Hidroterapi
Hidroterapi
Definisi
Osteomielitis adalah infeksi tulang, lebih sulitdi sembuhkan dari pada infeksi jaringan lunak,
karena terbatasnya asupan darah, respons jaringan terhadap inflamasi , tingginya tekanan jaringan dan
pembentukan involukrum (Pembentukan tulang baru disekeliling jaringan tulang mati). Osteomielitis
dapat menjadi masalah kronis yang akan mempengaruhi kualitas hidup atau mengakibatkan kehilangan
ekstremitas.
Osteomeylitis adalah suatu proses peradangan akut atau kronik dari tulang dan struktur-
strukturnya, sekunder terhadap infeksi dari organisme pyogenik. .(Sylvia A. P. loraince M. W 1995:1200).
Osteomyelitis merupakan infeksi pada tulang dan sumsum tulang yang dapat disebabkan oleh
bakteri, virus atau proses spesifik ( m. tuberkulosa, jamur).
(Luca Lazzarini, 2004).
C. Etiologi
Biasanya mikroorganisme dapat menginfeksi tulang melalui tiga cara yaitu melalui pembuluh
darah, langsung melalui area lokal infeksi (seperti selulitis) atau melalui trauma, termasuk iatrogenik
seperti dislokasi sendi atau fiksasi internal.
Pada balita, infeksi dapat menyebar ke sendi dan menyebabkan arthritis. Pada anak-anak yang
biasanya terinfeksi adalah tulang panjang. Abses subperiosteal dapat terbentuk karena periosteum
melekat longgar di permukaan tulang, sedangkan pada orang dewasa tulang yang paling sering terinfeksi
adalah tulang belakang dan tulang panggul.
Tibia bagian distal, femur bagian distal, humerus, radius dan ulna bagian proksimal dan distal,
vertebra, maksila, dan mandibula merupakan tulang yang paling beresiko untuk terkena osteomielitis
karena merupakan tulang yang banyak vaskularisasinya. Bagaimanapun, abses pada tulang dapat dipicu
oleh trauma di daerah infeksi. Infeksi dapat disebabkan oleh Staphylococcus aureus, yang merupakan
flora normal yang dapat ditemukan di kulit dan mukosa membran.
Etiologi lain yang menyebabkan Osteomielitis :
1. Penyebaran hematogen yang berasal dari bakteri.
2. Infeksi pada traktus urinaria.
3. Hemodialisa dalam jangka waktu yang lama.
4. Infeksi pada salmonella pada gastro Intestinal.
5. Staphylococcus aureus hemolitukus (koagulasi positif) sebanyak 90% dan jarang oleh streptococcus
hemolitikus.
6. Haemophylus influenzae (50%) pada anak-anak dibawah umur 4 tahun. Organisme yang lain seperti :
Bakteri colli, Salmonella thyposa dan sebagainya.
D. Patofisiologi
Staphylococcus aurens merupakan penyebab 70% sampai 80% infeksi tulang. Organisme
patogenik lainnya sering dujumpai pada osteomielitis meliputi Proteus, Pseudomonas dan Ecerichia coli.
Terdapat peningkatan insiden infeksi resisten penisilin, nosokomial, gram negatif dan anaerobik.
Awitan osteomielitis setelah pembedahan ortopedi dapat terjadi dalam 3 bulan pertama (akut
fulminan stadium I) dan sering berhubungan dengan penumpukan hematoma atau infeksi superfisial.
Infeksi awitan lambat (stadium 2) terjadi antara 4 sampai 24 bulan setelah pembedahan. Osteomielitis
awitan lama (stadium 3) biasanya akibat penyebaran hematogen dan terjadi 2 tahun atau lebih setelah
pembedahan.
Respons inisial terhadap infeksi adalah salah satu dari inflamasi, peningkatan Vaskularisas dan
edema. Setelah 2 atau 3 hari, trombosis pada pembuluh darah terjadi pada tempat tersebut,
mengakibatkan iskemia dengan nekrosis tulang sehubungan dengan peningkatan dan dapat menyebar
ke jaringan lunak atau sendi di sekitarnya, kecuali bila proses infeksi dapat dikontrol awal, kemudian akan
terbentuk abses tulang.
Pada perjalanan alamiahnya, abses dapat keluar spontan; namun yang lebih sering harus
dilakukan insisi dan drainase oleh ahli bedah. Abses yang terbentuk dalam dindingnya terbentuk daerah
jaringan mati, namun seperti pada rongga abses pada umumnya, jaringan tulang mati (sequestrum) tidak
mudah mencair dan mengalir keluar. Rongga tidak dapat mengempis dan menyembuh, seperti yang
terjadi pada jaringan lunak. Terjadi pertumbuhan tulang baru (involukrum) dan mengelilingi sequestrum.
Jadi meskipun tampak terjadi proses penyembuhan, namun sequestrum infeksius kronis yang tetap
rentan mengeluarkan abses kambuhan sepanjang hidup pasien. Dinamakan osteomielitis tipe kronik.
E. Manifestasi Klinis
Jika infeksi dibawah oleh darah, biasanya awitannya mendadak, sering terjadi dengan
manifestasi klinis septikemia (mis. Menggigil, demam tinggi, denyut nadi cepat dan malaise umum).
Gejala sismetik pada awalnya dapat menutupi gejala lokal secara lengkap. Setelah infeksi menyebar dari
rongga sumsum ke korteks tulang, akan mengenai periosteum dan jaringan lunak, dengan bagian yang
terinfeksi menjadi nyeri, bengkak dan sangat nyeri tekan. Pasien menggambarkan nyeri konstan
berdenyut yang semakin memberat dengan gerakan dan berhubungan dengan tekanan pus yang
terkumpul.
Bila osteomielitis terjadi akibat penyebaran dari infeksi di sekitarnya atau kontaminasi langsung,
tidak akan ada gejala septikemia. Daerah infeksi membengkak, hangat, nyeri dan nyeri tekan.
Pasien dengan osteomielitis kronik ditandai dengan pus yang selalu mengalir keluar dari sinus
atau mengalami periode berulang nyeri, inflamasi, pembengkakan dan pengeluaran pus. Infeksi derajat
rendah dapat menjadi pada jaringan parut akibat kurangnya asupan darah.
F. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi dapat berupa kekambuhan yang dapat mencapai 20%, cacat berupa :
1. destruksi sendi
2. fraktur
3. abses tulang
4. sellulitis
5. gangguan pertumbuhan karena kerusakan cakram epifisis
6. pelepasan implant buatan
7. timbulnya saluran sinus pada jaringan lunak dan osteomyelitis kronik.
G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan untuk osteomielitis adalah :
1. Pemeriksaan darah
Sel darah putih meningkat sampai 30.000 L gr/dl disertai peningkatan laju endapan darah.
2. Pemeriksaan titer antibodi – anti staphylococcus
Pemeriksaan kultur darah untuk menentukan bakteri (50% positif) dan diikuti dengan uji sensitivitas.
3. Pemeriksaan feses
Pemeriksaan feses untuk kultur dilakukan apabila terdapat kecurigaan infeksi oleh bakteri Salmonella.
4. Pemeriksaan Biopsi tulang.
5. Pemeriksaan ultra sound
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya efusi pada sendi.
6. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan photo polos dalam 10 hari pertama tidak ditemukan kelainan adiologic, setelah dua minggu
akan terlihat berupa refraksi tulang yang bersifat difus.
H. Penatalaksanaan Medis
Daerah yang terkana harus diimobilisasi untuk mengurangi ketidaknyamanan dan mencegah
terjadinya fraktur. Dapat dilakukan rendaman salin hangat selama 20 menit beberapa kali per hari untuk
meningkatkan aliran daerah.
Sasaran awal terapi adalah mengontrol dan menghentikan proses infeksi, Kultur darah dan swab
dan kultur abses dilakukan untuk mengidentifikasi organisme dan memilih antibiotika yang terbaik.
Kadang, infeksi disebabkan oleh lebih dari satu patogen.
Begitu spesimen kultur telah diperoleh, dimulai pemberian terapi antibiotika intravena, dengan
asumsi bahwa dengan infeksi staphylococcus yang peka terhadap penisilin semi sintetik atau
sefalosporin. Tujuannya adalah mengentrol infeksi sebelum aliran darah ke daerah tersebut menurun
akibat terjadinya trombosis. Pemberian dosis antibiotika terus menerus sesuai waktu sangat penting
untuk mencapai kadar antibiotika dalam darah yang terus menerus tinggi. Antibiotika yang paling sensitif
terhadap organisme penyebab yang diberikan bila telah diketahui biakan dan sensitivitasnya. Bila infeksi
tampak telah terkontrol, antibiotika dapat diberikan per oral dan dilanjutkan sampai 3 bulan. Untuk
meningkatkan absorpsi antibiotika oral, jangan diminum bersama makanan.
Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibiotika, tulang yang terkena harus
dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan nekrotik diangkat dan daerah itu diiringi secara langsung
dengan larutan salin fisiologis steril. Tetapi antibitika dianjurkan.
Pada osteomielitis kronik, antibiotika merupakan ajuvan terhadap debridemen bedah. Dilakukan
sequestrektomi (pengangkatan involukrum secukupnya supaya ahli bedah dapat mengangkat
sequestrum). Kadang harus dilakukan pengangkatan tulang untuk memajankan rongga yang dalam
menjadi cekungan yang dangkal (saucerization). Semua tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati
diangkat supaya dapat terjadi penyembuhan yang permanen.
Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space) atau dipasang tampon agar
dapat diisi oleh jaringan granulasi atau dilakukan grafting dikemudian hari. Dapat dipasang drainase
berpengisap untuk mengontrol hematoma dan mebuang debris. Dapat diberikan irigasi larutan salin
normal selama 7 sampai 8 hari. Dapat terjadi infeksi samping dengan pemberian irigasi ini.
Rongga yang didebridemen dapat diisi dengan graft tulang kanselus untuk merangsang
penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga dapat diisi dengan transfer tulang berpembuluh
darah atau flup otot (dimana suatu otot diambil dari jaringan sekitarnya namun dengan pembuluh darah
yang utuh). Teknik bedah mikro ini akan meningkatkan asupan darah; perbaikan asupan darah kemudian
akan memungkinkan penyembuhan tulang dan eradikasi infeksi. Prosedur bedah ini dapat dilakukan
secara bertahap untuk menyakinkan penyembuhan. Debridemen bedah dapat melemahkan tulang,
kemudian memerlukan stabilisasi atau penyokong dengan fiksasi interna atau alat penyokong eksterna
untuk mencegah terjadinya patah tulang.
I. Pendidikan Kesehatan
Pasien harus dalam keadaan stabil secara medis dan telah termotivasi, dan keluarga harus
mendukung. Lingkungan rumah harus bersifat kondusif terhadap promosi kesehatan dan sesuai dengan
program terapeutik.
Pasien dan keluarganya harus memahami benar protokol antibiotika. Ajarkan cara teknik balutan
secara steril dan teknik kompres hangat. Pendidikan pasien sebelum pemulangan dari rurnah sakit dan
supervisi serta dukungan Yang memadai dari perawatan di rumah sangat penting dalam keberhasilan
penatalaksanaan osteomielitis di rumah.
Pantau dengan cermat mengenai bertambahnya daerah nyeri atau peningkatan suhu Yang
mendadak. Pasien diminta. untuk melakukan observasi dan melaporkan bila terjadi peningkatan suhu,
keluarnya pus, bau, dan bertambahnya inflamasi.
Pada skenario disebutkan bahwa ada seorang laki-laki berumur 20 tahun dengan keluhan
nyeri pada tungkai bawah kanan, pyrexia, kemerahan, sinus di kulit yang hilang timbul dan
riwayat patah tulang pada kaki yang sama 2 tahun lalu. Sinus pada pasien mengeluarkan
discharge seropurulen dengan ekskoriasi kulit sekitar sinus.
Kalau dilihat dari keluhan maupun pemeriksaan fisik yang telah disebutkan pada skenario
maka kemungkinan pasien menderita infeksi, hal ini ditandai adanya proses inflamasi,
seperti nyeri, pyrexia, kemerahan (Price and Wilson, 2005), selain itu juga adanya discharge
yang bersifat seropurulen. Jenis infeksi yang diderita oleh pasien adalah infeksi tulang atau
yang biasa disebut dengan osteomyelitis.
Osteomyelitis pada pasien, kemungkinan didapatkan akibatkan patah tulang yang pernah
dialaminya 2 tahun lalu, karena pada beberapa kasus, infeksi tulang merupakan komplikasi
fraktur tulang terbuka, selain itu keputusan pasien untuk mengobati patah tulangnya ke
dukun bukannya ke dokter juga merupakan salah satu penyebabnya.
Discharge seropurulen dan hasil plain foto yang didapat (adanya involucrum dan sequester)
mengindikasikan pasien menderita osteomyelitis pyogenik kronis. Alasan mengapa penulis
berpendapat demikian adalah karena osteomyelitis dibagi dua berdasarkan penyebabnya,
yaitu osteomyelitis pyogenik dan osteomyelitis tuberkulosa (kumar, cotran dan robbins,
2007). Pada osteomyelitis pyogenik, discharge yang dikeluarkan akan bersifat seropurulen.
Sedangkan pada osteomyelitis tuberkulosa akan didaptkan daerah granulomatosa, dengan
discharge seperti keju (kumar, cotran dan robbins, 2007).
Osteomyelitis kronis terjadi sebagai sekuele infeksi akut akibat dari kurangnya pengobatan.
Seiring dengan waktu, terjadi influx sel radang kronis ke dalam fokus osteomyelitis yang
mengawali reaksi penyembuhan berupa pengaktifan osteoklas, proliferasi fibroblast dan
pembentukan tulang baru (kumar, cotran dan robbins, 2007). Tulang nekrotik yang tersisa
yang disebut dengan sekuestrum dapat direabsorpsi oleh aktivitas osteoklas, sedangkan
sekuestrum yang lebih besar akan dikelilingi oleh involucrum, sekuestrum ini juga akan
menyebabkan adanya proses infeksi terus menerus sehingga akan terbentuk saluran sinus
multiple dan hilang timbul (kumar, cotran dan robbins, 2007;de Jong, 2004).
Pada kasus ini sebaiknya dilakukan sekuestrektomi dan debridement serta pemberian
antibiotic yang sesuai dengan hasil kultur dan tes resistensi, selain itu pada kasus
osteomyelitis kronik dini biasanya involucrum belum cukup kuat untuk menggantikan
tulang asli yang menjadi sekuester (de Jong, 2004), oleh Karena itu, ekstremitas yang
terkena sebaiknya dilindungi dengan gips untuk mencegah terjadinya fraktur patologik.
Deformitas maupun angulasi yang terjadi pada kaki pasien dapat disebabkan oleh proses
penyembuhan tulang yang salah yang dilakukan oleh dukun. Selain itu juga deformitas
dapat juga disebabkan oleh komplikasi yang disebabkan oleh fraktur tulang terbuka yang
salah satunya adalah osteomyelitis. Hal ini akan sangat berbeda jika pasien langsung
mengobati fraktur/patah tulang yang dialaminya dua tahun lalu ke dokter/rumah sakit.
Mengenai masalah kartu asuransi kesehatan milik pasien yang tidak bisa digunakan,
penulis sejauh ini belum mengerti alasannya, karena keterangan mengenai hal itu kurang
dijelaskan di dalam skenario, apakah memang kartu asuransinya telah kadaluarsa, apakah
telah dicabut izinnya oleh pihak yang bersangkutan ataukah pihak rumah sakit yang tidak
mau menerimanya. Akan tetapi yang jelas, seharusnya pihak rumah sakit bisa lebih
memahami keadaan pasien dan mempermudah jalur birokrasinya.
Seorang anak perempuan 5 tahun datang dengan keluhan benjolan pada sendi kaki kanan yang
disertai dengan nyeri, demam, dan kaki tidak dapat digerakkan. Keluhan muncul sejak sembilan
bulan yang lalu. Anak pertama kali dibawa ke RS HI dan dilakukan pemeriksaan rontgen dada,
tulang vertebra, dan sendi. Dari hasil pemeriksaan tersebut disimpulkan anak menderita
tuberkulosis (TB) paru dan mendapat pengobatan tuberkulosis.
Empat bulan setelah pengobatan tuberkulosis, keluhan masih ada sehingga anak dibawa ke
RS Sardjito Yogyakarta. Di RS Sardjito dilakukan pemeriksaan aspirasi dari cairan sendi namun
tidak ditemukan infeksi bakteri atau bakteri tahan asam, serta tidak ditemukannya sel ganas.
Berdasarkan hasil tersebut maka anak didiagnosis sebagai JIA
(juvenile idiopathic arthritis) dan mendapatkan terapi ibuprofen serta meneruskan pengobatan
tuberkulosis. Setelah menyelesaikan pengobatan tuberkulosis dan pengobatan JIA dua bulan,
keluhan bengkak dan nyeri pada sendi masih menetap sehingga anak datang kembali ke RS
Sardjito.
Dari pemeriksaan klinis, kami jumpai anak dengan status gizi kurang, pembengkakan pada
sendi kaki kanan yang secara palpasi disertai panas, kemerahan, nyeri, dan keterbatasan gerak
(Gambar 1). Skor TB = 3 dan dijumpai limfadenopati, masa abdomen, paraparesis inferior
flaksid, dan retensi urin tanpa adanya pembesaran hepar atau lien tetapi tidak ditemukan uveitis
pada mata. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan anemia hipokrom mikrositer dan
leukositosis dari Gambaran apusan darah tepi menunjukkan anemia hipokrom mikrositer dengan
gambaran infeksi. Gambaran radiologis didapatkan pelebaran sendi dan penebalan jaringan lunak
yang menunjukkan proses infeksi kronis, mengarah kepada osteomielitis TB (Gambar 2).
Gambaran radiologis dada dijumpai perbaikan TB paru (Gambar 3), tulang vertebra dijumpai
kompresi pada vertebral torakal 11 dan abses paravertebral pada vertebral torakal 9 – 12
(Gambar 4).Hasil gambaran patologi anatomi apirasi cairan sendi kaki dijumpai sel malignansi
yang mengarah pada Ewing sarcoma (Gambar 5). Dari gambaran aspirasi sumsum tulang
dijumpai sel metastase (Gambar 6). Dari hasil CT scan abdomen dijumpai urinoma akibat adanya
retensio urin kronik pada anak (Gambar 7).
Berdasarkan hasil patologi anatomi di tegakkan diagnosis Ewing sarcoma dan direncanakan
menjalani kemoterapi.