawah.
b. Psoas sign yaitu nyeri rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi
panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang
meradang menempel di m.psoas mayor, tindakan tersebut akan
menyebabkan nyeri2.
c. Obturator sign adalah nyeri pada gerakan endotorsi dan fleksi sendi
panggul kanan, pasien dalam posisi terlentang5.

Pemeriksaan rectal toucher pada


apendisitis

rovsing sign

12

PSOAS sign
2.8 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Leukositosis moderat/ sedang (10.000-16.000 sel darah putih) dengan
predominan neutrofil. Jumlah normal sel darah putih tidak dapat
menyingkirkan adanya apendisitis5.
2. Urinalisis kadang menunjukkan adanya sel darah merah.

2.9 PEMERIKSAAN IMAGING


1. Foto polos abdomen menunjukkan lokal ileus kuadran kanan bawah atau
fecalith radiopak.
2. USG abdomen
3. Barium enema mungkin dapat membantu pada kasus sulit ketika akurasi
diagnosis tetap sukar untuk ditegakkan. Barium enema akan mengisi defek
pada sekum, hal ini adalah indicator yang sangat bisa dipercaya pada banyak
penelitian apendisitis.

2.10 DIAGNOSA BANDING


 Kelainan ovulasi  folikel ovarium yang pecah mungki memberikan nyeri
perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri
yang sama pernah timbul lebih dahulu. Tidak ada tanda radang, dan nyeri
biasa hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selam 2
hari.
 Infeksi panggul  salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan
apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri
perut bagian bawah perut lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya
disertai keputihan dan infeksi urin.

13
 Kehamilan di luar kandungan  hamper selalu ada riwayat terlambat haid
dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada rupture tuba atau abortus
kehamilan diluar rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak
difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik.
 Kista ovarium terpuntir  timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang
tinggi dan teraba masa dalam rongga pelvis pada pemmeriksaan perut, colok
vaginal atau colok rectal. Tidak ada demam. USG untuk diagnosis.
 Endometriosis eksterna  nyeri ditempat endometrium berada.
 Urolitiasis  batu ureter atau batu ginjal kanan. Riwayat kolik dari pinggang
ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas.
Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos perut atau urografi intravena dapat
memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis sering disertai demam tinggi,
menggigil, nyeri kostovertebral di sebelah kanan dan piuria2.

2.11 PENATALAKSANAAN
1. Apendiktomi adalah terapi utama
2. Antibiotic pada apendisitis digunakan sebagai:
a. Preoperative, antibiotik broad spectrum intravena diindikasikan untuk
mengurangi kejadian infeksi pasca pembedahan.
b. Post operatif, antibiotic diteruskan selama 24 jam pada pasien tanpa
komplikasi apendisitis
1. Antibiotic diteruskan sampai 5-7 hari post operatif untuk kasus
apendisitis ruptur atau dengan abses.
2. Antibiotic diteruskan sampai hari 7-10 hari pada kasus apendisitis
rupture dengan peritonitis diffuse.

2.12 KOMPLIKASI
Beberpa komplikasi yang dapat terjadi :
1. Perforasi

14
Keterlambatan penanganan merupakan alasan penting terjadinya perforasi.
Perforasi appendix akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri makin hebat meliputi seluruh perut dan perut
menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh
perut, peristaltik usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik.
2. Peritonitis
Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat
penyebaran infeksi dari apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas
pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata.
Dengan begitu, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik,
usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke
dalam lumen usus menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria, dan
mungkin syok. Gejala : demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah,
Abdomen tegang, kaku, nyeri tekan, dan bunyi usus menghilang (Price dan
Wilson, 2006).
3. Massa Periapendikuler
Hal ini terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
pendindingan oleh omentum. Umumnya massa apendix terbentuk pada hari
ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis generalisata.
Massa apendix dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan
keadaan umum masih terlihat sakit, suhu masih tinggi, terdapat tanda-tanda
peritonitis, lekositosis, dan pergeseran ke kiri. Massa apendix dengan proses
meradang telah mereda ditandai dengan keadaan umum telah membaik, suhu
tidak tinggi lagi, tidak ada tanda peritonitis, teraba massa berbatas tegas
dengan nyeri tekan ringan, lekosit dan netrofil normal.

2.13 PROGNOSIS

15
Apendiktomi yang dilakukan sebelum perforasi prognosisnya baik.
Kematian dapat terjadi pada beberapa kasus. Setelah operasi masih dapat terjadi
infeksi pada 30% kasus apendix perforasi atau apendix gangrenosa.

BAB III

16
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Nn. S Usia : 60 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak Bekerja Masuk RS : 16 Mei 2019
Alamat : Padang

Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah meningkat sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
 Nyeri perut kanan bawah meningkat sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit. Nyeri perut tersebut sudah dirasakan sebelumnya sejak 2 tahun
yang lalu. Nyeri hilang timbul. Nyeri awalnya dirasakan pada daerah
perut sekitar pusar dan menetap di kanan bawah.
 Keluhan disertai mual tetapi tidak disertai muntah.
 Buang air besar dan kecil tidak ada keluhan.
 Demam (-)
 Nafsu makan tidak ada keluhan, makan 2 kali sehari

 Pasien pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya dan didiagnosa


menderita apendisitis kronis.
Riwayat Penyakit Dahulu

 Pasien didiagnosa menderita DM tipe 2 sejak bulan januari 2019 dan


rutin mengonsumsi Metformin

Riwayat Penyakit Keluarga


 Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluahan yang sama
seperti pasien
 Ibu dan saudara perempuan pasien menderita DM tipe 2
Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, & Kebiasaan

17
 Pasien merupakan ibu rumah tangga
 Pasien tidak suka mengonsumsi sayur

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15 (E4M6V5)
Keadaan gizi : Sedang
Vital Sign
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 81 x/menit
Respiration Rate : 20x/menit
Temperatur : 36,70 C
VAS :4

Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis -/-), sclera ikterik (-/-)
Telinga : Nyeri tekan tragus (-), Nyeri Tarik (-)
Hidung : Septum deviasi (-), Cavum nasi lapang.
Mulut : Mukosa bibir dan mulut basah
Gigi : oral hyegene baik
Leher : Tidak ada kelainan, JVP 5-2 cmH2O
Thorax :
Paru :
Inspeksi :Simteris
Palpasi :Fremitus sama
Perkusi :Sonor
Auskultasi :Vesikluer, Ronkhi (-), Wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS 5 linea midclavicula
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung reguler, murmur (-), gallop S3(-), S4(-)
Abdomen
Lihat Status lokalis
Ekstremitas : Tidak ada kelainan

18
Status Lokalis
Regio Abdomen
Inspeksi : Normal, distensi (-), warna kulit sawo matang
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan di titik McBurney (+) , Nyeri lepas (-)
Rovsign (+), Psoas sign (-),
Perkusi :Timpani di keempat kuadran abdomen, nyeri ketok (-)

PEMERIKSAAN LAB RUTIN

 Darah Rutin

Hb : 13,4 g/dl (11,5-15,5)

Ht : 40 % (35-45)

Leukosit : 7.180 /mm3 (3.500-13.500)

Trombosit : 443.000 /mm3 (150.000-440.000)

 EKG

19
 Foto Polos Thorak

Kesan: Tidak tampak ada kelainan

20
DIAGNOSIS KERJA
Apendisitis Kronis
DIAGNOSIS BANDING
Cholesistitis
PID
PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Kimia Klinik

GDS : 196 mg/dl

Natrium :139 mg/dl

Kalium :4,4 mg/dl

Klorida :108 mg/dl

Albumin :4,2 g/dl

Globulin :2,9 g/dl

SGOT :15 u/l

SGPT :18 u/l

Hitung jenis Leukosit

Basofil :1.5%

Eusinofil :3.47%

Neutrofil :55%

Limfosit :32.3%

Monosit :7.77%

Kesan :variant limfositosis dan basophilia

 Urinalisis

21
Makroskopis

- Warna/Kekeruhan/BJ/Ph : Kuning Muda/ Negatif/ 1,0005/6,0

Mikroskopis

- Leukosit : 0-1/LPB
- Eritrosit : 0-1/LPB
- Silinder/Kristal/Epitel : Negatif/ Negatif/ Positif

Kimia

- Protein/Glukosa : Negatif/Negatif
- Bilirubin/Urobilinogen : Negatif/ Positif
- Plano test : Negatif

Kesan : hasil dalam batas normal

 Imaging

USG
Hepar :Ukuran normal, permukaan reguler, sudut lancip, echostruktur

parenchym normal, homogen, tidak tampak nodul/massa. Vena porta

dan vena hepatica normal, tidak tampak pelebaran duktus biliaris

intrahepatal

Vesica felea :Bentuk dan ukuran normal. Dinding reguler, tak menebal. Tidak

tampak massa, batu, maupun sludge

Pankreas :Bentuk, ukuran, dan echostruktur normal. Tidak tampak massa

Aorta :Kaliber normal tidak tampak pembesaran limfonodi paraaorta

Lien :Bentuk, ukuran dan echostruktur normal. Differensiasi cortex-medulla

baik. Sistema pelvicocalices tidak melebar. Tidak tampak batu dan

massa

22
V. Urinaria :Dinding reguler, tak menebal. Tidak tampak batu maupunmassa

Appendix :Kaliber 0,45 cm, dinding tak menebal, tak tampak peri appendicular

infiltrat.

Kesan :Tidak tampak kelainan pada organ-organ tersebut.

23
Hasil: Normal

24
Foto Polos Abdomen

Kesan : Tidak tampak adanya kelainan

25
Apendikogram

Kesan : appendiks tidak tervisualisasi

DIAGNOSA
Apendisitis Kronik
PENATALAKSANAAN
 IVFD Tiofusin 8 jam/Kolf
 Diet MB
 Paracetamol 3 x 500 mg
 Ranitidin 2 x 1
 Diet DM
Umur >= 60 tahun (-10%)
Aktifitas fisik ringan (+ 10%)
Kebutuhan Kalori :225 x 54 : 1.350 kkal
Faktor-faktor : 0% x 1.350 : 0 kkal
Kebutuhan akhir :1.350 kkal

 Persiapan Laparaskopi

26
Telah dilakukan operasi pada tanggal 20 Mei 2019
o Pasien posisi supine dalam general anesthesia
o Dilakukan desinfeksi lapangan operasi, dipersempit dengan linen steril
o Dilakukan insisi simile pada umbilikus, masukkan troker II, masukkan gas

CO₂ dan kamera.


o Pasang troker pada suprapubic dan lumbal kiri
o Identifikasi, didapatkan perlengketan omentum + colon ke dinding
abdomen, lakukan adhesiolisis dengan harmonic
o Identifikasi appendix, tampak kemerahan, radang, dan udem. Lalu
dilakuakn appendectomy dan dijepit dengan x
o Kontrol perdarahan, cuci rongga abdomen

o Keluarkan kamera dan troker, keluarkan gas CO₂


o Jahit luka lapis demi lapis
o Operasi selesai

27
FOLLOW UP

21/5/19

S/ nyeri luka post op (+)

Demam tidak ada

Flatus (+) BAB (+)

O/ KU : sakit sedang Kes : CMC

TD : 130/90 mmHg HR : 80x/menit

RR : 20x/menit T : 36,9⁰C

Abdomen : inspeksi : distensi (-)

Palpasi : supel , nyeri

Auskultasi : bising usus (+)

A/ post laparoscopy appendectomy + adhesiolisis a.i appendicitis kronik + adhesive

internal

P/ cefixime 2x500 mg (p.o)

28
Ranitidin 2x200 mg (p.o)

Paracetamol 3x 500 mg (p.o)

Diet

Umur >= 60 tahun (-10%)


Aktifitas fisik ringan (+ 10%)
Stress metabolik (operasi) (+20%)

1.350 + (1.350 x 20%) :1.620 kkal

Prognosis

Quo ad vitam : Ad bonam

Quo ad functionam : Ad bonam

Quo ad sanationam : Ad bonam

BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang perempuan datang dengan keluhan Nyeri perut kanan bawah yang
meningkat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri sudah dirasakan sejak 2
tahun yang lalu. Nyeri hilang timbul. Nyeri awalnya timbul di bagian perut dan
menetap di perut kanan bawah. Pasien juga mengeluhkan mual , anoreksia, pada
pemeriksaan abdomen juga ditemukan nyeri tekan pada region inguinal kanan. Dari
keluhan tersebut, pasien dicurigai menderita apendisitis kronis.
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Selain itu makanan juga berpengaruh
terhadap terbentuknya fecalith, sesuai dengan Burkitt mengemukakan bahwa diet
rendah serat berperan pada perubahan motilitas, flora normal, dan keadaan lumen

29
yang mempunyai kecenderungan untuk timbul fecalith. Pasien riwayat tidak suka
mengonsumsi makanan berserat seperti sayuran yang menjadikan pasien beresiko
menderita appendicitis.
Pada pemeriksaan fisik di temukan nyeri tekan pada titik McBurney. Selain itu
didapatkan Rovsing sign positif. Tanda tersebut merupakan tanda yang cukup khas
pada apendisitis. Tanda tersebut timbul akibat adanya gesekan anatar peritoneum
dengan apendiks yang mengalami radang. Dari tanda ini juga dapat diperkirakan
bahwa posisi apendiks pasien berada di pre-ileal maupun subsekal. Pada pasien ini
juga diperkuat dengan tidak ditemukannya tanda psoas maupun obturator. Nyeri lepas
tidak ditemukan pada pasien ini. Hal tersebut kemungkinan karena belum terlibatnya
peritoneum parietal.
Pada penilaian menggunakan skor Alvarado, hanya didapatkan 4 poin positif. Hal
ini mengindikasikan bahwa kemungkinan diagnosis apendisitis hanya 30% dan pasien
dapat dievaluasi lagi. Hal ini sesuai dengan perjalanan pasien yang sebelumnya sudah
dicurigai menderita apendisitis kronis dan telah kontrol ke poli digestive 2 minggu
sebelumnya.
Kecepatan timbulnya appendisitis tergantung pada virulensi mikroorganisme,
daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain,
peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba
membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Walaupun proses melokalisir sudah
selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum
abdominalis, oleh karena itu penderita harus istirahat (bedrest). Mikroorganisme
penyebab yang paling sering adalah E. coli yang sebernarnya merupakan bakteri
komensal pada kolon.
Pada pemeriksaan penunjang yaitu foto polos abdomen, tidak ditemukan
adanya gambaran radioopak pada region ilika kanan bawah. Akibatnya, diagnosis
masih meragukan. Selanjutnya, perlu pemeriksaan appendikogram. Pada pemeriksaan
appendikogram, appendiks tidak tervisualisasikan. Hal ini terjadi karena bahan
kontras tidak bisa masuk ke dalam lumen apendik akibat adanya sumbatan. Oleh
karena itu, diagnosis mengarah ke Appendisitis. Selain itu, pada pemeriksaan hitung

30
jenis leukosit, juga tidak ditemukan adanya gambaran shift to the left sehingga arah
diagnosis ke Appendisitis kronis.
Diagnosis appendicitis kronis dapat ditegakkan jika memenuhi 3 kriteria. Dari
pemeriksaan fisik dan penunjang hanya 1 yang didapatkan karena 2 kriteria lagi
didapatkan jika pasien telah menjalani appendectomi. Setelah dilakukan laparaskopi
appendectomi, pasien ditegakkan menderita appendicitis kronis. Dari gambaran
appendiks, berupa adanya peradangan. Selain itu, selama operasi didapatkan adanya
perlengketan antara appendiks dan omentum dengan usus besar.

BAB V
PENUTUP

Appendisitis merupakan suatu keadaan peradangan pada appendiks. Secara


umum penyebab terjadinya peradangan appendiks adalah adanya sumbatan pada
lumen appendiks oleh faecalit. Kurangnya konsumsi makanan berserat menjadi salah
satu faktor predisposisi. Peradangan appendiks dapat terjadi akut maupun kronik yang
dapat disertai dengan adanya infeksi. Virulensi pathogen ikut berperan dalam proses
peradangan dan jenis peradangnya. Berbeda dengan appendicitis akut yang
merupakan salah satu kegawatandaruratan abdomen yang memerlukan tatalaksana
segera, appendicitis kronis tidak membutuhkan tatalaksana segera, namun sebaiknya
tetap ditatalaksana secepatnya untuk menghindari komplikasi. Komplikasi yang
paling sering dan berbahaya adalah terjadinya perforasi yang dapat menyebabkan
peritonitis. Secara umum, prognosis untuk apendisitis baik jika ditatalaksana sesuai

31
prosedur. Laparoskopi apendektomi merupakan salah satu terapi operasi pilihan yang
paling banyak dilakukan dan hasilnya baik dengan sedikit luka operasi.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Mansjoer, A., Suprohaita., Wardani, W.I., Setiowulan, W., editor., “Bedah
Digestif”, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan Kelima.
Media Aesculapius, Jakarta, 2005, hlm. 307-313.

[2] Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan
Anorektum”, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-645.

[3] Sabiston. Textbook of surgery, the biological basis of modern surgical practice
fourteenth edition. 1991. International edition; W.B. Saunders

[4] Lawrence W.Way., editor., Current surgical diagnosis & treatment international
edition. Edition 9. 1990. Lange medical book.

32
[5] Jarrell, B. E and Carabasi R.A., the national medical series for independent study
2nd edition Surgery., national medical series., Baltimore, Hong Kong, London,
Sydney.

33

Anda mungkin juga menyukai