Anda di halaman 1dari 46

Belajar Shalat

Sat 24 December 2005 04:14 | Shalat | 6.255 views | Kirim Pertanyaan :


tanya@rumahfiqih.com

Pertanyaan :

Assalamu'alaikum wr. wb.

Pak Ustadz, dari kecil sampai lulus madrasah


aliyah cara salat saya sama seperti kebiasaan
muslim lainnya (kami tumbuh dari lingkungan NU).
Dewasa ini saya (35 th), baca buku "SIFAT SHOLAT
NABI" karya Muhammad Nashiruddin al-Albani
(ulama zaman siapa?). Sedikit demi sedikit saya
mulai mempelajari isinya, dan ternyata selama ini
salat saya kurang selaras dengan isi buku tersebut
(bila perbandingannya memakai buku tersebut) dan
saya yakin ajaran salat yang selama ini saya
dapatkan juga tidak bisa diklaim suatu kesalahan
(keutamaan).

Mohon penjelasan apakah cara salat saya


mengikuti yang sudah-sudah ataukah mengikuti
'textbook' dari buku tersebut, karena buku tersebut
dasar hujjahnya (hadist) baik sekali (banyak yang
sahih).

Jazakumullah kh. kts.

Wassalamualaikum wr. wb.


Jawaban :
Syeikh Nashiruddin Albani adalah seorang ulama yang banyak menekuni
masalah hadits dan kritik sanadnya. Beliau termasuk ulama zaman sekarang
dan baru saja wafat beberapa tahun yang lalu. Beliau lahir tahun 1914 atau
1333 hijriyah dan wafat tahun 1999 atau tahun 1420 hijriyah.

Secara mazhab fiqih, beliau adalah seorang yang lahir dan dibesarkan dalam
mazhab Hanafi. Ilmu hadits yang beliaubanyak didapat dari membaca majalah
Al-Manar yang berisi tulisan Asy-Syaikh Rasyid Ridha. Juga dari banyak
membaca di perpusatakaan, di mana idarah maktabah memberikan beliau
kunci perpustakaan sehingga beliau bisa masuk kapan saja beliau mau. Di
dalam perpustakaan itulah beliau banyak membaca kitab hadits dan
melakukan berbagai penelitian.

Beliau termasuk produktif dalam menulis, terutama yang terkait dengan


masalah kritik hadits. Banyak menaqid hadits, termasukhadits-hadits yang
sudah terhimpun di dalam kitab-ktab induk hadits.

Ketekunan beliau banyak diakui oleh para ulama lainnya, termasuk syeikh
Abdul Aziz bin Baz, mufti Saudi Arabia di masa lalu. Dalam salah satu
komentarnya beliau mengatakan tentang Syeikh Nashiruddin Al-Albani ini,
"Saya belum pernah melihat di kolong langit ini di zaman ini orang seperti
Albani."

BahkanSyeikh Bin Bazmengomentari tentang hadits Rasulullah SAW yang


menyebutkan bahwa pada tiap 100 tahun Allah akan membangkitkan orang
yang akan memperbaharui agama ini, maka untuk masa sekarang ini, Al-
Albani-lah orangnya. Sedangkan Syeikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin
mengomentari beliau sebagai orang yang sangat menjaga amal sunnah dan
memerangi bid'ah. Baik dalam bidang aqidah maupun dalam bidang amaliyah.

Buku Shifat Shalat Nabi yang anda baca itu adalah salah satu di antara kitab
tulisan beliau yang paling populer bahkan boleh dibilang fenomenal. Sebab
beliau menulis apa adanya sesuai dengan nalar beliau sendiri, tanpa terikat
dengan kitab-kitab fiqih mazhab atau pun pendapat orang lain. Bahkan bahasa
beliau termasuk cukup lugas ketika mengambil sebuah kesimpulan. Tanpa
sungkan-sungkan beliau seringkali memvonis sebuah pendapat yang
dianggapnya bertentangan dengan kesimpulannya sebagai bid'ah dan keluar
dari sunnah.

Bahkan meski harus berhadapan dengan kesimpulan hukum yang sudah


diakui oleh para imam mazhab besar sekalipun. Buat beliau, kalau pendapat
sebuah mazhab dianggap bertentangan dengan kesimpulan dari dirinya, boleh
dijatuhkan vonis bid'ah atau sesat.

Banyak orang yang kagum dengan kelugasan bahasanya, meski tidak sedikit
juga yang menyayangkan cara demikian. Sebab sebagai seorang pengeritik
hadits, -menurut mereka - bukan pada tempatnya beliau langsung
menjatuhkan vonis bid'ah pada hal-hal yang terkait dengan masalah khilafiyah
fiqhiyah. Sebab ketika sudah sampai kepada masalah penyimpulan hukum,
ada banyak hal yang perlu dijadikan acuan dalam mengambil kesimpulan,
tidak boleh asal vonis. Dan pada wilayah itu, kecenderungan terjadinya
perbedaan kesimpulan hukum sangat besar terjadi.

Maka seharusnya bukan bahasa bid'ah yang beliau kembangkan, melainkan


bahasa khilaf fiqihiyah. Sebab bahasa itulah yang umumnya digunakan ketika
bicara tentang kesimpulan hukum oleh para fuqaha syariah. Adapun beliau
sebagai penaqd hadits, tugas beliau lebih kepada bagaimana memberikan
status dan derajat suatu hadits saja.

Memang apa yang beliau tulis itu meninggalkan pro dan kontra di kalangan
para ulama di masa sekarang ini. Meski demikian, jasa beliau tidak bisa
dikatakan sedikit. Ada sekian banyak jilid buku yang bermanfaat dan perlu
untuk dibaca buat umat Islam, terutama dalam masalah ilmu hadits.

Pendapat-pendapat beliau itu banyak benar, namun bukan berarti 100% pasti
kebenarannya. Apa yang beliau katakan sebagai bid'ah mungkin ada benarnya,
tetapi sekali lagi, semua itu adalah ijtihad beliau. Apa yang diajarkan oleh
para ulama dan guru kita pun juga ijtihadiyah sifatnya. Shalat yang pernah
anda pelajari sejak kecil itupun punya landasan syariah yang sebenarnya hasil
dari proses ijtihad yang tidak sembarangan. Para ulama di masa lalu telah
mengeluarkan tenaga dan memeras keringat untuk bisa mendapatkan apa
yang sekarang ini kita nikmati.

Kita menghormati beliau dalam ijtihadnya namun tidak diwajibkan bertaqlid


buta kepada ijtihad seorang manusia. Sebagaimana kita juga menghormati
para ulama lainnya yang barangkali tidak sejalan ketika menyimpulkan hasil
ijtihad mereka.

Semoga amal beliau dijadikan Allah sebagai pemberat timbangannya di


akhirat dan ilmu yang beliau ajarkan dijadikan bukti jasa beliau di hadapat
Allah SWT. Amien ya rabbal 'alamin.

Ahmad Sarwat, Lc.

Adakah Hadis Menjelaskan Sholat Fardu Dan


Rakaatnya?

Sat 30 December 2006 07:14 | Shalat | 4.763 views | Kirim Pertanyaan :


tanya@rumahfiqih.com

Pertanyaan :
asalam mualaikum wr wbr pak ustdaz saya ingin
menanyakan tentang sholat?adakah hadist yang
shohih menyebutkan bahwa sholat lima waktu itu
misal magrib harus 3 rakaat, shubuh 2 rakat dan
sholat fardu lainya, dari mana imam imam mazhab
mendapatkan petunjuk tentang rakaat sholat fardu
tersebut? mohon kiranya pak ustadz dapat
membantu saya karena ini penting buat keyakinan
saya.semoga pak ustad dirahmati allah swt amin
Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Shalat lima waktu telah ditetapkan Allah SWT lewat wahyunya, baik wahyu
yang khusus yaitu Al-Quran, maupun wahyu dalam bentuk lain, yaitu sunnah
Rasulullah SAW.

Istilah yang digunakan oleh para ulama untuk nama waktushalat itu pun
bukan karangan mereka, melainkan berdasarkan wahyu yang turun dari langit
lewat diri nabi Muhammad SAW. Meski bukan termasuk bagian dari Al-Quran
Al-Kariem, namun hadits rasulullah SAW sebenarnya juga wahyu dari Allah
SWT. Sebab apa yang disampaikan oleh belaiu SAW sesugguhnya hanyalah
berasal dari Allah SWT.

Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang
diucapkannya itumenurut kemauan hawa nafsunya.Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. An-Najm: 2-4)

Di antara hadits-hadits beliau SAW yang membicarakan nama waktu shalat


adalah hadits berikut ini:

Dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa Nabi SAW didatangi oleh Jibril as dan
berkata kepadanya,"Bangunlah dan lakukan shalat." Maka beliau melakukan
shalat Zhuhur ketika matahari tergelincir. Kemudian waktu Ashar menjelang
dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW melakukan
shalat Ashar ketika panjang bayangan segala benda sama dengan panjang
benda itu. Kemudian waktu Maghrib menjelang dan Jibril berkata,"Bangun
dan lakukan shalat." Maka beliau SAW melakukan shalat Maghrib ketika
mayahari terbenam. Kemudian waktu Isya` menjelang dan Jibril
berkata,"Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW melakukan shalat
Isya` ketika syafaq (mega merah) menghilang. Kemudian waktu Shubuh
menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW
melakukan shalat Shubuh ketika waktu fajar merekah/ menjelang. (HR Ahmad,
Nasai dan Tirmizy)

Di dalam Kitab Nailul Authar Al-Bukhari mengatakan bahwa hadits ini adalah
hadits yang paling shahih tentang waktu-waktu shalat. Selain itu ada hadits
lainnya yang juga menjelaskan tentang waktu-waktu shalat. Salah satunya
adalah hadits berikut ini:

Dari `Uqbah bin Amir ra bahwa Nabi SAW bersabda,"Ummatku selalu berada
dalam kebaikan atau dalam fithrah selama tidak terlambat melakukan shalat
Maghrib, yaitu sampai muncul bintang."(HR Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim
dalam Al-Mustadrak)

Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasululah SAW bersabda,"Dan waktu shalat
shubuh dari terbitnya fajar (shadiq) sampai sebelum terbitnya matahari." (HR
Muslim)

Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang


mendapatkan satu rakaat dari shalat shubuh sebelum tebit matahari, maka
dia termasuk orang yang mendapatkan shalat shubuh. Dan orang yang
mendapatkan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia
termasuk mendapatkan shalat Ashar." (HR Muslim dan enam imam hadits
lainnya).

Dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,..."Itu adalah


shalatnya orang munafik yang duduk menghadap matahari hingga saat
matahari berada di antara dua tanduk syetan, dia berdiri dan membungkuk 4
kali, tidak menyebut nama Allah kecuali sedikit." (HR Jamaah kecuali Bukhari
dan Ibnu Majah).

Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Dan waktu shalat
Ashar sebelum matahari menguning".(HR Muslim)

Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW membaca ayat, "Peliharalah shalat-


shalatmu dan shalat Wustha." Dan shalat Wustha adalah shalat Ashar. (HR Abu
Daud dan Tirmizy dan dishahihkannya)

Dari Ibnu Mas`ud dan Samurah ra berkata bahwa Rasulullah SAW


bersabda,"Shalat Wustha adalah shalat Ashar." (HR Tirmizy)

Dari Abdullah bin Amar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Waktu Maghrib


sampai hilangnya shafaq (mega)." (HR Muslim).

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Dan akhir waktu


Maghrib adalah hingga langit menjadi hitam." (HR Tirmizy)

Jumlah Rakaat Shalat Lima Waktu 4 Rakaat Kecuali Maghrib dan Shubuh
Dari Aisyah ra berkata,"Shalat itu diwajibkan dua rakaat, kemudian nabi SAW
berhijrah, maka diwajibkan menjadi empat rakaat. (HR Bukhari)

Dari Ibni Abbas ra,"Diwajibkan shalat 4 rakaat saat hadhar (tidak bepergian)
dan dua rakaat saat bepergian." (HR Muslim)

Tuduhan Miring Kepada Para Ulama

Tuduhan bahwa para ulama mengarang nama-nama itu adalah tuduhan yang
amat menyakitkan. Seolah kerja para ulama hanya mencoreng agama. Padahal
tugas mereka amat berat, sementar atas semua jasa mereka, tidak satu pun
yang membayarnya.

Para ulama sangat berbeda dengan para pendeta yahudi dan nasrani, yang
kerjanya memutar balik ayat Allah SWT, menjualnya dengan harga yang
sedikit, bahkan memalsukan dengan hasil rekayasa mereka sendiri.

Para ulama Islam adalah orang-orang yang sejak awal sudah takut neraka dan
siksaan pedihnya. Mereka adalah tipe orang yang paling takut kepada Allah
SWT, dibandingkan semua manusia. Sebagaimana informasi langsung dari
Allah SWT:

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah


ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Faathir:
28)

Sebenarnya kecurigaan yang dituduhkan kepada para ulama adalah bagian


dari propaganda kalangan orientalis dalam rangka menghacurkan umat Islam.
Dengan beragam tuduhan keji, para orientalis ini rajin mengembangkan issue
murahan yang intinya memarjinalkan peran para ulama. Sebagian dari ulama
ada yang dituduhkan sebagai tukang bohong dan mengarang-ngarang agama.

Tetapi ujung-ujungnya amat jelas, mereka ingin agar para ulama itu dijauhi
umatnya. Sehingga dengan mudah umat Islam ini bisa diperdaya, ditipu,
dibohongi dan diselewengkan. Kalau umat Islam sudah membenci para
ulamanya sendiri, maka sebentar kemudian mereka sudah bisa ditelan bulat-
bulan oleh para oreintalis kafir nan durjana.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Makna Shalat dan Perintahnya Dalam Quran

Wed 18 July 2007 00:25 | Shalat | 4.963 views | Kirim Pertanyaan :


tanya@rumahfiqih.com

Pertanyaan :
Assalamu 'alaikum wr, wb.

1. Apa sih makna kata sholat dalam bahasa arab?


Dan bagaimana definisi para ulama tentang shalat?

2. Kapan ibadah shalat diperintahkan pertama


kali?

3. Sebanyak apa perintah shalat di dalam Al-Quran?


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Secara bahasa, shalat itu bermakna doa. Shalat dengan makna doa
dicontohkan di dalam Al-Quran Al-Karim pada ayat beikut ini.

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan shalatlah (mendo'alah) untuk
mereka. Sesungguhnya shalat (do'a) kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS. At-Taubah: 103)

Dalam ayat ini, shalat yang dimaksud sama sekali bukan dalam makna syariat,
melainkan dalam makna bahasanya secara asli yaitu berdoa.

Secara syariat, istilah shalat bermakna: Serangkaian ucapan dan gerakan


yang tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam sebagai
sebuah ibadah ritual.

Pertama Kali Perintah Shalat

Sebelum shalat lima waktu yang wajib disyariatkan, sesungguhnya Rasulullah


SAW dan para shahabat sudah melakukan ibadah shalat. Hanya saja ibadah
shalat itu belum seperti shalat 5 waktu yang disyariatkan sekarang ini.

Barulah pada malam mi`raj disyariatkan shalat 5 kali dalam sehari semalam
yang asalnya 50 kali. Persitiwa isra` ini dicatat dalam sejarah terajdi pada 27
Rajab tahun ke-5 sebelum peristiwa hijrah nabi ke Madinah.Sebagaimana
tertulis dalam hadits nabawi berikut ini:

Dari Anas bin Malik ra. "Telah difardhukan kepada Nabi SAW shalat pada
malam beliau diisra`kan 50 shalat. Kemudian dikurangi hingga tinggal 5 shalat
saja. Lalu diserukan, "Wahai Muhammad, perkataan itu tidak akan
tergantikan. Dan dengan lima shalat ini sama bagi mu dengan 50 kali
shalat."(HR Ahmad, An-Nasai dan dishahihkan oleh At-Tirmizy)
Sebagian dari mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa shalat disyariatkan
pada malam isra` namun tahunnya bukan 5 tahun sebelum hijrah, melainkan
pada tanggal 17 Ramadhan 1, 5 tahun sebelum hijrah nabi.

Perintah Shalat Dalam Al-Quran

Ada banyak sekali perintah untuk menegakkan shalat di dalam Al-Quran.


Paling tidak tercatat ada 12 perintah dalam Al-Quran lafaz "Aqiimush-shalata"
yang bermakna "Dirikanlah Shalat" dengan fi`il Amr (kata perintah) dengan
perintah kepada orang banyak (khithabul Jam`i). Yaitu pada surat:

 Al-Baqarah ayat 43, 83 dan110

 Surat An-Nisa ayat 177 dan 103

 Surat Al-An`am ayat 72

 Surat Yunus ayat 87

 Surat Al-Hajj: 78

 Surat An-Nuur ayat 56

 Surat Luqman ayat 31

 Surat Al-Mujadalah ayat 13

 Surat Al-Muzzammil ayat 20.

Ada 5 perintah shalat dengan lafaz "Aqimish-shalata" yang bermakna


"dirikanlah shalat" dengan khithab hanya kepada satu orang. Yaitu pada:

 Surat Huud ayat 114

 Surat Al-Isra` ayat 78

 Surat Thaha ayat 14

 Surat Al-Ankabut ayat 45

 Surat Luqman ayat 17.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kafirkah Orang Yang Meninggalkan Shalat?


Sun 10 February 2013 11:15 | Shalat | 9.378 views | Kirim Pertanyaan :
tanya@rumahfiqih.com

Pertanyaan :

Assalamu alaikum wr wb

Apa benar orang yang tidak shalat itu kafir? Atau


ada syarat tertentu baru bisa dibilang kafir?
Bagaimana dengan hadits "batas antara seorang
dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat"?

Terima kasih atas jawabannya

Wasalamu'alaikum wr, wb.


Jawaban :

Assalamu 'alaikum waamatullahi wabarakatuh,

Para ulama sepakat bahwa seorang muslim yang sudah akil baligh bila
meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya adalah kafir dan
murtad (keluar) dari agama Islam, sehingga halal darahnya. Pihak pemerintah
Islam melalui mahkamah syar`iyah berhak memvonis mati orang yang murtad
karena mengingkari kewajiban shalat.

Namun bila seseorang tidak shalat karena malas atau lalai, sementara dalam
keyakinannya masih ada pendirian bahwa shalat itu adalah ibadah yang wajib
dilakukan, maka dia adalah fasik dan pelaku maksiat. Demikian juga vonis
kafir tidak bisa dijatuhkan kepada orang meninggalkan shalat karena
seseorang baru saja masuk Islam atau karena tidak sampai kepada mereka
dakwah Islam yang mengajarkan kewajiban shalat.

Secara duniawi, hukuman seorang muslim yang tidak mau mengerjakan shalat
menurut para ulama antara lain:

1. Al-Hanafiyah

Menurut kalangan Al-Hanafiyah, orang muslim yang tidak mau mengerjakan


shalat huumannya di dunia ini adalah dipenjara atau dipukul dengan keras
hingga keluar darahnya. Hingga dia merasa kapok dan mau mengerjakan
shalat. Bila tidak mau juga, maka dibiarkan terus di dalam penjara hingga
mati. Namun dia tidak boleh dibunuh kecuali nyata-nyata mengingkari
kewajiban shalat. Seperti berkeyakian secara sadar sepenuhnya bahwa di
dalam Islam tidak ada perintah shalat.

2. Ulama lainnya

Sedangkan para ulama lainnya mengatakan bahwa bila ada seorang muslim
yang malas tidak mau mengerjakan shalat tanpa uzur syar`i, maka dia
dituntun untuk bertobat (yustatab) dengan masa waktu tiga hari. Artinya bila
selama tiga hari itu dia tidak bertaubat dan kembali menjalankan shalat,
maka hala darahnya dan boleh dibunuh.

3. Al-Malikiyah dan Asy-Syafi`iyah

Mereka mengatakan kebolehan untuk dibunuhnya itu karena dasar huduh


(hukum dari Allah), bukan karena pelakunya kafir. Sehingga orang itu tidak
dianggap sebagai kafir yang keluar dari Islam. Kondisinya sama dengan
seorang muslim yang berzina, mencuri, membunuh dan sejenisnya. Mereka ini
wajib dihukum hudud meski statusnya tetap muslim. Sehingga jasadnya pun
tetap harus dishalatkan dan dikuburkan di pekuburan Islam.

Jumhur ulama sepakat bahwa muslim yang tidak mengerjakan shalat bukan
karena jahd (sengaja tidak mengakui kewajiban shalat), tidak dianggap orang
kafir. Dasarnya adalah firman Allah SWT:

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat
dosa yang besar.(QS. An-Nisa: 48)

Sedangkan imam Ahmad mengatakan bahwa seorang muslim yang


meninggalkan shalat harus dibunuh atas dasar bahwa dirinya telah kafir.
Pendapat itu didasrkan pada firman Allah SWT:

Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang


musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka.
Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat
dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan
kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
maha Penyayang. (QS. At-Taubah: 5)

Juga ada dalil dari hadits Rasulullah SAW:

Batas antara seorang dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat (HR


Jamaah kecuali Bukhari)

Namun pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam masalah ini adalah pendapat
jumhur ulama yang mengatakan bahwa bila seorang tidak shalat hanya karena
alasan malas, lalai atau baru masuk Islam, maka tidak dianggap kafir. Barulah
dikatakan kafir kalau dia secara tegas menolak/ tidak menerima adanya
kewajiban shalat dalam Islam.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum waamatullahi wabarakatuh,

Wajibkah Kita Tahu Hadits Wajib dan Sunah


Dalam Shalat?

Sat 12 January 2008 10:50 | Shalat | 5.047 views | Kirim Pertanyaan :


tanya@rumahfiqih.com

Pertanyaan :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Maaf ustadz, jika kita shalat, tapitidak tau hadistyg


merujuk semua gerakan dan bacaan shalat,
apakah akan diterima? Misalkan kita tidak tau:
kenapa takbiratul ikhram harus mengangkat
tangan ke atas; salam kekanan wajib, kekiri
sunah;dll. trus kalau mau tau harus cari dari buku
apa?

Makasih ustadz. Maaf jika ada salah kata!

Wassalam.
Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Seseorang tetap dianggap sah ketika melakukan shalat, selama dia


mengerjakan semua yang termasuk rukun shalat. Meski dia tidak tahu apakah
gerakan shalat yang dilakukannya atau bacaan shalat yang diucapkannya
termasuk rukun atau bukan.

Apalagi kalau tidak tidak tahu dasar haditsnya, tentu saja tidak mengapa.
Insya Allah SWT shalatnya sah, yang penting dia telah belajar tata cara shalat
dari ulama yang ahli. Dia tidak diwajibkan untuk tahu apakah dasarnya yang
berupa hadits itu shahih atau tidak shahih. Tidak ada yang mewajibkan kita
sebagai orang awam untuk menguasai ilmu hadits, yang wajib menguasainya
adalah orang yang berijtihad.

Tata Cara Shalat Tidak Tersedia di Hadits Secara Langsung

Satu hal yang perlu kita ketahui bersama dan harus kita maklumi adalah
bahwa ilmu tentang shalat, baik rukun, wajib, syarat dan yang membatalkan
tidak akan kita temukan di dalam hadits secara langsung atau secara begitu
saja. Bahkan hadits nabi sama sekali tidak bicara apakah suatu gerakan
shalat itu termasuk rukun atau bukan.

Sebab pada hakikatnya, hadits nabi barulah merupakan sumber atau bahan
baku dari tata cara shalat dan hukum-hukum ibadah. Tetapi hukum itu sendiri
baru bisa kita simpulkan manakala telah dilakukan proses istimbath. Tempat
untuk mengetahui hukum adalah ilmu fiqih, bukan ilmu hadits.

Sebagai orang awam, kita pasti akan kebingungan kalau mencari tata cara
shalat di dalam hadits nabawi. Sebab hadits-hadits itu baru merupakan bahan
mentah, atau umpama potongan-potongan keterangan yang masih tidak
beraturan, bahkan boleh dibilang seperti serpihan-serpihan yang berceceran
di sana sini.

Semua masih harus dikumpulkan jadi satu, lalu dilakukan pemeriksaan


kekuatan periwayatannya, kemudian dirangkai sesuai dengan keperluannya,
baru hasil akhirnya menjadi sebuah tata cara ibadah shalat. Nah, semua itu
bisa kita nikmati saat kita belajar ilmu fiqih.

Ilmu fiqih dikerjakan oleh para ahli fiqih, di mana mereka menguasai
metodologi istimbat hukum secara profesional. Meski pun kita juga tahu
bahwa hasil tiap ijtihad tidak selalu sama. Akan tetapi manakala sebuah
ijtihad dilakukan oleh ahlinya, meski hasilnya tidak selalu sama, namun sudah
berhak untuk diikuti.

Kita adalah orang-orang yang berada pada level pengikut, atau disebut
juga muttabi'. Bahkan sering juga disebut muqallid, atau orang yang bertaqlid.
Hukum wajib bagi kita apabila kita memang bukan seorang ahli fiqih. Dan
haram bila melakukan ijtihad sendiri secara independen bila memang bukan
ahli di bidang itu.

Suka atau tidak suka, semua orang yang ada hari ini
adalah muttabi' atau muqallid, bahkan para ustadz yang 'jenggotan' sekalipun,
tidak lebih dari seorang muttabi' atau muqallid. Hari ini tidak ada orang yang
punya level mujtahiddalam arti yang sesungguhnya.Apalagi mujtahid mutlak.
Bahkan di kalangan ustadz-ustadz yang orang arab sekalipun, setiap kali
bicara hukum, pasti tidak jauh-jauh dari pendapat Ibnu Taimiyah atau Ibnul
Qayyim dan ulama lainnya.

Saudara-saudara kita yang ada di Persis atau Muhammadiyah, ketika bicara


tentang hukum shalat, biasanya juga tidak akan jauh-jauh dari pendapat A.
Hasan atau ulama lainnya. Sedangkan saudara kita di NU biasanya tidak akan
jauh-jauh dari pendapat Al-Imam Asy-Syafi'i, Al-Muzani, Ar-Rafi'i, Imam An-
Nawawi bahkan Syeikh Nawawi Al-Bantani.

Jadi sebenarnya kita semua ini hanya pengikut dari para ahli fiqih, kita tidak
pernah langsung mengambil kesimpulan dari hadits nabawi. Sebab kita
memang tidak punya kapasitas untuk itu. Walau selalu bilang bahwa kita
hanya merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah, tapi dalam tataran
implementasinya, ketika menyimpulkan kedua sumber hukum itu, kita ujung-
ujungnya tetap bertaqlid. Suka atau tidak suka, mengaku atau tidak mengaku.

Begitu juga para aktifis dakwah yang masih muda-muda, setidaknya mereka
juga selalu taklid kepada ustadznya atau murabbinya. Sebab memang ke
sanalah mereka biasanya merujuk.

Maka menjadi muttabi' atau muqallid itu bukan pekerjaan hina, bahkan malah
bisa menjadi wajib. Hanya tinggal masalahnya, kepada siapakah layaknya kita
mengikuti fatwa dan ijtihad?

Tentunya kepada orang ahli di bidang ijtihad itu. Sebagaimana perintah Allah
SWT:

Maka tanyakanlah kepada ahlu dzikri (orang yang berilmu) apabila kamu tidak
mengetahui. (QS. An-Nahl: 43)

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Tidak Ada Air Untuk Wudhu Tidak Ada Tanah


Untuk Tayammum

Fri 22 July 2016 06:20 | Shalat | 9.084 views | Kirim Pertanyaan :


tanya@rumahfiqih.com

Pertanyaan :
Assalamu 'alaikum wr. wb.
Ustadz Ahmad Sarwat, Lc., Ma yang dirahmati Allah
SWT. Perkenakan saya menyampaikan masalah
terkait kondisi darusat.

Begini ustadz, saya pernah mengalami keadaan


dimana waktu shalat hampir habis, tetapi saya
tetap tidak menemukan air untuk berwudhu'
sekaligus juga tidak ada tanah untuk
bertayammum.

Kalau keadaannya seperti ini, apakah kita tetap


shalat atau tidak? Kalau tetap harus shalat, lantas
bagaimana caranya? Mohon penjelasan dari ustadz.
Soalnya sampai sekarang saya ragu-ragu.

Terima kasih

Wassalam

Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Apa yang antum tanyakan itu dalam bab-bab fiqih klasik masa lalu sudah
tuntas dibahas. Istilahnya adalah faqidu ath-thahurain, yaitu orang yang
kehilangan dua media bersuci. Maksudnya adalah seseorang berada pada
keadaan tidak ada air untuk berwudhu, sekaligus tidak ada tanah untuk
bertayammum.

Jawabnnya memang harus kita akui bahwa para ulama berbeda pendapat,
apakah tetap harus shalat atau tidak? Kalau tetap harus shalat lalu
bagaimana cara shalatnya.
Kalau kita merujuk kepada kitab-kitab fiqih klasik dari sumber-sumber aslinya
di keempat mazhab utama fiqih Islam yaitu Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-
Syafi'iyah dan Al-Hanabilah, ternyata semuanya punya jawaban yang saling
berbeda-beda.

Berikut adalah ringkasan petikan dari berbedaan pendapat di antara keempat


mazhab itu :

1. Mazhab Al-Hanafiyah

Mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa orang yang tidak mendapatkan air


atau tanah untuk bersuci, maka dia tetap diwajibkan melakukan gerakan
seperti orang yang sedang shalat, dengan ruku' dan sujud tapi tidak membaca
surat Al-Fatihah atau ayat Al-Quran. [1]

Nanti bila telah menemukan air atau tanah dan dimungkin shalat, wajib untuk
mengulangi shalatnya.

2. Mazhab Al-Malikiyah

Sedangkan dalam pandangan mazhab Al-Malikiyah, orang tersebut tidak perlu


melakukan shalat, tidak perlu mengulangi bila sudah memungkinkan dan juga
tidak perlu mengqadha'. Sebab dalam pandangan mazhab ini, kewajiban shalat
gugur dengan sendirinya pada saat tidak ada air dan tanah.[2]

3. Mazhab Asy-Syafi'iyah

Dalam pandangan mazhab Asy-Syafi'iyah, orang tersebut tetap wajib


melaksanakan shalat seperti biasa, dengan berniat shalat sesungguhnya,
bukan sekedar melakukan gerakan seperti orang shalat sebagaimana mazhab
Al-Hanafiyah. Dia tetap harus membaca Al-Fatihah dan bacaan shalat lainnya,
meski tanpa wudhu atau tayammum, dengan niat menghormati waktu.

Dan bila telah menemukan air atau tanah, maka dia wajib mengulangi
shalatnya itu. [3]

4. Mazhab Al-Hanabilah

Mazhab Al-Hanabilah mengatakan bahwa orang itu harus tetap shalat apa
adanya meski tanpa berwudhu' atau bertayammum. Dan tidak perlu
mengulangi atau mengqada' shalatnya.[4]

Kurang lebih kalau kita masukkan dalam tabel grafik menjadi sebagai
berikut :

MAZHAB SHALAT CARA ULANGI

Al-Hanafiyah ya gerakan saja ya

Al-Malikiyah tidak tidak tidak


As-Syafi'iyah ya sempurna ya

Al-Hanabilah ya ya tidak

Sebenarnya tidak ada keharusan bagi kita untuk memilih satu pendapat
tertentu dari keempat mazhab di atas. Namun kalau antum bingung harus
pakai pendapat yang mana, saran saya gunakan saja pendapat yang lebih hati-
hati dan lebih aman, yaitu shalat dengan lengkap dan juga diqadha'. Dan itu
adalah pendapat mazhab Asy-Syafi'iyah.

Namun kalau antum mau memilih pendapat mazhab yang lain, tentu silahkan
saja. Yang penting bila orang lain memilih yang bukan pilihan antum, jangan
dimusuhi apalagi dicaci. Sebab keempat pendapat itu adalah hasil dari ijtihad
para ulama yang punya kapasitas jauh di atas rata-rata kemampuan kita.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

[1] Ad-Dur AlMukhtar jilid 1 hal. 232, Maraqi Al-Falah hal. 21.

[2] Asy-Syarh Al-Kabir jilid 1 hal. 162

[3] Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab jilid 1 hal. 35

[4] Mughni Al-Muhtaj jilid 1 hal. 105

Kapankah Orang Yang Meninggalkan Shalat


Itu Menjadi Kafir?

Sat 28 March 2015 14:53 | Shalat | 21.871 views | Kirim Pertanyaan :


tanya@rumahfiqih.com

Pertanyaan :
Assalamu 'alaikum wr. wb.

Saya pernah mendengar ada hadits yang menyebutkan bahwa batas antara
muslim dan kafir itu apabila tidak mengerjakan shalat. Maksudnya bagaimana
ya ustadz?

Apakah kalau seorang pernah sekali meninggalkan shalat lantas langsung jadi
orang kafir? Ataukah bila tidak shalat terus-terusan? Bagaimana pendapat
jumhur ulama dalam masalah ini?
Mohon penjelasan dari ustadz dan sebelumnya saya ucapkan terima kasih.

Wassalam

Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memang benar sekali bahwa ada terdapat beberapa hadits seperti yang Anda
tanyakan, yaitu batas antara muslim dengan kafir adalah masalah
meninggalkan shalat. Di antara hadits-hadits itu sebagai berikut :

‫الععههدد اللذذيِ عبهيعنعناَ عوعبهيعندههم ال ل‬


َ‫صلعةد عفعمهن عترَعكعهاَ عفعقهد عكعفعر‬

Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat. Siapa yang


meninggalkan shalat maka telah kafir. (HR. Tirmizy)

‫صلعذة‬ ‫عبهيعن اللرَدجذل عوعبهيعن الدكهفذرَ عتهرَ د‬


‫ك ال ل‬
Antara seseorang dan kekafiran adalah shalat (HR. Muslim)

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain yang senada serta kuat isnadnya.
Namun meski demikian, ternyata yang disepakati oleh para ulama bahwa
kafirnya ketika mengingkari kewajiban shalat. Kalau masih meyakini
kewajibannya meski meninggalkan shalat dengan sengaja, umumnya para
ulama tetap tidak mengkafirkan. Hanya beberapa kalangan saja yang
berpendapat kafir.

1. Jumhur Ulama : Mengingkari Kewajiban

Jumhur ulama umumnya sepakat mengatakan berpendapat bahwa batas


kafirnya adalah ketika seseorang meninggalkan shalat sambil mengingkari
kewajiban shalat lima waktu, dan bukan sekedar meninggalkan shalat karena
lalai (َ‫ )تهاَونا‬atau malas (‫)تكاَسل‬. Dalam bahasa fiqih disebut dengan jahidu ash-
shalah (‫)جاَحد الصلة‬.

Itupun tidak otomatis kafir, tetapi harus dilihat terlebih dahulu, apakah orang
itu baru saja masuk Islam, atau dia tumbuh di lingkungan yang sama sekali
jahil dari agama, sehingga muncul di dalam pemahamannya bahwa shalat itu
bukan sebuah kewajiban.

Untuk bisa sampai kepada status kafir, menurut jumhur ulama ada beberapa
ketentuannya, yaitu :

a. Mukallaf

Yang dimaksud dengan mukallaf adalah seseorang secara resmi memeluk


agama Islam alias muslim, berakal, sudah baligh dan dalam keadaan dari
udzur syar'i seperti haidh & nifas.
b. Ingkar Kewajiban Shalat Lima Waktu

Yang menjadi titik kekafirannya adalah ketika dia mengingkari kewajiban


shalat lima waktu di dalam agama Islam. Sebab shalat merupakan pokok
agama, bila diingkari maka gugurlah keislaman seseorang.

Dalam hal ini bukan hanya shalat, tetapi ingkar kepada salah satu rukun Islam
yang lainnya pun ikut menggugurkan keislaman.

c. Bukan Orang Yang Baru Masuk Islam

Namun para ulama sepakat bahwa bila yang ingkar atas kewajiban shalat itu
ternyata orang yang baru saja masuk Islam, maka hal itu dimaklumi. Boleh
jadi dia memang belum tahu ajaran Islam secara mendalam, sehingga
keingkarannya bukan karena semata-mata menentang melainkan karena
ketidak-tahuan.

Orang seperti ini oleh para ulama tidak dikatakan sebagai kafir kalau
meninggalkan shalat walaupun dalam hatinya mengatakan bahwa shalat tidak
wajib.

d. Tumbuh di Tengah Masyarakat Islam

Bisa saja dalama kasus-kasus tertentu seseorang sudah menjadi muslim


sejak lahir, namun dia tumbuh di tengah lingkungan keluarga atau masyarakat
yang jahil dan tidak mengerti agama sama sekali.

Ketika dirinya tidak melakukan shalat, lingkungannya sama sekali tidak


peduli. Bahkan boleh jadi sampai menganggap bahwa shalat itu bukan
kewajiban. Kondisi ini pun dimaklumi oleh para ulama sebagai udzur yang
tidak menjadikannya sebagai orang kafir.

Bahkan yang menarik untuk digaris-bawahi, meski ada banyak disebut-sebut


bahwa mazhab Al-Hanabilah termasuk yang mengkafirkan orang yang tidak
shalat, meski masih meyakini kewajibannya, ternyata tidak sepenuhnya benar.
Sebut saja misalnya Ibnu Qudamah yang mengatakan tidak kafir.

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (w. 620 H) mewakili mazhab Al-Hanbilah menuliskan


di dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut :

‫أن تاَرَك الصلة ل يخلو؛ إماَ أن يكون جاَحدا لوجوبهاَ أو غيرَ جاَحد فإن كاَن جاَحدا لوجوبهاَ نظرَ فيه‬
‫فإن كاَن جاَهل به وهو ممن يجهل ذلك كاَلحديث السلم والناَشئ بباَدية عرَف وجوبهاَ وعلم ذلك ولم‬
َ‫يحكم بكفرَه؛ لنه معذور‬.
Orang yang tidak shalat punya dua kemungkinan, yaitu dia mengingkari
kewajibannya atau masih meyakini kewajibannya. Kalau dia mengingkari
kewajibannya, diselidiki dulu, kalau dia jahil misalnya karena baru masuk
Islam, atau dibesarkan di lingkungan terasing, maka diberitahu kewajibannya
dan diajarkan tentang shalat, dan tidak dikafirkan karena dia termasuk orang
yang punya udzur.

‫وإن لم يكن ممن يجهل ذلك كاَلناَشئ من المسلمين في المصاَرَ والقرَى لم يعذرَ ولم يقبل منه ادعاَء‬
‫الجهل وحكم بكفرَه؛ لن أدلة الوجوب ظاَهرَة في الكتاَب والسنة‬
Namun bila dia bukan orang yang jahil atas kewajiban shalat, misalnya
dibesarkan di tengah orang Islam di kota atau desa, maka dia tidak punya
alasan dan tidak diterima pengakuan bahwa dirinya tidak tahu kewajiban
shalat, maka orang itu dihukumi kafir. Karena dalil-dalil kewajiban sudah
nampak nyata di dalam Kitab dan Sunnah. [1]

Kalau kita perhatikan apa yang disampaikan Ibnu Qudamah di atas, bahkan
yang mengingkari kewajiban shalat pun belum tentu kafir juga. Harus dilihat
dulu, apakah dia baru masuk Islam atau tumbuh di lingkungan yang sama
sekali tidak ada informasi tentang perintah agama. Kalau memang seperti
kasusnya, masih dianggap belum kafir.

Apalagi mereka yang masih mengakui kewajiban shalat, tentu saja tidak kafir
hanya gara-gara meninggalkan shalat dengan sengaja. Nampaknya Ibnu
Qudamah sendiri sependapat dengan umumnya jumhur ulama yang dalam
maslah ini.

2. Syeikh Al-Utsaimin : Kafir Karena Tidak Pernah Shalat

Agak berbeda dengan pendapat jumhur ulama di atas, Al-Utsaimin


berpendapat bahwa meski seseorang tidak ingkar atas kewajiban shalat dan
masih meyakininya sebagai kewajiban shalat, namun apabila dia selalu
meninggalkan shalat sepanjang hidupnya, maka dia sudah bisa dianggap kafir.

Al-Utsaimin (w. 1421 H) menuliskan dalam kitab kumpulan fatwanya, Fatwa


Arkan Al-Islam sebagai berikut :

‫ ول يجوز أن يسكن معهم‬،‫إذا كاَن هؤلء الهل ليصلون أبداا فإنهم كفاَرَمرَتدون خاَرَجون عن السلم‬
‫ بدليل‬-‫ العياَذ باَل‬- َ‫ لن تاَرَك الصلة كاَفر‬،‫ولكن يجب عليه أن يدعوهم ويلح ويكرَرَ لعل ا أن يهديهم‬
‫ والنظرَ الصحيح‬،‫ وأقوال الصحاَبة‬،‫ والسنة‬،‫الكتاَب‬
Apabila keluarga itu tidak shalat selamanyamaka merkea kafir murtad keluar
dari Islam. Tidak boleh tinggal bersama mereka tetapi wajib atasnya untuk
mengajak shalat, bahkan memaksa dan memintanya berulang-ulang agar
Allah SWT memberi hidayah. Karena orang yang meninggalkan shalat itu kafir
- wal'iyadzu billah - dengan dalil Kitab dan Sunnah, serta pendapat para
shahabat dan logika yang benar.[2]

Dari yang kita baca, nampaknya Syeikh Utsaimin sendiri juga tidak langsung
mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat, kalau cuma sekali atau
beberapa kali. Yang beliau katakan kafir kalau sepanjang hidupnya orang itu
tidak pernah shalat.

3. Syeikh Bin Baz : Kafir Karena Sekali Tidak Shalat

Sedangkan yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat


langsung kafir adalah Syeikh Bin Baz. Menurut belliau walaupun hanya sekali
meninggalkannya, tetapi kalau dilakukan dengan sengaja tanpa udzur syar'i,
hingga waktunya habis, maka otomatis dia menjadi kafir.

Syeikh Bin Baz (w. 1420 H) yang pernah menjadi mufti Kerajaan Saudi Arabia
di dalam kitabnya Nur 'ala Ad-Darbimenuliskan sebagai berikut :

‫ وهذا هو الحق وهو المعرَوف عن الصحاَبة‬،َ‫وهذا يدل على أن تاَرَك الصلة يسمى كاَفرَا ويسمى مشرَكا‬
‫ ويسمى‬،َ‫ وهذا يدل على أن ترَك الصلة عند الصحاَبة رَضي ا عنهم يعتبرَ كفرَا أكبر‬،‫رَضي ا عنهم‬
َ‫ أماَ من جحد وجوبهاَ فإنه كاَفر‬.َ‫ وهذا هو أصح قولي العلماَء إذا لم يجحد وجوبها‬،َ‫تاَرَكهاَ كاَفرَا مشرَكا‬
‫عند الجميع‬
Dalil ini menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu disebut kafir
dan disebut musyrik. Itulah yang benar dan yang makruf di kalangan shahabat
radhiyallahunahum. Dan ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat itu di
kalangan shahabat dianggap kafir akbar. Pelakunya adalah kafir dan musyrik.
Dan pendapat ini yang lebih shahih di antar dua pendapat ulama yang
mensyaratkan iingkar atas kewajibannya. Sedangkan ingkar atas kewajibanya
memang kafir menurut semua pihak.[3]

Pendapat beliau ini kalau dibandingkan dengan pendapat jumhur ulama


memang agak berbeda jauh. Jumhur ulama berada pada posisi bahwa
seseorang tidak lantas menjadi kafir kecuali ingkar atas kewajiban shalat.
Sedangkan Syeikh BIn Baz memang tegas memvonis kafir. Disitulah letak
perbedaannya.

Demikian kajian singkat tentang hukum meninggalkan shalat dengan sengaja


tanpa udzur dengan ancaman kafir. Semoga bermanfaat.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

[1] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 2 hal. 329

[2] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Fatawa Arkan Al-Islam, hal. 277

[3] Syeikh Bin Baz, Nur 'ala Ad-Darbi, hal. 232

Waktu Yang Utama Untuk Shalat Isya


Wed 28 December 2005 03:44 | Shalat | 8.474 views | Kirim Pertanyaan :
tanya@rumahfiqih.com

Pertanyaan :
Assalamu'alaykum Wr. Wb.

Ustadz yang dirahmati Allah SWT, ada beberapa hadits shahih yang
menyatakan bahwa Rasulullah SAW lebih mengutamakan pelaksanaan Shalat
Isya di akhir waktu (1/3 malam terakhir) bahkan beliau ingin sekali
menyarankan ummatnya untuk melaksanakannya, jika beliau tidak khawatir
disalah-artikan menjadi perintah (dianggap wajib). Dalam beberapa hadits
beliau juga kita mengetahui beberapa keutamaan shalat berjama'ah, yakni 27
derajat lebih tinggi dibanding shalat sendiri, mewajibkan orang buta untuk
tetap shalat berjama'ah di masjid meskipun tidak punya penuntun, bahkan
beliau berniat membakar rumah orang-orang yang malas shalat berjama'ah di
masjid. Dalam Shirah Nabawiyah diberitakan pula beliau hampir tidak pernah
meninggalkan shalat berjama'ah sampai akhir hayat beliau.

Nah, yang ingin saya tanyakan, apa kaitan keutamaan sholat Isya di akhir
waktu dengan sholat berjama'ah di masjid itu? Apa maksudnya di zaman
Rasulullah SAW. shalat jamaahnya (di masjid) itu memang dilakukan di akhir
waktu? Padahal shalat berjama'ah zaman sekarang umumnya dilaksanakan di
awal waktu. Apakah maksudnya jika kita sholat sendirian di rumah karena
punya uzur syar'i boleh/disunahkan untuk diakhirkan? Jazakallah atas
penjelasan Ustadz.

Wassalamu'alaykum Wr. Wb.

Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh,
Alhamdulillah wash-shalatu wassalamu 'ala rsulillah, wa ba'du

Waktu Isya' secara fiqih dimulai sejak berakhirnya waktu Maghrib sepanjang
malam hingga dini hari tatkala fajar shadiq terbit. Dasarnya adalah ketetapan
dari nash yang menyebutkan bahwa setiap waktu shalat itu memanjang dari
berakhirnya waktu shalat sebelumnya hingga masuknya waktu shalat
berikutnya, kecuali shalat shubuh.

Dari Abi Qatadah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tidaklah tidur itu
menjadi tafrith, namun tafrith itu bagi orang yang belum shalat hingga datang
waktu shalat berikutnya." (HR. Muslim)

Sedangkan waktu mukhtar (pilihan) untuk shalat `Isya` adalah sejak masuk
waktu hingga 1/3 malam atau tengah malam. Atas dasar hadits berikut ini.

Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Seandainya aku tidak
memberatkan umatku, aku perintahkan mereka untuk mengakhirkan /
menunda shalat Isya` hingga 1/3 malam atau setengahnya." (HR. Ahmad, Ibnu
Majah dan Tirmizy).

Dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah SAW menunda shalat Isya` hingga
tengah malam, kemudian barulah beliau shalat". (HR. Muttafaqun Alaihi).

Dari Aisyah ra.: ”Rasulullah SAW mengakhirkan shalat Isya‘ pada suatu malam
hingga melewati malam dan penduduk Madinah terlelap. Kemudian keluar dan
beliau bersabda,”Inilah waktunya (isya‘), bila tidak memberatkan
ummatku.” (HR. Muslim dan Nasai)

Juga hadist lainnya:

Dari Jabir ra berakata, " . . Dan Rasulullah SAW melakukan shalat isya‘
terkadang diakhirkan dan terkadang di awalnya. Bila beliau melihat jamaah
telah berkumpul, maka isya‘ dipercepat dan bila mereka datang lebih lambat,
maka shalat Isya diakhirkan. . . (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun sebaiknya bila melakukan shalat Isya‘ tengah malam tidak dengan
tidur terlbih dahulu.

Dari Abi Barzah al-aslami bahwa Rasulullah SAW suka mengakhirkan Isya‘
yang disebutnya ‘atmah, namun beliau tidak suka tidur sebelumnya atau
bercakap-cakap sesudahnya. (HR Jamaah).

Dengan adanya dalil-dalil di atas, para ulama menyimpulkan bahwa khusus


untuk shalat 'Isya, memang tidak selalu dikerjakan di awal waktu. Namun
seringkali Rasulullah SAW dan para shahabat mengerjakajannya agak sedikit
lebih malam. Namun tetap dilakukan di masjid secara berjamaah. Bukan
shalat sendiri-sendiri di rumah. Dan tentu saja dengan tetap melantunkan
adzan yang berfurngsi sebagai panggilan kepada umat Islam untuk
berkumpul, meski tidak dilantunkan di awal waktu.

Penundaan pelaksanaan shalat terurama untuk shalat isya' berjamaah ini


tidak menyalahi keutamaan, sebab keutamaan itu sendiri datangnya dari
Rasulullah SAW juga. Sebab syariat Islami itu sumbernya dari beliau juga dan
beliau tentu dari Allah SWT. Maka kalau kita sekarang ini menjalankan hal
yang sebagaimana beliau SAW lakukan, tentu saja punya nilai tersendiri. Dan
memang demikianlah Rasulullah SAW mengajarkan agama kepada kita.

Wallahu a'lam bish-shawab


Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Shalat Tepat Waktu atau Setelah Jam Kerja?


Sat 20 October 2007 04:40 | Shalat | 5.413 views | Kirim Pertanyaan :
tanya@rumahfiqih.com

Pertanyaan :

Assalaamu'alikum Wr. Wb.

Seorang Direktur HRD sebuah Institusi berlabel


"Syariah", dalam rangka operasi disiplin pegawai,
memanggil beberapa kelompok pegawai dengan
masing-masing jenis pelanggaran disiplin. Dari
berbagai kelompok pelanggaran disiplin, di
antaranya ada pula kelompok "kesalahan" yang
pada saat berlangsung operasi disiplin pulang
tepat waktu (antar jam 17.00-17.15), namun selalu
melakukan sholat ashar berjamaah di masjid
kantor, sehingga dinilai bekerja kurang dari 8 jam
karena tidak mengganti jam sholat setelah jam
pulang kantor. (Setiap pegawai yang turun ke
masjid kantor di catat keluar dan masuk oleh
satpam atas perintah sang Direktur)

Menurut sang Bapak Direktur, seorang pegawai


terikat dengan akad "ijarah" dengan perusahaan
untuk bekerja 9 jam dipotong 1 jam istirahat,
sehingga jam kerja bersih 8 jam. Jika pegawai
melakukan sholat pada jam kerja, maka pegawai
harus mengganti waktu yang digunakan untuk
sholat pada jam lainnya. Jadi jika pulang kerja jam
17.00, sang pegawai melakukan sholat ashar
berjamaah menghabiskan waktu 20 menit, maka
paling cepat pulang jam 17.25. Jika pegawai pulang
tepat waktu tanpa mengganti waktu yang terpakai
untuk sholat, maka pegawai telah merugikan
perusahaan. Namun sayangnya, ketentuan ini tidak
pernah disampaikan sebelumnya.

Para pegawai yang dipanggil pada kelompok


kesalahan ini di-"cap" oleh sang Bapak Direktur
sebagai orang yang telah menggadaikan "Tuhan"
untuk melanggar disiplin. Sang Bapak Direktur
seakan-akan tidak peduli bahwa para pegawai
pada kelompok "kesalahan" tersebut, sebenarnya
lebih sering pulang malam, jauh melebihi jam kerja
resmi dibandingkan pulang tepat waktu, meskipun
pada saat operasi disiplin dilakukan kebetulan
pulang tepat waktu.

Pertanyaan:
1. Sebagai pemeluk agama Islam yang terikat
sebagai pegawai, kewajiban mana yang lebih
dahulu yang harus dilakukan, sholat tepat waktu
atau sholat setelah jam kerja demi kewajiban
pegawai yang terikat akad "ijarah" dengan
perusahaan?

2. Apakah perkataan sang Direktur dapat


dikategorikan sebagai pelecehan terhadap ibadah
seorang pegawai, karena setahu penulis dalam UU
No.39/1999 pasal 22 dinyatakan setiap orang bebas
memluk agamanya dan beribadat menurut
agamanya itu dan UU No. 13/2003 pasal 153 ayat 1
dinyatakan bahwa pengusaha dilarang melakukan
PHK dengan alasan pekerja/ buruh menjalankan
ibadah yang diperintahkan agamanya?

3. Menurut Bapak Ustadz, tepatkah perkataan Sang


Direktur yang menyatakan pegawai menggadaikan
"Tuhan" karena sholat berjamaah tepat waktu pada
jam kerja?

Mohon jawaban Bapak Ustadz.

Wassalammu'alaikum Wr. Wb.

Seorang Pegawai yang sedang "resah"


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Dari istilah yang digunakan oleh sang direktur bahwa pekerja yang shalat
dianggap 'menggadaikan Tuhan', sudah dapat dirasakan sinisme subjektifnya
terhadap shalat dan tuhan. Seorang direktur yang muslim dan ada secuil iman
di dalam hatinya, pastilah tidak akan tega mengeluarkan ungkapan sekasar
itu, bahkan meski para pekerjanya memang mengurangi haknya untuk shalat
sekalipun.

Sebab ungkapan 'menggadaikan tuhan' itu jelas terasa di telinga sebagai


ungkapan yang terlalu memaksakan, bahkan kami menilainya sebagai
berlebihan. Apalagi sampai memberlakukan hukuman hingga pemecatan
segala. Tidakkah dia tahu bahwa jabatannya itu hanyalah amanah yang
diberikan sementara waktu? Tidakkah dia tahu bahwa suatu saat dia akan
berhenti atau diberhentikan dari pekerjaannya, cepat atau lambat? Tidakkah
dia peduli dengan bawahannya yang resah akibat ulahnya yang over-
acting itu?

Kami bisa merasakan keresahan Anda dan teman-teman Anda saat ini. Dan
begitulah, setiap kita akan diuji oleh Allah dengan rasa takut kelaparan,
kekurangan harta dan jiwa. Marilah kita maknai rasa resah ini secara positif
agar iman kita kepada Allah jadi bertambah.
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita
gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqrah:155)

Rasa resah Anda itu wajar, namun barangkali itulah cara Allah mengundang
Anda untuk lebih khusyu' lagi dalam beribadah. Rasa takut dipecat itu
sebenarnya sebuah motivasi yang Allah turunkan kepada Anda bahwa rizki itu
urusan Allah. Si Direktur mau memecat orang karena shalat dengan alasan
menggadaikan tuhan, silahkan saja. Toh dia bukan Sang Maha Pemberi rizqi.
Justru diasetiap hari diberi rizki oleh Allah SWT dengan atau tanpa
disadarinya.

Ketahuilah bahwa kita tidak pernah tahu lewat jalur manakah kita akan
diberikan rizki dari Allah SWT. Kadangkala kita mengira sebuah jalan terlihat
licin dan mulus, lalu kita yakin sekali bahwa di ujung jalan itu ada rezki kita.
Namun ternyata Allah SWT tidak menghendaki memberikan rezki lewat jalan
itu. Barangkali buat Allah, terlalu jauh jalan itu dan ada jalan lainnya yang
lebih baik dan lebih tepat buat kita.

Janganlah berpikir bahwa rezeki anda itu ada di tangan sang direktur, namun
bukan berarti bahwa anda juga boleh seenaknya saja melanggar aturan. Jalan
yang terbaik adalah melakukan dialog yang terbuka, dari hati ke hati. Jangan
dulu terlanjur bersu'udzdzan kepadanya. Barangkali saja niatnya baik, yaitu
karena ingin mendisiplinkan anak buahnya. Namun cara dan pendekatannya
masih perlu diperhalus lagi.

Pada bagian penghalusan inilah anda perlu sedikit memberikan perhatian.


Cobalah pilih teman-teman yang dewasa, tidak emosional dan sedikit lebih
dipandang. Sampaikan saja permohonan maaf anda dan teman-teman, bila
dipandang telah melanggar aturan. Jelaskan bahwa selama ini anda memang
kurang mendapat informasi yang jelas tentang bentuk-bentuk kesalahan itu.
Dan berjanjilah bahwa hal itu tidak akan terulang lagi, selama aturan main
dibuat sejelas mungkin, syukur bisa sebelumnya digelar dengar pendapat
dengan sesama karyawan.

Cobalah buktikan kepadanya bahwa Anda dan teman-teman adalah orang


muslim yang profesional, di mana amanah memang harus dijalankan dengan
sebaik-baiknya, selama semua aturannya jelas dan transparan.

Selamat berjuang semoga Allah menyertai kita, Amien

Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Akhir Waktu Mengerjakan Sholat Isya


Tue 9 May 2006 07:09 | Shalat | 5.427 views | Kirim Pertanyaan :
tanya@rumahfiqih.com

Pertanyaan :

Assalaamualaikum wr. wb.

Saya pernah membaca dalam sebuah buku bahwa


akhir waktu mengerjakan sholat isya adalah
pertengahan malam, dan tidak syah apabila
dikerjakan setelah waktu tersebut. Bagaimana jika
dalam perjalanan kita berangkat sebelum maghrib,
kemudian kita niatkan jama' ta'khir, dan baru
sampai di tujuan lewat tengah malam, syahkah
sholat kita jika terjadi demikian, ustazd? Terima
kasih atas jawabannya.

Wassalaamualaikum wr.wb.
Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kita memang mendapatkan beberapa dalil yang berbeda tentang panjangnya


waktu untuk shalat Isya'. Sebagian dalil yang menyebutkan bahwa akhir
waktu shalat Isya' adalah dengan masuknya waktu shubuh. Yaitu dengan
terbitnya fajar shaqid di ufuk timur. Namun sebagian dalil lainnya seolah
menyebutkan bahwa akhir waktu shalat Isya' adalah sepertiga malam atau
tengah malam.

Dengan demikian, memang sejak dari dalilnya sudah ada kemungkinan besar
terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian dari mereka lebih
cenderung kepada dalil yang pertama, sebagian lainnya cenderung kepada
dalil yang kedua.

a. Pendapat Pertama

Pendapat pertama datang dari jumhur (mayoritas) ulama yang lebih cenderung
untuk mengatakan batas akhir shalat Isya' hingga masuk waktu subuh.
Dasarnya adalah ketetapan dari nash yang menyebutkan bahwa setiap waktu
shalat itu memanjang dari berakhirnya waktu shalat sebelumnya hingga
masuknya waktu shalat berikutnya.

Dari Ibni Umar ra. bahwa nabi SAW bersabda, "Syafaq itu adalah warna
kemerahan, bila syafq itu sudah hilang, maka telah wajib shalat." (HR Ad-
Darquthuny)

Dari Abi Qatadah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah tidur itu
menjadi tafrith, namun tafrith itu bagi orang yang belum shalat hingga datang
waktu shalat berikutnya." (HR Muslim)

Dengan pengecualian waktu shalat shubuh, di mana batas akhirnya bukan


dengan masuknya waktu Zhuhur, melainkan dengan terbitnya fajar. Selebihnya
semua waktu shalat berakhir dengan masuknya waktu shalat berikutnya.

b. Pendapat Kedua

Kelompok kedua lebih cenderung mengatakan bahwa waktu untuk shalat Isya'
berakhir dengan masuknya 1/3 malam atau lewat tengah malam. Dalilnya ada
beberapa, di antaranya hadits berikut ini:

Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Seandainya aku tidak
memberatkan umatku, aku perintahkan mereka untuk mengakhirkan/
menunda shalat Isya` hingga 1/3 malam atau setengahnya." (HR Ahmad, Ibnu
Majah dan Tirmizy).

Dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah SAW menunda shalat Isya` hingga
tengah malam, kemudian barulah beliau shalat. (HR Muttafaqun Alaihi).

Dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Waktu shalat Isya`
hingga tengah malam." (HR Muslim dan Nasai)

Waktu Pilihan

Oleh para ulama dari jumhur, semua hadits yang menunjukkan akhir batas
waktu shalat Isya yang hanya 1/3 atau 1/2 malam, tidak dipahami sebagai
batas terakhir, melainkan sebagai waktu yang bersifat ikhtiyari, yakni pilihan.

Jadi bila seseorang shalat Isya' pada beberapa menit menjelang masuknya
waktu shubuh, tetap sah dan masih dalam waktu yang dibenarkan. Namun hal
itu bukan menjadi pilihan yang baik.

Walahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Apakah Shalat Isya Boleh Diakhirkan?

Sun 20 October 2013 23:32 | Shalat | 14.395 views | Kirim Pertanyaan :


tanya@rumahfiqih.com
Pertanyaan :

Assalamu'alaikum.

Ustadz, saya ingin bertanya apakah kita boleh


mengakhirkan shalat Isya? Jadi kita melakukan
shalat isyanya setelah tidur, sekitar jam 2 atau 3
an. Niatan untuk tidur dahulu adalah agar kita bisa
bangun malam untuk shalat tahajud. Karena jika
belum shalat isya, tidur kita tidak 'sangat nyaman'
sehingga bisa lebih mudah bangun malam.

Saya pernah mendengar/membaca bahwa boleh


diakhirkan. Tapi di satu sisi ada juga pernyataan
bahwa, tidur sebelum isya adalah hal yang dibenci
oleh Allah. Bagaimana, ustadz? Mohon
penjelasannya. Terima
kasih.

Wassalamu'alaikum
Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Benar bahwa pelaksanaan shalat Isya memang boleh diakhirkan, bahkan


menurut sebagian pendapat lebih utama diakhirkan. Dalilnya adalah sabda
Rasulullah SAW berikut ini:

Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Seandainya aku tidak
memberatkan umatku, aku perintahkan mereka untuk mengakhirkan/menunda
shalat Isya` hingga 1/3 malam atau setengahnya.." (HR Ahmad, Ibnu Majah dan
Tirmizy).

Dari anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah SAW menunda shalat Isya` hingga
tengah malam, kemudian barulah beliau shalat. (HR Muttafaqun Alaihi).

Dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Waktu shalat Isya`
hingga tengah malam." (HR Muslim dan Nasai).
Para ulama sebagiannya mengatakan bahwa waktu pelaksanaan shalat Isya
hingga agak larut merupakan waktu mukhtar (pilihan). Akan tetapi sebaiknya
tidak tidur dulu sebelum shalat 'Isya'. Sebab hal ini akan beresiko terlewat,
selain memang merupakan hal yang tidak disukai.

Kalau sekedar ingin bisa bangun malam, tekniknya bukan dengan cara
demikian. Tapi dengan tidur lebih cepat, kondisi badan cukup istirahat, serta
bangunnya tidak terlalu malam. Mungkin setengah jam sebelum datangnya
waktu shubuh sudah lumayan untuk bisa melakukan tahajjud.

Shalat tahajjud itu yang penting bukan semata-mata lamanya, melainkan


rutinnya yang perlu diperhatikan. Adalah lebih baik shalat tahajjud hanya
setengah jam atau 15 menit tapi rutin setiap hari, ketimbang shalat tahajjud 3
jam tapi hanya jarang-jarang. Bukankah kita sudah tahu ungkapan khairul
amali dawamuhu wa in qalla (sebaiknya-baik perbuatan adalah yang rutin
meski hanya sedikit-sedikit)?

Setengah jam atau 15 menit itu bisa disiasati dengan bangun lebih awal
sebelum shubuh. Untuk bisa demikian, maka tidurnya jangan terlalu larut
malam. Kalau bisa jam 9 malam sudah tidur, boleh dibilang sudah cukup ideal.
Dan secara biologis, tubuh sudah cukup istirahat bila bangun jam 04:00 atau
04:15 dini hari. Dengan asumsi waktu shubuh masuk jam 04:30. Berarti tubuh
anda sudah cukup istirahat selama 7 jam lamanya. Tentu sangat cukup buat
mengistirahatkan tubuh yang memang juga punya hak.

Cara begini akan jauh lebih baik, karena tubuh anda akan terasa lebih segar
begitu bangun, sehingga kalau pun anda melakukan shalat tahajjud, akan
lebih ringan dan konsentrasi, tidak diganggu ngantuk. Teknik ini juga jauh
lebih manusiawi dari pada anda tidur larut malam, lalu 'diganggu' dengan
kewajiban untuk melakukan shalat 'Isya' tengah malam dengan alasan biar
bisa tahajjud.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Akhir Waktu Shalat Lima Waktu

Tue 22 August 2006 05:24 | Shalat | 5.861 views | Kirim Pertanyaan :


tanya@rumahfiqih.com

Pertanyaan :

Assalamu'alaykum
Ustadz, saya ingin bertanya tentang ciri-ciri bahwa
jam/waktu shalat wajib lima waktu sudah masuk.
Karena ada teman yang berpendapat bahwa
(misalnya) kita masih boleh shalat Ashar sebelum
azan shalat Mahgrib. Terima Kasih.

Wassalam,
Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memang benar bahwa waktu shalat itu sambung-menyambung antara


sebelumnya dan sesudahnya. Kecuali satu shalat saja yang setelahnya tidak
langsung bersambung, yaitu shalat shubuh.

Dan memang waktu-waktu shalat yang tersedia itu diperuntukkan untuk


pelaksanaan shalat di dalamnya. Secara hukum, shalat itu tetap sah selama
dilakukan masih dalam waktunya, meski di bagian akhirnya.

Walau pun kalau dilihat dari segi keutamaannya, sangat dianjurkan untuk
shalat di awal waktunya. Dan lebih dianjurkan lagi bila dilakukan secara
berjamaah di masjid.

Namun demikian, shalat tetap sah selama dilakukan pada waktunya dan
selama waktunya belum habis. Dan waktu shalat itu telah disepakati ulama,
sebagaimana hadits-hadits berikut ini.

Waktu-waktu Shalat Fardhu di Dalam Al-Hadits

Sedangkan bila ingin secara lebih spasifik mengetahui dalil tentang waktu-
waktu shalat, kita bisa merujuk kepada hadits-hadits Rasululah SAW yang
shahih dan qath`i. Tidak kalah qath`inya dengan dalil-dalil dari Al-Quran Al-
Kariem. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini:

Dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa Nabi SAW didatangi oleh Jibril as dan
berkata kepadanya, "Bangunlah dan lakukan shalat." Maka beliau melakukan
shalat Zhuhur ketika matahari tergelincir. Kemudian waktu Ashar menjelang
dan Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW melakukan
shalat Ashar ketika panjang bayangan segala benda sama dengan panjang
benda itu. Kemudian waktu Maghrib menjelang dan Jibril berkata,"Bangun
dan lakukan shalat." Maka beliau SAW melakukan shalat Maghrib ketika
mayahari terbenam. Kemudian waktu Isya` menjelang dan Jibril berkata,
"Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW melakukan shalat Isya` ketika
syafaq (mega merah) menghilang. Kemudian waktu Shubuh menjelang dan
Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW melakukan
shalat Shubuh ketika waktu fajar merekah/ menjelang. (HR. Ahmad, Nasai dan
Tirmizy. )

Di dalam Nailul Authar disebutkan bahwa Al-Bukhari mengatakan bahwa


hadits ini adalah hadits yang paling shahih tentang waktu-waktu shalat.

Selain itu ada hadits lainnya yang juga menjelaskan tentang waktu-waktu
shalat. Salah satunya adalah hadits berikut ini:

Dari `Uqbah bin Amir ra bahwa Nabi SAW bersabda, "Ummatku selalu berada
dalam kebaikan atau dalam fithrah selama tidak terlambat melakukan shalat
Maghrib, yaitu sampai muncul bintang." (HR Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim
dalam Al-Mustadrak.)

Lebih Detail Tentang Waktu Shalat Dalam Kitab-kitab Fiqih

Dari isyarat dalam Al-Quran serta keterangan yang lebih jelas dari hadits-
hadits nabawi, para ulama kemudian menyusun tulisan dan karya ilmiah untuk
lebih jauh mendiskripsikan apa yang mereka pahami dari nash-nash itu. Maka
kita dapati deskripsi yang jauh lebih jelas dalam kitab-kitab fiqih yang menjadi
masterpiece para fuqoha. Di antaranya yang bisa disebutkan antara lain kitab-
kitab berikut ini:

 Kitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 151-160

 Kitab Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 halaman 331 s/d 343

 Kitab Al-Lubab jilid 1 halaman 59 - 62

 Kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 43

 Kitab Asy-Syarhu Ash-Shaghir jilid 1 halaman 219-338

 Kitab Asy-Syarhul-Kabir jilid 1 halaman 176-181

 Kitab Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 121 - 127

 Kitab Al-Muhazzab jilid 1 halaman 51 - 54 dan Kitab Kasysyaf Al-


Qanna` jilid 1 halaman 289 - 298

Di dalam kitab-kitab itu kita dapati keterangan yang jauh lebih spesifik
tentang waktu-waktu shalat. Kesimpulan dari semua keterangan itu adalah
sebagai berikut:

1. Waktu Shalat Fajr (Shubuh)


Dimulai sejak terbitnya fajar shadiq hingga terbitnya matahari. Fajar dalam
istilah bahasa arab bukanlah matahari. Sehingga ketika disebutkan terbit
fajar, bukanlah terbitnya matahari. Fajar adalah cahaya putih agak terang yang
menyebar di ufuk Timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit.

Ada dua macam fajar, yaitu fajar kazib dan fajar shadiq. Fajar kazib adalah
fajar yang `bohong` sesuai dengan namanya. Maksudnya, pada saat dini hari
menjelang pagi, ada cahaya agak terang yang memanjang dan mengarah ke
atas di tengah di langit. Bentuknya seperti ekor Sirhan (srigala), kemudian
langit menjadi gelap kembali. Itulah fajar kazib.

Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar shadiq, yaitu fajar yang benar-benar
fajar yang berupa cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur yang
muncul beberapa saat sebelum matahari terbit. Fajar ini menandakan
masuknya waktu shubuh.

Jadi ada dua kali fajar sebelum matahari terbit. Fajar yang pertama disebut
dengan fajar kazib dan fajar yang kedua disebut dengan fajar shadiq. Selang
beberapa saat setelah fajar shadiq, barulah terbit matahari yang menandakan
habisnya waktu shubuh. Maka waktu antara fajar shadiq dan terbitnya
matahari itulah yang menjadi waktu untuk shalat shubuh.

Di dalam hadits disebutkan tentang kedua fajar ini:

"Fajar itu ada dua macam. Pertama, fajar yang mengharamkan makan dan
menghalalkan shalat. Kedua, fajar yang mengharamkan shalat dan
menghalalkan makan.." (HR. Ibnu Khuzaemah dan Al-Hakim).

Batas akhir waktu shubuh adalah terbitnya matahari sebagaimana disebutkan


dalam hadits berikut ini.

Dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasululah SAW bersabda, "Dan waktu shalat
shubuh dari terbitnya fajar (shadiq) sampai sebelum terbitnya matahari." (HR.
Muslim)

2. Waktu Shalat Zhuhur

Dimulai sejak matahari tepat berada di atas kepala namun sudah mulai agak
condong ke arah barat. Istilah yang sering digunakan dalam terjemahan
bahasa Indonesia adalah tergelincirnya matahari. Sebagai terjemahan bebas
dari kata zawalus syamsi. Namun istilah ini seringkali membingungkan karena
kalau dikatakan bahwa `matahari tegelincir`, sebagian orang akan berkerut
keningnya, "Apa yang dimaksud dengan tergelincirnya matahari?"

Zawalus-Syamsi adalah waktu di mana posisi matahari ada di atas kepala


kita, namun sedikit sudah mulai bergerak ke arah barat. Jadi tidak tepat di
atas kepala.
Dan waktu untuk shalat zhuhur ini berakhir ketika panjang bayangan suatu
benda menjadi sama dengan panjang benda itu sendiri. Misalnya kita
menancapkan tongkat yang tingginya 1 meter di bawah sinar matahari pada
permukaan tanah yang rata. Bayangan tongkat itu semakin lama akan
semakin panjang seiring dengan semakin bergeraknya matahari ke arah barat.
Begitu panjang bayangannya mencapai 1 meter, maka pada saat itulah waktu
Zhur berakhir dan masuklah waktu shalat Ashar.

Ketika tongkat itu tidak punya bayangan baik di sebelah barat maupun
sebelah timurnya, maka itu menunjukkan bahwa matahari tepat berada di
tengah langit. Waktu ini disebut dengan waktu istiwa`. Pada saat itu, belum
lagi masuk waktu zhuhur. Begitu muncul bayangan tongkat di sebelah timur
karena posisi matahari bergerak ke arah barat, maka saat itu dikatakan
zawalus-syamsi atau `matahari tergelincir`. Dan saat itulah masuk waktu
zhuhur.

3. Waktu Shalat Ashar

Waktu shalat Ashar dimulai tepat ketika waktu shalat Zhuhur sudah habis,
yaitu semenjak panjang bayangan suatu benda menjadi sama panjangnya
dengan panjang benda itu sendiri. Dan selesainya waktu shalat Ashar ketika
matahari tenggelam di ufuk barat. Dalil yang menujukkan hal itu antara lain
hadits berikut ini:

Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang
mendapatkan satu rakaat dari shalat shubuh sebelum tebit matahari, maka
dia termasuk orang yang mendapatkan shalat shubuh. Dan orang yang
mendapatkan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia
termasuk mendapatkan shalat Ashar."(HR. Muslim dan enam imam hadits
lainnya).

Namun jumhur ulama mengatakan bahwa dimakruhkan melakukan shalat


Ashar tatkala sinar matahari sudah mulai menguning yang menandakan
sebentar lagi akan terbenam. Sebab ada hadits nabi yang menyebutkan bahwa
shalat di waktu itu adalah shalatnya orang munafiq.

Dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Itu adalah shalatnya
orang munafik yang duduk menghadap matahari hingga saat matahari berada
di antara dua tanduk syetan, dia berdiri dan membungkuk 4 kali, tidak
menyebut nama Allah kecuali sedikit." (HR. Jamaah kecuali Bukhari dan Ibnu
Majah).

Bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwa waktu Ashar sudah berakhir
sebelum matahari terbenam, yaitu pada saat sinar matahari mulai menguning
di ufuk barat sebelum terbenam.

Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Dan waktu shalat
Ashar sebelum matahari menguning." (HR Muslim)
Shalat Ashar adalah shalat Wustha menurut sebagian besar ulama. Dasarnya
adalah hadits Aisyah ra.

Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW membaca ayat, "Peliharalah shalat-


shalatmu dan shalat Wustha." Dan shalat Wustha adalah shalat Ashar. (HR.
Abu Daud dan Tirmizy dan dishahihkannya)

Dari Ibnu Mas`ud dan Samurah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Shalat Wustha adalah shalat Ashar." (HR. Tirmizy)

Namun masalah ini memang termasuk dalam masalah yang diperselisihkan


para ulama. Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar jilid 1 halaman 311
menyebutkan ada 16 pendapat yang berbeda tentang makna shalat Wustha.
Salah satunya adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa shalat
Wustha adalah shalat ashar. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa
shalat itu adalah shalat shubuh.

4. Waktu Shalat Maghrib

Dimulai sejak terbenamnya matahari dan hal ini sudah menjadi ijma`
(kesepakatan) para ulama. Yaitu sejak hilangnya semua bulatan matahari di
telan bumi. Dan berakhir hingga hilangnya syafaq (mega merah). Dalilnya
adalah sabda Rasulullah SAW:

Dari Abdullah bin Amar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Waktu Maghrib
sampai hilangnya shafaq (mega)." (HR. Muslim).

Syafaq menurut para ulama seperti Al-Hanabilah dan As-Syafi`iyah adalah


mega yang berwarna kemerahan setelah terbenamnya matahari di ufuk barat.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapt bahwa syafaq adalah warna keputihan
yang berada di ufuk barat dan masih ada meski mega yang berwarna merah
telah hilang. Dalil beliau adalah:

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Dan akhir waktu
Maghrib adalah hingga langit menjadi hitam."(HR. Tirmizy)

Namun menurut kitab Nashbur Rayah bahwa hadits ini sanadnya tidak shahih.

5. Waktu Shalat Isya`

Dimulai sejak berakhirnya waktu maghrib sepanjang malam hingga dini hari
tatkala fajar shadiq terbit. Dasarnya adalah ketetapan dari nash yang
menyebutkan bahwa setiap waktu shalat itu memanjang dari berakhirnya
waktu shalat sebelumnya hingga masuknya waktu shalat berikutnya, kecuali
shalat shubuh.

Dari Abi Qatadah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah tidur itu
menjadi tafrith, namun tafrith itu bagi orang yang belum shalat hingga datang
waktu shalat berikutnya." (HR Muslim)
Sedangkan waktu muhktar (pilihan) untuk shalat `Isya` adalah sejak masuk
waktu hingga 1/3 malam atau tengah malam. Atas dasar hadits berikut ini.

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Seandainya aku tidak


memberatkan umatku, aku perintahkan mereka untuk mengakhirkan/
menunda shalat Isya` hingga 1/3 malam atau setengahnya.." (HR. Ahmad, Ibnu
Majah dan Tirmizy).

Dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah SAW menunda shalat Isya` hingga
tengah malam, kemudian barulah beliau shalat." (HR. Muttafaqun Alaihi).

Dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Waktu shalat Isya`
hingga tengah malam." (HR Muslim dan Nasai)

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Dalil-Dalil Tentang Waktu Shalat

Fri 13 July 2007 02:27 | Shalat | 5.244 views | Kirim Pertanyaan :


tanya@rumahfiqih.com

Pertanyaan :

Assalamu'alaikum wr, wb.

Adakah di dalam Al-Quran dalil tentang waktu


shalat? Ataukah hanya ada di dalam hadits saja?
Lalu bagaimana detail tiap waktu shalat yang
sesungguhnya?

Sebelumnnya kami ucapkan terima kasih

Wassalamu'alaikum wr, wb.


Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Di dalam Al-Quran sesungguhnya sudah ada sekilas tentang penjelasan waktu-


waktu shalat fardhu, meski tidak terlalu jelas diskripsinya. Namun paling tidak
ada tiga ayat di dalam Al-Quran yang membicarakan waktu-waktu shalat
secara global.
Ayat Pertama:

"Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang dan pada bahagian permulaan
malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan
perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang
ingat"(QS. Huud: 114)

Menurut para mufassriin, di ayat ini disebutkan waktu shalat, yaitu kedua tepi
siang, yaitu shalat shubuh dan ashar. Dan pada bahagian permulaan malam,
yaitu Maghirb dan Isya`.

Ayat kedua

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
Qur`anal fajri. Sesungguhnya Qur`anal fajri itu disaksikan (QS. Al-Isra`: 78)

Menurut para mufassrin, di dalam ayat ini disebutkan waktu shalat yaitu
sesudah matahari tergelincir, yaitu shalat Zhuhur dan Ashar. Sedangkan gelap
malam adalah shalat Maghirb dan Isya` dan Qur`anal fajri yaitu shalat shubuh.

Waktu-waktu Shalat Fardhu di Dalam Al-Hadits

Sedangkan bila ingin secara lebih spesifik mengetahui dalil tentang waktu-
waktu shalat, kita bisa merujuk kepada hadits-hadits Rasululah SAW yang
shahih dan qath`i. Tidak kalah qath`inya dengan dalil-dalil dari Al-Quran Al-
Karim. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini:

Dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa Nabi SAW didatangi oleh Jibril as dan
berkata kepadanya, "Bangunlah dan lakukan shalat." Maka beliau melakukan
shalat Zhuhur ketika matahari tergelincir. Kemudian waktu Ashar menjelang
dan Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW melakukan
shalat Ashar ketika panjang bayangan segala benda sama dengan panjang
benda itu. Kemudian waktu Maghrib menjelang dan Jibril berkata, "Bangun
dan lakukan shalat." Maka beliau SAW melakukan shalat Maghrib ketika
mayahari terbenam. Kemudian waktu Isya` menjelang dan Jibril berkata,
"Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW melakukan shalat Isya` ketika
syafaq (mega merah) menghilang. Kemudian waktu Shubuh menjelang dan
Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW melakukan
shalat Shubuh ketika waktu fajar merekah/ menjelang. (HR Ahmad, Nasai dan
Tirmizy. )

Di dalam Nailul Authar disebutkan bahwa Al-Bukhari mengatakan bahwa


hadits ini adalah hadits yang paling shahih tentang waktu-waktu shalat.

Selain itu ada hadits lainnya yang juga menjelaskan tentang waktu-waktu
shalat. Salah satunya adalah hadits berikut ini:

Dari `Uqbah bin Amir ra bahwa Nabi SAW bersabda, "Ummatku selalu berada
dalam kebaikan atau dalam fithrah selama tidak terlambat melakukan shalat
Maghrib, yaitu sampai muncul bintang."(HR Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim
dalam Al-Mustadrak.)

Lebih Detail Tentang Waktu Shalat Dalam Kitab-kitab Fiqih

Dari isyarat dalam Al-Quran serta keterangan yang lebih jelas dari hadits-
hadits nabawi, para ulama kemudian menyusun tulisan dan karya ilmiah untuk
lebih jauh mendiskripsikan apa yang mereka pahami dari nash-nash itu. Maka
kita dapati deskripsi yang jauh lebih jelas dalam kitab-kitab fiqih yang
menjadi masterpiece para fuqoha. Di antaranya yang bisa disebutkan antara
lain kitab-kitab berikut ini:

Kitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 151-160,


Kitab Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 halaman 331 s/d 343,
Kitab Al-Lubab jilid 1 halaman 59 - 62,
Kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 43,
Kitab Asy-Syarhu Ash-Shaghir jilid 1 halaman 219-338,
Kitab Asy-Syarhul-Kabir jilid 1 halaman 176-181,
Kitab Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 121 - 127,
Kitab Al-Muhazzab jilid 1 halaman 51 - 54 dan Kitab Kasysyaf Al-Qanna` jilid 1
halaman 289 - 298.

Di dalam kitab-kitab itu kita dapati keterangan yang jauh lebih spesifik
tentang waktu-waktu shalat. Kesimpulan dari semua keterangan itu adalah
sebagai berikut:

1. Waktu Shalat Fajr (Shubuh)

Dimulai sejak terbitnya fajar shadiq hingga terbitnya matahari. Fajar dalam
istilah bahasa arab bukanlah matahari. Sehingga ketika disebutkan terbit
fajar, bukanlah terbitnya matahari. Fajar adalah cahaya putih agak terang yang
menyebar di ufuk Timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit.

Ada dua macam fajar, yaitu fajar kazib dan fajar shadiq. Fajar kazib adalah
fajar yang `bohong` sesuai dengan namanya. Maksudnya, pada saat dini hari
menjelang pagi, ada cahaya agak terang yang memanjang dan mengarah ke
atas di tengah di langit. Bentuknya seperti ekor Sirhan (srigala), kemudian
langit menjadi gelap kembali. Itulah fajar kazib.

Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar shadiq, yaitu fajar yang benar-benar
fajar yang berupa cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur yang
muncul beberapa saat sebelum matahari terbit. Fajar ini menandakan
masuknya waktu shubuh.

Jadi ada dua kali fajar sebelum matahari terbit. Fajar yang pertama disebut
dengan fajar kazib dan fajar yang kedua disebut dengan fajar shadiq. Selang
beberapa saat setelah fajar shadiq, barulah terbit matahari yang menandakan
habisnya waktu shubuh. Maka waktu antara fajar shadiq dan terbitnya
matahari itulah yang menjadi waktu untuk shalat shubuh.

Di dalam hadits disebutkan tentang kedua fajar ini:

"Fajar itu ada dua macam. Pertama, fajar yang mengharamkan makan dan
menghalalkan shalat. Kedua, fajar yang mengharamkan shalat dan
menghalalkan makan.." (HR Ibnu Khuzaemah dan Al-Hakim).

Batas akhir waktu shubuh adalah terbitnya matahari sebagaimana disebutkan


dalam hadits berikut ini.

Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasululah SAW bersabda, "Dan waktu shalat
shubuh dari terbitnya fajar (shadiq) sampai sebelum terbitnya matahari." (HR
Muslim)

2. Waktu Shalat Zhuhur

Dimulai sejak matahari tepat berada di atas kepala namun sudah mulai agak
condong ke arah barat. Istilah yang sering digunakan dalam terjemahan
bahasa Indonesia adalah tergelincirnya matahari. Sebagai terjemahan bebas
dari kata zawalus syamsi. Namun istilah ini seringkali membingungkan karena
kalau dikatakan bahwa `matahari tegelincir`, sebagian orang akan berkerut
keningnya, "Apa yang dimaksud dengan tergelincirnya matahari?"

Zawalus-Syamsi adalah waktu di mana posisi matahari ada di atas kepala


kita, namun sedikit sudah mulai bergerak ke arah barat. Jadi tidak tepat di
atas kepala.

Dan waktu untuk shalat zhuhur ini berakhir ketika panjang bayangan suatu
benda menjadi sama dengan panjang benda itu sendiri. Misalnya kita
menancapkan tongkat yang tingginya 1 meter di bawah sinar matahari pada
permukaan tanah yang rata. Bayangan tongkat itu semakin lama akan
semakin panjang seiring dengan semakin bergeraknya matahari ke arah barat.
Begitu panjang bayangannya mencapai 1 meter, maka pada saat itulah waktu
Zhur berakhir dan masuklah waktu shalat Ashar.

Ketika tongkat itu tidak punya bayangan baik di sebelah barat maupun
sebelah timurnya, maka itu menunjukkan bahwa matahari tepat berada di
tengah langit. Waktu ini disebut dengan waktu istiwa`. Pada saat itu, belum
lagi masuk waktu zhuhur. Begitu muncul bayangan tongkat di sebelah timur
karena posisi matahari bergerak ke arah barat, maka saat itu
dikatakan zawalus-syamsi atau `matahari tergelincir`. Dan saat itulah masuk
waktu zhuhur.

3. Waktu Shalat Ashar

Waktu shalat Ashar dimulai tepat ketika waktu shalat Zhuhur sudah habis,
yaitu semenjak panjang bayangan suatu benda menjadi sama panjangnya
dengan panjang benda itu sendiri. Dan selesainya waktu shalat Ashar ketika
matahari tenggelam di ufuk barat. Dalil yang menujukkan hal itu antara lain
hadits berikut ini:

Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang
mendapatkan satu rakaat dari shalat shubuh sebelum tebit matahari, maka
dia termasuk orang yang mendapatkan shalat shubuh. Dan orang yang
mendapatkan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia
termasuk mendapatkan shalat Ashar." (HR Muslim dan enam imam hadits
lainnya).

Namun jumhur ulama mengatakan bahwa dimakruhkan melakukan shalat


Ashar tatkala sinar matahari sudah mulai menguning yang menandakan
sebentar lagi akan terbenam. Sebab ada hadits nabi yang menyebutkan bahwa
shalat di waktu itu adalah shalatnya orang munafiq.

Dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, ..."Itu adalah
shalatnya orang munafik yang duduk menghadap matahari hingga saat
matahari berada di antara dua tanduk syetan, dia berdiri dan membungkuk 4
kali, tidak menyebut nama Allah kecuali sedikit." (HR Jamaah kecuali Bukhari
dan Ibnu Majah).

Bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwa waktu Ashar sudah berakhir
sebelum matahari terbenam, yaitu pada saat sinar matahari mulai menguning
di ufuk barat sebelum terbenam.

Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Dan waktu shalat
Ashar sebelum matahari menguning."(HR Muslim)

Shalat Ashar adalah shalat Wustha menurut sebagian besar ulama. Dasarnya
adalah hadits Aisyah ra.

Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW membaca ayat, "Peliharalah shalat-


shalatmu dan shalat Wustha." Dan shalat Wustha adalah shalat Ashar. (HR Abu
Daud dan Tirmizy dan dishahihkannya)

Dari Ibnu Mas`ud dan Samurah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Shalat Wustha adalah shalat Ashar." (HR Tirmizy)

Namun masalah ini memang termasuk dalam masalah yang diperselisihkan


para ulama. Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar jilid 1 halaman 311
menyebutkan ada 16 pendapat yang berbeda tentang makna shalat Wustha.
Salah satunya adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa shalat
Wustha adalah shalat ashar. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa
shalat itu adalah shalat shubuh.

4. Waktu Shalat Maghrib


Dimulai sejak terbenamnya matahari dan hal ini sudah menjadi ijma`
(kesepakatan) para ulama. Yaitu sejak hilangnya semua bulatan matahari di
telan bumi. Dan berakhir hingga hilangnya syafaq (mega merah). Dalilnya
adalah sabda Rasulullah SAW:

Dari Abdullah bin Amar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Waktu Maghrib
sampai hilangnya shafaq (mega)." (HR Muslim).

Syafaq menurut para ulama seperti Al-Hanabilah dan As-Syafi`iyah adalah


mega yang berwarna kemerahan setelah terbenamnya matahari di ufuk barat.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapt bahwa syafaq adalah warna keputihan
yang berada di ufuk barat dan masih ada meski mega yang berwarna merah
telah hilang. Dalil beliau adalah:

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Dan akhir waktu
Maghrib adalah hingga langit menjadi hitam." (HR Tirmizy)

Namun menurut kitab Nashbur Rayah bahwa hadits ini sanadnya tidak shahih.

5. Waktu Shalat Isya`

Dimulai sejak berakhirnya waktu maghrib sepanjang malam hingga dini hari
tatkala fajar shadiq terbit. Dasarnya adalah ketetapan dari nash yang
menyebutkan bahwa setiap waktu shalat itu memanjang dari berakhirnya
waktu shalat sebelumnya hingga masuknya waktu shalat berikutnya, kecuali
shalat shubuh.

Dari Abi Qatadah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah tidur itu
menjadi tafrith, namun tafrith itu bagi orang yang belum shalat hingga datang
waktu shalat berikutnya." (HR Muslim)

Sedangkan waktu muhktar (pilihan) untuk shalat `Isya` adalah sejak masuk
waktu hingga 1/3 malam atau tengah malam. Atas dasar hadits berikut ini.

Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Seandainya aku tidak
memberatkan umatku, aku perintahkan mereka untuk mengakhirkan/
menunda shalat Isya` hingga 1/3 malam atau setengahnya.." (HR Ahmad, Ibnu
Majah dan Tirmizy).

Dari anas bin Malik ra bahwa Rasulullah SAW menunda shalat Isya` hingga
tengah malam, kemudian barulah beliau shalat." (HR Muttafaqun Alaihi).

Dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Waktu shalat Isya`
hingga tengah malam"(HR Muslim dan Nasai)

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Hukum Shalat Berjamaah 5 Waktu


Fri 17 February 2006 03:27 | Shalat | 5.348 views | Kirim Pertanyaan :
tanya@rumahfiqih.com

Pertanyaan :

Assalamualaikum wr. wb

Pak Ustadz, saya mau tanya mengenai hukum


shalat berjamaah, di mana terdapat perbedaan
pendapat di kalangan para ulama ada yang
berpendapat sunat muakad dan fardlu kifayah.
Mohon penjelasannya dari pak ustadz. Juga mohon
pendapat pak ustadz mengenai hukum shalat
berjamaah dengan memperhatikan hadist
Rasulalloh SAW yaitu kisah orang buta dan ajakan
Rasul untuk membakar rumah yang tidak mau ikut
berjamaah juga riwayat tentang adanya sahabat
yang menginfakan seluruh kebun kurma-nya gara-
gara mengurus kebun tersebut beliau menjadi
tertinggal berjamaah

Atas penjelasannya dihaturkan Jazakumulloh


Khoiron Katsiiron

Wassalamualaikum wr wb

Nandang GInanjar
Jawaban :

ِ Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

ِ Di kalangan ulama memang berkembang banyak pendapat tentang


hukum shalat berjamaah. Ada yang mengatakan fardhu `ain, sehingga orang
yang tidak ikut shalat berjamaah berdosa. Ada yang mengatakan fardhu
kifayah sehingga bila sudah ada shalat jamaah, gugurlah kewajiban orang lain
untuk harus shalat berjamaah. Ada yang mengatakan bahwa shalat jamaah
hukumnya fardhu kifayah. Dan ada juga yang mengatakan hukumnya sunnah
muakkadah.

Tentu masing-masing pendapat itu ada benarnya, sebab mereka telah


berijtihad dengan memenuhi kaidah istimbathhukum yang benar. Kalau pun
hasilnya berbeda-beda, tentu karena hal ini adalah ijtihad. Sebab tidak ada
lafadz yang secara eksplisit di dalam Al-Quran atau hadits yang menyebutkan
bahwa shalat berjamaah itu hukumnya begini dan begini.

Yang ada hanya sekian banyak dalil yang masih mungkin menerima ragam
kesimpulan yang berbeda. Dan sebenarnya hal seperti ini sangat lumrah di
dunia fiqih, kita pun tidak perlu terlalu risau bila ada pendapat dari ulama
yang ternyata tidak sejalan dengan apa yang kita pahami selama ini. Atau
berbeda dengan apa yang diajarkan oleh guru kita selama ini.

Dan berikut kami uraikan masing-masing pendapat yang ada beserta dalil
masing-masing, semoga bermanfaat dan menambah wawasan kita dalam ilmu
syariah.

1. Pendapat Kedua: Fardhu Kifayah

Yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Asy-Syafi`i dan Abu Hanifah
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Habirah dalam kitab Al-Ifshah jilid 1
halaman 142. Demikian juga dengan jumhur (mayoritas) ulama baik yang
lampau (mutaqaddimin) maupun yang berikutnya (mutaakhkhirin). Termasuk
juga pendapat kebanyakan ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah dan Al-
Malikiyah.

Dikatakan sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah ada yang
menjalankannya, maka gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukannya.
Sebaliknya, bila tidak ada satu pun yang menjalankan shalat jamaah, maka
berdosalah semua orang yang ada di situ. Hal itu karena shalat jamaah itu
adalah bagian dari syiar agama Islam.

Di dalam kitab Raudhatut-Thalibin karya Imam An-Nawawi disebutkan bahwa:

Shalat jamaah itu itu hukumnya fardhu `ain untuk shalat Jumat. Sedangkan
untuk shalat fardhu lainnya, ada beberapa pendapat. Yang paling shahih
hukumnya adalah fardhu kifayah, tapi juga ada yang mengatakan hukumnya
sunnah dan yang lain lagi mengatakan hukumnya fardhu `ain.

Adapun dalil mereka ketika berpendapat seperti di atas adalah:

Dari Abi Darda` ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah 3 orang yang
tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak melakukan shalat jamaah,
kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah, sebab
srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya." (HR Abu Daud 547
dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan)

Dari Malik bin Al-Huwairits bahwa Rasulullah SAW, "Kembalilah kalian kepada
keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka shalat dan
perintahkan mereka melakukannya. Bila waktu shalat tiba, maka hendaklah
salah seorang kalian melantunkan azan dan yang paling tua menjadi imam. "
(HR.Muslim 292 - 674).

Dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Shalat berjamaah itu
lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat." (HR Muslim 650,249)

Al-Khatthabi dalam kitab Ma`alimus-Sunan jilid 1 halaman 160 berkata bahwa


kebanyakan ulama As-Syafi`i mengatakan bahwa shalat berjamaah itu
hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu `ain dengan berdasarkan hadits ini.

2. Pendapat Pertama: Fardhu `Ain

Yang berpendapat demikian adalah Atho` bin Abi Rabah, Al-Auza`i, Abu Tsaur,
Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al-Hanafiyah dan mazhab
Hanabilah. Atho` berkata bahwa kewajiban yang harus dilakukan dan tidak
halal selain itu, yaitu ketika seseorang mendengar azan, haruslah dia
mendatanginya untuk shalat. (lihat Mukhtashar Al-Fatawa Al-MAshriyah
halaman 50).

Dalilnya adalah hadits berikut:

Dari Aisyah ra berkata, "Siapa yang mendengar azan tapi tidak menjawabnya
(dengan shalat), maka dia tidak menginginkan kebaikan dan kebaikan tidak
menginginkannya." (Al-Muqni` 1/193)

Dengan demikian bila seorang muslim meninggalkan shalat jamaah tanpa


uzur, dia berdoa namun shalatnya tetap syah.

Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh aku punya
keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan
satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa
orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut
menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api ." (HR
Bukhari 644,657,2420,7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).

3. Pendapat Ketiga: Sunnah Muakkadah

Pendapat ini didukung oleh mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah


sebagaimana disebutkan oleh imam As-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar
jilid 3 halaman 146. Beliau berkata bahwa pendapat yang paling tengah dalam
masalah hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah. Sedangkan
pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya fardhu `ain, fardhu kifayah atau
syarat syahnya shalat, tentu tidak bisa diterima.

Al-Karkhi dari ulama Al-Hanafiyah berkata bahwa shalat berjamaah itu


hukumnya sunnah, namun tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya
kecuali karena uzur. Dalam hal ini pengertian kalangan mazhab Al-Hanafiyah
tentang sunnah muakkadah sama dengan wajib bagi orang lain. Artinya,
sunnah muakkadah itu sama dengan wajib. (silahkan periksan kitab Bada`ius-
Shanai` karya Al-Kisani jilid 1 halaman 76).

Khalil, seorang ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah dalam kitabnya Al-
Mukhtashar mengatakan bahwa shalat fardhu berjamaah selain shalat Jumat
hukumnya sunnah muakkadah. Lihat Jawahirul Iklil jilid 1 halama 76.

Ibnul Juzzi berkata bahwa shalat fardhu yang dilakukan secara berjamaah itu
hukumnya fardhu sunnah muakkadah. (lihat Qawanin Al-Ahkam As-Syar`iyah
halaman 83). Ad-Dardir dalam kitab Asy-Syarhu As-Shaghir jilid 1 halaman 244
berkata bahwa shalat fardhu dengan berjamaah dengan imam dan selain
Jumat, hukumnya sunnah muakkadah.

Dalil yang mereka gunakan untuk pendapat mereka antara lain adalah dalil-
dalil berikut ini:

Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Shalat berjamaah itu
lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat." (HR. Muslim 650,249)

Ash-Shan`ani dalam kitabnya Subulus-Salam jilid 2 halaman 40 menyebutkan


setelah menyebutkan hadits di atas bahwa hadits ini adalah dalil bahwa
shalat fardhu berjamaah itu hukumnya tidak wajib.

Selain itu mereka juga menggunakan hadits berikut ini:

Dari Abi Musa ra berkata bahwa Rasulullah SAw bersabda, "Sesungguhnya


orang yang mendapatkan ganjaran paling besar adalah orang yang paling jauh
berjalannya. Orang yang menunggu shalat jamaah bersama imam lebih besar
pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur." (lihat Fathul Bari
jilid 2 halaman 278)

4. Pendapat Keempat: Syarat Syahnya Shalat

Pendapat keempat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum syarat


fardhu berjamaah adalah syarat syahnya shalat. Sehingga bagi mereka, shalat
fardhu itu tidak syah kalau tidak dikerjakan dengan berjamaah.

Yang berpendapat seperti ini antara lain adalah Ibnu Taymiyah dalam salah
satu pendapatnya (lihat Majmu` Fatawa jilid 23 halaman 333). Demikian juga
dengan Ibnul Qayyim, murid beliau. Juga Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa serta
mazhab Zhahiriyah (lihat Al-Muhalla jilid 4 halaman 265). Termasuk di
antaranya adalah para ahli hadits, Abul Hasan At-Tamimi, Abu Al-Barakat dari
kalangan Al-Hanabilah serta Ibnu Khuzaemah.

Dalil yang mereka gunakan adalah:

Dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah SAw bersaba, "Siapa yang mendengar
azan tapi tidak mendatanginya, maka tidak ada lagi shalat untuknya, kecuali
karena ada uzur." (HR Ibnu Majah793, Ad-Daruquthuny 1/420, Ibnu Hibban 2064
dan Al-Hakim 1/245)

Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya shalat
yang paling berat buat orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh.
Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari kedua shalat itu,
pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan merangkak. Sungguh aku
punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku
memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku
dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum
yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan
api." (HR Bukhari 644,657,2420,7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).

Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW didatangi oleh seorang
laki-laki yang buta dan berkata, "Ya Rasulullah, tidak ada orang yang
menuntunku ke masjid. Rasulullah SAW berkata untuk memberikan
keringanan untuknya. Ketika sudah berlalu, Rasulullah SAW memanggilnya
dan bertanya, "Apakah kamu dengar azan shalat?" "Ya," jawabnya.
"Datangilah," kata Rasulullah SAW. (HR Muslim 1/452).

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Anda mungkin juga menyukai