Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Walaupun mata mempunnyai sistem pelindung yang cukup baik seperti rongga
orbita, kelopak, dan jaringan lemak retrobulbar,selain terdapatnya refleks memejam atau
mengedip, mata masih sering mendapat trauma dari dunia luar. Trauma dapat
mengakibatkan kerusakan pada bola mata dan kelopak, saraf mata serta rongga orbita.
Kerusakan mata akan dapat mengakibatkan atau memberikan penyulit sehingga
mengganggu fungsi penglihatan. Trauma pada mata memerlukan perawatan yang tepat
untuk mencegah terjadinya penyulit yang lebih berat yang akan mengakibatkan
kebutaan.Trauma pada mata dapat mengenai jaringan di bawah ini secara terpisah atau
menjadi gabungan trauma jaringan mata. Trauma dapat mengenai jaringan mata:
palpebrae, konjungtiva, cornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik, dan orbita. Trauma
mata merupakan keadaan gawat darurat pada mata.Trauma mata sering merupakan
penyebab kebutaan unilateral pada anak dan dewasa muda; kelompok usia ini mengalami
sebagian besar cedera mata yang parah. Segala umur dapat terkena rudapaksa mata
walaupun beberapa kelompok umur tersering terkena (50 %) yaitu umur kurang dari 18
tahun (di USA). Dewasa muda-terutama pria-merupakan kelompok yang kemungkinan
besar mengalami cedera tembus mata. Kecelakaan dirumah, kekerasan, ledakan aki, cedera
akibat olahraga dan kecelakaan lalu lintas merupakan keadaan-keadaan yang paling sering
menyebabkan trauma mata. (birmingham 2008)
Trauma pada mata sering mengalami kesukaran dalam menilai kerusakan yang
diakibatkannya. Kadang-kadang pukulan mempunyai kesan tidak keras dan kerusakan
matapun sepintas lalu tidak nampak. Tetapi ternyata membawa akibat berat bahkan sampai
timbul kebutaan. Memang keadaan ini sering mengherankan terutama bagi para sejawat
bukan dokter mata, oleh karena memang tidak mempunyai perlengkapan atau perhatian
yang cukup untuk menemukan kerusakan yang diakibatkannya. Bahkan bagi dokter mata
sendiri kadang-kadang mengalami kesulitan atau tidak menduga adanya kelainan yang
dapat membawa kebutaan.Untunglah bola mata , mendapat perlindungan yang cukup baik
oleh kelopak mata, tulang mata, rima orbita, jaringan orbita, kedipan kelopak mata,
gerakan menghindari dari kepala, alis mata, gerakan dari bola mata ke atas.Sebaiknya bila
ada trauma mata segera dilakukan pemeriksaan dan pertolongan karena kemungkinan
fungsi penglihatan masih dapat dipertahankan.(ilyas,2006)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan
mata. Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata. Perlukaan yang ditimbulkan
dapat ringan sampai berat atau menimbulkan kebutaan bahkan kehilangan mata.

II. JENIS-JENIS TRAUMA


Trauma mata berdasarkan penyebabnya dibagi ;
1) Mekanis :
 Tumpul
 Tajam
2) Bahan Kimia :
 Asam
 Basa
3) Fisik :
 Cahaya
 Ledakan
 Kebakaran
 Blow out Fraktur

1) TRAUMA MEKANIS
a) TRAUMA TUMPUL
Trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan benda yang keras atau benda yang
tidak keras, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan keras (kencang) ataupun
lambat.Tingkatan dari rudapaksa mata ini tergantung dari besar, berat, energi kinetik dari
obyek.
Mekanisme :Gelombang tekanan akibat dari rudapaksa mata menyebabkan :
1. Tekanan yang sangat tinggi dan jelas dalam waktu yang singkat didalam
bola mata.
2. Perubahan yang menyolok dari bola mata.

2
3. Tekanan dalam bola mata akan menyebar antara cairan vitreous yang
kental dan jaringan sclera yang tidak elastis.
4. Akibatnya terjadi peregangan dan robeknya jaringan pada tempat dimana
ada perbedaan elastisitas, mis: daerah limbus, sudut iridocorneal, ligamentum Zinii,
corpus ciliare.
Respon dari jaringan terhadap rudapaksa mata tumpul :
1. Vasokonstriksi dari pembuluh darah perifer, sehingga terjadi iskemia dan
nekrosis lokal.
2. Diikuti dengan vasodilatasi, hiperpermeabilitas, aliran darah yang
menurun.
3. Dinding pembuluh darah robek maka cairan jaringan dan isi sel akan
menyebar menuju jaringan sekitarnya sehingga terjadi edema dan perdarahan.
Karena tiap-tiap jaringan mempunyai sifat-sifat dan respon khusus terhadap trauma
maka akan dibicarakan satu-persatu.
A. PALPEBRA
Suatu benturan tumpul bisa mendorong mata ke belakang sehingga kemungkinan
merusak struktur pada permukaan (kelopak mata, konjungtiva, sklera, kornea dan lensa)
dan struktur mata bagian belakang (retina dan persarafan). Karena palpebra merupakan
pelindung bola mata maka saat terjadi trauma akan melakukan refleks menutup. Hal ini
akan menyebabkan terjadinya hematoma palpebra. Hematoma ini terjadi karena keluarnya
darah dari pembuluh darah yang rusak pada trauma tersebut.(tjokronegoro2003)

3
B. KONJUNGTIVA
Edema Konjungtiva adalah Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat
menjadi kemotik pada setiap kelainannya, demikian pula akibat trauma tumpul. Bila
kelopak terpajan ke dunia luar dan konjungtiva secara langsung kena angin tanpa dapat
mengedip,maka keadaan ini telah dapat mengakibatkan edema pada konjungtiva. Kemotik
konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan palpebra tidak menutup sehingga bertambah
rangsangan terhadap konjungtiva.Pada edema konjungtiva dapat diberikan dekongestan
untuk mencegah pembendungan cairan didalam selaput lendir konjungtiva.Pada kemotik
konjungtiva berat dapat dilakukan insisi sehingga cairan konjungtiva kemotik keluar
melalui insisi tersebut.(tjokronegoro2003)

Hematoma Subkonjungtiva adalah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang


terdapat pada atau dibawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera.
Bila perdarahan ini terjadi akibat trauma tumpul maka perlu dipastikan bahwa tidak
terdapat robekan dibawah jaringan konjungtiva atau sklera. Kadang-kadang hematoma
subkonjungtiva menutupi keadaan mata yang lebih buruk seperti perforasi bola mata.
Pemeriksaan funduskopi adalah perlu pada setiap penderita dengan perdarahan
subkonjungtiva akibat trauma. Bila tekanan bola mata rendah dengan pupil lonjong disertai
tajam penglihatan menurun dan hematoma subkonjungtiva maka sebaiknya dilakukan
eksplorasi bola mata untuk mencari kemungkinan adanya ruptur bulbus okuli. Pengobatan
ini pada hematoma subkonjungtiva ialah dengan kompres hangat. Perdarahan
subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1-2 minggu tanpa
diobati.(tjokronegoro2003)

4
C. KORNEA
Edema Kornea adalah trauma tumpul yang keras atau cepat mengenai mata dapat
mengakibatkan edema kornea malahan ruptur membran descement. Edema kornea akan
memberikan keluhan penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau
sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan terlihat keruh dengan uji placido yang
positif.Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan masuknya serbukan sel radang dan
neovaskularisasi kedalam jaringan stroma kornea.Pengobatan yang diberikan adalah
larutan hipertonik seperti NaCl 5% atau larutan garam hipertonik 2-8%, glukose 40% dan
larutan albumin. Bila terdapat peninggian tekanan bola mata maka diberikan azetolamida.
Pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki tajam penglihatan dengan
lensa kontak lembek dan mungkin akibat kerjanya menekan kornea terjadi pengurangan
edema kornea.Penyulit trauma kornea yang berat berupa terjadinya kerusakan membran
descement yang lama sehingga mengakibatkan keratopati bulosa yang akan memberikan
keluhan rasa sakit dan menurunkan tajam penglihatan akibat astimagtisme
ireguler.(tjokronegoro2003)

 Erosi Kornea
Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat
diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa cedera pada
membran basal. Dalam waktu yang pendek epitel sekitarnya dapat bermigrasi dengan
cepat dan menutupi defek epitel tersebut. Pada erosi pasien akan merasa sakit sekali akibat
erosi merusak kornea yang mempunnyai serat sensibel yang banyak, mata berair, denagan
kornea yang keruh. Pada kornea akan terlihat suatu defek epitel kornea yang bila diberi

5
perwanaan fluorescein akan berwarna hijau.Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya
dilepas atau dikupas. Untuk mencegah infeksi bakteri diberikan antibiotika spektrum luas
seperti neosporin, kloramfenikol, dan sulfasetamide tetes mata. Akibat rangsangan yang
mengakibatkan spasme siliar maka diberikan siklopegik aksi pendek seperti tropikamida.
Pasien akan merasa lebih tertutup bila dibebat tekan selama 24 jam. Erosi yang kecil
biasanya tertutup kembali setelah 48 jam.(birmingham 2008)

D. BILIK MATA DEPAN


Hifema (Perdarahan dalam bilik mata depan yang berasal dari iris dan corpus
siliare)Respon vaskuler yang terkena adalah Arteri Ciliaris Anterior, perdarahan vena di
Schlemm kanal dan adanya hipotoni, seperti pada siklodialisis. Pada umumnya 70 % kasus
penyerapan terjadi dalam waktu 5-6 hari.Bila perdarahan luas koagulasi dibilik mata depan
akan luas dimana terjadi gumpalan fibrin dan darah merah. Hal ini akan memperlambat
penyerapan ditambah lagi hambatan mekanis terhadap ” outflow ” humor aquos disudut
iridocorneal.Pada beberapa produk darah menempel pada bagian anterior pigmen
membran dari iris didaerah pupil dan sudut iridocorneal.Walaupun sepintas bilik mata
depan jernih, tetapi iritis cukup kuat untuk membentuk sinekia anterior dan posterior.
Hifema sekunder pada umumnya nampak antara hari ke 2 dan ke 5. biasanya diikuti
dengan ancaman iritis.Pada hifema ringan dapat terjadi glaukoma sekunder dengan
meningkatnya tekanan intraokuler. Hal ini dari adanya edema di trabekuler meshwork,
sehingga terjadi gangguan outflow humor aquos. Tekanan intraokuli kadang baru terjadi
beberapa hari setelah trauma, ini adalah akibat adanya perdarahan sekunder. Frekuensi
perdarahan sekunder tanpa kenaikan tekanan intraokuler 30%. Frekuensi perdarahan
sekunder dengan kenaikan tekanan intraokuler 50%.(robson 2007)

6
PERAWATAN KONSERVATIF/TANPA OPERASI
1. Tirah baring sempurna (bed rest total)
Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala diangkat (diberi alas
bantal) dengan elevasi kepala 30º - 45º. Hal ini akan mengurangi tekanan darah pada
pembuluh darah iris serta memudahkan kita mengevaluasi jumlah perdarahannya. Ada
banyak pendapat dari banyak ahli mengenai tirah baring sempurna ini sebagai tindakan
pertama yang harus dikerjakan bila menemui kasus traumatik hifema. Bahkan Darr dan
Rakusin menunjukkan bahwa dengan tirah baring sempurna absorbsi dari hifema
dipercepat dan sangat mengurangi timbulnya komplikasi perdarahan sekunder.Istirahat
total ini harus dipertahankan minimal 5 hari mengingat kemungkinan perdarahan sekunder.
Hal ini sering sukar dilakukan, terlebih-lebih pada anak-anak, sehingga kalau perlu harus
diikat tangan dan kakinya ke tempat tidur dan pengawasan dilakukan dengan sabar.
2. Bebat mata
Mengenai pemakaian bebat mata, masih belum ada persesuaian pendapat di antara para
ahli. Edward- Layden lebih condong untuk menggunakan bebat mata pada mata yang
terkena trauma saja, untuk mengurangi pergerakan bola mata yang sakit. Selanjutnya
dikatakan bahwa pemakaian bebat pada kedua mata akan menyebabkan penderita gelisah,
cemas dan merasa tak enak, dengan akibat penderita (matanya) tidak istirahat Akhirnya
Rakusin mengatakan bahwa dalam pengamatannya tidak ditemukan adanya pengaruh yang
menonjol dari pemakaian bebat atau tidak terhadap absorbsi, timbuInya komplikasi
maupun prognosa bagi tajam penglihatannya:
3. Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita dengan traumatik hifema tidaklah mutlak, tapi
cukup berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat absorbsinya dan menekan
komplikasi yang timbul. Untuk maksud di atas digunakan obat-obatan seperti :
(a) Koagulansia
Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral maupun parenteral, berguna
untuk menekan/menghentikan perdarahan, Misalnya : Anaroxil, Adona AC, Coagulen,

7
Transamin, vit K dan vit C.Pada hifema yang baru dan terisi darah segar diberi obat anti
fibrinolitik (Dipasaran obat ini dikenal sebagai transamine/ transamic acid) sehingga
bekuan darah tidak terlalu cepat diserap dan pembuluh darah diberi kesempatan untuk
memperbaiki diri dahulu sampai sembuh. Dengan demikian diharapkan terjadinya
perdarahan sekunder dapat dihindarkan. Pemberiannya 4 kali 250 mg dan hanya kira-kira 5
hari jangan melewati satu minggu oleh karena dapat timbulkan gangguan transportasi
cairan COA dan terjadinya glaukoma juga imbibisio kornea. Selama pemberiannya jangan
lupa pengukuran tekanan intra okular.
(b) Midriatika Miotika
Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat golongan midriatika atau
miotika, karena masing-masing obat mempunyai keuntungan dan kerugian sendiri-sendiri:
Miotika memang akan mempercepat absorbsi, tapi meningkatkan kongesti dan midriatika
akan mengistirahatkan perdarahan. Gombos menganjurkan pemberian midriatika bila
didapatkan komplikasi iridiocyclitis. Akhirnya Rakusin membuktikan bahwa pemberian
midriatika dan miotika bersama-sama dengan interval 30 menit sebanyak dua kali sehari
akan mengurangi perdarahan sekunder dibanding pemakaian salah satu obat saja. Darr
menentangnya dengan tanpa menggunakan kedua golongan obat tersebut pada pengobatan
hifema traumatik.
(c) Ocular Hypotensive Drug
Semua para ahli menganjurkan pemberian acetazolamide (Diamox) secara oral sebanyak
3x sehari bilamana ditemukan adanya kenaikan tekanan intraokuler. Bahkan Gombos dan
Yasuna menganjurkan juga pemakaian intravena urea, manitol dan gliserin untuk
menurunkan tekanan intraokuler, walaupun ditegaskan bahwa cara ini tidak rutin.Pada
hifema yang penuh dengan kenaikan tekanan intra okular, berilah diamox, glyserin, nilai
selama 24 jam : Bila tekanan intra okular tetap tinggi atau turun, tetapi tetap diatas normal,
lakukan parasentesa yaitu pengeluaran darah melalui sayatan di korneaBila tekanan intra
okular turun sampai normal, diamox terus diberikan dan dievaluasi setiap hari. Bila tetap
normal tekanan intra okularnya dan darahnya masih ada sampai hari ke 5-9 lakukan juga
parasentesa.
(d) Kortikosteroid dan Antibiotika
Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi komplikasi iritis dan
perdarahan sekunder dibanding dengan antibiotika. Yasuna menganjurkan pemberian
prednison 40 mg/hari secara oral segera setelah terjadinya hifema traumatik guna
mengurangi perdarahan sekunder.
8
(e) Obat-obat lain
Sedativa diberikan bilamana penderita gelisah. Diberikan analgetika bilamana timbul rasa
nyeri.(iliyas 2006)
PERAWATAN OPERASI
Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan glaukoma sekunder, tanda
imbibisi kornea atau hemosiderosis cornea dan tidak ada pengurangan dari tingginya
hifema dengan perawatan non-operasi selama 3 - 5 hari.Untuk mencegah atrofi papil saraf
optik dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hari
atau tekanan bola mata maksimal > 35 mmHg selama 7 hari. Untuk mencegah imbibisi
kornea dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata rata-rata > 25 mmHg selama 6 hari
atau bila ditemukan tanda-tanda imbibisi kornea. Untuk mencegah sinekia anterior perifer
dilakukan pembedahan bila hifema total bertahan selama 5 hari atau hifema difus bertahan
selama 9 hari.Intervensi bedah biasanya diindikasikan pada atau setelah 4 hari. Dari
keseluruhan indikasinya adalah sebagai berikut :
a. Empat hari setelah onset hifema total
b. Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu)
c. Hifema total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50 mmHg atau lebih selama 4
hari (untuk mencegah atrofi optic)
d. Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari ¾ COA selama 6 hari dengan
tekanan 25 mmHg (untuk mencegah corneal bloodstaining)
e. Hifema mengisi lebih dari ½ COA yang menetap lebih dari 8-9 hari (untuk
mencegah peripheral anterior synechiae)
f. Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun ukurannya dengan
Tekanan Intra Ocular lebih dari 35 mmHg lebih dari 24 jam.Jika Tekanan Inta Ocular
menetap tinggi 50 mmHg atau lebih selama 4 hari, pembedahan tidak boleh ditunda.
Suatau studi mencatat atrofi optic pada 50 persen pasien dengan total hifema ketika
pembedahan terlambat. Corneal bloodstaining terjadi pada 43% pasien. Pasien dengan
sickle cell hemoglobinopathi diperlukan operasi jika tekanan intra ocular tidak terkontrol
dalam 24 jam.Tindakan operasi yang dikerjakan adalah Paracentesa : mengeluarkan
cairan/darah dari bilik depan bola mata melalui lubang yang kecil di limbus. Parasentese
dilakukan bila TIO tidak turun dengan diamox atau jika darah masih tetap terdapat dalam
bilik mata depan pada hari 5-9.Cara melakukan parasentese :
1 jam sebelum operasi, penderita diberikan “sedative cocktail”, terdiri dari largaktil 25 mg,
petidin 50 mg, phenergan 80mg. Mata yang sakit didisinfeksi dengan asam pikrin 2 %.
9
Kornea ditetesi dengan pantokain 2% atau prokain 2 % tiap 3 menit, 3 kali. Suntikkan
retrobulbar novokain untuk blok semua otot-otot ekstra okuler. Pasang spekulum untuk
memegang kelopak mata, supaya jangan menutup kembali. Dengan jarum parasentese
yang steril dilakukan insisi pada kornea di jam 6 dekat limbus. Jangan dilimbus, karena
banyak pembuluh darah. Dengan beratnya sendiri, darah akan keluar melalui luka tersebut,
sesudah jarum parasentese dikeluarkan lagi.
1. Melakukan irigasi bilik depan bola mata dengan larutan fisiologik,
2. Dengan cara seperti melakukan ekstraksi katarak dengan membuka corneo-
scleralnya sebesar 120°.
E. IRIS
IridodialisisTrauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada pangkal iris
sehingga bentuk pupil menjadi berubah. Pasien akan melihat ganda dengan satu
matanya.Pada iridosialisis akan terlihat pupil lonjong. Biasanya iridodialisis terjadi
bersama-sama dengan terbentuknya hifema.Bila keluhan demikian maka pada pasien
sebaiknya dilakukan pembedahan dengan melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas.

F. LENSA
Dislokasi Lensa. Dislokasi lensa terjadi pada putusnya zonula zinn yang akan
mengakibatkan kedudukan lensa terganggu.

Subluksasi Lensa. Terjadi akibat putusnya sebagian zonula zinn sehingga lensa
berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita

10
kelainan pada zonula zinn yang rapuh (sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan
mengeluh penglihatan berkurang. Subluksasi lensa akan memberikan gambaran pada iris
berupa iridodonesis. Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa yang elastic
akan menjadi cembung, dan mata akan menjadi lebih miopik. Lensa yang menjadi sangat
cembung mendorong iris ke depan sehingga sudut bilik mata tertutup. Bila sudut bilik
mata menjadi sempit pada mata ini mudah terjadi glaucoma sekunder.
a. Luksasi Lensa Anterior. Bila seluruh zonula zinn di sekitar ekuator putus akibat
trauma maka lensa dapat masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat lensa terletak dalam
bilik mata depan ini maka akan terjadi gangguan pengaliran keluar cairan bilik mata
sehingga akan timbul glaucoma kongestif akut dengan gejala-gejalanya. Pasien akan
mengeluh penglihatan menurun mendadak, disertai rasa sakit yang sangat, muntah, mata
merah dengan blefarospasme. Terdapat injeksi siliar yang berat, edema kornea, lensa di
dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar. Tekanan bola
mata sangat tinggi.
b. Luksasi Lensa Posterior. Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi
luksasi lensa posterior akibat putusnya zonula zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa
sehingga lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah polus posterior
fundus okuli. Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangannya akibat
lensa mengganggu kampus. Mata ini akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa atau
afakia. Pasien akan melihat normal dengan lensa +12.0 dioptri untuk jauh, bilik mata
depan dalam dan iris tremulans. Lensa yang terlalu lama berada dalam polus posterior
dapat menimbulkan penyulit akibat degenerasi lensa, berupa glaucoma fakolitik ataupun
uveitis fakotoksik

H. TRAUMA FUNDUS OCULI


Trauma tumpul yang mengenai mata dapat mengakibatkan kelainan pada retina,
koroid, dan saraf optik. Perubahan yang terjadi dapat berupa edema retina, perdarahan
retina, ablasi retina, maupun atrofi saraf optik.
Edema Retina dan Koroid adalah trauma tumpul pada retina dapat mengakibatkan
edema retina, penglihatan akan sangat menurun. Edema retina akan memberikan warna
retina yang lebih abu-abu akibat sukarnya melihat jaringan koroid melalui retina yang
sembab. Berbeda dengan oklusi arteri retina sentral dimana terdapat edema retina kecuali
macula, sehingga pada keadaan ini akan terlihat cherry red spot yang berwarna merah.
11
Edema retina akibat trauma tumpul juga mengakibatkan edema makula sehingga tidak
terdapat cherry red spot. Pada trauma tumpul yang paling ditakutkan adalah terjadi edema
macula atau edema berlin. Pada keadaan ini akan terjadi edema yang luas sehingga seluruh
polus posterior fundus okuli berwarna abu-abu.Umumnya penglihatan akan normal
kembali setelah beberapa waktu, akan tetapi dapat juga penglihatan berkurang akibat
tertimbunnya daerah macula oleh sel pigmen epitel.(tjokronegoro2003)
Ablasio Retina adalah trauma diduga merupakan pencetus untuk terlepasnya retina
dari koroid pada penderita ablasi retina. Biasanya pasien telah mempunnyai bakat untuk
terjadinya ablasi retina ini seperti retina tipis akibat retinitis semata, miopia, dan proses
degenerasi lainnya. Pada pasien akan terdapat keluhan seperti adanya selaput yang seperti
tabir menganggu lapangan pandangannya. Bila terkena atau tertutup daerah makula maka
tajam penglihatannya akan menurun. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina
yang berwarna abu-abu dengan pembuluh darah yang terlihat terangkat dan berkelok-
kelok. Kadang-kadang terlihat pembuluh darah seperti yang terputus-putus. Pada pasien
dengan ablasi retina maka secepatnya dirawat untuk dilakukan pembedahan oleh dokter
mata. .(tjokronegoro2003)

Ruptur Koroid adalah pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina yang
dapat merupakan akibat ruptur koroid. Ruptur ini biasanya terletak di polus posterior bola
mata dan melingkar konsentris di sekitar papil saraf optik.Bila ruptur koroid ini terletak
atau mengenai daerah makula lutea maka tajam penglihatan akan turun dengan sangat.
Ruptur ini bila tertutup oleh perdarahan subretina agak sukar dilihat akan tetapi bila darah
tersebut telah diabsorpsi maka akan terlihat bagian ruptur berwarna putih karena sklera
dapat dilihat langsung tanpa tertutup koroid.
Avulsi Papil Saraf Optik adalah pada trauma tumpul dapat terjadi saraf optik
terlepas dari pangkalnya didalam bola mata yang disebut sebagai avulsi papil saraf optik.
Keadaan ini akan mengakibatkan turunnya tajam penglihatan yang berat dan sering

12
berakhir dengan kebutaan. Penderita ini perlu dirujuk untuk dinilai kelainan fungsi retina
dan saraf optiknya.
Optik Neuropati Traumatik adalah Trauma tumpul dapat mengakibatkan kompresi
pada saraf optik, demikian pula perdarahan dan edema sekitar saraf optik.Penglihatan akan
berkurang setelah cidera mata. Terdapat reaksi defek aferen pupil tanpa adanya kelainan
nyata pada retina. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah gangguan penglihatan warna
dan lapangan pandang. Papil saraf optik dapat normal dalam beberapa minggu sebelum
menjadi pucat.Diagnosis banding penglihatan turun setelah sebuah cidera mata adalah
trauma retina, perdarahan badan kaca, trauma yang mengakibatkan kerusakan pada
khiasma optik.Pengobatan adalah dengan merawat pasien pada waktu akut dengan
memberi steroid. Bila penglihatan memburuk setelah steroid maka perlu dipertimbangkan
untuk pembedahan.(ilyas,2006)
b) TRAUMA TAJAM
Trauma tajam pada mata adalah suatu trauma dimana seluruh lapisan jaringan atau
organ mengalami kerusakan.
ETIOLOGI
Trauma tajam disebabkan benda tajam atau benda asing masuk ke dalam bola mata.
TANDA DAN GEJALA
1.Tajam penglihatan yang menurun
2.Tekanan bola mata rendah
3.Bilikmata dangkal
4.Bentuk dan letak pupil berubah
5.Terlihat adanya ruptur pada cornea atau sclera
6.Terdapat jaringan yang prolaps seperti caiaran mata iris,lensa, retina
7.Konjungtiva kemotis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiology pada trauma mata sangat membantu dalam menegakkan
diagnosa, terutama bila ada benda asing .Pemeriksaan ultra sonographi untuk menentukan
letaknya, dengan pemeriksaan ini dapat diketahui benda tersebut pada bilik mata depan,
lensa, retina.
b.Pemeriksaan “Computed Tomography” (CT)
Suatu tomogram dengan menggunakan komputer dan dapat dibuat “scanning” dari
organ tersebut.
13
PENATALAKSANAAN
Bila terlihat salah satu tanda diatas atau dicurigai adanya perforasi bola mata, maka
secepatnya dilakukan pemberian antibiotik topical, mata ditutup, dan segera dikirim
kepada dokter mata untuk dilakukan pembedahan. Sebaiknya dipastikan apakah ada benda
asing yang masuk ke dalam mata dengan membuat foto. Pada pasien dengan luka tembus
bola mata selamanya diberikan antibiotik sistemik atau intravena dan pasien dikuasakan
untuk kegiatan pembedahan. Pasien juga diberi antitetanus provilaksis, dan kalau perlu
penenang. Trauma tembus dapat terjadi akibat masuknya benda asing ke dalam bola mata.
Benda asing didalam bola mata pada dasarnya perlu dikeluarkan dan segera dikirim ke
dokter mata. Benda asing yang bersifat magnetic dapat dikeluarkan dengan mengunakan
magnet raksasa. Benda yang tidak magnetic dikeluarkan dengan vitrektomi. Penyulit yang
dapat timbul karena terdapatnya benda asing intraokular adalah endoftalmitis,
panoftalmitis, ablasi retina, perdarahan intraokular dan ptisis bulbi.(james,2006)
PATOFISIOLOGI
Trauma tajam pada mata karena benda tajam maka dapat mengenai organ mata dari
yang terdepan sampai yang terdalam. Trauma tajam bola mata bisa mengenai :
A. PALPEBRA
Luka terbuka palpebra
Anamnesa :keluhan rasa nyeri, bengkak dan berdarah.
Pemeriksaan : tampak adanya luka terbuka dan perdarahan
Pengobatan : pembersihan luka, kemudian dijahit.
Teknik penjahitan dilakukan sama dengan luka pada kulit tubuh yang lain sesuai dengan
arah dari M. Orbicularis, Perhatian : Luka yang persis pada palpebra harus khusus
diperhatikan karena apabila penjahitan tidak tepat pada kedua tepi luka akan memberi hasil
kosmetik dan fungsional yang jelek. Bila perlu dapat ditambah dengan antibiotika,
analgetik dan antiinflamasi.
B. KONJUNGTIVA
Perdarahan
Penatalaksanaan sama dengan rudapaksa mata mekanis tumpul.
Robekan 1 cm
Tidak dijahit, diberikan antibiotika lokal.
Robekan lebih dari 1 cm,
Dijahit dengan benang cat gut atau sutera berjarak 0,5 cm antara tiap-tiap jahitan.
Beri antibiotika lokal selama 5 hari dan bebat mata untuk 1-2 hari.
14
C. KORNEA
1. Erosi kornea
Penatalaksanaan seperti rudapaksa mata tumpul
2. Luka tembus kornea
Anamnesa : teraba nyeri, epifora, fotofobia, blefarospasme
Pemeriksaan : bagian yang mengalami kerusakan epitel menunjukkan flurocein (+)
Pengobatan :Tanpa mengingat jarak waktu antara kecelakaan dan pemeriksaan, tiap luka
terbuka kornea yang masih menunjukkan tanda-tanda adanya kebocoran harus diusahakan
untuk dijahit. Jaringan intraokular yang keluar dari luka, misal : badan kaca, prolap iris
sebaiknya dipotong sebelum luka dijahit. Janganlah sekali-kali dimasukkan kembali dalam
bola mata. Jahitan kornea dilakukan secara lamellar untuk menghindari terjadinya fistel
melalui bekas jahitan. Luka sesudah dijahit dapat ditutup lembaran konjungtiva yang
terdekat. Tindakan ini dapat dianggap mempercepat epitelialisasi.
Antibiotika lokal dalam bentuk salep, tetes atau subkonjungtiva 0,3-0,5 U. Garamycin tiap
2 hari sekali. Atopin tetes 0,5%-1% tiap hari. Dosis dikurangi bila pupil sudah cukup lebar.
Bila ada tanda-tanda glaukoma sekunder dapat diberikan tablet Analgetik, antiinflamasi,
koagulasi dapat diberikan bila perlu.
3. Ulkus kornea
Sebagian besar disebabkan oleh trauma yang mengalami infeksi sekunder.
Anamnesa : teraba nyeri, epifora, fotofobia, blefarospasme.
Pemeriksaan : nampak kornea yang edema dan keruh, bagian yang mengalami kerusakan
epitel menunjukkan pengecatan ( + ).
Terapi : antibiotika lokal tetes, salep atau subkonjungtiva , scraping atau pembersihan
jaringan nekrotik secara hati-hati bagian dari ulkus yang nampak kotor. Aplikasi panas.
Kauter dilakukan dengan cara memanaskan pasak, Cryo terapi. .(ilyas,2006)

15
D. SCLERA
Luka terbuka atau tembus
Luka ini lekas tertutup oleh konjungtiva sehingga kadang sukar diketahui. Luka
tembus sclera harus dipertimbangkan apabila dibawah konjungtiva nampak jaringan hitam
(koroid).Pengobatan : sama dengan luka tembus pada kornea. .(ilyas,2006)

E. OFTALMIA SIMPATETIK
Suatu uveitis yang diderita oleh mata kontralateral apabila mata lainnya mengalami
trauma atau trauma tembus yang mengenai jaringan uvea. Frekuensi tertinggi terjadi 2-4
minggu sesudah trauma.
Proses berlangsung :
1. Tahap iritasi ( Sympatetic Iritation )
2. Tahap radang ( Sympatetic Inflamation )
TAHAP IRITASI
Anamnesa :keluhan nyeri, tanda-tanda radang ringan, epifora, fotofobia.
Pemeriksaan : tanda-tanda iritis ringan. Biasanya bersifat reversibel atau langsung tahap
radang.
TAHAP RADANG
Dapat berlangsung akut/menahun.
Stadium ini bersifat irreversibel dan kemungkinan besar akan memburuk bila pengobatan
kurang sempurna.
Terapi :
Mata traumatik : enukleasi bulbi dipertimbangkan bila visus 0 atau lebih jelek daripada
mata simpatetik.
Mata yang masih mempunyai visus walaupun terbatas selalu menjadi pertimbangan yang
sangat sulit apakah akan dilakukan enukleasi atau dipertahankan.

16
F. BILIK MATA DEPAN
Penatalaksanaan sama dengan trauma tumpul.
G. IRIS
Iritis sering sebagai akibat dari trauma.
Anamnesa : keluhan nyeri, epifora, fotofobia, blefarospasme
Pemeriksaan : pupil miosis, reflek pupil menurun, sinekia posterior.
Terapi : Atropin tetes 0,5%- 1 %. 1-2 x perhari selama sinekia belum lepas. Antibiotik
lokal. Diamox bila ada komplikasi glaukoma.
H. LENSA
1. Katarak Penatalaksanaan sama dengan trauma tumpul.
2. Dislokasi lensa Penatalaksanaan sama dengan pada rudapaksa mata tumpul
I. KERUSAKAN SEGMEN POSTERIOR
Penatalaksanaan sama dengan rudapaksa mata tumpul
J. CORPUS ALIENUM (BENDA ASING)
Anamnesa : mengeluh ada benda asing masuk kedalam mata
Pemeriksaan : benda asing tersebut harus dicari secara teliti memakai penerangan yang
cukup mulai dari palpebra, konjungtiva, fornixis, kornea, bilik mata depan.Bila mungkin
benda tersebut berada dalam lensa, badan kaca dimana perlu pemeriksaan tambahan
berupa funduskopi dan foto rontgen. Benda asing yang masuk dalam mata dapat dibagi 2
kelompok yaitu :
a. Benda logam :
misal : emas, perak, platina, besi, tembaga.
Benda logam ini dapat bersifat magnet atau non magnet.
b. Benda bukan logam :
batu, kaca, porselin, plastik, bulumata, dll.
Benda yang menimbulkan reaksi jaringan mata berupa perubahan selular dan membran
sehingga mengganggu fungsi dari mata.
Misal : besi berupa siderosis dan tembaga berupa kalkosis. Besi biasanya merusak jaringan
yang mengandung epitel sedangkan tembaga merusak bagian membran misal descement
kornea lensa, iris, badan kaca, dll.
Pengobatan : mengeluarkan benda asing. Bila lokalisasi di palpebra dan konjungtiva,
kornea maka dengan mudah dapat dilepaskan setelah pemberian anestesi lokal. Untuk
mengeluarkan perlu kapas lidi atau jarum suntik tumpul/ tajam. Bila benda bersifat
magnetik maka dapat dikeluarkan dengan magnet portable atau giant magnet. Bila benda
17
asing pada segmen posterior hendaknya dikirim ke pusat oleh karena memerlukan tindakan
yang lebih cermat dan perlengkapan yang khusus. Pemberian antibiotika lokal pada benda
asing di konjungtiva dan kornea. Pada kornea dapat ditambahkan atropin 0,5 %-1 %, bebat
mata dan diamox bila ada tanda-tanda glaukoma sekunder. (ilyas,2006)

K. OTOT EKSTRA OKULAR


Kelainan Pergerakan Mata. Hal ini pada trauma dapat disebabkan :kelainan pada otot
mata, kelainan pada persarafan otot mata, kelainan pada jaringan orbita lainnya. Walaupun
gangguan pergerakan bola mata tidak dapat menyebabkan kebutaan atau penurunan tajam
penglihatan namun kegiatan sehari-hari dapat terganggu dengan adanya keluhan diplopia.
Anamnesa : akibat diplopia timbul keluhan pusing, mual, muntah
Pemeriksaan. : hambatan pergerakan bola mata dapat akibat paralisa atau ototnya sendiri
yang terjepit. Test Forced Duction :Untuk membedakan gangguan karena kelumpuhan atau
ototnya yang terjepit. Cara : Mata ditetesi anestesi lokal, kemudian otot yang akan
diperiksa dipegang dengan pinset dan ditarik ke arah gerak otot tersebut, bila lancar –
berarti paralisa, bila sukar – ada hambatan / otot terjepit
Pengobatan :PARALISA : anti inflamasi dan neurokopik,untuk menghindari diplopia satu
mata :pada parese ringan – mata sehat ditutup supaya mata parese terlatih, pada parese
berat – mata parese yang ditutup. Setelah 3-6 bulan tidak ada kemajuan berarti tetap
strabismus dan atau diplopia – maka penderita perlu dirujuk untuk tindakan operasi. Sebab
setelah 6 bulan dianggap telah mengalami penyembuhan maksimal atau sudah timbul
komplikasi kontraktur-kontraktur.

18
1) TRAUMA KIMIA
TRAUMA ASAM
Trauma asam merupakan salah satu jenis trauma kimia mata dan termasuk
kegawatdaruratan mata yang disebabkan zat kimia bersifat asam dengan pH < 7. Beberapa
zat asam yang sering mengenai mata adalah asam sulfat, asam asetat, hidroflorida, dan
asam klorida. Jika mata terkena zat kimia bersifat asam maka akan terlihat iritasi berat
yang sebenarnya akibat akhirnya tidak berat. Asam akan menyebabkan koagulasi protein
plasma. Dengan adanya koagulasi protein ini menimbulkan keuntungan bagi mata, yaitu
sebagai barrier yang cenderung membatasi penetrasi dan kerusakan lebih lanjut. Hal ini
berbeda dengan basa yang mampu menembus jaringan mata dan akan terus menimbulkan
kerusakan lebih jauh. Selain keuntungan, koagulasi juga menyebabkan kerusakan
konjungtiva dan kornea. Dalam masa penyembuhan setelah terkena zat kimia asam akan
terjadi perlekatan antara konjugtiva bulbi dengan konjungtiva tarsal yang disebut
simblefaron.Penatalaksanaan yang tepat pada trauma kimia adalah irigasi dengan
menggunakan salin isotonic steril dan memeriksa pH permukaan mata dengan meletakkan
seberkas kertas indicator di forniks. Ulangi irigasi apabila pH tidak terletak antara 7,3-7,7.
(eva dkk ,2007 )
TRAUMA BASA
Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan iritasi ringan pada mata apabila
dilihat dari luar. Namun, apabila dilihat pada bagian dalam mata, trauma basa ini
mengakibatkan suatu kegawatdaruratan. Basa akan menembus kornea, camera oculi
anterior, dan sampai retina dengan cepat, sehingga berakhir dengan kebutaan. Pada trauma
basa akan terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea. Bahan kimia basa bersifat
koagulasi sel dan terjadi proses persabunan, disertai dengan dehidrasi.
Menurut klasifikasi Thoft, trauma basa dapat dibedakan menjadi:
Derajat 1 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata
Derajat 2 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai hilangnya epitel kornea
Derajat 3 : terjadi hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya epitel
kornea.
Derajat 4 : konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%
Tindakan bila terjadi trauma basa adalah secepatnya melakukan irigasi dengan
garam fisiologik selama mungkin. Bila mungkin irigasi dilakukan paling sedikit 60 menit
setelah trauma. Penderita diberi sikloplegia, antibiotika, EDTA untuk mengikat basa.
EDTA diberikan setelah 1 minggu trauma basa, diperlukan untuk menetralisir kolagenase
19
yang terbentuk pada hari ketujuh. Penyulit yang dapat terjadi adalah simblefaron,
kekeruhan kornea, edema, dan neovaskularisasi kornea, katarak, disertai dengan ptisis bola
mata.(eva dkk ,2007 )

2) TRAUMA FISIK
1. CAHAYA
Cahaya yang berasal dari matahari atau alat untuk las mengandung ultraviolet yang
dapat mengakibatkan konjungtivitis dan keratitis, sedangkan cahaya dari pembikinan kaca
(Glass Blomers) banyak mengandung infra red yang dapat mengakibatkan katarak.
Anamnesa : Mata terasa nyeri, Epifora yang timbul 6-12 jam sesudah melihat cahaya
tersebut
Pemeriksaan : Hiperemi konjungtiva, Flurescein test positif
Pengobatan : Pada Konjungtiva beri antibiotika lokal,atropine bila fluorescein luar
2. KEBAKARAN
Dengan adanya reflek perlindungan menutup palpebra sering kornea dan
konjungtiva terhindar dari bahaya kebakaran, sehingga kelainan terbatas pada palpebra.
Pengobatan : Tidak berbeda dengan kelainan akibat luka bakar pada kulit bagian
tubuh yang lain.
3. LEDAKAN
Ledakan yang cukup kuat dapat menimbulkan bermacam-macam kerusakan.

20
4. BLOW OUT FRAKTUR
Patah tulang dasar orbita tanpa kerusakan dari rima orbita akibat perubahan
mendadak dan ruang retrobulbar karena perubahan tekanan yang terjadi akibat hantaman
yang keras pada bulbus oculi. Anamnesa : Adanya trauma, Visus menurun, Nyeri,
Diplopia, Mual, Muntah. Pemeriksaan : Edema ± hypoestesi daerah saraf intraorbita,
Tanda-tanda patah tulang : Gerakan terbatas,enoftalmus. Pengobatan Konservatif selama 3
minggu untuk mengevaluasi sambil menunggu oedema dan ekhimosis berkurang, Bila
enoftalmus masih tampak,keluhan diplopia sangat menganggu maka dilakukan
operatif.(eva dkk ,2007 )

21
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Trauma pada mata dapat terjadi dalam bentuk-bentuk antara lain trauma mekanik
(tumpul dan tajam), trauma kimia (asam dan basa), dan trauma fisik. Pemeriksaan awal
pada trauma mata antara lain meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis harus mencakup perkiraan ketajaman penglihatan sebelum dan segera
sesudah cedera. Harus dicatat apakah gangguan penglihatan bersifat progesif lambat atau
berawitan mendadak. Harus dicurigai adanya benda asing intraocular apabila terdapat
riwayat memalu, mengasah atau ledakan.
Pemeriksaan fisik dimulai dengan pengukuran dan pencatatan ketajaman
penglihatan. Apabila gangguan penglihatannya parah, maka periksa proyeksi cahaya,
diskriminasi dua-titik dan adanya defek pupil aferen. Periksa motilitas mata dan sensasi
kulit periorbita dan lakukan palpasi untuk mencari defek pada bagian tepi tulang orbita.
Pada pemeriksaan bedside, adanya enoftalmus dapat ditentukan dengan melihat profil
kornea dari atas alis. Apabila tidak tersedia slit-lamp di ruang darurat, maka senter, kaca
pembesar atau oftalmoskop langsung pada + 10 ( nomor gelap ) dapat digunakan untuk
memeriksa adanya cedera dipermukaan tarsal kelopak mata dan segmen anterior.

Permukaan kornea diperiksa untuk mencari adanya benda asing, luka dan abrasi.

Dilakukan inspeksi konjungtiva bulbaris untuk mencari adanya perdarahan, benda asing

atau laserasi. Kedalaman dan kejernihan kamera anterior dicatat. Ukuran, bentuk dan

reaksi terhadap cahaya dari pupil harus dibandingkan dengan mata yang lain untuk

memastikan apakah terdapat defek pupil aferen di mata yang cedera. Apabila bola mata

tidak rusak, maka kelopak, konjungtiva palpebra dan forniks dapat diperiksa secara lebih

teliti, termasuk inspeksi setelah eversi kelopak mata atas. Oftalmoskop langsung dan tidak

langsung digunakan untuk mengamati lensa, korpus vitreosus, diskus optikus, dan retina.

Dokumentasi foto bermanfaat untuk tujuan-tujuan medikolegal pada semua kasus trauma

eksternal. Pada semua kasus trauma mata, mata yang tampak tidak cedera juga harus

diperiksa dengan teliti.

22
Prognosisnya mata dapat sembuh dengan baik setelah trauma minor dan jarang

terjadi sekuele jangka panjang karena munculnya sindrom erosi berulang. Namun trauma

tembus mata seringkali dikaitkan dengan kerusakan penglihatan berat dan mungkin

membutuhkan pembedahan ekstensif. Retensi jangka panjang dari benda asing berupa besi

dapat merusak fungsi retina dengan menghasilkan radikal bebas. Serupa dengan hal itu,

trauma kimia pada mata dapat menyebabkan gangguan penglihatan berat jangka panjang

dan rasa tidak enak pada mata. Trauma tumpul dapat menyebabkan kehilangan

penglihatan yang tidak dapat diterapi jika terjadi lubang retina pada fovea. Penglihatan

juga terganggu jika koroid pada makula rusak. Dalam jangka panjang, dapat timbul

glaukoma sekunder pada mata beberapa tahun setelah cedera awal jika jalinan trabekula

mengalami kerusakan. Trauma orbita juga dapat menyebabkan masalah kosmetik dan

okulomotor.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas SH, Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga, Jakarta, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia:2006.p.259-270
2. Nn, Anatomi Mata [online] [cited 2008 Agust 6th] Available from URL
http://www.medicine.ukm.my/wiki/index.php/Anatomi_mata
3. Nn, Birmingham Eye Trauma Terminology. In: American Society of
Ocular Trauma [online] [cited 2008 May 20th] Available from URL
http://www.useironline.org/pdf/bett.pdf
4. Robson J, Globe Rupture [online]2007 [cited 20 May 2008] Available from
URL http://www.emedicine.com/emerg/topic218.htm
5. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. 17th ed. USA : Mc
Graw-Hill; 2007.

6. Tjokronegoro, Arjatmo. 2003. Ilmu Penyakit Mata,3 rd edisi. Jakarta : Balai


Penerbit FKUI
7. James, Bruce, et al. 2006 . Lecture Notes Oftalmologi, 9th eds. Surabaya :
Airlangga.

24

Anda mungkin juga menyukai