Anda di halaman 1dari 16

Ketoasidosis Diabetikum pada Laki-laki Berusia 20 Tahun

Natalia
102012391 – E1
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no. 6 Jakarta Barat 11510
email: me_donat@yahoo.com

Pendahuluan

Tidak sadar adalah kondisi menurunnya pemahaman (comprehension), rasionalitas


(coherence), dan kapasitas motivasi baik mental maupun perilaku. Ketidaksadaran diawali
dengan ketidakmampuan untuk mempertahankan fokus pikiran dan kerja, serta adanya
disorientasi. Jika kondisi tidak sadar ini memburuk akan terjadi penurunan kesadaran mental
secara menyeluruh, termasuk kerusakan dalam ingatan, persepsi, komprehensi, penyelesaian
masalah, bahasa, fungsi dan aspek perilaku emosional lainnya yang merupakan bagian dari otak.
Terdapat kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan kondisi tidak sadar dan butuh penanganan
gawat darurat. Ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan komplikasi akut dari diabetes
mellitus (DM) yang serius yang ditandai dengan keadaan dekompensasi kekacauan metabolik
yang ditandai oleh trias, yaitu hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat
mengingat angka kematiannya yang tinggi. Pencegahan merupakan upaya penting untuk
menghindari terjadinya KAD.1

Anamnesis

Anamnesis perlu didapatkan pada pasien yang tidak sadar. Wawancara kepada keluarga
atau teman (jika tidak ada harus diupayakan untuk menghubungi mereka dan dapatkan
anamnesis melalui telepon jika perlu). Wawancara juga dapat dilakukan kepada setiap saksi mata
dari kejadian dimana pasien menjadi tidak sadar. Deskripsi terinci mengenai hilangnya kesadaran
bisa sangat membantu penegakkan diagnosis. Wawancara juga dapat dilakukan kepada sumber
anamnesis lain termasuk laporan ambulans, petugas ambulans, polisi, dokter umum, dan setiap
catatan medis yang ada.

1
Setiap melakukan anamnesis dengan pasien, pertanyaan yang sama harus diajukan pada
kerabat, teman ataupun saksi mata. Berikut merupakan hal-hal yang penting ditanyakan saat
anamnesis: Identitas pasien, rincian peristiwa hilangnya kesadaran, setiap masalah medis atau
psikologis terakhir, riwayat pemakaian obat (baik yang tidak resmi maupun yang diresepkan),
alergi, setiap episode hilangnya kesadaran sebelumnya, setiap riwayat penyakit dahulu yang
merupakan gejala gangguan jantung, pernapasan, neurologis, atau metabolik yang signifikan,
setiap gejala medis terakhir seperti nyeri kepala, demam, atau depresi. Selain itu penting juga
ditanyakan adakah riwayat penyakit dahulu, penyakit kronis dan riwayat penyakit keluarga.
Gambaran seluruh sistem seringkali bisa didapatkan secara rinci dari keluarga atau teman.2
Diketahui dari hasil anamnesis, pasien tuan A yang tidak sadarkan diri berusia 20 tahun,
sejak 2 hari yang lalu mengeluh lemas, nyeri ulu hati hebat, dan muntah-muntah, namun tidak
mau berobat ke dokter. Riwayat penyakit dahulu, pasien sudah mengalami DM sejak 3 tahun lalu
dan tidak mengontrolnya ke dokter.

Pemeriksaan Fisik

Yang pertama harus diamati adalah keadaan umum pasien. Tak sadarkan diri dapat
mengartikan pasien tampak sakit sedang ataupun berat. Setelah itu nilai tingkat kesadaran pasien.
Tingkat kesadaran pasien :
 Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab
semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya
 Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya ,sikapnya
acuh tak acuh.
 Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat,
mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi
jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
 Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi dapat bangun bila ada
rangsangan terutama nyeri.
 Koma, yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak
ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap
cahaya).

2
Setelah itu dilakukan pemeriksaan tanda–tanda vital: tekanan darah, frekuensi nafas,
denyut nadi dan suhu. Amati pula bau nafas pasien. Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan
abdomen umum yaitu dengan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pada inspeksi, hal yang
harus diperhatikan adalah kulit yang meliputi jaringan parut, striae, vena yang berdilatasi. Lalu
perhatikan kontur, lokasi, dan tanda-tanda inflamasi pada umbilikus. Pada kontur abdomen, yang
diamati adalah bentuknya (rata, bulat, buncit, atau sangat cekung), apakah bagian pinggang
terlihat membenjol atau terdapat benjolan setempat. Amati gerakan peristaltis dan pulsasi.
Palpasi pada abdomen membantu mengidentifikasi nyeri tekan, resistensi otot, dan beberapa
organ serta massa yang letaknya superfisial. Saat palpasi, rasakan relaksasi abdomen yang
biasanya terjadi pada saat pasien mengeluarkan napasnya. Lalu lakukan palpasi dalam untuk
menentukan batas-batas massa abdominal. Kenali setiap massa dan perhatikan lokasi massa
tersebut, ukuran, besar, konsistensi, nyeri tekan, pulsasi, dan setiap mobilitas yang berhubungan
dengan respirasi atau dengan tangan pemeriksa. Perkusi yang dilakukan pada abdomen
digunakan untuk menilai jumlah serta distribusi gas dalam abdomen. Biasanya bunyi timpani
lebih dominan karena keberadaan gas di dalam traktus gastrointestinal, namun daerah-daerah
bunyi redup yang terpencar-pencar karena keberadaan cairan dan feses juga merupakan
gambaran yang khas. Temukan korelasi antara hasil pemeriksaa palpasi dengan bunyi perkusi.
Dalam melakukan auskultasi abdomen, yang didengar adalah bunyi dentingan dan gemercik
dengan frekuensi 5-34 kali per menit. Dengarkan pula apakah ditemukan bruit atau friction rubs.4
Prioritas pemeriksaan fisik pada pasien tidak sadar adalah memastikan terdapatnya
Airway (jalan napas), Breathing (pernapasan), Circulation (sirkulasi), dan Disability (disabilitas)
yang adekuat. Setelah resusitasi telah adekuat, baru lakukan pemeriksaan fisik untuk menentukan
dalamnya koma, kemungkinan etiologi, dan akibat yang mungkin ditimbulkannya.2,3 Untuk
menilai keadekuatan sistem pernapasan, diamati tanda-tanda deviasi trakea, pembesaran vena
jugularis (jugular venous distension, JVD), tanda Kussmaul, kesulitan bernapas (seperti usaha
untuk mengambil napas/indrawing, usaha untuk membatasi gerak nafas karena adanya
nyeri/splinting dan penggunaan otot pernapasan tambahan) serta trauma (kontusio, segmen
gail/flail, luka terbuka). Lalu palpasi adanya krepitasi tulang, udara subkutan atau nyeri tekan.
Langkah selanjutnya mengauskultasi untuk mengetahui adanya udara yang masuk, kesimetrisan,
bunyi napas tambahan (ronki, mengi, dan gesekan), dan melakukan perkusi jika perlu, untuk
mengetahui adanya hiperresonansi atau bunyi pekak pada kedua sisi. Menilai sirkulasi dilakukan

3
dengan mempalpasi frekuensi, keteraturan irama, kontur dan kekuatan denyut nadi. Denyut nadi
harus diperiksa di keempat ekstremitas, dan jika tidak teraba, palpasi denyut nadi sentral
(femoral dan karotis). Disabilitas menggambarkan penilaian status neurologis pada survey
primer. Jika memungkinkan, sebaiknya penilaian cepat dilakukan sebelum memberikan obat.
Maka yang harus dilakukan adalah menilai tingkat kesadaran dengan menggunakan skala koma
Glasgow. Mengamati ukuran dan kesimetrisan pupil, serta reaksinya terhadap cahaya, dan
mengamati keempat ekstremitas untuk melihat pergerakan kasarnya.3
Tabel 1. Skala Koma Glasgow.3

Membuka Mata Motorik Verbal


1 Tidak ada Tidak bergerak Tidak bersuara
2 Dengan rangsang nyeri Postur deserebrasi Mengerang
3 Dengan perintah Postur dekortikasi Berupa kata-kata
4 Spontan Usaha menghindari rangsang nyeri Kebingungan
5 Mampu melokalisasi nyeri Terorientasi
6 Bergerak dengan perintah
Skor minimum = 3 ; skor maksimum = 15

Berat (koma): 3-8, Sedang: 9-12, Ringan: 13-15


Pada hasil pemeriksaan fisik, menunjukkan tekanan darah 130/80 mmHg, frekuensi napas
24x/menit cepat dan dalam, nafas berbau aseton, frekuensi nadi 100 x/menit. Pada pemeriksaan
fisik abdomen ditemukan ada nyeri tekan pada bagian epigastrium.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk keadaan emergency adalah glukosa
darah, analisa gas darah, elektrolit dan EKG. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan
lain seperti darah lengkap dan pemeriksaan terkait gejala.3,5
Kadar glukosa darah yang sangat rendah timbul akibat berbagai proses yang mengancam
nyawa dan harus dikenali secepatnya. Temuan kadar glukosa darah yang tinggi juga sama
pentingnya dan dapat membantu merencanakan upaya resusitasi awal. Kadar glukosa darah harus
diukur pada semua pasien dengan perubahan status mental dan jika abnormal sebaiknya
dilakukan pemeriksaan ulang.

4
Keberadaan analisis elektrolit darah di tempat semakin bertambah dan sangat membantu.
Pengetahuan akan kadar elektrolit pada menit-menit awal dapat memungkinkan upaya intervensi
penting dilakukan lebih awal. Pada beberapa kasus, terapi semacam itu bahkan dapat dimulai
sebelum data tentang elektrolit diperoleh (missal, memberikan terapi darurat untuk hiperkalemia
berdasar data gambaran EKG yang khas dan riwayat klinis). Bila kadar glukosa turun, tingkat
natrium serum meningkat dengan jumlah yang sesuai.
Meskipun untuk hipoksia dan hiperkarbia harus dibuat secara klinis, gas darah arteri
memiliki peranan yang penting ketika pemeriksaan saturasi oksigen tidak dapat dilakukan atau
tidak dapat dipercaya, untuk menilai zat racun tertentu seperti karbon monoksida dan
methemoglobinemia, dan untuk membantu penanganan ventilasi mekanis. Nilai pH dan
kelebihan basa (base excess) yang diperoleh dari pemeriksaan gas darah (termasuk gas vena)
juga dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang untuk mengukur derajat keparahan syok
dan respons terhadap upaya resusitasi.
Pemeriksaan darah rutin yang dilakukan adalah sebagai berikut: Hemoglobin (Hb): Kadar
normal Hb adalah pria dewasa: 13.5-17 g/dl, wanita dewasa: 12-15 g/dl.; Hematokrit (Ht): Kadar
normal Ht adalah pria dewasa: 40-54%, wanita dewasa: 36-46%.; Sel darah putih (Leukosit):
Jumlah normal sel darah putih adalah dewasa: 4500-10000 uL. Trombosit: Jumlah normal
trombosit adalah dewasa: 150000-400000 uL.6
Pemeriksaan fungsi hepar dapat dilihat dengan Serum Glutamic Pyruvic Transaminase
(SGPT) dan Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT). SGPT yang berasal dari
sitoplasma sel hati dianggap lebih spesifik daripada SGOT untuk kerusakan parenkim hati. Pada
umumnya nilai tes SGPT lebih tinggi daripada SGOT pada kerusakan parenkim hati akut.6 Nilai
normal SGPT adalah 10-35 U/l. Nilai normal SPOT adalah 8-38 U/l.5
Pemeriksaan benda keton darah penting terutama untuk penderita DM tipe-2 yang
terkendali buruk, misalnya kadar glukosa darah >300 mg/dL, penderita DM tipe-2 dengan
penyulit akut, serta terdapat gejala ketoasidosis diabetik (KAD) seperti mual, muntah, atau nyeri
abdomen. Benda keton dalam darah yang penting adalah asam betahidroksi butirat. Bila kadar
benda keton darah <0,6 mmol/L dianggap normal, kadar benda keton darah di atas 1 mmol/L
disebut ketosis dan kadar benda keton darah di atas 3 mmol merupakan indikasi adanya KAD.7
Amilase adalah enzim yang berasal dari pankreas, kelenjar ludah, dan hepar. Fungsinya
adalah mengubah zat tepung menjadi gula. Pada pankreatitis akut, kadar amilase serum

5
meningkat menjadi dua kali lipat kadar normalmya. Peningkatan kadarnya dimulai 2 sampai 12
jam setelah awitan, memuncak dalam 20 sampai 30 jam, dan kembali ke kadar normalnya dalam
2 sampai 4 hari. Pankreatitis akut sering dikaitkan dengan inflamasi, nyeri yang berat, dan
nekrosis akibat enzum pencernaan (termasuk amilase) yang keluar ke jaringan di sekitarnya.
Nilai normal amilase adalah 30-130 U/dl.5
Hasil pemeriksaan penunjang yang didapatkan pada pasien ini adalah nilai gula darah
sewaktu sebesar 400 mg/dL (meningkat), keton darah positif, nilai SGOT 64 IU (meningkat),
SGPT 67 IU (meningkat), leukosit 15000/uL (meningkat), dan amilase 100 U/L (normal). Nilai
gula darah yang tinggi beserta hasil lab keton darah positif serta pernapasan kusmaull menjadi
salah satu indikator untuk diagnosis klinis ketoasidosis diabetikum.

Working Diagnosis

Ketoasidosis Diabetikum
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien dengan KAD terdiri dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti dengan terutama memperhatikan patensi jalan napas,
status mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus
dapat menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga
penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.1
Ketoasidosis diabetikum adalah suatu keadaan dekompensasi metabolik akibat diabetes
melitus yang ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD merupakan komplikasi akut diabetes mellitus yang
serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat dieresis osmotik, KAD biasanya
mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat menyebabkan syok. Keadaan ini ditandai oleh
produksi benda keton dan asam keton berlebihan yang menyebabkan terjadinya asidosis
metabolik. Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dan mudah untuk segera dilakukan
setelah dilakukannya anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan konsentrasi glukosa
darah dengan glucose sticks dan pemeriksaan urin dengan menggunakan urine strip untuk
melihat secara kualitatif jumlah glukosa, keton, nitrat, dan leukosit dalam urine. Pemeriksaan
laboratorium lengkap untuk dapat menilai karakteristik dan tingkat keparahan KAD meliputi
konsentrasi HCO3, anion gap, pH darah.
Tabel 2. Kriteria Diagnosius KAD1

6
Kadar glukosa >250 mg%
pH <7,35
HCO3 rendah
Anion gap yang tinggi
Keton serum positif

Differential Diagnosis
Hiperosmolar Non-Ketotik
Hiperosmolar non-ketotik terdiri atas hiperglikemia, hiperosmolaritas, dehidrasi berat,
dan perubahan status mental tanpa ketosis atau asidosis yang bermakna. Faktor pencetus yang
umum adalah infeksi, iskemua (jantung atau SSP), cedera, perdarahan gastrointestinal,
pancreatitis, emboli pari, obat-obatan (beta blocker), dialisis peritoneal, hiperalimentasi.
Terdapat pula faktor yang umum berkontribusi atau penyakit penyerta yaitu insufisiensi ginjal,
penyakit jantung, perubahan status mental / perubahan mekanisme haus, kelemahan fisik, obat
golongan diuretik. Terdapat empat kriteria dasar diagnosis: (1) hiperglikemia yang nyata (>600
mg/dl, seringkali >1000 mg/dl), (2) hiperosmolaritas, (3) pH >7,3, (4) tanpa atau dengan sedikit
ketosis. Glukosa yang tinggi ini akan menarik air keluar sel dan selanjutnya keluar dari tubuh
melalui kencing. Maka, timbullah kekurangan cairan tubuh atau dehidrasi. Gejala yang
ditimbulkan adalah rasa sangat haus, banyak kencing, lemah, kaki dan tungkai kram, bingung,
nadi berdenyut cepat, kejang dan koma.3
Pankreatitis Akut
Pankreatitis akut paling sering disebabkan oleh batu empedu atau alkoholisme. Gambaran
klinis : (trias klasik pankreatitis akut)
- Nyeri perut : khas berupa nyeri epigastrik dengan onset mendadak (<30 menit), menjalar
ke punggung, menghilang dalam <72jam.
- Muntah : yang juga menyebabkan hipovolemia
- Icterus : menunjukkan adanya kolangitis yang berhubungan dan meningkatkan
kemungkinan batu empedu.
Pankreatitis merupakan suatu gangguan multisistem yang dapat menimbulkan kegagalan organ
yang parah dan kematian.1
Krisis Tiroid

7
Krisis tiroid menggambarkan suatu bentuk langka tirotoksikosis yang berlebih dengan
peningkatan suhu, takikardia yang tidak sebanding dengan derajat demam, perubahan status
mental, dan disfungsi kardiovaskular. Hipertiroidism tirotoksikosis, dan krisis tiroid
menggambarkan suatu kelanjutan penyakit. Gejala konstitusional yang mencakup penurunan
berat badan, anoreksia, kelemahan, cemas, intoleransi terhadap panas, dan demam umum
dijumpai. Gejala kardiovaskular mencakup palpitasi, dispnea, nyeri dada, takikardia, pelebaran
jarak antara sistolik dan diastolik, gagal jantung kongestif (kegagalan dengan curah jantung yang
tinggi), aritmia (kontraksi ventrikel premature / kontraksi atrium premature / fibrilasi atrium /
flutter atrium), atau syok pada kasus yang parah. Gejala SSP berupa tremor dan kegelisahan
umum dijumpai. Perubahan status mental yang bervariasi dari kebingungan hingga psikosis dan
koma membedakan krisis tiroid dari tirotoksikosis berat. Gejala gastrointestinal berupa diare,
nyeri abdomen, ikterus, dan hepatomegali yang lunak (akibat kongesti jantung) dapat dijumpai.
Gejala muskuloskeletal dapat mencakup kelemahan otot proksimal (miopati tirotiksik).
Pemeriksaan fungsi tiroid memperlihatkan kadar TSH yang rendah, peningkatan T4 total, dan T4
bebas. Tidak terdapat nilai yang bersifat patognomonik dan pemeriksaan ini sering tidak dapat
dilakukan selama proses penanganan di unit gawat darurat. Pemeriksaan hitung darah lengkap
dapat memperlihatkan anemia akibat penyakit kronik dan pergeseran leukosit ke kiri. Hitung
leukosit perifer dapat meningkat akibat krisis tiroid atau akibat penyakit pencetus. Azotemia
ringan akibat dehidrasi dapat dijumpai. Hiperglikemia ringan akibat keadaan hipermetabolik
umum dijumpai. Peningkatan enzim pada uji fungsi hati (kongesti hati akibat gagal jantung
dengan curah yang tinggi) terkadang dijumpai. Pemeriksaan EKG memperlihatkan takikardia
sinus, kontraksi ventrikel prematur, kontraksi atrium prematur, fibrilasi atrium, flutter atrium
atau bukti adanya iskemia penyerta atau pencetus. Pemeriksaan rontgen dada dapat
memperlihatkan adanya gagal jantung kongestif, kardiomegali, atau infiltrate pulmonal yang
mengindikasikan penyakit penyerta atau penyakit pencetus. Pemindaian CT kepala dapat
diindikasikan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab lain dari perubahan status mental.
Pemeriksaan lain diindikasikan sesuai kebutuhan untuk mendiagnosis penyakit penyerta /
pencetus.3
Etiologi

Insulin Dependen Diabetes Melitus (IDDM) atau diabetes melitus tergantung insulin
disebabkan oleh destruksi sel B pulau langerhans akibat proses autoimun. Sedangkan non

8
insulin dependen diabetik melitus (NIDDM) atau diabetes melitus tidak tergantung insulin
disebabkan kegagalan relatif sel B dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya
kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel B tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini
sepenuhnya. Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama
kali. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali adanya faktor
pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam pengobatan dan pencegahan ketoasidosis
berulang. Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah infeksi, infark miokard
akut, pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, menghentikan atau mengurangi dosis
insulin. Sementara itu 20% pasien KAD tidak didapatkan faktor pencetus. Menghentikan atau
mengurangi dosis insulin merupakan salah satu pencetus terjadinya KAD. Data seri kasus KAD
tahun 1998-99 di RS Dr. Cipto Mangunkusumo menunjukkan 5% kasus menyuntik dosis insulin
kurang. 56 kasus KAD negro Amerika yang tinggal di daerah perkotaan. Di antara 56 kasus
tersebut, 75% telah diketahui DM sebelumnya dan 67% faktor pencetusnya adalah menghentikan
dosis insulin.1
Epidemiologi
Data komunitas Amerika Serikat, Rochester menunjukkan bahwa insidens KAD sebesar
8 per 1000 pasien DM per tahun untuk semua kelompok umur, sedangkan untuk kelompok usia
di bawah 30 tahun sebesar 13,4 per 1000 pasien DM per tahun. Walaupun data komunitas di
Indonesia belum ada, agaknya insidens KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara Barat,
mengingat prevalensi DM tipe-1 yang rendah. Laporan insiden KAD di Indonesia umumnya
berasal dari data rumah sakit, dan terutama pada pasien DM tipe 2.1
Di negara maju dengan sarana yang lengkap, angka kematian KAD berkisar antara 9-
10%, sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka kematian dapat
mencapai 25-50%. Angka kematian KAD di RS Dr. Cipto Mangunkusumo dari tahun ke tahun
tampaknya belum ada perbaikan. Selama periode 5 bulan (Januari-Mei 2002) terdapat 39 episode
KAD dengan angka kematian 15%. Dari data yang ada tampak bahwa jumlah pasien KAD dari
tahun ke tahun relatif tetap / tidak berkurang dan angka kematiannya juga belum
menggembirakan. Mengingat 80% pasien KAD telah diketahui menderita DM sebelumnya,
upaya pencegahan sangat berperan dalam mencegah KAD dan diagnosis dini KAD.1

9
Manifestasi Klinik
Sekitar 80% pasien KAD adalah pasien DM yang sudah dikenal. Kenyataan ini tentunya
sangat membantu untuk mengenali KAD akan lebih cepat sebagai komplikasi akut DM dan
segera mengatasinya. Sesuai dengan patofisiologi KAD, maka pada pasien KAD dijumpai
pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah
dan bibir kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dan hawa napas
tidak terlalu mudah tercium. Areataeus menjelaskan gambaran klinis KAD sebagai berikut
keluhan poliuri dan polidipsi seringkali mendahului KAD serta didapatkan riwayat berhenti
menyuntik insulin, demam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai
terutama pada KAD anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal itu
berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lambung. Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai
mulai kompos mentis, delirium, atau depresi sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran
koma perlu dipikirkan penyebab penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi,
minum alkohol). Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering, di RS dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta, faktor pencetus infeksi didapatkan sekitar 80%. Infeksi yang sering
ditemukan ialah infeksi saluran kemih dan pneumonia. Walaupun faktor pencetusnya adalah
infeksi, kebanyakan pasien tidak mengalami demam. Bila dijumpai adanya nyeri abdomen, perlu
dipikirkan kemungkinan kolesistitis, iskemia usus, apendisitis, diverticulitis, atau perforasi usus.
Bula ternyata pasien tidak menunjukkan respons yang baik terhadap pengobatan KAD, maka
perlu dicari kemungkiinan infeksi tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses perirektal).1

Patofisiologi
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon
pertumbuhan), keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan utilisasi
glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia
sangat bervariasi dan tidak menentukan berat-ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis
KAD dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu akibat hiperglikemia dan akibat ketosis.
Walaupun sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa, sistem hemostasis tubuh terus teraktivasi
untuk memproduksi glukosa dalam jumlah banyak sehingga terjadi hiperglikemia. Kombinasi
defisiensi insulin dan peningkatan konsentrasi hormon kontra regulator terutama epinefrin,

10
mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak. Akibat lipolisis meningkat, sehingga
terjadi peningkatan produksi benda keton dan asam lemak bebas secara berlebihan. Akumulasi
produksi benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan metabolik asidosis. Benda keton utama
ialah asam asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidroksibutirat (3HB), dalam keadaan normal
konsentrasi 3HB meliputi 75-85% dan aseton darah merupakan benda keton yang tidak begitu
penting. Meskipun sudah tersedia bahan bakar tersebut sel-sel tubuh masih tetap lapar dan terus
memproduksi glukosa.
Hanya insulin yang dapat menginduksi transport glukosa ke dalam sel, memberi signal
untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen, menghambat lipolisis pada sel lemak
(menekan pembentukan asam lemak bebas), menghambat glukoneogenesis pada sel hati serta
mendorong proses oksidasi melalui siklus krebs dalam mitokondria sel. Melalui proses oksidasi
tersebut akan dihasilkan adenon trifosfat (ATP) yang merupakan sumber energi utama sel.
Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat keadaan defisiensi insulin relative.
Meningkatnya hormon kontra regulator insulin, meningkatnya asam lemak bebas, hiperglikemia,
gangguan keseimbangan elektrolit dan asam-basa dapat mengganggu sensitivitas insulin.1

Gambar 1. Patofisiologi ketoasidosid diabetikum8

Defisiensi aktivitas insulin tersebut menyebabkan 3 proses patofisiologi yang nyata pada
3 organ, yaitu sel-sel lemak, hati, dan otot. Perubahan yang terjadi terutama melibatkan
metabolism lemak dan karbohidrat. Di antara hormon-hormon kontraregulator, glukagon yang
paling berperan dalam pathogenesis KAD. Glukagon menghambat proses glikolisis dan
menghambat pembentukan malonyl CoA. Malonyl CoA adalah suatu penghambat carnitine acyl
transferases (CPT 1 dan 2) yang bekerja pada transfer asam lemak bebas ke dalam mitokondria.

11
Dengan demikian peningkatan glukagon akan merangsang oksidasi beta asam lemak dan
ketogenesis. Pada pasien DM tipe 1, konsentrasi glukagon darah tidak teregulasi dengan baik.
Bila konsentrasi insulin rendah maka konsentrasi glukagon darah sangat meningkat serta
mengakibatkan reaksi kebalikan respons insulin pada sel-sel lemak dan hati. Konsentrasi
epinefrin dan kortisol darah meningkat pada KAD. Hormon pertumbuhan (GH) pada awal terapi
KAD konsentrasinya kadang-kadang meningkat dan lebih meningkat lagi dengan pemberian
insulin.1
Penatalaksanaan

Pengelolaan KAD berdasarkan patofisiologi dan patogenesis penyakit, merupakan terapi


titrasi, sehingga sebaiknya dirawat diruang perawatan intensif. Prinsip-prinsip pengelolaan KAD
ialah: 1. Penggantian cairan dan garam yang hilang 2. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan
glukoneogenesis sel hati dengan pemberian insulin 3. Mengatasi stress sebagai pencetus KAD 4.
Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pemantauan serta penyesuaian
pengobatan. Penggantian cairan merupakan terapi yang penting dan efektif untuk KAD.
Pemberian cairan memperbaiki dehidrasi, asidosis, dan hiperglikemia secara bersamaan. Rata-
rata defisit cairannya adalah 5-10 liter atau 100ml per kg berat badan. Untuk mengganti volume
intravaskular, gunakan larutan NaCl 0,9%. Maka pada jam pertama berikan satu sampai dua liter
dengan kecepatan 30-60 menit/L, jam kedua diberikan satu liter dan selanjutnya sesuai protocol.
Penambahan cairan tersebut dapat diperlukan, bergantung pada derajat dehidrasi dan stabilitas
hemodinamik. Begitu volume intravaskular telah pulih, ganti dengan NaCl 0,45% untuk cairan
rumatan (biasanya 150-200 ml/jam). Pemberian hidrasi yang berlebihan dalam waktu yang cepat
harus dihindari. Komplikasinya mecakup penurunan mendadak K+ jika suplementasi awal tidak
diberikan, kelebihan cairan pada pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang bermakna, dan
edema otak. Keuntungan rehidrasi memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan hormone
kontraregulator insulin. Bila konsentrasi glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu diberikan
larutan mengandung glukosa (dekstrosa 5% atau 10%)1,3
Pada awal KAD biasanya konsentrasi ion K serum meningkat. Hiperkalemia yang fatal
sangat jarang dan bila terjadi harus segera diatasi dengan pemberian bikarbonat. Bila pada
elektrokardiogram ditemukan gelombang T yang tinggi, pemberian cairan dan insulin dapat
segera mengatasi keadaan hiperkalemi tersebut. Waspadalah akan hipokalemia yang mengancam
nyawa begitu pemberian cairan dan insulin dimulai. Penurunan ini terjadi karena K+ bergerak

12
keluar sel dan karena pembuangan lewat urin meningkat akibat ekskresi ginjal yang kembali
menjadi normal. Total deficit K yang terjadi selama KAD diperkirakan mencapai 3-5 mEq/ kg
BB. Selama terapi KAD ion K ke dalam sel. Untuk mengantisipasi masuknya ion K ke dalam sel
serta mempertahankan konsentrasi K serum dalam batas normal , perlu pemberian kalium.
Pantau kadar kalium setiap jam selama beberapa jam pertama. Pemeriksaan EKG awal adalah
sebuah pemeriksaan yang cepat dan bermanfaat dalam memberitahukan kadar K+ sebelum hasil
lab diperoleh. Suplementasi kalium harus dimulai begitu kadar kalium berada dalam paruh atas
rentang nilai normal dan pasien mulai berkemih. Penggantian kalium oral, jika pasien dapat
menoleransinya, sama efektif dan sama amannya dibanding pemberian intravena. Kalium dapat
diberikan secara intravena dalam kadar sebesar 20-40 meq/L dengan kecepatan 10 meq/jam
(dapat mendekati 15-20 meq/jam pada hipokalemia berat).3
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang
memadai. Pemberian insulin akan menurunkan konsentrasi hormon glucagon, sehingga dapat
menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak,
pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan.
Terapi dengan insulin berdosis rendah mempunyai efektivitas yang sama dengan terapi insulin
berdosis tinggi dan mempunyai komplikasi yang lebih sedikit (misalnya hipokalemia,
hipoglikemia). Praktik pemberian bolus insulin yang sering dilakukan tidak lagi dianjurkan
karena hal tersebut akan meningkatkan risiko tanpa menambah keuntungan, sekarang dengan
menggunakan drip insulin intravena dosis rendah. Cara ini dianjurkan oleh karena lebih mudah
mengontrol dosis insulin, menurunkan konsentrasi glukosa darah lenih lambat, efek insulin cepat
menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih lambat. Pemberian insulin kontinu secara
intravena lebih jarang menyebabkan hipoglikemi dibandingkan cara bolus. Waktu paruh insulin
adalah 3-10 menit, karena itu infus secara kontinu menghasilkan kadar yang mantap, dapat
dipercaya, dan mudah dititrasi. Penatalaksaan pilihan adalah infus kontinu dengan dosis 5-10
U/jam atau tetesan infus dengan 0,1 U/kg/jam. Sebelum memulai pemberian tetesan infus, selang
infus perlu dibilas terlebih dulu dengan larutan yang mengandung 50 ml insulin karena insulin
dapat menempel pada selang tersebut. Pemberian insulin tidak boleh dihentikan tiba-tiba dan
perlu dilanjutkan beberapa jam setelah koreksi hiperglikemi tercapai. Begitu kadar glukosa
serum <200, gantilah cairan dengan larutan yang mengandung glukosa. Laju optimal penurunan
kadar glukosa adalah 100 mg/dl/jam sambil menjaga agar kadar glukosa tetap di atas 250 mg/dl

13
selama 5 jam pertama pengobatan. Infus insulin harus dilanjutkan sampai asidosis dengan AG
terkoreksi. Hal yang perlu diingat adalah bahwa tujuan terapi bukanlah euglikemia, melainkan
normalisasi asidosis dengan AG. Selain itu, AG dapat terkoreksi saat kadar bikarbonat serum
tetap rendah. Hal ini biasanya dapat terjadi akibat asidosis metabolik hiperkloremik dengan
kesenjangan nonunion (nonunion gap), yang dapat menetap setelah hidrasi yang berlebihan
dengan NaCl 0,9%. Begitu AG berkurang, dan pasien mengalami perbaikan klinis dan mampu
menoleransi pemberian per oral, pemberian tetesan insulin dapat dihentikan. Dosis regular
insulin subkutan perlu diberikan 30 menit sebelum menghentikan tetesan insulin untuk
mencegah timbulnya kembali hiperglikemia dan asidosis.3
Pemberian bikarbonat hanya dilakukan pada KAD yang berat. Oleh karena dapat
menurunkan pH intraseluler akibat difusi CO2 yang dilepas bikarbonat, efek negatif pada
disosiasi oksigen di jaringan, hipertonis dan kelebihan natrium, meningkatkan insidens
hipokalemia, gangguan fungsi serebral dan terjadi alkalemia bila bikarbonat terbentuk dari asam
keto. Saat ini bikarbonat hanya diberikan bila pH kurang dari 7,1 walaupun demikian komplikasi
asidosis laktat dan hiperkalemi yang mengancam tetap merupakan indikasi pemberian
bikarbonat.1
Disamping hal tersebut pengobatan umum KAD terdiri atas antibiotic yang adekuat,
oksigen bila pO2 < 80 mmHg, heparin bila ada DIC atau bila hiperosmolar (> 380 mOsm/I).1

Penatalaksanaan Pemantauan
Pemantauan merupakan bagian yang terpenting dalam pemgobatan KAD mengingat
penyesuaian terapi perlu dilakukan selama terapi berlangsung. Untuk itu perlu dilaksanakan
pemeriksaan:1) konsentrasi glukosa darah tiap jam dengan alat glukometer; 2) elektrolit setiap 6
jam selama 24 jam selanjutnya tergantung keadaan; 3) analisis gas darah; bila pH <7 waktu
masuk periksa setiap 6 jam sampai pH >7,1 selanjutnya setiap hari sampai stabil; 4) tekanan
darah, nadi, frekuensi pernapasan dan temperature setiap jam; 5) keadaan hidrasi, balans cairan;
6) waspada terhadap kemungkinan DIC. Agar hasil pemantauan efektif dapat digunakan lembar
evaluasi penatalaksanaan ketoasidosis yang baku.1
Komplikasi
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan KAD ialah sebagai
berikut: edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut, dan komplikasi iatrogenik.

14
Komplikasi iatrogenik tersebut adalah hipoglikemia, hipokalemia, hipokloremia, edema otak,
dan hipokalsemia.1

Prognosis
Angka kematian menjadi lebih tinggi pada beberapa keadaan yang menyertai KAD
seperti sepsis, syok yang berat, infark miokard akut yang luas, pasien usia lanjut, konsentrasi
glukosa darah awal yang tinggi, uremia dan konsentrasi keasaman darah yang rendah. Kematian
pada pasien KAD usia muda umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat, pengobatan yang
tepat dan rasional serta memadai sesuai dengan dasar patofisiologinya. Pada pasien kelompok
usia lanjut, penyebab kematian lebih sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya. Pada pasien
yang baru berumur 20 tahun dan penanganan dengan cepat dan tepat prognosis nya adalah dubia
ad bonam.1

Pencegahan
Faktor pencetus utama KAD ialah pemberian dosis insulin yang kurang memadai dan
kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut dapat dicegah dengan akses pada sistem
pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk edukasi DM) dan komunikasi efektif terutama pada
saat penyandang DM mengalami sakit akut (misalnya batuk pilek, diare, demam, luka). Upaya
pencegahan merupakan hal yang penting pada penatalaksaan DM secara komprehensif. Upaya
pencegahan sekunder untuk mencegah terjadinya komplikasi DM kronik dan akut, melalui
edukasi sangat penting untuk mendapatkan ketaatan berobat pasien yang baik. Khusus mengenai
pencegahan KAD dan hipoglikemia, program edukasi perlu menekankan pada cara-cara
mengatasi saat sakit akut, meliputi informasi mengenai pemberian insulin kerja cepat, target
konsentrasi glukosa darah pada saat sakit, mengatasi demam dan infeksi, memulai pemberian
makanan cair mengandung karbohidrat dan garam yang mudah dicerna. Yang paling penting
ialah agar tidak menghentikan pemberian insulin atau obat hipoglikemia oral dan sebaiknya
segera mencari pertolongan atau nasihat tenaga kerja kesehatan yang profesional. Pasien DM
harus didorong untuk perawatan mandiri terutama saat mengalami masa-masa sakit, dengan
melakukan pemantauan konsentrasi glukosa darah dan keton urin sendiri. Disinilah pentingnya
edukator diabetes yang dapat membantu pasien dan keluarga, terutama pada keadaan sulit.1

15
Kesimpulan
Tuan A berusia 20 tahun mengalami ketoasidosis diabetikum. Ketoasidosis diabetikum
(KAD) merupakan komplikasi akut dari diabetes mellitus (DM) yang serius yang ditandai
dengan keadaan dekompensasi kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias, yaitu
hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau
relatif. KAD memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat mengingat angka kematiannya yang
tinggi. Pencegahan merupakan upaya penting untuk menghindari terjadinya KAD.

Daftar Pustaka

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid III. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.1906-11.
2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2006.h.37-9.
3. Henderson SO. Vademecum kedokteran emergensi. Jakarta: EGC; 2013.h.21-9.
4. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi ke-8. Jakarta:
EGC; 2012.h.84-5.
5. Kee JL. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan diagnostik. Edisi ke-6. Jakarta: EGC;
2008.h.54-5.
6. Kosasih EN, Kosasih AS. Tafsiran hasil pemeriksaan laboratorium klinik. Jakarta:
Karisma Publishing Group; 2008.h.5.
7. Halim SL, Iskandar I, Edward H, Kosasih R, Sudiono H. Kimia klinik. Edisi ke-2.
Jakarta: Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UKRIDA; 2013. h.61.
8. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins basic pathology. 9th Edition. Philadelphia:
Elsevier Saunders Publisher; 2013.p.749
.

16

Anda mungkin juga menyukai