Anda di halaman 1dari 22

Masbuq Tidak Baca Fatihah

Mon 27 February 2006 03:16 | Shalat | 5.473 views | Kirim Pertanyaan : tanya@rumahfiqih.com
Pertanyaan :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh,


Saya mau tanya mengenai masbuq, apa ada dalil kalau kita
mau sholat berjamaah tetapi pas kita mau sholat iman sedang
membaca surah al-Fatihah di pertenggahan surat. Apakah pas
di pertenggahan itu kita mendapat 1 rakaat apa? Mohon
penjelasan.
Jawaban :
Assalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
Membaca surat Al-Fatihah adalah rukun shalat. Dan kita tahu bahwa yang namanya rukun itu
tidak boleh ditinggalkan. Dan meninggalkan salah satu rukun mengakibatkan ibadah itu menjadi
tidak syah. Bahkan Rasulullah SAW bersabda,
”Tidak syah shalat seseorang bila tidak membaca fatihatul kitab (Al-Fatihah). (HR.Jamaah)
Tidak boleh shalat yang tidak membaca fatihatul kitab (Al-Fatihah). (HR Ibnu Khuzaemah dan
Ibnu Hibban).
Namun dalam kasus makmum ikut imam yang tertinggal membaca surat Al-Fatihah, misalnya
mendapati imam sedang ruku’, maka sebenarnya yang tertinggal bukan saja bacaan surat Al-
Fatihah saja, tetapi juga takbiratul ihram.
Dan agar kita tidak semata-mata menggunakan pendekatan logika di dalam masalah shalat,
marilah kita dengar sabda Rasulullah SAW dalam masalah ini.
Siapa yang masih sempat ruku’ bersama imam dalam shalat, maka dia mendapatkan shalat
itu. (HR Bukhari dan Muslim).
Sehingga pertanyaan Anda terjawab dengan hadits shahih yang dikeluarkan oleh Bukhari dan
Muslim. Rasulullah SAW sebagai nabi yang diutus untuk dijadikan penunjuk tata cara beribadah
sudah menjelaskan bahwa bila makmum masih sempat melakukan ruku’ bersama imam, maka
dia dianggap sudah mendapatkan rakaat itu. Sebaliknya, bila tidak sempat ruku’ bersama imam,
maka dia tidak mendapatkan rakaat itu.
Ini adalah hadist yang menjelaskan secara sharih dan jelas sekali masalah ini. Sehingga
ketentuan umum dari dua hadits di atas dikecualikan dengan hadits ini.
Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
Ahmad Sarwat, Lc.

Batalkah Shalat Makmum Bila Imamnya Batal?

Sat 4 January 2014 19:54 | Shalat | 12.166 views | Kirim Pertanyaan : tanya@rumahfiqih.com
Pertanyaan :

Assalamu'alaikum wr. wb.


Ustadz, saya akhwat berusia 23 tahun. Saya sekarang masih
kuliah. Saya sering mampir sholat di asrama mahasiswa, dan
sering diminta jadi imam. Suatu ketika saat saya jadi imam
saya buang angin, tapi saya malu untuk mundur, saya teruskan
sholat tapi dengan niatan nanti shalat saya ulang. Tapi
bagaimana dengan shalat makmum?
Terima kasih atas jawabnnya.
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebenarnya bila imam batal shalatnya, makmum tidak secara otomatis batal shalatnya.
Makmum bisa meneruskan sendiri shalatnya tanpa harus terganggu dengan imam yang batal.
Bila makmum lebih dari satu orang, bisa saja di antara mereka ada yang maju ke depan untuk
menjadi imam.

Dasar kebolehan ini adalah ketika Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu dibunuh saat beliau
mengimami shalat shubuh. Beliau tidak bisa meneruskan shalatnya. Lalu salah seorang
makmum maju ke depan untuk menjadi imam buat yang lainnya.

Dalam hal ini, bila imam batal, dia bisa menunjuk orang yang ada di belakangnya untuk
menggantikan posisinya sebagai imam. Cara ini disebut dengan istikhlaf. Dan jamaah shalat
tidak harus bubar.

Tetapi dalam kasus yang Anda tanyakan, imam yang sudah batal karena gengsi atau merasa
malu, dia pura-pura tidak batal, lalu meneruskan shalatnya. Akibatnya sangat fatal, yaitu para
makmum berimam kepada orang yang sudah tidak sah lagi shalatnya.

Padahal seorang imam yang batal shalatnya, tentu saja tidak boleh dijadikan imam. Dan sebagai
imam, kewajibannya adalah berhenti dari shalatnya dan memberitahukan kepada para makmum
bahwa dirinya telah batal dari shalat.
Adalah hal yang terlarang bila imam meneruskan shalatnya, apalagi dirinya tahu bahwa dirinya
sudah batal. Jangankan menjadi imam, shalat sendirian pun kalau sudah batal, tidak boleh
diteruskan.
Sebagai imam, bila tetap meneruskan shalat dan makmum dibiarkan tidak tahu bahwa imam
sudah batal, tentu saja akan merusak jamaah shalat itu. Bahkan shalat para jamaah itu juga
akan ikut rusak, karena mereka bermakmum kepada orang yang tidak sah menjadi imam.
Seharusnya dalam keadaan seperti itu, imam secara legowo dan terus terang mengakui saja
bahwa dirinya sudah batal. Tidak perlu ada rasa gengsi atau malu. Sebab keselamatan shalat
para jamaah harus diutamakan, ketimbang berpikir tentang gengsi atau rasa malu.
Semoga hal ini menjadi pelajaran bagi kita semua, sebab syarat menjadi imam adalah orang
yang paling mengerti (afqahuhum) dalam masalah agama. Terutama sekali dalam ilmu tentang
shalat berjamaah. Sehingga ketika terjadi hal-hal yang tidak biasanya, si imam memang sudah
tahu apa yang harus dilakukan, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ereksi Saat Shalat

Tue 10 April 2007 02:29 | Shalat | 5.572 views | Kirim Pertanyaan : tanya@rumahfiqih.com
Pertanyaan :

Assalamualikum Wr. Wb.


Ustad, saya mo tanya beberapa hukum dalam solat.
1. Bagaimana hukumnya menahan kentut dalam solat
2. Bagaimana hukumnya bila terjadi ereksi pada saat solat

Atas jawaban ustd saya sampaikan terima kasih


Wasalam alikum Wr. Wb
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Menahan kentut hukumnya makruh, karena secara kesehatan kurang baik. Pak dokter tentu
lebih mengerti bagaimana resiko dari menahan kentut dari sisi kesehatan biologis.
Namun kalau kita lihat secara hukum fiqih yang bersifat hitam dan putih, maka kita tetap pada
ketentuan bahwa selama kentut belum terjadi, maka wudhu' tidak batal. Meski dengan cara
menahannya.
Hal yang sama juga berlaku untuk kasus menahan kencing atau buang air besar, atau kasus-
kasus menahan lainnya. Shalat dan wudhu'nya tidak batal, namun sebisa mungkin harus
dihindari.
Jadi sebaiknya, sebelum wudhu dan shalat dilaksanakan, tunaikan dahulu semua hajat biologis,
agar konsentrasi dalam shalat tidak terganggu. Dan shalat dalam keadaan menahan kebutuhan
biologis semacam itu, meski tidak membatalkan, namun hukumnya makruh.
Ereksi Saat Shalat
Ereksi yang dialami oleh seseorang di saat sedang melakukanshalat tidaklah membatalkan
secara hukum fiqih. Sebab di dalam daftar hal-hal yang membatalkan shalat, sama sekali tidak
disinggung tentang kasus ereksi.
Walhasil, selama suatu hal tidak termasuk ke dalam kriteria yang membatalkan, apabila terjadi,
maka tidak akan membatalkan. Dan itulah gunakan ilmu fiqih, yang sifatnya memberikan
batasan hukum.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ahmad Sarwat, Lc
Perbuatan Apa Saja Yang Berakibat Batalnya Shalat
Kita?

Thu 12 February 2015 09:30 | Shalat | 97.849 views | Kirim Pertanyaan : tanya@rumahfiqih.com
Pertanyaan :
Assalamu 'alaikum wr.wb.

Mohon izin bertanya ustadz,

Saya mohon dijelaskan sebenarnya apa saja perbuatan mengakibatkan shalat kita jadi batal?
Mohon penjelasannya dengan rinci ya ustadz, terima kasih

Wassalam

Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ada begitu banyak hal yang bisa mengakibatkan shalat yang dikerjakan menjadi batal. Dan
diantara hal-hal yang membatalkan shalat sebagaimana yang telah dijabarkan oleh para fuqaha
adalah sebagai berikut :
Ada begitu banyak hal yang dapat membatalkan shalat, sebagiannya telah menjadi kesepakatan
ulama tanpa khilaf, sebagian lainnya juga membatalkan namun masih khilaf para ulama di
dalamnya.
Di antara hal yang sering dibicarakan sebagai pembatal shalat adalah berbicara, makan dan
minum, banyak gerakan dan terus menerus, kehilangan salah satu dari syarat sah shalat,
tertawa, murtad dan hilang akal, berubah niat, meninggalkan salah satu rukun shalat,
mendahului imam dalam shalat jama'ah, terdapatnya air bagi yang shalat dengan bertayammum,
dan mengucapkan salam secara sengaja. Kita akan bahas hal-hal di atas satu persatu.

1. Kehilangan Salah Satu Dari Syarat Sah Shalat


Sebagaimana kita ketahui bahwa di antara syarat-syarat sah-nya shalat antara lain adalah
muslim, berakal, tahu sudah masuk waktu, suci dari najis, suci dari hadats, menutup aurat dan
menghadap kiblat.
a. Murtad

Syara pertama orang yang mengerjakan shalat adalah statusnya harus menjadi seorang muslim.
Bila status keislamannya terlepas, maka otomatis shalatnya menjadi batal.
Maka orang yang sedang melakukan shalat, lalu tiba-tiba murtad, maka batal shalatnya.
Mungkin ada orang yang bertanya, bagaimana bisa seseorang yang sedang shalat, tiba-tiba
berubah menjadi murtad?
Murtad atau keluar dari agama Islam bisa saja terjadi tiba-tiba, misalnya ketika seseorang tiba-
tiba mengingkari wujud Allah SWT, atau mengingkari kerasulan Muhammad SAW, termasuk
juga mengingkari kebenaran agama Islam sebagai agama satu-satunya yang Allah ridhai. Bila
sesaat setan masuk ke dalam pikiran sambil meniupkan pikiran sesatnya itu, lalu seseorang itu
sampai kepada tingkat meyakini apa yang ditiupkan setan itu, maka boleh jadi tidak sempat
murtad sebentar.
Kalau pun saat itu dia segera sadar, maka shalat yang dilakukannya dianggap batal dan harus
diulang lagi. Mengapa demikian?
Karena kekufuran itu merusak amal dan membuatnya menjadi sia-sia. Dalilnya adalah firman
Allah SWT :

َ‫ط َّن َع َملُكَ َولَت َ ُكون ََّن ِمنَ ْالخَا ِس ِرين‬


َ َ‫لَ ِئ ْن أ َ ْش َر ْكتَ لَيَحْ ب‬

Jika kamu mempersekutukan niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk
orang-orang yang merugi.(QS. Az-Zumar : 65)
b. Gila

Demikian juga dengan orang yang tiba-tiba menjadi gila atau hilang akal saat sedang shalat,
maka shalatnya juga batal.
Sebab syarat sah dalam ibadah shalat salah satunya adalah berakal. Shalat yang dilakukan oleh
orang gila atau kehilangan akalnya, tentu shalat itu tidak sah. Dan bila gila itu datangnya kumat-
kumatan, sebentar datang dan sebentar hilang, maka bila terjadi ketika sedang shalat, maka
shalat itu menjadi batal.
c. Belum Masuk Waktu

Di antara syarat sah shalat adalah bahwa mengetahui bahwa waktu shalat sudah masuk. Sebab
shalat itu tidak sah dilakukan bila belum lagi masuk waktunya.
Maka bila seseorang yang sedang mengerjakan shalat, kemudian terbukti bahwa di tengah
shalat itu baru masuk waktunya, otomatis shalatnya itu menjadi batal dengan sendirinya.
Hukum shalat sebelum waktunya jauh berbeda dengan shalat yang dilakukan pada waktu yang
sudah terlewat. Bila waktunya sudah lewat, shalat masih sah dilakukan, bahkan dalam kaitanya
dengan shalat fardhu, hukumnya tetap wajib dikerjakan.
d. Tersentuh Najis

Suci dari najis adalah salah satu syarat sah shalat. Tidak sah shalat seseorang kalau badan,
pakaian atau tempatnya shalatnya masih terkena najis.
Maka bila ditengah-tengah shalat seseorang terkena atau tersentuh benda-benda najis, maka
secara otomatis shalatnya itu pun menjadi batal.
Namun yang perlu diperhatikan adalah batalnya shalat itu hanya apabila najis itu tersentuh
tubuhnya atau pakaiannya.
Adapun tempat shalat itu sendiri bila mengandung najis, namun tidak sampai tersentuh langsung
dengan tubuh atau pakaian, shalatnya masih sah dan bisa diteruskan. Asalkan dia bergeser dari
tempat dimana najis itu terjatuh.
Selain sumber najis itu dari luar, bisa juga najis itu datang dari dalam tubuh sendiri. Maka bila
ada najis yang keluar dari tubuhnya hingga terkena tubuhnya, seperti mulut, hidung, telinga atau
lainnya, maka shalatnya batal.
Namun bila kadar najisnya hanya sekedar najis yang dimaafkan, yaitu najis-najis kecil
ukurannya, maka hal itu tidak membatalkan shalat.
e. Mengalami Hadats Kecil

Bila seseorang mengalami hadats besar atau kecil, maka batal pula shalatnya, baik hal itu terjadi
tanpa sengaja atau secara sadar, ataupun dengan sengaja dan sepenuh kesadaran.
Hal-hal yang membuat seseorang berhadats kecil dan bisa membatalkan wudhu' ada beberapa
hal. Sebagian disepakati para ulama dan sebagian lainnya masih menjadi khilaf atau perbedaan
pendapat.
 Keluarnya Sesuatu Lewat Kemaluan

Yang dimaksud kemaluan itu termasuk bagian depan dan belakang. Dan yang keluar itu bisa
apa saja termasuk benda cair seperti air kencing, mani, wadi, mazi, atau apapun yang cair. Juga
berupa benda padat seperti kotoran, batu ginjal, cacing atau lainnya.
Pendeknya apapun juga benda gas seperti kentut. Kesemuanya itu bila keluar lewat dua lubang
qubul dan dubur membuat wudhu' yang bersangkutan menjadi batal.
Dasarnya adalah firman Allah SWT berikut ini :

‫أ َ ْو َجا َء أ َ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِط‬


Atau bila salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air. (QS. Al-Maidah : 6)
Juga berdasarkan hadits nabawi :

َ ‫ش ْي ٌء أ َ ْم الَ فَالَ يَ ْخ ُر َج َّن ِمنَ ْال َم ْس ِج ِد َحتَّى يَ ْس َم َع‬


‫ص ْوتًا‬ َ ُ‫ش ْيئًا فَأ َ ْش َكل َعلَ ْي ِه أَخ ََر َج ِم ْنه‬ ْ َ‫ِإذَا َو َج َد أ َ َح ُد ُك ْم ِفي ب‬
َ ‫ط ِن ِه‬
‫أ َ ْو يَ ِج َد ِري ًحا‬
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersasabda,”Bila seseorang dari
kalian mendapati sesuatu pada perutnya lalu dia merasa ragu apakah ada sesuatu yang keluar
atau tidak, maka tidak perlu dia keluar dari masjid, kecuali dia mendengar suara atau mencium
baunya”. (HR. Muslim)

 Tidur

Tidur yang bukan dalam posisi tetap (tamakkun) di atas bumi. Dalilnya adalah sabda Rasulullah
SAW

‫َام فَ ْليَت ََوضَّأ‬


َ ‫َم ْن ن‬
Siapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu' (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang membuat hilangnya kesadaran seseorang.
Termasuk juga tidur dengan berbaring atau bersandar pada dinding. Sedangkan tidur sambil
duduk yang tidak bersandar kecuali pada tubuhnya sendiri tidak termasuk yang membatalkan
wudhu' sebagaimana hadits berikut :

َّ ‫صلُّونَ َوالَ يَت ََو‬


‫ وزاد‬- ‫ رواه مسلم‬- َ‫ضؤُن‬ َ ُ‫سو ِل اللهيَنَا ُمونَ ث ُ َّم ي‬ ُ ‫اب َر‬
ُ ‫ص َح‬ ْ َ ‫َع ْن أَن ٍَس َرضي هللا عنه قا َ َل َكانَ أ‬
ُ ‫س ُهم َو َكانَ ذَلِكَ َعلَى َع ْه ِد َر‬
ِ‫سو ِل هللا‬ ُ ‫ َحتَّى ت َ ْخفَق ُر ُؤ‬: ‫أبو داود‬
Dari Anas radhiyallahuanhu berkata bahwa para shahabat Rasulullah SAW tidur kemudian
shalat tanpa berwudhu' (HR. Muslim)
Abu Daud menambahkan : Hingga kepala mereka terkulai dan itu terjadi di masa Rasulullah
SAW.

 Hilang Akal

Hilang akal baik karena mabuk atau sakit. Seorang yang minum khamar dan hilang akalnya
karena mabuk maka wudhu' nya batal. Demikian juga orang yang sempat pingsan tidak
sadarkan diri juga batal wudhu'nya.
Demikian juga orang yang sempat kesurupan atau menderita penyakit ayan dimana
kesadarannya sempat hilang beberapa waktu wudhu'nya batal. Kalau mau shalat harus
mengulangi wudhu'nya.

 Menyentuh Kemaluan
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :

‫س ذَ َك َرهُ فَ ْليَت ََوضَّأ‬


َّ ‫َم ْن َم‬
Siapa yang menyentuh kemaluannya maka harus berwudhu (HR. Ahmad dan At-Tirmizy)
Para ulama kemudian menetapkan dari hadits ini bahwa segala tindakan yang masuk dalam
kriteria menyentuh kemaluan mengakibatkan batalnya wudhu. Baik menyentuh kemaluannya
sendiri ataupun kemaluan orang lain. Baik kemaluan laki-laki maupun kemaluan wanita. Baik
kemaluan manusia yang masih hidup ataupun kemauan manusia yang telah mati (mayat). Baik
kemaluan orang dewasa maupun kemaluan anak kecil. Bahkan para ulama memasukkan dubur
sebagai bagian dari yang jika tersentuh membatalkan wudhu.
Namun para ulama mengecualikan bila menyentuh kemaluan dengan bagian luar dari telapak
tangan dimana hal itu tidak membatalkan wudhu'.

 Menyentuh Kulit Lawan Jenis

Menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram tanpa ada lapisan atau penghalan, termasuk
hal yang membatalkan wudhu menurut pendapat para ulama.
Di dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram termasuk
yang membatalkan wudhu'. Namun hal ini memang sebuah bentuk khilaf di antara para ulama.
Sebagian mereka tidak memandang demikian.
Sebab perbedaan pendapat mereka didasarkan pada penafsiran ayat Al-Quran yaitu :

َ ِ‫أ َ ْو ال َم ْست ُ ُم الن‬


‫سا َء فَلَ ْم ت َِجدُوا َما ًء فَتَيَ َّم ُموا‬
Atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik. (QS. An-Nisa : 43)
Sebagian ulama mengartikan kata ‘menyentuh’ sebagai kiasan yang maksudnya adalah jima’
(hubungan seksual). Sehingga bila hanya sekedar bersentuhan kulit tidak membatalkan wuhu’.
Ulama kalangan As-Syafi’iyah cenderung mengartikan kata ‘menyentuh’ secara harfiyah,
sehingga menurut mereka sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu
membatalkan wudhu’.
Menurut mereka bila ada kata yang mengandung dua makna antara makna hakiki dengan
makna kiasan, maka yang harus didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali ada dalil lain
yang menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan.
Dan Imam Asy-Syafi’i nampaknya tidak menerima hadits Ma’bad bin Nabatah dalam masalah
mencium.
Namun bila ditinjau lebih dalam pendapat-pendapat di kalangan ulama Syafi’iyah, sebenarnya
kita masih juga menemukan beberapa perbedaan. Misalnya sebagian mereka mengatakan
bahwa yang batal wudhu’nya adalah yang sengaja menyentuh sedangkan yang tersentuh tapi
tidak sengaja menyentuh maka tidak batal wudhu’nya.
Juga ada pendapat yang membedakan antara sentuhan dengan lawan jenis non mahram
dengan pasangan (suami istri). Menurut sebagian mereka bila sentuhan itu antara suami istri
tidak membatalkan wudhu’.
Dan sebagian ulama lainnya lagi memaknainya secara harfiyah sehingga menyentuh atau
bersentuhan kulit dalam arti fisik adalah termasuk hal yang membatalkan wudhu’. Pendapat ini
didukung oleh Al-Hanafiyah dan juga semua salaf dari kalangan shahabat.
Sedangkan Al-Malikiyah dan jumhur pendukungnya mengatakan hal sama kecuali bila sentuhan
itu dibarengi dengan syahwat (lazzah) maka barulah sentuhan itu membatalkan wudhu’.
Pendapat mereka dikuatkan dengan adanya hadits yang memberikan keterangan bahwa
Rasulullah SAW pernah menyentuh para istrinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa
berwudhu’ lagi.

َّ ُ ‫ص ِلي َو َال يَت ََوضَّأ‬


َّ ‫أن النَّ ِب‬
‫ي‬ ِ ‫ض أ َ ْز َو‬
َ ُ‫اج ِه ث ُ َّم ي‬ َ ‫َكانَ يُقَبِ ُل بَ ْع‬
Dari Habib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah radhiyallahuanhadari Nabi SAW bahwa
Rasulullah SAW mencium sebagian istrinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu”.(HR.
Turmuzi Abu Daud An-Nasai Ibnu Majah dan Ahmad).
g. Mengalami Hadats Besar

Selain terkena hadats kecil, yang ikut juga membatalkan seseorang dari shalatnya adalah
terkena atau mendapatkan hadats besar. Maksudnya, kalau pada saat sedang shalat, seseorang
mengalami hal-hal yang mengakibatkan terjadinya hadats besar, maka secara otomatis
shalatnya batal.
Para ulama menetapkan paling tidak ada 6 hal yang mewajibkan seseorang untuk mandi
janabah. Tiga hal di antaranya dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan. Tiga lagi sisanya
hanya terjadi pada perempuan.

 Keluar Mani

Keluarnya air mani menyebabkan seseorang mendapat janabah baik dengan cara sengaja
(masturbasi) atau tidak. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :

ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫س ِعي ٍد ْال ُخد ِْري ِ رضي هللا تعالى عنه قَا َل‬
ِ َّ ‫سو ُل‬
‫َّللا ال‬ ِ ‫َما ُء ِم ْن ْال َم‬
َ ‫اءْْ َع ْن أَبِي‬
Dari Abi Said Al-Khudhri radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda"Sesungguhnya air itu (kewajiban mandi) dari sebab air (keluarnya sperma). (HR.
Bukhari dan Muslim)
Namun ada sedikit berbedaan pandangan dalam hal ini di antara para fuqaha'.
Mazhab Al-Hanafiyah Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mensyaratkan keluarnya mani itu karena
syahwat atau dorongan gejolak nafsu baik keluar dengan sengaja atau tidak sengaja. Yang
penting ada dorongan syahwat seiring dengan keluarnya mani. Maka barulah diwajibkan mandi
janabah.
Sedangkan mazhab Asy-syafi'iyah memutlakkan keluarnya mani baik karena syahwat ataupun
karena sakit semuanya tetap mewajibkan mandi janabah.
Sedangkan air mani laki-laki itu sendiri punya ciri khas yang membedakannya dengan wadi dan
mazi :

 Dari aromanya air mani memiliki aroma seperti aroma 'ajin (adonan roti). Dan seperti
telur bila telah mengering.
 Keluarnya dengan cara memancar sebagaimana firman Allah SWT : ‫دافق ماء من‬
 Rasa lezat ketika keluar dan setelah itu syahwat jadi mereda.

Mani Wanita

ِ ‫َّللا َال يَ ْست َِحي ِم ْن ا َ ْل َح‬


‫ق فَ َه ْل َعلَى‬ َ َّ َ ‫َّللاِ! ِإ َّن‬
َّ َ ‫سو َل‬ ْ َ‫ قَال‬-َ‫ط ْل َحة‬
ُ ‫ يَا َر‬:‫ت‬ َ ‫ِي ا ِْم َرأَة ُ أ َ ِبي‬ ُ ‫سلَ َمةَ أ َ َّن أ ُ َّم‬
َ ‫ َوه‬- ‫سلَي ٍْم‬ َ ‫َع ْن أ ُ ِم‬
‫ت ْال َما َء‬
ِ َ ‫ ِإذَا َرأ‬.‫ نَعَ ْم‬:َ‫ت ؟ قَال‬ ْ ‫ا َ ْل َم ْرأَةِ ا َ ْلغُ ْس ُل ِإذَا اِحْ تَلَ َم‬
Dari Ummi Salamah radhiyallahu anha bahwa Ummu Sulaim istri Abu Thalhah bertanya"Ya
Rasulullah sungguh Allah tidak mau dari kebenaran apakah wanita wajib mandi bila keluar mani?
Rasulullah SAW menjawab"Ya bila dia melihat mani keluar". (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menegaskan bahwa wanita pun mengalami keluar mani bukan hanya laki-laki.
 Bertemunya Dua Kemaluan

Yang dimaksud dengan bertemunya dua kemaluan adalah kemaluan laki-laki dan kemaluan
wanita. Dan istilah ini disebutkan dengan maksud persetubuhan (jima'). Dan para ulama
membuat batasan : dengan lenyapnya kemaluan (masuknya) ke dalam faraj wanita atau faraj
apapun baik faraj hewan.
Termasuk juga bila dimasukkan ke dalam dubur baik dubur wanita ataupun dubur laki-laki baik
orang dewasa atau anak kecil. Baik dalam keadaan hidup ataupun dalam keadaan mati.
Semuanya mewajibkan mandi di luar larangan perilaku itu.
Hal yang sama berlaku juga untuk wanita dimana bila farajnya dimasuki oleh kemaluan laki-laki
baik dewasa atau anak kecik baik kemaluan manusia maupun kemaluan hewan baik dalam
keadaan hidup atau dalam keadaan mati termasuk juga bila yang dimasuki itu duburnya.
Semuanya mewajibkan mandi di luar masalah larangan perilaku itu.
Semua yang disebutkan di atas termasuk hal-hal yang mewajibkan mandi meskipun tidak
sampai keluar air mani. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :

ُ‫ب الغُ ْس ُل فَعَ ْلتُه‬


َ ‫الختَانَ َو َج‬
ِ ُ‫الخت َان‬
ِ ‫س‬ َّ ‫ ِإذَا ْالتَقَى ال َخت َانا َ ِن أ َ ْو َم‬: ‫سو َل هللا ِ قَا َل‬
ُ ‫ي هللا َع ْن َها أ َ َّن َر‬ َ ‫ض‬ِ ‫شةَ َر‬
َ ِ‫َع ْن َعائ‬
ْ‫سلنَا‬ ْ
َ َ ‫هللا فَاغت‬
ِ ‫سو ُل‬ ُ ‫أَنَا َو َر‬
Dari Aisyah radhiyallahuanhaberkata bahwa Rasulullah SAW bersabda"Bila dua kemaluan
bertemu atau bila kemaluan menyentuh kemaluan lainnya maka hal itu mewajibkan mandi
janabah. Aku melakukannya bersama Rasulullah SAW dan kami mandi.

َ ‫شعَبِ َها األ َ ْربَ ِع ث ُ َّم َج َهدهَا فَقَ ْد َو َج‬


‫ب‬ َ َ‫َّللا إذَا َجل‬
ُ َ‫س بَيْن‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫َو َع ْن أَبِي ه َُري َْرة َ رضي هللا عنه قَا َل‬
ِ َّ ‫سو ُل‬
‫ " َو ِإ ْن لَ ْم يُ ْن ِز ْل‬: ‫" ْالغُ ْس ُل َوزَ ا َد ُم ْس ِل ٌم‬
Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda"Bila seseorang
duduk di antara empat cabangnya kemudian bersungguh-sungguh (menyetubuhi) maka sudah
wajib mandi. (HR. Muttafaqun 'alaihi).
Dalam riwayat Muslim disebutkan : "Meski pun tidak keluar mani"

 Meninggal

Seseorang yang meninggal maka wajib atas orang lain yang masih hidup untuk memandikan
jenazahnya. Dalilnya adalah sabda Nabi Saw tentang orang yang sedang ihram tertimpa
kematian :
‫ا ْغ ِسلُوهُ ِب َماءٍ َو ِسد ٍْر‬
Rasulullah SAW bersabda"Mandikanlah dengan air dan daun bidara’. (HR. Bukhari dan Muslim)

 Haidh

Haidh atau menstruasi adalah kejadian alamiyah yang wajar terjadi pada seorang wanita dan
bersifat rutin bulanan. Keluarnya darah haidh itu justru menunjukkan bahwa tubuh wanita itu
sehat. Dalilnya adalah firman Allah SWT dan juga sabda Rasulullah SAW :
ْ َ‫ى ي‬
‫ط ُه ْرنَ فَإِذَا‬ َ َّ ‫يض َوالَ ت َ ْق َربُوه َُّن َحت‬ ِ ‫ساء فِي ْال َم ِح‬ َ ِ‫يض قُ ْل ه َُو أَذًى فَا ْعت َِزلُواْ الن‬ ِ ‫َويَسْأَلُونَكَ َع ِن ْال َم ِح‬
َ‫ط ِه ِرين‬ َ َ ‫َّللا ي ُِحبُّ الت َّ َّوابِينَ َوي ُِحبُّ ْال ُمت‬ ُ ‫ط َّه ْرنَ فَأْتُوه َُّن ِم ْن َحي‬
َ ‫ْث أ َ َم َر ُك ُم َّللاُ إِ َّن‬ َ َ‫ت‬
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati
mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat
yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan
menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS. Al-Baqarah : 222)
َ ‫َب قَد َْرهَا فَا ْغ ِس ِلي َع ْن ِك الد ََّم َو‬
ِ ‫صلي‬ َ ‫صالَة َ فَإِذَا ذَه‬ ُ ‫إِذَا أ َ ْقبَلَت ِال َحي‬
َّ ‫ْض فَ َد ِعي ال‬
Nabi SAW bersabda’Apabila haidh tiba tingalkan shalat apabila telah selesai (dari haidh) maka
mandilah dan shalatlah.(HR Bukhari dan Muslim)

 Nifas

Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita setelah melahirkan. Nifas itu
mewajibkan mandi janabah meski bayi yang dilahirkannya itu dalam keadaan mati. Begitu
berhenti dari keluarnya darah sesudah persalinan atau melahirkan maka wajib atas wanita itu
untuk mandi janabah.
Hukum nifas dalam banyak hal lebih sering mengikuti hukum haidh. Sehingga seorang yang
nifas tidak boleh shalat puasa thawaf di baitullah masuk masjid membaca Al-Quran
menyentuhnya bersetubuh dan lain sebagainya.

 Melahirkan

Seorang wanita yang melahirkan anak meski anak itu dalam keadaan mati maka wajib atasnya
untuk melakukan mandi janabah. Bahkan meski saat melahirkan itu tidak ada darah yang keluar.
Artinya meski seorang wanita tidak mengalami nifas namun tetap wajib atasnya untuk mandi
janabah lantaran persalinan yang dialaminya.
h. Terbuka Aurat Secara Sengaja

Bila seseorang yang sedang melakukan shalat tiba-tiba terbuka auratnya, maka shalatnya
otomatis menjadi batal. Maksudnya bila terbuka dalam waktu yang lama. Sedangkan bila hanya
terbuka sekilas dan langsung ditutup lagi, para ulama mengatakan tidak batal menurut As-
Syafi'iyah dan Al-Hanabilah.
Namun Al-Malikiyah mengatakan secepat apapun ditutupnya, kalau sempat terbuka, maka
shalat itu sudah batal dengan sendirinya.
Namun perlu diperhatikan bahwa yang dijadikan sandaran dalam masalah terlihat aurat dalam
hal ini adalah bila dilihat dari samping, atau depan atau belakang. Bukan dilihat dari arah bawah
seseorang. Sebab bisa saja bila secara sengaja diintip dari arah bawah, seseorang akan terlihat
auratnya. Namun hal ini tidak berlaku.
i. Bergeser Dari Arah Kiblat

Bila seserang di dalam shalatnya melakukan gerakan hingga badannya bergeser arah hingga
membelakangi kiblat, maka shalatnya itu batal dengan sendirinya.
Hal ini ditandai dengan bergesernya arah dada orang yang sedang shalat itu, menurut kalangan
As-Syafi'iyah dan Al-Hanafiyah. Sedangkan menurut Al-Malikiyah, bergesernya seseorang dari
menghadap kiblat ditandai oleh posisi kakinya. Sedangkan menurut Al-Hanabilah, ditentukan
dari seluruh tubuhnya.
Keharusan menghadap kitblat ini terutama berlaku untuk shalat fardhu, sedangkan pada shalat
sunnah, hukumnya tidak seketat shalat fardhu, menghadap kiblat tidak menjadi syarat shalat.
Hal itu karena Rasulullah SAW pernah melakukannya di atas kendaraan dan menghadap
kemana pun kendaraannya itu mengarah.
Namun yang dilakukan hanyalah shalat sunnah, adapun shalat wajib belum pernah diriwayatkan
bahwa beliau pernah melakukannya. Sehingga sebagian ulama tidak membenarkan shalat wajib
di atas kendaraan yang arahnya tidak menghadap kiblat.
2. Meninggalkan Salah Satu Rukun Shalat
Apabila ada salah satu rukun shalat yang tidak dikerjakan, maka shalat itu menjadi batal dengan
sendirinya. Dan sebagaimana kita bahas sebelumnya, bahwa rukun shalat itu ada 13 perkara,
bahkan sebagian ulama menambahi bilangannya, sesuai dengan perbedaan pendapat masing-
masing.
Maka bila salah satu dari rukun-rukun itu tidak dikerjakan, seketika itu juga shalat menjadi batal
hukumnya.
a. Kehilangan Niat

Seseorang yang sedang shalat, lalu tiba-tiba niatnya berubah, maka shalatnya menjadi batal.
Yang dimaksud dengan berubah niat disini adalah bila terbetik niat untuk menghentikan shalat
yang sedang dilakukannya di dalam hatinya, maka saat itu juga shalatnya telah batal. Sebab
niatnya telah rusak, meski dia belum melakukan hal-hal yang membatalkan shalatnya.
Karena niat itu menjadi salah satu rukun shalat yang utama dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, atau
menjadi syarat sah shalat dalam pandangan mazhab yang lain. Maka seorang yang melakukan
shalat, bila kehilangan salah satu rukun atau syarat sah shalat, otomatis shalatnya pun menjadi
rusak, alias batal.
b. Tidak Membaca Surat Al-Fatihah

Seluruh ulama sepakat bahwa membaca surat Al-Fatihah adalah bagian dari rukun shalat.
Sehingga bila ada orang yang sengaja atau lupa tidak membaca surat Al-Fatihah lalu langsung
ruku', maka shalatnya menjadi batal.
Dalilnya adalah hadits nabawi yang secara tegas menyebutkan tidak sahnya shalat tanpa
membaca surat Al-Fatihah :

ِ ‫صالَة َ ِل َم ْن لَ ْم يَ ْق َرأْ ِبأ ُ ِم القُ ْر‬


‫آن‬ َ َ‫ال‬
Dari Ubadah bin Shamit ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Tidak sah shalat kecuali
dengan membaca ummil-quran (surat Al-Fatihah)"(HR. Bukhari Muslim)
Namun dalam hal ini dikecualikan dalam kasus shalat berjamaah dimana memang sudah
ditentukan bahwa imam menanggung bacaan fatihah makmum, sehingga seorang yang
tertinggal takbiratul ihram dan mendapati imam sudah pada posisi rukuk, dibolehkan langsung
ikut ruku' bersama imam dan telah mendapatkan satu rakaat.
Demikian pula dalam shalat jahriyah (suara imam dikeraskan), dengan pendapat yang
mengatakan bahwa bacaan Al-Fatihah imam telah menjadi pengganti bacaan Al-Fatihah buat
makmum, maka bila makmum tidak membacanya, tidak membatalkan shalat.
c. Rukun-rukun Lainnya

Dan rukun-rukun shalat lainnya masih banyak, tetapi kalau salah satunya tidak dikerjakan, maka
shalat orangitu batal jadinya.

 Tidak Berdiri
 Tidak Ruku'
 Tidak I'tidal
 Tidak Sujud
 Tidak Duduk Antara Dua Sujud
 Tidak Duduk Tasyahhud Akhir
 Tidak Membaca Lafazdz Tasyahhud Akhir
 Tidak Membaca Shalawat
 Tidak Mengucapkan Salam Pertama
 Tidak Tertib
 Tidak Thuma'ninah

3. Berbicara di Luar Shalat


Sebenarnya shalat itu adalah gabungan dari perkataan dan gerakan. Maka pada dasarnya
shalat itu adalah berbicara atau berkata-kata.
Namun yang dimaksud dengan berbicara yang membatalkan shalat maksudnya adalah
pembicaraan yang diluar shalat, di antara pembicaraan dengan sesama manusia secara lisan
(verbal), di luar dari yang telah ditetapkan sebagai bacaan shalat.
Dasar larangan berbicara di dalam shalat antara lain adalah hadits-hadits berikut ini :

‫ت‬ ُّ ‫هلل قَانِتِيْنَ فَأ ُ ِم ْرنا َ ِبال‬


ِ ‫س ُكو‬ ِ ‫ َوقُو ُموا‬:‫ت‬
ْ َ‫لى َج ْنبِ ِه َحتَّى نَزَ ل‬
َ ‫احبَهُ َوه َُو ِإ‬
ِ ‫ص‬ َّ ‫ُكنَّا نَت َ َكلَّ ُم في ِ ال‬
َّ ‫صالَةِ يُ َك ِل ُم‬
َ ‫الر ُج ُل ِمنَّا‬
‫َونُ ِه ْينَا َع ِن ال َكالَ ِم‬
Dari Zaid bin Al-Arqam radhiyallahuanhu berkata,"Dahulu kami bercakap-cakap pada saat
shalat. Seseorang ngobrol dengan temannya di dalam shalat. Yang lain berbicara dengan yang
disampingnya. Hingga turunlah firman Allah SWT "Berdirilah untuk Allah dengan khusyu". Maka
kami diperintahkan untuk diam dan dilarang berbicara dalam shalat". (HR. Jamaah kecuali Ibnu
Majah)
Selain itu juga ada hadits lainnya :

‫اس إِنَّ َما ه‬ َ ‫صلُ ُح فِ ْي َها‬


ِ َّ‫ش ْي ٌء ِم ْن َكالَ ِم الن‬ ْ َ‫صالَة َ الَ ي‬ ِ ‫ي الت َّ ْسبِي ُح َوالت َّ ْكبِي ُْر َوقِ َرا َءة ُ القُ ْر‬
َّ ‫آنِْإِ َّن َه ِذ ِه ال‬ َ
Shalat ini tidak boleh di dalamnya ada sesuatu dari perkataan manusia. Shalat itu hanyalah
tasbih, takbir dan bacaan Al-Quran (HR. Muslim, Ahmad, An-Nasa'i dan Abu Daud)
Para ulama memasukkan ke dalam kategori berbicara adalah menjawab sesuatu perkataan, baik
perkataan imam dalam bacaannya atau pun perkataan orang lain.
a. Bicara Yang Membatalkan Shalat

Dan termasuk dalam perkara menjawab perkataan orang lain misalnya :

 Tertawa

Masih dekat dengan berbicara adalah tertawa. Jumhur ulama diantaranya Al-Hanafiyah, Al-
Malikiyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa orang yang tertawa dalam shalatnya, maka
shalatnya batal.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :

ُ ‫ض ْال ُو‬
‫ضو َء‬ ُ ُ‫صالَة َ َوالَ ت َ ْنق‬ ُ ُ‫ْالقَ ْهقَ َهةُ ت َ ْنق‬
َّ ‫ض ال‬
Dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tertawa itu membatalkan shalat tapi
tidak membatalkan wudhu" (HR.Ad-Daruquthuny)
Namun umumnya para ulama sepakat bahwa batasan tertawa adalah tertawa yang sampai
mengeluarkan suara. Sedangkan bila tertawa itu hanya sebatas tersenyum, belumlah sampai
batal puasanya.
Mazhab Asy-Syafi'iyah memberikan batasan bila suara tertawa itu melebihi dua huruf, maka
shalat itu batal.[1]

 Mengucapkan Salam dan Menjawabnya

Bila seseorang mengucapkan salam secara sengaja dan sadar, maka shalatnya batal. Sebab
fungsi salam di dalam shalat adalah sebagai penutup dari shalat, sehingga bila penutup itu
dilakukan, para ulama mengatakan shalatnya otomatis selesai.
Dasarnya adalah hadits Nabi SAW yang menyatakan bahwa salam adalah hal yang mengakhiri
shalat.

ُ ‫ قَا َل قَا َل َر‬r ‫ور َوتَح ِْري ُم َها التَّك‬


ٍ ‫س ْو ُل هللا َع ْن َع ِلي‬ َّ ِ‫صالة‬
ُ ‫الط ُه‬ َّ ‫ير َوتَحْ ِليلُ َها الت َّ ْس ِلي ُمْْ ِم ْفت َا ُح ال‬
ُ ِ‫ب‬
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Kunci shalat itu
adalah kesucian dan yang mengharamkannya (dari segala hal di luar shalat) adalah takbir". (HR.
Muslim)
Menjawab shalat memang hukumnya wajib. Tetapi kalau dilakukan ketika shalat, jawaban salam
itu membatalkan shalat.

 Membaca Shalawat

Ketika mendengar nama beliau SAW disebut, memang disunahkan bagi kita untuk membaca
shalatwat. Tetapi bil shalawat itu diucapkan di dalam shalat, padahal bukan bagian dari ayat Al-
Quran atau tasyahhud, maka termasuk membatalkan.

 Mendoakan Orang Bersin

Orang yang bersin disunnahkan untuk mengucapkan lafadz alhamdulilah, dan yang mendengar
disunnahkan mendoakan dengan lafadz yarhamukallah, lalu yang bersin disunnahkan menjawab
dengan lafadz yahdina wa yushlihu balakum.
Akan tetapi manakala semua itu dilakukan di dalam shalat, maka batal shalat mereka.

 Mengucapkan Shadaqallahul-Adzhim

Sebagian orang ada yang terbiasa membaca lafadz shadaqallahul-adzhim seusai membaca
ayat-ayat Al-Quran. Dan sebagian lainnya memakruhkan, karena takut dianggap bagian dari Al-
Quran.
Lepas dari perbedaan pendapat di antara mereka, yang pasti bila orang yang sedang shalat
mengakhiri bacaan ayat Al-Quran dengan lafadz tersebut, shalatnya batal.

 Mengucapkan Istirja'

Lafadz istirj’ adalah ucapan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Biasanya kita ucapkan manakala kita
menghadapi cobaan, bala’, musibah, kematian dan sebagainya, baik kita langsung yang
mengalaminya, atau dialami oleh orang lain.
Tetapi manakala lafadz itu diucapkan pada saat seseorang melakukan shalat, maka shalatnya
batal.

 Suara Tanpa Arti

Dan juga termasuk dikatakan telah berbicara atau berkata-kata adalah apabila seseorang
berdehem, mengaduh, menangis, merintih, menguap dan sebagainya, semua itu dilakukan
tanpa udzur hingga mengeluarkan suara atau membentuk kata yang terdiri dari 2 huruf atau
lebih.
b. Bicara Yang Tidak Membatalkan Shalat

Sedangkan bicara yang tidak termasuk membatalkan shalat antara lain al-fathu dan doa-doa
yang kita susun dan dibaca di dalam shalat.

 Al-Fath
Dibolehkan bagi makmum mengingatkan bacaan ayat Al-Quran yang imam melupakannya.
Istilahnya adalah al-fath, yang artinya 'membuka'. Maksudnya, membuka diamnya imam yang
lupa atau bingung dengan bacaannya yang tersilap. Asalkan niatnya untuk membaca Al-Quran
dan bukan untuk berdialog atau talqin, hukumnya boleh. Bahkan mazhab Asy-syafi'I
mewajibkannya.
Dasarnya adalah hadtis berikut :

‫ فَ َما‬:َ‫ قَال‬. ‫ نَعَ ْم‬: ‫صلَّيْتَ َمعَنَا ؟ قَا َل‬


َ َ ‫ أ‬:ِ‫ف قَا َل ألِ بي‬ َ َ‫صالَة ً فَقَ َرأ َ ِف ْي َها فَلَب‬
َ ‫س َعلَ ْي ِه فَلَ َّما ا ْن‬
َ ‫ص َر‬ َ ‫ى‬
َّ ‫صل‬ َّ ‫أ َ َّن النَّ ِب‬
َ ‫ي‬
‫َمنَعَكَ ؟‬
Dari Ibnu Umar radhiyallahu'anhu bahwa Nabi SAW melakukan shalat dan membaca ayat Al-
Quran, namun ada yang tersilap. Ketika selesai shalat beliau bertanya kepada Ayahku (Umar bin
Al-Khttab),"Apakah kamu shalat bersama kita?". Umar menjawab,"Ya". Nabi bertanya,"Apa yang
menghalangimu (dari mengingatkan Aku)?". (HR. Abu Daud)
Namun bila fath itu ditujukan kepada selain imam, maka hukumnya membatalkan shalat.
Al-Fathu adalah istilah yang digunakan di dalam shalat berjamaah, dimana makmum yang
berada di belakang imam mengoreksi bacaan atau gerakan imam yang keliru.
Rasulullah SAW mensyariatkan fath kepada makmum bila mendapati imam yang lupa bacaan
atau gerakan, sedangkan buat jamaah wanita cukup dengan bertepuk tangan

‫اء‬
ِ ‫س‬َ ِ‫يق ِللن‬ ْ َّ ‫الت َّ ْسبِي ُح ِل ِلر َجا ِل َوالت‬
ُ ‫ص ِف‬
Tasbih untuk laki-laki dan bertepuk buat wanita (HR. Muslim)
Makmum boleh membetulkan bacaan imam yang salah, keliru atau terlupa, dengan bersuara
yang sekiranya bisa didengar oleh imam.
Demikian juga makmum boleh menyebut lafadz subhanallah, apabila mengetahui imam bersalah
dalam gerakan, seperti hampir mau menambah jumlah rakaat dari empat menjadi lima, atau
sebaliknya, belum sampai empat rakaat sudah mau duduk tahiyat akhir.
Ketika makmum mengucapkan tasbih ini, tidak dianggap dia telah batal dari shalatnya. Sebab
melakukan fath ini adalah hal yang pernah ditetapkan oleh Rasulullah SAW.

 Melafadzkan Doa

Melafadz doa tidak membatalkan shalat, karena pada dasarnya shalat itu memang doa. Bahkan
di dalam shalat ada posisi tertentu yang memang kita dianjurkan untuk memperbanyak doa.

‫اج ٌد فَأ َ ْكثِ ُروا الدُّعا َ َء‬


ِ ‫س‬ ُ ‫أ َ ْق َر‬
َ ‫ب َما يَ ُكونُ العَ ْب ُد ِم ْن َر ِب ِه َع َّز َو َج َّل َوه َُو‬
Posisi paling dekat antara seorang hamba dengan Tuhannya ketika sujud, maka perbanyaklah
doa pada waktu sujud (HR. Muslim)

ُّ ‫ب َوأ َ َّما ال‬


ِ ‫س ُجو ُد فَاجْ ت َ ِهدُوا في‬ َّ ‫ع فَعَ ِظ ُموا فِ ْي ِه‬
ُ ‫الر‬ ُّ ‫اجدا ً َفَأ َ َّما‬
ُ ‫الر ُكو‬ ِ ‫س‬َ ‫إنِي نُ ِهيْتُ أ َ ْن أ َ ْق َرأ َ القُ ْرآنَ َرا ِكعا ً أ َ ْو‬
َ ‫ال ُّد َعا ِء فَقُمن أ َ ْن يُ ْست َ َج‬
‫اب لَ ُك ْم‬
Aku dilarang untuk membaca Al-Quran dalam keadaan ruku’ atau sujud. Ketika ruku’
agungkanlah Rabb, sedangkan ketika sujud maka berusahalah bersungguh-sungguh dalam doa,
sehingga layak dikabulkan untukmu.” (HR. Muslim)
Lafadz doa yang paling utama adalah lafadz yang diambil dari ayat-ayat Al-Quran, kemudian dari
sunnah Rasulullah SAW yang ma’tsur. Namun bukan berarti berdoa dengan lafadz yang kita
susun sendiri menjadi terlarang.
Meski pun lafadz doa nampak seperti pembicaraan di luar shalat, namun berdoa di dalam shalat
dengan lafadz yang kita karang sendiri dibolehkan. Syaratnya doa itu harus berbahasa Arab. Bila
doa itu dilakukan dalam bahasa Indonesia atau bahasa selain Arab, maka doa itu termasuk
dianggap lafadz di luar shalat.

4. Bergerak di Luar Gerakan Shalat


Para ulama sepakat bahwa gerakan di luar shalat yang dilakukan berulang-ulang akan
membatalkan shalat. Namun mereka berbeda pendapat dalam batasannya.
a. Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah

Batasan gerakan yang banyak menurut kedua mazhab ini adalah apa yang diyakini oleh orang
lain sebagai gerakan bukan shalat, maka hal itu termasuk gerakan yang banyak. Tetapi bila
orang lain masih ragu-ragu apakah seseorang sedang shalat atau tidak, maka hal itu belum
membatalkan.
Ibnu Abidin mengatakan harus ditambahkan bahwa gerakan yang banyak dan membatalkan
shalat itu di luar dari gerakan untuk membunuh ular dan kalajengking, karena Rasulullah SAW
memerintahkan untuk melakukannya.
b. Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah

Yang dimaksud adalah gerakan yang banyak dan berulang-ulang terus itu standarnya adalah al-
‘urf. Al-‘Urf maksudnya kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat. Bila di tengah masyarakat
suatu gerakan di dalam shalat dianggap sudah keluar dari konteks shalat, maka gerakan itu
membatalkan shalat. Sebaliknya, bila ‘urf di tengah masyarakat menganggap gerakan itu masih
dalam kategori shalat, maka shalatnya tidak batal.
Mazhab As-syafi'i memberikan batasan bahwa dua langkah yang dilakukan oleh orang yang
sedang shalat, belum termasuk membatalkan, karena dianggap masih sedikit. Tetapi langkah
yang ketiga sudah membatalkan, karena tiga adalah angka banyak yang minimal. Demikian juga
dengan gerakan lainnya, bila sampai tiga kali gerakan berturut-turut sehingga seseorang batal
dari shalatnya.
Namun bukan berarti setiap ada gerakan langsung membatalkan shalat. Sebab dahulu
Rasulullah SAW pernah shalat sambil menggendong anak (cucunya).

َّ ‫ى قَا َل َرأَيْتُ النَّ ِب‬


‫ى‬ ِ ‫ار‬
ِ ‫ص‬َ ‫ى اب َع ْن أ َ ِبى قَت َا َدة َ األ َ ْن‬
َ ‫اص َو ْه‬ ِ َ‫اس َوأ ُ َما َمةُ ِب ْنتُ أ َ ِبى ْالع‬
َ َّ‫ت النَّ ِب ِىْْيَ ُؤ ُّم الن‬ َ ‫نَةُ زَ ْين‬
ِ ‫َب بِ ْن‬
َ َ ‫َعلَى َعاتِ ِق ِه فَإِذَا َر َك َع َو‬
ُّ ‫ضعَ َها َو ِإذَا َرفَ َع ِمنَ ال‬
r ‫س ُجو ِد أ َعا َد َها‬
Dari Abi Qatadah radhiyallahuanhu berkata, Aku pernah melihat Nabi SAW mengimami orang
shalat, sedangkan Umamah binti Abil-Ash yang juga anak perempuan dari puteri beliau, Zainab
berada pada gendongannya. Bila beliau SAW ruku' anak itu diletakkannya dan bila beliau
bangun dari sujud digendongnya kembali (HR. Muslim)
Bahkan beliau SAW memerintah orang yang sedang shalat untuk membunuh ular dan
kalajengking (al-aswadain). Dan beliau juga pernah melepas sandalnya sambil shalat.
Kesemuanya gerakan itu tidak termasuk yang membatalkan shalat.
Intinya kalau gerakan itu diciptakan sendiri dan tidak termasuk gerakan di dalam shalat, lantas
dilakukan berulang-ulang, maka gerakan itu membatalkan shalat.
Sedangkan bila gerakan itu didasari dari hadits Nabi SAW bahwa beliau pernah melakukannya
di dalam shalat, maka hukumnya tidak membatalkan shalat.
Sebab kalau kita mengatakan bahwa gerakan itu membatalkan shalat, maka shalat Rasulullah
SAW pun seharusnya kita bilang batal. Padahal beliau justru sumber dalam masalah hukum-
hukum shalat.

5. Makan dan Minum


Makan dan minum termasuk perbuatan yang membatalkan shalat. Namun para ulama berbeda
pendapat tentang detail-detailnya.
a. Al-Hanafiyah

Mazhab Al-Hanafiyah mengatakan walau pun seseorang lupa menelan biji kecil, shalatnya
dianggap batal. Demikian juga gerakan mengunyah makanan bila tiga kali berturut-turut, meski
tidak ditelan, sudah dianggap membatalkan shalat.
Gula yang ada di mulut bila larut dengan ludahnya, juga termasuk ke dalam hal yang
membatalkan shalat.
Ibnu Abidin menyebutkan yang termasuk kategori makan ada dua. Pertama, gerakan
mengunyah makanan meski tidak ditelan. Kedua, menelan makanan atau minuman meski tidak
mengunyah.
b. Al-Malikiyah

Mazhab Al-Malikiyah membedakan antara makan minum yang disengaja dengan yang terlupa.
Makan minum dengan sadar dan sengaja, tentu membatalkan shalat. Namun bila makan dan
minum itu dilakukan tanpa sadar alias lupa, maka shalatnya tetap sah. Hal ini persis dengan bila
orang puasa dan terlupa sehingga memakan makanan di siang hari.
Untuk itu, orang yang makan sambil shalat, kalau memang benar-benar lupa, disunnahkan untuk
melakukan sujud sahwi.
c. As-Syafi’iyah

Mazhab Asy-Syafi’iyah mengatakan bila orang menelan makanan atau minuman, meski
jumlahnya sangat sedikit atau kecil, tetap saja membatalkan shalat. Bahkan meski dia tidak
menginginkannya.
Mazhab ini juga menyebutkan bahwa melakukan banyak gerakan mengunyah makanan
termasuk hal yang membatalkan shalat, meski makanan itu tidak sampai tertelan.
Hal-hal yang tidak termasuk membatalkan dalam perkara makanan menurut mazhab ini antara
lain : kasus terlupa, baru kenal Islam, tidak ada ulama,
Orang yang makan waktu shalat karena lupa, shalatnya tidak dianggap batal, sebagaimana
orang yang makan karena terlupa pada saat berpuasa.
Orang yang baru saja masuk Islam dan masih jahil atas ilmu-ilmu syariah, bila dia shalat sambil
memakan makanan atau meminum minuman, dalam kadar tertentu diperbolehkan.
Bila ada orang Islam yang hidup terpisah dari masyarakat Islam, tanpa ada ulama yang mengerti
hukum Islam, lalu dia shalat dan karena ketidak-tahuannya dia makan ketika shalat, dalam kasus
ini ada keringanan.
d. Al-Hanabilah

Mazhab Al-Hanabilah membedakan antara shalat fardhu dengan shalat sunnah. Orang yang
sedang melakukan shalat fardhu bila dia memakan sesuatu atau meminumnya, maka shalatnya
batal. Meski pun yang dimakan itu sedikit.
Namun bila makan dan minum pada waktu shalat sunnah, maka hal itu tidak membatalkan
shalatnya. Kecuali apabila jumlah yang dimakan itu sangat banyak.

6. Mendahului Imam dalam Shalat Jama'ah


Bila seorang makmum melakukan gerakan mendahului gerakan imam, seperti bangun dari sujud
lebih dulu dari imam, maka batal-lah shalatnya. Namun bila hal itu terjadi tanpa sengaja, maka
tidak termasuk yang membatalkan shalat.
As-Syafi'iyah mengatakan bahwa batasan batalnya shalat adalah bila mendahului imam sampai
dua gerakan yang merupakan rukun dalam shalat. Hal yang sama juga berlaku bila tertinggal
dua rukun dari gerakan imam.
7. Terdapatnya Air bagi Yang Tayammum
Seseorang yang tidak mendapatkan air untuk bersuci dari hadats, lalu bersuci dengan cara
bertayammum untuk shalat, bila ketika shalat tiba-tiba terdapat air yang bisa dijangkaunya dan
cukup untuk digunakan berwudhu', maka saat itu otomatis shalatnya batal.
Karena halangan dari bersuci dengan air sudah tidak ada lagi. Maka begitu shalatnya batal, dia
harus berwudhu' saat itu dan mengulangi lagi shalatnya.
Lain halnya bila shalat sudah dikerjakan, dan air baru kemudian ditemukan. Maka dalam
keadaan seperti itu dia punya satu di antara dua pilihan. Pertama, dia boleh mengulangi
shalatnya dengan berwudhu’. Kedua, dia tidak perlu lagi mengulangi shalatnya, karena sudah
ditunaikan secara sah.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA


[1] Mughni Al-Muhtaj jilid 1 hal. 159

Berbicara Dalam Shalat, Mana Yang Membatalkan


Mana Yang Tidak?

Mon 13 April 2015 11:10 | Shalat | 13.262 views | Kirim Pertanyaan : tanya@rumahfiqih.com
Pertanyaan :
Assalamu 'alaikum wr. wb.

Izinkan saya bertanya terkait masalah shalat dan hukum berbicara di dalamnya. Pembicaraan
yang mana yang dianggap membatalkan shalat, padahal kita tahu bahwa shalat itu sendiri terdiri
dari gerakan dan bacaan. Mohon rincian penjelasan dari ustadz.

Syukran terima kasih banyak atas penjelasannya.

Wassalam

Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebenarnya shalat itu adalah gabungan dari perkataan dan gerakan. Maka pada dasarnya
shalat itu adalah berbicara atau berkata-kata.
Namun yang dimaksud dengan berbicara yang membatalkan shalat maksudnya adalah
pembicaraan yang diluar shalat, di antara pembicaraan dengan sesama manusia secara lisan
(verbal), di luar dari yang telah ditetapkan sebagai bacaan shalat.
Dasar larangan berbicara di dalam shalat antara lain adalah hadits-hadits berikut ini :

‫ت‬ ُّ ‫هلل قَا ِنتِيْنَ فَأ ُ ِم ْرنا َ ِبال‬


ِ ‫س ُكو‬ ِ ‫ َوقُو ُموا‬:‫ت‬
ْ َ‫لى َج ْنبِ ِه َحتَّى نَزَ ل‬
َ ‫احبَهُ َوه َُو ِإ‬
ِ ‫ص‬ َّ ‫ُكنَّا نَت َ َكلَّ ُم في ِ ال‬
َّ ‫صالَ ِة يُ َك ِل ُم‬
َ ‫الر ُج ُل ِمنَّا‬
‫َونُ ِه ْينَا َع ِن ال َكالَ ِم‬
Dari Zaid bin Al-Arqam radhiyallahuanhu berkata,"Dahulu kami bercakap-cakap pada saat
shalat. Seseorang ngobrol dengan temannya di dalam shalat. Yang lain berbicara dengan yang
disampingnya. Hingga turunlah firman Allah SWT "Berdirilah untuk Allah dengan khusyu". Maka
kami diperintahkan untuk diam dan dilarang berbicara dalam shalat". (HR. Jamaah kecuali Ibnu
Majah)
Selain itu juga ada hadits lainnya :

‫اس ِإنَّ َما ه‬ َ ‫صلُ ُح ِف ْي َها‬


ِ َّ‫ش ْي ٌء ِم ْن َكالَ ِم الن‬ ْ َ‫صالَة َ الَ ي‬ ِ ‫ي الت َّ ْس ِبي ُح َوالت َّ ْكبِي ُْر َو ِق َرا َءة ُ القُ ْر‬
َّ ‫آنِْ ِإ َّن َه ِذ ِه ال‬ َ
Shalat ini tidak boleh di dalamnya ada sesuatu dari perkataan manusia. Shalat itu hanyalah
tasbih, takbir dan bacaan Al-Quran (HR. Muslim, Ahmad, An-Nasa'i dan Abu Daud)
Para ulama memasukkan ke dalam kategori berbicara adalah menjawab sesuatu perkataan, baik
perkataan imam dalam bacaannya atau pun perkataan orang lain.
A. Bicara Yang Membatalkan Shalat

Dan termasuk dalam perkara menjawab perkataan orang lain misalnya :


1. Tertawa
Masih dekat dengan berbicara adalah tertawa. Jumhur ulama diantaranya Al-Hanafiyah, Al-
Malikiyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa orang yang tertawa dalam shalatnya, maka
shalatnya batal.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :

ُ ‫ض ْال ُو‬
‫ضو َء‬ ُ ُ‫صالَة َ َوالَ ت َ ْنق‬ ُ ُ‫ْالقَ ْهقَ َهةُ ت َ ْنق‬
َّ ‫ض ال‬
Dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tertawa itu membatalkan shalat tapi
tidak membatalkan wudhu" (HR.Ad-Daruquthuny)
Namun umumnya para ulama sepakat bahwa batasan tertawa adalah tertawa yang sampai
mengeluarkan suara. Sedangkan bila tertawa itu hanya sebatas tersenyum, belumlah sampai
batal puasanya.
Mazhab Asy-Syafi'iyah memberikan batasan bila suara tertawa itu melebihi dua huruf, maka
shalat itu batal.[1]
2. Mengucapkan Salam dan Menjawabnya
Bila seseorang mengucapkan salam secara sengaja dan sadar, maka shalatnya batal. Sebab
fungsi salam di dalam shalat adalah sebagai penutup dari shalat, sehingga bila penutup itu
dilakukan, para ulama mengatakan shalatnya otomatis selesai.
Dasarnya adalah hadits Nabi SAW yang menyatakan bahwa salam adalah hal yang mengakhiri
shalat.

ُ ‫ير َوتَحْ ِليلُ َها الت َّ ْس ِلي ُم قَا َل قَا َل َر‬


ٍ ‫س ْو ُل هللا َع ْن َع ِلي‬ ُ ِ‫َحْري ُم َها الت َّ ْكب‬
ِ ‫ور َوت‬ َّ ِ‫صالة‬
ُ ‫الط ُه‬ َّ ‫ِم ْفت َا ُح ال‬
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Kunci shalat itu
adalah kesucian dan yang mengharamkannya (dari segala hal di luar shalat) adalah takbir". (HR.
Muslim)
Menjawab shalat memang hukumnya wajib. Tetapi kalau dilakukan ketika shalat, jawaban salam
itu membatalkan shalat.
3. Membaca Shalawat
Ketika mendengar nama beliau SAW disebut, memang disunahkan bagi kita untuk membaca
shalatwat. Tetapi bil shalawat itu diucapkan di dalam shalat, padahal bukan bagian dari ayat Al-
Quran atau tasyahhud, maka termasuk membatalkan.
4. Mendoakan Orang Bersin
Orang yang bersin disunnahkan untuk mengucapkan lafadz alhamdulilah, dan yang mendengar
disunnahkan mendoakan dengan lafadz yarhamukallah, lalu yang bersin disunnahkan menjawab
dengan lafadz yahdina wa yushlihu balakum.
Akan tetapi manakala semua itu dilakukan di dalam shalat, maka batal shalat mereka.
5. Mengucapkan Shadaqallahul-Adzhim
Sebagian orang ada yang terbiasa membaca lafadz shadaqallahul-adzhim seusai membaca
ayat-ayat Al-Quran. Dan sebagian lainnya memakruhkan, karena takut dianggap bagian dari Al-
Quran.
Lepas dari perbedaan pendapat di antara mereka, yang pasti bila orang yang sedang shalat
mengakhiri bacaan ayat Al-Quran dengan lafadz tersebut, shalatnya batal.
6. Mengucapkan Istirja'
Lafadz istirj’ adalah ucapan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Biasanya kita ucapkan manakala kita
menghadapi cobaan, bala’, musibah, kematian dan sebagainya, baik kita langsung yang
mengalaminya, atau dialami oleh orang lain.
Tetapi manakala lafadz itu diucapkan pada saat seseorang melakukan shalat, maka shalatnya
batal.
7. Suara Tanpa Arti
Dan juga termasuk dikatakan telah berbicara atau berkata-kata adalah apabila seseorang
berdehem, mengaduh, menangis, merintih, menguap dan sebagainya, semua itu dilakukan
tanpa udzur hingga mengeluarkan suara atau membentuk kata yang terdiri dari 2 huruf atau
lebih.
B. Bicara Yang Tidak Membatalkan Shalat
Sedangkan bicara yang tidak termasuk membatalkan shalat antara lain al-fathu dan doa-doa
yang kita susun dan dibaca di dalam shalat.
1. Al-Fath
Dibolehkan bagi makmum mengingatkan bacaan ayat Al-Quran yang imam melupakannya.
Istilahnya adalah al-fath, yang artinya 'membuka'. Maksudnya, membuka diamnya imam yang
lupa atau bingung dengan bacaannya yang tersilap. Asalkan niatnya untuk membaca Al-Quran
dan bukan untuk berdialog atau talqin, hukumnya boleh. Bahkan mazhab Asy-syafi'I
mewajibkannya.
Dasarnya adalah hadtis berikut :

‫ فَ َما‬:َ‫ قَال‬. ‫ نَعَ ْم‬: ‫صلَّيْتَ َمعَنَا ؟ قَا َل‬


َ َ ‫ أ‬:ِ‫ف قَا َل ألِ بي‬ َ َ‫صالَة ً فَقَ َرأ َ فِ ْي َها فَلَب‬
َ ‫س َعلَ ْي ِه فَلَ َّما ا ْن‬
َ ‫ص َر‬ َ ‫ى‬
َّ ‫صل‬ َّ ‫أ َ َّن النَّ ِب‬
َ ‫ي‬
‫َمنَعَكَ ؟‬
Dari Ibnu Umar radhiyallahu'anhu bahwa Nabi SAW melakukan shalat dan membaca ayat Al-
Quran, namun ada yang tersilap. Ketika selesai shalat beliau bertanya kepada Ayahku (Umar bin
Al-Khttab),"Apakah kamu shalat bersama kita?". Umar menjawab,"Ya". Nabi bertanya,"Apa yang
menghalangimu (dari mengingatkan Aku)?". (HR. Abu Daud)
Namun bila fath itu ditujukan kepada selain imam, maka hukumnya membatalkan shalat.
Al-Fathu adalah istilah yang digunakan di dalam shalat berjamaah, dimana makmum yang
berada di belakang imam mengoreksi bacaan atau gerakan imam yang keliru.
Rasulullah SAW mensyariatkan fath kepada makmum bila mendapati imam yang lupa bacaan
atau gerakan, sedangkan buat jamaah wanita cukup dengan bertepuk tangan

‫اء‬
ِ ‫س‬َ ِ‫يق ِللن‬ ْ َّ ‫الت َّ ْسبِي ُح ِل ِلر َجا ِل َوالت‬
ُ ‫ص ِف‬
Tasbih untuk laki-laki dan bertepuk buat wanita. (HR. Muslim)
Makmum boleh membetulkan bacaan imam yang salah, keliru atau terlupa, dengan bersuara
yang sekiranya bisa didengar oleh imam.
Demikian juga makmum boleh menyebut lafadz subhanallah, apabila mengetahui imam bersalah
dalam gerakan, seperti hampir mau menambah jumlah rakaat dari empat menjadi lima, atau
sebaliknya, belum sampai empat rakaat sudah mau duduk tahiyat akhir.
Ketika makmum mengucapkan tasbih ini, tidak dianggap dia telah batal dari shalatnya. Sebab
melakukan fath ini adalah hal yang pernah ditetapkan oleh Rasulullah SAW.
2. Melafadzkan Doa

Melafadz doa tidak membatalkan shalat, karena pada dasarnya shalat itu memang doa. Bahkan
di dalam shalat ada posisi tertentu yang memang kita dianjurkan untuk memperbanyak doa.

‫اج ٌد فَأ َ ْكثِ ُروا الدُّعا َ َء‬


ِ ‫س‬ ُ ‫أ َ ْق َر‬
َ ‫ب َما يَ ُكونُ العَ ْب ُد ِم ْن َر ِب ِه َع َّز َو َج َّل َوه َُو‬
Posisi paling dekat antara seorang hamba dengan Tuhannya ketika sujud, maka perbanyaklah
doa pada waktu sujud (HR. Muslim)

ُّ ‫ب َوأ َ َّما ال‬


ِ ‫س ُجو ُد فَاجْ ت َ ِهدُوا في‬ َّ ‫ع فَعَ ِظ ُموا فِ ْي ِه‬
ُ ‫الر‬ ُّ ‫اجدا ً َفَأ َ َّما‬
ُ ‫الر ُكو‬ ِ ‫س‬َ ‫إنِي نُ ِهيْتُ أ َ ْن أ َ ْق َرأ َ القُ ْرآنَ َرا ِكعا ً أ َ ْو‬
َ ‫اء فَقُمن أ َ ْن يُ ْست َ َج‬
‫اب لَ ُك ْم‬ ِ ‫ال ُّد َع‬
Aku dilarang untuk membaca Al-Quran dalam keadaan ruku’ atau sujud. Ketika ruku’
agungkanlah Rabb, sedangkan ketika sujud maka berusahalah bersungguh-sungguh dalam doa,
sehingga layak dikabulkan untukmu.” (HR. Muslim)
Lafadz doa yang paling utama adalah lafadz yang diambil dari ayat-ayat Al-Quran, kemudian dari
sunnah Rasulullah SAW yang ma’tsur. Namun bukan berarti berdoa dengan lafadz yang kita
susun sendiri menjadi terlarang.
Meski pun lafadz doa nampak seperti pembicaraan di luar shalat, namun berdoa di dalam shalat
dengan lafadz yang kita karang sendiri dibolehkan. Syaratnya doa itu harus berbahasa Arab. Bila
doa itu dilakukan dalam bahasa Indonesia atau bahasa selain Arab, maka doa itu termasuk
dianggap lafadz di luar shalat.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
[1] Al-Khatib Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, jilid 1 hal. 159
Kirim Pertanyaan : tanya@rumahfiqih.com

Mencium Bau Gosong Saat Shalat, Diteruskan


Shalatnya Atau Batalkan?

Wed 15 April 2015 20:00 | Shalat | 7.978 views | Kirim Pertanyaan : tanya@rumahfiqih.com
Pertanyaan :
Assalamu 'alaikum wr. wb.

Saya ingin bertanya tentang masalah membatalkan shalat dengan sengaja. Bolehkah ketika
shalat kita dengan sengaja membatalkannya, karena ada hal-hal tertentu yang dirasa penting
untuk kita hentikan shalat.
Kemari istri saya ketika shalat tiba-tiba mencium bau masakah hangus dan gosong. Ketika
masak di dapur, ada beberapa jenis masakan yang butuh waktu agak lama, sehingga ditinggal
untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang lain. Kebetulan pas lagi shalat, rupanya dia kelupaan
mematikan api kompor sebelumnya. Istri saya bingung saat itu, apakah meneruskan shalatnya
ataukah membatalkan shalat untuk mematikan api kompor.

Jadi ustadz, mohon kiranya kami ini diberikan arahan, bolehkah kita membatalkan shalat hanya
gara-gara bau gosong? Dan hal-hal apa saja yang membolehkan kami membatalkan shalat?
Kapan kita wajib membatalkan shalat?

Atas jawabannya kami ucapkan terima kasih banyak.

Wassalam

Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Prinsipnya bahwa shalat yang kita lakukan tidak boleh dengan tanpa alasan lalu kita batalkan,
apalagi bila shalat itu merupakan shalat fardhu. Namun demikian, tetap saja ada hal-hal dimana
kita diwajibkan untuk membatalkan shalat, karena alasa yang sangat logis, syar'i dan masuk
akal. Sementara ada juga hal-hal yang kita bukan diwajibkan tetapi dibolehkan untuk
membatalkan shalat.

A. Kewajiban Membatalkan Shalat

Kewajiban membatalkan shalat adalah hal-hal penting yang apabila terjadi, maka kita diwajibkan
untuk membatalkan shalat.
Para ulama menuliskan hal-hal tersebut dalam kitab turats mereka antara lain. Salah satunya
yang ditulis oleh Asy-Syaranbilali dalam kitabnya Maraqi Al-Falah :
1. Istighatsah
Makna kata istighatsah adalah panggilan minta tolong yang bersifat darurat. Maksudnya, ketika
kita sedang mengerjakan shalat, lalu terdengar orang berteriak minta tolong, maka kita wajib
membatalkan shalat dan segera bertindak untuk memberikan pertolongan.
Contoh kongkritnya bila ada orang yang tenggelam di dalam air. Meski teriakan minta tolongnya
tidak secara khusus ditujukan kepada orang yang sedang shalat, namun yang bersangkutan
mendengarnya, wajiblah segera menolong dan wajib membatalkan shalat.
2. Takut Atas Kecelakaan Orang Lain
Ketika terjadi ketakutan atas kecelakaan pada orang lain dan dibutuhkan pertolongan segera,
maka orang yang dekat dengannya dan mampu memberikan pertolongan wajib segera
menolongnya, walau pun sedang dalam keadaan shalat.
Misalnya kita khawatir ada orang tercebur di dalam sumur, atau terjatuh karena jalanan yang
licin, atau tertabrak ketika menyeberang jalan tol ataupun pintu perlintasan kereta api, maka bila
kita mampu menyelematkannya, silahkan dilakukan dan tinggalkan shalat.
Shalat juga boleh dibatalkan apabila demi untuk mencegah orang membunuh dirinya sendiri.
Maka dalam keadaan itu hukum membatalkan shalat menjadi wajib, demi menghindari dari
kecelakaan yang batal menimpa orang lain.
3. Kebakaran
Kebakaran biasanya akan merugikan semua pihak. Oleh karena itulah bila terjadi kebakaran,
orang yang sedang shalat dan terancam binasa wajib segera menyelamatkan diri dan
meninggalkan shalatnya. Membiarkan diri hangus terbakar dengan alasan sedang shalat dan
tidak mau menyelamatkan diri, hukumnya termasuk bunuh diri yang dilarang agama.
4. Serangan Hewan Buas
Rasulullah SAW pernah memerintahkan para shahabat untuk membunuh kalajengking dan ular,
walau pun dalam keadaan shalat. Namun apabila hewan buas itu tidak bisa dimatikannya, dan
yang bisa dilakukan hanya dengan menghindarinya, maka hukum menghindarinya menjadi
wajib, walau pun dengan membatalkan shalat.
B. Kebolehan Membatalkan Shalat
Kebolehan membatalkan shalat adalah hal-hal yang apabila terjadi, kita dibolehkan untuk
membatalkan shalat, walaupun tidak sampai tingkat kewajiban.
1. Pencurian
Bila seseorang sedang shalat, lalu teringat hartanya yang belum disimpannya dengan benar,
sehingga dia khawatir hartanya itu dicuri, maka boleh hukumnya membatalkan shalat.
Apalagi bila pencurinya sudah masuk rumah, tentu lebih boleh lagi membatalkan shalat, demi
menghindari pencurian.
2. Gosongnya Masakan
Ketika shalat dan tercium bau gosong dari masakan, maka dibolehkan untuk membatalkan
shalat. Sebab kalau dibiarkan, maka makanan yang gosong itu tidak bisa dimakan.
3. Khawatir Anak
Seorang yang sedang shalat dibolehkan untuk membatalkanya, manakala dia khawatir akan
keselamatan anaknya. Contoh mudahnya ketika shalat kita melihat ada bayi dengan ceroboh
bermain dengan pisau yang tajam sehingga khawatir terkena pisau, atau meloncat-loncat di atas
meja sehingga khawatir jatuh ke lantai, atau bermain korek api sehingga dikhawatirkan akan
terjadi kebakaran.
4. Kekhawatiran Musafir Atas Pencoleng
Musafir yang sedang shalat boleh tiba-tiba membatalkan shalatnya, bila dia merasa khawatir
akan dijarah oleh pencoleng (perampok).
5. Kebelet
Dalam keadaan kebelet, baik untuk buang air kecil, buang air besar, melahirkan, atau pun
terkena penyakit lainnya, maka seorang yang sedang shalat dibolehkan membatalkan shalatnya.
Namun kalau masih bisa dipercepat shalatnya, tentu lebih baik.
6. Panggilan Orang Tua Dalam Shalat Sunnah
Dalam shalat sunnah, dibolehkan membatalkan shalat itu, apabila orang tua memanggil dan
memerlukannya segera. Hal ini karena memenuhi panggilan orang tua dianggap lebih utama dari
pada melakukan shalat sunnah. Maka silahkan batalkan shalat dan lebih mendahulukan
memenuhi panggilan orang tua.
Namun kebolehan ini tidak berlaku di dalam kasus shalat fardhu. Dalam shalat fardhu, panggilan
orang tua dikalahkan dengan panggilan Allah SWT untuk mengerjakan shalat wajib.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA

Anda mungkin juga menyukai