Anda di halaman 1dari 19

Tinjauan Pustaka

Koma Diakibatkan oleh Ketoasidosis Diabetikum pada


Laki-laki Berusia 20 Tahun
Budiman Atmaja
102011205 / B4
24 November 2014
Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Email : budimanatmaja@hotmail.com

Pendahuluan

Tidak sadar adalah kondisi mental dan perilaku dari menurunnya pemahaman
(comprehension), rasionalitas (coherence), dan kapasitas motivasi. Ketidaksadaran, sebagaimana
didefinisikan di atas, diawali dengan ketidakmampuan untuk mempertahankan focus pikiran dan
kerja, serta adanya disorientasi. Jika kondisi tidak sadar ini memburuk akan terjadi penurunan
kesadaran mental secara menyeluruh, termasuk kerusakan dalam ingatan, persepsi, komprehensi,
penyelesaian masalah, bahasa, praksis, fungsi visiospasial, dan aspek perilaku emosional lainnya
yang merupakan bagian dari otak. Terdapat kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan kondisi
tidak sadar dan butuh penanganan gawat darurat. Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan
komplikasi dari diabetes mellitus (DM) yang serius yang ditandai dengan keadaan
dekompensasi-kekacauan metabolic yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis,
terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolute atau relatif.1

Makalah ini diharapkan dapat membantu penulis dan pembaca mengerti mengenai
ketoasidosis diabetikum dalam hal anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
working diagnosis, differential diagnosis, etiologi, epidemiologi, manifestasi klinik,
patofisiologi, penatalaksanaan, komplikasi, prognosis, pencegahan. Dengan demikian,
penatalaksanaan kasus ketoasidosis diabetikum dapat dilakukan dengan baik dan memperbaiki
kondisi pasien dengan maksimal.

1
Anamnesis

Anamnesis juga harus selalu didapatkan pada pasien yang tidak sadar. Wawancarai
kerabat atau teman (jika tidak ada harus diupayakan untuk menghubungi mereka dan dapatkan
anamnesis melalui telepon jika perlu). Wawancarai pula tiap saksi mata dari keadaan dimana
pasien menjadi tidak sadar. Deskripsi terinci mengenai hilangnya kesadaran bisa sangat
membantu penegakkan diagnosis. Wawancarai semua sumber anamnesis lain termasuk laporan
ambulans, petugas ambulans, polisi, dokter umum, dan setiap catatan medis yang ada.2

Setiap melakukan anamnesis dengan pasien, pertanyaan yang sama harus diajukan pada
kerabat dan saksi mata. Berikut merupakan hal-hal yang penting ditanyakan saat anamnesis:
Rincian peristiwa di sekitar hilangnya kesadaran.; Setiap masalah medis atau psikologis
terakhir.; Riwayat pemakaian obat (baik yang tidak resmi maupun yang diresepkan).; alergi;
Setiap episode hilangnya kesadaran sebelumnya.; Setiap riwayat penyakit dahulu yang
merupakan gejala gangguan jantung, pernapasan, neurologis, atau metabolik yang signifikan.;
Setiap gejala medis terakhir seperti nyeri kepala, demam, atau depresi. Gambaran seluruh sistem
seringkali bisa didapatkan secara rinci dari kerabat atau teman.2

Diketahui dari hasil anamnesis, pasien tuan A yang tidak sadarkan diri ini berusia 20
tahun sejak 2 hari yang lalu mengeluh lemas, nyeri ulu hati hebat, dan muntah-muntah, namun
tidak mau berobat ke dokter. Riwayat penyakit dahulu pasien adalah sudah mengalami DM sejak
3 tahun lalu dan tidak mengontrolnya ke dokter.

Pemeriksaan Fisik

Prioritas pemeriksaan fisik pada pasien tidak sadar adalah memastikan terdapatnya
Airway (jalan napas), Breathing (pernapasan), dan Circulation (sirkulasi), Disability (disabilitas),
dan Exposure (pajanan) yang adekuat. Setelah resusitasi telah adekuat, baru lakukan
pemeriksaan fisik untuk menentukan dalamnya koma, kemungkinan etiologi, dan akibat yang
mungkin ditimbulkannya.2-3

Ketika memeriksa jalan napas, dokter harus memastikan bahwa peralatan penyokong
leher dan tulang belakang ada pada tempatnya jika terdapat kemungkinan adanya trauma dan

2
menentukan apakah jalan napas paten, terlindungi, dan berada pada posisi yang adekuat. Dokter
mengamati tingkat kesadaran, adanya mengiler dan sekresi, benda asing, luka bakar di wajah,
karbon dalam sputum. Selanjutnya dokter mempalpasi adanya deformitas wajah atau leher dan
memeriksa adanya refleks muntah (gag reflex), dan mendengarkan adanya suara serah atau
stridor.3

Untuk menilai keadekuatan sistem pernapasan, dokter akan mengamati tanda-tanda


deviasi trakea, pembesaran vena jugularis (jugular venous distension, JVD), tanda Kussmaul
(peningkatan JVD saat inspirasi), kesulitan bernapas (seperti usaha untuk mengambil napas /
indrawing, usaha untuk membatasi gerak nafas karena adanya nyeri / splinting dan penggunaan
otot pernapasan tambahan) serta trauma (kontusio, segmen gail/flail, luka terbuka). Lalu palpasi
adanya krepitasi tulang, udara subkutan atau nyeri tekan. Langkah selanjutnya mengauskultasi
untuk mengetahui adanya udara yang masuk, kesimetrisan, bunyi napas tambahan (ronki, mengi,
dan gesekan), dan melakukan perkusi jika perlu, untuk mengetahui adanya hiperresonansi atau
bunyi pekak pada kedua sisi.3

Menilai sirkulasi dilakukan dengan mempalpasi frekuensi, keteraturan irama, kontur dan
kekuatan denyut nadi. Denyut nadi harus diperiksa di keempat ekstremitas, dan jika tidak teraba,
palpasi denyut nadi sentral (femoral dan karotis). Dokter juga harus mempalpasi suhu tubuh dan
kelembapan kulit serta waktu pengisian kapiler di ekstremitas. Mengamati tanda-tanda
perdarahan yang nyata seperti eksanguinasi yang tampak, perut yang membengkak, panggul
yang tidak stabil atau deformitas tulang panjang. Mengukur tekanan darah, jarak antara sistol dan
diastol, dan jika perlu, membandingkan TD antar keempat ekstremitas. Mengauskultasi
prekordium untuk lebih jelas mendengar bunyi jantung, mendengar bunyi tambahan, murmur,
gesekan atau Hammon’s crunch (pneumomediastinum).3

Disabilitas menggambarkan penilaian status neurologis pada survey primer. Jika


memungkinkan, sebaiknya penilaian cepat dilakukan sebelum memberikan obat. Maka yang
harus dilakukan adalah menilai tingkat kesadaran denagn menggunakan skala koma Glasgow.
Mengamati ukuran dan kesimetrisan pupil, serta reaksinya terhadap cahaya, dan mengamati
keempat ekstremitas untuk melihat pergerakan kasarnya. Mempalpasi tonus rektum dengan
colok dubur.3

3
Tabel 1. Skala Koma Glasgow.3

Membuka Mata Motorik Verbal


1 Tidak ada Tidak bergerak Tidak bersuara
2 Dengan rangsang nyeri Postur deserebrasi Mengerang
3 Dengan perintah Postur dekortikasi Berupa kata-kata
4 Spontan Usaha menghindari rangsang nyeri Kebingungan
5 Mampu melokalisasi nyeri Terorientasi
6 Bergerak dengan perintah
Skor minimum = 3 (koma berat); skor maksimum = 15

Exposure, meskipun digambarkan sebagai upaya “menelanjangi, membalik, meraba, dan


mencium”, pajanan tidak hanya berarti menelanjangi pasien, tetapi juga mencakup upaya
pencarian petunjuk penting lainnya. Hal yang dilakukan memajankan seluruh area permukaan
tubuh pasien. Melakukan inspeksi dan mempalpasi punggung untuk melihat adanya kelainan,
dengan menggunakan peralatan penyokong leher dan tulang belakang untuk memiringkan (roll)
pasien jika terdapat kemungkinan adanya trauma. Dokter juga harus menginspeksi ruam, lesi
nyata yang lain dan tanda-tanda trauma di kulit. Perhatikan adanya bau tertentu pada tubuh
pasien, dan mengukur suhu rektum.3

Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan abdomen umum yaitu dengan inspeksi,


auskultasi, perkusi, palpasi. Pada inspeksi, hal yang harus diperhatikan adalah kulit yang
meliputi jaringan parut, striae, vena yang berdilatasi. Lalu perhatikan kontur, lokasi, dan tanda-
tanda inflamasi pada umbilikus. Pada kontur abdomen, yang diamati adalah bentuknya (rata,
bulat, buncit, atau sangat cekung), apakah bagian pinggang terlihat membenjol atau terdapat
benjolan setempat. Amati gerakan peristaltis dan pulsasi. Dalam melakukan auskultasi abdomen,
yang didengar adalah bunyi dentingan dan gemercik dengan frekuensi 5-34 kali per menit.
Dengarkan pula apakah ditemukan bruit atau friction rubs. Perkusi yang dilakukan pada
abdomen digunakan untuk menilai jumlah serta distribusi gas dalam abdomen. Biasanya bunyi
timpani lebih dominan karena keberadaan gas di dalam traktus gastrointestinal, namun daerah-
daerah bunyi redup yang terpencar-pencar karena keberadaan cairan dan feses juga merupakan
gambaran yang khas. Palpasi pada abdomen membantu mengidentifikasi nyeri tekan, resistensi
otot, dan beberapa organ serta massa yang letaknya superfisial. Saat palpasi, rasakan relaksasi
4
abdomen yang biasanya terjadi pada saat pasien mengeluarkan napasnya. Lalu lakukan palpasi
dalam untuk menentukan batas-batas massa abdominal. Kenali setiap massa dan perhatikan
lokasi massa tersebut, ukuran, besar, konsistensi, nyeri tekan, pulsasi, dan setiap mobilitas yang
berhubungan dengan respirasi atau dengan tangan pemeriksa. Temukan korelasi antara hasil
pemeriksaa palpasi dengan bunyi perkusi.4

Pada hasil pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien sakit berat, kesadaran somnolen.
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital menunjukkan tekanan darah 130/80 mmHg, frekuensi napas
24x/menit cepat dan dalam, frekuensi nadi 100 x/menit. Pada pemeriksaan fisik abdomen
ditemukan ada nyeri tekan pada bagian epigastrium.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk keadaan emergency adalah EKG,
glukosa darah, analisa gas darah, elektrolit, pooled venous oxygen levels. Selain itu juga
dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lain seperti darah lengkap dan pemeriksaan terkait gejala.3,5

Pemeriksaan EKG memiliki kegunaan pada kegawatdaruratan jantung dan non-jantung.


Temuan EKG dapat berupa penyebab atau akibat keberadaan mendasar yang memerlukan
resusitasi. Perhatian diarahkan pada tanda-tanda infark miokard dan iskemia, gangguan
elektrolit, dan petunjuk akan proses patologis lain yang mengancam jiwa seperti penurunan
voltase pada tamponade jantung atau tanda-tanda nyeri jantung akut pada sisi kanan karena
emboli paru. Keracunan obat tertentu juga menghasilkan temuan EKG yang khas.3

Kadar glukosa darah yang sangat rendah timbul akibat berbagai proses yang mengancam
nyawa dan harus dikenali secepatnya. Temuan kadar glukosa darah yang tinggi juga sama
pentingnya dan dapat membantu merencanakan upaya resusitasi awal. Kadar glukosa darah harus
diukur pada semua pasien dengan perubahan status mental dan jika abnormal sebaiknya
dilakukan pemeriksaan ulang.3

Keberadaan analisis elektrolit darah di tempat semakin bertambah dan sangat membantu.
Pengetahuan akan kadar elektrolit pada menit-menit awal dapat memngkinkan upaya intervensi
penting dilakukan lebih awal. Pada beberapa kasus, terapi semacam itu bahkan dapat dimulai

5
sebelum data tentang elektrolit diperoleh (missal, memberikan terapi darurat untuk hiperkalemia
berdasar data gambaran EKG yang khas dan riwayat klinis).3

Meskipun untuk hipoksia dan hiperkarbia harus dibuat secara klinis, gas darah arteri
memiliki peranan yang penting ketika pemeriksaan saturasi oksigen tidak dapat dilakukan atau
tidak dapat dipercaya, untuk menilai zat racun tertentu seperti karbon monoksida dan
methemoglobinemia, dan untuk membantu penanganan ventilasi mekanis. Nilai pH dan
kelebihan basa (base excess) yang diperoleh dari pemeriksaan gas darah (termasuk gas vena)
juga dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang untuk mengukur derajat keparahan syok
dan respons terhadap upaya resusitasi.3

Pooled venous oxygen levels membutuhkan pemasangan infuse vena sentral dan sensor
khusus. Dapat digunakan untuk mengukur derajat keparahan dan respons terhadap resusitasi.3

Pemeriksaan darah rutin yang dilakukan adalah sebagai berikut: Hemoglobin (Hb):
Prosedur pengambilan sampelnya tidak ada pembatasan pada asupan makanan atau minuman.
Selain itu, torniket yang terpasang harus kurang dari satu menit. Bila pengambilan darah lewat
darah vena, darah yang dikumpulkan berjumlah 3 sampai 5 ml dalam tabung tertutup lembayung.
Kadar normal Hb adalah pria dewasa: 13.5-17 g/dl, wanita dewasa: 12-15 g/dl.; Hematokrit (Ht):
Prosedur pengambilan sampelnya tidak ada pembatasan pada asupan makanan atau minuman.
Selain itu, torniket yang terpasang harus kurang dari dua menit. Bila pengambilan darah lewat
darah vena, darah yang dikumpulkan berjumlah 3 sampai 5 ml dalam tabung tertutup lembayung.
Kadar normal Ht adalah pria dewasa: 40-54%, wanita dewasa: 36-46%.; Sel darah putih
(Leukosit): Untuk mengkaji nilai sel darah putih adalah dari hitung darah lengkap. Hal ini
dilakukan untuk menentukan adanya infeksi. Jumlah normal sel darah putih adalah dewasa:
4500-10000 l.; Trombosit: Prosedur pengambilan sampelnya tidak ada pembatasan pada asupan
makanan atau minuman. Bila pengambilan darah lewat darah vena, darah yang dikumpulkan
berjumlah 3 sampai 5 ml dalam tabung tertutup lembayung. Jumlah normal trombosit adalah
dewasa: 150000-400000 l.5

Pemeriksaan fungsi hepar dapat dilihat dengan Serum Glutamic Pyruvic Transaminase
(SGPT) dan Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT). SGPT yang berasal dari
sitoplasma sel hati dianggap lebih spesifik daripada SGOT untuk kerusakan parenkim hati. Pada

6
umumnya nilai tes SGPT lebih tinggi daripada SGOT pada kerusakan parenkim hati akut. 6 Nilai
normal SGPT adalah 10-35 U/l. Nilai normal SPOT adalah 8-38 U/l.5

Pemeriksaan benda keton darah penting terutama untuk penderita DM tipe-2 yang
terkendali buruk, misalnya kadar glukosa darah >300 mg/dL, penderita DM tipe-2 dengan
penyulit akut, serta terdapat gejala ketoasidosis diabetik (KAD) seperti mual, muntah, atau nyeri
abdomen. Benda keton dalam darah yang penting adalah asam betahidroksi butirat. Bila kadar
benda keton darah <0,6 mmol/L dianggap normal, kadar benda keton darah di atas 1 mmol/L
disebut ketosis dan kadar benda keton darah di atas 3 mmol merupakan indikasi adanya KAD.7

Amilase adalah enzim yang berasal dari pancreas, kelenjar ludah, dan hepar. Fungsinya
adalah mengubah zat tepung menjadi gula. Pada pankreatitis akut, kadar amylase serum
meningkat menjadi dua kali lipat kadar normalmya. Peningkatan kadarnya dimulai 2 sampai 12
jam setelah awitan, memuncak dalam 20 sampai 30 jam, dan kembali ke kadar normalnya dalam
2 sampai 4 hari. Pankreatitis akut sering dikaitkan dengan inflamasi, nyeri yang berat, dan
nekrosis akibat enzum pencernaan (termasuk amylase) yang keluar ke jaringan di sekitarnya.
Nilai normal amylase adalah 60-160 Somogyi U/dl, 30-170 U/l.5

Triiodotironin (T3) merupakan salah satu hormone tiroid, terdapat dalam jumlah yang
sedikit di dalam darah dan bekerja lebih singkat dan ampuh dibandungkan kadar tiroksin (T4).
Nilai normalnya adalah 80-200 ng/dL. Tiroksin (T4) adalah hormone utama yang disekresikan
oleh kelenjar tiroid dan minimal 25 kali lebih pekat daripada T3. Nilai normalnya 4,5-11,5
ug/dL. Kelenjar hipofisis anterior (hipofisis anterior) menyekresi hormone penstimulasi tiroid
(thyroid stimulating hormone, TSH) sebagai respons terhadap hormon pelepas tiroid (thyroid-
releasing hormone, TRH) yang berasal dari hipotalamus. TSH menstimulasi sekresi T4 yang
dihasilkan oleh kelenjar tiroid.5

Hasil pemeriksaan penunjang yang didapatkan pada pasien ini adalah nilai gula darah
sewaktu sebesar 400 (meningkat), keton darah positif, nilai SGOT 64 (meningkat), SGPT 67
(meningkat), leukosit 15000 (meningkat), dan amilase 100 (normal). Nilai gula darah yang tinggi
beserta hasil lab keton darah positif menjadi salah satu indikator untuk diagnosis klinis
ketoasidosis diabetikum.

7
Working Diagnosis

Ketoasidosis Diabetikum

Langkah pertama yang harus diambil pada pasien dengan KAD terdiri dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti dengan terutama memperhatikan patensi jalan napas,
status mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus
dapat menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga
penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.1

Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dan mudah untuk segera dilakukan setelah
dilakukannya anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan konsentrasi glukosa darah
dengan glucose sticks dan pemeriksaan urine dengan menggunakan urine strip untuk melihat
secara kualitatif jumlah glukosa, keton, nitrat, dan leukosit dalam urine. Pemeriksaan
laboratorium lengkap untuk dapat menilai karakteristik dan tingkat keparahan KAD meliputi
konsentrasi HCO3, anion gap, pH darah, dan juga idealnya dilakukan pemeriksaan konsentrasi
AcAc dan laktat serta 3HB.

Tabel 2. Kriteria Diagnosius KAD.1


Kadar glukosa >250 mg%
pH <7,35
HCO3 rendah
Anion gap yang tinggi
Keton serum positif

Differential Diagnosis

Sindrom Hiperosmolar Non-Ketotik

Sindrom hiperosmolar non-ketotik terdiri atas hiperglikemia, hiperosmolaritas, dehidrasi


berat, dan perubahan status mental tanpa ketosis atau asidosis yang bermakna. Faktor pencetus
yang umum adalah infeksi, iskemua (jantung atau SSP), cedera, perdarahan gastrointestinal,
pancreatitis, emboli pari, obat-obatan (beta blocker), dialisis peritoneal, hiperalimentasi.
Terdapat pula faktor yang umum berkontribusi atau penyakit penyerta yaitu insufisiensi ginjal,

8
penyakit jantung, perubahan status mental / perubahan mekanisme haus, kelemahan fisik, obat
golongan diuretik. Terdapat empat kriteria dasar diagnosis: (1) hiperglikemia yang nyata (>600
mg/dl, seringkali >1000 mg/dl); (2) hiperosmolaritas; (3) pH >7,3 (dapat lebih asidosis akibat
adanya penyakit penyerta; sepsis; asidosis laktat); (4) tanpa atau dengan sedikit ketosis.3

Pankreatitis Akut

Pankreatitis akut paling sering disebabkan oleh batu empedu atau alkoholisme.
Manifestasi klinis yang khas pada pankreatitis adalah nyeri epigastrik yang menjalar ke
punggung. Pasien juga dapat mengalami muntah yang tidak sembuh dengan pengobatan dan
nyeri abdomen difus. Pankreatitis merupakan suatu gangguan multisistem yang dapat
menimbulkan kegagalan organ yang parah dan kematian. Pasien ini akan mengalami gejala
pulmonal (hipoksemia, efusi pleura, dan edema paru), kardiak (takikardia, hipotensi, dan syok),
neurologik (kebingungan dan koma), ginjal (azotemia dan oliguria), dan metabolic
(hipokalsemia, hiperglikemia, ketosis, dan hipertrigliseridemia).3 Kenaikan enzim amilase atau
lipase serum hanya didapatkan pada 65% episode, lekositosis pada 39,6% episode, fungsi hati
terganggu pada 70,8% episode, hiperglikemia pada 25% episode. Penurunan konsentrasi
kalsium dan kolesterol serum didapatkan pada masing-masing 47,6% dan 10,4% episode.1

Krisis Tiroid

Krisis tiroid menggambarkan suatu bentuk langka tirotoksikosis yang berlebih dengan
peningkatan suhu, takikardia yang tidak sebanding dengan derajat demam, perubahan status
mental, dan disfungsi kardiovaskular. Hipertiroidism tirotoksikosis, dan krisis tiroid
menggambarkan suatu kelanjutan penyakit. Gejala konstitusional yang mencakup penurunan
berat badan, anoreksia, kelemahan, cemas, intoleransi terhadap panas, dan demam umum
dijumpai. Gejala kardiovaskular mencakup palpitasi, dispnea, nyeri dada, takikardia, pelebaran
jarak antara sistolik dan diastolik, gagal jantung kongestif (kegagalan dengan curah jantung yang
tinggi), aritmia (kontraksi ventrikel premature / kontraksi atrium premature / fibrilasi atrium /
flutter atrium), atau syok pada kasus yang parah. Gejala SSP berupa tremor dan kegelisahan
umum dijumpai. Perubahan status mental yang bervariasi dari kebingungan hingga psikosis dan
koma membedakan krisis tiroid dari tirotoksikosis berat. Gejala gastrointestinal berupa diare,
nyeri abdomen, ikterus, dan hepatomegali yang lunak (akibat kongesti jantung) dapat dijumpai.

9
Gejala muskuloskeletal dapat mencakup kelemahan otot proksimal (miopati tirotiksik).
Pemeriksaan fungsi tiroid memperlihatkan kadar TSH yang rendah, peningkatan T4 total, dan T4
bebas. Tidak terdapat nilai yang bersifat patognomonik dan pemeriksaan ini sering tidak dapat
dilakukan selama proses penanganan di unit gawat darurat. Pemeriksaan hitung darah lengkap
dapat memperlihatkan anemia akibat penyakit kronik dan pergeseran leukosit ke kiri. Hitung
leukosit perifer dapat meningkat akibat krisis tiroid atau akibat penyakit pencetus. Azotemia
ringan akibat dehidrasi dapat dijumpai. Hiperglikemia ringan akibat keadaan hipermetabolik
umum dijumpai. Peningkatan enzim pada uji fungsi hati (kongesti hati akibat gagal jantung
dengan curah yang tinggi) terkadang dijumpai. Pemeriksaan EKG memperlihatkan takikardia
sinus, kontraksi ventrikel prematur, kontraksi atrium prematur, fibrilasi atrium, flutter atrium
atau bukti adanya iskemia penyerta atau pencetus. Pemeriksaan rontgen dada dapat
memperlihatkan adanya gagal jantung kongestif, kardiomegali, atau infiltrate pulmonal yang
mengindikasikan penyakit penyerta atau penyakit pencetus. Pemindaian CT kepala dapat
diindikasikan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab lain dari perubahan status mental.
Pemeriksaan lain diindikasikan sesuai kebutuhan untuk mendiagnosis penyakit penyerta /
pencetus.3

Etiologi

Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama kali.
Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali adanya faktor
pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam pengobatan dan pencegahan ketoasidosis
berulang. Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah infeksi, infark miokard
akut, pancreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, menghentikan atau mengurangi dosis
insulin. Sementara itu 20% pasien KAD tidak didapatkan faktor pencetus.1

Menghentikan atau mengurangi dosis insulin merupakan salah satu pencetus terjadinya
KAD. Data seri kasus KAD tahun 1998-99 di RS Dr. Cipto Mangunkusumo menunjukkan 5%
kasus menyuntik dosis insulin kurang. Musey et al melaporkan 56 kasus KAD negro Amerika
yang tinggal di daerah perkotaan. Di antara 56 kasus tersebut, 75% telah diketahui DM
sebelumnya dan 67% faktor pencetusnya adalah menghentikan dosis insulin. Adapun alasannya

10
adalah sebagai berikut: 50% tidak mempunyai uang untuk membeli, 21% nafsu makan menurun,
14% masalah psikologis, 14% tidak paham mengatasi masa-masa sakit akut. Pada seri kasus
diatas 55% menyadari adanya gejala hiperglikemi, walaupun demikian hanya 5% yang
menghubungi klinik diabetes untuk mengatasi masalah tersebut.1

Epidemiologi

Data komunitas Amerika Serikat, Rochester menunjukkan bahwa insidens KAD sebesar
8 per 1000 pasien DM per tahun untuk semua kelompok umur, sedangkan untuk kelompok usia
di bawah 30 tahun sebesar 13,4 per 1000 pasien DM per tahun. Walaupun data komunitas di
Indonesia belum ada, agaknya insidens KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara Barat,
mengingat prevalensi DM tipe-1 yang rendah. Laporan insidensi KAD di Indonesia umumnya
berasal dari data rumah sakit, dan terutama pada pasien DM tipe-2.1

Di negara maju dengan sarana yang lengkap, angka kematian KAD berkisar antara 9-
10%, sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka kematian dapat
mencapai 25-50%. Angka kematian KAD di RS Dr. Cipto Mangunkusumo dari tahun ke tahun
tampaknya belum ada perbaikan. Selama periode 5 bulan (Januari-Mei 2002) terdapat 39 episode
KAD dengan angka kematian 15%.

Dari data yang ada tampak bahwa jumlah pasien KAD dari tahun ke tahun relatif tetap /
tidak berkurang dan angka kematiannya juga belum menggembirakan. Mengingat 80% pasien
KAD telah diketahui menderita DM sebelumnya, upaya pencegahan sangat berperan dalam
mencegah KAD dan diagnosis dini KAD.1

Manifestasi Klinik

Sekitar 80% pasien KAD adalah pasien DM yang sudah dikenal. Kenyataan ini tentunya
sangat membantu untuk mengenali KAD akan lebih cepat sebagai komplikasi akut DM dan
segera mengatasinya.1

11
Sesuai dengan patofisiologi KAD, maka pada pasien KAD dijumpai pernapasan cepat
dan dalam (Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir
kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dan hawa napas tidak
terlalu mudah tercium.1

Areataeus menjelaskan gambaran klinis KAD sebagai berikut keluhan poliuri dan
polidipsi seringkali mendahului KAD serta didapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin,
demam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai terutama pada
KAD anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan
gastroparesis-dilatasi lambung.1

Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau depresi
sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan
kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol).1

Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering, di RS dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta, faktor pencetus infeksi didapatkan sekitar 80%. Infeksi yang sering ditemukan ialah
infeksi saluran kemih dan pneumonia. Walaupun faktor pencetusnya adalah infeksi, kebanyakan
pasien tidak mengalami demam. Bila dijumpai adanya nyeri abdomen, perlu dipikirkan
kemungkinan kolesistitis, iskemia usus, apendisitis, diverticulitis, atau perforasi usus. Bula
ternyata pasien tidak menunjukkan respons yang baik terhadap pengobatan KAD, maka perlu
dicari kemungkiinan infeksi tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses perirektal).1

Patofisiologi

KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolute atau relative dan
peningkatan hormone kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon
pertumbuhan); keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan utilisasi
glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia
sangat bervariasi dan tidak menentukan berat-ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis
KAD dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu akibat hiperglikemia dan akibat ketosis.1

12
Walaupun sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa, sistem hemostasis tubuh terus
teraktivasi untuk memproduksi glukosa dalam jumlah banyak sehingga terjadi hiperglikemia.
Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan konsentrasi hormon kontra regulator terutama
epinefrin, mengaktivasi hormone lipase sensitive pada jaringan lemak. Akibat lipolisis
meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi benda keton dan asam lemak bebas secara
berlebihan. Akumulasi produksi benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan metabolic
asidosis. Benda keton utama ialah asam asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidroksibutirat (3HB);
dalam keadaan normal konsentrasi 3HB meliputi 75-85% dan aseton darah merupakan benda
keton yang tidak begitu penting. Meskipun sudah tersedia bahan bakar tersebut sel-sel tubuh
masih tetap lapar dan terus memproduksi glukosa.1

Hanya insulin yang dapat menginduksi transport glukosa ke dalam sel, member signal
untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen, menghambat lipolisis pada sel lemak
(menekan pembentukan asam lemak bebas), menghambat glukoneogenesis pada sel hati serta
mendorong proses oksidasi melalui siklus krebs dalam mitokondria sel. Melalui proses oksidasi
tersebut akan dihasilkan adenon trifosfat (ATP) yang merupakan sumber energi utama sel.1

Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat keadaan defisiensi insulin relative.
Meningkatnya hormone kontra regulator insulin, meningkatnya asam lemak bebas,
hiperglikemia, gangguan keseimbangan elektrolit dan asam-basa dapat mengganggu sensitivitas
insulin.1

Gambar 1. Proses yang terjadi pada orang dengan DM tipe 1.8

13
Pada KAD terjadi defisiensi insulin absolute dan relative terhadap hormon kontra
regulasi yang berlebihan (glukagon, epinefrin, kortisol, dan hormone pertumbuhan). Defisiensi
insulin dapat disebabkan oleh resistensi insulin atau suplai insulin endogen atau eksogen yang
berkurang. Defisiensi aktivitas insulin tersebut menyebabkan 3 proses patofisiologi yang nyata
pada 3 organ, yaitu sel-sel lemak, hati, dan otot. Perubahan yang terjadi terutama melibatkan
metabolism lemak dan karbohidrat.1

Di antara hormone-hormon kontraregulator, glucagon yang paling berperan dalam


pathogenesis KAD. Glukagon menghambat proses glikolisis dan menghambat pembentukan
malonyl CoA. Malonyl CoA adalah suatu penghambat carnitine acyl transferases (CPT 1 dan 2)
yang bekerja pada transfer asam lemak bebas ke dalam mitokondria. Dengan demikian
peningkatan glucagon akan merangsang oksidasi beta asam lemak dan ketogenesis.1

Pada pasien DM tipe 1, konsentrasi glucagon darah tidak teregulasi dengan baik. Bila
konsentrasi insulin rendah maka konsentrasi glukagon darah sangat meningkat serta
mengakibatkan reaksi kebalikan respons insulin pada sel-sel lemak dan hati.1

Konsentrasi epinefrin dan kortisol darah meningkat pada KAD. Hormon pertumbuhan
(GH) pada awal terapi KAD konsentrasinya kadang-kadang meningkat dan lebih meningkat lagi
dengan pemberian insulin.1

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan UGD

Penggantian cairan merupakan terapi yang penting dan efektif untuk KAD. Pemberian
cairan memperbaiki dehidrasi, asidosis, dan hiperglikemia secara bersamaan. Rata-rata defisit
cairannya adalah 5-10 liter. Untuk mengganti volume intravascular, gunakan larutan NaCl 0,9%.
Satu sampai dua liter pertama larutan tersebut harus diberikan dengan kecepatan 30-60 menit / L.
Penambahan cairan tersebut dapat diperlukan, bergantung pada derajat dehidrasi dan stabilitas
hemodinamik.3

14
Begitu volume intravaskular telah pulih, ganti dengan NaCl 0,45% untuk cairan rumatan
(biasanya 150-200 ml/jam). Pemberian hidrasi yang berlebihan dalam waktu yang cepat harus
dihindari. Komplikasinya mecakup penurunan mendadak K+ jika suplementasi awal tidak
diberikan, kelebihan cairan pada pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang bermakna, dan
edema otak.3

Waspadalah akan hipokalemia yang mengancam nyawa begitu pemberian cairan dan
insulin dimulai. Penurunan ini terjadi karena K+ kembali masuk ke dalam sel dan karena
pembuangan lewat urin meningkat akibat ekskresi ginjal yang kembali menjadi normal. Pantau
kadar kalium setiap jam selama beberapa jam pertama. Pemeriksaan EKG awal adalah sebuah
pemeriksaan yang cepat dan bermanfaar dalam memberitahukan kadar K+ sebelum hasil lab
diperoleh. Suplementasi kalium harus dimulai begitu kadar kalium berada dalam paruh atas
rentang nilai normal dan pasien mulai berkemih. Penggantian kalium oral, jika pasien dapat
menoleransinya, sama efektif dan sama amannya dibanding pemberian intravena. Kalium dapat
diberikan secara intravena dalam kadar sebesar 20-40 meq/L dengan kecepatan 10 meq/jam
(dapat mendekati 15-20 meq/jam pada hipokalemia berat).3

Insulin bukanlah hal pertama yang dibutuhkan pasien KAD dan dapat menimbulkan
kematian pada keberadaan yang disertai hipokalemia. Dokter sebaiknya menunggu hasil
pemeriksaan kadar kalium sebelum memberikan insulin. Terapi dengan insulin berdosis rendah
mempunyai efektivitas yang sama dengan terapi insulin berdosis-tinggi dan mempunyai
komplikasi yang lebih sedikit (misalnya hipokalemia, hipoglikemia).3

Praktik pemberian bolus insulin yang sering dilakukan tidak lagi dianjurkan karena hal
tersebut akan meningkatkan risiko tanpa menambah keuntungan. Waktu paruh insulin adalah 3-
10 menit; karena itu, infus secara kontinu menghasilkan kadar yang mantap, dapat dipercaya, dan
mudah dititrasi. Penatalaksaan pilihan adalah infuse kontinu dengan dosis 5-10 U/jam atau
tetesan infuse dengan 0,1 U/kg/jam. Sebelum memulai pemberian tetesan infuse, selang infuse
perlu dibilas terlebih dulu dengan larutan yang mengandung 50 ml insulin karena insulin dapat
menempel pada selang tersebut.3

Begitu kadar glukosa serum <300, gantilah cairan dengan larutan yang mengandung
glukosa. Laju optimal penurunan kadar glukosa adalah 100 mg/dl/jam sambil menjaga agar

15
kadar glukosa tetap di atas 250 mg/dl selama 5 jam pertama pengobatan. Infus insulin harus
dilanjutkan sampai asidosis dengan AG terkoreksi. Hal yang perlu diingat adalah bahwa tujuan
terapi bukanlah euglikemia, melainkan normalisasi asidosis dengan AG. Selain itu, AG dapat
terkoreksi saat kadar bikarbonat serum tetap rendah. Hal ini biasanya dapat terjadi akibat asidosis
metabolic hiperkloremik dengan kesenjangan nonunion (nonunion gap), yang dapat menetap
setelah hidrasi yang berlebihan dengan NaCl 0,9%. Begitu AG berkurang, dan pasien mengalami
perbaikan klinis dan mampu menoleransi pemberian per oral, pemberian tetesan insulin dapat
dihentikan. Dosis regular insulin subkutan perlu diberikan 30 menit sebelum menghentikan
tetesan insulin untuk mencegah timbulnya kembali hiperglikemia dan asidosis.3

Penatalaksanaan Pemantauan

Pemantauan merupakan bagian yang terpenting dalam pemgobatan KAD mengingat


penyesuaian terapi perlu dilakukan selama terapi berlangsung. Untuk itu perlu dilaksanakan
pemeriksaan:1) konsentrasi glukosa darah tiap jam dengan alat glukometer; 2) elektrolit setiap 6
jam selama 24 jam selanjutnya tergantung keadaan; 3) analisis gas darah; bila pH <7 waktu
masuk periksa setiap 6 jam sampai pH >7,1 selanjutnya setiap hari sampai stabil; 4) tekanan
darah, nadi, frekuensi pernapasan dan temperature setiap jam; 5) keadaan hidrasi, balans cairan;
6) waspada terhadap kemungkinan DIC. Agar hasil pemantauan efektif dapat digunakan lembar
evaluasi penatalaksanaan ketoasidosis yang baku.1

Gambar 2. Tabel contoh lembar pemantauan bersinambungan.3

16
Komplikasi

Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan KAD ialah sebagai
berikut: edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut, dan komplikasi iatrogenik.
Komplikasi iatrogenik tersebut adalah hipoglikemia, hipokalemia, hipokloremia, edema otak,
dan hipokalsemia.1

Prognosis

Angka kematian menjadi lebih tinggi pada beberapa keadaan yang menyertai KAD
seperti sepsis, syok yang berat, infark miokard akut yang luas, pasien usia lanjut, konsentrasi
glukosa darah awal yang tinggi, uremia dan konsentrasi keasaman darah yang rendah. Kematian
pada pasien KAD usia muda umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat, pengobatan yang
tepat dan rasional serta memadai sesuai dengan dasar patofisiologinya. Pada pasien kelompok
usia lanjut, penyebab kematian lebih sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.1

Pencegahan

Faktor pencetus utama KAD ialah pemberian dosis insulin yang kurang memadai dan
kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut dapat dicegah dengan akses pada sistem
pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk edukasi DM) dan komunikasi efektif terutama pada
saat penyandang DM mengalami sakit akut (misalnya batuk pilek, diare, demam, luka).1

Upaya pencegahan merupakan hal yang penting pada penatalaksaan DM secara


komprehensif. Upaya pencegahan sekunder untuk mencegah terjadinya komplikasi DM kronik
dan akut, melalui edukasi sangat penting untuk mendapatkan ketaatan berobat pasien yang baik.1

Khusus mengenai pencegahan KAD dan hipoglikemia, program edukasi perlu


menekankan pada cara-cara mengatasi saat sakit akut, meliputi informasi mengenai pemberian
insulin kerja cepat, target konsentrasi glukosa darah pada saat sakit, mengatasi demam dan
infeksi, memulai pemberian makanan cair mengandung karbohidrat dan garam yang mudah
dicerna. Yang paling penting ialah agar tidak menghentikan pemberian insulin atau obat

17
hipoglikemia oral dan sebaiknya segera mencari pertolongan atau nasihat tenaga kerja kesehatan
yang profesional.1

Pasien DM harus didorong untuk perawatan mandiri terutama saat mengalami masa-masa
sakit, dengan melakukan pemantauan konsentrasi glukosa darah dan keton urin sendiri. Disinilah
pentingnya edukator diabetes yang dapat membantu pasien dan keluargam terutama pada
keadaan sulit.1

Penutup

Tuan A berusia 20 tahun mengalami ketoasidosis diabetikum. Karena terjadi penurunan


kesadaran pada pasien ini, pemeriksaan klinis kegawatdaruratan harus dilakukan. Lalu dilakukan
penatalaksaan awal untuk memperbaiki kondisi pasien. Dengan penatalaksanaan awal yang baik,
maka dapat dilakukan observasi diagnosis klinis dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Namun ada pula differential diagnosis dari ketoasidosis diabetikum
yaitu sindrom hiperosmolar non-ketotik, pancreatitis akut, dan krisis tiroid. Setelah diagnosis
yang tepat, dapat dilakukan penatalaksanaan lanjutan untuk lebih memperbaiki kondisi pasien.
Penatalaksanaan demikian dapat mencegah komplikasi yang terjadi dan membuat prognosis
pasien baik pula.

18
Daftar Pustaka

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009.
2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2006.
3. Henderson SO. Vademecum kedokteran emergensi. Jakarta: EGC; 2013.
4. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi ke-8. Jakarta:
EGC; 2012.
5. Kee JL. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan diagnostik. Edisi ke-6. Jakarta: EGC;
2008.
6. Kosasih EN, Kosasih AS. Tafsiran hasil pemeriksaan laboratorium klinik. Jakarta:
Karisma Publishing Group; 2008.
7. Halim SL, Iskandar I, Edward H, Kosasih R, Sudiono H. Kimia klinik. Edisi ke-2.
Jakarta: Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UKRIDA; 2013. h. 61
8. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins basic pathology. 9th Edition. Philadelphia:
Elsevier Saunders Publisher; 2013.p.749

19

Anda mungkin juga menyukai