Anda di halaman 1dari 16

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Identifikasi

Identifikasi merupakan proses pengenalan jati diri yang pertama kali


diperkenalkan oleh Alfonsus Bertillon (1853-1914), seorang dokter
berkebangsaan Perancis. Teknik identifikasi ini semakin berkembang setelah
kepolisian Perancis berhasil menemukan banyak pelaku tindakan kriminal. Saat
ini proses identifikasi telah dimanfaatkan untuk kepentingan asuransi, penentuan
keturunan, ahli waris, penyebab kecelakaan dan kematian seseorang, menemukan
orang hilang, serta menentukan apakah seseorang dapat dinyatakan bebas dari
hukuman. Proses ini juga sangat diperlukan dalam identifikasi korban bencana
massal (Disaster Victim Identification/DVI), baik yang disebabkan oleh alam
(gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir) maupun ulah manusia (kecelakaan
darat, udara, laut, kebakaran hutan serta terorisme) (Singh, 2008).
Identifikasi forensik memberi pengaruh besar terhadap proses berjalannya
sistem pengadilan. Istilah forensik (for the courts) sendiri berarti “untuk
pengadilan” menunjukkan bahwa tujuan utama forensik adalah memberikan
bukti-bukti aktual dan temuan yang diperlukan dalam penegakan hukum di
pengadilan. Kedokteran forensik bersama kepolisian saat ini menggunakan sistem
identifikasi dalam merekonstruksi kejahatan, salah satunya pada kasus penemuan
mayat (Murnaghan, 2012).
Pada kasus penemuan mayat, identifikasi forensik pada sisa-sisa tubuh
manusia sangatlah penting baik untuk alasan hukum maupun kemanusiaan. Proses
identifikasi dilakukan untuk mengetahui apakah sisa-sisa tubuh berasal dari
manusia atau bukan, jati diri mayat, penyebab kematian, dan perkiraan waktu
kematian berdasarkan data sebelum seseorang meninggal/hilang (antemortem
data/AMD) untuk dibandingkan dengan temuan pada mayat (postmortem
data/PMD) (ICRC, 2013). Identifikasi akan menjadi lebih sulit jika mayat sudah
tidak dapat dikenali lagi, misalnya pada korban bencana alam, kecelakaan yang
menewaskan banyak orang serta pada kasus mutilasi, dimana potongan-potongan

Universitas Sumatera Utara


6

yang ditemukan mungkin tidak lengkap. Pada kasus seperti ini, dokter diharapkan
dapat memberikan penjelasan kepada penyidik dalam hal perkiraan saat kematian,
usia, jenis kelamin, tinggi badan, dan ras, serta asal sisa-sisa potongan tubuh
(RSBO, 2013).

2.1.1 Metodologi Identifikasi

Dalam proses identifikasi dikenal dua jenis metodologi identifikasi, yaitu


metodologi komparatif dan metodologi rekonstruktif.
Metodologi komparatif digunakan apabila terdapat AMD dan PMD untuk
disesuaikan. AMD biasanya didapat dari sanak keluarga dan teman-teman dekat.
Yang merupakan AMD adalah informasi pribadi secara umum/informasi sosial
(nama, usia, alamat tempat tinggal, tempat bekerja, status pernikahan dan
sebagainya), gambaran fisik (tinggi dan berat badan, warna mata dan rambut),
riwayat kesehatan dan gigi (penyakit, fraktur, gigi yang hilang, dan mahkota gigi),
ciri khas (kebiasaan, skar, tanda lahir dan tato), pakaian dan benda-benda lain
yang terakhir kali dipakai, serta hal-hal yang diduga berhubungan dengan
hilangnya seseorang. Metodologi ini biasa dipakai pada mayat yang masih utuh
pada komunitas yang terbatas.
Metodologi rekonstruktif digunakan apabila tidak tersedia AMD dengan
menyusun kembali sisa-sisa potongan tubuh manusia yang tidak utuh lagi pada
komunitas yang tidak terbatas seperti misalnya pada kasus mutilasi ataupun
bencana massal. Yang merupakan PMD adalah informasi umum tentang sisa
tubuh (rentang usia, jenis kelamin, tinggi), fakta-fakta medis dan dental (tanda
fraktur lama, bekas operasi, kondisi gigi, misalnya tambalan gigi), trauma dan
kerusakan post-mortem, informasi mengenai sidik jari, DNA, pakaian dan benda-
benda lain yang ditemukan bersama/dekat sisa tubuh, informasi tambahan, seperti:
dimana dan bagaimana sisa tubuh ditemukan berdasarkan pengakuan para saksi
(ICRC, 2013).

Universitas Sumatera Utara


7

Pada kasus bencana massal, Interpol menentukan identifikasi (DVI) yang


dipakai, yaitu (Singh, 2008):
• Identifikasi primer (primary identifier), yaitu gigi geligi (dental
record/DR), sidik jari (finger print/FP), dan DNA.
• Identifikasi sekunder (secondary identifier), yaitu visual
(photography/PG), properti (property/P), medis (medical/M).

Dalam mengidentifikasi sisa-sisa tubuh manusia, ada tiga tahapan yang


perlu dilaksanakan, yaitu penelitian latar belakang, penemuan sisa-sisa tubuh,
serta analisis laboratorium dan rekonsilasi. Dalam mencari latar belakang,
diperlukan AMD yang bisa didapat dari wawancara anggota keluarga, para saksi,
dokter, dokter gigi, ataupun dari laporan/data tertulis seperti rekam medis, surat
keterangan kepolisian, sidik jari, dan fotograf (ICRC, 2013).
Identifikasi dimulai dari metode yang sangat sederhana sampai yang rumit.
Metode yang sederhana misalnya dengan cara visual (mengamati profil luar tubuh
dan wajah), kepemilikan identitas yang masih melekat pada tubuh mayat
(misalnya: pakaian, perhiasan, tato, dll) serta dokumentasi seperti foto diri, foto
keluarga, SIM, dll. Metode sederhana kemudian dilanjutkan dengan metode
ilmiah, yaitu pemeriksaan sidik jari, serologi, odontologi, antropologi, dan biologi
yang hasilnya lebih spesifik pada seseorang. Metodologi selanjutnya adalah teknik
superimposisi, yaitu pemeriksaan identitas seseorang dengan membandingkan
korban semasa hidupnya dengan tengkorak yang ditemukan. Metodologi ini
menjadi sulit jika foto korban tidak ada atau jelek kualitasnya, serta apabila
tengkorak sudah hancur/tidak berbentuk lagi (Singh, 2008).

2.1.2 Sumber Identifikasi

Dalam mengidentifikasi suatu mayat, ada beberapa sumber dan data yang
dapat dipergunakan, yaitu (Idries, 2011; ICRC, 2013):
• Visual /penampilan wajah dan tubuh mayat yang ditunjukkan kepada
pihak keluarga dapat membantu apabila keadaan mayat tidak rusak berat
atau belum mengalami pembusukan.

Universitas Sumatera Utara


8

• Dokumen seperti KTP, SIM, paspor, dan kartu identitas lainnya juga dapat
membantu proses identifikasi. Akan tetapi, dalam kasus pembunuhan
biasanya pelaku memusnahkan kartu identitas.
• Sidik jari setiap orang memiliki pola/kontur yang berbeda, sehingga dapat
menggambarkan diri seseorang. Akan tetapi metode ini dapat digunakan
jika belum terjadi pembusukan pada mayat.
• Gigi setiap orang memiliki bentuk yang khas, sehingga dapat dipakai
dalam proses identifikasi meskipun mayat sudah mengalami pembusukan.
• X-Ray yang paling baik untuk dibandingkan dengan AMD adalah foto
kepala dan pelvis.
• DNA yang didapat dari darah, rambut, cairan semen, gigi, dan jaringan
lainnya sangat berbeda pada setiap orang, sehingga dapat dibandingkan
dengan AMD atau dibandingkan dengan DNA keluarga.
• Sisa tulang yang diperiksa dapat menentukan usia, tinggi badan, jenis
kelamin bahkan ras seseorang dengan banyak formula yang telah
ditentukan.
• Pakaian, perhiasaan, tato dan bentuk fisik seseorang juga dapat membantu
proses identifikasi apabila mayat tidak dalam keadaan busuk dan hancur.

2.1.3. Perkiraan Usia

Usia saat seseorang meninggal dunia dapat diperkirakan dengan


memeriksa temuan klinis, gigi geligi, dan radiologis. Erupsi atau pertumbuhan
gigi terjadi sampai usia 20 tahun. Perkiraan usia dengan pertumbuhan gigi
mendekati ketepatan sampai dengan 6 bulan. Penyatuan ujung-ujung tulang yang
dinilai secara radiologis misalnya penyatuan ujung tulang paha, siku, dan mata
kaki dapat dilihat pada usia 20 tahun; sedangkan penyatuan lutut, pergelangan
tangan dan bahu akan terjadi sempurna pada usia 23-24 tahun. Penutupan tulang-
tulang yang membentuk tengkorak menghasilkan perkiraan 10 tahunan. Usia
korban akan menjadi lebih akurat apabila ketiganya dikombinasikan (Idries,
2011).

Universitas Sumatera Utara


9

Tabel 2.1 Perkiraan usia berdasarkan erupsi gigi (Idries, 2011).


Rahang Gigi 1 Gigi 2 Gigi 3 Gigi 4 Gigi 5 Gigi 6 Gigi 7
Atas 7,47 8,67 11,69 10,40 11,18 6,40 12,68
Laki-laki
Bawah 12,12 6,21 11,47 10,82 10,79 7,70 6,54
Atas 7,20 8,20 10,98 10,03 10,88 6,22 12,27
Perempuan
Bawah 11,66 5,94 10,89 10,18 9,86 7,34 6,26
Keterangan : usia dalam tahun
Data-data lain yang dapat membantu menentukan usia adalah ukuran dan
maturitas tulang, penutupan epifise, akar molar ketiga, vertebra, segmen tulang
sacrum, simfisis pubis, sutura kranialis, perubahan pada ujung tulang rusuk serta
batas peri-auricular.

2.1.4. Perkiraan Tinggi Badan

Perkiraan tinggi badan dapat dilakukan dengan mengukur tulang panjang


yang telah kering, seperti femur, tibia, humerus, radius, ulna, calcaneus dan talus.
Tulang-tulang ini lalu diukur dengan formula-formula yang telah dirumuskan,
seperti Formula Stevenson atau Formula Trotter dan Glesser untuk manusia ras
Mongoloid untuk selanjutnya disesuaikan dengan AMD (Idries, 2011).
• Formula Stevenson
TB = 61,7207 + 2,4378 x F ± 2,1756
TB = 81,5115 + 2,8131 x H ± 2,8903
TB = 59,2256 + 3,0263 x T ± 1,8916
TB = 80,0276 + 3,7384 x R ± 2,6791

• Formula Trotter dan Glesser


TB = 70,73 + 1,22 (F+T) ± 3,24
Keterangan :
TB = tinggi badan (cm)
F = Femur (tulang paha)
H = Humerus (tulang lengan atas)
T = Tibia (tulang kering)

Universitas Sumatera Utara


10

R = Radius (tulang hasta)


Semakin banyak tulang yang diukur, semakin besar ketepatan tinggi badan
yang didapat.

2.1.5. Penentuan Ras

Penentuan ras akan sangat berguna apabila susunan dalam masyarakat


sudah heterogen, artinya baik ras Mongoloid (Cina, Jepang, Indian Amerika),
Negroid (orang kulit hitam, Afrika dan Indian Amerika), dan Caucasoid (orang
berkulit putih) sudah ada di dalam daerah tersebut ataupun dalam bencana massal,
kecelakaan udara dan laut yang penumpangnya mungkin berasal dari banyak
negara (DVI).
Perbedaan dari ketiga ras tersebut dapat kita lihat melalui tengkorak, dahi,
wajah, orbit, hidung serta ekstremitas. Ras Mongoloid ditandai dengan tengkorak
persegi, dahi menonjol, wajah besar dan datar, orbit kecil, dan ekstremitas kecil.
Ras Negroid ditandai dengan tengkorak sempit dan memanjang, dahi kecil, orbit
persegi, dan ekstremitas besar dan lebar. Ras Caucasoid ditandai dengan
tengkorak bulat, dahi cembung menonjol, wajah kecil, dan orbit triangular.

2.1.6. Penentuan Jenis Kelamin

Jenis kelamin mayat dapat dengan mudah ditentukan hanya dengan


melihat penampilan fisik saja jika bagian tubuh mayat masih utuh dan belum
mengalami pembusukan. Apabila yang tersisa hanya tinggal tulang, kita dapat
memperkirakan jenis kelaminnya dengan melihat bentuk tulang-tulang yang
tersisa. Menurut SFU (Museum of Archaeology and Ethnology, 2010), tulang-
tulang yang dapat diidentifikasi adalah tulang panggul, tulang paha (femur), dan
kepala (tengkorak).
Tulang pada laki-laki biasanya lebih keras dan lebih lebar. Tulang panggul
perempuan berbentuk oval dan cenderung lebih lebar dengan sudut subpubik yang
lebar (>900) dari panggul laki-laki. Tulang paha laki-laki juga lebih panjang dan
diameter caput humerusnya lebih lebar (>51mm), sedangkan perempuan < 45

Universitas Sumatera Utara


11

mm. Tengkorak laki-laki ditandai dengan penonjolan arcus superciliaris yang


lebih jelas dan prosesus mastoideus yang lebih besar bila dibandingkan dengan
perempuan (Idries, 2011). Daerah supraorbital (kening) lebih jelas pada laki-laki
dan batasnya lebih tajam pada wanita, langit-langit dan gigi lebih lebar, dagu yang
lebih jelas dan rahang yang lebih lebar.

Gambar 2.1 Perbedaan tulang panggul antara perempuan dan laki-laki.

Gambar 2.2 Perbedaan tulang tengkorak antara laki-laki dan perempuan.

Universitas Sumatera Utara


12

Laki-laki Perempuan

Gambar 2.3 Perbedaan humerus antara laki-laki dan perempuan.

2.2. Antropometri

Antropometri berasal dari kata anthropos yang berarti orang/manusia dan


metron yang berarti ukuran. Secara umum, antropometri adalah mengukur
manusia atau pengukuran terhadap tubuh manusia. Ilmu yang mempelajari tentang
manusia disebut antropologi.
Saat ini antropologi sangat berkembang dalam banyak bidang seperti
pediatrik, ortopedik, kedokteran gigi, kedokteran olahraga, serta kedokteran
forensik. Antropologi forensik berfokus pada morfologi, struktur, dan variabilitas
jaringan keras untuk membantu proses identifikasi. Proses identifikasi yang
dimaksud adalah pengukuran berat dan tinggi badan, panjang dan lebar kepala,
panjang lengan maupun tungkai, panjang telapak kaki, jarak antara kedua ujung
jari tengah dari tangan yang direntangkan serta panjang bahu dengan tujuan
menentukan jati diri seseorang atau mayat. Data hasil antropometri inilah yang
diolah oleh kedokteran forensik untuk membantu penyidik dalam menentukan
saat kematian, usia, jenis kelamin, tinggi badan, dan ras, serta asal sisa-sisa
potongan tubuh yang ditemukan (AAAS, 2014).
Bagi antropologis forensik, analisis terhadap tulang manusia telah
membuka jalan kebenaran dalam pengadilan. Berdasarkan hasil temuan di TKP
dan di laboratorium, dapat diketahui identitas korban, penyebab kematian, bahkan
rekonstruksi tindakan kriminal pun dapat dilaksanakan (RSBO, 2013).

Universitas Sumatera Utara


13

2.3. Anatomi Tangan

Ada 27 buah tulang yang membentuk tangan dan pergelangan tangan.


Tulang-tulang ini dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu 8 buah karpal yang
membentuk pergelangan tangan, 5 buah metakarpal yang membentuk tangan, dan
14 buah falang yang membentuk jari-jari tangan.

Gambar 2.4 Tulang-tulang penyusun tangan.


Tulang-tulang yang membentuk pergelangan tangan tersusun dalam 2
baris dengan gerakan yang sangat terbatas di antaranya. Dari radius menuju ulna,
baris proximal terdiri dari skapoid, lunatum, trikuetrum, dan fisiformis. Dengan
arah yang sama, di bagian distal terdiri dari trapezium, trapezoid, kapitatum, dan
hamatum. Skapoid sebagai penghubung antara tiap baris sangat rentan terhadap
fraktur. Baris distal tulang karpal membentuk unit yang terikat pada basis
metacarpal 2 dan 3 (Wilhelmi, 2012; ASSH, 2009).
Tangan terdiri dari 5 buah metakarpal yang ditandai dengan adanya basis,
corpus dan caput. Metakarpal jari ke-1 (ibu jari) merupakan metakarpal yang
terpendek dan paling bebas bergerak. Tiap metakarpal berartikulasi bagian
distalnya pada bagian proximal falang tiap jari. Tiap jari terdiri dari 3 falang
(proximal, media, dan distal), kecuali ibu jari yang terdiri dari 2 falang (Wilhelmi,
2012).
Falang mengalami osifikasi dari pusat corpus pada masa prenatal. Distal
falang mengalami osifikasi pada minggu ke-8 atau ke-9, falang proximal pada

Universitas Sumatera Utara


14

minggu ke-10, dan falang media pada minggu ke-11 atau lebih. Pusat epifise
muncul pada falang proximal di awal tahun ke-2 (perempuan), dan lebih lama di
tahun yang sama (laki-laki), falang media dan distal pada tahun ke-2
(perempuan), atau tahun ke-3 atau ke-4 (laki-laki) (Standring, 2008).

2.4. Rasio D2:D4

Rasio D2:D4 adalah perbedaan antara panjang jari (digiti=D) ke-2 (jari
telunjuk) dengan jari ke-4 (jari manis). Panjang jari pada manusia telah diteliti
lebih dari 120 tahun silam. Pada manusia, perbedaan panjang jari ke-2 dibanding
panjang jari ke-4 (D2:D4) lebih rendah nilainya pada laki-laki dibandingkan
perempuan (Paul et al., 2006; Gillam et al., 2008; Kraemer et al., 2009; Galis et
al., 2010; Muler et al., 2011;Zheng and Cohn, 2011; Hiraishi et al., 2011; Zhao et
al., 2013 ). Perbedaan ini terlihat baik pada anak-anak maupun dewasa. Perbedaan
ciri ini merupakan salah satu perbedaan bentuk seksual (sexual dimorphic) yang
dipengaruhi oleh konsentrasi hormon androgen yang diproduksi oleh fetus dan
sensitivitas reseptor androgen pada masa embrio.
Rendahnya nilai D2:D4 mencerminkan tingginya paparan hormon
testosteron selama masa embrio, sedangkan tinginya nilai D2:D4 mencerminkan
rendahnya paparan hormon testosteron selama masa embrio. Modulasi kadar
hormon pada masa prenatal mempengaruhi rasio digit sedangkan postnatal tidak
(Zheng dan Cohn, 2011; Hiraishi et al., 2012) dan menetap pada masa dewasa
(Peeters et al., 2013) . Hal ini menunjukkan bahwa rasio digit sepertinya hanya
dipengaruhi pada masa janin dan tidak berubah setelah lahir. Galis et al. (2010)
menyatakan bahwa rasio D2:D4 stabil setelah usia 2 tahun. Penelitian Trivers,
Manning, dan Jacobson (2006) dalam Galis et al. (2010) pada anak Jamaica
didapat rasio D2:D4 anak usia 7-14 tahun meningkat signifikan setelah
pengukuran pada 4 tahun kemudian. Gillam et al. (2008) menunjukkan bahwa
rasio D2:D4 berubah sejalan dengan usia tetapi nilainya tetap lebih rendah pada
laki-laki daripada perempuan.

Universitas Sumatera Utara


15

Menurut Muller et al. (2011), rasio D2:D4 ini tidak dipengaruhi oleh kadar
hormon ibu, karena tidak terdapat korelasi antara kadar hormon androgen ibu
dengan kadar hormon androgen pada cairan amnion. Muller juga menyatakan
bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara kadar hormon androgen dengan
rasio D2:D4 pada orang dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa sepertinya rasio
D2:D4 tidak dipengaruhi oleh usia.
Banyak penelitian menunjukkan hubungan rasio digit dengan perbedaan
kadar androgen dan estrogen selama pertumbuhan. Muller et al. (2011); Zheng
dan Cohn (2011) menyatakan bahwa perkembangan genital dan digit dikontrol
oleh gen HoxA dan HoxD yang dipengaruhi oleh hormon androgen. Zheng dan
Cohn (2011) memperkirakan bahwa reseptor androgen (AR) aktif di banyak sel
pada masa kondensasi kartilago. Percobaan Zheng dan Cohn pada tikus mutan
yang AR-nya dihilangkan, terdapat peningkatan rasio D2:D4 dibanding dengan
kontrol sedangkan penghapusan pada reseptor estrogen (ER) menurunkan rasio
D2:D4. Hal ini menunjukkan bahwa AR dan ER memiliki efek yang berlawanan
pada rasio digit, dengan AR penting dalam perkembangan sifat maskulin/laki-laki
(rasio D2:D4 rendah) dan ER penting dalam perkembangan sifat
feminin/perempuan (rasio D2:D4 tinggi). Aktivitas AR dan ER paling tinggi
tampak pada D4 dan tidak ada respon signifikan pada D2. Tingginya efek hormon
pada perbedaan pertumbuhan D4 dan tidak adanya efek hormon pada D2
kemudian menjadikan rasio D2:D4 sebagai tanda perbedaan seksual.
Rasio D2:D4 dapat diukur dengan berbagai cara, yaitu:
1. Pengukuran langsung pada D2 dan D4 dimulai dari tengah lipatan
proksimal terhadap palmar sampai ujung digit dengan Vernier caliper
(jangka sorong).
2. Pengukuran tidak langsung melalui fotokopi palmar, kemudian D2 dan
D4 diukur dari tengah lipatan proksimal terhadap palmar sampai ujung
digit dengan Vernier caliper (jangka sorong) atau dengan komputer
(Adobe Photoshop).
3. Pengukuran tulang falang D2 dan D4 yang didapat dari radiograf
dengan Vernier caliper (jangka sorong).

Universitas Sumatera Utara


16

4. Pengukuran hasil skaning foto palmar yang diletakkan pada


permukaan rata kemudian diukur dengan komputer (Adobe
Photoshop).

Gambar 2.5 Alat ukur panjang digiti (Vernier caliper/jangka sorong).

Gambar 2.6 Pengukuran D2:D4 melalui fotomikrograf (Almasry et al.,


2011).

Gambar 2.7 Pengukuran D2:D4 melalui radiograf (Xi et al., 2014).

Universitas Sumatera Utara


17

Baik pengukuran langsung maupun tidak langsung menunjukkan


perbedaan rasio D2:D4 antara laki-laki dan perempuan, walaupun nilai rasio
tersebut memiliki sedikit perbedaan. Robertson et al. (2008) menyatakan bahwa
pengukuran D2:D4 menunjukkan hasil yang lebih baik pada pengukuran
metakarpal, Allaway et al. (2009) menyatakan bahwa pengukuran berbasis
komputer lebih dapat dipercaya dibanding pengukuran fisik, fotokopi dan skan,
sedangkan menurut Xi et al. (2014), pengukuran terbaik didapat dengan
mengukur falang secara langsung melalui radiograf.

2.5. Rasio D2:D4 dan Jenis Kelamin

Sejak tahun 1800-an, penelitian tentang perbedaan bentuk seksual (sexual


dimorphic) telah sangat berkembang hingga saat ini. Perbedaan bentuk seksual ini
ternyata juga terlihat pada jari manusia. Perkembangan falang dan organ
reproduksi manusia ternyata diatur oleh gen yang sama, yaitu HoxA dan HoxD
(Muller et al., 2011; Zheng dan Cohn, 2011). Digit yang paling dipengaruhi oleh
hormon androgen adalah D4, sedangkan D2 sepertinya tidak dipengaruhi oleh
kadar hormon ini.
Pada manusia, rasio D2:D4 lebih rendah nilainya pada laki-laki (<1)
dibandingkan pada perempuan (≥1). Menurut Zheng dan Cohn (2011), Hiraishi et
al. (2012), dan Peeters et al. (2013) nilai ini konstan setelah mencapai usia 2
tahun. Namun berbeda dengan hasil penelitian Manning et al. (2006), Gillam et
al. (2008), dan Galis et al. (2010) yang mendapatkan perbedaan nilai rasio D2:D4
sejalan dengan peningkatan usia. Namun perbedaan ini konstan antara laki-laki
dan perempuan, yaitu rasio D2:D4 laki-laki tetap lebih rendah nilainya
dibandingkan perempuan.

Universitas Sumatera Utara


18

Gambar 2.8 Perbedaan bentuk jenis kelamin terlihat pada pengukuran


D2:D4 (Zheng dan Cohn (2011).

Tabel 2.2 Rasio D2:D4 antara laki-laki dan perempuan pada usia bervariasi pada
beberapa penelitian yang berbeda (Galis et al., 2010).

Menurut Muller et al. (2011), Knickmeyer et al. (2011), dan Hiraishi et al.
(2012) nilai rasio D2:D4 ini bervariasi sesuai dengan etnis/suku/ras. Perbedaan
rasio D2:D4 lebih jelas terlihat pada digit kanan dibandingkan digit kiri (Manning
et al., 2012 dan Zhao et al., 2013) sehingga lebih sensitif dalam membandingkan
nilai rasio D2:D4 antara laki-laki dan perempuan, sedangkan Hiraishi et al. (2012)
mendapatkan perbedaan yang lebih signifikan pada digit kiri. Robertson et al.
(2008) dan Galis et al. (2010) mendapatkan tidak ada perbedaan yang signifikan
antara digit kanan dan kiri. Rasio D2: D4 tidak dipengaruhi oleh pemakaian

Universitas Sumatera Utara


19

tangan yang dominan, sehingga nilainya sama antara tangan dominan dan
nondominan.
Penelitian Peeters et al. (2013) menunjukkan tidak ada hubungan antara
rasio D2:D4 dengan aktivitas fisik, penggunaan tangan dominan, kekuatan otot,
tinggi dan berat badan serta usia skeletal. Hal ini menunjukkan bahwa sepertinya
rasio D2:D4 hanya dipengaruhi oleh kadar hormon androgen dalam kandungan,
dimana kadar hormon androgen dipengaruhi oleh jenis kelamin, sehingga jenis
kelamin mempengaruhi nilai rasio D2:D4 pada manusia.
Jenis-jenis tangan manusia dapat dibagi menjadi 3 bentuk berdasarkan
penampakannya pada radiograf, yaitu tipe 1 (D2>D4), tipe 2 (D2=D4), dan tipe 3
(D2<D4). Perempuan kebanyakan memiliki tangan dengan tipe 1 dan 2,
sedangkan laki-laki kebanyakan memiliki tangan dengan tipe 3.

Gambar 2.9 Klasifikasi jenis tangan berdasarkan radiograf (Robertson et


al., 2008).

Berikut ini adalah nilai-nilai rasio D2:D4 antara laki-laki dan perempuan
berdasarkan hasil penelitian sebelumnya pada negara yang berbeda.

Universitas Sumatera Utara


20

Tabel 2.3 Rasio D2:D4 antara laki-laki dan perempuan di berbagai negara.
Negara Usia Tangan Laki-laki Perempuan
Inggris 66.6±7.9 tahun Kanan 0.906 0.921
Kiri 0.909 0.922
Belgia 15,7 ±1.3 tahun Kiri 0.925
Jerman 37,3 tahun (laki-laki); Kanan 0.954 0.974
35 tahun (perempuan) Kiri 0.954 0.970
Amsterdam, 14-22 minggu Kanan 0.916 0.923
Belanda Kiri 0.916 0.927
Italia 54 tahun (laki-laki); Kanan 0.938 0.954
60 tahun (perempuan) Kiri 0.949 0.963
Yunani 54 tahun (laki-laki); Kanan 0.941 0.945
60 tahun (perempuan) Kiri 0.955 0.962
Australia/Selan 54 tahun (laki-laki); Kanan 0.948 0.954
dia Baru 60 tahun (perempuan) Kiri 0.955 0.961
Jepang 14-30 tahun Kanan 0.95 0.96
Kiri 0.94 0.96
Yunnan, China 37,8 tahun (laki-laki); Kanan 0.9318 0.9523
40,28 tahun Kiri 0.9420 0.9553
(perempuan)
Almadinah, Kanan (langsung; 0.98±0.04; 0.98 ± 0.04 ;
Saudi Arabia tidak langsung) 0.96±0.03 0.976 ± 0.037
Kiri (langsung; tidak 0.97 ± 0.04 ; 0.99 ± 0.04 ;
langsung) 0.96 ± 0.04 0.97 ± 0.04

Texas, Amerika Kanan 0.96 0.97


Serikat

Dari nilai yang tertera di tabel, terlihat bahwa terdapat perbedaan nilai
rasio D2:D4 antara laki-laki dan perempuan, dengan laki-laki memiliki nilai rasio
D2:D4 yang lebih rendah dari pada perempuan. Terlihat juga bahwa terdapat
sedikit perbedaan antara digit kanan dan kiri, serta terdapat perbedaan nilai rasio
D2:D4 pada berbagai daerah yang berbeda. Hasil ini kemungkinan terjadi oleh
karena perbedaan suku/ras/etnis yang mempengaruhi kadar androgen pada masa
embrio manusia.

BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai