Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

CKD ( CHRONIC KIDNEY DISEASE )


DENGAN BATU GINJAL
DI RSUD KRATON PEKALONGAN

Disusun oleh :
LUTFIANA NOOR
(17.0445.N)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN
PEKALONGAN
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2010, proporsi kematian
akibat penyakit tidak menular semakin meningkat, Gagal ginjal merupakan
salah satu penyakit tidak menular, dimana terjadi penurunan fungsi ginjal
secara akut (kambuhan) maupun kronis (menahun). Penyebab awal dapat
berupa dehidrasi (kurang minum) yang membuat tubuh rawankena infeksi
saluran kemih, dan kemudian dapat berkembang menjadi infeksi ginjal.
Radang kronis pada penyaring ginjal (glomerulonefritis), batu ginjal, dan
batu saluran kemih yang kurang mendapat perhatian dan obat-obatan
(modern maupun tradisional) yang dikonsumsi dalam jangka waktu lama
dapat pula membebani kerja ginjal (Hermawan, 2010).
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal progresif yang
berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen
lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan
dialisis atau transplantasi ginjal) (Nursalam 2006). Centers Disease
Control (CDC) melaporkan bahwa dalam kurun waktu tahun 1999-2004
terdapat 16.8% dari populasi penduduk usia di atas 20 tahun, mengalami
penyakit ginjal kronis (PGK). Persentase ini meningkat bila dibandingkan
data pada 6 tahun sebelumnya, yakni 14.5%. Insiden ini diperkirakan
sekitar 40-60 kasus per juta penduduk per tahun di negara-negara
berkembang.
Laporan The United States Renal Data System (USRDS) pada
tahun 2007 menunjukan adanya peningkatan populasi penderita dengan
ESRD di Amerika Serikat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru
gagal ginjal setiap tahunnya. Di Negara berkembang seperti Indonesia
insiden penyakit gagal ginjal kronik diperkirakan sekitar 40 sampai 60
kasus setiap tahunnya. Menurut data dari Persatuan Nefrologi
Indonesia (Perneftri), diperkirakan terdapat 70.000 penderita gagal
ginjal di Indonesia. Angka ini diperkirakan terus meningkat dengan
angka pertumbuhan sekitar 10% setiap tahun. (Suwitra, 2007).
Sebagian besar pasien gagal ginjal kronik (GGK) harus
menjalani program terapi simtomatik untuk mencegah atau mengurangi
populasi gagal ginjal terminal (GGT). Cara yang umum dan paling
sering dipergunakan untuk menangani gagal ginjal di Indonesia adalah
dengan menggunakan mesin cuci darah (dialiser) yang berfungsi sebagai
ginjal buatan. Dari 70.000 pasien gagal ginjal kronik di Indonesia, yang
terdeteksi menderita gagal ginjal kronik tahap terminal yang menjalani
hemodialisa hanya 4000 sampai 5000 pasien atau dengan kata lain 5,7 %
sampai 7,1% dari total seluruh penderita gagal ginjal (Soedarsono, 2004).
Namun demikian, menurut Mufliani (2009) jumlah pasien gagal ginjal
kronik yang melakukan hemodialisa jumlahnya terus meningkat 5%
sampai 10% setiap tahun.
Hemodialisa (HD) adalah suatu prosedur dimana darah keluar dari
tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh yang disebut
dialiser. Frekuensi tindakan HD bervariasi tergantung banyaknya fungsi
ginjal yang tersisa, rata-rata penderita menjalani dua sampai tiga kali
dalam seminggu, sedangkan lama pelaksanaan hemodialisa paling sedikit
empat sampai lima jam setiap sekali tindakan terapi. Penderita yang telah
menjalani hemodilisa akan terus menerus melakukan hemodialisa secara
rutin untuk menyambung hidupnya (Brunner dan Suddarth, 2002).

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Disusun sebagai salah satu tugas dari praktek klinik profesi ners stase
henodialisa. Diharapkan setelah membaca ini mahasiswa dapat
mengetahui lebih dalam tentang asuhan keperawatan pada klien gagal
ginjal kronis dengan batu ginjal.
2. Tujuan Untuk Mahasiswa
Diharapakan setelah membaca ini mahasiswa dapat :
a. Mengetahui apa saja pengkajian yang dilakukan pada klien dengan
gagal ginjal kronis dengan batu ginjal
b. Mengetahui mengetahui diagnosa keperawatan yang muncul
berdasarkan manifestasi klinis dari gagal ginjal kronis dengan batu
ginjal
c. Mengetahui intervensi ,implementasi dan evaluasi keperawatan pada
klien dengan gagal ginjal kronis dengan batu ginjal berdasarkan
diagnosa keperawatan
3. Tujuan Untuk Pasien
Tujuan untuk pasien adalah agar pasien mengetahui bagaimana cara
penanganan penyakit gagal ginjal kronis serta perawatannya.
BAB II
KONSEP DASAR

A. DEFINISI

Batu ginjal merupakan benda padat yang dibentuk oleh prepitasi


berbagai zat pelarut dalam urin pada saluran kemih. Batu dapat berasal dari
kalsium oksalat (60%), fosfat sebagai campuran kalsium, aminium dan
magnesium fosfat (batu tripel fosfat ini terjadi akibat infeksi) (30%), asam
urat (5%) dan sistin (1%) (Grace & Borley, 2006: 171).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap-akhir (ESDR)
merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut
Corwin, (2009) gagal ginjal kronis merupakan destruksi struktur ginjal yang
progresif dan terus menerus. Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis
yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung
progresif dan cukup lanjut, hal ini terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang
dari 50 mL/min (Suyono et al, 2009).
Berdasarkan ketiga definisi di atas dapat disimpulkan gagal ginjal
kronis ialah gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel yang
disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun di mana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan uremia (retensi
urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
Kegagalan ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu
mempertahankan lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan
pemulihan fungsi tidak dimulai. Pada kebanyakan individu transisi dari sehat
ke status kronis atau penyakit yang menetap sangat lamban dan menunggu
beberapa tahun. (Suyono 2001).
B. ETIOLOGI
Penyebab gagal ginjal kronis adalah hilangnya sebagian nefron
fungsional yang bersifat irreversibel, sedikitnya 70% di bawah normal.
Penyebab hilangnya fungsi nefron antara lain :
a. Gangguan imunologis : glomerulonephritis, poliarteritis nodosa, dan
SLE.
b. Gangguan metabolik : diabetes melitus dan amiloidosis.
c. Gangguan pembuluh darah ginjal: atherosklerosis dan nefrosklerosis.
d. Infeksi : pielonephritis dantuberkolosis.
e. Gangguan tubulus primer : nefrotoksik (analgesik dan logam berat)
f. Obstruksi traktus urinarius : batu ginjal, BPH, konstriksi dan striktur
urethra.
g. Kelainan kongenital : hipoplasia renalis dan penyakit kulit polikistik.
h. Lingkungan atau agens berbahaya yang mempengaruhi gagal ginjal
kronis mencakup timah, cadmium, merkuri, dan kromium
(Price & Wilson, 2005)

C. PATOFISIOLOGI
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa
nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume
filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan
penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk
berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut
menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis
osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang
rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik
dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul
gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang
80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin
clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu ( Barbara C Long,
2006).
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan
produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia
membaik setelah dialisis. (Smeltzer & Bare, 2002).

D. PATHWAYS
Terlampir

E. MANIFESTASI KLINIK
Gambaran klinis pada penyakit gagal ginjal kronis menurut (Corwin, 2009)
yakni:
1. Pada gagal ginjal stadium 1, tidak tampak gejala-gejala klinis.
2. Seiring dengan perburukan penyakit, penurunan pembentukan
eritropoietin menyebabkan keletihan kronis dan muncul tanda-tanda
awal hipoksia jaringan dan gangguan kardiovaskular.
3. Dapat timbul poliuria (peningkatan pengeluaran urine) karena ginjal
tidak mampu memekatkan urine seiring dengan perburukan penyakit.
4. Pada gagal ginjal stadium akhir, pengeluaran urine turun akibat GFR
rendah.

Sedangkan manifestasi klinis menurut Smeltzer & Bare (2002) ialah


sebagai berikut:
1. Kardiovaskuler
a. Hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron), gagal jantung kongestif, udema
pulmoner, perikarditis
b. Pitting edema (kaki, tangan, sacrum)
c. Edema periorbital
d. Friction rub perikardial
e. Pembesaran vena leher
2. Dermatologi
a. Warna kulit abu-abu mengkilat
b. Kulit kering bersisik
c. Pruritus
d. Ekimosis
e. Kuku tipis dan rapuh
f. Rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner
a. Krekels
b. Sputum kental dan liat
c. Nafas dangkal
d. Pernafasan kussmaul
4. Gastrointestinal
a. Anoreksia, mual, muntah, cegukan
b. Nafas berbau ammonia
c. Ulserasi dan perdarahan mulut
d. Konstipasi dan diare
e. Perdarahan saluran cerna
5. Neurologi
a. Tidak mampu konsentrasi
b. Kelemahan dan keletihan
c. Konfusi/ perubahan tingkat kesadaran
d. Disorientasi
e. Kejang
f. Rasa panas pada telapak kaki
g. Perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal
a. Kram otot
b. Kekuatan otot hilang
c. Kelemahan pada tungkai
d. Fraktur tulang
e. Foot drop
7. Reproduktif
a. Amenore
b. Atrofi testikuler

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Sudoyo et al (2009) pemeriksaan penunjang pada penyakit gagal
ginjal kronis adalah :
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Laboratorium darah :
BUN, Kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca, Phospat), Hematologi (Hb,
trombosit, Ht, Leukosit), protein, antibody (kehilangan protein dan
immunoglobulin)
b. Pemeriksaan Urin
Warna, PH, Berat Jenis, kekeruhan, volume, glukosa, protein,
sedimen, SDM, keton, SDP, TKK/CCT
2. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis,
aritmia, dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia).
3. Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal,
kandung kemih serta prostate.
4. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal
Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan
rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen.
G. PENATALAKSANAAN
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah
atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat
merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

b. Kebutuhan jumlah kalori


Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual
tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal
disease).
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolic
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis
metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium
bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau
serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuscular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular
yang diderita.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk
mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis
tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir
akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi
refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120
mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan
8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat
(Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan
sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan.
Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya
adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney).
Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang
tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya
yang mahal (Rahardjo, 2006).
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di
Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang
tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita
penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal
ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi
untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat
ginjal (Sukandar, 2006).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan
faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih
seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya
mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama
4) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi (Smeltzer & Bare, 2002)

H. KOMPLIKASI
1. Pada ginjal progresif, terjadi beban volume, ketidakseimbangan elektrolit,
asidosis metabolic, azotemia, dan uremia.
2. Pada gagal ginjal stadium 5 (penyakit stadium akhir), terjadi azotemia dan
uremia berat. Asidosis metabolic memburuk, yang secara mencolok
merangsang kecepatan pernapasan.
3. Hipertensi, anemia, osteodistrofi, hiperkalemia, ensefalopati uremik, dan
pruritus (gatal) adalah komplikasi yang sering terjadi.
4. Penurunan pembentukkan eritopoietin dapat menyebabkan sindrom
anemia kardiorenal, suatu trias anemia yang lama, penyakit
kardiovaskuler, dan penyakit ginjal yang akhirnya menyebabkan
peningkatan morbiditas dan mortalitas.
5. Dapat terjadi gagal jantung kongestif.
6. Tanpa pengobatan terjadi koma dan kematian
(Corwin, 2009)

I. PENGKAJIAN
Pengkajian dasar pada pasien dengan gagal ginjal kronik menurut
Doengoes (2002) yaitu :

1) Aktivitas/Istirahat
Gejala : kelelahan ekstrem,kelemahan,malaise gangguan tidur
(insomnia/gelisah/samnolen)
Tanda: kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak
2) Sirkulasi
Gejala: riwayat hipertensi lama atau berat palpitasi, nyeri dada
(angina)
Tanda: hipertensi, DVJ, nadi kuat, edema jaringan umumdan pittin
di kaki, telapak tangandisritmia jantung nadi lemah halus, hipotensi
ortostatik menunjukkan hipovolemiam yang jarang pada penyakit
tahap akhir friction rub pericardial (respon terhadap akumulasi sisa)
pucat, kulit coklat kehijauan, kuning kecenderunngan perdarahan
3) Integritas Ego
Gejala: faktor stress, contoh financial, hubungan dan sebagainya
perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan
Tanda: menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan
kepribadian
4) Eliminasi
Gejala: penurunan frekuensi urin, oliguria, anuria (gagal tahap akhir)
Abdomen kembung, diare, atau konstipasi
Tanda: perubahan warna urin, contoh kuning pekat, merah, coklat,
berawan Oliguria, dapat menjadi anuria
5) Makanan/Cairan
Gejala: peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat
badan (malnutrisi) anoreksia, nyeri uluhati, mual/muntah, rasa metalik
tak sedap pada mulut(pernapasan amonia) penggunaan diuretikTanda:
distensi abdomen/asites, pembesaran hati (tahap akhir) perubahan
turgor kulit/kelembaban edema (umum, tergantung) ulserasi gusi,
perdarahan gusi/lidah penurunan otot, penurunan lemak subkutan,
penampilan tak bertenaga
6) Neurosensori
Gejala: sakit kepala, penglihatan kabur kram otot/kejang: sindrom
“kaki gelisah” kebas rasa terbakar pada telapak kaki kebas/kesemutan
dan kelemahan, khususnya ekstremitas bawah (neuropati perifer).

Tanda: gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian,


ketidakmampuan berkonsentrasi,mkehilangan memori, kacau,
penurunan tingkat kesadaran, stupor, koma penurunan DTR kejang,
fasikulasi otot, aktivitas kejang rambut tipis, kuku rapuh dan tipis
7) Nyeri/Kenyamanan
Gejala: nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/nyeri kaki (memburuk
saat malam hari)
Tanda: perilaku berhati-hati/distraksi gelisah
8) Pernapasan
Gejala: napas pendek, dispnea noktural paroksismal, batuk
dengan/tanpa sputum kental dan banyak
Tanda: takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi.kedalaman batuk
produktif dengan sputum merah muda encer (edema paru)
9) Keamanan
Gejala: kulit gatal ada/berulangnya infeksi
Tanda: pruritus demam (sepsis, dehidrasi); normoterapi dapat secara
actual terjadi peningkatan suhu tubuh lebih rendah dari normal (efek
GGK/depresi respon imun) petekie, area ekimosis pada kulit fraktur
tulang, deposit fosfat kalsium (klasifikasi metastatik) pada kulit,
jaringan lunak, sendi; keterbatasan gerak sendi
10) Seksual
Gejala: penurunan libido, aminore, infertilisasi
11) Interaksi Sosial
Gejala: kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran biasanya dalam keluarga
12) Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala: riwayat DM keluarga (resiko tinggi untuk gagal ginjal),
penyakit polikistik, nefritis heriditer, kslkulus urinaria, malignansi
riwayat terpajan toksin, contoh obat, racun lingkungan penggunaan
antibiotik nefrotoksik saat ini/berulang

J. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien GGK adalah:


1. Resiko tinggi penurunan curah jantung b.d. ketidakseimbangan
volume sirkulasi, ketidakseimbangan elektrolit
2. Kelebihan volume cairan b.d. penurunan haluaran urin, retensi cairan
dan natrium sekunder terhadap penurunan fungsi ginjal
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
katabolisme protein, pembatasan diet, peningkatan metabolisme,
anoreksi, mual, muntah

K. Perencanaan Keperawatan

a. Resiko tinggi penurunan curah jantung b.d. ketidakseimbangan


volume sirkulasi, ketidakseimbangan elektrolit
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatanPenurunan curah
jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil :
mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan
frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama
dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
1) Auskultasi bunyi jantung dan paru
R : Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
2) Kaji adanya hipertensi
R : Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem
aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
3) Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya
(skala 0-10)
R : HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
4) Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia
b. Kelebihan volume cairan b.d. penurunan haluaran urin, retensi cairan
dan natrium sekunder terhadap penurunan fungsi ginjal.
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan
dengan kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan
output
Intervensi:
1) Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan
masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
R : Menentukkan rencana tindakan selanjutnya
2) Batasi masukan cairan
R : Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin,
dan respon terhadap terapi
3) Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
R : Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga
dalam pembatasan cairan
4) Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan
terutama pemasukan dan haluaran
R : Untuk mengetahui keseimbangan input dan output
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
katabolisme protein, pembatasan diet, peningkatan metabolisme,
anoreksi, mual, muntah
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan
kriteria hasil: menunjukan berat badan stabil, tidak ditemukan edema,
albumin dalam batas normal.
Intervensi:
1) Awasi konsumsi makanan / cairan
R : Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
2) Perhatikan adanya mual dan muntah
R : Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat
mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan
intervensi
3) Beikan makanan sedikit tapi sering
R : Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
4) Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R : Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
5) Berikan perawatan mulut sering
R : Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak
disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabet J, 2009, Buku Saku Patofisiologi, Edk 3, EGC, Jakarta.


Doenges E, Marilynn, dkk. 2002, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman
Untuk Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edk
3, EGC, Jakarta.
Long, B C. 2006, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan), Jilid 3, Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan
Keperawatan, Bandung.
Mansjoer, A 2002, Kapita Selekta Kedokteran, EGC, Jakarta.
Nanda International 2011, Diagnosis Keperawatan, EGC, Jakarta.
Price &Wilson 2005, Patofisiologi, EGC, Jakarta.
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edk 8, Vol
3, EGC, Jakarta.
Sudoyo, A, Bambang, S, Alwi, I, Simadibrata, M & Setiati, S 2009, Buku
ajar ilmu penyakit dalam, vol. 2, edk 5, Internal Publishing, Jakarta.
PATHWAYS

infeksi vaskuler zat toksik Obstruksi saluran kemih

reaksi antigen arteriosklerosis tertimbun ginjal Retensi urin batu besar dan iritasi / cidera
antibodi kasar jaringan
suplai darah ginjal turun
menekan saraf hematuria
perifer
anemia
nyeri pinggang
GFR turun

GGK

sekresi protein terganggu retensi Na sekresi eritropoitis turun

sindrom uremia urokrom total CES naik resiko suplai nutrisi dalam produksi Hb turun
tertimbun di kulit gangguan nutrisi darah turun

perpospatemia gang. tek. kapiler naik oksihemoglobin turun


keseimbangan perubahan warna
pruritis kulit gangguan intoleransi
asam - basa vol. interstisial naik suplai O2 kasar turun
perfusi jaringan aktivitas
gang. prod. asam naik
edema payah jantung kiri bendungan atrium kiri
integritas kulit as. lambung naik (kelebihan volume cairan) naik
nausea, vomitus iritasi lambung preload naik COP turun
tek. vena pulmonalis

resiko gangguan infeksi perdarahan beban jantung naik aliran darah ginjal suplai O2 suplai O2 ke
nutrisi turun jaringan turun otak turun kapiler paru naik
gastritis
- hematemesis hipertrofi ventrikel kiri
- melena RAA turun metab. anaerob syncope edema paru
mual,
(kehilangan
muntah retensi Na & H2O timb. as. laktat
anemia kesadaran)
naik naik gang. pertukaran gas

kelebihan vol. - fatigue


intoleransi aktivitas
cairan - nyeri sendi

Anda mungkin juga menyukai