NIM :F1D213001
PRODI :T.GEOLOGI
Secara fisiografi, van Bemmelen (1970) telah membagi daerah Jawa bagian barat
menjadi lima jalur fisiografi (Gambar 2.1). Pembagian zona fisiografi daerah Jawa bagian
barat tersebut yaitu :
Berdasarkan letaknya, maka secara fisiografi, daerah penelitian termasuk kedalam Zona
Bogor bagian Timur.
Zona Bogor terdapat di bagian selatan Zona Dataran Rendah Pantai Jakarta, dan
membentang dari barat ke timur, yaitu mulai dari Rangkasbitung, Bogor, Subang,
Sumedang, dan berakhir di Bumiayu dengan panjang kurang lebih 40 km. Zona Bogor ini
merupakan daerah antiklinorium yang cembung ke utara dengan arah sumbu lipatan barat
– timur. Inti antiklinorium ini terdiri dari lapisan-lapisan batuan berumur Miosen dan
sayapnya ditempati batuan yang lebih muda yaitu berumur Pliosen – Pleistosen. Pada
Zona Bogor, terdapat beberapa morfologi intrusi berupa boss. Batuannya terdiri atas
batupasir, batulempung dan breksi yang merupakan endapan turbidit, disertai beberapa
intrusi hypabisal, konglomerat dan hasil endapan gunungapi. Disamping itu juga terdapat
lensa-lensa batugamping. Endapannya terdiri oleh akumulasi endapan Neogen yang tebal
dengan dicirikan oleh endapan laut dalam.
Gambar 2.1 Pembagian Fisiografi Jawa dan Madura (van Bemmelen, 1970)
Van Bemmelen (1970) telah mengurutkan stratigrafi Zona Bogor bagian tengah
dan timur dengan batuan tertua Anggota Pemali Bawah yang berumur Oligosen sampai
Miosen Bawah, dengan fosil penunjuk foraminifera besar Spiroclypeus sp. Ciri
litologinya adalah perlapisan batulempung, napal, serpih dengan sisipan batupasir kuarsa
dan batugamping.
Di atas formasi itu diendapkan batuan dari Formasi Pemali Anggota Atas yang
dikenal dengan kompleks Annulatus (Annulatus Complex), yang berumur Miosen Bawah
bagian atas sampai Miosen Tengah bagian bawah. Formasi ini terbagi kedalam fasies
utara dan fasies selatan. Fasies utara terdiri dari batupasir kuarsa, napal, batulempung,
serpih, tuff, dan batugamping Kelapanunggal. Sedangkan fasies selatan terdiri dari
batupasir kuarsa, lapisan tipis batubara, batugamping napalan, dan sisipan hasil erupsi
gunungapi. Batuan-batuan tersebut sebagian besar diperkirakan berasal dari Dataran
Sunda, yang interkalasi dengan batuan volkanik dari selatan. Dalam Fasies tersebut
banyak ditemukan fosil foraminifera besar cycloclypeus / Katacycloclypeus Annulutus
MARTIN, cycloclypeus sp., Lepidocyclina sp., dan Miogypsina sp..
Di atas Formasi Pemali secara selaras diendapkan Formasi Cidadap atau disebut
juga Formasi Halang bagian atas, yang terdiri dari batulempung, serpih dengan fasies laut
yang tersebar di bagian utara, breksi volkanik, dan batupasir tufaan yang tersebar di
bagian selatan. Ketebalan lapisan ini diperkirakan 1200 – 1500 meter di Zona Bogor
bagian tengah, dan sekitar 1500 – 2500 meter di Zona Bogor bagian Timur. Mengandung
fosil Lepidocylina sp., yang berumur Miosen Tengah bagian atas.Di atas Formasi
Cidadap diendapkan secara tidak selaras batuan yang merupakan hasil kegiatan volkanik
yang disertai dengan intrusi-intrusi hornblenda, andesit, dasit, diorit, dan kuarsa yang
dikenal dengan nama Breksi Kumbang yang berumur Miosen Atas.Secara selaras di atas
Breksi Kumbang diendapkan Formasi Kaliwangu yang terdiri dari serpih, batulempung,
napal, batupasir tuffan, andesitik, dasitik, konglomerat, dan breksi, serta lapisan tipis
batubara muda, berumur Pliosen Bawah. Fosil yang ditemukan adalah Molusca
chirebonian dan fauna vertebrata Cijulang bagian atas.Secara selaras di atas Formasi
Kaliwangu diendapkan Formasi Ciherang yang berumur Pliosen Atas. Di atas Formasi
Ciherang diendapkan secara tidak selaras Formasi Tambakan yang merupakan hasil
gunungapi yang berumur Pleistosen Bawah.
Produk termuda dari stratigrafi ini adalah endapan aluvium yang diendapkan di
atas formasi – formasi lainnya. Djuri (1996), dalam Peta Geologi Lembar Arjawinangun
menyebutkan dari batuan tertua sampai yang termuda sebagai berikut : Formasi Cinambo,
batugamping Kompleks Kromong, Formasi Halang, Formasi Subang, Formasi
Kaliwangu, Formasi Citalang, Breksi terlipat, Hasil Gunungapi Tua, Hasil Gunungapi
Muda, dan Aluvium.
Formasi tertua adalah Formasi Cinambo, yang berdasarkan kandungan fosil
foraminifera adalah berumur Miosen Bawah sampai Miosen Tengah. Formasi ini dibagi
dua, yaitu: Anggota batupasir (bagian bawah), dan Anggota Serpih (bagian atas).
Anggota batupasir terdiri dari graywake, yang mempunyai ciri perlapisan tebal dengan
sisipan serpih, batulempung tipis, batupasir gampingan, tuf, batulempung, dan batulanau.
Anggota Serpih terdiri dari batulempung dengan sisipan batupasir, batugamping,
batupasir gampingan, dan batupasir tufaan.
Di atas Formasi Citalang secara tidak selaras terdapat breksi terlipat yang terdiri
dari breksi gunungapi yang bersifat andesitik, breksi tufaan, batupasir kasar, batulempung
tufaan, dan graywacke. Batuan ini berumur Pleistosen Bawah. Kemudian Endapan Hasil
Gunungapi Tua menutupi breksi terlipat secara selaras. Endapan Gunungapi Tua terdiri
dari breksi lahar, lava andesitik sampai basaltik. Endapan ini berumur Pleistosen Tengah
sampai Pleistosen Atas. Kemudian secara selaras diatas Endapan Gunungapi Tua
diendapkan Endapan Gunungapi Muda yang terdiri dari breksi lahar, batupasir tufaan,
lapili, lava andesitik sampai basaltik. Endapan ini diperkirakan hasil dari produk
Gunungapi Ciremai, dan Gunungapi Tampomas. Batuan ini berumur Pleistosen Atas
sampai Holosen Bawah.
Van Bemmelen (1970) telah membagi Jawa bagian barat menjadi beberapa jalur
fisiografi dan struktural dimana daerah pemetaan termasuk pada jalur struktur geologi
Zona Bogor bagian timur yang telah terlipat kuat sehingga menghasilkan antiklinorium
dengan sumbu berarah barat timur. Di bagian utara zona ini, keadaan struktur geologinya
berarah utara karena adanya tekanan dari arah selatan. Gaya tersebut mengakibatkan
perlipatan dan sesar naik. Inti dari perlipatan ini terdiri atas batuan sedimen berumur
Miosen sedangkan sayapnya terdiri dari batuan sedimen Pliosen.
Menurut Van Bemmelen (1970) Zona Bogor telah mengalami dua kali masa periode
tektonik yaitu :
Pada periode tektonik Pliosen-Pleistosen, terjadi proses perlipatan dan sesar yang
diakibatkan oleh terjadinya amblesan dibagian utara Zona Bogor yang kemudian
menimbulkan gangguan tekanan yang kuat pada Zona Bogor. Pada kala Pliosen-
Pleistosen bagian barat Zona Bogor mengalami pengangkatan dan membentuk
Kaliglagah Beds yang terdiri dari endapan klastik dan lignit dan selanjutnya Cigintung
Beds terendapakan. Semua formasi tersebut menutupi batuan terdahulu secara selaras
semu (pseudo conformable).
Van Bemmelen (1970) mengemukakan bahwa pada awal Oligosen Zona Bogor
merupakan cekungan laut dalam yang ditandai dengan adanya endapan flysh, endapan
laut dengan sisipan batuan volkanik yang kemudian dikenal dengan nama Formasi
Pemali. Setelah evolusi non volkanisme berakhir, dilanjutkan dengan suatu aktivitas
volkanisme yang disertai dengan gejala penurunan, sehingga terbentuk beberapa
gunungapi bawah laut pada awal Miosen yang menghasilkan endapan yang bersifat
andesitik dan basaltik. Pada Miosen Tengah aktivitas volkanisme ini berkurang dan
diganti dengan pengendapan lempung, napal, dan gamping terumbu yang menandakan
lingkungan laut dalam. Di Zona Bogor pada masa itu dibentuk endapan Formasi Cidadap
dan Formasi Halang. Fasies Selatan tersusun atas breksi dan batupasir tufan, sedangkan
fasies Utara tersusun atas batulempung dan napal.
Pada Miosen Atas, dapat dikatakan bahwa cekungan Bogor telah berubah menjadi
dangkal. Hal ini ditandai dengan adanya satuan batupasir dengan struktur sedimen silang
siur dan fosil mollusca. Diatasnya diendapkan endapan volkanik Pliosen-Plistosen,
dimana aktivitas ini terlihat jelas pada jalur transisi Zona Bandung dan Zona Bogor. Pada
Pliosen Tengah aktivitas volkanisme kembali terjadi dan mengakibatkan Formasi
Kaliwangu yang berfasies sedimen berubah kearah fasies volkanik yang bersifat
andesitik, kemudian diatasnya diendapkan konglomerat Formasi Ciherang.
2. KLASIFIKASI MORFOLOGI VERSTAPPEN (1983)
Bentuk lahan adalah bagian dari permukaan bumi yang memiliki bentuk
topografiskhas, akibat pengaruh kuat dari proses alam dan struktur geologis
pada material batuan dalam ruang dan waktu kronologis tertentu.
Verstappen (1983) telah mengklasifikasi bentuklahan
berdasarkan g e n e s i s n ya menjadi sepuluh klas utama. Kesepuluh klas
bentuklahan utama Itu adalah sebagai berikut :
Bentuk lahan asal vulkanik, merupakan bentuk lahan yang terjadi akibat
aktivitas gunung api, contohnya antara lain kerucut gunung api, kawah, kaldera, medan
lava.
Bentuk lahan asal denudasi, merupakan bentuk lahan yang dihasilkan oleh
proses degradasi seperti erosi dan longsor, contohnya bkit sisa, peneplain, lahan rusak.
Bentuk lahan asal fluvial, merupakan bentuk lahan yang terjadi akibat aktivitas
sungai, contohnya antara lain dataran banjir, tanggul alam, teras sungai. Karena sebagian
besar sungai bermuara di laut maka sering terjadi bentuk lahan akibat kombinasi proses
fluvial dan marine.
Bentuk lahan asal marine, merupakan bentuk lahan yang dihasilkan oleh proses
laut seperti tenaga gelombang, pasang dan arus. Contohnya gisik pantai (beach ridge),
bura (spit), tombolo, laguna.
Bentuk lahan asal glasial, merupakan bentuk lahan yang dihasilkan oleh
aktivitas gletser (gerakan massa es), contohnya adalah lembah menggantung (hanging
valley), morena, drumlin.
Bentuk lahan asal aeolin, merupakan bentuk lahan yang dihasilkan oleh proses
angin, contohnya gumiuk pasir yang memiliki berbagai bentuk seperti barchan, parabolik,
longitudinal, transversal,bintang.
Bentuk lahan asal solusional (pelarutan), merupakan bentuk lahan yang
dihasilkan oleh pelarutan batuan. Banyak terdapat pada daerah kapur (karst), contohnya
adalah kubah karst, dolina, uvala, polje, gua karst.
Bentuk lahan asal organik, merupakan bentuk lahan yang dihasilkan oleh
aktivitas organisme contohnya adalah terumbu karang dan pantai bakau.
Bentuk lahan asal antropogenik merupakan bentuk lahan yang dihasilkan oleh
aktivitas manusia contohnya kota, pelabuhan.
3. KLASIFIKASI MORFOLOGI VAN ZUIDAM
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bagaimana cara sederhana yang bisa
dilakukan untuk menghitung besar kemiringan lereng. Nah, misalnya setelah dihitung antara satu
titik dengan titik lainnya memiliki kemiringan 5%. Setelah itu pasti kita berpikir begini, kira-kira
kemiringan lereng 5% itu bentuk lahannya bagaimana ? Apakah datar atau bergelombang ?
Besar kemiringan lereng dapat memberikan gambaran bagaimana keadaan bentuk lahan
di suatu wilayah. Beberapa pakar telah melakukan penelitian dan membuat klasifikasi bentuk
lahan (relief) berdasarkan kemiringan lereng, misalnya klasifikasi menurut van Zuidam dan
Dessaunnetes yang bisa dipakai sebagai referensi untuk menyimpulkan bagaimana bentuk lahan
Tabel klasifikasi relief, berdasarkan kemiringan lereng dan beda tinggi menurut van Zuidam,
1985.
Tabel klasifikasi kemiringan lereng yang dibagi kedalam 5 kelompok satuan morfologi menurut
Dessaunettes, 1977.