Anda di halaman 1dari 25

DEFINISI

Menurut International Continence Society (ICS), inkontinensia urin (UI) adalah gejala
penyimpanan yang didefinisikan sebagai keluarnya urin secara involunter sekalipun tidak
terjadi kebocoran karena masalah sosial atau higenis. UI adalah gejala umum yang dapat
mengenai wanita dari segala usia, dengan berbagai tingkat keparahan dan jenis. Meskipun
jarang sekali mengancam jiwa, inkontinensia mungkin dapat mempengaruhi kesejahteraan
fisik, psikologis dan sosial dari individu yang terkena.

ETIOLOGI

Menurut De Lancet tahun 2006, UI hanya disebabkan oleh disfungsi dalam penyimpanan
urine, terutama pada proses pengosongan di saluran kemih bagian bawah. Etiologi UI masih
belum jelas. Bagi wanita, proses penuaan menyebabkan ketidakseimbangan atau kekurangan
hormon yang menyebabkan jaringan mukosa menjadi rapuh. Setiap jenis inkontinensia urin
memiliki etiologi yang berbeda-beda. Berikut ini adalah tabel perbedaan etiologi tiap
inkontinensia urin.
Jenis Etiologi
Stress UI Penurunan fungsi sfingter
Urge UI Over-aktivitas dari detrusor akibat gangguan sensori (iritasi,
inflamasi atau infeksi) dan neurologi (gangguan fungsi sistem
saraf pusat)
Mixed UI Campuran Urge dan Stress UI
Overflow UI Rusaknya kontraktilitas detrusor serta bledder outlet obstruction
Functional UI Gangguan kognitif, fungsi atau mobilitas tanpa disertai
gangguan fungsi kandung kemih atau kontrol neurologi.

Faktor Resiko:
o Penurunan estrogen pada peri-menopause dan menopause akan dapat melemahkan
uretra
o Penurunan berat badan
o Alkohol dan penggunaan obat-obatan : diuretik (misalnya: Furosemide),
antikolinergik (misalnya: Antihistamin), analgesia narkotika (misalnya : Opioid), α-
blocker (misalnya: Prazosin), Calsium channels blockers (misalnya: Nifedipin),
prostaglandin (misalnya: Misoprostol)
o Usia : pada orang tua merupakan penyebab utama inkontinensia akut

EPIDEMIOLOGI
Inkontinensia urin perempuan sangat berbeda antara negara maju dan kurang maju.
Kehilangan uris secara involunter memiliki prevalensi sekitar 25% pada wanita muda (usia
14-21 tahun), 44% untuk 57% di paruh baya dan pascamenopause perempuan (usia 40 - 60
tahun), dan 75% pada wanita lanjut usia (umur ≥75 tahun). Namun, statistik ini mungkin
dianggap remeh karena fakta bahwa setidaknya setengah dari wanita mengompol tidak
melaporkan masalah ini ke dokter mereka seperti diungkapkan beberapa studi.

PATOFISIOLOGI
Anatomi saluran kemih terbentuk sedemikian rupa untuk mengatur dan menyelaraskan
pergerakan traktus urinarius untuk mempertahankan proses yang ada di dalamnya. Untuk
mengetahui masing-masing jenis inkontinensia urin, maka diperlukan pemahaman mengenai
anatomi dan fisiologi sistem perkemihan dan dasar panggul. Kandung kemih adalah otot
berongga yang terletak di dasar panggul. Otot detrusor merupakan otot utama dari kandung
kemih yang berasal dari otot polos, fungsinya adalah untuk menjaga kandung kemih dari
pergerakan yang tidak diperlukan. Selain itu, juga ada sfingter uretra yang terletak disekitar
uretra yang memiliki fungsi untuk mempertahankan kontrol kandung kemih. Otot-otot ini
dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:

a. Sfingter internal  sfingter ini kurang berkembang pada wanita dan merupakan otot
yang berkontraksi setiap saat kecuali saat berkemih (buang air kecil), otot tersebut
mengalami relaksasi.
b. Sfingter eksternal  berkontraksi sepanjang waktu, ketika kandung kemih penuh
untuk menghindari pengeluaran urin secara involunter.

Kedua jenis otot ini bekerja seperti kran air, hampir sepanjang waktu mengalami kontaksi
(menutup), dan relaksasi (terbuka) ketika sedang proses berkemih. Ketika terasa kandung
kemih mulai penuh dan perlu berkemih, pesan sensorik dikirimkan dari otak ke sfingter untuk
memberikan sinyal relaksasi, yang kemudian terjadilah proses perkemihan. Sementara itu,
otot detrusor yang merupakan otot terpenting dari kandung kemih tetap relaksasi untuk
membantu kandung kemih dalam penyimpanan urin sementara. Ketika sinyal dari otak
diberikan, otot detrusor kontraksi untuk melakukan pergerakan memeras agar memungkinkan
urin mengalir dari kandung kemih ke uretra.
Pada individu normal, aktivasi sistem saraf simpatis membantu dalam menutup leher
kandung kemih, kandung kemih terisi tanpa kebocoran ketika sistem saraf parasimpatis
dihambat. Ketika kandung kemih terisi dan tekanan meningkat, terjadi peningkatan tonus
yang menyebabkan otot detrusor berkontraksi dan kandung kemih melakukan pengosongan.
Neurotransmiter primer yang berperan pada kontraksi kandung kemih adalah asetilkolin,
yang bekerja pada reseptor muskarinik. Reseptor muskarinik 2 biasanya ditemukan pada
saluran kemih bagian bawah, namun umumnya terapi medikamentosa inkontinensia urin
memiliki target pada reseptor muskarinik 3, yang dikatakan memiliki peranan lebih besar
dalam proses pengosongan kandung kemih. Reseptor alfa adrenergic juga berperan dalam
mengontrol otot polos uretra.

Beberapa klasifikasi inkontinensia urin berdasarkan pada masalah yang terjadi pada saluran
kemih bagian bawah. Meskipun, terminology overactive bladder (OAB) dan urge
incontinence sering digunakan untuk hal yang sama, kedua terminology tersebut sebenarnya
menjelaskan 2 kondisi yang berbeda. Overactive bladder merupakan sindrom gejala yang
termasuk frekuensi, urgensi dan nokturia. Hal ini terjadi tanpa atau dengan inkontinensia
urin. Meskipun definisinya berbeda, kedua kondisi tersebut memiliki terapi yang sama.

Perubahan yang terjadi pada saluran kemih terkait usia berkontribusi pada peningkatan
prevalensi inkontinensia urin pada populasi lanjut usia. Perubahan ini diantaranya adalah
penurunan komplians kandung kemih, kapasitas kandung kemih, tekanan penutupan uretra
dan kemampuan untuk menahan proses berkemih, peningkatan kontraksi involunter otot
detrusor, residu pasca miksi (post void residual/PVR), frekuensi berkemih dan pelemahan
otot dasar panggul pada wanita dan pembesaran prostat pada pria. Selain terkait usia,
penyakit kronis lainnya juga dapat berkontribusi terhadap terjadinya inkontinensia urin.

KLASIFIKASI
Inkontinensia urin secara umum dibagi menjadi lima yaitu:
 Inkontinensia urin transien  Kebocoran urin yang secara spontan dapat reversibel
setelah faktor penyebabnya diatasi. Adapun faktor penyebab dari UI jenis ini sering
disebut DIAPPERS atau DISAPPEAR.
 Inkontinensia urin kronik:
 Inkontinensia urin stress (SUI) yaitu keadaan dimana terjadi ketidakmampuan
pengontrolan urin sehingga terjadi kebocoran urin secara involunter contohnya
saat bersin atau batuk urin dapat keluar secara tidak sengaja. Adapun faktor
risiko utama meliputi persalinan, konsumsi obat yang mengendurkan sfingter
uretra, obesitas dan penyakit paru-paru (batuk kronis)
 Inkontinensia urin urgensi (UUI) yaitu keadaan tidak bisa menahan keinginan
berkemih. Jenis inkontinensia ini sering terjadi pada wanita lanjut usia. Gejala
umum yang sering terjadi meliputi gejala frekuensi, urgensi, dan nokturia.
 Inkontinensia urin campuran (MUI) merupakan campuran dari gejala SUI dan
UUI.
 Inkontinensia fungsional yaitu dimana tidak ada penyebab organik yang
ditemukan, dengan yang menyiratkan bahwa fungsi saluran kemih normal.
Menurut ICS (International Continence Society) terdapat beberapa klasifikasi inkontinensia
urin yang disesuaikan dengan gejala yang baru yaitu:
 Nocturnal enuresis: Keluhan pada keinginan buang air kecil saat tidur
 Continuous urinary incontinence: Keluhan akibat terjadinya kebocoran urin,
umumnya sering dihubungkan dengan terjadinya fistula atau divertikulum uretra.
 Situational incontinence, namun kasus ini jarang dilaporkan terjadi, contoh: giggle
incontinence.
Terdapat pula klasifikasi lain untuk inkontinensia urin pada anak-anak. Tipe ini disebut
inkontinensia urin phantom (PUI). Pada kondisi ini, anak-anak yang memiliki gejala
gangguan saluran kemih bagian bawah dan konstipasi akan merasakan sensasi basah.
Kebanyakan anak dengan kondisi ini sebelumnya memiliki diagnosis utama menderita
Obsessive-Compulsive Disorder (OCD).
Berikut ini adalah tabel jenis inkontinensia urin
MANIFESTASI KLINIS
Untuk mendiagnosis dengan baik, pasien juga harus ditanya tentang efek
inkontinensia pada pekerjaan, aktivitas sehari-hari, tidur, interaksi sosial, hubungan
interpersonal, dan persepsi umum kesehatan dan kualitas hidup. Manifestasi klinis pada
pasien inkontinensia urin bisa di tandai dengan keluarnya urin selama aktivitas fisik atau
adanya tekanan intra abdomen yang dapat dirangsang oleh batuk, bersin, melompat,
mengangkat, dan latihan serta adanya aktivitas yang kecil seperti berjalan atau naik kursi.

Keluarnya urin dapat didahului dengan keinginan tiba-tiba dan rasa berat untuk buang
air. Kontraksi kandung kemih juga dapat dirangsang dengan mengubah posisi tubuh yaitu
dari terlentang menjadi tegak, atau bisa juga dengan stimulasi sensorial misalnya air yang
mengalir, mencuci tangan, cuaca dingin. Selain itu juga dapat juga karena bersin atau batuk.
Adapun gejala yang timbul akan berbeda pada tiap UI, yaitu:

Inkontinensia Urge: Manifestasinya dapat berupa perasaan ingin kencing yang mendadak
(urge), kencing berulang kali (frekuensi) dan kencing di malam hari (nokturia).

Inkontinensia stress: Inkontinensia urin ini terjadi akibat peningkatan tekanan di dalam
perut, melemahnya otot dasar panggul, operasi dan penurunan estrogen. Gejalanya antara lain
kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal lain yang meningkatkan
tekanan pada rongga perut.

Inkontinensia overflow: Umumnya akibat otot detrusor kandung kemih yang lemah.
Biasanya hal ini dijumpai pada gangguan saraf akibat penyakit diabetes, cedera pada sumsum
tulang belakang, atau saluran kencing yang tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak puas
setelah kencing (merasa urin masih tersisa di dalam kandung kemih), urin yang keluar sedikit
dan pancarannya lemah. Inkontinensia tipe overflow ini paling banyak terjadi pada pria dan
jarang terjadi pada wanita.

Inkontinensia campuran. Gejala dari inkontinensia campuran ini merupakan gabungan dari
gejala inkontinensia urin urge dan inkontinensia urin stress.

Inkontinensia Fungsional. Kehilangan urin tanpa disadari karena ketidakmampuan untuk


menahan urin akibat gangguan kognitif, psikologis dan gangguan fungsi fisik.
Berikut ini adalah tabel perbandingan jenis inkontinensia dengan manifestasi klinis masing-
masing.

DIAGNOSIS

I. Anamnesis
Membedakan Jenis Inkontienesia
Transient Urinary Incontinence (TUI)
Inkontinensia urin transien merupakan jenis inkontinensia yang bersifat reversibel.
Gejala umum dari penyakit ini adalah onsetnya yang mendadak dan terjadi kurang
dari 6 minggu saat dilakukan pemeriksaan.
Adapun kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan penyebab penyakit ini
disebut DIAPPERS menmonic yang dijelaskan pada tabel di bawah ini.
Atau bisa juga menggunakan DISAPPEAR mnemonic

Selain hal di atas, perlu juga ditanyakan mengenai riwayat pemakaian obat karena ada
beberapa obat yang dapat menginduksi terjadinya TUI. Inkontinensia transien jenis ini
dapat disembuhkan dengan menghentikan penggunaan obat tersebut.
Adapun obat-obatan yang dapat menginduksi terjadinya TUI terlihat pada tabel di
bawah ini.
Untuk obat tertentu seperti diuretik tidak memiliki efek farmakologi langsung pada
saluran kemih bagian bawah. Namun demikian, obat ini dapat juga dapat
menyebabkan terjadinya TUI dengan meningkatkan produksi urin atau merusak
fungsi sistem saraf yang berperan dalam regulasi berkemih. Adapun tatalaksana yang
dapat dilakukan pada TUI adalah dengan mengatasi faktor penyebabnya. Dengan
demikian keluhan-keluhan yang dialami pasien akan membaik seiring dengan
perbaikan etiologi.

Chronic Urinary Incontinence (CUI)


Untuk menentukan inkontinensia jenis ini dapat dilakukan dengan memberikan tiga
pertanyaan khusus pada pasien. Ketiga pertanyaan ini berisi bagaimana, kapan dan
bagaimana pengalaman kebocoran urin yang dikeluhkan pasien. Pertanyaan ini sudah
mengalami proses validasi dengan sensitivitas 0,86 dan 0,75 serta spesifikasi 0,60 dan
0,77. Berikut adalah tiga pertanyaan khusus untuk CUI.
Riwayat Masalah Kesehatan
Pada anamnesis perlu digali juga informasi tentang keluhan serta kondisi
pasien lainnya yang mungkin berkaitan dengan dengan inkontinensia urin. Sebagai
contoh riwayat pembedahan pada daerah abdomen, punggunh, ginekologi atau buli-
buli yang dapat mempengaruhi anatomi dan inervasi dari saluran kemih bawah,
dimana hal ini juga dapat menyebabkan inkontinensia urin. Riwayat ginekologi dapat
mencerminkan status estrogen, dimana pada vaginitis dan uretritis atrofi terjadi
defisiensi estrogen. Hal ini merupakan faktor penyebab yang potensial untuk
menyebabkan inkontinensia urin.
Selain itu, ko-morbiditas lainnya juga perlu untuk ditanyakan, contohnya
riwayat PPOK, dapat menjadi penyulit pada inkontinensia stres akibat batuk kronis
yang dialami, penyakit kardiovaskuler, peningkatan volume darah atau penggunaan
diuretik yang dapat meningkatkan produksi urin akan menjadi faktor penyebab
inkontinensia urin pada pasien dengan overaktivitas buli-buli, kondisi neurologis,
adanya disfungsi dari saraf pusat dapat menyebabkan gangguan kontraksi detrusor
atau denervasi dari detrusor dimana kedua hal ini dapat memicu terjadi inkontinensia
urin, dan kondisi muskuloskeletal, adanya kelemahan otot dapat menjadi faktor resiko
pada inkontinensia fungsional. Oleh karena itu perlu dilakukan tatalaksana terhadap
faktor ko-morbiditas tersebut. Walaupun tidak dapat menyembuhkan inkontinensia
urin secara langsung, namun dapat mengurangi keparahan yang mungkin dapat
ditimbulkan.

Kualitas Hidup
Derajat keparahan simptom serta pengaruhnya terhadap kualitas hidup pasien menjadi
faktor penentu saat pelaksanaan terapi. Sehingga perlu ditanyakan bagaimana efek
yang ditimbulkan oleh simptom penyakit ini terhadap kualitas tidur, pekerjaan,
aktivitas sehari-hari dan seksual, kehidupan sosial serta hubungan interpersonalnya
dengan orang lain. Dari hal-hal tersebut dapat diidentifikasi jenis simptom atau
keluhan yang sering mengganggu pasien atau bahkan dapat menurunkan kualitas
hidup pasien. Hal ini akan menentukan terapi mana yang harus diutamakan terkait
dengan simptom utama tersebut.

Voiding Diary
Umumnya pasien dengan inkontinensia urin akan menunjukkan riwayat gangguan
voiding atau pengeluaran urin. Oleh karena itu Voiding Diary dapat membantu
banyak hal terkait dengan simptom atau keluhan yang dialami pasien
dikesehariannya. Sebagai contoh, pada diary akan terdapat perintah untuk menuliskan
frekuensi dari inkontinensia atau frekuensi terbangun saat malam akibat inkontinensia
dan keluhan lainnya. Semua hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk menentukan jenis
dari inkontinensia yang diderita pasien karena tiap jenis dari inkontinensia memiliki
gejala khas yang berbeda. Selain itu, diary ini juga dapat digunakan sebagai alat untuk
menentukan jenis terapi yang akan diberika serta monitoring pasien terkait
keberhasilan dari terapi tersebut.
II. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan terkait penyakit inkontinensia cukup
kompleks karena etiologi dari penyakit ini juga kompleks, dimana bukan hanya
gangguan pada urogenital tetapi gangguan pada sistem lain yang dapat berdampak
pada sistem urogenital. Selain untuk menemukan etiologi, pemeriksaan fisik pada
sistem lain juga dilakukan untuk mencari ko-morbiditas dari penyakit ini. Dengan
demikian, terapi yang diberikan dapat mencangkup hingga ko-morbiditas.
Pemeriksaan fisik terkait sistem urogenital yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan fisik ginjal dan saluran kemih lain serta Rectal Touche. Pada
pemeriksaan ini mungkin akan didapatkan buli-buli yang teraba dengan jelas, adanya
pembesaran prostat, fisura pada rectal serta penurun tonus dari sfingter ani.
Sedangkan pemeriksaan pada sistem lain yang dapat dilakukan, yaitu:
 Kardiovaskuler  adanya penyakit arteriovaskuler, yang dapat
mempengaruhi aktivitas dari detrusor serta penyakit gagal jantung,
yang dapat menyebabkan peningkatan volume tubuh dan urin.
 Muskuloskeletal  menemukan adanya keterbatasan gerak, nyeri
serta artritis dapat mengindikasikan terjadinya gangguan voiding atau
over aktivitas dari detrusor.
 Neurologi  untuk menemukan kemungkinan gangguan sistem saraf
seperti delirium, demensia, stenosis spinal atau gangguan pembuluh
darah serebral akibat kecelakaan. Seluruh hal tersebut dapat
mempengaruhi aktivitas neurologi pada sistem urogenital khususnya
pada inervasi buli-buli.
 Paru  menemukan kemungkinan pasien juga menderita penyakit
PPOK yang dapat menjadi faktor penyulit atau penyebab pada
inkontinensia urin.

Adapun penjelasan terkait pemeriksaan fisik yang lebih lengkap terdapat pada
tabel di bawah.

III. Pemeriksaan penunjang


Tes stres batuk
Pemeriksaan ini merupakan dignosis utama untuk menemukan inkontinensia urin
stress. Adapun mekanisme dari pemeriksaan tes batuk adalah sebagai berikut:
Pasien, dengan keadaan buli-buli penuh, diminta untuk posisi litotomi.
Pasien harus merelaksasikan otot pelvis.
Lalu pasien diminta untuk batuk dengan kuat satu kali.
Lalu nilai apakah terjadi kebocoran urin atau tidak.
Jika dengan posisi ini tidak berhasil, ulangi pemeriksaan dengan posisi berdiri.
Pasien berdiri dengan kaki selebar bahu.
Letakan baju atau kertas tepat di bawah pasien.
Lalu minta pasien untuk batuk dengan kuat kembali.
Nilai apakah terjadi kebocoran urin dengan melihat baju atau kertas tadi.
Hasil positif didapatkan bila terjadi kebocoran urin. Sedangkan hasil negatif bila tidak
didapatkan kebocoran atau kebocoran urin yang terlambat dalam waktu 5 – 15 detik.
Kebocoran urin yang terlambat mengindikasikan adanya kontraksi dari detrusor yang
diinduksi batuk, tidak menunjukkan kelemahan dari sfingter. Hal ini umumnya terjadi
pada inkontinensia jenis urgensi. Hasil negatif palsu juga kadang didapatkan pada
beberapa keadaan seperti buli-buli yang kosong, batuk yang kurang kuat, kontraksi
dari otot pelvis atau prolaps yang berat sehingga menutupi kebocoran. Oleh karena
itu, sebelum melakukan tes ini perlu dilakukan pemeriksaan lagi terhadap keadaan-
keadaan tersebut.

Tes laboratorium

Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan kadar kreatinin yang


umumnya akan meningkat ketika terjadi retensi urin yang diakibatkan oleh Bladder
Outlet Obstruction (BOO) atau denervasi dari detrusor. Selain itu, pemeriksaan
urinalisis juga dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan adanya penyebab infeksi.
Pada urinalisis dapat ditemukan hematuria, proteinuria, glikosuria dan sebagainya
yang mengindikasikan tanda infeksi.

Postvoid Residual (PVR) Urine


Pemeriksaan ini umumnya dilakukan pada overflow incontinence. Jenis
inkontinensia ini jarang terjadi, namun pemeriksaan ini perlu dilakukan untuk
mengeksklusi jenis inkontinensia ini. Hal ini penting karena pada inkontinensia
overflow terjadi gagal buli-buli kronis saat proses voiding yang dapat memicu
terjadinya hidronefrosis dan rusaknya fungsi ginjal secara ireversibel sehingga
diagnosis dari inkontinensia ini harus segera dilakukan.
Mekanisme dari pemeriksaan ini adalah dengan mengukur volume urin yang
tersisa dalam buli-buli setelah proses voiding. Pengukuran ini dapat dilakukan dengan
menggunakan alat ultrasound atau dengan kateter in-and-out. Penggunaan kateter
dapat menurunkan resiko infeksi dan trauma uretra, dimana hal ini penting
diperhatikan pada pasien dengan pembesaran prostat, sehingga lebih sering
digunakan. Adapun hasil PVR yang didapatkan akan positif jika volume urin residu
lebih dari 200 mL, kecurigaan jika volume residu 100 – 200 mL dan negatif jika
kurang dari 50 mL.
Pemeriksaan lebih lanjut
Jika diagnosis inkontinensia tetap tidak didapatkan setelah melakukan seluruh
pemeriksaan, maka hal ini harus dikonsukan pada spesialis urologis. Adapun indikasi
untuk konsul pada urologi dijelaskan pada tabel di bawah.

Melihat kompleksnya alur diagnosis pasien dengan inkontiensia urin di atas, di bawah ini
akan dijelaskan mengenai algoritma diagnosis untuk mempermudah pemahaman.
TATALAKSANA

Strategi nonfarmakologis dan perilaku sangat penting dalam manajemen yang komprehensif
dari UI. Gaya hidup non-invasif dan intervensi perilaku adalah pengobatan lini pertama
pilihan pada populasi lanjut usia. Keuntungan dari intervensi perilaku antara lain murah,
tidak adanya efek samping, dan kemudahan pelaksanaan. Intervensi ini harus dirancang
secara individual; efektivitasnya sangat tergantung pada motivasi pasien, kapasitas
fungsional, dan fungsi kognitif.

Modifikasi gaya hidup

Modifikasi gaya hidup untuk UI meliputi berhenti merokok, pengurangan kafein dan
pengurangan alkohol, penurunan berat badan, dan asupan cairan yang dimodifikasi. Pasien
yang mengkonsumsi lebih dari 400 mg / hari kafein yang 2,4 kali lebih mungkin mengalami
ketidakstabilan detrusor. Pengurangan asupan kafein harus dilakukan secara bertahap untuk
menghindari gejala withdrawal. Penurunan berat badan menengah dilaporkan dapat
mengurangi kejadian tetapi tidak meningkatkan tingkat resolusi UI antara perempuan yang
kelebihan berat badan dengan diabetes mellitus tipe 2. Pendidikan pasien mengenai waktu
asupan cairan adalah penting; keseluruhan, pembatasan cairan tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan dehidrasi dan peningkatan risiko ISK. Berikut ini adalah terapi untuk setiap
jenis UI:
Terapi perilaku

Pelatihan kandung kemih (bladder training) adalah teknik menekan keinginan yang efektif
pada pasien dengan kesadaran utuh, kemampuan fungsional yang memadai untuk toilet, dan
motivasi untuk bekerja sama. Pasien secara bertahap meningkatkan interval ke toilet dengan
menolak atau menghambat sensasi urgensi. Pasien belajar untuk buang air kecil menurut
jadwal dijadwalkan, bukan dengan gejala keinginan. Gangguan dan teknik relaksasi
dipekerjakan untuk membantu menunda berkemih dan memungkinkan pengembangan
peningkatan kapasitas kandung kemih.

Rehabilitasi otot panggul (Pelvic floor muscle training), juga disebut sebagai latihan Kegel,
umumnya digunakan sebagai strategi pengobatan untuk SUI dan UUI. Kontraksi berulang-
ulang dan relaksasi otot-otot dasar panggul digunakan untuk meningkatkan penghambatan
refleks kontraksi detrusor involunter dan meningkatkan kemampuan untuk secara volunter
mengkontraksi sfingter eksternal. Berikut ini adalah tabel terapi untuk setiap jenis UI.

Perawatan Invasif

Bedah dianggap perawatan yang paling efektif ketika SUI disertai dengan prolaps rahim.
Injeksi periuretra agen bulking (misalnya, kolagen) juga meningkatkan penutupan uretra di
SUI dan mungkin bermanfaat dalam kasus-kasus ringan postprostatectomy SUI. Tingkat
kesembuhan jangka pendek tinggi dicapai; Namun, efektivitas hilang dari waktu ke waktu,
dan intervensi berulang sering diperlukan. Reinjeksi mungkin berhubungan dengan reaksi
inflamasi dan jaringan parut, yang membuat perawatan lebih lanjut sulit. Penggunaan agen
bulking mungkin tepat untuk pasien dengan refraktori SUI yang telah menunjukkan
inkompetensi sfingter berdasarkan studi urodinamik.

Meskipun bukan terapi lini pertama, sfingter urin artifisial adalah pengobatan yang paling
efektif untuk postprostatectomy keras SUI pada pria. Tingkat kepuasan subjektif mencapai
85% -95%; Namun, risiko infeksi tinggi (1,8% -10%).
Berikut ini merupakan tabel ringkasan terapi non farmakologi

Terapi Farmakologik

Antimuskarinik

Golongan obat UI yang paling sering diresepkan adalah reseptor muscarinic blocker.
Obat ini terutama digunakan untuk UUI. Oksibutinin adalah obat gold standard untuk
golongan ini. Formulasi immediate-release memiliki efek antikolinergik yang signifikan.
Golongan obat ini mengurangi detrusor overaktif dengan menghambat M2 / M3 reseptor
muskarinik di kandung kemih. Agen M2 / M3-selektif lebih disukai daripada agen selektif,
yang juga mengikat reseptor M1 di otak dan dapat menyebab disfungsi kognitif. Namun
diperkirakan bahwa formulasi long-acting, serta formulasi topikal dan transdermal, memiliki
efek samping yang lebih sedikit. Oksibutinin dengan formulasi extended-release dapat
mengurangi metabolisme lintas pertama, mengurangi metabolit aktif N-desethyloxybutynin.
Metabolit ini diduga menyebabkan banyak efek samping antikolinergik. Oksibutinin
transdermal patch dan gel juga melewati metabolisme lintas pertama. Oksibutinin
transdermal patch harus diterapkan setiap 3 atau 4 hari, sedangkan gel harus diterapkan setiap
hari.

Pasien yang menggunakan oksibutinin untuk mengobati gangguan kemih dengan mengambil
dosis yang lebih besar (15 mg / hari) dan dapat mengalami efek samping yang lebih berat
(mulut kering, sakit kepala dan retensi urin). Pasien dengan gangguan kemih diinstruksikan
untuk mulai mengambil 5 mg setiap 12 jam dan disajikan keparahan yang lebih besar dari
mulut kering tepat pada awal pengobatan. Ketidaknyamanan ini menyebabkan beberapa
pasien meninggalkan pengobatan. Melalui praktek empiris ditemukan bahwa dengan
memulai dengan dosis yang sangat rendah (2,5 mg/hari) dan meningkatkan dosis secara
progresif (sampai 10 mg / hari), kejadian munculnya efek samping lebih rendah.

Duloksetin

Duloxetine telah menunjukkan peningkatan dalam kualitas hidup pada pasien UI di beberapa
uji, dengan beberapa pasien merasakan manfaat dalam waktu 2 minggu inisiasi. Duloxetine
memperbaiki inkontinensia urin dengan menghambat re-uptake serotonin dan norepinefrin
pada neuron pra-sinapsis dalam inti Onuf di sumsum tulang belakang sakral. Kedua alpha-
reseptor serotonin dan 5-HT2 reseptor dalam inti Onuf ini memfasilitasi refleks penyimpanan
dengan mengkontraksikan uretra otot sfingter eksternal. Selanjutnya, hasil dari studi hewan
menunjukkan bahwa duloxetine bisa meningkatkan kapasitas maksimal vesikalis lima kali
lipat. Dosis yang khas adalah 40 mg dua kali sehari, dan efek samping yang paling umum
dilaporkan di sebagian besar uji coba adalah mual (4% -24%), mungkin terkait dengan
eskalasi dosis yang cepat.

α-Agonis

Penggunaan α-agonis untuk SUI bukanlah sebagai yang umum saat ini duloxetine yang
dianggap agen lini pertama. Beberapa pedoman bahkan tidak mencantumkan α-agonis
sebagai pilihan untuk pengobatan lagi. Kontraindikasi dengan penggunaan golongan ini
(yaitu, hipertensi, aritmia, penyakit arteri koroner, infark miokard, hipertiroidisme, gagal
ginjal, dan glaukoma sudut sempit) membuatnya sulit untuk digunakan. Efek samping
hipertensi, sakit kepala, kecemasan, dan insomnia membuat agen ini bahkan kurang diminati.

Estrogen

Penelitian menunjukkan adanya kenaikan UI dengan penggunaan estrogen oral. Estrogen oral
juga membawa risiko kejadian kardiovaskular yang merugikan, mungkin kesadaran
memburuk, dan peningkatan risiko kanker payudara. Sedangkan estrogen tropikal bisa
digunakan.

Botulinum Toxin

Pada tahun 2011, FDA menyetujui pelabelan Onabotulinum toksin A untuk digunakan pada
pasien dengan detrusor overaktif terkait dengan kondisi neurologis (misalnya, cedera tulang
belakang, multiple sclerosis) dan respon yang tidak memadai terhadap terapi antikolinergik.
Suntikan nya adalah intradetrusor oleh sistoskopi. Salah satu risiko utama menggunakan
Onabotulinum toksin A adalah retensi urin akut. Pasien harus bersedia untuk menjalani
kateterisasi sebagai bagian dari terapi ini. Antibiotik profilaksis harus diberikan 1-3 hari
sebelum injeksi, lagi pada hari injeksi, dan 1-3 hari setelah injeksi. Aminoglikosida tidak
dapat digunakan karena mengganggu transmisi neuromuskular. Toksin Onabotulinum A juga
disetujui untuk digunakan di OAB pada pasien yang tidak dapat menggunakan atau tidak
merespon secara memadai untuk obat antimuskarinik. Suntikan diberikan seperti yang
dijelaskan sebelumnya dengan sistoskopi.
Mirabegron

Mirabegron menstimulasi reseptor β3-yang menyebabkan kandung kemih relaksasi selama


mengisi. Pada dosis yang sangat tinggi (yaitu, 200 mg), ada beberapa stimulasi pada reseptor
β1-adrenergik, tapi secara keseluruhan, mirabegron memiliki aktivitas intrinsik rendah untuk
β1- atau β2-reseptor. Dosis harian adalah 25 mg; jika ada respon yang tidak memadai pada 8
minggu, dapat dititrasi hingga 50 mg. Pasien dengan CrCl 15-29 mL / menit / 1.73m2 atau
mempunyai penyakit hati moderat harus menerima dosis hanya 25 mg.
Berikut ini merupakan tabel ringkasan terapi farmakologi
Berikut ini merupakan tabel ringkasan terapi farmakologi
Berikut ini merupakan tabel ringkasan terapi farmakologi
Berikut ini adalah algoritma tatalaksana UI

KOMPLIKASI

Inkontinensia urin mempunyai komplikasi yang cukup serius seperti infeksi saluran
kemih, kelainan kulit, gangguan tidur, problem psikososial seperti depresi, mudah marah dan
terisolasi.

PROGNOSIS

Seperti halnya kondisi medis lainnya, keberhasilan tatalaksana IU pada perempuan


sangat bergantung pada diagnosis, tata laksana yang akurat, identifikasi penyebab sejak dini,
identifikasi indikasi rujuk ke pelayanan kesehatan spesialistik. Dengan demikian mortiditas
pasien dapat lebih ditekan dan kualitas hidup pasien dapat lebih ditingkatkan.
Daftar pustaka

Al Taweel, Waleed., dan Raouf Seyam. 2015. Neurogenic bladder in spinal cord injury
patients. Diambil dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4467746/pdf/rru-
7-085.pdf

Cook, B.K. et al., 2013. Urinary Incontinence in the Older Adult. , pp.3–20. Available at:
https://www.accp.com/docs/bookstore/psap/p13b2_m1ch.pdf

Hersh, L. and Salzman, B., 2013. Clinical Management of Urinary Incontinence in Women,
87(9), pp.634-641. Available at: http://www.aafp.org/afp/2013/0501/p634.pdf

Khandelwal, C. and Kistler, C., 2013. Diagnosis of Urinary Incontinence, 87(8).pp.543-550.


Available at: http://www.aafp.org/afp/2013/0415/p543.pdf

Kow, J.K., Carr, M. & Gnc, C., 2013. Diagnosis and management of urinary incontinence in
residential care. BC MEDICAL JOURNAL, 55(March), pp.96–100. Available at:
http://www.bcmj.org/sites/default/files/BCMJ_55_Vol2_incontinence.pdf

Ngarambe, C. & Peng, D., 2015. Female urinary incontinence: a systematic overview and
non-surgical treatment. International Journal of Reproduction, Contraception,
Obstetrics and Gynecology, 4(3), pp.527–539. Available at:
http://www.ijrcog.org/?mno=182631

Qaseem, A. et al., 2014. Nonsurgical Management of Urinary Incontinence in Women: A


Clinical Practice Guideline From the American College of Physicians, 161, pp.429-440.
Available at: http://annals.org/data/Journals/AIM/930874/0000605-201409160-
00010.pdf

Wang, Sheng-Min., et al. 2015. Overactive Bladder Successfully Treated with Duloxetine in a
Female Adolescent. Diambil dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4540032/pdf/cpn-13-212.pdf

Wolosker, Nelson., et al. 2011. The Use of Oxybutynin for Treating Axillary Hyperhidrosis.
Diambil dari: http://www.sweathelp.org/pdf/Munia%20study.pdf

Anda mungkin juga menyukai