Anda di halaman 1dari 51

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gaya hidup masyarakat dewasa ini menimbulkan banyak masalah yang
mengancam berbagai aspek kehidupan masyarakat terutama pada generasi
muda. Salah satunya yaitu ketergantungan pada Narkotika, Alkohol,
Psikotropika, dan Zat Adiktif lainya (NAPZA). Aspek kejadian
penyalahgunaan NAPZA cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun.
Remaja adalah generasi muda yang masih memiliki jiwa dan tingkat
emosional yang belum stabil, rasa ingin tahu yang tinggi, mudah terpengaruh
hal-hal negatif, solidaritas berlebihan, keinginan eksis dalam pergaulan, serta
lebih cepat berinteraksi dengan berbagai lingkungan masyarakat, sehingga
rentan terhadap penyalahgunaan NAPZA (Putri, 2017). Penyalahgunaan
narkotika dewasa ini telah mencapai situasi yang mengkhawatirkan sehingga
menjadi masalah nasional maupun internasional yang mendesak. Indonesia
saat ini bukan hanya merupakan daerah transit tetapi sudah menjadi daerah
pemasaran. Kasus-kasus narkotika saat ini sangat mengejutkan karena
korbannya sebagian besar generasi muda yang masih sangat produktif
sehingga ancaman rusaknya generasi penerus bangsa ada di depan mata
(Setiyawati, et all. 2015).
World Drug Report dari United Nations Office on Drugs and Crime
(UNODC) melaporkan secara global bahwa pada tahun 2011 ada 167-315
juta orang dengan rentang usia 15-64 tahun aktif mengonsumsi NAPZA dan
pada tahun 2012 menyatakan bahwa sekitar 230 juta penduduk dunia
merupakan pengguna narkoba dan 27 juta orang diantaranya adalah pecandu
narkoba (Putri, 2017). Prevalensi penyalahgunaan NAPZA di Indonesia terus
meningkat setiap tahun. Menurut hasil survei Badan Narkotika Nasional
(BNN) yang bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas
Indonesia (UI), prevalensi penyalahgunaan NAPZA di Indonesia pada
kelompok usia 10-59 tahun 2009 adalah 1,99% atau sekitar 3,6 juta jiwa lalu
meningkat menjadi 2,2% atau sekitar 3,8 juta jiwa pada tahun 2011. Selain
2

itu, pada tahun 2016 diperoleh angka prevalensi penyalahguna narkoba pada
kelompok pelajar dan mahasiswa sebesar 1,9% atau dengan kata lain 2 dari
100 orang pelajar dan mahasiswa menyalahgunakan narkoba. Sedangkan
sampai dengan Maret 2017, BNN telah mengungkap 807 kasus narkotika dan
mengamankan 1.238 tersangka serta mengidentifikasi 65 New Pshychoactive
Substance (NPS) (Direktorat Diseminasi Informasi Deputi Bidang
Pencegahan, 2017). Dari hasil survei Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap
Narkoba (P4GN) BNN Republik Indonesia pada tahun 2009 menyatakan
bahwa rata-rata usia pertama kali menyalahgunakan NAPZA pada usia yang
sangat muda yaitu 12-15 tahun. Angka penyalahgunaan NAPZA berdasarkan
tingkat pendidikan SLTP/SMP tahun 2012 berjumlah 9.743 kasus. Fakta ini
mengindikasikan bahwa peredaran gelap NAPZA masih tetap marak di
kalangan pelajar Indonesia (Fadhilah et al., 2012).
BNNP Jabar melaporkan bahwa tahun 2011, Prevalensi penyalahgunaan
NAPZA di Jawa Barat menempati peringkat ke-6 di Indonesia. Prevalensi
penyalahgunaan narkotika di Jawa Barat mencapai 2,5% jumlah penduduk
atau sekitar 1,1 juta jiwa dan 22% diantaranya adalah pelajar (Afianty, et all.
2014). Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Nusa Tenggara Timur
mencatat selama tahun 2017 terdapat 32.000 orang warga diwilayah provinsi
berbasis kepulauan ini menjadi pengguna narkotika dan obat-obatan terlarang
yang didominasi masyarakat dengan tingkat ekonomi mapan.
Dari hasil rekapitulasi kuesioner Badan Narkotika Nasional Kabupaten
Belu dalam Kegiatan Diseminasi Informasi Melalui Media Konvensional
Tatap Muka di sejumlah SMP dan SMA di Kabupaten Belu didapatkan hasil
dari 6 SMP dan 7 SMA yang dilakukan penyuluhan tingkat pemahaman
tentang penyalahgunaan narkoba masih tergolong kategori sedang dengan
jumlah persentase sebesar 78% dari jumlah total keseluruhan (Data Sekunder
BNN Kabupaten Belu, 2018).
Remaja menjadi target penyalahgunaan NAPZA karena masa remaja
adalah masa pencarian identitas diri, perasaan penasaran dan ingin mencoba
hal baru yang sangat besar. Dapat dikatakan bahwa pada saat ini Indonesia
sedang dilanda penyalahgunaan narkoba yang sangat serius karena
3

mengancam generasi muda. Remaja merupakan golongan yang rentan


terhadap penyalahgunaan narkotika karena selain memiliki sifat dinamis,
energik, selalu ingin mencoba, mereka juga mudah tergoda dan mudah putus
asa sehingga mudah jatuh pada masalah penyalahgunaan narkotika. Menurut
faktor penyebab, tingginya pengguna narkoba dari usia muda karena sejumlah
faktor, diantaranya, keinginan untuk coba-coba lantaran diajak teman, gaya
hidup yang bebas dan pergaulan yang tidak baik (Setiyawati et al., 2015).
Permasalahan ini perlu mendapat perhatian dari pihak pemerintah serta
instansi yang mempunyai tugas khusus dalam menyelesaikan serta
memberikan solusi terhadap permasalahan dalam lingkungan pelajar sekarang
ini. Jika pemerintah serta instansi yang berkaitan tidak memberikan perhatian
khusus pada pelajar-pelajar berupa penyuluhan-penyuluhan tentang
pengetahuan dan pemahaman tentang bahaya narkoba, baik secara langsung
ataupun melalui media sosial hal ini yang menjadi penyebab utama pelajar
menggunakan istilah “coba-coba” disebabkan karena minimnya pengetahuan
tentang narkoba, termasuk di kota Atambua.
Siswa SMP merupakan salah satu kelompok remaja yang rawan terkena
dampak penyalahgunaan NAPZA. Mereka memiliki sifat rasa ingin tahu yang
tinggi dan selalu ingin mencoba hal-hal yang baru sehingga rentan dan mudah
terjebak oleh perilaku negatif dan menyimpang, termasuk salah satunya
penyalahgunaan NAPZA. Sebagian besar remaja menggunakan narkoba
karena motif ingin tahu, adanya kesempatan dan prasarana-sarana,
ketidakstabilan emosi dan lemahnya mental. Selain itu, beberapa faktor lain
yang mendukung tindakan penyalahgunaan narkoba ini antara lain gangguan
psikososial keluarga, lemahnya pendidikan agama dan bimbingan konseling
di sekolah, serta faktor pergaulan dan budaya global.
SMP Kristen Atambua sebagai salah satu sekolah menengah pertama yang
terletak di tengah kota, hal ini memudahkan akses masuk informasi, narkoba,
dan perkembangan gaya hidup dan pola pergaulan remaja sekarang ke
sekolah ini sangatlah mudah. Akibatnya, beberapa perilaku dan tindakan
siswa sudah mulai mengarah ke perilaku menyimpang, salah satu contohnya
yaitu merokok dan minum-minuman keras. Berdasarkan hasil observasi dan
4

wawancara peneliti dengan para siswa, terdapat beberapa orang siswa yang
merokok. Nikotin pada rokok merupakan salah satu bahan adiktif. Banyak
penyalahgunaan NAPZA berawal dari merokok (Nufajri et al., 2013).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala SMP Kristen Atambua, di
jelaskan bahwa hampir setiap tahun ada siswa yang kedapatan merokok
dilingkungan sekolah maupun diluar sekolah. Upaya preventif terhadap
penyalahgunaan narkoba melalui penyuluhan sudah pernah diadakan di
sekolah ini, tetapi pengukuran sejauh mana tingkat pengetahuan dan sikap
siswa siswi belum pernah dilakukan.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “Gambaran Tingkat Pengetahuan dan Sikap Pelajar
Tentang Penyalahgunaan NAPZA di SMP Kristen Atambua Kabupaten Belu
Nusa Tenggara Timur”.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana Gambaran Tingkat Pengetahuan dan Sikap Pelajar SMP
Kristen Atambua Tentang Penyalahgunaan NAPZA.

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Mengidentifikasi Gambaran Tingkat Pengetahuan dan Sikap
Pelajar SMP Kristen Atambua tentang Penyalahgunaan NAPZA.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Memperoleh Informasi secara deskriptif mengenai pengetahuan
pelajar SMP Kristen Atambua Tentang Penyalahgunan NAPZA.
b. Memperoleh informasi secara deskriptif mengenai sikap pelajar
SMP Kristen Atambua Tentang Penyalahgunaan NAPZA.

1.4 Kegunaan Penelitian


1.4.1 Teoritis
Proposal Karya Tulis Ilmiah ini diharapkan dapat menjadi sumber
pengetahuan baru serta memperkaya wawasan ilmu pengetahuan dan
5

bahan kepustakaan sekaligus dapat dijadikan acuan penelitian yang


berhubungan dengan penyalahgunaan NAPZA.
1.4.2 Praktis
1. Bagi Pelajar SMP Kristen Atambua
Menambah pengetahuan dan pemahaman bagi para pelajar
mengenai NAPZA sehingga meminimalisir terjadinya
penyalahgunaan.
2. Bagi Institusi
Dapat menjadikan bahan kajian untuk kegiatan penelitian
selanjutnya dan selain itu juga, dapat sebagai bahan bacaan di
perpustakaan.
3. Bagi SMP Kristen Atambua
Sebagai salah satu masukkan untuk menentukan langkah-langkah
yang tepat dalam rangka penanggulangan dan pencegahan masalah
penyalahgunaan NAPZA.
4. Bagi Masyarakat
Dapat memperluas pengetahuan dan wawasan tentang
penyalahgunaan NAPZA berdasarkan teori yang telah diuji
kebenarannya.
5. Bagi peneliti selanjutnya
Memperdalam pengetahuan tentang penulisan Karya Ilmiah dan
dapat menggunakan hasil temuan untuk meneliti lebih lanjut.
6

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan


2.1.1 Pengertian
Secara etmologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu
knowledge. Dalam Encyclopedia of phisolophi dijelaskan bahwa definisi
pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true
belief). Sedangkan secara terminologi akan dikemukakan beberapa definisi
tentang pengetahuan. Menurut Drs. Sidi Gazalba, pengetahuan adalah apa yang
diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari
kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik
atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari
usaha manusia untuk tahu (Bakhtiar, 2011).
Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah
proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya
sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui
(objek) di dalam dirinya sedemikian aktif sehingga yang itu menyusun yang
diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.
Menurut Eisten dan Infeld dalam Veronica A. Kumurur (2008) bahwa
pengetahuan merupakan kumpulan fakta, dan pengetahuan lebih dianggap
sebagai suatu proses pembentukan (konstruksi) yang terus-menerus, terus
berkembang dan berubah-ubah.
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seorang guru,
misalkan kepada seorang murid. Murid sendirilah yang harus mengartikan apa
yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman
mereka, Lorsbach & Tobin (1992) dalam Veronica A. Kumurur (2008).
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga,
Notoatmodjo (2007) dalam Putri (2017).
7

2.1.2 Tingkat Pengetahuan


Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan Notoatmodjo (2007) dalam Putri
(2017), yakni :
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari keseluruhan bahan
yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu
ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk
mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan
sebagainya.
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan
materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek
atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,
menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang
dipelajari.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi
disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum,
rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang
lain.
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (synthesis)
Sintetis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang
8

baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi yang ada.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penelitian-penelitian ini
didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau
menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

2.1.3 Jenis-jenis Pengetahuan


Beranjak dari pengetahuan adalah pengetahuan, maka di dalam
kehidupan manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran.
Burhanuddin Salam dalam Bakhtiar (2011), mengemukakan bahwa
pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat, yaitu :
1. Pengetahuan Biasa
Yakni pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan istilah common
sense, dan sering diartikan dengan good sense, karena seseorang
memiliki sesuatu di mana ia menerima secara baik. Semua orang
menyebutnya sesuatu itu merah karena itu merah, benda itu panas karena
memang dirasakan panas dan sebagainya.
2. Pengetahuan Ilmu
Yakni ilmu sebagai terjemahan dari science. Dalam pengertian yang
sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam,
yang sifatnya kuantitatif dan objektif.
3. Pengetahuan filsafat
Yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat
kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada
universitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu.
4. Pengetahuan Agama
Yakni pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para utusan-
Nya.
9

2.1.4 Cara Pengukuran Pengetahuan


Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian
atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur
dapat kita sesuaikan dengan tingkatan pengetahuan, Notoatmodjo (2003) dalam
Leto (2017).

Adapun beberapa tingkatan kedalaman pengetahuan, Hoar Anggelina (2015)


dalam Leto, (2017).

1. Pengetahuan baik, apabila responden berpengetahuan 76-100 %


2. Pengetahuan cukup, apabila responden berpengetahuan 56-75 %
3. Pengetahuan kurang, apabila responden berpengetahuan < 56 %

2.1.5 Pengetahuan Tentang Penyalahgunaan NAPZA


Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu
seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Dengan sendirinya
pada waktu penginderaan sehingga menghasilkan pengetahuan tersebut, dan
sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.
Pengetahuan seseorang bisa diperoleh dari pengalaman yang berasal dari
berbagai macam sumber, seperti media massa, media elektronik, buku
petunjuk, petugas kesehatan, media poster, kerabat dekat dan sebagainya.
Sumber sumber tersebut didapatkan melalui penginderaan khususnya melalui
mata dan telinga. Seseorang dengan sumber informasi yang banyak dan
beragam akan menjadikan orang tersebut memiliki pengetahuan yang luas
(Notoatmadjo, 2012 dalam Zaen, 2017).
Faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan banyak perubahan secara
kognitif, emosional dan sosial, sehingga mereka berfikir lebih kompleks, pada
tahap perkembangan ini mempunyai rasa ingin tahu yang sangat besar sehingga
akan mencari tahu informasi dan berperilaku sesuai informasi yang didapatkan.
Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana
diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan
semakin luas pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti
10

seseorang yang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah.


Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek, yaitu
aspek positif dan negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap
seseorang semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan
menimbulkan sikap makin postif terhadap tertentu (Wawan dan Dewi, 2010
dalam Zaen, 2017).
Pengetahuan biasa bernilai positif, negatif atau tidak bernilai. Dari hal
tersebut dapat diketahui bahwa pengetahuan baik belum tentu memiliki
perilaku yang baik, dan sebaliknya juga. Kecenderungan selalu ingin tahu akan
membentuk sikap dan perilaku menjauhi narkoba, namun semakin remaja
mencari infromasi maka remaja semakin memiliki kecenderungan untuk
memakai narkoba (Maharti, 2015).
Kurangnya pengetahuan merupakan salah satu penyebab terjadinya
penyalahgunaan NAPZA, karena remaja masih mempunyai pengetahuan yang
terbatas dan pengetahuan yang tidak tepat dan benar (berpikiran abstrak)
tentang bahaya NAPZA (Wong, 2003 dalam Puspaini, 2017)
Berdasarkan hasil penelitian Yunita (2007) dalam Afianty et al., (2014),
terhadap mahasiswa/i di Universitas Kristen Maranatha Bandung mendapatkan
hasil bahwa pengetahuan mahasiswa/i terhadap NAPZA adalah baik. Tingkat
pengetahuan salah satunya dipengaruhi oleh pendidikan, sehingga berdasarkan
hal tersebut responden dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi umumnya
memiliki pengetahuan yang lebih baik.
Berdasarkan hasil penelitian Puspaini pada tahun 2017 terhadap pelajar
di SMK Negeri 01 Dumai mendapatkan hasil bahwa responden yang
pengetahuannya sedang (23,5%) dan rendah (8,1%) atau dapat dikatakan
pengetahuannya kurang, pengetahuan yang kurang disebabkan karena
responden kurang mendapatkan informasi yang benar tentang akibat, dampak
gejala pada penyalahgunaan NAPZA, dalam arti lebih baik mencegah dari pada
mengobati. Dalam pencegahan penyalahgunaan NAPZA diperlukannya
peningkatan jumlah informasi yang bersifat KIE (Komunikasi, Informasi,
Edukasi) yang cocok dengan karakteristik remaja, salah satunya di masukan
kurikulum sekolah tentang pencegahan NAPZA, yang bertujuan untuk
11

menyadarkan remaja dan masyarakat luar akan bahaya NAPZA untuk masa
depan remaja. Dan dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran secara
kolaboratif atau bekerja sama secara signifikan atau terus menerus mampu
meningkatkan pengetahuan, minat, motivasi, tanggung jawab dan harapan
bersama dalam pencegahan penyalahgunaan NAPZA dan efektif dalam
mencegah penyelahgunaan NAPZA.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan Fadhillah, et all pada tahun 2012
terhadap siswa kelas VIII SMP Negeri Se-Kecamatan Johar Baru dengan cara
penyebaran angket, peneliti menemukan bahwa masih banyak siswa yang tidak
memahami apa NAPZA, apa saja jenisnya dan bagaimana dampak dari
penyalahgunaan NAPZA tersebut, namun ada juga siswa yang mengetahui
tentang NAPZA, siswa megetahui NAPZA itu obat-obatan yang berbahaya
bagi kesehatan dan dilarang oleh pemerintah, namun siswa tidak mengetahui
seberapa jauh dampak dari penyalahgunaan NAPZA, dan tidak mengetahui apa
saja jenis-jenis NAPZA, dan rata-rata dari mereka mengetahui informasi
tersebut dari internet dan dari teman.

2.2 Tinjauan Umum Tentang Sikap


2.2.1 Pengertian
Sikap adalah kecenderungan individu untuk bereaksi terhadap suatu
obyek, mendekati atau menjauh. Sebagai contoh apabila kita sudah ketahui
bahwa narkoba itu tidak baik untuk kesehatan, maka hendaknya kita menjahui
segala sesuatu yang berbahu dengan narkoba tersebut (Nawar, 2002).
Sikap adalah gambaran kepribadian seseorang yang terlahir melalui
gerakan fisik dan tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau suatu objek.
Sikap ini harus dibaca dengan sangat hati-hati sebab gambaran yang terwujud
tersebut dapat direkayasa sedemikian rupa yang pada gilirannya akan
membutakan kita dari keadaan sesungguhnya, Suit-Almasdi (1996) dalam
Veronica A. Kumurur (2008).
Thurstone dalam Herson Anwar (2009) mendefinisikan sikap sebagai
seluruh kecenderungan dan perasaan, kecerugiaan dan prasangka,
12

prapemahaman yang mendetail, ide-ide, rasa takut, ancaman dan keyakinan


tentang suatu hal.
Sikap adalah produk dari proses sosialisasi dimana seorang bereaksi
sesuai dengan rangsangan yang diterimanya. Jika sikap mengarah pada obyek
tertentu berarti bahwa penyesuaian diri terhadap objek tersebut dipengaruhi
oleh lingkungan social dan kesedian untuk bereaksi dari orang tersebut
terhadap objek Mar’at, (2000) dalam Ari Anggoro (2014).
Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang
terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (Favorable)
maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (Unfarorable). Volue
dan opini ataupun pendapat sangat erat kaitannya dengan sikap, bahkan konsep
tersebut sering kali digunakan dalam definisi-definisi sikap, Azwar (2005)
dalam Madania (2014).
Sikap adalah perasaan seseorang tentang obyek, aktifitas, peristiwa dan
orang lain. Sikap muncul dari berbagai bentuk penilaian. Sikap dikembangkan
dalam tiga model, yaitu afeksi, kecenderungan perilaku, dan kognisi. Respon
afektif adalah respon fisiologis yang mengekspresikan kesukaan individu.
Respon kognitif adalah pengevaluasian secara kognitif terhadap suatu objek
sikap. Kebanyakan sikap individu aadalah hasil belajar sosial dari
lingkungannya, Anonim (2008) dalam Madania (2014).
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung
dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang
tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi
terhadap stimulus tertentu, Notoatmodjo (2007) dalam Putri (2017).
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni :
1. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
2. Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu
13

usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan,


terlepas pekerjaan itu benar atau salah, berarti seseorang menerima ide
tersebut.
3. Menghargai (Valuting)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendidkusikan dengan
orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung Jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.

2.2.2 Bentuk Sikap


Menurut Suit-Almasdi (1996) dalam Veronica A. Kumurur (2008) sikap
dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu sikap dalam bentuk fisik yang
adalah tingkah laku yang terlahir dalam bentuk gerakan dan perbuatan fisik,
dan sikap dalam bentuk non fisik yang sering juga disebut mentalitas gambaran
keadaan kepribadian seseorang yang tersimpan yang dapat mengendalikan
setiap tindakannya yang tidak dapat dilihat dan sulit dibaca. Bahwa sikap
mental manusia inilah akan menentukan mentalitasnya dan dapat membuat
manusia itu menjadi baik, antara lain menjadi manusia jujur, berani,
bersungguh-sungguh, menyukai kebersihan, dan memiliki kepedulian, yang
akhirnya akan menentukan kehidupan manusia itu sendiri

2.2.3 Karakteristik Sikap Seseorang


Rahmat (1998) dalam Herson Anwar (2009) menyimpulkan beberapa
pendapat ahli dan menetapkan lima ciri yang menjadi karakteristik sikap
seseorang:
1. Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpresepsi, berpikir, dan merasa
dalam menghadapi obyek, ide, situasi, atau nilai. Sikap bukan perilaku
tetapi merupakan kecenderungan berperilaku dengan cara tertentu terhadap
obyek sikap. Obyek sikap dapat berupa benda, orang, tempat, gagasan,
situasi, atau kelompok.
14

2. Sikap mempunyai daya pendorong. Sikap bukan hanya rekaman masa lalu
tetapi juga pilihan seseorang untuk menentukan apa yang disukai dan
menghindari apa yang tidak diinginkan.
3. Sikap relatif lebih menetap. Ketika satu sikap telah terbentuk pada diri
seseorang maka hal itu akan menetap dalam waktu relative lama karena
hal itu didasari pilihan yang menguntungkan dirinya.
4. Sikap mengandung aspek evaluatif. Sikap akan bertahan selama obyek
sikap masih menyenangkan seseorang, tetapi kapan obyek dinilainya
negatif maka sikap akan berubah.
5. Sikap timbul melalui pengalaman, tidak dibawa sejak lahir, sehingga sikap
dapat diperteguh atau diubah melalui proses belajar.

2.2.4 Dimensi Sikap


Sikap apat diidentifikasi dalam lima dimensi sikap yaitu arah, internsitas,
keluasan, konsistensi, dan spontanitas, (Herson Anwar, 2009).
1. Sikap memiliki arah, artinya sikap terbagi pada dua arah, setuju atau tidak
setuju, mendukung atau tidak mendukung, posotif atau negatif.
2. Sikap memiliki intensitas, artinya kedalaman sikap terhadap obyek tertentu
belum tentu sama meskipun arahnya sama.
3. Sikap memiliki keluasan, artinya ketidak setujuan terhadap obyek sikap
dapat spesifik hanya pada aspek tertentu, tetapi sebaliknya dapat pula
mencakup banyak aspek.
4. Sikap memiliki konsistensi yaitu kesesuaian antara pernyataan sikap yang
dikemukakan dengan tanggapan terhadap obyek sikap. Sikap yang
bertahan lama (stabil) disebut sikap yang konsisten, sebaliknya sikap yang
cepat berubah (labil) disebut sikap inkonsisten.
5. Sikap memiliki spontanitas, artinya sejauh mana kesiapan seseorang
menyatakan sikapnya secara spontan. Spontanitas akan nampak dari
pengamatan indikator sikap pada seseorang mengemukakan sikapnya.
15

2.2.5 Cara Pengukuran Sikap


Bentuk-bentuk skala sikap yang perlu diketahui dalam melakukan
penelitian. Berbagai skala sikap yang sering digunakan ada 5 macam
(Riduwan, 2012), yaitu :
1. Skala Likert
Digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi
seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial. Dalam
penelitian gejala sosial ini telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti,
yang selanjutnya disebut sebagai variabel penelitian.
Dengan menggunakan skala likert, maka variabel yang akan diukur
dijabarkan menjadi dimensi, dimensi dijabarkan menjadi sub variabel
kemudian sub variabel dijabarkan lagi menjadi indikator-indikator yang
dapat diukur. Akhirnya indikator-indikator yang terukur ini dapat
dijadikan titik tolak untuk membuat item instrumen yang berupa
pertanyaan atau pernyataan yang perlu dijawab oleh responden. Setiap
jawaban dihubungkan dengan bentuk pernyataan atau dukungan sikap
yang diungkapkan dengan kata-kata sebagai berikut :
Pernyataan Positif Pernyataan Negatif
Sangat Setuju (SS) =5 Sangat Setuju (SS) =1
Setuju (S) =4 Setuju (S) =2
Netral (N) =3 Netral (N) =3
Tidak Setuju (TS) =2 Tidak Setuju (TS) =4
Sangat Tidak Setuju (STS) = 1 Sangat Tidak Setuju (STS) = 5
2. Skala Guttman
Merupakan skala kumulatif. Jika seseorang menyisakan pertanyaan
yang berbobot lebih berat, ia akan mengiyakan pertanyaan yang kurang
berbobot lainnya. Skala Guttman mengukur suatu dimensi saja dari suatu
variabel yang multidimensi. Skala Guttman disebut juga skala scalogram
yang sangat baik untuk mayakinkan peneliti tentang kesatuan dimensi dari
sikap atau sifat yang diteliti, yang sering disebut dengan attribut universal.
Pada skala Guttman terdapat beberapa pertanyaan yang diurutkan secara
hierarkis untuk melihat sikap tertentu seseorang. Jika seseorang
16

menyatakan tidak terhadap pernyataan sikap tertentu dari sederetan


pernyataan itu, ia akan menyatakan lebih dari tidak terhadap pernyataan
berikutnya.
Jadi, Skala Guttman ialah skala yang digunakan untuk jawaban yang
bersifat jelas (tegas) dan konsisten. Misalnya: Yakin-tidak yakin; Ya-
tidak; benar – salah; positif – negatif; pernah – belum pernah; setuju –
tidak setuju dan lain sebagainya. Data yang diperoleh dapat berupa data
interval atau ratio dikotomi (dua alternatif yang berbeda).
Penelitian menggunakan skala Guttman apabila ingin mendapatkan
jawaban jelas (tegas) dan konsisten terhadap suatu permasalahan yang
ditanyakan.
3. Skala Defferensial Simantict
Skala Diferensial Semantik atau skala perbedaan semantik
berisikan serangkaian karakteristik bipolar (dua kutup), seperti: panas –
dingin; popular – tidak popular; baik – tidak baik dan sebagainya.
Karakteristik bipolar tersebut mempunyai tiga dimensi dasar sikap
seseorang terhadap objek, yaitu:
a. Potensi, yaitu kekuatan atau atraksi fisik suatu objek.
b. Evaluasi, yaitu hal-hal yang menguntungkan atau tidak
menguntungkan suatu objek.
c. Aktivitas, yaitu tingkat gerakan suatu objek (Jusman Iskandar dan
Karolina Nitimihardjo (2000).
4. Rating Scale
Yaitu data mentah yang didapat berupa angka kemudian ditafsirkan
dalam pengertian kualitatif. Dalam modelrating scale responden tidak akan
menjawab dari data kualtitatif yang sudah tersedia tersebut,
tetapimenjawab salah satu dari jawaban kuantitatif yang telad disediakan.
Dengan demikian, bentuk rating scale lebih fleksibel, tidak terbatas untuk
pengukuran sikap saja, tetapi untuk mengukur persepsi responden terhadap
gejala/fenomena lainnya. Misalnya skala untuk mengukur status sosial
ekonomi, Iptek, instansi & lembaga, kinerja dosen, kegiatan PBM,
kepuasan pelanggan, produktivitas kerja, motivasi pegawai, dan lainnya.
17

5. Skala Thurstone
Skala Thurstone meminta responden untuk memilih pertanyaan
yang ia setujui dari beberapa pernyataan yang menyajikan pandangan yang
berbeda-beda. Pada umumnya setiap item mempunyai asosiasi nilai antara
1 sampai dengan 10, tetapi nilai-nilainya tidak diketahui oleh responden.
Pemberian nilai ini berdasarkan jumlah tertentu pernyataan yang dipilih
oleh responden mengenai angket tersebut (Subana, 2000:24 dalam
Riduwan, 2012).

Adapun beberapa tingkatan kedalaman tingkat (Afianty et all., 2014)


1. Sikap baik, apabila responden dengan rentang nilai 37-50
2. Sikap cukup, apabila responden dengan rentang nilai 24-36
3. Sikap kurang, apabila responden dengan rentang nilai 10-23

2.2.6 Sikap Tentang Penyalahgunaan NAPZA


Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang
terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favourable)
maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavourable) pada
objek tersebut. Sikap dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor
internal dan eksternal. Faktor internal meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan
dan pengalaman. Faktor eksternal meliputi media massa, institusi pendidikan,
institusi agama dan masyarakat. Kepribadian remaja pada masa ini timbul
unsur baru yaitu kesadaran akan kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri.
Remaja mulai menentukan nilai-nilai tertentu dan melakukan penentuan sikap
terdahap pemikiran filosofi dan etis. Selain itu pada masa ini remaja
menemukan diri sendiri atau jadi dirinya. Sikap merupakan reaksi tertutup
bukan merupakan reaksi yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk
bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan
terhadap objek (Notoatmodjo, 2007 dalam Zaen, 2017).
Perwujudan dari perilaku dapat melalui pengetahuan dan sikap, namun
suatu sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan. Untuk mewujudkan
sikap menjadi tindakan perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau
18

kondisi yang memungkinkan, antara lain, fasilitas, dukungan pihak lain (teman,
sekolah, keluarga) (Maharti, 2015).
Berdasarkan hasil angket pada variabel sikap terhadap penyalahgunaan
NAPZA oleh (Fadillah et all., 2012), bahwa siswa yang memiliki pemahaman
NAPZA yang tinggi diikuti dengan sikap terhadap penolakan penyalahgunaan
NAPZA yang tinggi adalah siswa yang memiliki kecenderungan untuk tidak
menggunakan NAPZA atau menolak untuk menyalahgunakan NAPZA.

2.3 Tinjauan Umum Tentang Remaja


2.3.1 Pengertian
Remaja merupakan masa depan bangsa sebagai generasi muda, kaum
remajalah yang akan berperan penting dalam melanjutkan pembangunan
bangsa indonesia. Jumlah remaja yang besar merupakan potensi sumber daya
manusia yang sangat berharga apabila dapat dibina dengan baik, sebaliknya
potensi yang besar tersebut tidak dapat dibina dengan baik akan menimbulkan
berbagai persoalan serius seperti yang terjadi saat ini. Persoalan tersebut
antara lain penyalahgunaan narkotika, kenakalan remaja, kemahilan yang
tidak diinginkan dan permasalahan sosial lainnya yang amat berpengaruh
terhadap kesiapan remaja untuk menyongsong masa depan bangsa (BKKBN,
2001 dalam Amiruddin et all., 2012).
Remaja secara umum ditinjau dari segi umum belum memiliki alasan
yang jelas, karena untuk mencapai fase remaja ditentukan oleh berbagai
faktor seperti tempat dan lingkungannya, perkembangan jasmani dan rohani
yang berhubungan dengan system psikologis dan biologis yang erat
hubungannya dengan kemampuan ekonomis dan tingkat masyrakat (Anggoro,
2014).
Sarlito (2002: 20) berpendapat bahwa: “perkembangan pada hakikatnya
adalah usaha usaha diri (coping), yaitu untuk secara aktif mengatasi stress dan
mencari jalan keluar baru dari berbagai masalah” dalam proses penyesuaian
diri menuju kedewasaan.
Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Pada
masa ini, seseorang tidak mau dianggap sebagai anak-anak oleh lingkungan
19

sekitar namun jika dilihat secara fisik, psikologi serta mental belum nampak
tanda-tanda kedewasaan yang sesungguhnya (Razak dan Sayuti, 2006, dalam
Nur’artavia, 2017).
Batasan Usia Remaja berbeda-beda sesuai dengan sosial budaya daerah
setempat. WHO membagi kurun usia dalam 2 bagian, yaitu remaja awal 10-
14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun. Batasan usia remaja Indonesia 11-14
tahun dan belum menikah. Menurut Hurlock (2011) dalam Putri (2017), masa
remaja dimulai dengan masa remaja awal (12-24 tahun), kemudian
dilanjutkan dengan masa remaja tengah (15-17 tahun), dan masa remaja akhir
(18-21 tahun).

2.3.2 Tahapan Remaja


Menurut Sarwono (2011) dan Hurlock (2011) ada tiga tahap
perkembangan remaja, yaitu :
1. Remaja awal (early adolescence) usia 11-13 tahun
Seorang remaja pada tahap ini masih heran akan perubahan-
perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Remaja mengembangkan pikiran-
pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang
secara erotis. Pda tahap ini remaja awal sulit untuk mengerti dan
dimengerti oleh orang dewasa. Remaja ingin bebas dan mulai berfikir
abstrak.
2. Remaja Madya (middle adolescence) 14-16 tahun
Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan teman-teman. Remaja
merasa senang jika banyak teman yang menyukainya. Ada
kecenderungan yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-
teman yang mempunyai sifat yang sama pada dirinya. Remaja cenderung
berada dalam kondisi kebingungan karena iatidak tahu harus memilih
yang sama. Pada fase remaja madya ini mulai timbul keinginan untuk
berkencan dengan lawan jenis dan berkhayal tentang aktivitas seksual
sehingga mulai mencoba aktivitas-aktivitas seksual yang mereka
inginkan.
20

3. Remaja akhir (late adolesence) 17-20 tahun


Tahap ini adalah konsolidasi menuju periode dewasa yang ditandai
dengan pencapaian 5 hal, yaitu :
a) Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.
b) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang dan
dalam pengalaman-pengalaman yang baru
c) Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
d) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada dirinya sendiri.
e) Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya dan publik.

2.3.3 Karakteristik Perkembangan Sifat Remaja


Menurut Ali (2011), karakteristik perkembangan sifat remaja, yairu :
1. Kegelisahan
Sesuai dengan masa perkembangannya, remaja
mempunayai banyak angan-angan, dan keinginan yang ini
diwujudkan di masa depan. Hal ini menyebabkan remaja
mempunyai angan-angan yang sangat tinggi, namun kemampuan
yang dimiliki remaja belum memadai sehingga diliputi oleh
perasaan gelisah.
2. Pertentangan
Pada umumnya, remaja sering mengalami kebingungan
karena sering mengalami pertentangan antara dri sendiri dan orang
tua. Pertentangan yang sering mengalami pertentangan yang sering
terjadi ini akan menimbulkan kebingungan dalam diri remaja
tersebut.
3. Mengkhayal
Meinginan dan angan-angan remaja tidak tersalurkan,
akibatnya remaja akan mengkhayal, mencari kepuasan, bahkan
menyalurkan khayalan mereka melalui dunia fantasi. Tidak semua
khayalan remaja bersifat negatif. Terkadang khayalan remaja bisa
bersifat positif, misalnya menimbulkan ide-ide tertentu yang dapat
direalisasikan.
21

4. Aktivitas berkelompok
Adanya bermacam-macam larangan dari orang tua akan
mengakibatkan kekecewaan pada remaja bahkan mematahkan
semangat para remaja. Kebanyakan remaja mencari jalan keluar
dari kesulitan yang dihadapi dengan berkumpul bersama-sama
teman sebaya. Mereka akan melakukan suatu kegiatan secara
berkelompok sehingga berbagai kendala dapat mereka atasi
bersama.
5. Keinginan mencoba segala sesuatu
Pada umumnya remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi
(higt curiotly). Karena memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, remaja
cendrung ingin berpetualang, menjelajahi segala sesuatu, dan ingin
mencoba semua hal yang belum pernah dialami sebelumnya.

2.3.4 Perkembangan Remaja


1. Perkembangan Fisik
Perubahan fisik terjadi dengan cepat pada remaja.
Kematangan seksual sering terjadi seiring dengan perkembangan
seksual secara primer dan sekunder. Perubahan secara primer
berupa perubahan fisik dan hormon dan perempuan berbeda.
Pada anak laki-laki tumbuhnya kumis dan jenggot, jakun
dan suara membesar. Puncak kematangan seksual anak laki-laki
adalah dalam kemampuan ejakulasi, pada masa ini remaja sudah
dapat menghasilkan sperma. Ejakulasi ini biasanya terjadi pada saat
tidur dan diawali dengan mimpi basah.
Pada anak perempuan tampak perubahan pada bentuk tubuh
seperti tumbuhnya payudara dan panggul yang membesar. Puncak
kematangan pada remaja wanita adalah ketika mendapatkan
menstruasi pertama (menarche). Menstruasi pertama menunjukkan
bahwa remaja perempuan telah memproduksi sel telur yang tidak
dibuahi, sehingga akan keluar bersama darah menstruasi memalui
22

vagina atau alat kelamin wanita (Srwonno, 2011 dalam Putri,


2017).
2. Perkembangan emosi
Perkembangan emosi sangat berhubungan dengan
perkembangan hormon, dapat ditandai dengan emosi yang sangat
labil. Remaja belum bisa mengendalikan emosi yang dirasakannya
dengan sepenuhnya.
3. Perkembangan kognitif
Remaja mengembangkan kemampuannya dalam
menyelesaikan masalah dengan tindakan yang logis. Remaja dapat
berfikir abstrak dan menghadapi masalah yang sulit secara efektif.
Jika terlibat dalam masalah, remaja dapat mempertimbangkan
beragam penyebab dan solusi yang sangat banyak.
4. Perkembangan Psikososial
Perkembangan psikososial ditandai dengan terikatnya
remaja pada kelompok sebaya. Pada masa ini, remaja mulai tertarik
dengan lawan jenis. Minat sosialnya bertambah dan penampilannya
menjadi lebih penting dibandingkan sebelumnya. Perubahan fisik
yang terjadi seperti berat badan dan proporsi tubuh dapat
menimbulkan perasaan yang tidak menyenagkan seperti malu dan
tidak percaya diri (Potter & Perry, 2009 dalam Putri, 2017).

2.4 Tinjauan Umum Tentang NAPZA dan Penyalahgunaannya


2.4.1 Pengertian NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif
lainnya)
Narkoba atau Napza adalah obat/bahan/zat, yang bukan tergolong
makanan. Jika diminum, diisap, dihirup, ditelan atau disuntikkan,
berpengaruh terutama pada kerja otak (susunan saraf pusat), dan sering
menyebabkan ketergantungan. Akibatnya, kerja otak berubah (meningkat atau
menurun). Demikian pula fungsi vital organ tubuh lain (Martono & Joewana,
2006)
23

Awalnya kita dulu “sepakat” untuk menamai barang haram itu


‘narkoba’ dengan kepanjangan narkotika dan obat berbahaya. Lama-
kelamaan disadari bahwa kepanjangan narkoba tersebut keliru, sebab istilah
obat”berbahaya” dalam ilmu kedokteran adalah obat-obatan yang tidak boleh
dijual bebas karena pemberiannya dapat membahayakan bila tidak melalui
pertimbangan medis. Jenis obat seperti ini sangat banyak dan sifatnya tidak
tidak tergolong narkoba, misalnya antibiotik, obat jantung, obat darah tinggi,
dan sebagainya. Semua obat tersebut adalah obat berbahaya, tetapi bukan
narkoba ( Partodiharjo, 2011).
Narkoba adalah singkatan dari narkotika, psikotropika dan bahan adiktif
lainnya. Baik narkotika maupun psikotropika memiliki karakter yang
menyebabkan ketergantungan (adiktif). Namun ada juga jenis-jenis bahan
atau zat lain di luar narkotika dan psikotropika yang memiliki dampak adiktif.
Jenis-jenis tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kelompok bahan adiktif.
Adapun istilah NAPZA sama dengan istilah Narkoba, yakni narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya ( Direktorat Diseminasi Informasi Deputi
Bidang Pencegahan, 2017).

2.4.2 Jenis-jenis NAPZA


Narkoba dibagi dalam 3 jenis, yaitu narkotika, psikotropika, dan bahan
adiktif lainnya.
1. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya rasa.
Zat ini dapat mengurangi sampai mengilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasanyeri, dan dapat menimbulkan
24

ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan (Undang-


Undang nomor 35 tahun 2009).
Narkotika memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat.
Narkotika juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual
(kebiasaan) yang sangat tinggi. Ketiga sifat narkotika inilah yang
menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat lepas dari “cengkeraman”-
nya. Berdasarkan Undang-Undang No. 22 tahun 1997, jenis narkotika
dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan II,
dan golongan III.
Narkotika golongan I adalah narkotika yang paling berbahaya.
Daya adiktifnya sangat tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan untuk
kepentingan apa pun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan.
Contohnya adalah ganja, heroin, kokain, morfin, opium, dan lain-lain.
Narkotika golongan II adalah narkotika yang meimiiki daya adiktif
kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya
adalah petidin dan turunannya, benzetidin, betametadol, dan lain-lain.
Narkotika golongan III adalah narkotika yang memiliki daya
adiktif ringan, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian.
Contohnya adalah kodein dan turunannya (Partodiharjo, 2010).
2. Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah
maupun sintetis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas
pada aktivitas normal dan perilaku. Psikotropikaa adalah obat yang
digunakan oleh dokter untuk mengobati gangguan jiwa (psyche).
Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1997, psikotropika
dikelompokkan ke dalam 4 golongan, yaitu :
a. Golongan I : psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat,
hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan
tidak digunakan dalam terapi. Contohnya adalah MDMA, ekstasi,
shabu, dan LSD.
25

b. Golongan II : psikotropika dengan daya adiktif kuat serta


berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah
amfetamin, metamfetamin, metilfenidat.
c. Golongan III : psikotropika dengan daya adiksi sedang serta
berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah
lumibal, buprenorsina, flunitrazepam.
d. Golongan IV : psikotropika yang memiliki daya adiktif ringan
serta berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah
nitrazepam, diazepam, fenobarbital (Partodiharjo, 2010).
3. Zat Adiktif Lainnya
Golongan adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan
psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan, meliputi :
a. Minuman berakohol
Mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan
susunan saraf pusat, dan sering menjadi bagian dari kehidupan
manusia sehari-hari dalam kebudayaan tertentu. Jika digunakan
sebagai campuran dengan narkotika atau psikotropika, memperkuat
pengaruh obat/zat itu dalam tubuh manusia.
b. Inhalansia (gas yang dihirup) dan solven (zat pelarut) mudah
menguap berupa senyawa organik, yang terdapat pada berbagai
barang keperluan rumah tangga, kantor dan sebagai pelumas mesin.
c. Tembakau
Pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas di
masyarakat. Pada upaya penanggulangan NAPZA di masyarakat,
pemakaian rokok dan alkohol terutama pada remaja, harus menjadi
bagian dari upaya pencegahan, karena rokok dan alkohol sering
menjadi pintu masuk penyalahgunaan (Putri, 2017).

2.4.3 Penyalahgunaan NAPZA


Penyalahgunaan Narkoba adalah pengunaan narkoba yang dilakukan
tidak untuk maksud pengobatan, tetapi karena ingin menikmati pengaruhnya,
dalam jumlah berlebih yang secara kurang teratur, dan berlangsung cukup
26

lama, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, mental, dan


kehidupan sosialnya ( Martono, 2006).
Penyalahgunaan narkoba (drugs abuse) adalah suatu pemakaian non
medical atau ilegal barang haram yang dinamakan narkoba (narkotik dan
obat-obat adiktif) yang dapat merusak kesehatan dan kehidupan yang
produktif manusia pemakainya. Manusia pemakai narkoba bisa dari berbagai
kalangan, mulai dari level ekonomi tinggi hingga rendah, para penjahat,
pekerja, ibu-ibu rumah tangga, bahkan sekarang sudah sampai ke sekolah-
sekolah yang jelas-jelas terdiri dari para generasi muda, bahkan lebih khusus
lagi anak dan remaja (Willis, 2010).
Menurut pasal 1 UU RI No.35 Tahun 2009 Ketergantungan adalah
kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara
terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang
sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-
tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.

2.4.4 Penyebab Penyalahgunaan NAPZA


Penyebab penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks akibat interaksi
antara faktor yang terkait dengan individu, faktor lingkungan dan faktor
tersedianya zat (NAPZA). Tidak terdapat adanya penyebab tunggal (single
cause). Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyalahgunaan
NAPZA adalah sebagai berikut, Anisa Dwi Putri (2017) :
1. Faktor Individu
Kebanyakan penyalahgunaan NAPZA dimulai atau terdapat pada masa
remaja, sebab remaja yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik
maupun sosial yang pesat merupakan individu yang rentan untuk
menyalahgunakan NAPZA. Anak atau remaja dengan ciri-ciri tertentu
mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi penyalahguna NAPZA. Ciri-ciri
tersebut antara lain :
 Cenderung memberontak dan menolak otoritas.
 Cenderung memiliki gangguan jiwa lain (komorditas) seperti depresi,
cemas, psikotik, kepribadian dissosial.
27

 Perilaku menyimpang dari aturan atau norma yang berlaku.


 Rasa kurang percaya diri (low self-confidence), rendah diri dan
memiliki citra diri negatif (low self-esteem).
 Sifat mudah kecewa, cenderung agresif dan destruktif.
 Mudah murung, pemalu, pendiam.
 Mudah merasa bosan dan jenuh.
 Keingintahuan yang besar untuk mencoba atau penasaran.
 Keinginan untuk bersenang-senang.
 Keinginan untuk mengikuti mode karena dianggap sebagai lambang
keperkasaan dan kehidupan modern.
 Keinginan untuk diterima dalam pergaulan.
 Identitas diri yang kabur, sehingga merasa diri kurang “jantan”.
 Tidak siap mental untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga sulit
mengambil keputusan untuk menolak tawaran NAPZA dengan tegas.
 Kemampuan komunikasi rendah
 Kurang menghayati iman kepercayaannya.

2. Faktor Lingkungan :
Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan baik
disekitar rumah, sekolah, teman sebaya maupun masyarakat.
a. Lingkungan Keluarga
 Komunikasi orang tua-anak kurang baik.
 Hubungan dalam keluarga kurang harmonis.
 Orang tua bercerai, berselingkuh atau kawin lagi.
 Orang tua terlalu sibuk atau tidak acuh.
 Kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau teladan.
 Orang tua kurang peduli dan tidak tahu dengan masalah NAPZA.
 Tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah (kurang
konsisten).
 Kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah dalam
keluarga.
28

 Orang tua atau anggota keluarga yang menjadi penyalahguna


NAPZA.
b. Lingkungan Sekolah
 Sekolah yang kurang disiplin
 Sekolah yang terletak dekat tempat hiburan dan penjualan
NAPZA.
 Sekolah yang kurang memberi kesempatan pada siswa untuk
mengembangkan diri secara kreatif dan positif.
 Adanya murid pengguna NAPZA.
 Sekolah yang kurang memberi kesempatan pada siswa untuk
mengembangkan diri secara kreatif dan positif.
 Adanya murid pengguna NAPZA.
c. Lingkungan Teman Sebaya
 Berteman dengan penyalahguna.
 Tekanan atau ancaman teman kelompok atau pengedar.
d. Lingkungan Masyarakat/Sosial
 Lemahnya penegakan hukum.
 Situasi politik, sosial dan ekonomi yang kurang mendukung.

2.4.5 Gejala Penyalahgunaan NAPZA


Sulit sekali menemukan bukti di awal-awal anak memaki narkoba.
Biasanya menurut pengalaman orang banyak, baru bisa menemukan anak
telah menjadi korban narkoba setelah anak sudah sampai ke
tingkatkecanduan. Biasa 2 sampai 4 bulan sudah kecanduan sejak dari
memakai narkoba, tergantung sampai kapan anak itu dapat
“merahasiakannya” dari orang tua dan keluarganya. Deteksi dini pada
penyalahgunaan narkoba bukanlah hal ynag mudah, tapi sangat penting
artinya untuk mencegah berlanjutnya masalah tersebut. Beberapa keadaan
yang patut dikenali atau diwaspadai antara lain :
1. Kelompok Risiko Tinggi
Kelompok risiko tinggi adalah orang yang belum menjadi pemakai
atau terlibat dalam penggunaan narkoba tetapi mempunyai risiko untuk
29

terlibat hal tersebut, mereka disebut juga Potential User (calon


pemakai,golongan rentan). Sekalipun tidak mudah untuk mengenalinya,
namun seseorang dengan ciri tertentu (kelompok risiko tinggi)
mempunyai potensi lebih besar untuk menjadi penyalahgunaan narkoba
dibandingkan dengan yang tidak mempunyai ciri kelompok risiko tinggi.
Mereka mempunyai karakteristik sebagai berikut :
a. Anak
Gejala pada anak yang mempunyai risiko tinggi menyalahgunakan
narkoba antara lain :
1) Anak yang sulit memusatkan perhatian pada suatu kegiatan (tidak
tekun).
2) Anak yang sering sakit
3) Anak yang mudah kecewa
4) Anak yang mudah murung
5) Anak yang sudah merokok sejak sekolah dasar
6) Anak yang sering berbohong, mencari atau melawan tata-tertib
7) Anak dengan IQ taraf perbatasan (70-90)
b. Remaja
Gejala pada remaja yang mempunyai risiko tinggi menyalahgunakan
narkoba :
1) Remaja yang mempunyai rasa rendah diri, kurang percaya diri dan
mempunyai citra diri negatif
2) Remaja yang mempunyai sifat sangat tidak sabar
3) Remaja yang diliputi rasa sedih (depresi) atau cemas (ansietas)
4) Remaja yang cenderung melakukan sesuatu yang mengandung
risiko tinggi/bahaya
5) Remaja yang cenderung memberontak
6) Remaja yang kurang taat beragama
7) Remaja dengan motivasi belajar rendah
c. Keluarga
Gejala pada keluarga yang mempunyai risiko tinggi, antara lain :
1) Orang tua kurang komunikatif dengan anak
30

2) Orang tua yang terlalu mengatur anak


3) Orang tua yang terlalu menuntut anaknya secara berlebihan agar
berpretasi di luar kemampuannya
4) Orang tua yang kurang memberi perhatian pada anak karena
terlalu sibuk
5) Orang tua yang kurang harmonis, sering betengkar, orang tua
berselingkuh atau menikah lagi.
2. Pengenalan Gejala Dini Penyalahgunaan Obat
Mengenal seseorang apakah ia terlibat dalam penyalahgunaan obat
dapat merupakan persoalan yang amat sulit dan kadang-kadang dapat
menimbulkan perdebatan atau pertengkaran. Masalah ini menjadi lebih
sulit lagi dengan adanya stigma dalam masyarakat yang menyebabkan
individu selalu berusaha menyembunyikan kebiasaanya yang dianggap
buruk atau jahat. Pengalaman membuktikan bahwa hanya kalau sudah
agak lanjut saja barulah seorang penyalahguna obat datang untuk
meminta pertolongan, misalnya sesudah atau kalau sudah ketahuan orang
tuanya bahwa ia suka mencuri barang-barang di rumahnya untuk ditukar
dengan obat atau dijual. Hal lain yang mempersulit usaha pengenalan
adalah kecenderungan untuk poly – drug – use , artinyaseorang individu
menyalahgunakan lebih dari satu macam obat saja. Malahan ada pasien
yang meminum obat apa saja, hanya sekedar untuk merasakan efek untuk
mengalaminya.
3. Gejala Penyalahgunaan Narkoba
Biasanya orang mengetahui anaknya menggunakan narkoba selalu
ketika keadaanya sudah parah dan terlambat. Oleh karena itu, gejala awal
pengguna narkoba perlu diketahui dengan baik, secara umum pengguna
narkoba terdiri dari 4 tahap.
a. Tahap Awal : coba-coba
Mulanya hanya coba-coba, kemudian karena terjebak oleh 3 sifat
jahat narkoba, ia menjadi mau lagi dan lagi. Sangat sulit untuk
mengenali gejala awal pemakaian narkoba. Gejala awal ini hanya
31

dapat diketahui oleh ibu yang benar-benar akrab dengan anaknya.


Gejala tersebut adalah sebagai berikut :
1) Gejala Psikologis
Terjadi perubahan pada sikap anak. Orang tua yang peka dapat
merasakan adanya sedikit perubahan perilaku pada anak, yaitu
timbulnya rasa takut dan malu yang disebabkan oleh perasaan
bersalah dan berdosa. Anak menjadi lebih sensitif. Jiwanya resah
dan gelisah. Ia takut mengaku terus terang. Ingin terus
merahasiakan, ia merasa berdosa. Ia bingung. Kemanjaannya
hilang dan berkurang.
2) Pada Fisik
Perubahan tidak tampak pada tubuhanak. Tanda-tanda perubahan
pada tubuh sebagai dampak pemakaian narkoba belum terlihat.
Bila sedang memakai psikotropika stimulan, ekstasi, atau sabu,ia
tampak riang, gembira, hiperaktif, murah senyum dan ramah.
Bila sedang memakai narkotika jenis putaw, ia tampak tenang,
tenteram, tidak peduli pada orang lain. Bila tidak sedang
memakai, tidak ada gejala apa-apa.
b. Tahap kedua : pemula
Setelah tahap eksperimen atau coba-coba, lalu meningkat menjadi
terbiasa. Anak mulai memakai narkoba secara insidentil. Ia memakai
narkoba karena sudah merasakan kenikmatannya. Pada saat-saat yang
dianggap perlu, misalnya kalau hendak pergi ke pesata, pemakaian
menjadi lebih sering. Pada tahap ini, akan muncul gejala berikut :
1) Gejala Psikologis
Sikap anak menjadi lebih tertutup. Banyak hal yang tadinya
terbuka kini menajdi rahasia. Jiwanya resah, gelisah, kurang
tenang, dan lebih sensitif. Hubungannya dengan orang tua dan
saudara-sauranya mulai renggang, tidak lagi riang, cerah, dan
seria. Ia mulai tampak seperti menyimpan rahasia dan memiliki
satu atau beberapa teman akrab.
32

2) Pada Fisik
Tidak tampak perubahan yang nyata. Gejala pemakaian berbeda-
beda sesuai dengan jenis narkoba yang dipakai. Bila ketika
memakai ia menjadi lebih lincah, lebih riang, lebih percaya diri,
berarti ia memakai stimulan, sabu, atau ekstasi.
c. Tahap ketiga adalah tahap berkala
Setelah beberapa kali memakai narkoba sebagai pemakai insidentil,
pemakai narkoba terdorong untuk memakai lebih sering lagi. Selain
merasa nikmat, ia juga mulai merasakan sakaw kalau terlambat atau
berhenti mengonsumsi narkoba. Ia memakai narkoba pada saat
tertentu secara rutin. Pemakaian sudah menjadi lebih sering dan
teratur, misalnya setiap malam minggu, sebelum pesta, sebelum
tampil, atau sebelum belajar agar tidak mengantuk.
d. Tahap keempat adalah tahap tetap (madat)
Setelah menjadi pemakai narkoba secara berkala. Pemakai narkoba
akan dituntut oleh tubuhnya sendiri untuk semakin sering memakai
narkoba dengan dosis yang semakin tinggi pula. Bila tidak, ia akan
mengalami penderitaan (sakaw). Pada tahap ini, pemakai tidak dapat
lagi lepas dari narkoba sama sekali. Ia harus selalu memakai narkoba.
Tanpa narkoba, tidak dapat buat apa-apa. Hidupnya 100% tergantung
pada narkoba. Ia disebut pemakai setia, pecandu, pemadat, atau
junkies.
e. Remaja dan Narkoba
Remaja yang terlibat narkoba biasanya mengalami gangguan
fungsi kerja tubuh dan perilaku dikarenakan oleh zat adiktif/candu
yang terkandung dalam berbagai jenis narkoba. Mereka tidak dapat
mengendalikan diri untuk berhenti begitu saja, sehingga
menghilangkan kontrol sosial mereka. Keadaan seperti ini membuat
mereka siap melakukan apa saja untuk mendapatkan narkoba. Inilah
yang membentuk karakteristik para pemakai narkoba.
Sebenarnya sangat tidak mudah untuk dapat memahami para
penyalahguna narkoba karena mengingat kompleksitas permasalahan
33

dari narkoba dan juga permasalahan yang cukup kompleks dari


manusia itu sendiri. Ada beberapa karakteristik yang dapat diamati
dari penyalahgunaan narkoba antara lain :
1) Usia Penyalahguna Pemakai Narkoba
Bersadarkan penelitian, kebanyakan penyalahguna narkoba
adalah mereka yang termasuk kelompok usia remaja atau
pemuda. Pada usia ini secara kejiwaan masih sangat labil, mudah
terpengaruh oleh lingkungan dan sedang mencari identitas diri
serta senang memasuki kehidupan kelompok. Tetapi
penyalahguna ini tidak hanya dimonopoli oleh remaja namun
siapa saja termasuk anak-anak dan ekssekutif muda.
2) Kepribadian Penyalahguna Pemakai Narkoba
Biasanya mereka yang mudah terkena adalah mereka yang
mempunyai kepribadian “berisiko tinggi” dengan ciri-ciri :
- Kekanak-kanakan
- Tidak dapat menunda suatu keinginan/perbuatan atau tidak
sabaran
- Mempunyai toleransi frustasi yang rendah
- Senang mengambil risiko
- Cenderung memiliki kepribadian yang tertutup (introvert)
3) Alasan Penyalahgunaan
Alasan menyalahgunakan narkoba ada bermacam-macam
diantaranya adalah :
- Secara fisik : ingin santai, ingin aktif, menghilangkan rasa
sakit, lebih kuat, lebih berani, lebih gagah, dan sebagainya.
- Secara emosional : pelarian, mengurangi ketegangan, balas
dendam
- Secara intelektual : bosan dengan kerutinan, coba-coba, suka
menyelidiki
- Antar pribadi : ingin diakui, menghilangkan rasa canggung
34

4) Karakteristik Keluarga
Keluarga penyalahguna narkoba mempunyai karakteristik yang
bervariasi, dari keluarga tukang becak atau buruh, tunawisma,
anak jalanan, pegawai negeri, penguasaha, konglomerat, pejabat
tinggi, petani, guru atau dosen. Dari beberapa latar belakang
keluarga tersebut dapat dicirikan penyebab latar belakang
keluarga penyalahguna antara lain :
- Pola komunikasi yang tidak baik
- Pola pendidikan yang tidak pas
- Penerjemahan kasih sayang dengan materi yang berlebihan
- Keluarga pecah atau semu
- Keluarga yang tidak dapat mengatakan tidak atau senantiasa
tidak
- Kebutuhan psikologis yang kurang
5) Nilai Sosial Obat
Salah satu kebutuhan manusia selain kebutuhan fisik adalah
kebutuhan psikososio-religius, misalnya rasa diakui, rasa bebas,
rasa diperhatikan, dianggap modern. Ternyata obat-obatan yang
dislahgunakan memberikan kebutuhan-kebutuhan tersebut, yaitu
apa yang disebut dengan nilai sosial obat. Meskipun sebenarnya
bersifat semu, karena ketika pengaruh obat hilang maka ia akan
kembali seperti semula.
6) Pengaruh Kelompok Sebaya
Masa remaja adalah masa memasuki kelompok, kelompok
merupakan lingkungan yang utama, sehinggaremaja akan
mempunyai berbagai macam kegiatan kelompok seperti sahabat
karib, klik, kelompok yang lebih besar, kelompok formal dan
geng. Kelompok akhir inilah yang sering berkaitan dengan
masalah penyelahgunaan narkoba.
35

2.4.6 Faktor-Faktor yang Mendorong Penyalahgunaan NAPZA


Beberapa faktor yang menyebabkan peserta didik menyalahgunakan
narkoba :
1. Pengaruh kelompok bermain
Pada usia remaja, seorang anak biasanya memiliki kebutuhan yang
kuat untuk berteman dan diakui didalam kelompoknya. Kelompok
bermain yang memberikan pengaruh negatif dapat menyebabkan seorang
anak untuk bersikap anti sosial seperti menyalahgunakan narkoba.
2. Rasa Bosan
Banyak remaja yang tidak memiliki kegiatan yang dapat
menyalurkan energi dan waktu mereka. Rasa bosan dan waktu yang
luang yang tidak dimanfaatkan dengan baik dapat menyebabkan mereka
menyalahgunakan narkoba.
3. Kurangnya kemampuan dalam mengatasi masalah
Beberapa remaja mungkin mempunyai masalah dirumah atau di
sekolah. Contohnya adalah masalah dengan orang tua, nilai sekolah yang
kurang memuaskan, dan masalah dengan teman bermain atau guru. Hal
ini dapat menyebabkan perasaan frustasi, kegelisahan, depresi, putus
harapan, atau tidak merasa berharga. Ketidakmampuan mengatasi
masalah-masalah ini dapat menyebabkan penyalahgunaan narkoba
sebagai cara mereka “melarikan diri”.
4. Kurangnya pengawasan orang tua
Kuarng atau bahkan tidak adanya sama sekali pengawasan dari
orang tua dapat menjadikan peserta didik menjadi rentan akan pengaruh
negatif.
5. Rasa ingin tahu
Rasa ingin tahu pada remaja khususnya ketika berada dalam
kelompok sering meningkatkan rasa penasaran mereka untuk merasakan
sensasi-sensasi baru yang belum pernah rasakan seperti narkoba.
36

2.4.7 Tanda-tanda Seseorang Menyalahgunakan NAPZA


1. Perubahan Perilaku
 Lingkungan pertemanan yang tiba-tiba berubah
 Nilai pelajaran yang tiba-tiba menjadi lebih jelek dari sebelumnya
 Tiba-tiba menjauh dari lingkungan sekitarnya
 Sering berbohong
 Sering berubah emosi secara drastis. Misalnya di satu saat terlihat
merenung dan pasif kemudian tiba-tiba marah
 Bereaksi berlebihan ketika sedikit dikritik
 Mengelak dan malah menyalahkan orang lain saat melakukan
kesalahan
 Tidak disiplin pada diri sendiri
 Perubahan pola tidur
 Gelisah. Kegelisahan ditandai dengan sikap gelisah, ketakutan yang
luar biasa dan perilaku obsesif.
 Menghabiskan uang banyak dan terus mengeluh tentang masalah
keuangan
 Suka baradu mulut
 Menjauh dari lingkungan keluarga secara tiba-tiba
 Waktu tidur yang tidak biasa dan melakukan kegiatan di waktu yang
tidak biasa
 Menghilang dalam waktu yangcukup lama
2. Indikator Lingkungan
 Menyemprotkan pewangi ruangan yang berlebihan untuk
mengilangkan bau narkoba
 Bau yang mencurigakan di baju dan nafas mulut
 Ditemukannya tempat penyimpangan dan pembungkus yang
mencurigakan
 Hilangnya uang
 Hilangnya barang berharga
 Sengaja merahasisakan telepon atau pesan di ponsel
37

 Melarikan diri dari rumah

2.4.8 Akibat Penyalahgunaan NAPZA


1. Bagi Diri Sendiri
a. Terganggunya fungsi otak dan perkembangan normal remaja:
 Daya ingat sehingga mudah lupa;
 Perhatian sehingga sulit berkonsentrasi;
 Perasaan sehingga tak dapat bertindak nasional dan impulsif;
 Persepsi sehingga memberi perasaan semu/khayal;
 Motivasi sehingga keinginan dan kemampuan belajar merosot,
persahabatan rusak, minat, dan cita-cita semula padam.
Oleh karena itu, narkoba menyebabkan perkembangan mental-
emosional dan sosial remaja terhambat. Bahkan, ia mengalami
kemunduran perkembangan.
b. Intoksikasi (keracunan), yaitu gejala yang timbul akibat pemakaian
narkoba dalam jumlah yang cukup berpengaruh pada tubuh dan
perilakunya. Gejalanya bergantung jenis, jumlah, dan cara
penggunaan.
c. Overdosis (OD), dapat menyebabkan kematian karena terhentinya
pernapasan (heroin) atau perdarahan otak (amfetamin, sabu). OD
terjadi karena toleransi maka perlu dosis yang lebih besar, atau
karena sudah lama berhenti pakai, lalu memakai lagi dengan dosis
yang dahulu digunakan.
d. Gejala putus zat, yaitu gejala ketika dosis yang dipakai berkurang
atau dihentikan pemakaiannya. Berat ringan gejala bergantung jenis
zat, dosis, dan lama pemakaian.
e. Berulang kali kambung, yaitu ketergantungan yang menyebabkan
craving (rasa rindu pada narkoba), walaupun telah berhenti pakai.
Narkoba dan perangkkatnya, kawan-kawan, suasana, dan tempat-
tempat penggunaanya dahulu mendorongnya untuk memakai
narkoba kembali.
38

f. Gangguan perilaku/mental-sosial, sikap acuh tak acuh, sulit


mengendalikan diri, mudah tersinggung, marah, menarik diri dari
pergaulan, hubungan dengan keluarga dan sesama terganggu.
g. Gangguan kesehatan, yaitu kerusakan atau gangguan fungsi organ
tubuh seperti hati, jantung, paru, ginjal, kelenjar endokrin, alat
reproduksi, infeksi hepatitis B/C (80%), HIV/AIDS (40-50%),
penyakit kulit dan kelamin, kurang gizi, dan gigi berlubang.
h. Kendornya nilai-nilai, mengendornya nilai-nilai kehidupan agama,
sosial, budaya, seperti perilaku seks bebas. Sopan santun hilang.
i. Keuangan dan hukum, yaitu keuangan menjadi kacau, karena harus
memenuhi kebutuhannya akan narkoba. Itu sebabnya ia mencuri,
menipu, dan menjual barang-barang milik sendiri atau orang lain.
Jika masih sekolah, uang sekolah digunakan untuk membeli
narkoba sehingga ia terancam putus sekolah, di samping nilai-nilai
rapor yang merosot. Ia juga terkena sanksi hukuman.
2. Bagi Keluarga
Suasana hidup nyaman dan tenteram menjadi terganggu.
Membuat keluarga resah karena barang-barang berharga di rumah
hilang. Anak berbohong, mencuri, menipu, bersikap kasar, acuh tak
acuh dengan urusan keluarga, tidak bertanggung jawab, hidup
semaunya, dan asosial.
Orang tua malu karena memiliki anak pecandu, merasa bersalah,
tetapi juga sedih dan marah. Perilakunya ikut berubah sehingga fungsi
keluarga terganggu. Mereka berusaha menutupi perbuatan anak agar
tidak diketahui oleh orang luar.
Orang tua menjadi putus asa karena masa depan anak tidak jelas.
Anak putus sekolah atau menganggur, karena dikeluarkan dari sekolah
atau pekerjaan. Stres meningkat dan membuat kehidupan ekonomi
morat-marit
3. Bagi Sekolah
Narkoba merusak disiplin dan motivasi yang sangat penting bagi
proses belajar. Siswa penyalahguna narkoba mengganggu suasana
39

belajar-mengajar di kelas dan prestasi belajar turun drastis.


Penyalahgunaan narkoba juga berkaitan dengan kenakalan dan putus
sekolah. Kemungkinan siswa penyalahguna membolos lebih besar
daripada siswa lain.
4. Bagi Masyarakat, Bangsa, dan Negara
Mafia perdagangan gelap selalu berusaha memasok narkoba.
Terjalin hubungan antara pengedar/bandar dan korban sehingga tercipta
pasar gelap. Oleh karena itu, sekali pasar terbentuk, sulit memutus mata
rantai kesinambungan pembangunan terancam. Negara menderita
kerugian karena masyarakatnya tidak produktif dan tingkat kejahatan
meningkat. Belum lagi sarana dan prasarana yang harus disediakan
(Jaowana, 2006).
40

2.5 Kerangka Teori Penelitian


Skema kerangka teori penelitian gambaran tingkat pengetahuan dan
sikap pelajar tentang penyalahgunaan NAPZA di SMP Kristen Atambua.

Skema 2.1 Kerangka Teori Penelitian.

Faktor Individu Bagi Diri Sendiri

1. Perilaku menyimpang Terganggunya


dari aturan atau norma fungsi otak dan
yang berlaku
perkembangan
2. Keinginan untuk
diterima dalam normal remaja
pergaulan

PENYALAHGUNAAN
Bagi Keluarga
NAPZA
Suasana
Faktor Lingkungan :
hidupnyaman dan
1. Lingkungan Keluarga tenteram menjadi
2. Lingkungan Sekolah terganggu
3. Lingkungan Teman
Sebaya
4. Lingkungan
Masyarakat/Sosial Bagi Sekolah

Merusak disiplin
dan motivasi yang
sangat penting
bagi sptoses
Faktor Lain belajar

Bagi
Masyarakat,Bangsa
PENGETAHUAN SIKAP PERILAKU dan Negara
C1 (Tahu) Negara menderita
C2 (Memahami) kerugian karena
masyarakat tidak
C3 (Aplikasi) produktif dan tingkat
kejahatan meningkat
Notoatmodjo
(2007) dalam
Putri (2017).
41

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan rangkuman dari kerangka teori yang telah


dibuat dalam bentuk skema yang menghubungkan antara variabel yang
diteliti dan variabel lainnya yang terkait (Sastroasmoro & Ismail, 2010).

Skema 2 Kerangka konsep penelitian Gambaran Tingkat Pengetahuan dan


Sikap Pelajar TentangPenyalahgunaan NAPZA di SMP Kristen Atambua
Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur.

Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian.

Tingkat
pengetahuan
tentang
penyalahgunaan
NAPZA :

- Tahu (C1) Baik


- Memahami
(C2)
- Aplikasi (C3)
Cukup

Sikap :

1. Menerima Kurang
2. Merespon
3. Menghargai

3.2 Definisi Operasional

Definisi Operasional adalah batasan atau pengertian secara operasional


tentang variabel-variabel yang diamati atau yang terdapat dalam kerangka
42

konsep yang dikembangkan oleh penelti (Hermanto 2010, dalam Anugrahini


2010).

Definisi operasional disusun untuk memberikan pemahaman yang sama


tentang pengertian variabel yang diukur dan untuk menentukan metode
penelitian yang akan digunakan dalam analisa data, maka dibuat definisi
operasional dari masing-masing variabel yang dapat dilihat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Definisi Operasional.

No Variabel Defenisi Cara ukur dan Hasil ukur Skala


operasional alat ukur

1. Tingkat Pengetahuan adalah Menggunakan 1. Kategori baik Nomin


pengetahuan apa yang diketahui kuesioner dengan bila 76-100 % al
pelajar oleh responden 20 pernyataan soal di jawab
tentang mengenai batasan menggunakan benar
penyalahguna (pengetahuan), Pernyataan benar 2. Kategori cukup
an NAPZA jenis, cara dan salah : bila 56-75 %
memperoleh, cara Benar, nilainya 1 soal di jawab
mempergunakannya Salah, nilainya 0 benar
, gejala-gejala, 3. Kategori kurang
pengobatan, latar bila <56 % soal
belakang seseorang di jawab benar
menjadi pengguna (Arikunto,
dan pencegahan 2006)
penyalahgunaan
NAPZA (Putri,
2017)
2. Sikap pelajar Sikap adalah respon Diperoleh dari 1. Kategori Baik Likert
tentang positif atau negatif masing-masing 10 apabila
penyalahguna dari seseorang pertanyaan dan responden
an NAPZA responden atau nilai yang memperoleh
informasi terhadap diberikan nilai 37-50
apa yang diketahui tergantung dari 2. Kategori cukup
tentang pertanyaan, apabila
penyalahgunaan dimana : responden
NAPZA yang - Sangat Setuju 5 memperoleh
43

diperoleh dari - Setuju 4 nilai 24-36


pertanyaan- - Ragu-ragu 3 3. Kategori kurang
pertanyaan yang - Tidak setuju 2 apabila
diajukan oleh - Sangat Tidak responden
penelitian setuju 1 memperoleh
(Putri,2017). nilai 10-23
(Afianty et all.,
2014).

3.3 Desain Penelitian

Desain penelitian adalah keseluruhan dan perencanaan untuk menjawab


peneliti dan mengantisipasi beberapa kesulitan (Nursalam, 2008).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kuantitatif dengan


metode deskriptif yang bertujuan untuk mengekspresikan Gambaran Tingkat
Pengetahuan dan Sikap Pelajar Tentang Penyalahgunaan NAPZA di SMP
Kristen Atambua Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur.

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari objek peneliti atau objek yang


diteliti (Nursalam, 2018). Populasi penelitian ini adalah Siswa kelas
VII, VIII, dan IX SMP Kristen Atambua terhitung mulai bulan
September sampai November 2018 dengan jumlah 258 siswa/i.

3.4.2 Sampel

Sampel adalah subset atau bagian populasi yang diteliti


(Sastroasmoro, 2010). Teknik sampling yang digunakan dalam
pengambilan sampel adalah simple random sampling. Stratifed Random
Sampling adalah teknik pengambilan sampel dengan populasi yang
memiliki strata atau tingkatan dan setiap tingkatan memiliki
karakteristik sendiri (Siregar, 2013). Sampel dalam penelitian ini adalah
44

responden yang memenuhi kriteria inklusi di SMP Kristen Atambua


Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur.

1. Kriteria Inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian pada


populasi target dan populasi terjangkau (Sastroasmoro, 2010),
kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
a. Siswa/i yang bersedia menjadi responden
b. Siswa/i yang sedang aktif mengikuti pendidikan di SMP Kristen
Atambua
2. Kriteria Eksklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian tidak
dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai
sampel. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :
a. Siswa/i yang ijin
b. Siswa/i yang alpha
c. Siswa/i yang cuti

3.4.3 Besar Sampel


Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus jumlah
sampel menurut (Notoadmodjo, 2007), yaitu populasi kecil atau lebih
kecil dari 10.000, dengan rumus sebagai berikut
𝑁
n =
1+𝑁(d2 )

Keterangan :
n = Besar sampel yang di inginkan
N = Besarnya populasi yang diteliti
D = Derajat akurasi yang di inginkan (5 %)
Besar populasi yang peneliti gunakan adalah. dengan demikian
penghitungan besar sampel secara matematis adalah sebagai berikut :

Dik : N = 258 0rang

d = 5 % = 0,05
45

Dit : n = .......... ?

Jawab :

258
n=
1+ 258 (0,052 )

258
n=
1+258(0,0025)

258
n=
1+0.64

258
n= = 157,317073 = 157 (Dibulatkan)
1,64

Untuk mengantisipasi kemungkinan responden yang drop out maka


hasil penghitungan tersebut perlu di tambahkan 10 %. Jadi 157 x 10% =
173. Maka total keseluruhan sampel dalam penelitian ini adalah 173
responden.

Maka besar sampel setelah dihitung dengan rumus didapatkan 173


responden. Kemudian besar sampel dihitung lagi menggunakan teknik
proporsi dengan rumus (Sugiyono, 2014 dalam Zaen, 2017).

𝑋
n= NI
𝑁

Keterangan :

n : Jumlah sampel yang diinginkan setiap strata


N : Jumlah seluruhpopulasi siswa di SMP Kristen Atambua
X : Jumlah populasi pada setiap strata
NI : Sampel
Berdasarkan rumus tersebut jumlah sampel dari masing-masing
kelas adalah :

27
Kelas VII A : x 173 = 18,20 = 18 siswa
258
46

31
Kelas VII B : x 173 = 20,78 = 21 siswa
258

28
Kelas VII C : x 173 = 18,77 = 19 siswa
258

26
Kelas VII D : x 173 = 17,43 = 17 siswa
258

25
Kelas VIII A : x 173 = 16,86 = 17 siswa
258

26
Kelas VIII B : x 173 = 17,43 = 17 siswa
258

26
Kelas VIII C : x 173 = 17,43 = 17 siswa
258

24
Kelas XI A : x 173 = 16,09 = 16 siswa
258

22
Kelas XI B : x 173 = 14,75 = 15 siswa
258

23
Kelas XI C : x 173 = 15,42 = 15 siswa
258

3.5 Tempat Penelitian


Dalam penelitian ini peneliti mengambil lokasi di SMP Kristen
Atambua Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur.

3.6 Waktu Penelitian


Penelitian ini di laksanakan selama tiga minggu, minggu ke tiga bulan
Desember dan minggu ke empat bulan Desember 2018.

3.7 Etika Penulisan


Etik atau Etika adalah prinsip tentang perilaku yang benar, yang
mewakili nilai-nilai dasar kemanusiaan. Semua penelitian kesehatan yang
47

mengikutsertakan relawan manusia sebagai subjek penelitian wajib di


dasarkan pada prinsiptik. Menurut Nursalam (2008) dalam melakukan
penelitian peneliti harus memperhatikan masalah etika penelitian ini meliputi:
1. Lembar Persetujuan Responden (informed consent)
Penelitian memberikan informasi kepada sampel penelitian tentang tujuan
dan keikutsertaan dalam penelitian. Bagi yang setuju berpartisipasi dalam
penelitian diminta untuk menandatangani lembar persetujuan penelitian
(Informed Consent).
2. Kerahasiaan
Kerahasiaan responden di jamin oleh peneliti dengan cara tidak
mencantumkan nama sampel penelitian dalam kuesioner. Data penelitian
di simpan dalam komputer pribadi peneliti dan kuesioner dalam tempat
yang terkunci dan pemusnahan dilakukan dengan cara di bakar.
3. Kerahasiaan informasi (confidentiality)
Merupakan masalah etika dengan menjamin kerahasiaan dari hasil
penelitian baik informasi maupun masalah-maslah lainnya. Semua
informasih yang telah di kumpulkan di jamin kerahasiaannya oleh peneliti.
Hanya sekelompok data tertentu yang di laporkan pada hasil riset.

3.8 Alat Pengumpulan Data


Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah instrument berupa
daftar pertanyaan atau kuesioner yang diadopsi dari Aprian Zam Zaen (2017)
dengan tingkat validitas dan reliabilitas yang dilakukan oleh penelitian
terdahulu.. Hasil perhitungan dengan Alpha Cronbach dinyatakan realibel jika
ᾳ > 0. 60, dari hasil perhitungan didapatkan ᾳ 0.926 maka di nyatakan
instrumen yang digunakan valid dan realibel.

Tabel 3.2 Kisi-kisi kuesioner


Komponen Pengetahuan Nomor Soal
C1 (Tahu) 1,2,5,12,19
C2 (Memahami) 9,11,20
C3 (Aplikasi) 34,6,7,8,10,13,14,15,16,17,18
48

Komponen Sikap Nomor Soal


Menerima 2,3,5,7,8,9
Merespon 1,2,5
Menghargai 3,4,6,10

3.9 Prosedur Pengambilan Data


Prosedur pengumpulan data yang di laksanakan oleh peneliti adalah :
3.9.1 Prosedur Administrasi
1) Mengajukan ijin ke Kepala SMP Kristen Atambua
2) Menyiapkan kelengkapan instrumen
3.9.2 Prosedur Teknis
1) Koordinasi dengan Wali Kelas di ruangan yang bersangkutan
tentang persiapan yang akan dilakukan.
2) Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan latar belakang tujuan
dan manfaat penelitian pada siswa/i dan selanjutnya responden
menandatangani lembar persetujuan dan mengisi kuesioner yang
telah di berikan oleh peneliti.
3) Lama pengisian 15-30 menit pada waktu istirahat.
4) Peneliti mengumpulkan dan melakukan pengecekan ulang apakah
masih ada yang belum isi setelah itu baru dilakukan validasi
kembali.

3.10 Pengolahan dan Analisa Data


Pengolahan analisa data terdiri dari pengolahan data dan metode
analisa data yang di gunakan.
3.10.1 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan berdasarkan empat tahapan pengolahan
data (Hartono, 2007 dalam Anugrahini 2014) yaitu :
1) Editing
Memeriksa ulang isian formulir atau kuesioner kelengkapan
pengisian jawaban, kejelasan responden dan kesesuaian
jawaban responden agar dapat di olah dengan baik.
49

2) Coding
Peneliti memberikan kode pada setiap jawaban dengan
mengkonvensi pernyataan kedalam data.
3) Processing
Peneliti meng-entry data paket program computer semua
kuesioner yang telah terisi penuh dan benar, dan sudah di beri
kode.
4) Cleaning
Memeriksa kembali data yang telah di masukkan kedalam
computer untuk memastikan data telah bersih dari kesalahan
baik pada waktu pemberian kode maupun pembersihan skor
data. Semua data bersih dan tidak di temukan missing data.

3.10.2 Proses Analisa Data


Analisa data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan Univariat yaitu menganalisa terhadap tiap variabel dari
hasil tiap penelitian untuk menghasilkan distribusi frekuensi dan
presentase dari tiap variabel (Notoadmodjo, 2007). Selanjutnya hasil
untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap pelajar, maka di
tunjukkan dengan persentase melalui perhitungan dengan kriteria
penilaian sebaagai berikut :
1. Pengetahuan
Kategori baik bila 76-100 % soal di jawab benar
Kategori cukup bila 56-75 % soal di jawab benar
Kategori kurang bila <56 % soal di jawab benar
(Arikunto, 2006 dalam Leto, 2017)

a. Adapun Rumus untuk mengetahui skor persentase :

X
P= x 100 %
N

Keterangan :
50

P : persentase

X : jumlah jawaban yang benar

N : jumlah seluruh item soal

b. Rumus persentase untuk jumlah responden menurut tingkat


pengetahuan :

Skor persentase =

jumlah responden menurut tingkat pengetahuan X 100 %

Jumlah responden

2. Sikap
Kategori Baik apabila responden memperoleh nilai 37-50
Kategori cukup apabila responden memperoleh nilai 24-36
Kategori kurang apabila responden memperoleh nilai 10-23
(Afianty, et all. 2014).

a. Adapun Rumus untuk mengetahui skor persentase :

X
P= x 100 %
N

Keterangan :

P : persentase

X : jumlah jawaban yang benar

N : jumlah seluruh item soal


51

b. Rumus persentase untuk jumlah responden menurut tingkat


sikap:

Skor persentase =

jumlah responden menurut tingkat sikap X 100 %

Jumlah responden

``

Anda mungkin juga menyukai