Anda di halaman 1dari 15

RINGKASAN EKSEKUTIF

KEBIJAKAN STRATEGIS PEMBANGUNAN

EKONOMI KELAUTAN DI INDONESIA

2018
Peneliti:

Lisnawati, Achmad Sani Alhusain, Nidya Waras Sayekti, dan Masyithah Aulia Adhiem

PUSAT PENELITIAN

BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

JAKARTA
Indonesia merupakan negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia dimana 70 persen luas
wilayahnya adalah lautan. Panjang pantai Indonesia mencapai 95.181 km2 dengan luas wilayah
laut 5,8 juta km2 yang terdiri dari wilayah teritorial sebesar 3,2 juta km2 dan wilayah Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km2. Potensi tersebut menempatkan Indonesia
sebagai negara yang dikaruniai sumber daya kelautan yang besar termasuk kekayaan
keanekaragaman hayati dan non hayati kelautan terbesar.1
Produk Domestik Bruto (PDB) subsektor perikanan berperan strategis dalam
memberikan sumbangan terhadap PDB Nasional.2 Meskipun secara makro ekonomi terjadi
peningkatan volume produksi, nilai ekspor, dan sumbangan bidang kelautan terhadap PDB
(Produk Domestik Bruto), namun kondisi sebagian besar (sekitar 70 persen) nelayan,
pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir masih terjebak dalam kemiskinan (Dahuri. R, 2004).
Dengan kata lain, pembangunan kelautan masa lalu menghasilkan ekonomi dualistik, sebagian
masyarakat bahari masih miskin dan hanya sebagian kecil yang makmur. Di sisi lain, kerusakan
lingkungan berupa overfishing (tangkap lebih), species extinction (kepunahan jenis), kerusakan
terumbu karang, degradasi hutan mangrove, pencemaran dan lainnya di berbagai kawasan
pesisir dan laut telah mencapai suatu tingkat yang mengancam kelestarian ekosistem laut.3
Berbagai peraturan perundangan di sektor kelautan telah dibuat pemerintah, seperti
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan Peraturan Presiden No. 16 Tahun
2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia. Walaupun demikian, masih terdapat permasalahan
di sektor kelautan Indonesia dan menjadi fokus perhatian Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia
(DPR RI) khususnya Komisi IV, antara lain kebijakan penggunaan Alat Penangkapan Ikan (API),
rendahnya tingkat kesejahteraan nelayan, masalah impor hasil laut, dan rentannya sumber daya
laut dari ancaman pencurian ikan (illegal fishing).
Dengan dilatarbelakangi hal di atas, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk
memetakan berbagai permasalahan dalam pembangunan ekonomi kelautan di Indonesia,
mengetahui implementasi berbagai kebijakan yang telah dibuat, dan menganalisis kebijakan
strategis pembangunan ekonomi kelautan yang dibutuhkan bagi penguatan sektor kelautan
Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang
berupaya menganalisis kebijakan strategis pembangunan ekonomi kelautan di Indonesia.
Dalam melakukan analisis, penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui wawancara bersama stakeholder yang berhubungan langsung dengan
masalah kelautan dan focus group discussion (diskusi kelompok terfokus) dengan Kementerian

1 Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2014, Badan Pusat Statistik, 2014, Hal. 3
2 Ibid, Hlm. 63-64.
3 Ibid, Hlm. 9-10.

1
Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Keuangan, Indonesia Maritim Centre (IMC),
Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Aliansi Nelayan Indonesia (ANI), Dinas Kelautan
dan Perikanan, Koperasi/perkumpulan nelayan, perbankan/lembaga keuangan, serta
akademisi.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari data Badan Pusat Statitik (BPS), literatur
(buku-buku referensi, jurnal), Sekretariat Komisi IV DPR RI dan Tim Penyusun Naskah
Akademik RUU Perikanan dalam bentuk bahan rapat/diskusi/seminar, surat kabar, majalah,
dan internet yang mempublikasikan mengenai pembangunan ekonomi kelautan di Indonesia.
Penelitian dilakukan untuk memberikan penekanan pada tujuan yang ingin dicapai, meski
terdapat keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya. Jangka waktu penelitian yaitu 9 bulan yang
dibagi ke dalam beberapa tahapan (penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian di lapangan,
dan penyusunan laporan penelitian). Penelitian di lapangan dilakukan dengan mengunjungi dua
daerah yang telah dipilih sebagai objek penelitian.

Perkembangan dan Potensi Ekonomi Kelautan di Indonesia


Indonesia merupakan peringkat pertama sebagai negara dengan laut dan garis pantai
terpanjang di Asia Tenggara dan peringkat kedua di dunia setelah Kanada. Berdasarkan Data
KKP, Indonesia menghasilkan 10 persen pasokan ikan dunia, terdapat 76 persen spesies karang
dunia, dan 37 persen spesies terumbu karang.4 Jika dilihat dari keberadaan wilayah yang
berbatasan langsung dengan laut, terdapat 15,61 persen desa/kelurahan yang berada di tepi
laut, dimana lokasi terbanyak ada di Provinsi Riau.5
Kontribusi perikanan pada perekonomian Indonesia dapat dilihat dari kontribusi sektor
perikanan yang menjadi salah satu sektor yang turut menyumbang kenaikan PDB Indonesia di
tahun 2017 yaitu dengan memberikan kontribusi sebesar 13,14 persen terhadap total
perekonomian. Berdasarkan data dari KKP, nilai PDB Sektor Perikanan pada triwulan III tahun
2017 lebih tinggi dibandingkan PDB nasional dan PDB sektor pertanian, yaitu mencapai
Rp169.513,10 miliar, dengan kenaikan sebesar 6,79 persen dibandingkan tahun 2016.6
Kontribusi sektor perikanan juga tampak dari peningkatan nilai ekspor perikanan yang pada

4 Kementerian Kelautan dan Perikanan, Menuju Laut Laut Masa Depan Bangsa, http://kkp.go.id/wp-
content/uploads/2017/11/Booklet_3th-Capaian-Kinerja-KKP.pdf diakses 7 Februari 2018.
5 Badan Pusat Statistik, Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2017, Katalog Badan Pusat Statistik
Indonesia, 2017, Jakarta, hal. 4.
6 Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2018, Produktivitas Perikanan Indonesia, Paparan yang
disampaikan pada Forum Kementerian Komunikasi dan Informatika.

2
tahun 2016 berada di angka 3,78 miliar naik sebesar 8,12 persen di tahun 2017 menjadi 4,09
miliar.7
Selain potensi perikanan secara umum, laut Indonesia terkenal akan keanekaragaman
hayati dan keindahan pantai yang menjadi daya tarik wisata. Indonesia memiliki jumlah pulau
terbanyak di dunia yaitu 17.504 pulau.8 Kondisi tersebut memberikan keuntungan tersendiri
bagi Indonesia yaitu potensi sumber daya laut dan pesisir yang berlimpah.
Potensi kelautan dan perikanan Indonesia tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor 50/Kepmen-KP/2017 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang
Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Republik Indonesia. Keputusan menteri tersebut menjadi pedoman bagi pemerintah
daerah untuk dapat mengembangkan dan melakukan optimalisasi produksi perikanan,
khususnya perikanan tangkap, di wilayah perairan mereka. Potensi sektor maritim Indonesia
sangat besar, maka akan sangat disayangkan jika potensi ini tidak dapat dimanfaatkan
sepenuhnya.

Permasalahan Pembangunan Ekonomi Kelautan Indonesia


Dalam roadmap pembangunan kelautan dan perikanan tahun 2015-2019, Kamar
Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Kedaulatan dan Perikanan membuat peta
permasalahan dalam bidang kelautan dan perikanan, antara lain yaitu:9 1) Belum optimalnya
produksi perikanan budi daya nasional (ikan dan rumput laut) dan produksi perikanan tangkap
di ZEEI dan laut lepas sebagai sumber pangan perikanan; 2) Belum optimalnya pertumbuhan
PDB perikanan; 3) Belum terkelolanya pulau-pulau kecil sebagai kekuatan ekonomi; 4) Belum
optimalnya industri pengolahan perikanan, khususnya di kawasan Indonesia Bagian Timur; 5)
Ketersediaan BBM untuk nelayan dan pembudidayaan ikan; 6) Belum optimalnya pengawasan
UU fishing; 7) Peningkatan kawasan konversi laut nasional; 8) Peningkatan kapasitas SDM
kelautan dan perikanan; 9) Peningkatan iptek kelautan dan perikanan serta diseminasi
teknologi; dan 10) Peningkatan tata kelola pembangunan kelautan dan perikanan nasional.
Bidang kelautan dan perikanan memiliki permasalahan yang kompleks karena
keterkaitannya dengan banyak sektor dan juga sensitif terhadap interaksi terutama dengan
aspek lingkungan. Adanya tiga persoalan mendasar dalam dunia maritim Indonesia, yaitu
ketimpangan agraria kelautan, kerentanan pencurian ikan, dan ketimpangan infrastruktur.

7 KKP News, 2017, Nilai Ekspor Perikanan Indonesia Naik 8,12 Persen,
(http://news.kkp.go.id/index.php/nilai-ekspor-perikanan-indonesia-naik-812-persen/ diakses 13
Maret 2018).
8 Badan Pusat Statistik, Statistik Sumber Daya Laut 2017, 2018, Jakarta, hal. 3.
9 “Inilah Permasalahan Sektor Kelautan dan Perikanan Hasil Kajian Kadin”,
https://www.wartaekonomi.co.id/read35446/inilah-permasalahan-sektor-kelautan-dan-perikanan-
hasil-kajian-kadin.html, diakses 14 September 2018.

3
Kebijakan Strategis Pembangunan Ekonomi Kelautan Indonesia
Tujuan kebijakan ekonomi kelautan Indonesia dijelaskan dalam Peraturan Presiden No.
16 tahun 2017 yaitu menjadikan kelautan sebagai basis pembangunan ekonomi yang berbasis
pada sumber daya kelautan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui formulasi desain
program kelautan nasional disertai dengan kelengkapan instrumen fiskal, moneter, keuangan,
serta mobilisasi lintas sektor untuk mendukung pembangunan bidang kelautan.10 Perwujudan
dari Perpres tersebut kemudian dituangkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia No. 45/Permen-KP/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 25/Permen-KP/2015 tentang Rencana
Strategis KKP Tahun 2015-2019. Selain itu, masih banyak lagi kebijakan yang dikeluarkan oleh
KKP dalam rangka meningkatkan ekonomi kelautan. Apabila diterjemahkan dalam bentuk
bagan, maka kebijakan kelautan Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber: Perpres No. 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia.


Selama kurun waktu tiga tahun menerapkan kebijakan-kebijakan tersebut, KKP telah
berhasil memperoleh pencapaian antara lain: (1) membongkar perdagangan manusia di Ambon
yang berkedok nelayan atau awak kapal asing; (2) menekan potensi kerugian daerah melalui
moratorium kapal eks-asing; (3) menaikkan produksi hasil tangkapan nelayan lokal dan
perdagangan ikan domestik.11 Kondisi perikanan saat ini menunjukkan bahwa sektor tersebut
merupakan salah satu aktifitas ekonomi yang sangat kompleks.12 Tantangan untuk memelihara

10 Op.Cit., Lampiran Presiden No. 16 Tahun 2017, hal. 26-27.


11 Kementerian Kelautan dan Perikanan, Loc.Cit.
12 Akhamd Fauzi & Suzyana, Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan: Aplikasi
Pendekatan RAPFISH, Jurnal Pesisir dan Lautan, Volume 4 No.3, 2002, Jakarta, hal. 43.

4
sumberdaya sekaligus meningkatkan kesejahteraan nelayan menjadi dua hal yang harus
dipertimbangkan secara bersamaan tanpa memberikan efek buruk pada salah satunya.
Kebijakan lain yang dibuat pemerintah dalam rangka menghadapi tantangan tersebut,
diantaranya yaitu moratorium perizinan bagi kapal eks-asing untuk memiliki izin di Indonesia,
penenggelaman kapal illegal, pelarangan bongkar muat kapal di laut, larangan penggunaan alat
tangkap yang merusak lingkungan, mengatur perlindungan HAM untuk nelayan, serta
meningkatkan transparansi pengelolaan kelautan dan perikanan. Kebijakan yang dituangkan
dalam bentuk aturan hukum dan program tersebut, tidak lain bertujuan untuk kedaulatan
perikanan dan kesejahteraan rakyat.
Pemerintah telah membuat berbagai kebijakan strategis dalam rangka meningkatkan
perekonomian kelautan Indonesia. Namun demikian, terdapat beberapa kebijakan pemerintah
yang dianggap memberatkan, antara lain Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen
KKP) No. 56/2014 tentang Penghentian Sementara Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di WPP
RI, Permen KKP No. 57/2014 tentang Usaha Perikanan Tangkap di WPP RI (yang melarang alih
muat di tengah laut), Permen KKP No. 2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan
Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik di WPP RI, dan Peraturan Pemerintah No.75/2015 tentang
Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada KKP. Semestinya,
kebijakan yang ditetapkan pemerintah harus bersifat efektif dan memberikan manfaat, seperti
meningkatkan kesejahteraan rakyat, membuka lapangan kerja, serta meningkatkan pendapatan
pemerintah pusat dan daerah.13

Studi di Provinsi Banten


Pembangunan ekonomi kelautan di Banten masih ditopang oleh industri perikanan
tangkap dan perikanan budidaya. Rumah tangga perikanan tangkap di Banten pada tahun 2016
sebanyak 9.235 rumah tangga dengan produksi perikanan tangkap mencapai 53.266,14 Ton.
Luas areal budidaya perikanan di Banten pada tahun 2016 adalah 15.799,82 Ha yang tersebar di
8 kabupaten/kota pesisir. Jumlah rumah tangga perikanan budidaya pada tahun 2016 adalah
24.442 dengan nilai produksi perikanan budidaya mencapai 105.480,81 Ton.14
Jika dilihat dari lokasi geografisnya, Provinsi Banten dikelilingi oleh 3 wilayah
perikanan, yaitu Selat Sunda, Samudera Hindia, dan Laut Jawa. Berdasarkan Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan RI No. 50 tahun 2017 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang
Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Republik Indonesia, potensi ikan di perairan Banten mencapai lebih dari 1 juta ton yang

13 “Evaluasi Kebijakan KKP: JK Ingin Pastikan Semua Kebijakan Pemerintah Efektif”,


http://industri.bisnis.com/read/20160329/99/532563/javascript, diakses 14 September 2018.
14 BPS Banten, Provinsi Banten Dalam Angka 2017, Op.Cit., hal. 233-241

5
terdiri dari ikan pelagis, ikan demersal, ikan karang, udang, lobster, kepiting, rajungan, dan
cumi-cumi. Komoditas unggulan Banten hingga saat ini adalah kekerangan, rumput laut, udang,
dan bandeng.
Berdasarkan hasil diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten,
jumlah kapal di Provinsi Banten sampai saat ini mencapai 8.400 kapal dengan ukuran bervariasi
antara 5-30 GT. Hingga saat ini, baru setengah dari jumlah tersebut yang memiliki izin. Untuk
nelayan sendiri, banyak nelayan banten yang belum memiliki izin. Dari sekitar 4000 nelayan
yang terdata di Banten, baru sekitar 150 orang yang memiliki izin.
Implementasi Kebijakan Kelautan dan Perikanan di Provinsi Banten mengalami
beberapa kendala. Hambatan utama adalah kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) untuk
mengimplementasikan kebijakan yang ada, seperti dalam hal penerbitan Surat Izin Melaut yang
dilayani oleh 2 (dua) orang petugas syahbandar, sedangkan jumlah yang mengajukan izin bisa
mencapai ribuan orang. Selain itu, sebelum dikeluarkannya izin melaut petugas harus
melakukan pengecekan kapal (cek fisik kapal). Dari ribuan kapal yang ada di Banten, hanya ada
5 (lima) orang petugas untuk melakukan cek fisik. Di sisi lain, lulusan sarjana
perikanan/kelautan masih sedikit di Banten. Umumnya, sarjana di Banten lulusan jurusan ilmu
agama Islam.
Masalah lain adalah ketika kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat sulit untuk
diterapkan di daerah. Sebagai contoh, ketika pemerintah daerah provinsi Banten akan
menetapkan rencana zonasi laut, ternyata berbenturan dengan kebijakan nasional yang akan
membuat suatu fasilitas di zona konservasi laut atau zona ekonomi laut. Banten memiliki
banyak kepentingan di zona lautnya, antara lain pertambangan, pipa gas bawah laut, pipa kabel
fiber optik bawah laut, dan zona perikanan tangkap. Dan hampir kesemuanya saling tumpang
tindih, sehingga dibutuhkan perencanaan yang matang melaksanakan semua kebijakan
tersebut.
Implementasi kebijakan sertifikasi nelayan terkendala dengan prasyarat yang masih
belum membumi, salah satunya adalah mengharuskan pendidikan minimal setingkat SMA,
sedangkan kondisi di lapangan banyak nelayan yang tidak bersekolah, atau hanya mengenyam
pendidikan dasar. Sertifikasi juga mensyaratkan keikutsertaan nelayan dalam diklat. Kondisi
tersebut dirasa menyulitkan karena itu berarti nelayan harus mengeluarkan biaya lebih untuk
transportasi ke lokasi diklat dan tidak dapat pergi melaut saat pelaksanaan diklat yang
mengakibatkan berkurangnya pendapatan. Pemerintah perlu mengkaji lebih lanjut terkait
sertifikasi nelayan karena sifatnya keahlian maka sebaiknya jam terbang menjadi salah satu
prasyarat yang lebih utama dibandingkan dengan pendidikan formal.
Kendala lain yang juga krusial adalah meningkatkan produksi perikanan tangkap untuk
dipasarkan di Banten. Hingga saat ini jumlah pelabuhan ikan yang memadai masih sangat

6
terbatas di Banten (hanya ada 1, di Pandeglang). Hal tersebut menyebabkan banyak nelayan
yang memilih untuk bertransaksi di tengah laut sehingga transaksi tersebut tidak tercatat atau
mengirimkan hasil tangkapannya ke pelabuhan Muara Baru di provinsi DKI Jakarta. Sehingga
pasokan ikan Banten harus dikirim dari provinsi lain dan menyebabkan harga ikan menjadi
tinggi. Guna mengatasi hal tersebut, pemerintah provinsi akan menambah 2 pelabuhan ikan di
lokasi Binuangan dan Cituis yang dilengkapi dengan cold storage yang memadai. Pemerintah
sudah mengusulkan terdapat 34 rencana pembangunan pangkalan pendaratan ikan (PPI) baru
se Banten. Namun, baru sekitar 16 lokasi yang disetujui oleh pemerintah dan masuk sebagai
rencana induk pengembangan potensi perikanan di Banten.
Masalah lain yang juga penting adalah rendahnya perekonomian nelayan. Kondisi
ekonomi nelayan pada umumnya sangat dekat dengan krisis dan ketidakpastian. Ketika tiba
masa tidak bisa melaut maka nelayan akan dengan mudah masuk ke jurang kemiskinan. Pola
ekonomi nelayan yang masih banyak bergantung pada patron (juragan pemilik kapal) juga
mempengaruhi kondisi sosial ekonomi nelayan. Kebijakan pemerintah untuk mengatasi kondisi
tersebut melalui asuransi nelayan masih belum banyak membantu karena prasyarat yang sulit
untuk dipenuhi oleh nelayan. Selain itu, proses klaim juga dirasakan rumit bagi kebanyakan
nelayan. Kebijakan lainnya terkait perbantuan pemberian kapal dengan ukuran lebih dari 10 GT
kepada nelayan dianggap tidak efisien. Hal tersebut dikarenakan banyak wilayah perairan yang
dangkal sehingga tidak memungkinkan untuk menambatkan kapal dengan ukuran besar.
Akibatnya banyak kapal-kapal perbantuan tersebut yang tidak terpakai.
Kebijakan pelarangan cantrang masih menjadi polemik di Banten. Kebijakan tersebut
memiliki waktu toleransi penggantian alat tangkap hingga akhir tahun 2017 namun hingga saat
ini masih banyak nelayan yang belum mengganti alat tangkapnya. Hal tersebut dikarenakan
cantrang masih merupakan salah satu alat tangkap yang cukup efisien untuk beberapa jenis
ikan dan sosialisasi penerapan kebijakan belum berjalan dengan baik. Kebijakan lain yang juga
masih belum diterapkan dengan baik adalah penarikan rumpon milik nelayan. Masih banyak
rumpon yang lokasinya tidak diinfokan kepada pihak berwenang karena belum didukung oleh
pencabutan Peraturan Menteri yang sebelumnya membolehkan rumpon.

Studi di Provinsi Jawa Barat


Bidang perikanan merupakan salah satu penyumbang PDRB di Jawa Barat. Berdasarkan
data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, terjadi kenaikan
jumlah produksi perikanan tangkap dan perikanan budidaya sejak tahun 2013 hingga tahun
2017.15 Jumlah produksi perikanan budidaya mencapai 1.141.748,52 ton dengan rata-rata
kenaikan per tahun adalah 5,2 persen per tahun. Produksi perikanan tangkap di tahun 2017

15 BPS Provinsi Jawa Barat, Jawa Barat Dalam Angka 2017, 2018, hal. 327-340

7
mencapai 265.641,51 ton dengan rata-rata kenaikan 5,7 persen per tahun. Jumlah nelayan
perairan laut adalah 97.964 orang dan nelayan perairan umum daratan mencapai 30.077
dengan nilai tukar nelayan Jawa Barat di tahun 2017 cukup tinggi, mencapai 113,17.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat telah melaksanakan berbagai
implementasi kebijakan, antara lain: peningkatan pengelolaan SDKP; pengembangan perikanan
budidaya; pengembangan perikanan tangkap; pengolahan dan pemasaran hasil perikanan;
pengembangan dan pengelolaan kawasan pesisir; revitalisasi ekosistem peraiaran umum;
pengembangan teknologi kelautan dan perikanan; peningkatan kapasitas SDM KP; serta
peningkatan sarana dan prasarana KP.16 Dalam upayanya meningkatkan perekonomian
kelautan dan perikanan, Dinas juga bekerjasama dengan berbagai pihak, diantaranya adalah
para akademisi di bidang perikanan dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Provinsi
Jawa Barat.

Permasalahan terkait perikanan dan kelautan di Jawa Barat adalah sebagai berikut:
a. Kelautan merupakan sumberdaya alam yang bersifat open source, sehingga pengelolaannya
memerlukan collective action dalam bingkai kelembagaan yang difahami, diterima, dan
dilaksanakan bersama.
b. Kebijakan kelautan juga masih belum bersinergi sehingga masih banyak terjadi perbedaan
definsi dan klasifikasi terkait bidang-bidang kelautan dan perikanan yang mengakibatkan
sulitnya penerapan kebijakan tersebut. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat juga
seringkali cepat berubah sehingga pemerintah daerah/provinsi tidak cukup waktu untuk
melakukan sosialisasi kepada nelayan mengingat jumlah nelayan di daerah sangat banyak
dan tersebar sedangkan SDM yang dimiliki oleh dinas sangat terbatas.
c. Struktur armada penangkapan yang didominasi oleh KAPI kecil sehingga belum dapat
mengoptimalkan potensi KP terutama pada zona II, III dan ZEE. Hal tersebut berdampak
pada masih tingginya perampokan di tengah laut yang tidak jarang memakan korban jiwa
para nelayan.
d. Ketimpangan pemanfaatan potensi SDKP dimana di Pantura terjadi over fishing sementara di
wilayah pantai selatan belum termanfaatkan secara optimal.
e. Belum adanya skema penguatan investasi dan permodalan yang sounding kepada kultur
usaha penangkapan ikan dan sosioekonomi masyarakat pesisir (nelayan)
f. Belum padunya antar sektor dalam menunjang pembangunan kelautan dan perikanan, baik
antar pemerintah maupun antara pemerintah dan privat.

16 Ibid.

8
g. Kondisi infrastruktur belum memadai, terutama pelabuhan-pelabuhan dan tempat
pelelangan ikan. Akibatnya banyak kapal nelayan yang terpaksa didaratkan di Muara Angke
dan Cilacap.
h. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM, baik SDM Dinas/lembaga pemerintah maupun SDM
nelayan sebagai pelaku ekonomi.
i. Belum selarasnya kebijakan pemanfaatan ruang dengan upaya pengembangan sektor
kelautan dan perikanan.
j. Belum optimalnya dukungan sektor lainnya dalam pengembangan budidaya dan
penangkapan ikan, terutama yang berkaitan dengan permodalan dan teknologi aplikatif.
k. Rendahnya dukungan anggaran baik yang berasal dari APBN maupun APBD. Sebagai
perbandingan, porsi APBD untuk Dinas Kelautan dan Perikanan di Provinsi Jawa Timur
adalah 10 persen, sedangkan di Jawa Barat hanya 0,7 persen.
l. Variabilitas iklim sebagai akibat dari global warming yang berpengaruh kepada musim,
cuaca, ruaya dan musim ikan yang tidak terprediksi. Perubahan iklim juga diprediksi
mengakibatkan migrasi ikan dari perairan tropis ke perairan subtropis dalam jangka
panjang.
m. Degradasi lingkungan baik itu yang dikarenakan pencemaran dan kerusakan ekosistem
perairannya sendiri maupun pencemaran dan kerusakan di inland yang berpengaruh kepada
wilayah perairan
n. Perizinan masih dirasa menyulitkan. Adanya rencana penerapan OSS (one single submission)
menyebabkan seluruh kegiatan penerbitan dokumen-dokumen perizinan melaut ditunda
sementara dan berdampak pada tidak adanya penghasilan bagi nelayan akibat tidak bisa
melaut (tanpa izin melaut tersebut).
o. Perizinan PAS KECIL (untuk kapal di bawah 6 GT) yang sebelumnya merupakan kewenangan
Kabupaten/Kota, saat ini ditarik menjadi kewenangan Pusat yang menyebabkan izin
tersebut semakin sulit didapat karena adanya persyaratan-persyaratan yang dirasa
menyusahkan, misalnya: Pembuat kapal harus menandatangani surat (Sedangkan banyak
pembuat kapal adalah perorangan); pengukuran ulang setiap kali buat kapal baru; butuh
waktu lama untuk menerbitkan izin tersebut; kurangnya sosialisasi. Perlu diambil contoh
dari Jepang, untuk kapal nelayan kecil dengan kapal nelayan niaga dipisahkan perizinannya
sehingga memudahkan nelayan.
p. Belum adanya penetapan harga ikan menyebabkan banyaknya tengkulak.
q. Kapal nelayan (gross akte/ buku kapal) tidak dapat diagunkan untuk modal sehingga
menyulitkan nelayan untuk mendapat tambahan modal bagi usahanya.
Berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut antara lain yaitu:
melakukan zonasi di Provinsi Jawa Barat untuk mengatasi berkurangnya hasil tangkapan;

9
manajemen perencanaan wilayah perikanan, yaitu dengan menjaga kawasan konservasi;
membuat apartemen ikan di wilayah konservasi; dan melakukan pemetaan ikan di suatu
wilayah. Kebijakan Penenggelaman kapal asing ilegal cukup memberikan dampak bagi hasil
tangkapan nelayan, khususnya nelayan buruh. Hal tersebut dikarenakan pada umumnya
menggunakan kapal dengan ukuran maksimal 150 GT, sedangkan kapal asing menggunakan
kapal dengan ukuran di atas 200 GT sehingga mampu menangkap ikan di lokasi yang lebih jauh
dengan jumlah lebih banyak.
Terkait pemberian bantuan kepada nelayan, bantuan tersebut harus bersifat spesifik
lokal dengan memperhatikan wilayah tangkapan serta adat istiadat daerah tersebut. Tidak bisa
dilakukan generalisasi terhadap pemberian bantuan terutama pemberian kapal. Bantuan kapal
juga seharusnya dilengkapi dengan teknologi dan didahului dengan transfer teknologi antara
para ahli dengan nelayan untuk memaksimalkan penggunaan teknologi kapal. Cara tersebut
akan berdampak pada peningkatan kemampuan nelayan dalam mencari dan menangkap ikan.
Cantrang sebagai salah satu alat tangkap yang paling menguntungkan bagi nelayan pada
awalnya merupakan solusi atas pelarangan trawl. Namun dengan adanya pelarangan cantrang
maka perlu ada sosialisasi yang lebih menyeluruh mengenai alat tangkap pengganti. Adanya
daerah yang diperbolehkan menggunakan cantrang juga menjadi kebijakan tersebut terasa
kurang adil. Pemerintah harus menentukan sikap yang sama atas penggunaan cantrang.
Cantrang sebaiknya bukan dilarang, namun diatur penggunaannya.
Hingga saat ini belum ada pola mata pencaharian alternatif ketika bukan musim
berlayar bagi nelayan, meskipun sudah ada pembinaan dari Dinas Kelautan dan Perikanan dan
Kementerian Perindustrian namun masih perlu ada kajian diversifikasi usaha. Penekanan
diberikan pada mata pencaharian alternatif yang bidangnya masih serupa dengan nelayan
sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk mempelajari bidang yang baru. Permodalan
sebagai bagian dari peningkatan perekonomian juga menjadi hal yang penting. Perlu ada
koordinasi berbagai pihak agar nelayan bisa menggunakan kapal sebagai aset yang diagunkan.
Perlindungan ekonomi bagi nelayan yang saat ini sudah dilakukan adalah asuransi bagi
nelayan dengan premi sekitar Rp175.000/tahun dimana premi awal dibantu oleh pemerintah.
Namun yang menjadi kendala adalah ketika harus melanjutkan premi tersebut banyak nelayan
yang masih belum mampu. Peningkatan perekonomian juga telah diupayakan oleh HNSI Jawa
Barat dengan adanya rencana koperasi bagi nelayan. Melalui koperasi tersebut diharapkan
memudahkan akses bagi nelayan untuk permodalan, khususnya dengan menggunakan asset
yang mereka miliki, seperti kapal.
Terkait pelaksanaan kebijakan di tingkat provinsi, Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Jawa Barat masih perlu didukung dengan penambahan jumlah SDM, khususnya
Pegawai Negeri Sipil. Jumlah PNS Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Barat sebanyak 233

10
pegawai, sedangkan jumlah ideal yang dibutuhkan 474 pegawai. Saat ini Dinas masih
diperbantukan dengan 209 orang tenaga harian lepas yang bekerja di banyak unit atau cabang
dinas, namun kondisi tersebut masih dirasa kurang dalam menghadapi persoalan kelautan dan
perikanan di Jawa Barat. Kerjasama sudah dilakukan antara Dinas dengan akademisi dan juga
perwakilan para nelayan melalui HNSI. Namun hingga saat ini, keterlibatan HNSI masih belum
terlalu jauh sedangkan para nelayan merasa keterwakilan mereka seharusnya dilibatkan dalam
pengambilan kebijakan.

Kesimpulan
Indonesia memiliki wilayah perairan lebih dari 70 persen dengan luas wilayah laut lebih
dari 6,3 juta km2 yang menjadikan Indonesia peringkat pertama sebagai negara dengan laut dan
garis pantai terpanjang (95.181 Km) di Asia Tenggara dan peringkat kedua di dunia. Kondisi
tersebut memberikan potensi sumber daya laut dan pesisir yang berlimpah. Letak geografis
Indonesia pun memiliki menempatkan Indonesia sebagai poros maritim dunia dalam konteks
perdagangan global (the global supply chain system) yang menghubungkan kawasan Asia-Pasifik
dengan Australia. Pembangunan di sektor kelautan telah berhasil meningkatkan Nilai Tukar
Nelayan (NTN), nilai ekspor sektor perikanan, dan meningkatkan konsumsi ikan di Indonesia.
Pertumbuhan PDB sektor perikanan tahun 2014-2017 juga selalu di atas PDB Nasional dan PDB
Sektor Pertanian. Sampai dengan Triwulan III tahun 2017, pertumbuhan nilai PDB sektor
perikanan sebesar 6,79 persen dengan nilai sebesar Rp169.513,10 miliar.
Dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi kelautan di Indonesia, tentunya tak luput
dari berbagai permasalahan yang timbul. Beberapa permasalahan tersebut antara lain:
keterbatasan SDM, menurunnya jumlah nelayan, overfishing, praktik-praktik Illegal, Unregulated
and Unreported (IUU) Fishing yang terjadi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia (WPPNRI), baik oleh kapal perikanan Indonesia (KII) maupun oleh kapal perikanan
asing (KIA) menyebabkan kerugian baik dari aspek sosial, ekologi/lingkungan, maupun
ekonomi. Dalam pengembangan perikanan budidaya, masih dihadapkan pada permasalahan
implementasi kebijakan tata ruang dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Selain itu, masih rendahnya produktivitas dan daya saing usaha kelautan dan perikanan yang
disebabkan oleh belum optimalnya integrasi sistem produksi di hulu dan hilir, serta masih
terbatasnya penyediaan sarana dan prasarana.
Berbagai kebijakan telah dibuat oleh pemerintah dalam meningkatkan perekonomian
kelautan Indonesia, diantaranya moratorium perizinan bagi kapal eks-asing untuk memiliki izin
di Indonesia, penenggelaman kapal illegal, pelarangan bongkar muat kapal di laut, larangan
penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan, mengatur perlindungan HAM untuk
nelayan, serta meningkatkan transparansi pengelolaan kelautan dan perikanan. Namun

11
demikian, terdapat beberapa kebijakan pemerintah yang dianggap memberatkan, antara lain
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KKP) No. 56/2014 tentang Penghentian
Sementara Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di WPP RI, Permen KKP No. 57/2014 tentang
Usaha Perikanan Tangkap di WPP RI (yang melarang alih muat di tengah laut), Permen KKP No.
2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik di
WPP RI, dan Peraturan Pemerintah No.75/2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang berlaku pada KKP.
Konsep negara kepulauan sangat besar manfaatnya bagi Indonesia, karena dapat
menjadikan laut sebagai penyatu pulau-pulau serta memperluas wilayah perairan kita. Sumber
daya kelautan Indonesia merupakan wilayah Marine Mega-Biodiversity terbesar di dunia,
dengan berbagai potensi sumber daya ikan tangkap laut, potensi perikanan budidaya dan
potensi budidaya laut lainnya. Hasil pembangunan kelautan dan perikanan telah dapat
meningkatkan PDB perikanan, selain itu juga dapat meningkatkan produksi perikanan, tingkat
konsumsi ikan, produk olahan dan surplus produksi garam. Luas kawasan konservasi juga
meningkat tajam, begitu juga pengelolaan pulau-pulau kecil dan pengawasan. Keberhasilan
pembangunan perikanan tersebut tercapai berkat program-program kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah pusat berkerjasama dengan pemerintah daerah. Kebijakan pembangunan ke depan
diharapkan lebih kepada kebijakan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development) dengan mempertimbangkan konsep negara kepulauan dan potensi kelautan yang
besar

Saran
Kebijakan yang dituangkan oleh pemerintah baik dalam bentuk aturan hukum maupun
program harus bersifat efektif dan memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan
rakyat, menciptakan ekonomi baru, mendukung keberlangsungan ekosistem, dan menjaga
kedaulatan kelautan dan perikanan Indonesia. Untuk itu, berbagai kebijakan yang sudah ada
harus dapat dipetakan menjadi tiga, yaitu: increasing in production and productivity; increasing
in price; dan decreasing in cost.
Sinkronisasi kebijakan juga perlu dilakukan pemerintah, baik antar pemerintah pusat
maupun antara pemerintah pusat dengan daerah dan swasta. Sinergi juga diperlukan antar
kementerian dan lembaga dalam menetapkan kebijakan sehingga permasalahan yang terjadi
dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi kelautan di Indonesia dapat segera terselesaikan.
Sinkronisasi kebijakan merupakan salah satu faktor penting bagi peningkatan perekonomian di
bidang kelautan dan perikanan. Berbagai kebijakan yang sudah ada harus dapat dipetakan
menjadi tiga, yaitu: increasing in production and productivity; increasing in price; dan decreasing
in cost. Kebijakan perikanan dan kelautan yang akan diambil harus menciptakan ekonomi baru;

12
menyejahterakan masyarakat khususnya masyarakat pesisir; dan mendukung keberlangsungan
ekosistem.

13
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2014. Jakarta, 2014.

Badan Pusat Statistik. Statistik Sumber Daya Laut 2017. Jakarta, 2018.

Badan Pusat Statistik. Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2017. Katalog Badan Pusat Statistik
Indonesia. Jakarta: 2017.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Jawa Barat Dalam Angka 2017. Bandung, 2018.

Fauzi, Akhamd & Suzyana, Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan: Aplikasi
Pendekatan RAPFISH, Jurnal Pesisir dan Lautan, Volume 4 No.3, 2002, Jakarta.

“Evaluasi Kebijakan KKP: JK Ingin Pastikan Semua Kebijakan Pemerintah Efektif”,


(http://industri.bisnis.com/read/20160329/99/532563/javascript, diakses 14
September 2018).

“Inilah Permasalahan Sektor Kelautan dan Perikanan Hasil Kajian Kadin”,


(https://www.wartaekonomi.co.id/read35446/inilah-permasalahan-sektor-kelautan-
dan-perikanan-hasil-kajian-kadin.html, diakses 14 September 2018).

Kementerian Kelautan dan Perikanan. “Menuju Laut Laut Masa Depan Bangsa”,
(http://kkp.go.id/wp-content/uploads/2017/11/Booklet_3th-Capaian-Kinerja-KKP.pdf,
diakses 7 Februari 2018).

Kementerian Kelautan dan Perikanan. “Produktivitas Perikanan Indonesia”, Paparan yang


disampaikan pada Forum Kementerian Komunikasi dan Informatika. 2018.

KKP News, 2017, Nilai Ekspor Perikanan Indonesia Naik 8,12 Persen,
(http://news.kkp.go.id/index.php/nilai-ekspor-perikanan-indonesia-naik-812-persen/
diakses 13 Maret 2018).

14

Anda mungkin juga menyukai