pasca kelahiran, terutama apakah ada sianosis atau kejang, aktivitasnya, dan daya
isapnya.
Untuk anak kecil, harus ditanyakan bagaimana tumbuh kembangnya dan dilakukan
pemeriksaan singkat terhadap hal tersebut. Jika terdapat kelainan, pemeriksaan harus
dilakukan lebih lengkap. Utnuk anak yang berusia lebih tua, harus pula ditanyakan
prestasi sekolahnya. Kadang-kadang diperlukan ujian khusus untuk status
intelegensianya.
Pertanyaan juga harus diajukan untuk hal yang menyangkut trauma atau terjatuh,
riwayat kejang dan riwayat kejang dalam keluarga, riwayat meningitis, ensefalitits,
menit. Karena itu, harus ada sirkulasi darah untuk menyampaikan oksigen dan
glukosa ke otak. Jadi waktu untuk memulihkan pernafasan dan sirkulasi darah adalah
singkat.
2. Kulit. Perhatikan tanda trauma, simata penyakit hati, bekas suntikan, kulit basah
karena keringat (misalnya pada hipoglikemi, syok), kulit kering (misalnya pada koma
diabetic), perdarahan misalnya demam berdarah, DIC).
3. Kepala. Perhatikan tanda trauma, hematoma di kulit kepala, hematoma disekitar
mata, perdarahan di liang telingan dan hidung.
4. Thoraks, jantung, paru, abdomen, ekstremitas.
c. PEMERIKSAAN NEUROLOGI
Pada tiap penderita koma atau kesadaran menurun harus dilakukan pemeriksaan
neurologis.perhatikanlah sikap penderita waktu berbaring apakah tenang dan santai yang
menandakan bahwa penurunan kesadaran tidak dalam. Adanya gerakan menguap dan
menelan menandakan bahwa turunnya kesadaran tidak dalam. Kelopak mata yang
terbuka dan rahan yang tergantung di dapatkan pada penurunan kesadaran yang dalam.
Perlu diketahui bahwa tidak ada batasan yang tegas antara tingkat kesadaran. Secara
umum data dikatakan bahwa semakin kuat rangsang yang dibutuhkan untuk
membangkitkan jawaban, semakin dalam penurunan tingkat kesadaran.7
1. GCS (GLASGOW COMA SCALE)
GCS digunakan untuk memperhatikan tanggapan (respons) penderita terhadap
rangsang dan member nilai pada respons tersebut. Tanggapan / respons penderita
yang perlu diperhatikan adalah :7
Membuka Mata
-
Nilai
Spontan
Terhadap bicara
(Suruh pasien membuka mata)
- Dengan rangang nyeri
(Tekan pada saraf supraorbita atau ujung jari)
- Tidak ada reaksi
Respons Verbal (Berbicara)
- Baik dan tak ada disorientasi
(Dapat menjawab dengan kalimat yang baik dan tahu dimana
ia berada, tahu waktu, hari, bulan)
- Kacau (confused)
(Dapat bicara dalam kalimat, namun ada disorientasi
waktu dan tempat)
4
3
2
1
Nilai
5
4
Tidak tepat
3
(Dapat mengucapkan kata-kata namun tidak berupa
kalimat dan tidak tepat)
- Mengerang
2
(Tidak mengucapkan kata-kata, hanya mengerang)
- Tidak ada jawaban
1
Respons Motorik (Gerakan)
Nilai
- Menuruti perintah
6
(misalnya, suruh : angkat tangan)
- Mengetahui lokasi nyeri
5
(Berikan rangsangan nyeri misalnya menekand dengan jari pada
supraorbita. Bila oleh rasa nyeri pasien mengangkat tangannya
sampai melewati dagu untuk maksud menapis rangsangan tersebut
berarti ia dapat mengetahui lokasi nyeri)
- Reaksi menghindar
4
- Reaksi fleksi (dekortifikasi)
3
(Berikan rangsangan nyeri misalnya menekan dengan objek keras,
seperti ballpoint, pada jari kuku. Bila sebagai jawaban siku
memfleksi, terdapat reaksi fleksi pada nyeri ; fleksi pada pergelangan
tangan mungkin ada mungkin tidak ada)
- Reaksi ekstensi (deserebrasi)
2
(Dengan rangsang nyeri tsb diatas terjadi ekstensi pada siku. Ini
selalu disertai fleksi spatik pada pergelangan tangan)
- Tidak ada reaksi
1
(Sebelum emmutuskan bahwa tidak ada reaksi, harus diyakinkan
bahwa rangsang nyeri memang cukup adekuat diberikan)
2. CRANIAL NERVE 1-12
Saraf-saraf kranial langsung berasal dari otak dan meninggalkan tengkorak
melalui lubang-lubang pada tulang yang dinamakan foramina, terdapat 12 pasang
saraf kranial yang dinyatakan dengan nama atau dengan angka romawi. Saraf-saraf
tersebut adalah olfaktorius (I), optikus (II), Okulomotorius (III), troklearis (IV),
trigeminus
glossofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), hipoglosus (XII). Saraf kranial I, II,
VII merupakan saraf sensorik murni, saraf kranial III, IV, XI dan XII merupakan saraf
motorik, tetapi juga mengandung serabut proprioseptif dari otot-otot yang
dipersarafinya. Saraf kranial V, VII, X merupakan saraf campuran, saraf kranial III,
VII dan X juga mengandung beberapa serabut saraf dari cabang parasimpatis sistem
saraf otonom.
1) Cranial Nerve I (Olfaktorius)8
Saraf ini tidak diperiksa secara rutin, tetapi harus dikerjakan jika terdapat
riwayat tentang hilangnya rasa pengecapan dan penciuman, kalau penderita
mengalami cedera kepala sedang atau berat, dan atau dicurigai adanya penyakitpenyakit yang mengenai bagian basal lobus frontalis.
Untuk menguji saraf olfaktorius digunakan bahan yang tidak merangsang
seperti kopi, tembakau, parfum atau rempah-rempah. Letakkan salah satu bahanbahan tersebut di depan salah satu lubang hidung orang tersebut sementara lubang
hidung yang lain kita tutup dan pasien menutup matanya. Kemudian pasien
diminta untuk memberitahu saat mulai terhidunya bahan tersebut dan kalau
mungkin mengidentifikasikan bahan yang di hidu.
2) Cranial Nerve II (Optikus) 8
Pemeriksaan meliputi penglihatan sentral (Visual acuity), penglihatan
perifer (visual field), refleks pupil, pemeriksaan fundus okuli serta tes warna.
i. Pemeriksaan penglihatan sentral (visual acuity)
Penglihatan sentral diperiksa dengan kartu snellen, jari tangan, dan gerakan
tangan.
Kartu Snellen
Pada pemeriksaan kartu memerlukan jarak enam meter antara pasien
dengan tabel, jika tidak terdapat ruangan yang cukup luas, pemeriksaan
ini bisa dilakukan dengan cermin. Ketajaman penglihatan normal bila
baris yang bertanda 6 dapat dibaca dengan tepat oleh setiap mata (visus
ii.
6/6).
Jari Tangan
Normal jari tangan bisa dilihat pada jarak 3 meter tetapi bisa melihat
pada jarak 2 meter, maka perkiraan visusnya adalah kurang lebih 2/60.
Gerakan Tangan
Normal gerakan tangan bisa dilihat pada jarak 2 meter tetapi bisa
iii.
iv.
yang besar ke arah diskus. Semua vena-vena ini keluar dari diskus optikus.
Tes warna
Untuk mengetahui adanya polineuropati pada n. optikus.
3) Cranial Nerve III(Okulomotorius) 8
Pemeriksaan meliputi ; Ptosis, Gerakan bola mata dan Pupil
i.
Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka batas kelopak
v.
mata atas akan memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Ptosis
dicurigai bila salah satu kelopak mata memotong iris lebih rendah dari pada
Meningitis Bakterial pada Anak | 7
mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepal ke belakang / ke atas
(untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata secara kronik
ii.
pula.
Gerakan bola mata
Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke
arah medial, atas, dan bawah, sekligus ditanyakan adanya penglihatan ganda
(diplopia) dan dilihat ada tidaknya nistagmus. Sebelum pemeriksaan
gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah dilihat adanya strabismus
iii.
dari sebuah jarum yang baru. Pasien menutup kedua matanya dan jarum
ditusukkan dengan lembut pada kulit, pasien ditanya apakah terasa tajam
atau tumpul. Hilangnya sensasi nyeri akan menyebabkan tusukan terasa
tumpul. Daerah yang menunjukkan sensasi yang tumpul harus digambar dan
pemeriksaan harus di lakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah
yang terasa tajam. Juga dilakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju
daerah yang terasa tajam. Juga lakukan tes pada daerah di atas dahi menuju
belakang melewati puncak kepala. Jika cabang oftalmikus terkena sensasi
akan timbul kembali bila mencapai dermatom C2. Temperatur tidak
diperiksa secara rutin kecuali mencurigai siringobulbia, karena hilangnya
sensasi temperatur terjadi pada keadaan hilangnya sensasi nyeri, pasien tetap
menutup kedua matanya dan lakukan tes untuk raba halus dengan kapas
yang baru dengan cara yang sama. Pasien disuruh mengatakan ya setiap
ii.
iii.
(yang terkena).
Refleks
Jaw Refleks (Refleks Rahang)
Untuk melihat adanya lesi UMN (certico bultar) penderita membuka
mulut secukupnya (jangan terlalu lebar) kemudian dagu diberi alas jari
tangan pemeriksa diketuk mendadak dengan palu refleks. Respon
normal akan negatif yaitu tidak ada penutupan mulut atau positif lemah
yaitu penutupan mulut ringan. Sebaliknya pada lesi UMN akan terlihat
okuli). Pada pemeriksaan ini harus dijaga agar datang nya kapas ke mata
tidak diketahui oleh pasien, misalnya dengan menyuruh nya melirik
kearah yang berlawanan dengan arah datang nya kapas. Pada gangguan
nervus V sensorik, reflex ini negative atau berkurang. Sensitifitas kornea
diurus oleh nervus V sensorik cabang oftalmik.
6) Cranial Nerve VI (Abdusens) 8
Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus konvergen dan diplopia
tanda-tanda tersebut maksimal bila memandang ke sisi yang terkena dan
bayangan yang timbul letaknya horizonatal dan sejajar satu sama lain.
7) Cranial Nerve VII (Fasialis) 8
i.
Tes kekuatan otot
Mengangkat alis, bandingkan kanan dan kiri.
Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri) kemudioan pemeriksa
mencoba membuka kedua mata tersebut bandingkan kekuatan kanan dan
ii.
kiri.
Memperlihatkan gigi (asimetri)
Mencucukan bibir dan menggembungkan pipi
Tes sensorik khusus (pengecapan) 2/3 depan lidah
Pemeriksaan dengan rasa manis, pahit, asam, asin yang disentuhkan pada
ii.
Pemeriksaan Vestibuler
Pemeriksaan fungsi vestibuler meliputi :
Untuk Menilai Nistagmus
o Hallpike Manouver
Pada tes ini pasien disuruh duduk ditempat tidur periksa. Kemudian
ia direbahkan sampai kepalanya tergantung di pinggir dengan sudut
sekitar 30O di bawah horizon. Selanjutnya kepala ditolehkan ke kiri,
kepala diluruskan kembali, lalu ditolehkan ke kanan. Penderita
disuruh agar tetap embuka matanya agar pemeriksa dapat melihat
sekitarnya munul nistagmus. Perhatikan kapan nistagmus muncul,
berapa lama berlangsung serta jenisnya. Kemudian tanyakan pada
pasien apa yang ia rasakan.
o Elektronistagmografi
Pada pemeriksaan dengan alat ini diberikan stimulus kalori keliang
telinga dan lamanya serta cepatnya nistagus timbul dapat dicatat
pada
kertas,
menggunakan
teknik
yang
mirip
dengan
elektrokardiografi.
Meningitis Bakterial pada Anak | 11
cerebral.
9) Cranial Nerve IX (Glossofaringeus) & Cranial Nerve X (Vagus)
Pemeriksaan N. IX dan N X. karena secara klinis sulit dipisahkan maka biasanya
dibicarakan bersama-sama, anamnesis meliputi kesedak / keselek (kelumpuhan
palatom), kesulitan menelan dan disartria(khas bernoda hidung / bindeng). Pasien
disuruh membuka mulut dan inspeksi palatum dengan senter perhatikan apakah
terdapat pergeseran uvula, kemudian pasien disuruh menyebut ah jika uvula
terletak ke satu sisi maka ini menunjukkan adanya kelumpuhan nervus X
unilateral perhatikan bahwa uvula tertarik kearah sisi yang sehat.
Sekarang lakukan tes refleks muntah dengan lembut (nervus IX adalah komponen
sensorik dan nervus X adalah komponen motorik). Sentuh bagian belakang faring
pada setiap sisi dengan spacula, jangan lupa menanyakan kepada pasien apakah ia
merasakan sentuhan spatula tersebut (N. IX) setiap kali dilakukan. Dalam
keadaaan normal, terjadi kontraksi palatum molle secara refleks. Jika konraksinya
tidak ada dan sensasinya utuh maka ini menunjukkan kelumpuhan nervus X,
kemudian pasien disuruh berbicara agar dapat menilai adanya suara serak (lesi
nervus laringeus rekuren unilateral), kemudian disuruh batuk , tes juga rasa kecap
secara rutin pada sepertinya posterior lidah (N. IX).
10) Cranial Nerve XI (Asesorius) 8
pons.
Refleks Rahang Bawah
Penderita disuruh membuka mulutnya sendiri dan telunjuk pemeriksa
ditempatkan melintang di dagu. Setelah itu, telunjuk di ketok dengan ketokrefleks (refleks hammer) yang mengakibatkan berkontraksinya otot maseter
Th6.
Refleks Kuadriceps Femoris / KPR (Refleks Tendon Lutut, Refleks Patella)
Pada pemeriksaan reflex ini, tungkai diflexikan dan digantungkan, misalnya
pada tepi tempat tidur. Kemudian diketok pada tendon muskulus kuadriceps
femoris, dibawah atau diatas patella (biasanya dibawah patella). Kuadriceps
femoris akan berkontraksi dan mengakibatkan gerakan ekstensi tungkai
bawah. Lengkung reflex ini melalui L2-L4.
Meningitis Bakterial pada Anak | 14
memberikan gambaran flexi pada kaki. Lengkung reflex ini melalui S1,S2.
2) Refleks Superficial9
Refleks ini timbul karena terangsangnya kulit atau mukosa yang mengakibatkan
berkontraksinya otot yang ada dibawahnya atau di sekitarnya.
Refleks Kornea
Kornea mata disentuh dengan sepotong kapas yang ujung nya dibuat runcing.
Hal ini mengakibatkan dipejamkannya mata (m.Orbicularis okuli). Pada
pemeriksaan ini harus dijaga agar datang nya kapas ke mata tidak diketahui
oleh pasien, misalnya dengan menyuruh nya melirik kearah yang berlawanan
dengan arah datang nya kapas. Pada gangguan nervus V sensorik, reflex ini
negative atau berkurang. Sensitifitas kornea diurus oleh nervus V sensorik
cabang oftalmik. Reflex kornea juga akan menghilang atau berkurang bila
terdapat kelumpuhan m.Orbicularis okuli, yang disarafi oleh nervus VII
(facialis).
Refleks Superficial Dinding Perut
Reflex ini dibangkitkan dengan jalan menggores dinding perut dengan benda
yang agak runcing, misalnya kayu geretan atau kunci. Bila positive, maka otot
(m.Rektus abdominis) akan berkontraksi. Reflex ini dilakukanpada berbagai
lapangan dinding perut, yaitu di epigastrium (otot yang berkontraksi diinervasi
oleh Th6-Th7), perut bagian atas (Th7, Th9), perut bagian tengah (Th9, Th11),
perut bagian bawah (Th11, Th12, dan lumbal atas). Pada kontraksi otot, terliha
pusar bergerak kearah otot yang berkontraksi.
Reflex superficialis dinding perut sering negative pada wanita normal yang
banyak anak (sering hamil), yang dinding perutnya lembek, demikian juga
pada orang gemuk dan lanjut usia, juga pada bayi baru lahir sampai usia 1th.
Pada orang muda yang otot-otot dinding perutnya berkembang dengan baik,
bila reflex ini negative mempunyai nilai patologis. Bila reflex superficialis
dinding perut negative disertai reflex dalam dinding perut yang meninggi hal
ini menunjukkan adanya lesi traktus pyramidalis ditempat yang lebih atas dari
Th6.
Meningitis Bakterial pada Anak | 15
Reflex superficialis dinding perut cepat lelah, dia akan menghilang setelah
yang lainnya.
4. REFLEKS PATOLOGIS
1) Refleks Babinski9
Untuk membangkitkan reflex babinski, penderita disuruh berbaring dan
istirahat dengan tungkai diluruskan. Kita pegang pergelangan kaki upaya kaki
tetap ditempat. Untuk merangsang dapat digunakan kayu geretan atau benda yang
agak runcing. Goresan harus dilakukan perlahan, jangan sampai menyebabkan
rasa nyeri, sebab hal ini menimbulkan reflex menarik kaki (flight reflex). Goresan
dilakukan pada telapak kaki bagian lateral, mulai dari tumit menuju pangkal jari.
Jika reaksi positive, kita dapatkan gerakan dorsoflexi ibu jari, yang dapat disertai
gerakan mekarnya jari-jari lainnya.
Dapat dilakukan dengan berbagai cara :
Cara Chaddock : Rangsang diberikan dengan jalan menggoreskan bagian
lateral maleolus.
Cara Gordon : Memencet (mencubit) otot betis.
Cara Oppenheim : Mengurut dengan kuat tibia dan otot tibialis anterior. Arah
mengurut kebawah (distal).
Meningitis Bakterial pada Anak | 16
menjadi rendah dan kita dpatkan reflex yang kuat. Reflex inilah yang merupakan
dasar dari reflex Hoofman Tromer.
Refleks Hoofman-Trommer positive dapat disebabkan oleh lesi pyramidal,
tetapi dapat disebabkan juga oleh peningkatan reflex yang melulu fungsional,
akan tetapi bila reflex pada sisi kanan berbeda dengan yang kiri, maka hal ini
dapat dianggap sebagai keadaan patologis.
Cara membangkitkan reflex Hoffman-Trommer. Tangan penderita kita
pegang pada pergelangan dan jari-jarinya disuruh flexi serta dientengkan.
Kemudian jari tengah penderita kita jepit diantara telunjuk dan jari tengah kita.
Dengan ibu jari kita, gores kuat (snap) ujung jari tengah penderita. Hal ini
menyebabkan flexi jari telunjuk serta flexi dan aduksi ibu jari, bila reflex positive.
Kadang juga diserta flexi jari lain.
5. SISTEM MOTORIK
1) Otot6
- Ukuran : atropi / hipertropi
- Tonus : kekejangan, kekakuan, kelemahan
- Kekuatan : fleksi, ekstensi, melawan gerakan, gerakan sendi
6. SISTEM SENSORIK
Test pada sistem sensorik berupa tes pada perasa nyeri, suhu, raba halus, gerak, getar, sikap,
tekan, refered pain. 6
7. CEREBRAL FUNCTION
1) Pemeriksaan Tunjuk Hidung
Meningitis
Bakterial
Tekanan LP Meningkat
Meningitis Virus
Meningitis TBC
Biasanya normal
Bervariasi
Warna
Keruh
Jernih
Xanthochromia
Jumlah sel
> 1000/ml
< 100/ml
Bervariasi
Jenis sel
Predominan MN
Protein
Meningkat
Glukosa
Normal/menurun
Rendah
Biasanya normal
Infeksi kulit di sekitar daerah tempat pungsi. Oleh karena kontaminasi dari infeksi
ini dapat menyebabkan meningitis.
Dicurigai adanya tumor atau tekanan intrakranial meningkat. Oleh karena pungsi
lumbal dapat menyebabkan herniasi serebral atau sereberal.
sekitar 1-7 hari dan prevalensi terbanyak pada musim dingin. Gejala yang ditimbulkan di
antaranya kehilangan pendengaran sensorineural, hidrocephalus, dan sekuelae SSP
lainnya. 12
Pengobatan antimikroba efektif mengeradikasi bakteri dari sekresi nasofaring
dalam 24 jam. Pneumococcus membentuk resistensi yang bervariasi terhadap
antimikroba. Resistensi terhadap penicillin berkisar antara 10-60%. Hal ini disebabkan
oleh perubahan dalam enzim yang berperan dalam pertumbuhan dan perbaikan protein
pengikat penicillin pada bakteri sehingga beta-laktamase inhibitor menjadi tidak berguna.
Pneumococcus yang resisten terhadap penicillin juga menampakkan resistensi terhadap
cotrimoxazole, tetrasiklin, chloramphenicol, dan makrolide. Cephalosporin generasi 3
(cefotaxime, ceftriaxone) saat ini merupakan pilihan karena mampu menghambat
sejumlah bakteri yang telah resisten. Beberapa golongan fluoroquinolon (levofloksasin,
trovafloksasin) walaupun merupakan kontraindikasi untuk anak-anak tetapi memiliki
daya kerja tinggi melawan kebanyakan pneumococcus dan memiliki penetrasi adekuat ke
-
SSP.12
Neisseria meningitides
Patogen ini merupakan bakteri gram negatif berbentuk seperti ginjal dan sering
ditemukan intraselular. Organisme ini dikelompokkan secara serologis berdasarkan
kapsul polisakarida. Serotipe B, C, Y, dan W-135 merupakan serotipe yang menyebabkan
15-25% kasus meningitis pada anak. Saluran pernapasan atas sering dikolonisasi oleh
patogen ini dan ditularkan antar manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari
sekresi saluran pernapasan, dan sering pula dari karier asimptomatik. Masa inkubasi
umumnya kurang dari 4 hari, dengan kisaran waktu 1-7 hari. Faktor resiko meliputi
defisiensi komponen komplemen terminal (C5-C9), infeksi virus, riwayat tinggal di
daerah overcrowded, penyakit kronis, penggunaan kortikosteroid, perokok aktif dan
pasif. 12
Kasus umumnya terjadi pada bayi usia 6-12 bulan dan puncak insidensi tertinggi
kedua adalah saat adolesen. Manifestasi purpura atau petekiae sering dijumpai. LCS pada
meningococcal meningitis biasanya memberi gambaran normoseluler. Kematian
umumnya terjadi 24 jam setelah hospitalisasi pada penderita dengan prognosis buruk
yang ditandai dengan gejala hipotensi, shock, netropenia, petekiae dan purpura yang
muncul kurang dari 12 jam, DIC, asidosis, adanya bakteri dalam leukosit pada sediaan
apus darah tepi.12
-
peran dari sitokin yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-), interleukin(IL)-1, chemokin
(IL-8), dan molekul proinflamasi lainnya sehingga terjadi pleositosis dan kerusakan neuronal.
Peningkatan konsentrasi TNF-, IL-1, IL-6, dan IL-8 merupakan ciri khas meningitis
bacterial.
Paparan sel (endotel, leukosit, mikroglia, astrosit, makrophag) terhadap produk yang
dihasilkan bakteri selama replikasi dan kematian bakteri merangsang sintesis sitokin dan
mediator proinflamasi. Data-data terbaru memberi petunjuk bahwa proses ini dimulai oleh
ligasi komponen bakteri (seperti peptidoglikan, lipopolisakarida) untuk mengenali reseptor
(Toll-like receptor).
TNF- merupakan glikoprotein yang diderivasi dari monosit-makrophag, limfosit,
astrosit, dan sel mikroglia. IL-1 yang dikenal sebagai pirogen endogen juga berperan dalam
induksi demam saat infeksi bakteri. Kedua mediator ini dapat terdeteksi setelah 30-45 menit
inkulasi endotosin intrasisternal.
Mediator sekunder seperti IL-6, IL-8, Nitric Oxide (NO), prostaglandin (PGE2) dan
platelet activation factor (PAF) diduga memperberat proses inflamasi. IL-6 menginduksi
reaktan fase akut sebagai respon dari infeksi bakteri. IL-8 membantu reaksi chemotaktik
neutrofil. NO merupakan molekul radikal bebas yang menyebabkan sitotoksisitas saat
diproduksi dalam jumlah banyak. PGE-2 akan meningkatkan permeabelitas blood-brain
barrier (BBB). PAF dianggap memicu pembentukan trombi dan aktivasi faktor pembekuan di
intravaskular.
Pada akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi peningkatan
permeabelitas BBB sehingga terjadi perpindahan berbagai komponen darah ke dalam ruang
subarachnoid. Hal ini menyebabkan terjadinya edema vasogenik dan peningkatan protein
LCS. Sebagai respon terhadap molekul sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan bermigrasi dari
aliran darah menuju ke BBB yang rusak sehingga terjadi gambaran pleositosis neutrofil yang
khas untuk meningitis bakterial.
Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influk komponen plasma ke dalam ruang
subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema interstitial, produkproduk degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas selular lain yang menyebabkan edema
sitotoksik.
Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra kranial
dan pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF). Metabolisme anaerob terjadi
dan
mengakibatkan
peningkatan
konsentrasi
laktat
dan
hypoglycorrhachia.
Hypoglycorrhachia merupakan hasil dari menurunnya transpor glukosa ke LCS. Jika proses
yang tidak terkendali ini tidak ditangani dengan baik, dapat terjadi disfungsi neuronal
sementara atau pun permanen.
Tekanan tinggi intra kranial (TTIK) merupakan salah satu komplikasi penting dari
meningitis di mana keadaan ini merupakan gabungan dari edema interstitial (sekunder
terhadap obstruksi aliran LCS), edema sitotoksik (akibat pelepasan produk toksik bakteri dan
neutrofil) serta edema vasogenik (peningkatan permeabelitas BBB).
Edema serebral dapat menyebabkan terjadinya midline shift dengan adanya penekanan
pada tentorial dan foramen magnum. Pergeseran ini akan menimbulkan herniasi gyri
parahippocampus dan cerebellum. Secara klinis keadaan ini ditunjukkan oleh adanya
penurunan kesadaran dan reflek postural, palsy nervus kranial III dan VI. Jika tidak diobati
maka terjadi dekortikasi dan deserebrasi yang secara pesat berkembang menjadi henti napas
atau henti jantung.
D. DIAGNOSIS
a. WORKING DIAGNOSIS
Meningitis bakterialis adalah peradangan pada ruang subarachnoid (terletak dalam
lapisan-lapisan jaringan yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang) yang
disebabkan oleh bakteri. Ruang subarachnoid terletak antara lapisan tengah (mater
arakhnoid) dan lapisan dalam tipis (piameter) dari jaringan (disebut meninges) yang
menutupi otak dan sumsum tulang belakang. Ruang ini berisi cairan cerebrospinal, yang
mengalir melalui meninges, mengisi ruang-ruang internal dalam otak, dan membantu
bantal otak dan sumsum tulang belakang.1
Ketika bakteri menyerang ruang subarachnoid, akhirnya sistem kekebalan tubuh
bereaksi terhadap penjajah, dan sel kekebalan berkumpul untuk mempertahankan tubuh
terhadap mereka. Hasilnya adalah peradangan. Peradangan yang parah dapat menyebar
ke pembuluh darah di dalam otak, kadang-kadang menyebabkan gumpalan terbentuk.
Sehingga stroke dapat terjadi. Peradangan juga dapat menyebabkan kerusakan meluas ke
jaringan otak, menyebabkan pembengkakan (edema) dan daerah perdarahan kecil.1
Gejala klinis meningitis bakterialis pada neonatus tidak spesifik meliputi gejala
sebagai berikut: sulit makan, lethargi, irritable, apnea, apatis, febris, hipotermia, konvulsi,
ikterik, ubun-ubun menonjol, pucat, shock, hipotoni, shrill cry, asidosis metabolik.
Sedangkan gejala klinis pada bayi dan anak-anak yang diketahui berhubungan dengan
meningitis adalah kaku kuduk, opisthotonus, ubun-ubun menonjol (bulging fontanelle),
Sedangkan kejang demam kompleks durasinya >15 menit, berulang lebih dari 1x
dalam 24jam. 15
2. ENSEFALITIS
Ensefalitis berarti ada inflamasi jaringan otak, seringkali akibat infeksi virus,
tetapi pada sepertiga kasus penyebanya tidak dapat ditemukan. Dalam beberapa hal
keadaannya tumpang tindih dengan meningitis virus.
Gambaran klinis pada ensefalitis bervariasi sesuai dengan penyebabnya. Secara
umum mirip dengan meningitis bakterialis, disertai demam, sakit kepala, kaku kuduk,
tangis menjerit, kejang, stupor, dan koma.
E. PENATALAKSANAAN
Meningitis adalah keadaan yang paling darurat pada bidang pediatric. Diagnosis harus
dicurigai dan segera dikonfirmasi dengan lumbal punksi dalam setengah jam sampai 1 jam
setelah anak masuk rumah sakit. Cairan intravena yang sesuai dan antibiotika dengan
spectrum luas harus segera diberikan dalam waktu 1 jam. Dalam 12jam harus dapat diketahui
bakteri penyebab yang sebenarnya dan antibiotic diubah dengan yang sesuai. Biakan darah
yang diambil bersamaan dengan tindakan punksi lumbal dapat merupakan konfirmasi kuman
penyebabnya.1
Pada berbagai rumah sakit digunakan antibiotic baku yang berbeda. Beberap patokan
adalah :1
Sebagai pengobatan awal harud dipakai antibiotic berspektrum luas (seringkali
kombinasi ampisilin dan kloramfenikol) sampai didapatkan hasil biakan dan
resistensi yang sesuai.
Antibiotic harus selalu diberikan melalui intravena. Lebih baik penderita dalam
keadaan sedikit dehidrasi, karena ada kemungkinan terdapat edema otak sebagai
ketidak sesuaian ADH.
Manitol dapat bermanfaat apabila terdapat bukti peningkatan TIK yang menetap
Antikonvulsan harus diberikan sebagai tindakan profilaksis.
Penatalaksanaan efektif untuk meningitis bergantung pada terapi suportif agresif yang
dini dan pemilihan antimikroba empiric yang tepat untuk kemungkinan pathogen. Tindakan
suportif umum diindikasikan bagi setiap pasien yang menderita patologi intrakranium berat.
Pasien koma atau dengan gangguan reflex muntah harus dikosongkan isi lambungnya dan
dipertimbangkan untuk intubasi guna melindungi jalan nafas.13
Terapi antibiotic awal. Pendekatan terapeutik pada penderita dengan dugaan meningitis
bakteri tergantung dari sifat manifestasi awal penyakit. Anak dengan penyakit yang
memburuk dengan cepat selama kurang dari 24 jam, bila tidak ada kenaikan TIK, harus
mendapat antibiotic segera sesudah dilakukan PL. jika ada tanda-tanda kenaikan TIK atau
penemuan-penemuan neurologis fokal, antibiotic harus diberikan tanpa melakukan PL dan
sebelum melakukan CT scan. Kenaikan TIK harus diobati secara bersamaan.14
Pilihan dalam terapi awal dalam kurung empiric untuk meningitis pada bayi dan anak
imunokompeten harus didasarkan pada kerentanan antibiotic H. influenza tipe B, S.
Pneumoniae, dan M. meningitides. Antibiotic harus mencapai kadar bakterisid pada CSS.
Sefalosporin generasi ketiga, seftriakson atau sefotaksim, mewakili terapi baku untuk
meningitis bakteri. Dosis seftriakson 100mg/kg/24 jam diberikan sehari sekali atau
50mg/kg/dosis, diberikan setiap 24 jam. Dosis sefotaksim adalah 200m/kg/24 jam, diberikan
setiap 6 jam. Kedua obat mencapai kadar bakterisid tinggi pada CSS. Penderita yang alergi
terhadap antibiotic betalaktam harus diobati dengan kloramfenikol 200mg/kg/24 jam,
diberikan setiap 6 jam. Walaupun kloramfenikol adalah bakteriostatik terhadap banyak
bakteri, obat ini bakterisid terhadap 3 kuman di atas. Penggunanaan kloramfenikol sekarang
dicadangkan untuk penderita yang tidak dapat mentoleransi sefalosporin karena kadar serum
perlu dipantau selama terapi dan kloramfenikol mempunyai kemungkinan pengaruh yang
merugikan seperti anemia aplastik, sindrom bayi abu-abu seperti syok, dan supresi sum-sum
tulang tergantung dosis. 14
Jika penderita dicurigai meningitis gram negatif, terapi awal dapat memasukkan
seftazidin dan aminoglikosid. 14
Lama terapi antibiotik. Meningitis H. influenzae tipe B tidak terkomplikasi harus
diobati selama total 7-10 hari. Sesudah penentuan bahwa organisme sensitife pada ampisilin
dan tidak menghasilkan betalaktamase, erapi antimikroa awal dapat dirubah ke ampisilin. 14
Jika S. pneumonia dibiakkan dari CSS, isolate harus di uji untuk resistensi penisilin.
Resistensi relatif terhadap penisilin (MIC 0,1-1,0 gr/mL), ada pada 5 - 25% isolat S.
pneumonia, dan organism yang sangat resisten (MIC >b2,0 g/mL) ditemukan pada
sejumlah kecil penderita. Meningitis yang disebabkan oleh isolate S. pneumoniae yang
relative resisten dapat diobati dengan sefotaksim atau seftriakson, sedang kloramfenikol
adalah obat pilihan untuk organism yang sangat resisten jika organisme sensitive terhadap
antibiotic. Jika ada juga yang resisten terhadap kloramfenikol, vankomisin adalah obat
pilihan. Terapi untuk meningitis pneumokokus sensitive penisilin tidak terkomplikasi harus
diselesaikan dengan penisilin IV 300.000 U/kg/24 jam, diberikan setiap 4 - 6 jam selama 10 14 hari. 14
Penisilin IV 300.000 U/kg/24 jam selama 5 - 7 hari merupakan pengobatan pilihan untuk
meningitis N. meningitides tidak terkomplikasi. Jarang isolat meningokokus menunjukkan
resistensi terhadap penisilin relative (0,25 - 0,5 g/ml) dan absolute (> 250 g/ml) dan
organisme ini mungkin memerlukan terapi selingan. 14
Penderita yang mendapat antibiotic IV atau oral sebelum PL dan tidak mempunyai
pathogen yang dapat diketahui (pada pewarnaan gram, biakan, atau deteksi antigen) tetapi
mempunyai bukti infeksi bakteri akut atas dasar profil CSSnya harus terus mendapat terapi
dengan seftriakson atau sefotaksim selama 7-10 hari. Jika tanda-tanda setempat ada atau anak
tidak berespon terhadap pengobatan, focus parameningeal mungkin ada dan CT scan harus
dilakukan. 14
Efek samping terapi antibiotic meningitis adalah phlebitis, demam obat, ruam, muntah,
kandidiasis oral, dan diare. Seftrialson dapat menyebabkan pseudolithiasis kandung empedu
reversible, dapat dideteksi dengan USG abdomen. 14
Meningitis Bakterial pada Anak | 28
j. Epilepsi
H. EPIDEMIOLOGI
Aspek penting yang harus dipertimbangkan mencakup usia, etnik, musim, factor
penjamu, dan pola resistensi antibiotic regional diantara pathogen yang mungkin.14
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respon imunologi terhadap pathogen
spesifik yang lemah yang terkait dengan umur muda14
I. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada jenis bakteri nya, usia penderita, kecepatan pengobatan efektif
yang dilakukan, dan efisiensi pengobatan. Angka kematian berbeda-beda pada berbagai
kasus. Jika terjadi penyembuhan, biasanya sembuh sempurna, tapi biasanya diiringi oleh
gejala-gejala sisa.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Diagnosis dan pengobatan yang cepat tepat pada anak dapat menghasilkan keadaan pasien
sembuh sempurna tanpa cacat. Pengobatan yang tidak memadai akan mengakibatkan kematian
atau retardasi mental disertai gangguan neruologis lainnya, dan seringkali menjadi tuli.
DAFTAR PUSTAKA
1. Penyakit Sistem Neurologis. In : Saputra L. Sinopsis Pediatri. Ed 1. Jakarta : Binapura
Aksara Publisher, 2007. H 345
2. Supartondo, Setiyohadi B. Anamnesis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2009.h. 25-6.
3. Gray.H, Dawkins.K, Morgan.J, Simpson.I. Pengambilan Anamnesis Kardiovaskuler. Lectures
Notes Kardiologi. Edisi 4. Jakarta : Penerbitan Erlangga ; 2003. H. 1 2.
4. Setiyohadi B, Subekti I. Pemeriksaan Fisis Umum. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h. 29.
5. Pemeriksaan umum dalam buku diagnosis fisis pada anak ; Editor, Iskandar Wahidayat,
Corry S. Matondang, Sudigdo Sastrasmaro; Jakarta: Balai penerbit FKUI , 1991.
6. Tedjasukmana R. Pemeriksaan Fisik Neurologis. Modul Blok 22 : Neurlogy and Behaviour.
Jakarta : FK UKRIDA, 2010.
7. Lumbantobing SM. Kesadaran. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta :
Balai Penerbit FK UI, 2010. H 8 12.
8. Lumbantobing SM. Saraf Otak. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta :
Balai Penerbit FK UI, 2010. H 21 - 84.
9. Lumbantobing SM. Refleks. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai
Penerbit FK UI, 2010. H 135 - 49.
10. Lumbantobing SM. Sistem Motorik. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta
: Balai Penerbit FK UI, 2010. H 107 - 8.
11. Lumbantobing SM. Rangsang Selaput Otak (Iritasi Meningeal). Neurologi Klinik
Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2010. H 107 - 8.
12. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview, 28 desember
2015.
13. Tureen J. Meningitis. In : Rudolph A, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku Ajar Pediatri
Rudolph. Ed 20. Vol 1. Jakarta : EGC, 2006. H 610 - 4.
14. Prober CG. Infeksi System Saraf Sentral. In : Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin
AM. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Ed 15. Vol 2. Jakarta : EGC, 2000. H 872 80.
15. Langi B. Kejang Demam. Modul Blok 22 : Neurlogy and Behaviour. Jakarta : FK UKRIDA,
2010.
16. Langi B. Meningitis Bakterial. Modul Blok 22 : Neurlogy and Behaviour. Jakarta : FK
UKRIDA, 2010.