Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH USHUL FIQH TENTANG QIYAS

Dr. Baharudin., M. Ag.

disusun oleh :

Rebecca Safayona

NIM : 1174020134

KOMUKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2017/2018
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.,


Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat serta Hidayah-Nya
sehingga Penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kedudukan Qiyas” yang mana
pembahasannya meliputi : Pengertian Qiyas, Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas, Penolak dan
Penerima Qiyas, Rukun Qiyas serta Macam-macam Qiyas.
Makalah ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi nilai Mata kuliah
ushul fiqh di fakultas dakwah dan komunikasi,prodi komunikasi dan penyiaran islam. Tak Luput
makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan serta dorongan dari Orangtua, dan Teman-teman
seperjuangan, Dalam Penyusunan Makalah penulis mengambil referensi dari buku-buku Ushul
Fiqh seperti Karya Muhammad Abu Zahrah, Amir Syarifuddin, Rachmat Syafe’i, Drs. H. Moh
Rifa’i serta 5% dari Penelusuran Internet.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan serta masih terdapat kekurangan, Oleh karena itu semua kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan selanjutnya. Akhirnya Penulis
berharap kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.,

Bandung 16 Desember 2017

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Qiyas
Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas
Penolak dan Penerima Qiyas
Rukun Qiyas
Macam-Macam Qiyas
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai Umat Islam dalam kehidupan sehari-hari ada aturan yang mengatur segala
aktivitas kita. Semua ada batasan-batasan tertentu serta aturan aturan dalam menjalankannya.
Dan semua aturan serta batasan hukum yang mengatur Umat Islam didasarkan pada Alqur’an
dan Sunnah.
Banyak peristiwa atau kejadian yang belum jelas hukumnya, Karena di dalam
Alqur’an dan Sunnah tidak dijumpai atau ditetapkan secara jelas hukumnya. Oleh sebab itu
diperlukanlah sebuah cara atau metode yang dapat menyingkap dan memperjelas bahkan
menentukan suatu Hukum.
Dulu ketika masa Rasulullah semua permasalahan yang timbul mudah diatasi karena
dapat langsung ditanyakan kepada Rasulullah, tetapi dimasa sekarang jikalau ada
permasalahan yang timbul bahkan banyak sekali permasalahan yang timbul yang tidak kita
temukan dalam Alqur’an maupun Sunnah. Di sini para Ulama’ melakukan pendekatan yang
sah yaitu dengan Ijtihad dan salah satu ijtihad itu adalah dengan Qiyas.
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan pendapat untuk menetapkan suatu hukum
terhadap suatu peristiwa atau kejadian yang belum jelas atau yang tidak dijelaskan secara
jelas dalam Alqur’an dan Sunnah.
Dasar pemikiran Qiyas itu adalah adanya kaitan yang erat antara hukum dengan sebab.
Hampir setiap Hukum di luar bidang ibadah dapat diketahui alasan rasional ditetapkannya
hukum itu oleh Allah. Illat adalah patokan utama dalam menetapkan hukum atau
permasalahan, Objek masalah adalah sesuatu yang tidak memiliki Nash. Atas dasar
Keyakinan tersebut bahwa tidak ada yang luput dari Hukum Allah, Maka setiap Muslim
meyakini setiap peristiwa atau kasus yang terjadi pasti ada hukumnya.
Dari paparan latar belakang di atas, Serta mengingat banyak mahasiswa yang masih
belum memahami sepenuhnya mengenai Sumber Hukum Qiyas, Maka dari itu kami akan
membahas tentang Qiyas sekaligus memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Qiyas ?


2. Bagaimana Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas ?
3. Siapa Penolak dan Penerima Qiyas ?
4. Apa Saja Rukun-Rukun Qiyas?
5. Apa Saja Macam-Macam Qiyas ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui secara detail mengenai Qiyas.


2. Untuk mengetahui Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas.
3. Untuk mengetahui Penolak dan Penerima Qiyas.
4. Untuk mengetahui Rukun-Rukun Qiyas.
5. Untuk Mengetahui Macam-Macam Qiyas.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Qiyas

Qiyas menurut Ulama’ Ushul fiqh ialah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada
nashnya dalam Alqur’an dan Hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain : Qiyas ialah
menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash
hukumnya karena adanya persamaan ‘illat hukum.1[1]
Ada beberapa definisi menurut para ulama tentang pengertian qiyas diantaranya yaitu:

1. Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa


Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal
menetapkan hukum pada keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.

2. Qadhi Abu Bakar


Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal
menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada
hal yang sama antara keduanya.

3. Ibnu Subkhi dalam Jam’u al-Jawami’


Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena
kesamaannya dalam ‘illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan (mujtahid).
4. Abu Hasan al-Bashri
Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada “furu’” karena keduanya sama dalam
‘illat hukum menurut mujtahid.

5. Al-Baidhawi
Menetapkan semisal hukum yang diketahui pada sesuatu lain yang diketahui karena
keduanya berserikat dalam ‘illat hukum menurut pandangan ulama yang menetapkan.

6. Shaadru al-Syari’ah
Merentangkan (menjangkaukan) hukum dari ashal kepada furu’ karena ada kesatuan
‘illat yang tidak mungkin dikenal dengan pemahaman lughowi semata.

Dengan cara qiyas itu berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum
sesuatu kepada sumbernya Alqur’an dan Hadits. Sebab hukum islam, kadang tersurat jelas

1[1] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012), hlm 336.
dalam nash Alqur’an atau Hadits, kadang juga bersifat implisit-analogik terkandung dalam
nash tersebut. Mengenai Qiyas ini Imam Syafi’i mengatakan: “Setiap peristiwa pasti ada
kepastian hukum dan umat islam wajib melaksanakannya. Akan tetapi jika tidak ada
ketentuan hukumnya yang pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad.
Dan ijtihad itu adalah Qiyas.”
Jadi Hukum Islam itu ada kalanya dapat diketahui melalui bunyi nash, yakni Hukum-
hukum yang secara tegas tersurat dalam Alqur’an dan Hadits, ada kalanya harus digali
melalui kejelian memahami makna dan kandungan nash. Yang demikian itu dapat diperoleh
melalui pendekatan qiyas.
Sebagaimana di terangkan, bahwa qiyas berarti mempertemukan sesuatu yang tidak
ada nash hukumnya dengan hal lain yang yang ada nash hukumnya karena ada persamaan
illat hukum. Dengan demikian qiyas itu hal yang fitri dan ditetapkan berdasarkan penalaran
yang jernih, sebab asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis
berdasarkan persamaan sebab dan sifat yang membentuknya. Apabila pendekatan analogis itu
menemukan titik persamaan antara sebab-sebab dan sifat-sifat antara dua masalah tersebut,
maka konsekuensinya harus sama pula hukum yang ditetapkan.2[3]

B. Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas

Sebagian para ulama’ fiqh dan para pengikut madzab yang empat sependapat bahwa
qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum ajaran
islam. Mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak
diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Hanya sebagian kecil para ulama’ yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar
hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzab Dzahiri dan Madzab Syi’ah.
Ulama’ Zahiriyah berpendapat bahwa secara logika qiyas memang boleh tetapi tidak ada
satu nashpun dalam ayat Alqur’an yang menyatakan wajib memakai qiyas.
Ulama’ Syi’ah Imamiyah dan An-Nazzam dari Mu’tazilah menyatakan bahwa qiyas tidak
bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan karena mengamalkan qiyas sebagai
sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal. Mereka mengambil dalil QS. Al Hujurat: 1

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan
bertakwalah kepada Allah. “

2[3] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012), hlm 336-337.
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah
al-Qur’an dan Al-Hadits serta perbuatan sahabat yaitu:

a. Dalil Alqur’an
 Allah SWT memberi petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua
hal sebagaimana dalam surat Yasin (36), ayat 78-79:

78. Dan ia membuat perumpamaan bagi kami dan dia lupa kepada kejadiannya, ia berkata :
“ siapakah yang dapat menghidupkan Tulang belulang yang telah hancur luluh?”

79. Katakanlah : “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama
dan Dia maha mengetahui tentang segala makhluk.

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuan-Nya menghidupkan tulang


belulang yang telah berserakan dikemudian hari dengan kemampuan-Nya dalam menciptakan
tulang belulang pertama kali. Hal ini berarti bahwa Allah menyamakan menghidupkan tulang
tersebut kepada penciptaan pertama kali.

 Allah menyuruh menggunakan qiyas sebagaimana dipahami dari beberapa ayat Alqur’an,
seperti dalam surat Al-Hasyr (59), ayat 2 :

“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung
mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan
keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka
dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang
tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang
mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang
mempunyai wawasan.”

Pada ayat di atas terdapat perkataan fa’ tabiru ya ulil abshar (maka ambillah tamsil dan ibarat
dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan tajam). Maksudnya ialah:
Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada
diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman
melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan
memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang
boleh menetapkan suatu hukum syara’ dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau
qiyas.
Firman Allah dalam surat An-Nisa’ (4) ayat 59:

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul

dan ulil amri (orang-orang yang mengurus urusan) di antaramu. Jika kamu berselisih

paham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul.”

Perintah menaati Allah berarti perintah mengikuti hukum Alqu’an, perintah menaati
Rasul berarti perintah untuk melaksanakan hukum yang terdapat dalam Sunnah dan perintah
menaati ulil amri berarti perintah mengikuti hukum hasil ijma’ ulama. Sedangkan kata-kata
akhir (Jika kamu berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan
Rasul), berarti perintah untuk mengikuti qiyas dalam hal-hal terdapat perbedaan. Ini memberi
penjelasan bahwa pengembalian itu berlaku atas perintah Allah dan Rasul. Tidak mungkin
dikatakan bahwa kata “ruju’” itu berarti mengembalikan kepada Alqur’an dan Sunnah, karena
ruju’ kepada qiyas itu berlaku setelah adanya perbedaan pendapat sedangkan perintah
mengamalkan Alqur’an dan Sunnah tanpa disangkutkan kepada adanya perbedaan pendapat.
Perbedaan pendapat di antar umat islam tentang hukum syara’ jarang terjadi pada sesuatu
yang telah ditetapkan dengan nash Alqur’an dan Sunnah. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa yang dimaksud perbedaan pendapat dalam ayat di atas adalah tentang hukum yang
tidak terdapat dalam nash syara’.arti ayat itu adalah suruhan untuk menghubungkan kepada
Alqur’an dan Sunnah dengan cara pemikiran mendalam untuk mencari kesamaannya dengan
yang ada pada nash syara’. Kesamaan itu hanya dapat diketahui melalui penggunann nalar
(ra’yu).

b. Dalil Sunnah
Di antara dalil sunnah yang dikemukakan Jumhur Ulama’ sebagai argumentasi bagi
penggunaan qiyas adalah:

 Hadits mengenai percakapan Nabi dengan Muaz ibn Jabal, saat ia diutus ke Yaman
untuk menjadi penguasa di sana. Nabi bertanya, “dengan cara apa engkau
menetapkan hukum seandainya kepadamu diajukan sebuah perkara? “Muaz
menjawab, “Saya menetapkan hukum berdasarkan kitab Allah”. Nabi bertanya lagi,
“Bila engkau tidak menemukan hukumnya dalam kitab Allah?” Jawab Muaz,
“Dengan sunnah Rasul.” Nabi bertanya lagi, “ kalau dalm Sunah juga engkau tidak
menemukannya?” Muaz menjawab, “Saya akan menggunakan ijtihad denga nalar
(ra’yu) saya.” Nabi bersabda, “segala puji bagi Allah yang telah memberi Taufiq
kepada utusan Rasul Allah dengan apa yang diridhoi Rasul Allah.”

Hadits tersebut merupakan dalil sunnah yang kuat, menurut jumhur Ulama’, tentang kekuatan
qiyas sebagai dalil Syara’

 Nabi memberi petunjuk kepada sahabatnya tentang penggunaan qiyas dengan


membandingkan antara dua hal, kemudian mengambil keputusan atas perbandingan
tersebut. Dalam Hadits dari Ibnu ‘Abbas menurut riwayat An-Nasa’i Nabi bersabda:
“Bagaimana pendapatmu bila bapakmu berutang, apakah engkau akan
membayarnya?” Dijawab oleh si penanya (al-Khatasamiyah), “ya, memang.” Nabi
Berkata, “Utang terhadap Allah lebih patut untuk dibayar.”

Hadits di atas adalah tanggapan atas persoalan si penanya yang bapaknya bernazar
untuk haji tetapi meninggal dunia sebelum sempat mengerjakan haji. Ditanyakannya kepada
Nabi dengan ucapannya, “Bagaimana kalau saya yang menghajikan bapak saya itu?”
Keluarlah jawaban Nabi seperti tersebut di atas.

Dalam hadits itu, Nabi memberikan taqrir (pengakuan) kepada sahabatnya yang
menyamakan utang kepada Allah, yaitu haji lebih patut untuk dibayar. Dalil ini menurut
jumhur ulama’ cukup kuat sebagai alasan penggunaan qiyas.

C. Atsar Shahabi
Adapun argumentasi jumhur ulama’ berdasarkan atsar sahabat dalam penggunaan qiyas,
adalah :

 Surat Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa Al-Asy’ari sewaktu diutus menjadi
qodhi di Yaman. Umar berkata :
Putuskanlah Hukum berdasarkan kitab Allah. Bila kamu tidak menemukannya, maka
putuskan berdasarkan sunnah Rasul. Jika juga kamu peroleh di dalam sunnah,
berijtihadlah dengan menggunakan ra’yu.
Pesan Umar dilanjutkan dengan :
Ketahuilah kesamaan dan keserupaan: Qiyas-kanlah segala urusan waktu itu.
Bagian pertama atsar ini menjelaskan suruhan menggunakan ra’yu pada waktu tidak
menemukan jawaban dalam Alqur’am maupun Sunnah, sedangkan bagian akhir atsar
shahabi itu secara jelas menyuruh titik perbandingan dan kesamaan di antara dua hal
dan menggunakan qiyas bila menemukan kesamaan.
 Para Sahabat Nabi banyak menetapkan pendapatnya berdasarkan qiyas. Contoh
yang popular adalah kesepakatan sahabat mengangkat Abu bakar menjadi khalifah pengganti
Nabi. Mereka menetapkannya dengan dasar qiyas, yaitu karena Abu bakar pernah ditunjuk
Nabi menggantikan beliau nmenjadi imam shalat jamaah sewaktu beliau sakit. Hal ini
dijadikan alasan untuk mengangkat abu bakar menjadi khalifah. Para sahabat berkata: “Nabi
telah menunjukkannya menjadi pemimpin urusan agama kita, kenapa kita tidak memilihnya
untuk memimpin urusan dunia kita.”
Kedudukan abu bakar sebagai khalifah diqiyas-kan kepada kedudukannya sebagai imam
shalat jamaah. Ternyata argumen ini dipahami semua sahabat (yang hadir dalam pertemuan
itu), sehingga mereka sepakat untuk mengangkat abu bakar dengan cara tersebut.3[4]

C. Penolak dan Penerima Qiyas

Berhubung qiyas merupakan aktivitas aqal, maka ada beberapa ulama’ yang berselisih
paham dengan ulama’ jumhur, yakni mereka tidak mempergunakan qiyas. Di kalangan ahli
fiqh dalam hal qiyas ini, terdapat tiga kelompok sebagai berikut :

1. Kelompok Jumhur, yang mempergunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang
tidak jelas nash baik dalam Alqur’an, Sunnah, Pendapat sahabat maupun ijma’ ulama. Hal itu
dilakukan dengan tidak berlebihan dan melampaui batas.
Mereka Menggunakan Dalil :

78. Dan ia membuat perumpamaan bagi kami dan dia lupa kepada kejadiannya, ia berkata :
“ siapakah yang dapat menghidupkan Tulang belulang yang telah hancur luluh?”
79. Katakanlah : “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama
dan Dia maha mengetahui tentang segala makhluk.

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuan-Nya menghidupkan


tulang belulang yang telah berserakan di kemudian hari dengan kemampuan-Nya
menciptakan tulang belulang pertama kali.
Kelompok Zahiriyah menolak argumentasi ini, mereka mengatakan bahwa Allah tidak
pernah menyatakan bahwa Ia mengembalikan tulang belulang oleh karena ia menciptakannya
pertama kali.

2. Madzab Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah, yang sama sekali tidak mempergunakan
qiyas. Madzab zhahiriyah tidak mengakui adanya ‘illat nash dan tidak berusaha mengetahui
sasaran dan tujuan nash, termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu

3[4] Prof. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2011), hlm 177-187.
kepastian hukum yang sesuai dengan ‘illat. Mereka membuang semua itu jauh-jauh dan
sebaliknya, mereka menetapkan suatu hukum hanya dari teks nash semata. Dengan demikian
mereka mempersempit kandungan lafadz, tidak mau memperluas wawasan untuk mengenali
tujuan legislasi Islam. Mereka terpaku pada bagian “luar” dari teks semata.
Mereka menggunakan dalil :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan
bertakwalah kepada Allah. “

Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang
tidak ada dalam al-Qur'an dan sunah Rasul. Mempedomani qiyas merupakan sikap beramal
dengan sesuatu diluar al-Qur'an dan sunnah Rasul, dan karenanya dilarang
3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas yang berusaha berbagai hal
karena persamaan ‘illat. Bahkan dalam kodisi dan masalah tertentu, kelompok ini
menerapkan qiyas sebagai pentakhsish dari keumuman dalil Alqur’an dan Sunnah.4[5]

D. Rukun Qiyas

Berdasarkan definisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang
tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang ada nashnya karena ‘illat serupa.
Maka rukun qiyas ada empat macam, yaitu :
1. Ashl (Pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada Nashnya yang dijadikan tempat
mengqiyaskan, sedangkan menurut hukum teolog adalah suatu Nash syara’ yang
menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain suatu Nash yang menjadi Dasar Hukum.
Ashl disebut Maqis ‘Alaih (yang dijadika tempat mengqiyaskan), Mahmul ‘Alaih (tempat
membandingkan) atau Musyabbah bih (tempat menyerupakan).
2. Far’u (Cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya. Far’u itulah yang dikehendaki
untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Ia disebut juga maqis (yang dianalogikan) dan
musyabbah (yang diserupakan).
3. Hukum Ashl, yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu Nash.
4. ‘Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya sifat itulah ashl
mempuyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula terdapat cabang sehingga hukum cabang
itu disamakanlah dengan hukum ashl.5[6]

4[5] Prof Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012), hlm 339-340

5[6] Prof. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), hlm 87-88.
E. Macam-Macam Qiyas

1. Qiyas Aulawy
Yaitu qiyas yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya hukum. Dan antara hukum asal
dan hukum yang disamakan (furu’) dan hukum cabang memiliki hukum yang lebih utama
daripada hukum yang ada pada al-asal. Misalnya: berkata kepada kedua orang tua dengan
mengatakan “uh”, “eh”, “busyet” atau kata-kata lain yang semakna dan menyakitakan itu
hukumnya haram, sesuai dengan firman allah SWT QS. Al-Isra’ (17) : 23.

Artinya:
“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan, supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang mulia (lemah lembut)”.
(QS. Al-Isra’ : 23)

2. Qiyas Musawy
Yaitu qiyas yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan sama antara hukum
yang ada pada al-ashl maupun hukum yang ada pada al-far’u (cabang). Contohnya,
keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan firman Allah Surat An-Nisa’ (4)
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka)".

Dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan atau kesalahan pengelolaan atau salah
menejemen yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti memakan harta
anak yatim tersebut.
3. Qiyas Adna
Qiyas adna yaitu adanya hukum far’u lebih lemah bila dirujuk dengan hukum al-
ashlu. Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadl (riba
yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar menukar antara dua bahan kebutuhan
pokok atau makanan). Dalam masalah kasus ini ‘illat hukumnya adalah baik apel maupun
gandum merupakan jenis makanan yang bisa dimakan dan ditakar.6[7]

6[7] Drs. H. Moch Rifa’I, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang : Karya Toha P
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Qiyas menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Alqur’an dan
Hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash.

Dengan cara qiyas itu berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum
sesuatu kepada sumbernya Alqur’an dan Hadits. Sebab hukum islam, kadang tersurat jelas
dalam nash Alqur’an atau Hadits, kadang juga bersifat implisit-analogik terkandung dalam
nash tersebut.

Sebagian para ulama’ fiqh dan para pengikut madzab yang empat sependapat bahwa
qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum ajaran
islam. Mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak
diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Hanya sebagian kecil para ulama’ yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar
hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzab Dzahiri dan Madzab Syi’ah.
Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad. 2012. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.


Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Rifa’i, Moh. 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang.
Wikipedia. “Qiyas”. 16 Maret 2104. http://en.wikipedia.org/wiki/Qiyas.

Anda mungkin juga menyukai