Anda di halaman 1dari 4

[RT] Kisah Inspiratif dari Prof.

Rhenald Khasali

“RT” merupakan post khusus yang saya dedikasikan kepada blog entry yang inspiratif dan bermanfaat.
Singkatan ini diadopsi dari istilah “RT” yang lazim digunakan di Twitter, mengingat disini saya memang
me-RT (re-post) tulisan orang lain di blog ini. Dengan meneruskan entry tersebut di blog ini tanpa/sedikit
mengubah isi blog dan menunjukkan orisinalitas serta identitas pengarang asli, saya berharap entry yang
saya pilih ini mampu memberikan inspirasi atau menjadi hiburan bagi siapapun yang membaca blog saya.

tulisan di bawah bukan merupakan buah tangan saya, melainkan hasil buah tangan Prof. Rhenald Kasali
(Guru Besar UI) yang diterbitkan di Jawa Post edisi 8 Agustus 2011.

PASSPORT

ditulis oleh Prof. Rhenald Kasali

Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki
pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya
berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya
sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.

Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-
kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa
harus memiliki “surat ijin memasuki dunia global.”

Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang
steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.Setelah itu mereka
bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu.
Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu
dan bisa dijangkau.

“Uang untuk beli tiketnya bagaimana, Pak?”

Saya katakan saya tidak tahu.

*Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi
memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang.

*Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint.
Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.
Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang
jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah,
menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke
luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri.

Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan
sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.

Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya
adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan
penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang
bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya
dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini
berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh,
bahkan semewah di masa lalu.

Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia
bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan
pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil
resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan
membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera
stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya
tinggi. Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di
sebuah perusahaan besar di luar negeri.

The Next Convergence

Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence
mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri.
Sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka
kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan
miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.

Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri
sekalipun.

Mahasiswa tipe ini, jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki
pasport.Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia.
Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati
perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan
pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah
perbatasan.

Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang
buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia
akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan.

Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu
negara.

Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide-nya. Kami menembus Chiangmay dan
menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun
belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif?

Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa
berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan
pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut.

Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri.
Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung,
mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja,
kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.
Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun

kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka

anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket?

Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani
dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah
pandai berbahasa asing.

Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang
tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang
pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.

Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah
tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi
pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe
yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di
Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport
dari uang negara.

Anda mungkin juga menyukai