DISUSUN OLEH :
SITI AISYAH
NIM : P27220018214
A. Konsep Teori
1. Definisi
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang
progresif dan ireversibel, yang menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit,
sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah) (Smeltzer 2013). Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau
penurunan kemampuan filtrasi glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR)
kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 yang terjadi selama lebih dari 3 bulan
(Kallenbach et al. 2015). Menurut KDIGO (2013) Gagal ginjal kronik
merupakan suatu keadaan abnormalitas dari struktur atau ginjal yang terjadi
selama lebih dari 3 bulan yang mempengaruhi kesehatan, dengan kriteria
sebagai berikut:
a. Adanya kerusakan ginjal (satu atau lebih):
1) Albuminuria (AER ≥30 mg/24 jam; ACR ≥30 mg/g [≥3 mg/mmol])
2) Abnormalitas sedimen urin
3) Abnormalitas elektrolit dan lainnya akibat dari kerusakan pada tubulus
ginjal
4) Adanya abnormalitas yang diketahui dari histologi
5) Abnormalitas struktural yang diketahui dari pencitraan
6) Mempunyai riwayat transplantasi ginjal
b. Penurunan GFR
GFR 60 ml/min/1,73 m2 (Kategori GFR G3a-G5) Kondisi ginjal yang gagal
melaksanakan fungsi utamanya akan terjadi gangguan pembuluh darah dan
penyakit lebih mudah merusak pembuluh darah tersebut. Akibatnya, darah yang
diterima unit penyaring menjadi lebih sedikit, dan tekanan darah di dalam ginjal
tidak bisa dikendalikan. Bila unit penyaring yang terganggu, maka suplai darah
kurang dan gangguan tekanan darah akan membuat ginjal tidak mampu
membuang zat-zat tidak terpakai lagi. Selain itu ginjal juga tidak bisa
mempertahankan keseimbangan cairan dan zat-zat kimia di dalam tubuh,
sehingga zat buangan bisa masuk kembali ke dalam darah. Juga mungkin terjadi,
zat kimia yang dibutuhkan tubuh dan protein akan ikut keluar bersama urin
(Syamsir & Iwan 2017).
Pada gagal ginjal kronik penderita hanya dapat berusaha menghambat laju
tingkat kegagalan fungsi ginjal tersebut, agar tidak menjadi gagal ginjal terminal
(GGT), suatu kondisi dimana ginjal sudah tidak dapat berfungsi lagi. Kondisi
gagal ginjal kronik ini biasanya timbul secara perlahan dan sifatnya menahun,
dengan sedikit gejala pada awalnya, bahkan lebih sering penderita tidak
merasakan adanya gejala dan diketahui fungsi ginjal sudah menurun 25% dari
normal. Beberapa penyakit yang memicu terjadinya penyakit aggal ginjal
kronik, antara lain diabetes, hipertensi, dan batu ginjal (Syamsir & Iwan 2017).
2. Tahapan Perkembangan Gagal Ginjal Kronik
Tahapan perkembangan gagal ginjal kronik, yaitu (Baradero dkk. 2015):
1. Penurunan cadangan ginjal
a. Sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus 40-50% normal
c. BUN dan kreatinin serum masih normal
d. Pasien asimtomatik
2. Gagal ginjal
a. 75-80% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus 20-40% normal
c. BUN dan kreatinin serum mulai meningkat
d. Anemia ringan dan azotemia ringan
e. Nokturia dan poliuria
3. Gagal ginjal
a. Laju filtrasi glomerulus 10-20% normal
b. BUN dan kreatinin serum meningkat
c. Anemia, azotemia, asidosis metabolik
d. Berat jenis urin
e. Poliuria dan nokturia
f. Gejala gagal ginjal
4. End-stage renal disease (ESRD)
a. Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 10% normal
c. BUN dan kreatinin tinggi
d. Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik
e. Berat jenis urin tetap 1,010
f. Oliguria
g. Gejala gagal ginjal
3. Etiologi
Penyebab paling umum dari gagal ginjal kronik adalah diabetes mellitus (tipe 1
atau tipe 2) dan hipertensi, sedangkan penyebab End-stage Renal Failure (ERFD) di
seluruh dunia adalah IgA nephropathy (penyakit inflamasi ginjal). Komplikasi dari
diabetes dan hipertensi adalah rusaknya pembuluh darah kecil di dalam tubuh,
pembuluh darah di ginjal juga mengalami dampak terjadi kerusakan sehingga
mengakibatkan gagal ginjal kronik.
Etiologi gagal ginjal kronik bervariasi antara negara yang satu dengan yang
negara lain. Di Amerika Serikat diabetes melitus menjadi penyebab paling banyak
terjadi gagal ginjal kronik yaitu sekitar 44%, kemudian diikuti oleh hipertensi
sebanyak 27% Dan glomerulonefritis sebanyak 10% (Thomas 2008). Di Indonesia
penyebab gagal ginjal kronik sering terjadi karena glomerulonefritis, diabetes
mellitus, obstruksi, dan infeksi pada ginjal, hipertensi (Suwitra dalam Sudoyo et al.
2009).
4. Stadium
Chronic Kidney Disease (CKD) diklasifikasikan berdasarkan CGA sistem yaitu
Cause, GFR category, dan Albuminuria category. Gagal ginjal kronik merupakan
stadium 5 dari CKD atau biasa disebut dengan End-stage Renal Disease (ESRD).
Dikatakan gagal ginjal kronik apabila dari hasil tes nilai eGFR < 15 mL/min/1.73
m2.
Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD) dalam Kidney Disease: Improving
Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group (2013) KDIGO 2 clinical practice
guideline for the evaluation and management of chronic kidney disease:
5. Patofisiologi
Ginjal merupakan salah satu organ ekskretori yang berfungsi untuk mengeluarkan
sisa metabolisme didalam tubuh diantaranya ureum, kreatinin, dan asam urat sehingga
terjadi keseimbangan dalam tubuh. Penyakit ini diawali dengan kerusakan dan
penurunan fungsi nefron secara progresif akibat adanya pengurangan masa ginjal.
Pengurangan masa ginjal menimbulkan mekanisme kompensasi yang mengakibatkan
terjadinya hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Perubahan ini
mengakibatkan hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerulus. Selanjutnya penurunan fungsi ini akan disertai dengan penurunan laju
filtrasi glomerulus (GFR) dan peningkatan sisa metabolisme dalam tubuh.
Perjalanan umum ginjal kronik dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium satu
dinamakan penurunan cadangan ginjal . Pada stadium ini kreatin serum dan BUN
dalam keadaan normal dan penderita asimtomatik (tanpa gejala). Gangguan fungsi
ginjal akan dapat diketahui dengan tes GFR.
Stadium dua dinamakan insufisiensi ginjal , dimana lebih dari 75% jaringan
yang berfungsi telah rusak dan GFR 25% dari normal. Pada tahap ini BUN baru mulai
stadium insufisiensi ginjal gejala nokturia dan poliuria diakibatkan kegagalan
pemekatan. Nokturia (berkemih pada malam hari) sebanyak 700 ml atau berkemih
lebih dari beberapa kali. Pengeluaran urin normal sekitar 1500 ml perhari atau sesuai
dengan jumlah cairan yang diminum.
Stadium ke tiga dinamakan gagal ginjal stadium akhir uremia . sekitar 90%
dari massa nefron telah hancur atau sekitar 200.000 yang masih utuh. Nilai GFR nya
hanya 10% dari keadaan normal dan bersihakan kreatin sebesar 5-10 ml/menit.
Penderita biasanya oliguri (pengeluaran urien kurang dari 500 ml/hari) karena
kegagalan glomelurus uremik. Fungsi ginjal menurun, produk akhir metabolisme
protein. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh.
Menurut Sudoyo et al. (2009) stadium paling dini dari penyakit gagal ginjal
kronis, akan menyebabkan penurunan fungsi yang progresif ditandai dengan
peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum. Pasien dengan GFR 60% belum
merasakan keluhan, tetapi sudah ada peningkatan kadar ureum dan kreatinin, sampai
GFR 30% keluhan nokturia, badan lemas, mual, nafsu makan berkurang, dan penurunan
berat badan mulai terjadi.
6. Manifestasi Klinis
Gagal ginjal kronis atau penyakit ginjal kronis adalah penurunan secara lambat
dan progresif dari fungsi ginjal. Biasanya terjadi akibat komplikasi dari kondisi medis
lain yang serius. Tidak seperti gagal ginjal akut yang terjadi dengan cepat dan tiba-tiba,
gagal ginjal kronis terjadi secara bertahap. Gagal ginjal kronis terjadi dalam hitungan
minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun sampai ginjal perlahan berhenti
bekerja, mengantarkan pada stadium akhir penyakit ginjal (ESRD). Perkembangan yang
sangat lambat inilah yang mengakibatkan gejala tidak muncul sampai adanya kerusakan
besar.
Manifestasi klinis gagal ginjal kronik (Long 2016):
a. Gejala dini: lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang,
mudah tersinggung, depresi.
b. Gejala yang lebih lanjut: anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak
nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis
mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinis gagal ginjal kronik (Smeltzer & Bare 2014):
1. Kardiovaskuler
a. Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis
b. Pitting edema (kaki, tangan, sacrum)
c. Edema periorbital
d. Friction rub pericardial
e. Pembesaran vena leher
2. Dermatologi
a. Warna kulit abu-abu mengkilat
b. Kulit kering bersisik
c. Pruritus
d. Ekimosis
e. Kuku tipis dan rapuh
f. Rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner
a. Krekels
b. Sputum kental dan liat
c. Nafas dangkal
d. Pernafasan kussmaul
4. Gastrointestinal
a. Anoreksia, mual, muntah, cegukan
b. Nafas berbau ammonia
c. Ulserasi dan perdarahan mulut
d. Konstipasi dan diare
e. Perdarahan saluran cerna
5. Neurologi
a. Tidak mampu konsentrasi
b. Kelemahan dan keletihan
c. Konfusi/perubahan tingkat kesadaran
d. Disorientasi
e. Kejang
f. Rasa panas pada telapak kaki
g. Perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal
a. Kram otot
b. Kekuatan otot hilang
c. Kelemahan pada tungkai
d. Fraktur tulang
e. Foot drop
7. Reproduktif
a. Amenore
b. Atrofi testekuler
7. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doenges (2014) pemeriksaan penunjang pada pasien GGK adalah:
1. Volume urin : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria) terjadi dalam (24
jam – 48) jam setelah ginjal rusak.
2. Warna Urin : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah.
3. Berat jenis urin : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal contoh
glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan memekatkan :
menetap pada l, 0l0 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
4. pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal dan rasio urin/
serum saring (1 : 1).
5. Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan kerusakan ginjal.
6. Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila ginjal tidak
mampu mengabsorpsi natrium.
7. Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
8. Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi tambahan warna
merah diduga nefritis glomerulus.
Pemeriksaan yang bisa dilakukan dalam menentukan gagal ginjal kronik, antara lain:
1. Gambaran Klinis
Gambaran Klinis Pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Seperti dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus,
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus, Eritomatosus
Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b. Syndrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan, (Volume Overload) neuropati perifer, proritus, uremic,
frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasi nya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidiosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
khlorida).
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum dan
penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidiosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi: proteiuria, leukosuria, cast, isostenuria.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, disamping kehawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.
4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif
tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah
diberikan. Biopsi ginjal indikasi kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran
ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang
tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan
obesitas.
8. Penatalaksanaan
Rencana penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
menurut Suwitra (2017) antara lain:
Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
LFG
Derajat Rencana Tatalaksana
(ml/mn/1,73m2)
1 ≥90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,evaluasi
perburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil
risiko kardiovaskuler
2 60-80 Menghambat perburukan (progession) fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 ˂15 Terapi pengganti ginjal
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis, dan
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi
dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi ke cairan dialisat
dengan konsentrasi yang lebih rendah (Rosidana 2011).
Gambar 4. Proses Difusi (http://www.baxter.com)
Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran
air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, yaitu air bergerak dari
daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke daerah dengan tekanan yang
lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan
tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis (Rosdiana 2011).
4. Pruritus
Selama terapi adanya produk akhir metabolisme yang tersisa di dalam kulit
5. Gangguan keseimbangan dialisis
Akibat perpindahan cairan cerebral dan muncul sebagai serangan kejang,
berpotensi besar jika terdapat uremia yang berat.
6. Malnutrisi
Akibat kontrol diet dan kehilangan nutrient selama hemodialisa.
7. Fatigue dan kram
Pasien dapat mengalami kecapean akibat hipoksia yang disebabkan edema
pulmoner. Hipoksia pulmoner terjadi akibat retensi cairan dan sodium.
b. Peritoneal Dialisis
Pada dialisis ini membran dialisis menggunakan membran peritoneal pasien sendiri.
Cairan dialisis diletakkan pada rongga peritoneal menggunakan kateter yang
dimasukkan dan dibiarkan selama 4-6 jam untuk mencapai kesetimbangan. Dialisat
kemudian dibuang dan digantikan dengan fluida dialisis yang baru. Perubahan
konsentrasi glukosa pada dialisat akan mengubah osmolaritas dan hal ini mengatur
perpindahan air secara osmosis dari darah ke dialisat. Proses ini dapat dilakukan
sendiri oleh pasien di rumah. Komplikasi yang sering terjadi adalah peritonitis.
Gambar 6. Pasien yang mendapat dialisis peritoneal (Baradero 2015)
c. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal:
1. Ginjal cangkok (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70 - 80% faal ginjal
alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
Kontraindikasi relatif terhadap transplantasi ginjal:
1. Usia lebih dari 70 th
2. HIV positif
3. Infeksi bakteri
4. Keganasan yang baru terjadi atau sedang diderita
5. Penyakit jantung berat
6. Sensitasi tinggi
7. Penyakit ginjal dengan risikp rekurensi yang tinggi
Persiapan program transplantasi ginjal, antara lain:
1. Pemeriksaan imunologi
a. Golongan darah ABO
1. Ketidak serasian golongan darah ABO antara resipien dan donor
menyebabkan reaksi penolakan hiperakut (hyperacute immediate rejection)
2. Antigen Rhesus tidak berperan untuk reaksi penolakan.
b. Tipe jaringan HLA ( human leucocyte antigen )
Klasifikasi HLA berdasarkan (major histocompatibility gene complex):
1. Kelas (I) antigen :
* HLA – A
* HLA – B
* HLA-C
2. Kelas (II) antigen : * HLA - D (DR)
3. Seleksi pasien (resipien) dan donor hidup keluarga
9. Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smeltzer dan Bare (2017) yaitu:
1. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme dan
masukan diet berlebihan.
2. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system renin-
angiostensin-aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama
hemodialisis.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan peningkatan kadar
alumunium.
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut O’Callaghan (2009) yaitu:
1. Komplikasi Hematologis
Anemia pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh produksi eritropoietin yang
tidak adekuat oleh ginjal dan diobati dengan pemberian eritropoietin subkutan atau
intravena. Hal ini hanya bekerja bila kadar besi, folat, dan vitamin B12 adekuat dan
pasien dalam keadaan baik. Sangat jarang terjadi, antibodi dapat terbentuk
melawan eritropoietin yang diberikan sehingga terjadi anemia aplastik.
2. Penyakit vascular dan hipertensi
Penyakit vascular merupakan penyebab utama kematian pada gagal ginjal kronik.
Pada pasien yang tidak menyandang diabetes, hipertensi mungkin merupakan
faktor risiko yang paling penting. Sebagaian besar hipertensi pada penyakit ginjal
kronik disebabkan hipervolemia akibat retensi natrium dan air. Keadaan ini
biasanya tidak cukup parah untuk bisa menimbulkan edema, namun mungkin
terdapat ritme jantung tripel. Hipertensi seperti itu biasanya memberikan respons
terhadap restriksi natrium dan pengendalian volume tubuh melalui dialysis. Jika
fungsi ginjal memadai, pemberian furosemid dapat bermanfaat.
3. Dehidrasi
Hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabkan retensi natrium dan air akibat
hilangnya nefron. Namun beberapa pasien tetap mempertahankan sebagian filtrasi,
namun kehilangan fungsi tubulus, sehingga mengekskresi urin yang sangat encer,
yang dapat menyebabkan dehidrsi.
4. Kulit
Gatal merupakan keluhan keluhan kulit yang paling sering terjadi. Keluhan ini
sering timbul pada hiperparatiroidime sekunder atau tersier serta dapat disebabkab
oleh deposit kalsium fosfat apda jaringan. Gatal dapat dikurangi dengan
mengontrol kadar fosfat dan dengan krim yang mencegah kulit kering. Bekuan
uremik merupakan presipitat kristal ureum pada kulit dan timbul hanya pada
uremia berat. Pigmentasi kulit dapat timbul dan anemia dapat menyebabkan pucat.
5. Gastrointestinal
Walaupun kadar gastrin meningkat, ulkus peptikum tidak lebih sering terjadi pada
pasien gagal ginjal kronik dibandingkan populasi normal. Namun gejala mual,
muntah, anoreksia, dan dada terbakar sering terjadi. Insidensi esofagitis serta
angiodisplasia lebih tinggi, keduanya dapat menyebabkan perdarahan. Insidensi
pankreatitis juga lebih tinggi. Gangguan pengecap dapat berkaitan dengan bau
napas yang menyerupai urin.
6. Endokrin
Pada pria, gagal ginjal kronik dapat menyebabkan kehilangan libido, impotensi,
dan penurunan jumlah serta motilitas sperma. Pada wanita, sering terjadi
kehilangan libido, berkurangnya ovulasi, dan infertilitas. Siklus hormon
pertumbuhan yang abnormal dapat turut berkontribusi dalam menyebabkan
retardasi pertumbuhan pada anak dan kehilangan massa otot pada orang dewasa.
7. Neurologis dan psikiatrik
Gagal ginjal yang tidak diobati dapat menyebabkan kelelahan, kehilangan
kesadaran, dan bahkan koma, sering kali dengan tanda iritasi neurologis (mencakup
tremor, asteriksis, agitasi, meningismus, peningkatan tonus otot dengan mioklonus,
klonus pergelangan kaki, hiperefleksia, plantar ekstensor, dan yang paling berat
kejang). Aktifitas Na+/K+ ATPase terganggu pada uremia dan terjadi perubahan
yang tergantung hormon paratiroid (parathyroid hormone, PTH) pada transport
kalsium membran yang dapat berkontribusi dalam menyebabkan neurotransmisi
yang abnormal. Gangguan tidur seringterjadi. Kaki yang tidak biasa diam (restless
leg) atau kram otot dapat juga terjadi dan kadang merespons terhadap pemberian
kuinin sulfat. Gangguan psikiatrik seperti depresi dan ansietas sering terjadi dan
terdapat peningkatan risiko bunuh diri.
8. Imunologis
Fungsi imunologis terganggu pada gagal ginjal kronik dan infeksi sering terjadi.
Uremia menekan fungsi sebagaian besar sel imun dan dialysis dapat mengaktivasi
efektor imun, seperti komplemen, dengan tidak tepat.
9. Lipid
Hiperlipidemia sering terjadi, terutama hipertrigliseridemia akibat penurunan
katabolisme trigliserida. Kadar lipid lebih tinggi pada pasien yang menjalani
dialisis peritoneal daripada pasien yang menjalani hemodialisis, mungkin akibat
hilangnya protein plasma regulator seperti apolipoprotein A-1 di sepanjang
membran peritoneal.
10. Penyakit jantung
Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadinya jika kadar ureum
atau fosfat tinggi atau terdapat hiperparatiroidisme sekunder yang berat. Kelebihan
cairan dan hipertensi dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri atau
kardiomiopati dilatasi. Fistula dialysis arteriovena yang besara dapat menggunakan
proporsi curah jantung dalam jumlah besar sehingga mengurangi curah jantung
yang dapat digunakan oleh bagian tubuh yang tersisa.
A. Kosep Asuhaan Keperawatan
Pengkajian
1. Anamnesa
Anamnesa adalah mengetahui kondisi klien dengan cara wawancara atau interview.
Mengetahui kondisi klien untuk saat ini dan masa lalu. Anamnesa mencakup
identitas klien, keluhan utama, riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan
dahulu, riwayat kesehatan keluarga, riwayat imunisasi, riwayat kesehatan
lingkungan dantempat tinggal.
a. Identitas
Meliputi identitas klien yaitu: nama lengkap, tempat tanggal lahir, jenis
kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, suku/bangsa,
golongan darah, tangggal MRS, tanggal pengkajian, no.RM, diagnose medis,
alamat.
b. Keluhan utama
Kapan keluhan mulai berkembang, bagaimana terjadinya, apakah secara tiba-
tiba atau berangsur-angsur, apa tindakan yang dilakukan untuk mengurangi
keluhan, obat apa yang digunakan.
Keluhan utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari urine output sedikit
sampai tidak ada BAK, glisah sampai penurunan kesadaran, tidak selera makan
(anoreksia), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, napas berbau
(ureum), dan gatal pada kulit.
c. Riwayat kesehatan sekarang (PQRST)
Mengkaji keluhan kesehatan yang dirasakan klien pada saat di anamnesa
meliputi palliative, provocative, quality, quantity, region, radiation, severity
scala dan time.
Untuk kasus gagal ginjal kronis, kaji onset penurunan urine output, penurunan
kesadaran, perubahan pola nafas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, dan
pemenuhan nutrisi. Kaji pula sudah kemana saja klien meminta pertolongan
untuk mengatasi masalahnya dan mendapat pengobatan.
b. Sistem pernapasan
Klien bernapas dengan bau uremia didapatkan adanya pernapasa kusmaul. Pola
napas cepat dan dalam merupakan upaya untuk melakukan pembuangan karbon
dioksida yang menumpuk di sirkulasi.
c. Sitem hematologi
Pada kondisi uremia berat tindakan auskultasi akan menemukan adanya friction
rub yang merupakan tanda khas efusi pericardial. Didapatkan tanda dan gejala
gagal jantung kongestif. TD meningkat, akral dingin, CRT > 3 detik, palpitasi,
nyeri dada dan sesak napas, gangguan irama jantung, edem penurunan perfusi
perifer sekunder dari penurunan curah jantung akibat hiperkalemi, dan
gangguan kondisi elektrikal otot ventrikel.
Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia sebagai
akibat dari penurunan produksi eritropoitin, lesi gastrointestinal uremik,
penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari saluran
GI, kecenderungan mengalami perdarahan sekunder dari trombositopenia.
d. Sistem neuromuskuler
Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti perubahan
proses berfikir dan disorientasi. Klien sering didapatkan adanya kejang, adanya
neuropati perifer, burning feet syndrome, retless leg syndrome, kram otot, dan
nyeri otot.
e. Sistem kardiovaskuler
Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan aktivitas
system rennin angiostensin aldosteron. Nyeri dada dan sesak napas akibat
perikarditis, efusi pericardial, penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis
yang timbul dini, dan gagal jantung akibat penimbunan cairan dan hipertensi.
f. Sistem Endokrin
Gangguan seksual : libido, fertilisasi dan ereksi menurun pada laki-laki akibat
produksi testosterone dan spermatogenesis yang menurun. Sebab lain juga
dihubungkan dengan metabolic tertentu. Pada wanita timbul gangguan
menstruasi, gangguan ovulasi sampaiamenorea.
Gangguan metabolism glukosa, resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Pada gagal ginjal yang lanjut (klirens kreatinin < 15 ml/menit) terjadi penuruna
klirens metabolic insulin menyebabkan waktu paruh hormon aktif memanjang.
Keadaan ini dapat menyebabkan kebutuhan obat penurunan glukosa darah akan
berkurang. Gangguan metabolic lemak, dan gangguan metabolism vitamin D.
g. Sistem Perkemihan
Penurunan urine output < 400 ml/ hari sampai anuri, terjadi penurunan libido
berat
h. Sistem pencernaan
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia, dan diare sekunder dari bau
mulut ammonia, peradangan mukosa mulut, dan ulkus saluran cerna sehingga
sering di dapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
i. Sistem Muskuloskeletal
Di dapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki
(memburuk saat malam hari), kulit gatal, ada/ berulangnya infeksi, pruritus,
demam ( sepsis, dehidrasi ), petekie, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang,
deposit fosfat kalsium pada kulit jaringan lunak dan sendi, keterbatasan gerak
sendi. Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum sekunder dari anemia
dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi.
2. Masalah Keperawatan
a. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran
kapiler-alveolar
b. Penurunan cardiac output b.d perubahan preload,
afterload dan sepsis
c. Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis
metabolic, pneumonitis, perikarditis
d. Kelebihan volume cairan b.d mekanisme
pengaturan melemah
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh b.d intake makanan yang inadekuat (mual, muntah, anoreksia dll).
f. Intoleransi aktivitas b.d keletihan/kelemahan,
anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialysis.
INTERVENSI KEPERAWATAN
AcidBase Managemen
Monitro IV line
- Kecemasan
- Disfungsi Neuromuskuler
- Kerusakan persepsi/kognitif
- Imaturitas Neurologis
Tentukan kemungkinan
faktor resiko dari ketidak
seimbangan cairan
(Hipertermia, terapi diuretik
kelainan renal, gagal jantung
diaporesis, disfungsi hati, dll )
Monitor berat badan
Monitor paramete
hemodinamik infasif
- Kehilangan BB dengan
makanan cukup
Nutrition Monitoring
- Keengganan untuk makan
BB pasien dalam batas normal
- Kram pada abdomen
Monitor adanya penurunan
- Tonus otot jelek berat badan
Alam, Syamsir dan Hadibroto, Iwan. 2017. Gagal Ginjal. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama
Aziz, M. Farid, dkk. 2014. Panduan Pelayanan Medik: Model Interdisiplin
Penatalaksanaan kanker Serviks dengan Gangguan Ginjal.
Baradero, Mary, dkk. 2015. Klien Gangguan Ginjal: Seri Asuhan Keperawatan.
Jakarta: EGC
Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. 2014. Rencana
Asuhan Keperawatan; Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta: EGC
Faiz, Omar dan Moffat, David. 2014. Anatomy at a Glance. Jakarta: Penerbit Erlangga
Ignatavicius, DD,. & Workman. L,. (2016). Medical surgical nursing, critical thinking
for collaborative care. Elsevier Saunders.
James, Joyce, dkk. 2018. Prinsip-prinsip Sains untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit
Erlangga
O’Callaghan, Chris. 2009. At A Glance Sistem Ginjal Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.
Smeltzer, S.S.B. 2018. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B,.Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. (Ed). (2009). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (Edisi 4). Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan
Penyakit Dalam FKUI
Suwitra, Ketut. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD
FKUI.