Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses sejarah integrasi Provinsi Irian Barat yang saat ini disebut Provinsi

Papua,1 dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengalami berbagai

hambatan. Pada saat sebelum pendeklarasian negara Indonesia di 17 Agustus 1945

yakni tertanggal 15 Agustus 1945 dalam pidato di depan Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia atau selanjutnya disebut PPKI,2 Presiden Soekarno

menegaskan bahwa wilayah Indonesia adalah pulau-pulau Sunda Besar (Jawa,

Sumatera, Borneo dan Celebes), pulau-pulau Sunda Kecil yaitu Bali, Lombok, Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, serta Maluku. Berdasarkan pada alasan

keamanan Indonesia dari arah Pasifik, maka diperlukan menguasai Papua. Wilayah

Papua yang dahulu dikenal dengan nama West New Guinea menjadi wilayah sengketa

Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda, yang diselesaikan melalui

gencatan senjata dan politik diplomasi serta perundingan. Diawali dengan Konferensi

Malino di Makasar-Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Juli 1946, selanjutnya

Perjanjian Linggar Jati Maret 1947 dan Konvensi Meja Bundar yang selanjutnya

disebut KMB pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Belanda.

Belanda sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang

selalnjutnya disebut sebagai PBB, telah menandatangani Piagam PBB yang

mengamanahkan pada Pasal 73 tentang Hak Penentuan Nasib Sendiri tanggal 26 Juni
1
Melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, penamaan Provinsi Irian
Barat diganti menjadi Provinsi Papua.
2
Agus. A. Alua. Dialog Nasional Papua dan Indonesia, Sekretariat Presidium Dewan Papua dan Biro Peneliti
STFT Fajar Timur, Jayapura, 2002. Halaman 61.

1
1945 Pemerintah Belanda berkewajiban mempersiapkan Papua menjadi sebuah

negara, sehingga hal tersebut menciptakan status quo West New Guinea.3 H.J Sorolea

dalam buku Azas-Azas Tatanegara Nederlands New Guinea Jilid II, yang

diterjemahkan oleh P. J Merkelijn dalam John Anari4 menegaskan, hal ini disebabkan

karena Papua adalah suatu daerah yang belum berpemerintahan Sendiri (Non Self

Government Territory), oleh sebab itu Belanda mempersiapkan Parlement Papua

(New Guinea Raad), Sekolah Pemerintahan (Bestuur School), Kepolisian Papua,

PVK (Papoea Vrijwilleger Korps), serta memasukkan New Guinea ke Daftar Komisi

Pasifik Selatan (South Pacific Commition) melalui Perjanjian yang ditanda tangani

pada tanggal 6 Februari 1947 di Canbera oleh Australia, Perancis, Inggris, Nederland,

New Zealand dan Amerika Serikat. Maksud perjanjian ini adalah untuk memperkuat

kerja sama internasional supaya dimajukan kemakmuran ekonomis dan sosial dari

bangsa-bangsa di dalam daerah yang belum berpemerintahan sendiri di Samudera

Pasifik.

Setelah KMB penamaan West New Guinea diubah menjadi Provinsi Irian

Barat, kata Irian5 diartikan dengan Ikut Republik Indonesia Anti Netherland, namun

senyatanya konvensi tersebut belum mampu menjadi dasar untuk mengintegrasikan

Irian Barat ke dalam negara Indonesia sepenuhnya. Pada 19 Desember 1961 Presiden

Soekarno mengumandangkan Tri Komando Rakyat atau selanjutnya disebut Trikora

dengan perintah antara lain;

3
John Anari, Kegagalan Dekolonisasi dan Ilegal Referendum di Papua Barat, WPLO, 2012. Halaman 10.
4
Ibid., Halaman 10.
5
Irian diawali sebagai penamaan sebuah gerakan yang dipimpin oleh Soegoro Atmoprasodjo yakni mantan
pemuka Taman Siswa, yang pada saat itu diangkat oleh Pemerintah Belanda menjadi Direktur Sekolah Pemerintah
atau Bestuur School, Ia membentuk gerakan bawah tanah yang diberi nama Irian (Ikut Republik Indonesia Anti
Nederlands) bersama para murid di Sekolah Pemerintah.

2
1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda;

2. Kibarkan bendera merah putih di Irian Barat; dan

3. Kerahkan semua kekuatan, termasuk para sukarelawan untuk

mempertahankan kemerdekaan bangsa dalam merebut Irian Barat.

Memperkuat Trikora Presiden Soekarno membentuk Komando Mandela Pembebasan

Irian Barat yang berkedudukan di Makasar pada tanggal 11 Januari 1962, yang

dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto.6 Operasi militer ini berhasil

memperjuangkan keberlanjutan politik diplomasi dalam merebut Irian Barat.

Perundingan integrasi Provinsi Irian Barat dilanjutkan pada tanggal 15

Agustus 1962 melalui perjanjian New York dan pada tanggal 1 Oktober 1962

Administrasi Nederlands New Guinea dialihkan kepada Pemerintahan sementara

PBB United Nation Temporary Excecutive Authority (UNTEA). Perundingan tersebut

menjadi dasar Indonesia menyepakati metode integrasi Irian Barat melalui pemberian

Hak Penentuan Nasib Sendiri atau Self Determination kepada rakyat penduduk asli

Papua. Hak Penentuan Nasib Sendiri Papua dibuat dengan metode Penentuan

Pendapat Rakyat yang selanjutnya disebut dengan Pepera pada tahun 1969 dengan

lebih dahulu membentuk Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat atau

selanjutnya disebut DPM. Hasil resmi yang disiarkan secara internasional, bahwa

terdapat 1.024 wakil-wakil orang Irian memilih bergabung dengan Indonesia. 7 Hasil

Pepera tersebut mengakibatkan terintegrasinya Provinsi Irian Barat dengan Negara

Kesatuan Republik Indonesia, yang disahkan dalam Laporan Utusan PBB Resolusi

6
Tim Peneliti Kontras, Laporan Penelitian Bisnis Militer, Kontras, Boven Digoel Papua, 2004. Halaman 8.
7
Widjojo dkk, Papua Road Map Negotiating the past, improving the Present and Securing the Future, LIPI,
Jakarta, 2009. Halaman 3.

3
2504 tentang Hasil Pepera 1969. Dibawah pemerintahan Presiden Soeharto Provinsi

Irian Barat berganti nama menjadi Provinsi Irian Jaya dan resmi menjadi provinsi ke-

26 di Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 melalui Penetapan Presiden atau selanjutnya

disebut Penpres Nomor 1 Tahun 1963 untuk Provinsi Papua yang berkedudukan di

Jayapura.

Terintegrasinya Provinsi Irian Jaya dengan Indonesia tidak sepenuhnya

mengubah keadaan sikap berbagai rakyat Irian Jaya bahwa wilayah Irian Jaya

senyatanya telah bersatu dengan NKRI. Setelah Hasil Pepera disahkan, terjadi sebuah

penolakan dari beberapa kelompok yang tidak menghendaki Papua (Red-Irian Jaya)

bersatu dengan NKRI, sejak tahun 1960 an aksi penolakan sudah ada namun

intensitasnya rendah. Adanya gerakan perlawanan yang dilakukan oleh warga Papua

di Papua Barat adalah sebuah fakta bahwa Pemerintah Indonesia menyebutnya

sebagai Gerakan Separatis8 Papua. Pada tanggal 1 Juli 1971 Brigjen Seth J

Rumkorem, mantan anggota intelijen dari Komando Daerah Militer atau selanjutnya

disebut Kodam Diponegoro, memproklamasikan Negara Republik Papua Barat di

Jayapura. Jejak itu diikuti oleh Sembilan mahasiswa Universitas Cenderawasih

dengan mengibarkan bendera Organisasi Papua Merdeka yang selanjutnya disebut

dengan OPM di Abepura dan memproklamasikan berdirinya Negara Papua Barat

pada bulan Juli 1982. Tanggal 14 Desember 1988 Thomas Wanggai doktor di bidang

administrasi pemerintahan lulusan Jepang dan Amerika Serikat, juga

8
Separatis dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah mengasingkan diri, kelompok yang mengasingkan dirinya
dari suatu wilayah dan lainnya. Pengertian pada umumnya separatism adalah salah satu cara untuk meraih tujuan
mencapai kemerdekaan. Perspektif hukum pidana islam dikenal dengan sebutan bughat yakni pemberontakan
terhadap suatu pemerintahan.

4
memproklamasikan Negara Melanesia Barat di lapangan Mandala Jayapura.9 Di

tingkat internasional, gerakan ini lebih dikenal dengan nama Free Papua Movement.

Gerakan OPM yang terus berjuang mencapai kemerdekaan mendapat berbagai

dukungan dari dunia Internasional, termasuk Amerika Serikat dan Australia.10 Otto

Syamsuddin Ishaq,11 peneliti Papua pada Imparsial menekankan bahwa akar

permasalahan konflik di Papua merupakan akibat dari tidak selesainya proses

integrasi Papua ke dalam wilayah NKRI.

Periode tahun 1969 s/d 2000 keadaan Papua masih menjadi wilayah konflik,

munculnya Organisasi Papua Merdeka (OPM) dijawab dengan represif oleh

Pemerintah Indonesia dengan membangun Daerah Operasi Militer yang selanjutnya

disebut dengan DOM di Papua. Kebijakan Hard Power12 yang dijalankan oleh

Pemerintah Indonesia selama puluhan tahun terhadap wilayah Papua menimbulkan

tindak kekerasan atas pelanggaran Hak Asasi Manusia yang selalu menjadi alasan

sebagai menghentikan gerakan pemberontakan atau separatis rakyat Papua. Berbagai

kebijakan Hard Power yang menjadi landasan DOM di Papua antara lain;13

1. Operasi militer pertama dinamakan Operasi Sadar yang dimulai pada

tahun 1965 dan berakhir dua tahun kemudian.

9
Tim Peneliti Kontras, Op.Cit., Halaman 9.
10
D. Muhammad, ‘Politisi Australia dan Pasifik Siapkan Gerakan Papua Merdeka’ (online), 2012.
<http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/02/24/lzuio6-politisi-australia-dan-pasifiksiapkan
gerakan-papua-merdeka>, diakses 11 November 2013.
11
Otto Syamsuddin Ishaq, 50 Tahun Konflik Papua, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 1
Desember 2011. Halaman 8.
12
Untuk memperjuangkan atau mempertahankan kepentingannya, baik pusat maupun daerah tidak jarang
menggunakan power, apakah itu dengan hard power (mengedepankan tindakan militer atau kekerasan dan sanksi)
atau soft power (dengan dialog atau perundingan).
13
Neles Tebay, Upaya Lintas Agama demi Perdamaian di Papua Barat, Missio, Jayapura 2009. Halaman 5-7.

5
2. Operasi militer kedua dinamakan Operasi Brathayudha yang dimulai pada

tahun 1967. Operasi yang berlangsung dalam waktu dua tahun ini menelan

korban jiwa sampai sekitar 3.500 orang.

3. Operasi militer ketiga adalah Operasi Wibawa yang dilakukan sejak tahun

1969. Eliezer Bonay Gubernur pertama Papua, memperkirakan bahwa

terdapat 30.000 warga Papua menjadi korban tentara Indonesia terhitung

sejak tahun 1963 hingga 1969.

4. Operasi militer keempat diluncurkan di kabupaten Jayawijaya pada tahun

1977. Operasi ini mengakibatkan pembunuhan massal terhadap 12.397

warga Papua.

5. Operasi militer kelima adalah Operasi Sapu Bersih I dan II yang

diluncurkan tahun 1981 dan menelan korban jiwa sedikitnya 1.000 orang

di kabupaten Jayapura dan 2.500 di kabupaten Paniai.

6. Operasi militer keenam adalah Operasi Galang I dan II terjadi pada tahun

1982, yang menyebabkan terbunuhnya ribuan warga Papua.

7. Operasi militer ketujuh dikenal dengan nama Operasi Tumpas dan

berlangsung antara tahun 1983 sampai tahun 1984.

8. Operasi militer kedelapan, pasukan tentara menghabisi sedikitnya 517

jiwa dan membumihanguskan sekitar 200 rumah.

9. Operasi militer kesembilan yang dilaksanakan di Mapduma pada tahun

1996, sebanyak 35 orang warga Papua meninggal dunia karena ditembak

mati, 14 perempuan diperkosa, 13 gereja dirusak dan 166 rumah

dibumihanguskan, sementara 123 warga sipil meninggal akibat penyakit

6
dan kelaparan setelah menyelamatkan diri ke dalam hutan. Pada tahun

1998 Indonesia mencabut status Papua Barat sebagai Daerah Operasi

Militer (DOM), akan tetapi pengejaran terhadap kaum separatis Papua

tetap dilanjutkan.

10. Operasi militer besar kesepuluh dilakukan pada tahun 2001 di kabupaten

Manokwari, dimana empat orang dibunuh, enam lainnya mengalami

penyiksaan, satu perempuan diperkosa dan lima orang hilang.

11. Operasi militer kesebelas berlangsung antara bulan April dan November

tahun 2003 di Wamena, ibukota kabupaten Jayabaya, dan sekitarnya.

Tentara menguasai seluruh kawasan, menghambat akses kelompok gereja

dan pekerja kemanusiaan untuk memberi bantuan selama operasi

berlangsung.

12. Operasi militer keduabelas dilakukan di kabupaten Puncak Jaya pada

tahun 2004. Sedikitnya 6.000 warga Papua dari 27 desa menyelamatkan

diri masuk hutan, 35 di antaranya termasuk 13 anak-anak, meninggal di

kamp pengungsian yang dibangun.

Kawasan Papua telah di militarisasi oleh Pemerintah Indonesia, hal tersebut

dilakukan sebagai bentuk program ekspansi terhadap ancaman pertahanan Indonesia,

sehingga keadaan pergolakan di Papua dan separatis dapat diketahui secara dini dan

ditangani lebih cepat dengan dua kebijakan yakni,14

1. Memperluas komando teritorial; dan

2. Peningkatan jumlah pasukan perang.

14
Ibid., Halaman 10-11.

7
Pemerintah Indonesia mengambil keputusan untuk membentuk sejumlah Komando

Militer baru di Provinsi Papua, untuk seluruh wilayah Papua Barat saat ini ada satu

komando militer yang disebut Komando Daerah Militer atau selanjutnya disebut

dengan Kodam, dengan markas besar di Jayapura. di bawah Kodam terdapat tiga

Komando Resort Militer atau selanjutnya disebut dengan Korem yaitu Korem

171/Praja Vira Tama di kota Sorong, Korem 172/Praja Vira Yakthi di Jayapura dan

Korem 173/Praja Vira Braja di Biak. Pemerintah membentuk komando resor militer

tambahan yaitu Korem 174/Anim Ti Waninggap (ATW) di Merauke pada tanggal 2

Juni 2005 untuk mengoptimalkan pertahanan kawasan Papua Barat. Di bawah

Korem, terdapat Komando Distrik Militer atau selanjutnya disebut dengan Kodim.

Karena ada banyak kabupaten baru dibentuk, sejumlah penambahan terhadap

sembilan Kodim yang sudah ada. Pembentukan Korem dan Kodim yang baru

dirancang untuk memperkuat kapasitas pertahanan. Program ekspansi yang kedua

adalah kebijakan pemerintah untuk meningkatkan jumlah pasukan tempur tercermin

dari langkah pemerintah membentuk beberapa batalion baru di Papua Barat, saat ini

sudah ada tiga batalion infantri di Jayapura, Nabire dan Sorong.

Indonesia pun secara serius berkomitmen untuk meningkatkan keberadaan

militer di Papua. Menteri Pertahanan Kabinet Bersatu Jilid kesatu Juwono Sudarsono,

mengumumkan bahwa sekitar 15.000 pasukan akan dikirim ke Papua pada tahun

2010.15 Kebijakan atas sikap Pemerintah Indonesia yang masih menggunakan

tindakan militer dalam menangani dinamika permasalahan Papua, seakan menjadikan

15
Ridam Max Sijabat, Protest Increase against heavy military presence in Papua, dalam The Jakarta Post, 3
December 2005.

8
pemberlakuan otonomi khusus sebuah formalitas yang belum teresensikan secara

sadar mengakui pemerintahan daerah Provinsi Papua dan Papua Barat sesuai amanah

UUD 1945 melalui UU Otsus.

Bersatunya Provinsi Irian Jaya tidak berdampak signifikan terhadap

kesejahteraan masyarakat Irian Jaya. Kemajuan pembangunan ekonomi dan sumber

daya manusia di Provinsi Papua sulit berkembang dan optimal dengan kebijakan

ekspansi militer serta konsep pembangunan sentralistik pada masa pemerintahan

Presiden Soeharto. Peningkatan pembangunan dalam berbagai sektor di Irian Jaya

menjadi agenda utama pada masa pemerintahan di zaman reformasi, yang kemudian

menjadi dasar munculnya dua kebijakan, antara lain;

1. Pemekaran Provinsi Irian Jaya melalui Undang-Undang Nomor 45 Tahun

1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya

Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan

Kota Sorong; dan

2. Pemberian Otonomi Khusus kepada Papua melalui Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Proses kebijakan hukum tersebut diawali atas pertemuan Presiden B.J.

Habibie dengan 100 orang wakil Papua pada tanggal 26 Febuari 1999 di istana

kepresidenan. Pertemuan tersebut memunculkan tiga alasan rakyat Papua

9
berkeinginan memisahkan diri dari Indonesia yang ditegaskan oleh wakil rakyat

Papua Barat16 antara lain;17

1. Papua Barat masuk ke Indonesia secara illegal;

2. Warga Papua Barat menjadi korban kejahatan atas kemanusiaan yang

dilakukan tentara Indonesia; dan

3. Pemerintah Indonesia mengabaikan hak-hak warga Papua atas

pembangunan sosial, ekonomi dan kultural.

Dialog yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie dengan rakyat

Papua Barat terjawab pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dengan

menawarkan status otonomi khusus untuk menggapi tuntutan hak menentukan nasib

sendiri. Ketegasan status otonomi khusus untuk Papua dapat terealisasi pada masa

pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, yang mensahkan Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Kebijakan strategis pemerintah pusat untuk menanggapi tuntutan rakyat Papua

ialah dengan mengeluarkan dua kebijakan dengan sifat mendesak sebagai rangkaian

proses menciptakan Provinsi Papua yang otonom. Kebijakan pertama yang di

dasarkan pada Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi

Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,

Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong yang selanjutnya disebut UU Pemekaran

Provinsi Irian Jaya, disahkannya peraturan tersebut bertujuan sebagai salah satu

bentuk dari pengakomodiran aspirasi rakyat Papua, yang memiliki luas wilayah

16
Wilayah Papua disebut sebagai Papua Barat sebelum lahirnya UU Pemekaran Papua yang membagi wilayah
Papua menjadi Provinsi Papua Barat dan Papua Timur.
17
Neles Tebay, Op.Cit., Halaman 25.

10
hingga 404.669 KM2, sehingga diperlukan suatu pemekaran wilayah untuk

memudahkan penyelenggaraan negara.18

Kebijakan kedua melalui pemberian Otonomi Khusus yang selanjutnya

disebut dengan Otsus, yang diberikan kepada Papua sebagai salah satu konsep dari

penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Pelaksanaan otonomi khusus di

Provinsi Papua terlegitimasi melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi

Provinsi Papua, yang selanjutnya disebut dengan UU Otsus Papua. Sebelum lahirnya

UU Otsus Papua tahun 2001, Pemerintah Indonesia telah menerapkan regulasi awal

melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi

Otonom Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat.

Undang-undang ini bertujuan memberikan kemandirian serta kebebasan bagi Provinsi

Irian untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Peraturan tersebut tidak mendapat

persetujuan sepenuhnya dari masyarakat Papua, sehingga konflik antar suku dan

gerakan saparatis menjadikan semakin sulitnya implementasi kebijakan otonomi di

Papua.19

Otonomi khusus hadir dengan dilatarbelakangi oleh sejarah atas perumusan

pertama Undang-Undang Dasar 1945 yang selanjutnya disebut dengan UUD 1945

dalam sidang, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI) dan perubahan UUD 1945. Pengaturan tentang Pemerintah Daerah

terdapat pada Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen yakni,


18
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah,
Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong.
19
Maruarar Siahaan, Analisis Sosio-Yuridis dan Politik Implementasi Otonomi Khusus Papua Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006. Halaman 22.

11
Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk

susunan pemerintahnya ditetapkan dengan undang-undang, dengan

memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem

pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang

bersifat istimewa.

Pada masa perumusan UUD 1945 melalui sidang BPUPKI tahun 1945, terjadi

perdebatan pemikiran tentang konsepsi penyelenggaraan negara terhadap

Pemerintahan Daerah antara Soepomo dengan Soerjohamidjojo. Soepomo yang

ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai Ketua Panitia Kecil Perancang UUD 1945

menegaskan bahwa pada Pasal 16 rancangan UUD kedua, Indonesia yang memilih

bentuk negara kesatuan senyatanya tetap menghormati daerah-daerah tertentu seperti

Kooti (Kerajaan) dengan memberikan hak istimewa. Konsepsi yang diangkat oleh

Soepomo adalah Negara Kesatuan yang menghormati satuan wilayah Kooti

(Kerajaan) yang masih hidup di Indonesia. Konsep tersebut mendapat pertentangan

dari Soerjohamidjojo karena terdapat sebuah ketidaktegasan dari konsep negara

kesatuan yang masih membagi kewenangan, dalam pendapatnya Soerjohamidjojo

menegaskan bahwa jika dikehendaki sebuah penghormatan atas daerah-daerah

tertentu maka harus dibedakan pengaturannya sehingga diperlukan BAB tersendiri

untuk mengatur Kooti (Kerajaan) agar memperkokoh kedudukan daerah tersebut.20

Perdebatan tersebut terselesaikan dengan suara mayoritas anggota sidang BPUPKI

untuk tidak menambahkan ketentuan khusus terhadap pengaturan Kooti (Kerajaan).

20
Perdebatan dalam Naskah Komperhensif Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Buku IV Kekuasaan Pemerintah Negara Jilid I. Mahkamah Konstitusi, 2010. Halaman 45.

12
Penyelenggaraan pemerintahan daerah dipertegas kembali pada tahun 1999

s/d 2002, saat proses perubahan empat kali UUD 1945. Pada BAB VI tentang

Pemerintahan Daerah Pasal 18, Pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945 menjadi dasar

dari keberadaan pengaturan tentang pemerintahan daerah dan otonomi khusus. Proses

perumusan peraturan tentang pemerintahan daerah diajukan saat perubahan pertama

di tahun 1999 dan disahkan dalam Rapat Paripurna ke-9 terkait pembahasan dan

pengesahan perubahan kedua UUD 1945 di tahun 2000.

Setelah perubahan kedua UUD 1945, muncul ketetapan MPR RI Nomor

IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelanggaraan Otonomi

Daerah, yang menekankan untuk segera merealisasikan otonomi khusus melalui

sebuah undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan

Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.21 Di Indonesia

terdapat lima Provinsi yang memiliki status otonomi khusus dan istimewa, 22 yakni

Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun

2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah Istimewa

Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, Provinsi Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2006 tentang Pemerintahan Aceh, Provinsi Papua dan Papua Barat berdasarkan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

21
Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematiks, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2005. Halaman 67.
22
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_provinsi_di_Indonesia diakses 7 Oktober 2013.

13
Kebijakan pemberian Otsus Papua didasarkan pada Pasal 18 B ayat (1) UUD

1945, yang ditegaskan bahwa;

Negara mengakui dan menghargai satuan-satuan pemerintahan daerah yang

bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

Berdasarkan amanah UUD 1945 setelah amandemen, pemerintah mensahkan UU

Otsus Papua, yang memberikan kebebasan untuk Provinsi Papua mengurus rumah

tangganya secara otonom. Proses perumusan UU Otsus Papua diawali dengan

penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berasal dari Pemerintah Daerah

Provinsi Papua, yang selanjutnya disebut Pemda Provinsi Papua dan Dewan

Perwakilan Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut DPRP. Keduanya membentuk

Panitia Penyelenggara Forum Kajian, Tim Penjaring Aspirasi, serta Tim Asistensi

untuk menjaring aspirasi, wacana dan pandangan-pandangan ahli dari seluruh

kalangan masyarakat Papua, yang dikembangkan menjadi RUU Otonomi Khusus. 23

Tanggal 21 November 2001 UU Otsus Papua disahkan dan diundangkan pada saat

masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Diundangkannya UU Otsus Papua dan terlaksananya penyelenggaraan Otsus

Papua telah memunculkan berbagai pandangan, ketika dikaitkan dengan konsep

negara kesatuan yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa,

Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk republik.

Terdapat dua konsep untuk memaknai keberadaan Otsus Papua dalam Negara

23
Agus Sumule, Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2003.

14
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pendapat pertama dikemukakan oleh Edie Toet

Hendratno,24

Suatu negara yang mengakui keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dan

keanekaragaman daerah dalam sistem negara kesatuan merupakan kesamaan

dengan konsep diversity in unity (Keberagaman dalam kesatuan) dalam

sistem federal.

Konsep negara kesatuan yang dianut Indonesia masih belum tegas membedakan

pembagian kewenangan pada daerah, sehingga memunculkan sebuah paradigma

sistem federal di negara kesatuan. Sebuah konsep yang dimunculkan oleh CF.

Strong,25

Bahwa negara kesatuan bercirikan sebuah kedaulatan yang tidak terbagi,

dan tidak ada badan berdaulatan tambahan tanpa perundingan kedaulatan

tertinggi.

Indonesia sebagai negara kesatuan memiliki kedaulatan tunggal walaupun dalam

penyelenggaraan negara, terdapat konsep otonomi daerah. Setiap daerah tidak

memiliki kedaulatan otonom, pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia

berdasarkan konstitusi tertulis Republik Indonesia.

Berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto bagi Provinsi Papua ditandai

dengan munculnya dua kebijakan pemerintah pusat. UU Pemekaran Provinsi Irian

Jaya dan UU Otsus Papua, kedua peraturan tersebut dikeluarkan pada masa reformasi

dengan dua pemerintahan yang berbeda. UU Pemekaran Provinsi Irian disahkan pada
24
Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi dan Federalisme, Graha Ilmu dan Universitas Pancasila
Press, Jakarta, 2009. Halaman 238.
25
CF. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Nusa Media, Bandung, 2012. Halaman 111.

15
masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie di tahun 1999, sedangkan UU Otsus Papua

disahkan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri di tahun 2001.

Mengkaji dua peraturan tersebut, terdapat inkonsistensi terkait ketegasan wilayah

Provinsi Papua, pada Pasal 1 huruf a UU Otsus Papua ditegaskan bahwa,

Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus

dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Pasal a quo tersebut hanya menegaskan bahwa Otonomi Khusus berlaku di Provinsi

Papua, sedangkan pada UU Pemekaran Provinsi Irian Jaya yakni Undang-Undang

Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi

Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan

Kota Sorong, telah mengamanatkan pemekaran Provinsi Irian Jaya menjadi dua,

yakni Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat.

Pada pelaksanaannya Provinsi Irian Jaya Barat telah membentuk

penyelenggaraan satuan administrasi daerah, sedangkan Provinsi Irian Jaya Tengah

hingga UU Otsus Papua diundangkan belum menjalani penyelenggaraan administrasi

daerah. Philipus M. Hadjon26 berpendapat, dalam UU Otsus Papua yang dimaksud

dengan Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya secara utuh, artinya sebelum

dikurangi Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) UU Pemekaran Provinsi Irian Jaya, yang ditegaskan

bahwa;

Dengan dibentuknya Provinsi Irian Jaya Tengah dan Provinsi Irian Jaya

Barat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, wilayah Provinsi Irian Jaya

26
Philipus M Hadjon dkk, Argumentasi Hukum, UGM Press, Yogyakarta, 2005. Halaman 55.

16
dikurangi dengan wilayah Provinsi Irian Jaya Tengah dan Wilayah Provinsi

Irian Jaya Barat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4.

Inkonsistensi peraturan tersebut menimbulkan berbagai penafsiran terkait

pemberlakuan satuan otonomi khusus di wilayah Papua. Ketidaktegasan pemerintah

pusat dikuatkan dengan munculnya kebijakan pemerintahan pada masa Presiden

Megawati Soekarnoputri, yang mengabulkan permintaan masyarakat Irian Jaya Barat,

yang diwakili Tim 315 untuk mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1

Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999

tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat,

Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong

pada tanggal 27 Januari 2003.

Eksistensi Provinsi Irian Jaya Barat menimbulkan konflik hukum hingga

beberapa masyarakat Papua melakukan judicial review Undang-Undang Nomor 45

Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya

Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota

Sorong ke Mahkamah Konstitusi. Pada tanggal 11 November 2004 Mahkamah

Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 018/PUU-I/2003, yang memutus bahwa UU

Pemekaran Provinsi Irian Jaya atau Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang

Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten

Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong bertentangan

dengan Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Konsekuensi dari putusan tersebut bagi Provinsi Irian Jaya Barat oleh Mahkamah

diputus tetap diakui keberadaannya dengan alasan Provinsi tersebut telah melakukan

17
tindakan serta penyelenggaraan administrasi daerah. Putusan tersebut terdapat

pendapat yang berbeda atau Concurring Opinion oleh hakim konstitusi Maruarar

Siahaan,27 pengakuan eksistensi Provinsi Irian Barat tidak hanya dilihat secara de

facto namun juga harus de jure, bahwa Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang

Percepatan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang

Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten

Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong, yang

menghidupkan lagi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 telah melanggar

konstitusi karena mengakibatkan ketidakpastian hukum, sehingga Irian Jaya Barat

juga batal demi hukum, namun demikian pada sidang putusan nomor 018/PUU-

I/2003 tertanggal 11 November 2004, delapan hakim konstitusi memutus Provinsi

Irian Jaya Barat tetap diakui keberadaannya.

Setelah diterbitkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 018/PUU-

I/2003 tahun 2004, putusan tersebut menjadi dasar hukum terbentuknya Provinsi Irian

Jaya Barat, hingga dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2008

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 menjadi Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Implikasi dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 menegaskan pemberlakuan

otonomi Khusus di dua Provinsi, yakni Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

(Irian Jaya Barat).

Proses panjang dinamika Provinsi Papua dan Papua Barat dalam integrasinya

dengan NKRI mengalami berbagai hambatan baik sebelum terintegrasi maupun

27
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 018/PUU-I/2003. Halaman 136-138.

18
setelah resmi terintegrasi. Papua menjadi tempat dimana konflik yang paling banyak

memakan korban di Indonesia, dengan korban-korbannya tak hanya dari masyarakat

sipil tapi juga aparat keamanan, warga Papua maupun non-Papua.28 Berbagai data atas

fakta yang dipublikasi diantaranya, Industri sumber daya alam dengan dampak

geografis terbesar adalah penebangan hutan, konsesi ini mencakup hampir sepertiga

dari seluruh kawasan Papua Barat. Hutan tersebut tersebar luas sekitar 41.5 juta

hektar atau 23% dari seluruh wilayah hutan Indonesia yang mencapai 180 juta hektar.

Sementara itu, sekitar 22 juta hektar dikategorikan sebagai “hutan produksi” pada hal

ini merupakan kawasan konservasi.29 Bidang pendidikan terdapat mayoritas

masyarakat adat Papua tidak mendapatkan pendidikan atau mengecap tingkat

pendidikan yang rendah. Angka buta huruf perempuan Papua adalah 44%

dibandingkan dengan 78% di seluruh Indonesia, dan untuk laki-laki Papua adalah

58% dibandingkan 90% di seluruh negeri.30 Pada bidang kesehatan lebih dari 50%

anak-anak Papua di bawah usia lima tahun menderita kekurangan gizi. Hanya 40.8%

anak-anak Papua mendapatkan imunisasi dibandingkan dengan rata-rata nasional

yang mencapai 60.3%. Angka kematian bayi jauh lebih tinggi (186 per 1.000 bayi)

dibandingkan dengan angka kematian bayi di tingkat nasional. 31 Kantor Dinas

28
Data dari Sistem Pemantauan Kekerasan Nasional yang baru, yang melacak insiden konflik kekerasan di
sebelas provinsi rawan konflik di Indonesia menunjukkan bahwa Papua memiliki baik jumlah tertinggi insiden
tersebut (489) antara Januari-April 2012 dan jumlah kematian tertinggi (60). Menduduki urutan kedua baik dalam
insiden dan kematian adalah ibukota Jakarta, yang memiliki populasi 3,4 kali lebih besar dari Papua. Sistem
Pemantauan Kekerasan Nasional (yang akan datang) dikembangkan dalam kerjasama dengan Kementerian
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Deputi I), Bank Dunia dan The Habibie Center.
29
www.bps.go.id/profile/irja.html. Diakses 11 November 2013
30
UNDP, Human Development Report, 2002.
31
Papua Miliki Angka Kematian Balita Tertinggi di Dunia, dalam Cenderawasih Pos, 22 Februari 2003.

19
Kesehatan tingkat provinsi di Papua Barat melaporkan pada bulan Juni 2004 bahwa

dari total 1.579 pasien, 596 di antara mereka mengidap Aids dan 983 terjangkit HIV.32

Keadaan Provinsi Papua dan Papua Barat menyulitkan implemantasi atas

Otsus yang diberikan, sehingga muncul kebijakan dari Pemerintah Pusat pada bulan

September 2011 dengan membentuk badan baru bernama Unit Percepatan

Pembangunan di Papua dan Papua Barat atau selanjutnya disebut dengan UP4B

dibawah arahan Wakil Presiden dan dipimpin Jenderal Purnawirawan Bambang

Darmono. UP4B hadir sebagai salah satu badan yang berfokus pada pembangunan

atas amanah UU Otsus, sehingga menguatkan pembangunan yang efektif dan efesien.

Berdasarkan keadaan tersebut diundangkannya Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, mempertegaskan Status kekhususan yang

diberikan kepada Provinsi Papua dan Papua Barat terdapat empat hal yang diatur,

antara lain;33

1. Kekhususan bidang pengelolaan keuangan Pasal 34;

2. Lembaga khusus Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Pasal 6 s/d 10

dan Majelis Rakyat Papua (MRP) Pasal 19 s/d Pasal 25;

3. Pembentukan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah

Provinsi (Perdasi) Pasal 29 s/d 31, dan;

4. Kewenangan khusus daerah Pasal 4, bidang perekonomian Pasal 38 s/d 42,

bidang pendidikan dan kebudayaan Pasal 56 s/d 58, bidang kesehatan Pasal

32
HIV/AIDS Membayangi Peluang Otonomi Khusus Papua, dalam Kompas, 1 November 2004.
33
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

20
59 s/d 60, bidang kependudukan dan ketenagakerjaan Pasal 61 s/d 62,

bidang lingkungan hidup Pasal 63 s/d 64, dan; bidang sosial Pasal 65 s/d

66.

Berjalannya otonomi khusus di Provinsi Papua selama kurun waktu 12 tahun

masih terdapat berbagai pertentangan dari kalangan masyarakat Papua. Berbagai

gejolak politik, keamanan dan hukum masih menjadi agenda utama pemerintah

Indonesia untuk menyelesaikan konflik di Papua, namun demikian mayarakat Papua

yang masuk menjadi bagian dari Pemerintah Daerah di Provinsi Papua masih

berkeyakinan terhadap penyelenggaraan otonomi khusus untuk terus berkonsolidasi

dengan pemerintah Pusat. Indikator dari beberapa sifat kekhususan tersebut yang

akan menjadi fokus penelitian Kebijakan Otonomi Khusus Papua dalam Sistem

Ketatanegaraan Republik Indonesia.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana kebijakan otonomi khusus Papua dalam sistem ketatanegaraan

Republik Indonesia?

2. Bagaimana sistem penyelenggaran otonomi khusus Papua dalam tinjauan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui kebijakan otonomi khusus Papua dalam sistem ketatanegaraan

Republik Indonesia.

21
2. Mengetahui sistem penyelenggaran otonomi khusus Papua dalam tinjauan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membangun pemahaman tentang konsep

hukum dan implementasinya serta menjadi referensi dan acuan penelitian

dalam hal pelaksanaan otonomi khusus Provinsi Papua.


2. Kegunaan Praktis
Memberi masukan dan informasi kepada badan pembuat peraturan

perundang-undangan dalam menetapkan kebijakan, yang terkait dengan

implikasi yuridis yang timbul dalam implementasi otonomi khusus propinsi

Papua dalam pembentukan peraturan daerah.

22

Anda mungkin juga menyukai