Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH PORTOFOLIO

KASUS MEDIS
Infeksi Cacing dan Bronchitis

Disusun oleh:
dr. Natalia Sukarta

Pembimbing :
dr. Mario B. Nara, Sp.A

Pendamping :
dr. Lince Holsen
dr. Mey Indradewi

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. TC HILLERS MAUMERE


KABUPATEN SIKKA, NUSA TENGGARA TIMUR
PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
PERIODE FEBRUARI 2019-FEBRUARI 2020
1
PENDAHULUAN

Infeksi cacing merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang masih sering
terjadi di negara berkembang, khususnya yang diakibatkan oleh kelompok Soil Transmitted
Helminth (STH). STH adalah kelompok nematoda usus yang dalam penularannya memerlukan
media tanah. Infeksi STH banyak ditemukan pada daerah yang beriklim tropis dan subtropis
seperti Asia Tenggara, karena telur dan larvanya lebih dapat berkembang di tanah yang hangat
dan basah. Hampir 1,7 miliar orang di seluruh dunia menderita infeksi cacing, dimana Asia
sendiri berkontribusi 67% dari prevalensi global STH.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan berbagai faktor risiko yang
mendukung berkembangnya infeksi cacing, yaitu seperti iklim tropis yang lembab, kebersihan
perorangan dan sanitasi yang kurang baik, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah,
kepadatan penduduk yang tinggi serta kebiasaan hidup yang kurang baik. Kelompok STH yang
paling sering menyebabkan penyakit pada manusia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides)
dengan penyakitnya yang disebut Ascariasis; cacing cambuk (Trichuris trichiura) dengan
penyakitnya yang disebut Trichiurasis; serta cacing tambang (Ancylostoma duodenaledan
Necator americanus) yang masing-masing penyakitnya disebut Ankilostomiasis dan
Nekatoriasis.

2
Portofolio Medis

Nama Peserta: dr. Natalia Sukarta

Nama Wahana: RSUD dr.TC Hillers Maumere

Tanggal (kasus):
Topik: Infeksi Cacing dan Bronchitis
28/02/19

Nama Pasien: An. NH No. RM: 177004

Nama Pembimbing:
Tanggal Presentasi: 15 Juni 2019 dr. Mario B. Nara, Sp.A

Tempat Presentasi: RSUD dr.TC Hillers Maumere

Obyektif Presentasi:

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

 Diagnostik  Manajemen  Masalah  Istimewa

 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja  Dewasa  Lansia  Bumil

 Deskripsi: An. NH, datang ke IGD RSUD TC Hillers dengan keluhan lemas, pucat dan
terdapat cacing saat BAB.

 Tujuan: Mengenali, mendiagnosis, dan melakukan penatalaksanaan pada penyakit


Infeksi Cacing

Bahan bahasan: Tinjauan Pustaka Riset  Kasus Audit

Cara membahas: Diskusi  Presentasi dan diskusi Email Pos

Nama klinik: RSUD TC Hillers Maumere


Terdaftar sejak:
Telp: 0380 – 21617

3
Laporan Kasus

A. Identitas
Identitas Pasien
Nama : An. NH
Umur : 3 tahun 6 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Nangahure Lembah Nuring
Agama : Islam
Pendidikan : Belum sekolah
Tanggan Pemeriksaan : 01 Maret 2019
No. RM : 177004

B. Anamnesis
Dilakukan secara alloanamnesa kepada ibu dan ayah pasien
1. Keluhan Utama
Pasien dibawa datang ke IGD tanpa rujukan dengan keluhan lemas dan terlihat pucat
sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa datang ke IGD RSUD TC Hillers dengan keluhan lemas dan pucat sejak
satu minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai batuk dan pilek sejak 2 hari. Batuk
dirasa berdahak namun dahak tidak keluar. Terdapat demam sejak 1 hari. Orang tua mengaku
pasien sempat BAB terdapat cacing 1 hari SMRS, cacing berwarna putih dan masih bergerak.
Tidak ada riwayat muntah cacing maupun BAB cair maupun berdarah. Terdapat keluhan nyeri
perut. Napsu makan dirasa menurun oleh orang tua. Tidak ada mual dan muntah. Tidak ada
keluhan sesak nafas. Buang air kecil dalam batas normal. Pasien sudah pernah cek darah atas
permintaan sendiri dan USG abdomen di klinik pada tanggal 12/02/2019 dengan hasil: Hb: 7.9,
Leu: 23.800, Tr: 397rb. USG abdomen: Lesi heterogen di hepar, suspect infestasi cacing di
hepar dengan kemungkinan taeniasis, tidak tampak cairan bebas, vesica felea tidak dapat dinilai,
pancreas, lien dan ren dalam batas normal. Tidak tampak tanda ileus. Pasien sudah disaranan
dibawa ke rumah sakit namun tidak segera dibawa oleh keluarga.

4
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada riwayat alergi, asma, maupun riwayat dirawat di Rumah Sakit.

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa dengan pasien.

5. Keadaan sosial, Ekonomi, Kebiasaan dan Lingkungan


Pasien tinggal bersama ayah dan ibunya dalam satu atap. Orang tua pasien mengatakan
pasien memiliki kebiasaan suka memakan pasir sejak kecil dan suka bermain di luar rumah tanpa
memakai alas kaki. Makan pasien sehari-hari dirasa cukup oleh keluarga pasien. Pasien
memakan nasi 3 kali 1 hari dengan lauk. Orang tua pasien berkata pasien tidak suka
mengkonsumsi sayuran.

6. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir cukup bulan, berat badan cukup, lahir ditolong oleh bidan.

7. Riwayat Tumbuh Kembang


Pasien tumbuh dan berkembang sama dengan anak seusianya.

8. Riwayat Imunasisi
Pasien mendapat imunasi lengkap sesuai usia.

9. Status Gizi
Berat badan : 10.5 kg
Tinggi badan : 83 cm
Status Gizi : Status gizi kurang (Berdasar WHO BB/U dan BB/TB)

10. Pemeriksaan Fisik (01 Maret 2019)


KU : CM, Lemah, GCS: E4M6V5
TD: 90/60 mmHg, HR : 110 x/mnt, RR : 26x/mnt, T : 37.5°C
K/L : Anemis + / Ikterik - / Dispneu - / Cyanosis -

5
Thoraks : Cor S1/S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo simetris, Retraksi -/-, vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi +/-
Abd : Supel, Bising Usus +, Distensi +, Nyeri tekan + (epigastrium)
Teraba Hepatomegali, hepar teraba 3 jari bawah arcus costae
Ekstremitas : Akral Hangat, CRT<2”

11. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (01/03/2019):
 Leukosit : 20.17 (5.00-11.00 10^3/ uL)
 Basofil : 0.01 (0.0 – 1.0 %)
 Eosinofil : 0.17 (0.0 – 6.0 %)
 Neutrofil : 12.76 (37.0 – 72.0 %)
 Limfosit : 26.5 (20.0 – 50.0 %)
 Monosit : 9.3 (0.0 – 14.0 %)
 Hemoglobin : 4.6 g/dL ↓ (11.0 – 16.00 g/dL)
 Hematokrit : 14.9 % ↓ (31 – 50%)
 Eritrosit : 2.33 ↓ (2.50-5.50 10^6/uL)
 Trombosit : 275 (150 – 400 10^3/ uL)
 MCV : 63.9 ↓ (79.0 – 99.0 fL)
 MCH : 19.7 ↓ (27.0 – 31.0 pg)
 MCHC : 30.9 ↓ (31.0 – 37.0 g/dL)

12. Diagnosis:
1. Anemia Gravis ec helmintiasis
2. Bronchitis

13. Tatalaksana:
Pdx: Cek DL, FL
Pth:
 IVFD D5 ½ NS 1000 cc /24 jam
 Maltofer syr 1x5 ml
6
 Mebendazol 2x100 mg (H1)
 Antrain 3x100 mg iv
 Cefotaxim 3x310 mg iv (H1)
 Transfusi PRC 100 cc/hari selama 2 hari (4x10x6 = 240cc)

14. Perjalanan Penyakit


 02/03/2019
S: Pasien masih demam, keluar cacing dari mulut cacing berwarna putih sebanyak
2 ekor, lemas, batuk +, nyeri ulu hati (+). Keluarga masih mencari darah
O: KU : CM, Lemah, GCS: E4M6V5
TD: 90/60 mmHg, HR : 110 x/mnt, RR : 26 x/mnt, T : 38.0°C
K/L : Anemis + / Ikterik - / Dispneu - / Cyanosis -
Thoraks : Cor S1/S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo simetris, Retraksi -/-, vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi +/-
Abd : Supel, Bising Usus +, Distensi +, Nyeri tekan + (epigastrium)
Teraba Hepatomegali hepar teraba 3 jari bawah arcus costae
Ekstremitas : Akral Hangat, CRT<2”
Lab:
Hb: 4.6
Leu: 27.04
Tr: 248rb
Feses Lengkap (02/03/2019) :
- Warna hijau, konsistensi lembek, bau khas, Lendir -, Darah -
 Leukosit : Negatif/LPB
 Eritrosit : Negatif/LPB
 Amuba : Negatif
Telur cacing : Trichuris 1+, Ancylost 1+, Ascaris 2+
A: 1. Anemia Gravis ec helmintiasis
2. Bronchitis
Pdx: -
Pth:

7
 IVFD D5 ½ NS 800 cc /24 jam
 Maltofer syr 1x5 ml
 Mebendazol 2x100 mg (H2)
 Antrain 3x100 mg iv
 Cefotaxim 3x310 mg iv (H2)
 Transfusi PRC 100 cc/hari selama 2 hari

 05/03/2019
S: Demam (+), batuk (+) menurun, BAB mengeluarkan cacing berwarna putih
hidup, belum dapat darah
O: KU : CM, Lemah, GCS: E4M6V5
TD: 80/60 mmHg, HR : 118 x/mnt, RR : 26 x/mnt, T : 37.5°C
K/L : Anemis + / Ikterik - / Dispneu - / Cyanosis -
Thoraks : Cor S1/S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo simetris, Retraksi -/-, vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi +/-
Abd : Supel, Bising Usus +, Distensi +, Nyeri tekan + (epigastrium)
Teraba Hepatomegali hepar teraba 3 jari bawah arcus costae
Ekstremitas : Akral Hangat, CRT<2”
A: 1. Anemia Gravis ec helmintiasis
2. Bronchitis
P/dx : -
Pth:
 IVFD D5 ½ NS 500 cc /24 jam
 Maltofer syr 1x5 ml
 Antrain 3x100 mg iv
 Cefotaxim 3x310 mg iv (H5)
 Transfusi PRC 100 cc/hari selama 2 hari
 Puyer Bapil: Ambroxol 5 mg, CTM 1 mg, salbutamol 1 mg, 3x1 pulv
 Nebu ventolin / pz 1cc 2x per hari
 Pirantel Pamoat 1x125 mg malam selama 3 hari (H1)

8
 06/03/2019
S: Demam terutama sore hari, BAB cacing -
O: KU : CM, Lemah, GCS: E4M6V5
TD: 90/60 mmHg, HR : 116 x/mnt, RR : 24 x/mnt, T : 37.0°C
K/L : Anemis + / Ikterik - / Dispneu - / Cyanosis -
Thoraks : Cor S1/S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo simetris, Retraksi -/-, vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-
Abd : Supel, Bising Usus +, Distensi +, Nyeri tekan + (epigastrium)
Teraba Hepatomegali, hepar 3 jari bawah arcus costae, Meteorismus +
Ekstremitas : Akral Hangat, CRT<2”
A: 1. Anemia Gravis ec helmintiasis
2. Bronchitis
P/dx : UL, Widal
Pth:
 IVFD D5 ½ NS 500 cc /24 jam
 Maltofer syr 1x5 ml
 Antrain 3x100 mg iv
 Cefotaxim 3x310 mg iv (H6)
 Transfusi PRC 100 cc/hari selama 2 hari
 Puyer Bapil: Ambroxol 5 mg, CTM 1 mg, salbutamol 1 mg, 3x1 pulv
 Nebu stop
 Albendazole 1x400 mg malam
 Pirantel pamoat 1x125mg (H2)

 08/03/2019
S: Demam +, BAB cacing -, Kedua kaki bengkak, Batuk +, Darah sudah masuk 1 bag
O: KU : CM, Lemah, GCS: E4M6V5
TD: 90/60 mmHg, HR : 110 x/mnt, RR : 26 x/mnt, T : 37.5°C
K/L : Anemis + / Ikterik - / Dispneu - / Cyanosis -
Thoraks : Cor S1/S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo simetris, Retraksi -/-, vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-

9
Abd : Supel, Bising Usus +, Distensi +, Nyeri tekan + (epigastrium)
Teraba Hepatomegali, hepar 3 jari bawah arcus costae, Meteorismus +
Ekstremitas : Akral Hangat, CRT<2”, Edema kedua ekstremitas bawah +/+
Lab:
Widal: Negatif
Hb: 6.9
Leu: 23.29
Tr: 295rb
UL: Kuning, Jernih, leukosit esterase -, Protein -, Darah -, Nitrit -, Laktosa -,
Bakteri+
A: 1. Anemia Gravis ec helmintiasis
2. Bronchitis
Pdx: Cek SGOT, SGPT, Albumin, FL
Pth:
 IVFD D5 ½ NS 250 cc /24 jam
 Meropenem 3x100 mg iv (H1)
 Maltofer syr 1x5 ml
 Antrain 3x100 mg iv
 Transfusi PRC 100 cc/hari 1 kali
 Puyer Bapil: Ambroxol 5 mg, CTM 1 mg, salbutamol 1 mg, 3x1 pulv

 09/03/2019
S: Demam -, BAB cacing -, Kedua kaki bengkak, Batuk +
O: KU : CM, Lemah, GCS: E4M6V5
TD: 90/60 mmHg, HR : 114 x/mnt, RR : 26 x/mnt, T : 36.8°C
K/L : Anemis + / Ikterik - / Dispneu - / Cyanosis -
Thoraks : Cor S1/S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo simetris, Retraksi -/-, vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-
Abd : Supel, Bising Usus +, Distensi +, Nyeri tekan + (epigastrium)
Teraba Hepatomegali, hepar 3 jari bawah arcus costae, Meteorismus +
Ekstremitas : Akral Hangat, pucat, CRT<2”, Edema kedua ekstremitas bawah +/+

10
Lab:
Albumin: 2.32
SGOT: 32
SGPT: 20
Feses Lengkap (09/03/2019) :
- Warna coklat, konsistensi lembek, bau khas, Lendir -, Darah -
 Leukosit : Negatif/LPB
 Eritrosit : Negatif/LPB
 Amuba : Negatif
Telur cacing : Ascaris 1+
A: 1. Anemia Gravis ec helmintiasis
2. Bronchitis
3. Hipoalbumin
Pth:
 IVFD D5 ½ NS 250 cc /24 jam
 Meropenem 3x100 mg iv (H2)
 Maltofer syr 1x5 ml
 Antrain 3x100 mg iv (K/P)
 Transfusi PRC 100 cc
 Puyer Bapil: Ambroxol 5 mg, CTM 1 mg, salbutamol 1 mg, 3x1 pulv
 Transfusi albumin 20% 50cc

 12/03/2019
S: Demam +, Kedua kaki bengkak, Batuk +, Albumin sudah masuk 1 kali, darah sudah
masuk bag ke 2
O: KU : CM, Lemah, GCS: E4M6V5
TD: 90/60 mmHg, HR : 116 x/mnt, RR : 26 x/mnt, T : 37.5°C
K/L : Anemis - / Ikterik - / Dispneu - / Cyanosis –
Thoraks : Cor S1/S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo simetris, Retraksi -/-, vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-
Abd : Supel, Bising Usus +, Distensi -, Nyeri tekan -

11
Teraba Hepatomegali, hepar 3 jari bawah arcus costae
Ekstremitas : Akral Hangat, CRT<2”, Edema kedua ekstremitas bawah +/+
Lab:
Hb: 8.7
Leu: 14.13
Tr: 392 rb
Albumin: 2.61
A: 1. Anemia Gravis ec helmintiasis
2. Bronchitis
3. Hipoalbumin
Pdx: -
Pth:
 IVFD stop ganti penflon
 Meropenem 3x100 mg iv (H5)
 Maltofer syr 1x5 ml
 Transfusi albumin 20% 50cc
 Puyer Bapil: Ambroxol 5 mg, CTM 1 mg, salbutamol 1 mg, 3x1 pulv
 Diet bubur 3x
 Diet TKTP
 Ekstra susu

Keluarga pasien memutuskan untuk pulang paksa karena ada urusan di rumah nenek.
Obat pulang:
Cefixime 2x50 mg pulv
Puyer bapil 3x1 pulv
PCT 4x1 cth bila demam
Maltofer 1x5 ml

12
15. Pembahasan
Anemia
A. Definisi
Anemia merupakan keadaan di mana masa eritrosit dan atau masa hemoglobin yang
beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Secara
laboratoris, anemia dijabarkan sebagai penurunan kadar hemoglobin serta hitung eritrosit
dan hematrokrit di bawah normal atau orang sehat. Mungkin ada perbedaan karena ras
dalam kadar Hb.1,2
Kadar hemoglobin dan penggolongan jenis anemia menjadi ringan, sedang, dan berat
belum ada keseragaman mengenai batasannya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan
kelompok umur, kondisi penderita, komplikasi dengan penyakit lain, keadaan umum gizi
penderita, dan keadaan fisiologis tertentu seperti kehamilan, dan lain-lain yang sulit
dikelompokkan.

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Anemia Berdasarkan Umur3

Pada kasus ditemukan nilai Hb pasien adalah 4.6g/dL, dimana menurut klasifikasi
WHO pada tabel diatas termasuk dalam golongan anemia berat.

B. Klasifikasi dan Etiologi


Anemia pada dasarnya dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme
independen, yaitu berkurangnya produksi sel darah merah, kehilangan darah keluar tubuh
(perdarahan), dan meningkatnya destruksi sel darah merah (hemolisis). Klasifikasi lain
untuk anemia yaitu berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat nilai MCV (Mean
corpuscular volume) yang didapat melalui pemeriksaan indeks eritrosit.4

13
Anemia mikrositik merupakan anemia dengan karakteristik sel darah merah yang kecil
(MCV <80 fL). Anemia mikrositik biasanya disertai penurunan kadar hemoglobin dalam
eritrosit yang ditunjukkan oleh penurunan nilai MCH (Mean concentrationhemoglobin).
Dengan adanya penurunan nilai MCH dan MCV, akan didapatkan gambaran mikrositik
hipokrom pada apusan darah tepi.2,5

Pada kasus ditemukan penurunan pada kedua nilai MCV dan MCH, sehingga pasien
termasuk dalam kategori anemia mikrositik hipokromik.

Penyebab anemia mikrositik hipokromik antara lain: anemia defisiensi besi,


thalassemia major, anemia akibat penyakit kronik dan anemia sideroblastik. Defisiensi besi
merupakan penyebab utama anemia di dunia, timbul akibat kosongnya cadangan besi tubuh
(depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada
akhirnya menyebabkan berkurangnya pembentukan hemoglobin.2,5

Gambar 1. Klasifikasi Penyebab Anemia Berdasarkan Nilai MCV5

Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh4,5 :


a. Kebutuhan besi yang meningkat secara fisiologis, seperti pada prematuritas, anak
dalam masa pertumbuhan dan kehamilan.
b. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang dapat berasal dari
saluran cerna (tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon, infeksi cacing
tambang), saluran genitalia wanita (menorrhagia), saluran kemih (hematuria), dan
saluran napas (hemoptoe). Di beberapa wilayah geografis, infestasi cacing
merupakan penyebab penting dari defisiensi besi.
c. Kurangnya besi yang diserap

14
 Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat akibat kurangnya jumlah besi total
dalam makanan.
 Malabsorpsi besi akibat gastrektomi atau kolitis kronik.

Tabel 2. Penyebab Defisiensi Besi5

Berdasarkan umur penderita penyebab dari defisiensi besi dapat dibedakan:6


 bayi < 1tahun : persediaan besi kurang karena BBLR, lahir kembar, ASI eklusif tanpa
suplemen besi, susu formula rendah besi, pertumbuhan cepat, anemi selama kehamilan
 anak 1-2 tahun : masukan besi kurang, kebutuhan yang meningkat karena infeksi
berulang (enteritis,BP), absorpsi kurang
 anak 2-5 tahun : masukan besi kurang, kebutuhan meningkat, Kehilangan berlebihan
karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit dan divertikulum Meckeli.
 Anak 5-remaja : perdarahan karena infeksi parasit dan polip, diet tidak adekuat.
 Remaja-dewasa: mentruasi berlebihan

Pada kasus ditemukan telur cacing di pemeriksaan feses lengkap pasien. Dari hasil
tersebut kemungkinan besar penyebab anemia pada pasien adalah kehilangan darah kronis yang
disebabkan oleh infeksi cacing tambang. Ditambah dengan pola makan pasien. Hal ini karena
penyebab-penyebab lain dari anemia defisiensi besi sudah dieksklusikan melalui anamnesis
pasien.

15
C. Diagnosis
Diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala
klinik yang sering tidak khas.4,5
 Anamnesis
Pada anamnesis ditemukan gejala umum anemia seperti badan lemah, lesu, cepat lelah,
pucat, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi dapat
dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut,
misalnya pada anemia akibat penyakit cacing tambang dijumpai nyeri perut.
 Pemeriksaan fisik
Gejala dari keadaan deplesi besi maupun defisiensi besi tidak spesifik. Pemeriksaan fisik
terhadap pasien untuk melihat gejala umum anemia/sindrom anemia, biasanya ditemukan anemis
pada konjungtiva, disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok. Pucat
merupakan tanda paling penting pada defisiensi besi. Sclera berwarna biru juga sering, meskipun
ini juga ditemukan pada bayi normal. Pada defisiensi ringan sampai sedang (Hb 6-10 g/dL).
Pagofagia, yaitu keinginan untuk makan es, mungkin ada. Bila Hb menurun sampai di bawah
5g/dL, iritabilitas dan anoreksia mencolok. Takikardia dan dilatasi jantung terjadi, dan bising
sistolik sering ada. Limpa teraba membesar pada 10-15% penderita.1
Anak dengan defisiensi besi mungkin gemuk atau kurang berat, dengan tanda lain
kurang gizi. Defisiensi besi dapat memperngaruhi fungsi neurologis dan intelektual.
Kekurangan zat besi di dalam otot jantung menyebabkan terjadinya gangguan kontraktilitas
otot organ tersebut. Anak yang menderita ADB lebih mudah terserang infeksi karena
defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan fungsi neutrofil dan berkurangnya sel limfosit T
yang penting untuk pertahanan tubuh terhadap infeksi. Perilaku yang aneh berupa pika, yaitu
gemar makan atau mengunyah benda tertentu antara lain kertas, kotoran, alat tulis, pasta gigi
dan lain lain, timbul sebagai akibat adanya rasa kurang nyaman di mulut. Rasa kurang
nyaman ini disebabkan karena enzim sitokrom oksidase yang terdapat pada mukosa mulut
yang mengandung besi berkurang. Dampak kekurangan besi tampak pula pada kuku berupa
permukaan yang kasar, mudah terkelupas dan mudah patah. Bentuk kuku seperti sendok
(spoon-shaped nails) yang juga disebut sebagai koilonikia terdapat pada 5,5% kasus ADB.
Pada saluran pencernaan, kekurangan zat besi dapat menyebabkan gangguan dalam proses

16
epitialisasi. Papil lidah mengalami atropi. Pada keadaan ADB berat, lidah akan
memperlihatkan permukaan yang rata karena hilangnya papil lidah. Mulut memperlihatkan
stomatitis angularis dan ditemui gastritis pada 75% kasus ADB.1,6
 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan meliputi darah rutin, index eritrosit, retikulosit, morfologi darah tepi, dan
status besi (Fe serum, TIBC, saturasi transferin, FEP, feritin). Cadangan besi jaringan yang
ditunjukan oleh hemosiderin sumsum tulang menghilang. Penurunan kadar feritin serum, yang
nilai normalnya bergantung kepada umur. Penurunan besi serum (juga tergantung umur),
kapasitas besi ikat (TIBC) meningkat persentase saturasi transferrin menurun (ini juga bervariasi
menurut umur). Bila defisiensi semakin berat, eritrosit menjadi lebih kecil daripada normal dan
kadar Hbnya menurun. Dengan meningkatnya defisiensi, eritrosit menjadi berubah dan
berbentuk tidak normal dan menunjukkan sifat mikrositosis, hipokromia, poikilositosis, dan
kenaikan lebar distribusi eritrosit (RDW). Persentase retikulosit mungkin normal atau meningkat
sedang. Eritrosit berinti mungkin tampak di darah tepi. Jumlah sel darah putih normal.
Trombositosis mungkin ada, kadang-kadang mencolok (600.000-1.000.000/mm3) pada beberapa
kasus. Mekanisme abnormalitas trombosit ini tidak jelas. Mungkin sebagai akibat langsung dari
defisiensi besi, mungkin berkaitan dengan kehilangan darah gastrointestinal atau dengan
defisiensi folat, dan kembali normal dengan terapi besi dan perubahan diet. Sumsum tulang
hiperselular, terkait hyperplasia eritroid.1

Pada pasien ditemukan adanya gejala-gejala anemia seperti pucat dan lemah badan.
Pasien juga jadi lebih mudah terserang infeksi karena pertahanan tubuh yang kurang Juga
terdapat gejala pica yaitu suka memakan pasir. Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya
konjungtiva yang anemis. Terdapat nyeri perut bagian ulu hati. Pemeriksaan darah lengkap
yang juga meliputi indeks eritrosit mendukung diagnosis anemia mikrositik hipokromik
dengan menurunnya nilai Hb, MCV, dan MCH.

D. Tatalaksana
Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri. Yang sering
dipakai adalah ferous sulfat karena harganya yang lebih murah. Untuk bayi tersedia preparat besi
berupa tetes (drop). Untuk mendapatkan respons pengobatan dosis besi yang dipakai 3-6 mg

17
besi/kgBB/hari. Maksimal dosis 150-300 mg per hari. Dosis obat dihitung berdasarkan
kandungan besi yang ada dalam garam ferous.1,5
Garam ferous sulfat mengandung besi sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar akan
menimbulkan efek samping pada saluran pencernaan dan tidak memberikan efek penyembuhan
yang lebih cepat. Absorpsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, diantara dua
waktu makan, akan tetapi dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna berupa mual,
rasa tidak nyaman di ulu hati, dan konstipasi. Untuk mengatasi hal tersebut pemberian besi dapat
dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan meskipun akan mengurangi absorpsi obat
sekitar 40-50%. Obat diberikan dalam 2-3 dosis sehari. Tindakan tersebut lebih penting karena
dapat diterima tubuh dan akan meningkatkan kepatuhan penderita. Preparat besi ini harus terus
diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita teratasi. Respons terapi dari pemberian
preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari pemeriksaan laboratorium.6,8
Pemberian besi secara intramuskular dapat dipertimbangkan jika respon pengobatan oral
tidak berjalan baik misalnya karena keadaan pasien tidak dapat menerima secara oral, kehilangan
besi terlalu cepat yang tidak dapat dikompensasi dengan pemberian oral, atau gangguan saluran
cerna misalnya malabsorpsi. Pemberian dapat menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal.
Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan untuk menaikkan
kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral.6,8
Dalam 4-30 hari setelah pengobatan didapatkan peningkatan kadar hemoglobin 1-2 gr/dL
dan cadangan besi terpenuhi 1-3 bulan setelah pengobatan. Transfusi darah dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan aktif yang tidak stabil secara hemodinamik,
atau untuk pasien dengan anemia berat (kadar Hb <7 g/dL) karena pada kadar Hb tersebut risiko
untuk terjadinya gagal jantung besar dan dapat terjadi gangguan fisiologis. Walaupun demikian,
manajemen yang tepat harus mencakup identifikasi dan perawatan kondisi yang
mendasarinya.1,5,6,7

Penanganan anemia pada pasien meliputi transfusi PRC karena nilai Hb pasien yang
tergolong dalam anemia berat, preparat besi oral, dan eliminasi kausal anemia yaitu infeksi
cacing.

18
Infeksi Cacing
A. Soil Transmitted Helminth
Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) adalah infeksi yang disebabkan oleh
nematoda usus yang dalam penularannya memerlukan media tanah, banyak ditemukan pada
daerah yang beriklim tropis dan subtropis seperti Asia Tenggara, seperti Indonesia, karena
telur dan larvanya lebih dapat berkembang di tanah yang hangat dan basah. STH adalah
salah satu penyebab paling umum infeksi kronis pada manusia, terutama di wilayah dengan
tingkat sosial-ekonomi rendah serta kebersihan dan sanitasi yang kurang memadai di
negara-negara berkembang.9,10
STH merupakan masalah dunia, terutama di negara yang sedang berkembang.
Prevalensi pada anak balita dan murid sekolah dasar tinggi. World health organization
memperkirakan hampir 1 milyar penduduk dunia menderita infeksi parasit cacing. Di
Indonesia infeksi cacing usus masih merupakan problem kesehatan masyarakat yang
penting, dengan prevalensi yang cukup tinggi. Empat spesies utama cacing usus yang
merupakan persoalan kesehatan masyarakat di Indonesia adalah Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura, Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Infeksi cacing pada
seorang anak dapat ditemukan secara tunggal maupun campuran, dan dapat menyebabkan
malnutrisi, anemia, menurunnya kesehatan jasmani dan menurunkan selera makan sehingga
dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan dapat menyebabkan penurunan
kemampuan kognitif.11
Mayoritas orang yang terinfeksi tidak menunjukkan adanya gejala karena patologi dari
infeksi cacing sangat terkait dengan intensitas infeksi (jumlah cacing yang menginfeksi).
Walaupun demikian pada intensitas tertentu cacing dalam jumlah besar dapat menyebabkan
infeksi kronis yang pada akhirnya dapat menimbulkan anemia ataupun gangguan
pertumbuhan khususnya pada anak usia sekolah.9,12

Trikuriasis
Trichuris trichiura merupakan penyebab penyakit trikuriasis, sering disebut sebagai
cacing cambuk (whip worm). Manusia adalah hospes utama cacing Trichuris trichiura. Cara
infeksi adalah transmisi langsung, tidak diperlukan hospes perantara.

19
Telur yang tidak berembrio dikeluarkan bersama tinja. Di dalam tanah telur
berkembang sampai akhirnya terbentuk embrio; pada tahap ini telur menjadi infektif dalam
15 hingga 30 hari. Setelah telur tertelan (tangan atau makanan yang terkontaminasi tanah),
telur menetas di usus kecil dan melepaskan larva yang matang dan membentuk diri sebagai
cacing dewasa di usus besar. Predileksi cacing dewasa berada di sekum dan usus besar,
dimana pada lokasi tersebut akan menempelkan dirinya ke mukosa usus. Dalam waktu 60
sampai 70 hari setelah infeksi, cacing betina akan mengeluarkan antara 3.000 dan 20.000
telur per hari, pada tahap ini telur cacing dapat ditemukan pada tinja. Masa hidup cacing
dewasa pada hospes mencapai sekitar 1 tahun.9
Trichuris trichiura dapat menyebabkan anak kehilangan darah, seekor cacing dewasa
menghisap 0,005 ml darah per hari.11

Gambar 3. Siklus Hidup T. trichiura


Askariasis
Ascariasis adalah infeksi pada usus kecil yang disebabkan oleh cacing Ascaris
lumbricoides. Geohelminth ini adalah salah satunya infeksi parasit manusia yang paling
umum. Penularan terjadi melalui makanan yang terinfeksi oleh telur dan larva.
Seekor cacing betina mampu menghasilkan telur sampai 240.000 perhari yang akan
keluar bersama feses. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi akan berkembang
menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Telur infektif tertelan, masuk
ke usus halus dan menetas mengeluarkan larva yang kemudian menembus mukosa usus,
masuk kelenjar getah bening dan aliran darah yang akhirnya terbawa sampai ke paru-paru.

20
Larva mengalami pendewasaan di dalam paru-paru, menembus dinding alveoli, naik ke
saluran pernafasan dan akhirnya terlelan kembali. Ketika mencapai usus halus, larva tumbuh
menjadi cacing dewasa. Waktu yang diperlukan mulai tertelan telur infeksi sampai menjadi
cacing dewasa sekitar 2-3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup 1 sampai 2 tahun dalam tubuh
hospes. Masa inkubasi dari infeksi sampai munculnya telur pada tinja adalah 60–70 hari.9

Gambar 4. Siklus Hidup A.lumbricoides

Ankilostomiasis dan Nekatoriasis


Infeksi cacing tambang (hookworm) pada manusia disebabkan oleh Necator
americanus (nekatoriasis) dan Ancylostoma duodenale (ankilostomiasis). Mayoritas kasus
cacing tambang di dunia disebabkan oleh N. Americanus.
Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur per hari. Keluarnya telur cacing
bersama feses, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva
rhabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat
menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit,
larva ikut aliran darah ke jantung lalu ke paru-paru. Di paru-paru larva menembus pembuluh
darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring sampai akhirnya ikut tertelan dan masuk
ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa terutama hidup di daerah
jejunum dan duodenum. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut
tertelan bersama makanan. Telur yang dikeluarkan melalui tinja tidak infektif pada
manusia.9

21
Cacing dewasa hidup di sepertiga bagian atas usus halus, melekat pada mukosa usus dan
dapat bertahan selama 7 tahun atau lebih. Cacing tambang menghisap lebih banyak darah bila
dibandingkan dengan Trichuris trichiura. Seekor Ancylostoma duodenale menghisap 0,16-0,34
ml darah per hari, sedangkan seekor Necator americanus menghisap 0.03- 0,05 ml darah per
hari. Cacing ini menyebabkan laserasi pada kapiler villi usus halus dan menyebabkan
perdarahan lokal pada usus. Sebagian dari darah akan ditelan oleh cacing dan sebagian keluar
bersama dengan tinja. Pada infeksi sedang (angka telur per gram tinja lebih dari 5000)
kehilangan darah dapat dideteksi dalam tinja rata rata 8 ml per hari, sehingga menimbulkan
gejala anemia dan defisiensi besi.11

Gambar 5. Siklus Hidup N. americanus dan A.duodenale

B. Manifestasi Klinis
 Trikuriasis
Kelainan patologis yang disebabkan oleh cacing dewasa terjadi akibat kerusakan mekanik
di bagian mukosa usus dan respons alergi. Pola dan tingkat keparahan gejala sangat berhubungan
dengan intensitas infeksi, lama infeksi, umur dan status kesehatan umum dari hospes. Pada
infeksi ringan, ketika individu hanya memiliki beberapa cacing yang terbatas pada sekum dan
kolon, tidak ada gejala yang terlihat karena hanya menyebabkan sedikit kerusakan. Namun bila
dikaitkan dengan infeski Ascaris lumbricoides, gejala ringan seperti nyeri epigastrium, muntah,
distensi, perut kembung, anoreksia dan penurunan berat badan dapat terlihat. Pada infeksi berat,
dimana cacing menyebar ke seluruh usus besar bahkan sampai rektum, dapat muncul gejala
seperti perdarahan, kotoran mukopurulen, disentri, serta prolaps rektal. 9,10

22
Trauma pada dinding usus terjadi karena cacing ini membenamkan bagian kepalanya
pada dinding sekum yang menyebabkan reaksi anafilaksis lokal yang dimediasi oleh
immunoglobulin E (Ig E), terlihat infiltrasi lokal eosinofil di submukosa usus dan dapat terjadi
edema pada dinding usus. Pada keadaan ini mukosa mudah berdarah. Pada infeksi berat dapat
dijumpai mencret yang mengandung darah dan lendir (sindrom disentri), menimbulkan
intoksikasi sistemik dan anemia.11
Penderita terutama anak dengan infeksi trichuris yang berat dan menahun, menunjukkan
gejala-gejala nyata seperti diare yang sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia, berat
badan turun, hipoproteinemia dan kadang-kadang disertai prolapsus rekti.15
 Askariasis
Infeksi ringan biasanya tidak menyebabkan gejala, mungkin dapat ditemukan rasa tidak nyaman
pada perut, muntah, dan nyeri kolik. Selama tahap migrasi, larva dapat menyebabkan
pneumonitis 4–16 hari setelah infeksi. Gejala dan tanda yang dapat ditemukan antara lain
demam,batuk berdahak, eosinophilia, dan infiltrasi paru-paru pada pemeriksaan radiologis. Hal
ini disebut sebagai 'Sindrom Löffler'. Komplikasi paling umum dari ascariasis adalah obstruksi
usus kecil, paling umum terjadi pada anak-anak di bawah usia 10 tahun, mungkin dikarenakan
diameter lumen usus yang sempit dibanding dengan jumlah cacing. 9,10
Cacing ini hidup dalam rongga usus halus manusia mengambil makanan terutama
karbohidrat dan protein. Sel mukosa usus halus (enterosit) mempunyai brush border yang terdiri
dari mikrovili. Didalam mikrovili ini terdapat berbagai macam enzim pencernaan. Adanya
Ascaris lumbricoides dalam usus halus dapat menyebabkan kelainan mukosa usus, berupa proses
peradangan pada dinding usus, pelebaran dan memendeknya villi, bertambah panjangnya kripta,
menurunnya rasio villus kripta dan infiltrasi sel bulat ke lamina propria, yang berakibat pada
gangguan absorpsi makanan. Sebagian kelainan ini dapat kembali normal bila cacing
dikeluarkan. Efek langsung yang terukur akibat kelainan mukosa usus halus ialah meningkatnya
nitrogen dalam tinja, steatorhea karena terjadi gangguan absorpsi lemak, gangguan absorbsi
karbohidrat. Akibat lainnya adalah cacing ini menyebabkan hiperperistaltik sehingga
menimbulkan diare, juga dapat mengakibatkan rasa tidak enak diperut, kolik akut pada daerah
epigastrium dan gangguan selera makan. Keadaan ini terjadi pada saat proses peradangan pada
dinding usus.11
 Hookworm Disease

23
Gejala klinis yang terjadi tergantung pada derajat infeksi, makin berat infeksi manifestasi
klinis yang terjadi semakin mencolok, berupa, anoreksia, mual, muntah, diare, kelelahan, sakit
kepala, sesak napas, palpitasi, dispepsia, nyeri disekitar duodenum, jejenum dan ileum. Juga bisa
ditemukan ditemukan protein plasma yang rendah (hypoalbuminemia), kelainan absorpsi
nitrogen dan vitamin B12, tetapi yang tetap paling menonjol adalah berkurangnya zat besi.11
Infeksi cacing tambang menyebabkan anemia mikrositik dan hipokromik karena
kekurangan zat besi akibat kehilangan darah secara kronis. Setiap cacing dewasa diperkirakan
dapat menghisap sekitar 0,03 ml per hari pada N. americanus dan 0,15 ml per hari pada A.
duodenale. Proses ini dibantu oleh sekresi faktor Xa dan VIIa / inhibitor TF, dan agen anti-
platelet oleh parasit. Sehingga pada infeksi yang kronis dapat menyebabkan anemia
progesif.9,10,11
Semakin banyak jumlah cacing, semakin besar kehilangan darah, namun hal ini juga
dipengaruhi oleh status besi hospes. Masuknya larva ke saluran cerna dan perkembangannya
menjadi cacing tambang dewasa sering menghasilkan nyeri epigastrik.9

Pada pasien ditemukan gejala seperti nyeri epigastrik. Anemia mikrositik hipokrom
ditemukan akibat perdarahan kronis oleh infeksi cacing. Terdapat hepatomegali dan
hipoalbumin.

C. Diagnosis
Pada umumnya diagnosis infeksi cacing ditegakkan berdasarkan pemeriksaan tinja
dengan ditemukannya telur cacing atau larva. Teknik pemeriksaan feses itu sendiri
bermacam-macam, namun perhitungan telur per gram tinja dengan teknik Kato-Katz dipakai
sebagai pedoman untuk menentukan berat ringannya infeksi (pemeriksaan kuantitatif).
Pemeriksaan kualitatif juga dapat dilakukan menggunakan modifikasi teknik Kato-Katz
dengan hasil pemeriksaan tinja berupa positif atau negatif cacingan. Pada cacing tambang
dapat ditemukan cacing dewasa (ukuran panjang kira-kira 10-15 cm) keluar sendiri melalui
mulut, hidung, atau anus.9

24
Gambar 6. Cacing Dewasa A. lumbricoides

Gambar 7. Morfologi Telur Cacing

Pemeriksaan darah lengkap dapat dilakukan untuk mengidentifikasi adanya anemia


mikrositik hipokrom yang merupakan tanda khas dari infeksi cacing tambang (hookworm
anemia), dapat didukung dengan menurunnya kadar besi serum dan meningkatnya kadar
total iron binding capacity. Eosinofilia biasanya tidak ditemukan pada infeksi orang
dewasa, namun dapat ditemukan pada pasien dengan loeffler syndrome, bersamaan dengan
ditemukannya infiltrasi paru pada pemeriksaan radiologi dan peningkatan kadar IgE.
Pemeriksaan IgE itu sendiri tidak direkomendasikan karena tingginya biaya. Literatur
menyatakan bahwa pemeriksaan PCR dapat dilakukan untuk infeksi askariasis dan infeksi
cacing tambang.9
Diagnosis infeksi cacing pada pasien ditegakkan dengan ditemukannya telur cacing
ascaris, trichuris, dan ankilostoma pada pemeriksaan feses lengkap, serta adanya cacing
pada saat pasien buang air besar dan riwayat keluar cacing melalui muntah.

25
D. Tatalaksana
Pengobatan Cacingan adalah dengan memberikan obat antihelmintik atau obat anti
cacing. Prinsip pengobatan adalah membunuh cacing yang ada dalam tubuh manusia yaitu
dengan menggunakan obat yang aman dan berspektrum luas.
Macam-macam obat antihelmintik adalah sebagai berikut13:
1. Albendazol
Albendazol merupakan obat cacing berspektrum luas. Obat memiliki efek larvasida
dan ovisida, bekerja dengan menghambat pembentukan energi cacing sehingga mati.
Waktu paruh albendazol adalah 8 – 12 jam dengan kadar puncak plasma dicapai
dalam 3 jam. Contoh merek dagang adalah Zentel, Albendazol.
2. Mebendazol
Mebendazol memiliki mekanisme kerja yang sama dengan albendazol. Contoh
merek dagang di Indonesia adalah Vermox, Vemoran, Tismarias, Mebendazol,
Gavox, dll.
3. Pirantel Pamoat
Pirantel pamoat efektif untuk askariasis dan cacing tambang. Obat berkerja sebagai
neuromuscular blocking agent yang menyebabkan pelepasan asetilkolin dan
penghambatan kolinesterase sehingga menghasilkan paralisis spastik. Contoh merek
dagang adalah Combantrin, Konvermex, Upixon, Pirantel, dll.

Tabel 3. Dosis Obat Antihelmintik Berdasarkan Usia12

26
Ascariasis
Beberapa agen kemoterapeutik efektif melawan askariasis; namun tidak ada yang
berguna selama fase infeksi paru. Pengobatan, terutama dengan anak dengan infeksi berat harus
didekati dengan hati-hati. Pemberian Piperazin sitrat ( 150 mg/kgBB peroral dosis inisial, diikuti
oleh 6 dosis masing-masing 65mg/kgBB interval pemberian tiap 12 jam secara peroral),
menyebabkan paralisis neuromuskular parasit dan pengeluaran cacing relatif cepat, sehingga
obat ini adalah obat pilihan untuk obstruksi usus atau saluran empedu.1
Terapi pilihan untuk ascariasis gastrointestinal meliputi albendazole (400 mg peroral
dosis tunggal, untuk segala usia), mebendazole (100 mg 2 kali sehari peroral selama 3 hari atau
500 mg peroral dosis tunggal untuk segala usia), atau pyrantel pamoate (11 mg/kgBB peroral
dosis tunggal, maksimum 1 gram). Karena hipersentivitas sporadis dan reaksi neurotoksik telah
dilaporkan dengan derivat piperazin, obat-obat lain seperti mebendazol (100 mg dua kali sehari
selama 3 hari) harus digunakan untuk mengobati askariasis tidak terkomplikasi atau dengan
albendazol dosis tunggal 400 mg. Tindakan operatif mungkin diperlukan pada keadaan dimana
terjadi obstruksi yang berat.1,14
Menurut pedoman penanggulangan cacingan Indonesia, pada Askariasis dapat diberikan
Albendazol atau Mebendazol per oral dosis tunggal, atau Pirantel Pamoat 10-11mg/kgBB per
oral, maksimum 1 gram. Pada Trikuriasis diberikan Albendazol 400mg selama 3 hari atau
Mebendazol 2x100mg selama 3 hari. Pada infeksi cacing tambang diberikan Albendazol dosis
tunggal 400mg atau Mebendazol 2x100mg selama 3 hari atau Pirantel Pamoat 11mg/kgBB,
maksimum 1 gram selama 3 hari.12
Secara umum pemberian Albendazol telah dilaporkan lebih efektif dibandingkan
Mebendazol. Albendazol dosis tunggal terbukti dapat mengkontrol infeksi A. lumbricoides,
namun tidak untuk cacing tambang dan T. trichiura. Beberapa randomized controlled trial
menunjukkan bahwa diperlukan pemberian albendazole selama 3 hari berturut-turut untuk
mencapai tingkat kesembuhan yang lebih tinggi khususnya pada cacing tambang dan T.
trichiura.10,11
Pada kasus pasien diberikan obat Mebendazole 2x100mg selama 3 hari saat terdiagnosis.
Namun setelah masih ditemukan adanya BAB cacing, pasien diberikan tambahan Pirantel
Pamoat selama 3 hari dan Albendazol 1x400mg single dose.

27
E. Pedoman Penanggulangan Cacingan di Indonesia
Indonesia memiliki program penanggulangan cacingan yang diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2017 tentang Penanggulangan
Cacingan. Penyelenggaraan Penanggulangan Cacingan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah dengan melibatkan peran serta masyarakat, dengan target berupa
penurunan prevalensi penyakit cacingan di bawah 10% di setiap daerah kabupaten/kota pada
tahun 2019. Dalam penyelenggaraan Penanggulangan Cacingan dilaksanakan kegiatan
sebagai berikut:
a. Promosi kesehatan
Promosi kesehatan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang
tanda dan gejala Cacingan serta cara penularan dan pencegahannya; meningkatkan perilaku
hidup bersih dan sehat guna memelihara kesehatan yang dilakukan melalui cuci tangan
pakai sabun, menggunakan air bersih untuk keperluan rumah tangga, menjaga kebersihan
dan keamanan makanan, menggunakan jamban sehat, serta mengupayakan kondisi
lingkungan yang sehat; meningkatkan perilaku mengkonsumsi obat cacing secara rutin
terutama bagi anak balita dan anak usia sekolah. Promosi kesehatan diberikan melalui
Program Usaha Kesehatan Sekolah, Posyandu, media cetak maupun media elektronik dan
penyuluhan langsung, konsultasi, bimbingan dan konseling, intervensi perubahan perilaku,
dan pelatihan. Pencegahan dengan anjuran mencuci tangan sebelum makan, menggunting
kuku secara teratur, pemakaian jamban keluarga serta pemeliharaan kesehatan pribadi dan
lingkungan, tidak menggunakan feses manusia sebagai pupuk dapat mencegah askariasis.
b. Surveilans Cacingan
Surveilans cacingan dilakukan melalui penemuan kasus Cacingan; survei faktor risiko;
dan survei prevalensi Cacingan.

Tabel 4. Kategori Survei Prevalensi13

28
c. Pengendalian Faktor Risiko
Pengendalian faktor risiko dapat dilakukan melalui kegiatan menjaga kebersihan
perorangan dan menjaga kebersihan lingkungan.
d. Penanganan Penderita
Dilakukan melalui upaya pengobatan penderita, penanganan komplikasi Cacingan, dan
konseling kepada penderita dan keluarga. Jenis pengobatan penyakit Cacingan ada dua
macam yaitu pengobatan massal dan pengobatan selektif.
e. Pemberian Obat Pencegahan Secara Massal (POPM) Cacingan
Ditujukan untuk menurunkan prevalensi Cacingan pada daerah kabupaten/kota.
Penentuan intervensi POPM pada daerah kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan hasil survei
prevalensi.
POPM Cacingan dilakukan pada anak balita, anak usia pra sekolah, dan anak usia
sekolah di daerah kabupaten/kota dengan prevalensi tinggi dan sedang. Pada daerah
kabupaten/kota dengan prevalensi rendah dilakukan pengobatan secara selektif. Obat cacing
yang digunakan adalah Albendazol karena efektif untuk beberapa jenis cacing, praktis
dalam penggunaan (dosis tunggal) dan efek samping relatif kecil, aman, dan terjangkau.
Survei cakupan pengobatan akan dilaksanakan satu kali setelah siklus pertama pengobatan
massal. Setelah 5 tahun berturut-turut pelaksanaan POPM cacingan akan dilaksanakan
evaluasi prevalensi. Tindak lanjut berdasarkan hasil survei prevalensi akan dilaksanakan
selama 5 tahun berturut-turut untuk selanjutnya dievaluasi kembali prevalensinya.

Tabel 5. Intervensi PPOM Berdasarkan Prevalensi13

Tabel 6. Tindak Lanjut Berdasarkan Survei Prevalensi13

29
Bronchitis
Bronkitis ( bronchitis ) adalah peradangan (inflamasi) pada selaput lendir (mukosa)
bronkus (saluran pernafasan dari trachea hingga saluran napas di dalam paru-paru). Peradangan
ini mengakibatkan permukaan bronkus membengkak (menebal) sehingga saluran pernapasan
relatif menyempit. Bronkitis terbagi atas 2 jenis, yakni: bronkitis akut dan bronkitis kronis.
Perlu diingat bahwa istilah akut dan kronis adalah terminologi (istilah) berdasarkan durasi
berlangsungnya penyakit, bukan berat ringannya penyakit. Bronkitis akut pada umumnya
ringan. Berlangsung singkat (beberapa hari hingga beberapa minggu), rata-rata 10-14 hari.
Meski ringan, namun adakalanya sangat mengganggu, terutama jika disertai sesak, dada terasa
berat, dan batuk berkepanjangan. Kebanyakan brokitis pada anak yaitu brokitis akut sedangkan
bronkitis kronis terjadi pada usia dewasa. 1

Pada pasien termasuk bronchitis akut karena batuk mulai sejak 2 hari SMRS.

Epidemiologi
Bonkitis akut paling banyak terjadi pada anak kurang dari 2 tahun, dengan puncak lain
terlihat pada kelompok anak usia 9-15 tahun. Kemudian bronkitis kronik dapat mengenai orang
dengan semua umur namun lebih banyak pada orang diatas 45 tahun. Lebih sering terjadi di
musim dingin (di daerah non-tropis) atau musim hujan (didaerah tropis). 1

Etiologi
Bronkitis akut dapat disebabkan oleh :

30
 Infeksi virus : influenza virus, parainfluenza virus, respiratory syncytialvirus (RSV),
adenovirus, coronavirus, rhinovirus, dan lain-lain.
 Infeksi bakteri : Bordatella pertussis, Bordatella parapertussis, Haemophilus influenzae,
Streptococcus pneumoniae, atau bakteri atipik (Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia
pneumonia, Legionella).
 Jamur
 Noninfeksi : polusi udara, rokok, dan lain-lain.
Penyebab bronkitis akut yang paling sering adalah infeksi virus yakni sebanyak 90%
sedangkan infeksi bakteri hanya sekitar < 10%. 4 Belum ada bukti yang meyakinkan bahwa
bakteri lain merupakan penyebab primer Bronkitis Akut pada anak. Di lingkungan sosio-
ekonomi yang baik jarang terdapat infeksi sekunder oleh bakteri. Alergi, cuaca, polusi udara
dan infeksi saluran napas atas dapat memudahkan terjadinya bronkitis akut.16
Pada pasien dicurigai infeksi bakteri karena adanya nilai leukosit yang meningkat.

Manifestasi klinis
Gejala utama bronkitis akut adalah batuk-batuk yang dapat berlangsung 2-3 minggu.
Batuk bisa atau tanpa disertai dahak. Dahak dapat berwarna jernih, putih, kuning
kehijauan,atau hijau. Selain batuk, bronkitis akut dapat disertai gejala berikut ini :
 Demam (biasanya ringan)
 Batuk (berdahak ataupun tidak berdahak).
 Sesak napas, rasa berat bernapas,
 Bunyi napas mengi atau ± ngik
 Rasa tidak nyaman di dada atau sakit dada
 Kadang batuk darah
Gejala bronkitis akut tidaklah spesifik dan menyerupai gejala infeksi saluran pernafasan
lainnya. Bronkitis akut akibat virus biasanya mengikuti gejala–gejala infeksi saluran respiratori
seperti rhinitis dan faringitis. Batuk biasanya muncul 3 – 4 hari setelah rhinitis. Batuk pada
mulanya keras dan kering, kemudian seringkali berkembang menjadi batuk lepas yang ringan
dan produktif. Karena anak – anak biasanya tidak membuang lendir tapi menelannya, maka
dapat terjadi gejala muntah pada saat batuk keras dan memuncak. Pada anak yang lebih besar,

31
keluhan utama dapat berupa produksi sputum dengan batuk serta nyeri dada pada keadaaan
yang lebih berat.
Karena bronchitis akut biasanya merupakan kondisi yang tidak berat dan dapat
membaik sendiri, maka proses patologis yang terjadi masih belum diketahui secara jelasa
karena kurangnya ketersediaan jaringan untuk pemeriksaan. Yang diketahui adalah adanya
peningkatan aktivitas kelenjar mucus dan terjadinya deskuamasi sel – sel epitel bersilia.
Adanya infiltrasi leukosit PMN ke dalam dinding serta lumen saluran respiratori menyebabkan
sekresi tampak purulen. Akan tetapi karena migrasi leukosit ini merupakan reaksi nonspesifik
terhadap kerusakan jalan napas, maka sputum yang purulen tidak harus menunjukkan adanya
supe rinfeksi bakteri. Pada umumnya gejala akan menghilang dalam 10 -14 hari. Bila tanda–
tanda klinis menetap hingga 2–3 minggu, perlu dicurigai adanya infeksi kronis. Selain itu dapat
pula terjadi infeksi sekunder.1
Pada pasien terdapat Keluhan batuk dan pilek sejak 2 hari. Batuk dirasa berdahak
namun dahak tidak keluar. Juga terdapat gejala demam yang tidak terlalu tinggi.

Diagnosis
Diagnosis dari bronkitis akut dapat ditegakkan bila; pada anamnesa pasien mempunyai
gejala batuk yang timbul tiba–tiba dengan atau tanpa sputum dan tanpa adanya bukti pasien
menderita pneumonia, common cold , asma akut, eksaserbasi akut bronkitis kronik dan
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada pemeriksaan fisik pada stadium awal biasanya
tidak khas. Dapat ditemukan adanya demam, gejala rinitis sebagai manifestasi pengiring, atau
faring hiperemis. Sejalan dengan perkembangan serta progresivitas batuk, pada auskultasi
didadapat terdengar ronki, wheezing , ekspirium diperpanjang atau tanda obstruksi lainnya.
Bila lendir banyak dan tidak terlalu lengket akan terdengar ronki basah. Dalam suatu penelitian
terdapat metode untuk menyingkirkan kemungkinan pneumonia pada pasien dengan batuk
disertai dengan produksi sputum yang dicurigai menderita bronkitis akut, yang antara lain bila
tidak ditemukan keadaan sebagai berikut:
 Denyut jantung > 100 kali per menit
 Frekuensi napas > 24 kali per menit
 Suhu > 38°C

32
 Pada pemeriksaan fisik paru tidak terdapat focal konsolidasi dan peningkatan suara
napas.
Keadaan tersebut tidak ditemukan, kemungkinan pneumonia dapat disingkirkan dan
dapat mengurangi kebutuhan untuk foto thorax. Tidak ada pemeriksaan penunjang yang
memberikan hasil definitif untuk diagnosis bronkitis. Pemeriksaan kultur dahak diperlukan bila
etiologi bronkitis harus ditemukan untuk kepentingan terapi. Hal ini biasanya diperlukan
pada bronkitis kronis. Pada bronkitis akut pemeriksaan ini tidak berarti banyak karena sebagian
besar penyebabnya adalah virus. Pemeriksaan radiologis biasanya normal atau tampak corakan
bronkial meningkat. Pada beberapa penderita menunjukkanadanya penurunan ringan uji fungsi
paru. Akan tetapi uji ini tidak perlu dilakukan pada penderita yang sebelumnya sehat. 17

Pemeriksaan fisik 18
 Keadaan umum baik: tidak tampak sakit berat, tidak sesak atau takipnea. Mungkin ada
nasofaringitis
 Paru: ronki basah kasar yang tidak tetap (dapat hilang atau pindah setelah
batuk),wheezing dan krepitasi
Pemeriksaan auskultasi dada biasanya tidak khas pada stadium awal. Seiring
perkembangan dan progresivitas batuk, dapat terdengar berbagai macam ronki, suara napas
yang berat dan kasar, wheezing ataupun suara kombinasi.1
Pada kasus didapatkan ronki basah kasar pada paru sebelah kanan.

Pemeriksaan laboratorium 16,17,18


Pemeriksaan dahak dan rontgen dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosa dan
untuk menyingkirkan diagnosa penyakit lain. Bila penyebabnya bakteri, sputumnya akan
seperti nanah. Untuk pasien anak yang diopname, dilakukan tes C-reactive protein, kultur.
Hasil pemeriksaan radiologis biasanya normal atau didapatkan corakan bronkial.1

Penatalaksanaan 16,17,18
Sebagian besar pengobatan bronkitis akut bersifat simptomatis (meredakan keluhan). Obat-
obat yang lazim digunakan, yakni:
 Antitusif (penekan batuk):

33
Antitusif tidak dianjurkan pada kehamilan dan bagi ibu menyusui. Demikian pula
pada anak-anak, para ahli berpendapat bahwa antitusif tidak dianjurkan, terutama pada
anak usia 6 tahun ke bawah. Pada penderita bronkitis akut yang disertai sesak napas,
penggunaan antitusif hendaknya dipertimbangkan dan diperlukan feed back dari penderita.
Jika penderita merasa tambah sesak, maka antitusif dihentikan.
Penggunaan codein atau dekstrometorphan untuk mengurangi frekuensi batuk dan
perburukannya pada pasien bronkitis akut sampai saat ini belum diteliti secara sistematis.
Dikarenakan pada penelitian sebelumnya, penggunaan kedua obat tersebut terbukti efektif
untuk mengurangi gejala batuk untuk pasien dengan bronkitis kronik, maka penggunaan
pada bronkitis akut diperkirakan memiliki nilai kegunaan. Suatu penelitian mengenai
penggunaan kedua obat tersebut untuk mengurangi gejala batuk pada common cold dan
penyakit saluran napas akibat virus, menunjukkan hasil yang beragam dan tidak
direkomendasikan untuk sering digunakan dalam praktek keseharian. Namun, beberapa
studi menunjukkan bahwa kedua obat ini juga efektif dalam menurunkan frekuensi batuk
per harinya.
 Ekspektorant: adalah obat batuk pengencer dahak agar dahak mudah dikeluarkan sehingga
napas menjadi lega. Ekspektorant yang lazim digunakan diantaranya: GG (glyceryl
guaiacolate), bromhexine, ambroxol, dan lain-lain.
 Antipiretik: parasetamol (asetaminofen), dan sejenisnya, digunakan jika penderita demam.
 Bronkodilator
diantaranya: salbutamol, terbutalin sulfat, teofilin, aminofilin, dan lain-lain. Obat-
obat ini digunakan pada penderita yang disertai sesak napas atau rasa berat bernapas.
Penderita hendaknya memahami bahwa bronkodilator tidak hanya untuk obat asma, tapi
dapat juga digunakan untuk melonggarkan napas pada bronkitis. Selain itu, penderita
hendaknya mengetahui efek samping obat bronkodilator yang mungkin dialami oleh
penderita, yakni: berdebar, lemas, gemetar dan keringat dingin. Andaikata mengalami efek
samping tersebut, maka dosis obat diturunkan menjadi setengahnya. Jika masih berdebar,
hendaknya memberitahu dokter agar diberikan obat bronkodilator jenis lain.
 Antibiotika: Hanya digunakan jika dijumpai tanda-tanda infeksi oleh bakteri.
Pada pasien diberikan ekspektoran, bronkodilator dan antibiotik serta antipiretik.

34
16. Referensi
1. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Ilmu kesehatan anak Nelson. Ed. 20. Jilid.
2. Jakarta: EGC. 2016.
2. Glader B. Anemia: General Considerations. In: Greer GM, Paraskevas F, Glader
B (editors). Wintrobe’s Clinical Hematology. 11th edition. Philadelphia:
Lippincot , Williams, Wilkins, 2004.
3. World Health Organization. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of
anaemia and assessment of severity. 2011.
4. Oehadian A. Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia. Continuing Medical
Education. 2012.
5. Hoffbrand, A. V., J. E. Pettit, and P. A. H. Moss. Essential Haematology.
Oxford: Blackwell Science, 2001.
6. Abdulsalam M, Daniel A. Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan Anemia
Defisiensi Besi. Dalam: Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2, September 2002: 74 – 77.
7. Jimenez K, Kulnigg-Dabsch S, Gasche C. Management of Iron Deficiency
Anemia. Gastroenterology & Hepatology. 2015.
8. Handayani W, Haribowo AS. Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
system hematologi. Jakarta: Salemba medika. 2008. H. 49-60.
9. Farrar J, Hotez PJ, Junghanss T, Kang G, Lalloo D, White NJ. Manson's Tropical
Diseases 23e. Elsevier Health Sciences; 2013.
10. Noviastuti AR. Infeksi Soil Transmitted Helminths. Jurnal Majority. 2015.
11. Siregar CD. Pengaruh Infeksi Cacing Usus yang Ditularkan Melalui Tanah pada
Pertumbuhan Fisik Anak Usia Sekolah Dasar. Dalam: Sari Pediatri, Vol. 8, No.
2, September 2006: 112 – 117.
12. Parija SC, Chidambaram M, Mandal J. Epidemiology and clinical features of
soil-transmitted helminths. Tropical Parasitology. 2017.
13. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2017 Tentang
Penanggulangan Cacingan. 10 Februari 2017. Jakarta.
14. Yunus R. Keefektifan albendazole pemberian sekali sehari selama 1, 2 dan 3 hari
dalam menanggulangi infeksi Trichuris trichiura pada anak sekolah dasar di

35
kecamatan medan tembung. 2008. Tersedia dari: URL:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6244. [Diunduh 3 Juni 2019]
15. Margono SS, Alisah S. Nematoda usus. Dalam: Gandahusada S, Ilahude H, Pribadi
W. (Penyunting) Parasitologi kedokteran. Jakarta: Gaya baru; 2006: 8-37
16. Buku Ajar respirologi Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta . 2010.hal.330-
332
17. Sidney S. Braman. Chronic Cough Due to Acute Bronchitis :ACCP Evidence-Based
Clinical Practice Guidelines. Chest Journal. 2006;129;95S-103S.
18. Fahy JV,Dickey BF. Review Artikel Airway Mucus Function andDysfunction. New
England of Jurnal Medicine. Vol 363. No.23. Dec 2, 2010.

36
Pembimbing

dr. Mario B. Nara, SpA

Pendamping, Pendamping,

dr. Lince Holsen dr. Mey Indradewi

37
LAMPIRAN

38

Anda mungkin juga menyukai