Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tonsil merupakan salah satu pertahanan tubuh terdepan. Antigen yang
berasal dari inhalan maupun ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil
hingga terjadi perlawanan tubuh dan bisa menyebabkan peradangan oleh virus
yang tumbuh di membran mukosa kemudian terbentuk fokus infeksi. Keadaan ini
akan semakin berat jika daya tahan tubuh penderita menurun akibat peradangan
virus sebelumnya. Tonsilitis akut yang disebabkan oleh bakteri disebut
peradangan lokal primer. Setelah terjadi serangan tonsilitis akut, tonsil akan
sembuh atau bahkan tidak dapat kembali sehat seperti semula. Penyembuhan yang
tidak sempurna akan menyebabkan peradangan ringan pada tonsil. Peradangan
dapat menyebabkan keluhan tidak nyaman kepada penderita berupa rasa nyeri saat
menelan karena sesuatu yang ditelan menyentuh daerah yang mengalami
peradangan.

Peradangan tonsil akan mengakibatkan pembesaran yang menyebabkan


kesulitan menelan atau seperti ada yang mengganjal di tenggorok. Pada anak
biasanya keadaan ini juga dapat mengakibatkan keluhan berupa ngorok saat tidur
karena pengaruh besarnya tonsil mengganggu pernafasan bahkan keluhan sesak
nafas juga dapat terjadi apabila pembesaran tonsil telah menutup jalur pernafasan.
Jika peradangan telah ditanggulangi, kemungkin tonsil kembali pulih seperti
semula atau bahkan tidak dapat kembali sehat seperti semula. Apabila tidak terjadi
penyembuhan yang sempurna pada tonsil, dapat terjadi infeksi berulang. Apabila
keadaan ini menetap, bakteri patogen akan bersarang di dalam tonsil dan terjadi
peradangan yang kronis atau yang disebut dengan tonsilitis kronis.

Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada


tenggorokan. Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan pada tonsil oleh karena
kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis
akut.Proses ini biasanya diikuti dengan pengobatan dan serangan yang berulang

1
setiap enam minggu hingga 3-4 bulan. Ketidaktepatan dalam pemberian terapi
antibiotik pada penderita tonsilitisakut akan merubah mikroflora pada tonsil,
merubah struktur pada kriptatonsildan dapat menjadi faktor predisposisi bahkan
faktorpenyebab terjadinya tonsilitis kronis. (Soepardi, 2007)

Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang


menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.
Bakteri penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang bakteri dapat
berubah menjadi bakteri golongan Gram Negatif. (Soepardi, 2007)
Proses penyakit sangat bervariasi dari tonsilitis akut dengan gejala yang
kambuh hingga gambaran klinis yang sepenuhnya tidak jelas. Detritus yang
menumpuk tidak jarang disertai dengan gangguan pengecapan di mulut, dan pada
sebagian kasus terdapat gangguan menelan. Pada pemeriksaan tampak tonsil
membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti
terisi oleh detritus. Bila tonsila palatina ditekan, detritus atau nanah akan
menyembur keluar. Kelenjar limfe angulus mandibularis biasanya membengkak.
(Gurkov, 2012)
Operasi pengambilan tonsil disebut tonsilektomi. Tonsilektomi merupakan
satu dari prosedur pembedahan tertua yang masih dilakukan sampai sekarang.
Pada tahun 1867, Wise menyatakan bahwa orang indian Asiatik terampil dalam
tonsilektomi sejak tahun 1000 SM. Namun frekuensi prosedur pembedahan
menurun secara drastis sejak munculnya antibiotik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Rongga Mulut dan Faring


Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut
terletak di depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar
lidah. Nasofaring meluas dari dasar tengkorak sampai batas palatum mole.
Orofaring meluas dari batas palatum mole sampai batas epiglotis, sedangkan di
bawah garis batas ini adalah laringofaring atau hipofaring. (Adam Boies. 1997)

1. Rongga Mulut

Gambar 1 : Anatomi Rongga Mulut

3
Rongga mulut merupakan sebuah bagian tubuh yang terdiri dari : lidah
bagian oral (dua pertiga bagian anterior dari lidah), palatum durum (palatum
keras), dasar dari mulut, trigonum retromolar, bibir, mukosa bukal, ‘alveolar
ridge’, dan gingiva. Tulang mandibula dan maksila adalah bagian tulang yang
membatasi rongga mulut. Rongga mulut yang disebut juga rongga bukal, dibentuk
secara anatomis oleh pipi, palatum keras, palatum lunak, dan lidah. Pipi
membentuk dinding bagian lateral masing-masing sisi dari rongga mulut. Pada
bagian eksternal dari pipi, pipi dilapisi oleh kulit. Sedangkan pada bagian
internalnya, pipi dilapisi oleh membran mukosa, yang terdiri dari epitel pipih
berlapis yang tidak terkeratinasi. Otot-otot businator (otot yang menyusun dinding
pipi) dan jaringan ikat tersusun diantara kulit dan membran mukosa dari pipi.
Bagian anterior dari pipi berakhir pada bagian bibir. Bibir atau disebut juga labia,
adalah lekukan jaringan lunak yang mengelilingi bagian yang terbuka dari mulut.
Bibir terdiri dari otot orbikularis oris dan dilapisi oleh kulit pada bagian eksternal
dan membran mukosa pada bagian internal.
Secara anatomi, bibir dibagi menjadi dua bagian yaitu bibir bagian atas
dan bibir bagian bawah. Bibir bagian atas terbentang dari dasar dari hidung pada
bagian superior sampai ke lipatan nasolabial pada bagian lateral dan batas bebas
dari sisi vermilion pada bagian inferior. Bibir bagian bawah terbentang dari
bagian atas sisi vermilion sampai ke bagian komisura pada bagian lateral dan ke
bagian mandibula pada bagian inferior. Kedua bagian bibir tersebut, secara
histologi, tersusun dari epidermis, jaringan subkutan, serat otot orbikularis oris,
dan membran mukosa yang tersusun dari bagian superfisial sampai ke bagian
paling dalam. Bagian vermilion merupakan bagian yang tersusun atas epitel pipih
yang tidak terkeratinasi. Epitel-epitel pada bagian ini melapisi banyak pembuluh
kapiler sehingga memberikan warna yang khas pada bagian tersebut. Selain itu,
gambaran histologi juga menunjukkan terdapatnya banyak kelenjar liur minor.
Folikel rambut dan kelejar sebasea juga terdapat pada bagian kulit pada bibir,
namun struktur tersebut tidak ditemukan pada bagian vermilion. Permukaan bibir
bagian dalam dari bibir atas maupun bawah berlekatan dengan gusi pada masing-
masing bagian bibir oleh sebuah lipatan yang berada dibagian tengah dari

4
membran mukosa yang disebut frenulum labial. Saat melakukan proses
mengunyah, kontraksi dari otot-otot businator di pipi dan otot-otot orbukularis
oris di bibir akan membantu untuk memosisikan agar makanan berada diantara
gigi bagian atas dan gigi bagian bawah. Otot-otot tersebut juga memiliki fungsi
untuk membantu proses berbicara.
Palatum merupakan sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara
rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga
mulut. Struktur palatum sangat penting untuk dapat melakukan proses mengunyah
dan bernafas pada saat yang sama. Palatum secara anatomis dibagi menjadi dua
bagian yaitu palatum durum (palatum keras) dan palatum mole (palatum lunak).
Palatum durum terletak di bagian anterior dari atap rongga mulut. Palatum durum
merupakan sekat yang terbentuk dari tulang yang memisahkan antara rongga
mulut dan rongga hidung. Palatum durum dibentuk oleh tulang maksila dan tulang
palatin yang dilapisi oleh membran mukosa. Bagian posterior dari atap rongga
mulut dibentuk oleh palatum mole. Palatum mole merupakan sekat berbentuk
lengkungan yang membatasi antara bagian orofaring dan nasofaring. Palatum
mole terbentuk dari jaringan otot yang sama halnya dengan paltum durum, juga
dilapisi oleh membran mukosa.
Lidah merupakan salah satu organ aksesoris dalam sistem pencernaan.
Lidah tersusun dari otot lurik yang dilapisi oleh membran mukosa. Lidah beserta
otot-otot yang berhubungan dengan lidah merupakan bagian yang menyusun dasar
dari rongga mulut. Lidah dibagi menjadi dua bagian yang lateral simetris oleh
septum median yang berada disepanjang lidah. Lidah menempel pada tulang
hyoid pada bagian inferior, prosesuss tyloid dari tulang temporal dan mandibula.
(Adam Boies. 1997)
Perdarahan dan aliran Limfe
Bibir diperdarahi oleh A. Facialis dan lidah oleh A. Lingualis. Kedua
pembuluh darah tersebut menerima aliran darah dari A. Carotis externa, seperti
halnya dengan A. Palatina, A. Pharyngeal dan A. Maxillaris. Darah vena mengalir
melalui vena penyerta terkait (terutama V. Facialis) menuju V. Jugularis Interna.
Cairan limfe di area mulut mengalir melalui nodus limfe submental dan

5
submandibular, baik secara ipsilateral maupun kontralateral ke kelenjar limfe
leher yang lebih dalam. (Adam Boies. 1997)
Persarafan
Lidah menerima persarafan motorik dari N. Hypoglossus. Persarafan
sensorik bagian anteriornya dilakukan oleh N.Lingualis (dari cabang ketiga saraf
kranial N.V), dan di area belakang oleh N. Vagus dan N. Glossopharyngeus.
Serabut sensasi kecap di dua pertiga bagian depan lidah melalui chorda tympani
(dari saraf kranial N. VII), sedangkan serabut untuk sepertiga bagian belakang
berjalan bersama dengan N. Glossopharyngeus. Palatum molle terangkat dengan
bantuan persarafan N. Vagus dan N.Glossopharyngeus (M.Levator veli palatini)
dan teregang dengan persarafan N. Trigeminus (M. Tensor veli palatini). (Adam
Boies. 1997)

2. Faring
Faring berbentuk seperti corong, dengan bagian atasnya yang lebar,
terletak di bawah cranium dan bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagai
esofagus setinggi vertebra cervicalis ke VI dan dibagi menjadi bagian-bagian
nasofaring, orofaring dan laringofaring. Faring mempunyai dinding musculo
membranosa yang tidak sempurna dibagian depan. Di tempat ini, jaringan
musculo membranosa diganti oleh apertura nasalis posterior (choanae), isthmus
faucium (pembukaan ke rongga mulut), dan auditus laryngis. Melalui tuba
auditiva, membrana mucosa juga berhubungan dengan membrana mucosa dari
cavitas tympani. (Soepardi. 2014, Adam Boies. 1997, Abla Ghanie, 2007)
Faring terdiri atas:
a. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, dibagian bawah
adalah palatum mole, kedepan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang
adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta
berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan
limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa
Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional

6
hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan
kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n.
glosofaring, n. Vagus dan n. Asesorius spinal saraf cranial dan v. Jugularis
interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba
Eustachius.
b. Orofaring
Orofaring disebut juga nasofaring dengan batas atasnya adalah palatum
mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis, kedepan adalah rongga mulut,
sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat di rongga
orofaringa dalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus
faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.
c. Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas
anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah
vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak dibawah lidah ialah valekula.
Bagian ini merupakan dua cekungan yang dibentuk oleh ligamentum
glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi.
Valekula disebut juga “kantong pil” sebab pada beberapa orang, kadang-kadang
bila menelan pil akan tersangkut di bagian itu.

Gambar 2 : Anatomi Rongga Faring

7
Perdarahan dan Aliran Limfe
Suplai darah arteri juga diberikan oleh cabang A.Carotis externa di tempat ini.
Arteri yang terutama penting secara klinis adalah A.Pharyngea ascendens karena
mendarahi tonsila palatina dan dapat menimbulkan perdarahan hebat saat
tonsilektomi. Aliran vena akhirnya bermuara ke dalam V.Jugularis interna. Cairan
limfe dari nasofaring dan dinding belakang faring mengalir melalui kelenjar limfe
pravertebral menuju kelenjar limfe leher. Meskipun tonsil tidak memiliki kelenjar
limfe angulus mandibularis ke dalam kelenjar limfe leher yang lebih dalam.
Hipofaring akhirnya bermuara secara langsung ke tempat tersebut. (Soepardi.
2014, Adam Boies. 1997, Abla Ghanie, 2007)

Gambar 3 : Perdarahan Faring dan Tonsil

Persarafan
Faring menerima persarafan motorik melalui plexus pharyngeus dengan
bagian N.Vagus dan N.Glossofaringeus. Nasofaring menerima persarafan sensorik
terutama melalui N.Trigeminus, orofaring melalui N. Glossofaringeus dan
hipofaring melalui N.Vagus. (Soepardi. 2014, Adam Boies. 1997, Abla Ghanie,
2007)

8
2.2 Tonsil
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori.
Cincin weldayer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring
yang terdiri dari jaringan limfoid dari dasar lidah, dua tonsil terletak adenoid, dan
jaringan limfoid pada dinding posterior. Jaringan ini berperan sebagai pertahanan
terhadap infeksi, tetapi ia dapat menjadi tempat infeksi akut atau kronis. (Boies,
1997. John, 2012. Herawati, 2000)

Gambar 4 : Anatomi Tonsil

Tonsil terdiri dari:


a. Tonsil lingual
Tonsil lingual terletak didasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, disebelah anterior massa ini terdapat
foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.
(Boies, 1997. John, 2001)
b. Tonsil palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak didalam
fossa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (M.

9
Palatoglosus) dan pilar posterior (M. Palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.
Dibatasi oleh:
 Lateral : Muskulus konstriktor faring superior
 Anterior : M. Palatoglosus
 Posterior : M. Palatofaringeus
 Superior : Palatum mole
 Inferior : Tonsil lingual
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga
melapisi kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak dibawah jaringan ikat dan
tersebar sepanjang kriptus. Limfanoduli terbenam didalam stroma jaringan ikat
retikular dan jaringan limfatik difus. Limfanoduli merupakan bagian penting
mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur
pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan
pusat germinal. (Boies, 1997. John, 2001)

c. Tonsil Faringealis (Adenoid)


Adenoid merupakan massa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut
tersusun seperti suatu segmen terpisah dari sebuah celah atau kantong
diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah dibagian
tengah, dikenal sebagaai busa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus.
Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring
terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke
fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada
masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal
antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi. (Boies, 1997. John,
2001)

10
Fisiologi Tonsil
Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruh tubuh
dengan cara menahan kuman memasuki tubuh melalui mulut, hidung, dan
kerongkongan, oleh karena itu tidak jarang tonsil mengalami peradangan.
Peradangan pada tonsil disebut dengan tonsilitis, penyakit ini merupakan salah
satu gangguan Telinga, Hidung dan Tenggorokan (THT). Sistem imunitas ada 2
macam yaitu imunitas seluler dan humoral. Imunitas seluler bekerja dengan
membuat sel (limfoid T) yang dapat “memakan” kuman dan virus serta
membunuhnya. Sedangkan imunitas humoral bekerja karena adanya sel (limoid
B) yang dapat menghasilkan zat imunoglobulin yang dapat membunuh kuman dan
virus. Kuman yang dimakan oleh imunitas seluler tonsil dan adenoid terkadang
tidak mati dan tetap bersarang disana serta menyebabkan infeksi amandel yang
kronis dan berulang (tonsilitis kronis). Infeksi yang berulang ini akan
menyebabkan tonsil dan adenoid bekerja terus dengan memproduksi sel-sel imun
yang banyak sehingga ukuran tonsil dan adenoid akan membesar dengan cepat
melebihi ukuran normal.(Boies, 1997)
Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah
otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau
dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan
dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX
yaitu nervus glosofaringeal. (Boies, 1997)
Vaskularisasi
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,
yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri
tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan
cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri
lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior
diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina
asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub
atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina

11
desenden.Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan
pleksus dari faring.Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena
lidah dan pleksus faringeal.(Boies, 1997)
Inervasi
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut nervus e V (nervus
trigeminus) melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari nervus
glosofaringeus (nervus IX).(Boies, 1997)
Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.
Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan
limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang.
Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM,
IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di
jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4
area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel
limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid. Tonsil merupakan organ limfatik
sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah
disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan
mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi
antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. (Boies, 1997)

2.3 Tonsilitis
2.3.1 Definisi Tonsilitis
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin waldeyer. Cincin waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat
didalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina, tonsil
lingual, tonsil tuba Eustachius. (Soepardi, 2014).
Penyebaran infeksi dapat melalui udara ( air borne droplets), tangan, dan
ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak-anak usia sekolah
6-15 tahun yang berkontak dengan anak lain yang menderita tonsillitis akibat
bakteri atau virus.

12
Gambar 5: Tonsilitis

2.3.2 Macam-macam Tonsilitis


1. Tonsilitis Akut
a. Tonsilitis Viral
Tonsilitis dimana gejalanya lebih menyerupai commond cold yang disertai
rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr.
Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi
infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-
luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien (Soepardi,
2014).

Gambar 6: Tonsilitis Akut

13
b. Tonsilitis Bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman group A Streptokokus, B
hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat, pneumokokus, streptokokus
viridan, streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil
akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear
sehingga terbentuk detritus. Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas
disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu,
membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. (Soepardi, 2014)

Gambar 7 : Jenis Tonsilitis

2. Tonsilitis Membranosa
a. Tonsilitis Difteri
Tonsilitis difteri merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne
bakterium diphteriae. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak berusia
kurang dari 10 tahunan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun.
b. Tonsilitis Septik
Tonsilitis yang disebakan karena streptokokus beta hemolitikus yang
terdapat dalam susu sapi sehingga menimbulkan epidemi. Oleh karena di
Indonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara pasteurisasi sebelum diminum
maka penyakit ini jarang ditemukan.

14
3. Tonsilitis Kronik
Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat
infeksi akut atau subklinis yang berulang. Ukuran tonsil membesar akibat
hiperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripta tonsil,
namun dapat juga ditemukan tonsil yang relatif kecil akibat pembentukan sikatrik
yang kronik. Durasi maupun beratnya keluhan nyeri tenggorok sulit dijelaskan.
Biasanya nyeri tenggorok dan nyeri menelan dirasakan lebih dari 4 minggu dan
kadang dapat menetap. (Boies, 1997. Onerci, 2009)

2.4 Tonsilitis Kronik


2.4.1 Definisi Tonsilitis Kronik
Tonsilitis kronik adalah peradangan tonsil yang melebihi tiga bulan.
Faktor penyebab dapat berupa peradangan lambat setelah tonsilitis akut dan
perdangan detritus yang terkontaminasi mikroorganisme. (Adam Boies. 1997)

2.4.2 Etiologi Tonsilitis Kronik


Penyebab tonsilitis adalah infeksi kuman Streptococcus beta hemolyticus,
Streptococcus viridans, dan Streptococcus pyogenes. Dapat juga disebabkan oleh
infeksi virus. (Soepardi, 2014)

2.4.3 Patofisiologi Tonsilitis Kronik


Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Amandel
atau tonsil berperan sebagai filter, menyelimuti organisme yang berbahaya
tersebut. Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi
yang akan datang akan tetapi kadang-kadang amandel sudah kelelahan menahan
infeksi atau virus.
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan
limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus
tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan
kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsilitis akut dengan

15
detritus disebut tonsilitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu
maka terjadi tonsilitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit
tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit
tenggorokannya sehingga berhenti makan. Tonsilitis dapat menyebabkan
kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah bening melemah didalam
daerah submandibular, sakit pada sendi otot, kedinginan, seluruh tubuh sakit, sakit
kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang berlebihan membuat pasien
mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan terasa mengental. Hal-hal
yang tidak menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam.
Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu,
sedangkan pada tonsilitis kronik terjadi karena proses radang berlangsung maka
epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan,
jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga
ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini
meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan
jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran
kelenjar limfe submandibula. (Soepardi, 2014, Junadi, 1982)

2.4.4 Gejala dan Tanda Klinis


1. Perasaan mengganjal di tenggorokan
2. Gangguan menelan
3. Mulut berbau busuk (foetor ex ore)
4. Demam subfebris
5. Badan lesu
6. Nafsu makan berkurang
Proses penyakit sangat bervariasi dari tonsilitis akut dengan gejala yang
kambuh hingga gambaran klinis yang sepenuhnya tidak jelas. Detritus yang
menumpuk tidak jarang disertai dengan foetor ex ore dan gangguan pengecapan di
mulut, dan pada sebagian kasus terdapat gangguan menelan.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak
rata, kriptus melebar, dan beberapa kripti terisi detritus. Bila tonsila palatina

16
ditekan, detritus atau nanah akan menyebur keluar. Kelenjar limfe angulus
mandibularis biasanya membengkak. (Soepardi, 2014. Boeis 1997, Herawati,
2002. Rahajoe, 2010. Junadi, 1982)

Gambar 8: Tonsilitis Kronik

2.4.5 Diagnosis Tonsilitis Kronis


Diagnosis untuk tonsilitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan
anamnesis secara tepat dan cermat serta pemeriksaan fisik yang dilakukan secara
menyeluruh untuk menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan
yang dapat membingungkan diagnosis.
Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsilitis
berulang berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang
mengganjal ditenggorok, ada rasa kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada
tenggorok, dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas, yang paling sering
disebabkan oleh adenoid yang hipertrofi. Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan
seperti demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat ditemukan adanya
pembesaran kelenjar limfa submandibular. (Soepardi, 2007. Behrman, 2007.
Poorwo, 2002)
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak
rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Pada umumnya

17
terdapat organisme yang virulensinya relative rendah dan pada kenyataanya jarang
menunjukkan streptokokus beta haemolitikus. (Boies, 1997. Poorwo, 2002)

2.4.6 Pemeriksaan Tonsil


Mulut dibuka lebar-lebar, lidah tarik kedalam, dilunakkan, lidah ditekan ke
bawah, di bagian medial.
Penderita disuruh bernapas:
- Tidak boleh menahan napas
- Tidak boleh napas keras-keras
- Tidak boleh ekspirasi atau mengucap
Lidah ditekan anterior tonsil, hingga kelihatan pada bawah tonsil

Gambar 9 : Cara Pemeriksaan Tonsil

a. Memeriksa besar tonsil


Penentuan besar tonsil:
T0: tonsil telah diangkat
T1: tonsil dalam fosa tonsilaris
T2: tonsil melewati arcus posterior hingga mencapai linea paramedia

18
T3: tonsil melewati linea paramedia hingga mencapai linea mediana
(pertengahan uvula)
T4: tonsil melewati linea mediana

Gambar 10 : Pembesaran Tonsil

b. Memeriksa mobilitas tonsil


Digunakan 2 spatula
Spatula 1 : letakkan diatas lidah anterior tonsil (paramedia)
Spatula 2 : posisi ujugnya vertikal menekan jaringan peritonsil,
sedikit lateral dari arkus anterior.

c. Memeriksa patologi tonsil dan palatum mole


Perhatikan patologinya:
- Tonsilitis akut : semua merah, titik putih pada tonsil
- Tonsilitis kronik : arkus anterior merah
- Aftae : nyeri penekanan

19
- Abses peritonsil : isthmus faucium kecil, tonsil terdesak ke medial,
sekitar tonsil oedem dan hiperemis, uvula terdesak
heterolateral, oedem
- Difteri : pseudomembran warna kotor, bila diangkat mudah
berdarah, bull neck
- Tumor : tonsil keras, terfiksasi
- Korpus alienum : duri, tulang

2.4.7 Pemeriksaan Penunjang

1. Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi
kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan
mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian
antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat. Gold standar pemeriksaan
tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan penelitian kurien di India
terhadap 40 penderita tonsilitis kronik yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan
kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk
menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri tonsilitis kronis tidak
dapat dipercaya dan juga valid. Kuman terbanyak yang ditemukan yaitu
streptokokus beta hemoliticus diikuti stafilokokus aureus. (Jacob, 2001)

2. Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kuthluhan tahun 2008 di Turkey
terhadap 480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa tonsilitis kronis
dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria
histopatologi yaitu ditemukan ringan-sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s
abses dan ilfiltrat limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut ditambahkan
temuan histopatologi lainnya dengan jelas menegakkan diagnosa tonsilitis kronis.
(Jacob, 2001).

20
2.4.8 Diagnosa Banding
1. Faringitis
Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh virus,
bakteri, alergi, trauma, dan toksin. Infeksi bakteri dapat menyebabkan kerusakan
jaringan yang hebat karena bakteri ini melepaskan toksin ekstraseluler yang dapat
menimbulkan demam reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonefritis akut
karena fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen
antibodi. Gejala klinis secara umum pada faringitis berupa demam, nyeri
tenggorok, sulit menelan, dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan tampak tonsil
membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya.
Beberapa hari kemudian timbul bercak petekie pada palatum dan faring. Kelenjar
limfe anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.
2. Difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang
yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer
antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap
cukup memberikan dasar imunitas. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak
berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 5 tahun.Gejala
klinik terbagi dalam tiga golongan, yaitu umum, lokal, dan gejala akibat
eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lainnya, yaitu kenaikan suhu
tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi
lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil
membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan
bersatu membentuk membrane semu (pseudomembran) yang melekat erat pada
dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah.
Jika infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan membengkak
sedemikian besarnya sehingga lehernya menyerupai leher sapi (Bull neck). Gejala
akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, yaitu pada
jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cardio, pada saraf kranial
dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada
ginjal menimbulkan albuminuria.

21
3. Hipertrofi Adenoid
Adenoid adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang terletak pada
dinding posterior nasofaring, termasuk dalam rangkaian cincin Waldeyer. Secara
fisiologis, adenoid ini membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian akan
mengecil dan hilang sama sekali pada usia 14 tahun. Bila sering terjadi infeksi
saluran napas bagian atas maka dapat terjadi hipertrofi adenoid. Akibat dari
hipertrofi ini akan timbul sumbatan choana dan tuba Eustachius. Akibat sumbatan
di choana, pasien akan bernapas melalui mulut. Akibat sumbatan tuba
Eustachiusakan terjadi otitis media akut berulang, otitis media kronik, dan
akhirnya dapat terjadi otitis media supuratif kronik.
Diagnosa ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinik, pemeriksaan
rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya gerakan velum palatum molle pada
waktu fonasi, pemeriksaan rinoskopi posterior. Pemeriksaan digital untuk meraba
adanya adenoid dan pemeriksaan radiologi dengan membuat foto lateral kepala
(lebih sering dilakukan pada anak). Terapi pada hipertrofi adenoid dilakukan
terapi bedah adenoidektomi dengan cara kuretase memakai adenotom.
4. Tumor Tonsil
Neoplasma bukanlah penyebab dari tonsilitis akut maupun kronik, tetapi
seringkali menjadi penanda akan adanya etiologi infeksi. Pasien yang mendapat
penanganan faringitis infeksi yang tidak membaik, perlu dilakukan pemeriksaan
untuk mendeteksi adanya neoplasma. Gejala umum dari tumor tonsil, antara lain
nyeri tonsil unilateral, disfagia, odinofagia, penurunan berat bedan, dan otalgia.
Pada pemeriksaan fisik, massa faring yang asimetris adalah karakteristik
penemuan yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Massa tersebut bisa
ulseratif, ditutupi oleh mukosa atau fungi dan hanya dapat dideteksi dengan
palpasi. Adenopati servikal muncul pada penyakit lanjut yang telah bermetastasis
pada limfonodus lokoregional. Faktor risiko meliputi penggunaan tembakau dan
alkohol. Human papilloma virus juga menjadi etiologinya pada sebagian kecil
kasus. Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri
tenggorok dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan
serologi, hapusan jaringan atau kultur X-ray, dan biopsi.

22
2.4.9 Penanganan Tonsilitis Kronik

Terdiri dari terapi konservatif dengan medikamentosa dan operative


dengan tonsilektomi.

a. Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada higiene mulut dengan cara berkumur atau obat
hisap, pemberian antibiotik, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau
oral. Pemberian antibiotika sesuai kultur.pemberian antibiotika yang bermanfaat
pada penderitatonsilitis kronik Cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin
(terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam
klavulanat. Salsabila, 2018)

b. Operatif
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil
(tonsilektomi). Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal.
Pada penelitian Khasanov et al mengenai prevalensi dan pencegahan keluarga
dengan Tonsilitis Kronis didapatkan data bahwa sebanyak 84 ibu-ibu usia
reproduktif yang dengan diagnosa Tonsilitis Kronik, sebanyak 36 dari penderita
mendapatkan penatalaksanaan tonsilektomi.
Penelitian yang dilakukan di Skotlandia dengan menggunakan kuisioner
terhadap 15.788 penduduk mendapatkan data sebanyak 4.646 diantaranya
memiliki gejala tonsilitis, dari jumlah itu sebanyak 1.782 (38,4%) penderita
mendapat penanganan dari dokter umum dan 98 (2,1%) penderita dirujuk ke
rumah sakit. (Salsabila, 2018)

2.4.10 Pencegahan
Bakteri dan virus penyebab Tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari
satu penderita ke orang lain. Tidaklah jarang terjadi seluruh keluarga atau
beberapa anak pada kelas yang sama datang dengan keluhan yang sama,
khususnya bila Streptokokus pyogenase adalah penyebabnya. Risiko penularan
dapat diturunkan dengan mencegah terpapar dari penderíta Tonsilitis atau yang

23
memiliki keluhan sakit menelan. Gelas minuman dan perkakas rumah tangga
untuk makan tidak dipakai bersama dan sebaiknya dicuci dengan menggunakan
air panas yang bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat gigi yang telah lama
sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi berulang. Orang-orang yang
merupakan karier Tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk
mencegah penyebaran infeksi pada orang lain. (Onerci, 2009, Salsabila, 2018)

2.5 TONSILEKTOMI
Operasi pengambilan tonsil disebut tonsilektomi. Tonsilektomi merupakan
satu dari prosedur pembedahan tertua yang masih dilakukan sampai sekarang.
Pada tahun 1867, Wise menyatakan bahwa orang Indian Asiatik terampil dalam
tonsilektomi sejak tahun 1000 SM. Namun, frekuensi prosedur pembedahan
menurun secara drastis sejak munculnya antibiotik. Selain itu, pengertian yang
lebih baik dari indikasi-indikasi untuk prosedur pembedahan ini telah menurunkan
frekuensinya. (Adam Boeis, 1997)

2.5.1 Indikasi Tonsilektomi


1. Indikasi Absolut
a. Infeksi tenggorokan berulang
Infeksi berulang didefiniskaan sebagai:
- 7 episode dalam 1 tahun terakhir, atau
- 5 episode tiap tahun dalam 2 tahun berturut-turut, atau
- 3 episode tiap tahun dalam 3 tahun berturut-turut
- 2 minggu atau lebih tidak masuk sekolah atau bekerja dalam 1
tahun
b. Abses peritonsilar
Pada anak-anak, dilakukan tonsilektomi 4-6minggu setelah abses telah
diobati. Pada orang dewasa, serangan abses peritonsilar merupakan
indikasi mutlak dilakukan tonsilektomi
c. Tonsilitis yang bisa menyebabkan terjadinya kejang demam
d. Hipertrofi tonsila palatina, yang bisa menyebabkan:

24
- Onstruksi jalan napas
- Kesulitan dalam pengucapan
- Kesulitan dalam berbicara
e. Kecurigaan terhadap keganasan
Tonsila palatina yang membesar secara unilateral, bisa berupa limfoma
pada anak-anak dan karsinoma epidermoid pada orang dewasa. Tindakan
biopsi eksisi dilakukan jika dicurigai ada keganasan
2. Indikasi Relatif
a. Tonsilitis pada karier difteri yang tidak respon dengan antibiotik
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik b-laktamase resisten.

2.5.2 Kontraindikasi Tonsilektomi


Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun
bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang “manfaat dan resiko”. Keadaan tersebut adalah:
a. Hemoglobin dibawah 10
b. Infeksi pernapasan bagian atas yang berulang
c. Anak usia <3 tahun
d. Langit mulut tidak terbentuk
e. Kelaianan darah misalnya leukemia, purpura, anemia aplastik atau
hemofilia
f. Penyakit sistemik yang tidak terkontrol, misalnya pada diabetes,
penyakit jantung, hipertensi atau asma. (Poorwo, 2002)

2.5.3 Posisi Tonsilektomi


Posisi Rose, yaitu pasien berbaring terlentang dengan kepala terangkat
dengan meletakkan bantal di bawah bahu. Cincin karet ditempatkan di bawah
kepala untuk menstabilkannya. (Poorwo, 2002)

25
2.5.4 Teknik Tonsilektomi
Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah pada abad 1
Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan jari tangan. Ada dua cara yaitu:
1. Cara Tradisional
a. Teknik Guillotine
Tonsilektomi cara ini dikerjakan secara luas sejak akhir abad ke 19, dan
dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk mengangkat tonsil. Namun
tidak ada literatur yang menyebutkan kapan tepatnya metode ini mulai dikerjakan.
Teknik guillotine dan berbagai modifikasinya merupakan pengembangan dari
sebuah alat yang dinamakan uvulotoe yaitu alat yang dirancang untuk memotong
uvula yang edematosa atau elongasi.

Gambar 11 : Alat Sluder

26
Gambar 12 : Teknik Guillotine

Gambar 13 : Teknik Guillotine

Teknik :
1. Posisi pasien telentang anestesi umum. Operator disisi kanan berhadapan
dengan pasien
2. Setelah relaksasi sempurna otot faring dan mulut, mulut difiksasi dengan
pembuka mulut. Lidah ditekan dengan spatula
3. Untuk tonsil kanan, alat guillotine dimasukkan ke dalam mulut melalui
sudut kiri
4. Ujung alat diletakkan diantara tonsil dan pilar posterior, kemudian kutub
bawah tonsil dimasukkan ke dalam lubang guillotine

27
5. Dengan jari telunjuk tangan kiri pilar anterior ditekan sehingga seluruh
jaringan tonsil masuk ke dalam lubang guillotine
6. Picu alat ditekan, pisau akan menutup lubang hingga tonsil terjepit
7. Setelah diyakini seluruh tonsil masuk dan terjepit dalam lubang guillotine,
dengan bantuaan jari, tonsil dilepaskan dari jaringan sekitarnya dan
diangkat keluar. Perdarahan dirawat.
Keuntungan:
a. Dikenal sebagai cara yang cepat dan praktis
b. Komplikasi anastesi kecil
c. Biaya lebih murah

Kerugian:
a. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat
b. Dapat timbul perdarahan yang hebat

b. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Hanya
sedikit ahli THT yang secara rutin melakukan tonsilektomi dengan teknik Sluder.
Di negara-negara Barat, terutama sejak para pakar bedah mengenal anastesi umum
dengan endotrakeal pada posisi rose yang mempergunakan alat pembuka mulut
Davis, mereka lebih banayak mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara
ini juga banyak digunkan pada pasien anak.
Walaupun telah ada modifikasi teknik dan penemuan peralatan dengan
desain yang lebih baik untuk tonsilektomi, prinsip dasar teknik tonsilektomi tidak
berubah. Teknik operasi meliputi: memegang tonsil, membawanya ke garis
tengah, insisi membran mukosa, mencari kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil
dan mengangkatnya dari fosa dengan manipulasi hati-hati. Lalu dilakukan
hemostasis dengan elektokauter atau ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi pada
daerah tersebut dengan salin.
Bagian penting selama tindakan ini adalah memposisikan pasien dengan
benar dengan mouth gag pada tempatnya. Lampu kepala digunakan oleh ahli

28
bedah dan harus diposisikan serta dicek fungsinya sebelum tindakan dimulai.
Mouth gaga diselipkan dan bilah diposisikan sehingga pipa endotrakeal terfiksasi
aman diantara lidah dan bilah. Mouth gaga paling baik ditempatkan dengan cara
membuka mulut menggunakan jempol dan 2 jari pertama tangan kiri, untuk
mempertahankan pipa endotrakeal tetap di garis tengah lidah. Mouth gag
diselipkan didorong ke inferior dengan hati-hati agar ujung bidah tidak mengenai
palatum superior sampai tonsil karena dapat menyebabkan perdarahan. Saat bilah
telah berada diposisinya dan pipa endotrakeal dan lidah di tengah, wirebail untuk
gigi atas dikaitkan ke gigi dan mouth gag dibuka. Tindakan ini harus dilakukan
dengan visualisasi langsunguntuk menghindarkan kerusakan mukosa orofarigeal
akibat ujung bilah. Setelah mouth gag dibuka dilakukan pemeriksaan secara hati-
hati untuk mengetahui apakah pipa endotrakeal terlindungi adekuat, bibir tidak
terjepit, sebagian besar dasar lidah ditutupi oleh bilah dan kutub superior dan
inferior tonsil terlihat. Kepal di ekstensikan dan mouth gag dielevasikan.

Keuntungan:
a. Perdarahan pasca operasi minimal
b. Dapat mengangkat seluruh jaringan tonsil
Kerugian:
a. Nyeri hebat pasca operasi
b. Durasi operasi lebih lama
c. Nyeri pasca operasi yang signifikan akibat digunakannya elektrokauter
untuk hemostasis
d. Resiko perdarahan intraoperatif tinggi

c. Cara Modern
 Teknik Elektrokauter : Teknik ini lebih cepat tapi panas yang
dihasilkan sangat tinggi mencapai 400-600ºC, sehingga dapat terjadi
kerusakan jaringan yang hebat pasca operasi.

29
 Teknik Microderider; teknik dengan menggunakan alat yang diputar
dan bila terjadi perdarahan langsung disedot. Tetapi kelemahannya
harga alat masih mahal.
 Teknik Radiofrekuensi; teknik operasi dengan menggunakan energi
temperatur rendah (40-70ºC), berbeda dengan teknik elektrokauter
yang menggunakan energi dengan temperatur mencapai 400ºC. Teknik
radiofrekuensi menggunakan gelombang radio pada frekuensi 1,5-4,5
MHz.
 Teknik Thermal Welding; teknik operasi ini merupakan pengembangan
lebih lanjut dari teknik radiofrekuensi dimana penggunaan energi
temperatur rendah hanya disebarkan diujung alat pemotong yang
dilidungi suatu bahan peredam panas, sehingga luas jaringan yang
terpapar panas sangat minimal. Dengan paparan panas yang minimal
ini resiko nyeri pasca operasi lebih minimal, proses pemulihan lebih
cepat.
Hingga saat ini kebanyakan dokter THT khususnya di Indonesia masih
menggunakan cara konvensional untuk prosedur operasi amandel, yaitu dengan
teknik Guillotine dan teknik diseksi. Namun sejak satu dekade terakhir,
diperkenalkan cara baru dengan menggunakan teknologi mutakhir dalam operasi
pengangkatan tonsil, yaitu dengan menggunakan teknik radiofrekuensi dan
teknik thermal welding.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di beberapa negara, disimpulkan
bahwa penggunaan radiofrekuensi dan thermal welding dalam tonsilektomi
memiliki beberapa keuntungan, diantaranya:
- Waktu operasi menjadi lebih singkat
- Jumlah perdarahan saat operasi lebih minimal
- Nyeri pasca operasi lebih ringan
- Kemungkinan perdarahan pasca operasi lebih kecil
- Penyembuhan luka operasi lebih singkat
- Biaya relatif lebih murah dibanding beberapa teknik modern lainnya
- Lebih aman

30
Anestesi umum selalu diberikan sebelum pembedahan, pasien diposisikan
terlentang dengan kepala sedikit direndahkan dan leher dalam keadaan ekstensi
mulut ditahan terbuka dengan suatu penutup dan lidah didorong keluar dari jalan.
Penyedotan harus dapat diperoleh untuk mencegah inflamasi dari darah. Tonsil
diangkat dengan diseksi quillotine. Metode apapun yang digunakan penting untuk
mengangkat tonsil secara lengkap. Perdarahan dikendalikan dengan menginsersi
suatu pak kasa ke dalam ruang post nasal yang harus diangkat setelah
pembedahan. Perdarahan yang berlanjut dapat ditangani dengan mengadakan
ligasi pembuluh darah pada dasar tonsil.

2.5.5 Komplikasi Tonsilektomi


Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anastesi
umum maupunlokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan
gabungan komplikasi tindakan bedah dan anstesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang
menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat perdarahan maupun komplikasi
anastesi dalam 5-7 hari setelah operasi.
a. Komplikasi Anastesi
Komplikasi terkait anastesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani
tonsilektomi. Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.
Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa:
- Laringospasme
- Gelisah pasca operasi
- Mual muntah
- Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
- Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan
henti jantung
- Hipersensitif terhadap obat anastesi.
b. Komplikasi bedah
- Perdarahan
- Nyeri

31
c. Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas,gangguan terhadap suara (1:10.000),
aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis
faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan penumonia. (Hermani, 2004)

2.5.6 Perawatan Post Tonsilektomi


a. Diet
Dalam hal ini terjadi kontroversi mengenai diet. Belum ada bukti ilmiah
yang secara jelas menyatakan bahwa memberikan pasien diet biasa akan
menyebabkan perdarahan postoperatif. Bagaimanapun juga, pemberian cairan
secara rutin saat pasien bangun dan secara bertahap pindah ke makanan lunak
merupakn stanndar di banyak senter. Cairan intravena diteruskan sampai pasien
berada dalam keadaan sadar penuh untuk memulai intake oral. Kebanyakan pasien
bisa memulai diet cair selama 6-8 jam setelah operasi dan bisa dipulangkan.
Untuk pasien yang tidak bisa memenuhi intake oral secara adekuat, muntah
berlebihan atau perdarahan tidak boleh dipulangkan sampai pasien dalam keadaan
stabil. (Citra, 2009. Norhidayah, 2010)
b. Medikamentosa
Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah
study randomized oleh Grandis dkk, menyatakan terdapat hubungan anatara
berkurangnya nyeri dan bau mulut pada pasien yang diberikan antibiotika
postoperasi. Antibiotika yang dipilih haruslah antibiotika yang aktif terhadap flora
rongga mulut, biasanya penisilin yang diberikan per oral. Pasien yang menjalai
tonsilektomi untuk infeksi akut atau abses peritonsil atau memiliki riwayat
faringitis berulang akibat streptokokus harus duterapi dengan antibiotika.
Penggunaan antibiotika profilaksis perioperaatif harus dilakukan secara rutin pada
pasien dengan kelainan jantung.
Pemberian obat anti nyeri berdasarkan keperluan, bagaimanapun juga,
analgesia yang berlebihan bisa menybabkan berkurangnya intake oral karena
letargi. Selain itu juga bisa menyebabkan bertambahnya pembengkakan di faring.
Sebelum operasi, pasien harus dimotivasi untuk minum secepatnya setelah operasi

32
selesai untuk mengurangi keluhan pembengkakan faring dan pada akhirnya rasa
nyeri.
2.5.7 Komplikasi
Faringitis merupakan komplikasi tonsilitis yang paling banyak didapat.
Demam rematik, dan nefritis dapat timbul apabila penyebab tonsilitisnya adalah
kuman Streptococcus. Komplikasi yang lain dapat berupa:
1. Otitis media akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius
(Eustachii) dan dapat mengakibatkan otitis media yang dapat
mengarah pada ruptur spontan gendang telinga.
2. Mastoiditis Akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke
dalam sel-sel mastoid.
3. Abses Perintonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole,
abses ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya
disebabkan oleh Streptococcus group A.
4. Laringitis
Merupakan proses peradangan dari membran mukosa yang
membentuk laring. Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang
disebabkan bisa karena virus, bakteri, lingkungan, maupunkarena
alergi.
5. Sinusitis
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satu atau
lebih dari sinus paranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga atau
ruangan berisi udara dari dinding yang terdiri dari membran mukosa.
6. Rhinitis
Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan
nasopharynx. (Abla, 2007)

33
2.5.8 Prognosa
Perkembangan medis membuat komplikasi yang menyangkut tonsilitis
berupa kematian sangatlah jarang. Tonsilitis dapat sembuh dalam beberapa hari
dengan istirahat dan pengobatan suportif. Penanganan gejala-gejala yang timbul
dapat membuat penderita tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotik diberikan untuk
mengatasi infeksi, antibiotik tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi
penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan
dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi
bahwa penderita mengalami infeksi saluran napas lainnya, infeksi yang sering
terjadi, yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang,
tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius, seperti demam rematik atau
pneumonia.(Onerci, 2009, Salsabila, 2018)

34
BAB III
KESIMPULAN

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari


cincin Waldeyer. Peradangan pada tonsildapat disebabkanoleh infeksi
kumanStreptococcus beta hemolyticus, Streptococcus viridans, dan Streptococcus
pyogenes, dan dapat juga disebabkan oleh infeksi virus.
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.
Penatalaksanaan tonsilitis kronik mencakup medikamentosa dan operatif.
Tonsilitis memiliki prognosis kesembuhan yang baik.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorokan, Keoala dan Leher Ed. 6. EGC: Jakarta.
2. Boies, Adam Higler. 1997. Buku Ajar Penyakit THT BOIES Ed. 6. EGC:
jakarta
3. Gurkov, nagel. 2012. Dasar-dasar Ilmu THT. Ed 6. RGC: Jakarta
4. John, Jacob Ballenger. 2001. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokkan,
Kepala dan Leher. EGC: Jakarta
5. Herawati, Rukmini. 2000. Teknik-teknik Pemeriksaan THT. EGC: Jakarta
6. Farokah. 2012. Infiltrasi Lidokain Peritonsil Pre-Operatif Untuk Mengurangi
Nyeri Pada Pasien Tonsilektomi.
http://eprints.undip.ac.id//45598/2/Bab_1.pdf.
Diakses pada 18 April 2018
7. R. Sjamsuhidayat. De Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta
8. Onerci, T.M. 2009. Diagnosis in Otorhinolaryngology. An Illustrate Guide.
New York: Springer
9. Salsabila. Tonsilitis Kronis.
http://www.scribd.com/mobile/doc/98634082/Tonsilitis-Kronik-Fix. Diakses
pada 18 April 2018
10. Poorwo, Sumarmi S. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI
11. Raharjoe, Sipriyatno. 2010. Buku Ajar Respirologi Anak. Ed 1. IDAI: Jakarta
12. Citra Cesilia. 2009. Tonsilektomi.
http://www.scribd.com/doc/100804842/Refrat-Tht-Fatma-Tonsilektomi.
Diakses pada 18 April 2018
13. Norhidayah. 2010. Inikasi Tonsilektomi Pada Pasien-pasien DI RSUP Haji
Adam Malik Dari bulan Januari 2008 Hingga Bulang Juni 2010.
http//repository.usu.ac.id/bitstream/handle. Diakses pada 18 April 2018
14. Mark, H Swart. Buku Ajar Diagnostic Fisik. EGC: Jakarta
15. Broek, dkk. 2009. Buku Saku Ilmu Kesehatan THT. EGC: Jakarta

36

Anda mungkin juga menyukai