Anda di halaman 1dari 59

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut World Health Organization stroke adalah gangguan fungsional otak yang
terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global yang
berlangsung lebih dari 24 jam atau dapat menimbulkan kematian, disebabkan oleh gangguan
peredaran darah otak. Kasus stroke di Indonesia menunjukkan peningkatan, baik dalam
kejadian, kecacatan, maupun kematian. Insidens stroke terbesar 51.6/100.000 penduduk.
Menurut Riskesdas tahun 2018, prevalensi stroke pada penduduk umur ≥15 tahun semakin
meningkat seiring bertambahnya usia, terbanyak dimulai sekitar usia 45 tahun hingga 75
tahun. Pasien dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak yaitu 11% dibandingkan pasien
perempuan yaitu 10,9%
Factor risiko pada stroke ada yang tidak dapat di modifikasi seperti usia, jenis
kelamin, ras, hereditas dan yang dapat dimodifikasi seperti hipertensi, diabetes mellitus,
penyakit jantung, obesitas, alcohol, stress, penyalahgunaan obat. Klasifikasi stroke hemoragik
dibagi 2 yaitu perarahan intraserebral dan perdarahan subarachnoid. Perdarahan intraserebral
biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma (Berry aneurysm) akibat hipertensi arterial.
Peningkatan tekanan darah patologis merusak dinding pembuluh darah arteri yang kecil,
menyebabkan mikroaneurisma (aneurisma charcot) yang dapat rupture spontan. Penyebab
tersering perdarahan subarachnoid spontan adalah rupture aneurisma salah satu arteri di dasar
otak, pecahnya aneurisme sakuler (berry) pada 80 % kasus non traumatik. Salah satu ciri
stroke adalah timbulnya gejala sangat mendadak dan jarang didahului oleh gejala
pendahuluan (warning signs) seperti sakit kepala, mual, muntah, dan sebagainya.
Manifestasi perdarahan intraserebral bergantung pada lokasinya. Perdarahan ganglia
basalia dengan kerusakan kapsula interna biasanya menyebabkan hemiparesis kontralateral
berat, sedangkan perdarahan pons menimbulkan tanda-tanda batang otak. Perdarahan
subarakhnoid sering bersifat residif selama 24-72 jam pertama, dan dapat menimbulkan
vasospasme serebral hebat disertai infark otak. Alat yang sering digunakan untuk
mengklasifikasikan keparahan PSA adalah Hunt and Hess Classification Grading Scale.
Pemeriksaan CT scan dapat dilakukan untuk membedakan stroke iskemik dan stroke
hemoragik. Tujuan dari penatalaksanaan stroke secara umum adalah menurunkan morbiditas
dan menurunkan tingkat kematian serta menurunnya angka kecacatan. Salah satu upaya yang
berperan penting untuk mencapai tujuan tersebut adalah pengenalan gejala-gejala stroke dan
penanganan stroke secara dini
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi Pembuluh Darah Otak

Gambar 1. Sirkulus Arteriosus Willisi (Guideline Stroke, 2011)

Sirkulasi darah ke otak ada sirkulasi anterior dan sirkulasi posterior. Sirkulasi
anterior adalah a.karotis komunis dengan cabang distalnya yaitu a.karotis internal, a. serebri
media dan a. serebri anterior. Sirkulasi posterior adalah a.vertebrobasilar yang berasal dari
a.vertebralis kanan dan kiri dan kemudian bersatu menjadi a.basilaris dan seluruh
percabangannya termasuk cabang akhirnya yaitu a.serebri posterior kanan dan kiri.
(Guideline Stroke, 2011)
Ada tiga sirkulasi yang membentuk sirkulus Willisi di otak. Ketiga sirkulasi tersebut adalah :
1. sirkulasi anterior terdiri dari a.serebri media, a.serebri anterior dan a.komunikans
anterior yang menghubungkan kedua arteri serebri anterior
2. sirkulasi posterior yang terdiri dari a.serebri posterior dan
3. a.komunikans posterior yang menghubungkan a. serebri media dengan a.serebri
posterior.
Kegunaan dari sirkulus Willisi ini adalah untuk proteksi terjaminnya pasokan darah ke
otak, apabila terjadi sumbatan disalah satu cabang. Contohnya bila terjadi sumbatan parsial

2
pada proksimal dari a. serebri anterior kanan, maka a. serebri kanan ini akan menerima darah
dari a. karotis komunis lewat a.serebri anterior kiri dan a. komunikans anterior.
A.serebri anterior memperdarahi daerah medial hemisfer serebri, lobus frontal bagian
superior dan lobus parietal bagian superior. A. serebri media memperdarahi daerah frontal
inferior, parietal inferolateral dan lobus temporal bagian lateral. A.serebri posterior
memperdarahi lobus oksipital dan lobus temporal bagian medial. Batang otak diperdarahi
secara eksklusif dari sirkulasi posterior. Medula oblongata menerima darah dari a.vertebralis
melalui a.perforating medial dan lateral, sedangkan pons dan midbrain (mesensefalon)
menerima darah dari a.basilaris lewat cabangnya yaitu a.perforating lateral dan medial.
(Soertidewi, 2009)
Serebelum mendapat darah dari tiga pembuluh darah serebelar, yaitu
1. a.serebelar posterior inferior (PICA) yang merupakan akhir dari cabang a. vertebralis,
2. a. serebelar anterior inferior (AICA) yang merupan cabang pertama dari a.basilaris,
3. a.serebelar superior (SCA) yang merupakan cabang akhir dari a.basilaris.
Basal ganglia diperdarahi oleh a.lentikulostriata kecil percabangan dari a.serebri media,
talamus diperdarahi oleh a.perforating thalamogeniculata yang merupakan cabang dari
a.serebri posterior. Genu internal capsula diperdarahi oleh a.lenticulostriate anteromedial atau
disebut juga rekuren a.Heubneur.
Cabang intrakranial pertama dari arteri karotis internal adalah a.optalmika dan cabang
pertama dari a.basilar adalah a. serebelar anterior inferior (AICA). Pada bagian medial antara
a.serebral posterior dan a.serebelar superior keluar saraf kranial III sedangkan dari bagian
lateralnya keluar saraf kranial VI. Oleh karenya bila ada aneurisma dari pembuluh darah
tersebut, akan mengganggu saraf kranial III atau VI itu.

Fisiologi Otak
Jumlah aliran darah ke otak (CBF) biasanya dinyatakan dalam cc/menit/100 gram otak.
Nilainya tergantung pada tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressure / CPP) dan
resistensi serebrovaskuler (cerebrovascular resistance / CVR) (Soertidewi, 2009).

Komponen CPP ditentukan oleh tekanan darah sistematik (mean arterial blood pressure /
MABP) dikurangi dengan tekanan intrakranial (TIK), sedangkan komponen CVR ditentukan
oleh beberapa faktor, yaitu :

3
1. Tonus pembuluh darah otak
2. Struktur dinding pembuluh darah
3. Viskositas darah yang melewati pembuluh darah otak
CBF dapat diukur dengan berbagai metode misalnya metode Kety Schmidt, atau
metode lain yang menggunakan inhalasi gas radioaktif yang kemudian diukur dengan gamma
counter. Dalam keadaan normal dan sehat, rata-rata aliran darah otak (hemispheric CBF)
adalah 50,9 cc/100 gram otak/ menit. (Soertidewi, 2009)
Aliran darah otak merupakan patokan utama dalam menilai vaskularisasi regional di
otak. Melalui pemeriksaan dengan menggunakan emisi sinar (Positron Emmision
Tomography / PET) di ketahui bahwa aliran darah otak bersifat dinamis. Artinya, dalam
keadaan istirahat nilainya stabil, tetapi pada saat melakukan kegiatan fisik maupun psikis,
aliran darah regional pada daerah yang bersangkutan akan meningkat sesuai dengan
aktivitasnya. (Soertidewi, 2009)
Derajat ambang batas aliran darah otak yang secara langsung berhubungan dengan fungsi
otak, yaitu :
a. Ambang fungsional: adalah batas aliran darah otak (yaitu sekitar 50 – 60 cc/100
gram/menit), yang bila tidak terpenuhi akan menyebabkan terhentinya fungsi
neuronal, tetapi integritas sel-sel saraf masih utuh.
b. Ambang aktivitas listrik otak (threshold of brain electrical activity), adalah batas
aliran darah otak (sekitar 15 cc/100 gram/menit) yang bila tidak tercapai, akan
menyebabkan aktivitas listrik neuronal terhenti. Ini berarti, sebagian struktur intrasel
telah berada dalam proses disintegrasi.
c. Ambang kematian sel (threshold of neuronal death), yaitu batas aliran darah otak yang
bila tak terpenuhi, akan menyebabkan kerusakan total sel-sel otak (CBF kurang dari
15 cc/100/menit/gram).

Aspek Biologi Molekuler


Ada perbedaan mendasar pada kerusakan seluler pada stroke akibat perdarahan dan
sumbatan (iskemik). Pada perdarahan intraserebral, kerusakan sel neuron dan struktur
otak disebabkan oleh ekstravasasi darah ke massa otak, yang mengakibatkan nekrosis
kimiawi oleh zat-zat proteolitik di dalam darah. Sebaliknya pada stroke iskemik, nekrosis
pada neuron terutama akibat disintegrasi struktur sitoskeleton karena zat-zat
neurotransmitter eksitotoksik yang bocor pada proses hipoksia akut. Selain itu, pada

4
stroke iskemik, kerusakan yang terjadi lebih lambat, akibat berkurangnya energi yang
berkepanjangan pada sel-sel otak menyebabkan apoptosis, yaitu kematian sel secara
perlahan karena kehabisan energi pendukungnya. (Soertidewi, 2009)
Otak membutuhkan energi yang cukup besar untuk mempertahankan keseimbangan
ion-ion yang berada di intra seluler seperti kalium (K+ ) dan ekstra seluler seperti natrium
(Na+ ), kalsium (Ca++) dan khlor (Cl). Keseimbangan ini dipertahankan melalui pompa
ion aktif yang bergantung pada energi tinggi, yaitu adenosine triphosphate (ATP) dan
adenosine diphosphate (ADP). (Soertidewi, 2009)

II. STROKE

A. DEFINISI STROKE
Menurut World Health Organization (WHO) stroke adalah suatu tanda klinis yang
berkembang dengan cepat akibat gangguan otak fokal atau global dengan gejala-gejala yang
berlangsung 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain
yang jelas selain vaskuler. (Price & Wilson, 2005)

B. EPIDEMIOLOGI STROKE
Kasus stroke di Indonesia menunjukkan peningkatan, baik dalam kejadian, kecacatan,
maupun kematian. Insidens stroke terbesar 51.6/100.000 penduduk. Sekitar 4,3% penderita
stroke mengalami kecacatan yang memberat. Angka kematian berkisar antara 15-27% pada
semua kelompok usia. (Arifputra & Tanto, 2014)
Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi Penyakit Tidak Menular mengalami
kenaikan jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013, diantaranya adalah stroke,
prevalensi stroke naik dari 7% menjadi 10,9%; dan hasil pengukuran tekanan darah,
hipertensi naik dari 25,8% menjadi 34,1%. Kenaikan prevalensi penyakit tidak menular ini
berhubungan dengan pola hidup, antara lain merokok, konsumsi minuman beralkohol,
aktivitas fisik, serta konsumsi buah dan sayur. Menurut Riskesdas tahun 2018, prevalensi
stroke pada penduduk umur ≥15 tahun semakin meningkat seiring bertambahnya usia,
terbanyak dimulai sekitar usia 45 tahun hingga 75 tahun. Pasien dengan jenis kelamin laki-
laki lebih banyak yaitu 11% dibandingkan pasien perempuan yaitu 10,9% . (Depkes, 2018)

5
Gambar 2. Prevalensi Stroke di Indonesia (Depkes, 2018)

C. FAKTOR RISIKO STROKE

1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :


a. Usia
Risiko terkena stroke meningkat sejak usia 45 tahun. Setiap penambahan usia tiga
tahun akan meningkatkan risiko stroke sebesar 11 – 20 %. Orang yang berusia > 65
tahun memiliki risiko stroke sebesar 71 %, sedangkat usia 65 – 45 tahun memiliki
risiko 25 %, dan 4 % terjadi pada orang berusia < 45 tahun.
b. Jenis Kelamin
Insiden stroke 1.25 kali lebih besar pada laki – laki dibanding perempuan.
c. Ras / Bangsa
Orang kulit hitam lebih banyak menderita stroke daripada orang kulit putih.
d. Hereditas

6
Riwayat stroke dalam keluarga, terutama jika dua atau lebih anggota keluarga pernah
mengalami stroke pada usia < 65 tahun, meningkatkan risiko stroke

2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi :


a. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya stroke. Hipertensi meningkatkan
risiko terjadinya stroke sebanyak 4 sampai 6 kali. Makin tinggi tekanan darah
kemungkinan stroke makin besar karena terjadinya kerusakan pada dinding pembuluh
darah sehingga memudahkan terjadinya penyumbatan/ perdarahan otak. Sebanyak
70% dari orang yang terserang stroke mempunyai tekanan darah tinggi. Klasifikasi
hipertensi menurut The Seventh Report of The Joint National Comittee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), yaitu
klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa. (Loekman, 2016)
Tabel 1. Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7. (Loekman, 2016)
Klasifikasi Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik
(mmHg) (mmHg)
Normal <120 Dan <80
Prehipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi derajat I 140-159 Atau 90-99
Hipertensi derajat II ≥160 Atau ≥100
Hipertensi Emergensi >180 >120 dengan kerusakan
organ target

b. Diabetes Melitus
Diabetes melitus dapat mempercepat terjadinya aterosklerosis (pengerasan pembuluh
darah) yang lebih berat sehingga berpengaruh terhadap terjadinya stroke. Risiko
terjadinya stroke pada penderita diabetes mellitus 3,39 kali dibandingkan dengan yang
tidak menderita diabetes mellitus.
c. Penyakit Jantung
Penyakit jantung yang paling sering menyebabkan stroke adalah fibrilasi atrium/atrial
fibrillation (AF), karena memudahkan terjadinya penggumpalan darah di jantung dan
dapat lepas hingga menyumbat pembuluh darah di otak. Di samping itu juga penyakit
jantung koroner, kelainan katup jantung, infeksi otot jantung, pasca operasi jantung

7
juga memperbesar risiko stroke. Fibrilasi atrium yang tidak diobati meningkatkan
risiko stroke 4 – 7 kali.
d. Riwayat Stroke
Bila seseorang telah mengalami stroke, hal ini akan meningkatkan terjadinya serangan
stroke kembali. Dalam waktu 5 tahun, kemungkinan akan terjadi stroke kembali
sebanyak 35-42%.
e. Obesitas
Obesitas berhubungan erat dengan hipertensi, dislipidemia, dan diabetes melitus.
Obesitas meningkatkan risiko stroke sebesar 15%. Obesitas dapat meningkatkan
hipertensi, jantung, diabetes dan aterosklerosis yang semuanya akan meningkatkan
kemungkinan terkena serangan stroke.
f. Hiperkolesterolemia
Kondisi ini secara langsung dan tidak langsung meningkatkan faktor risiko, tingginya
kolesterol dapat merusak dinding pembuluh darah dan juga menyebabkan penyakit
jantung koroner. Kolesterol yang tinggi terutama Low Density Lipoprotein (LDL)
akan membentuk plak di dalam pembuluh darah dan dapat menyumbat pembuluh
darah baik di jantung maupun di otak. Kadar kolesterol total > 200 mg/dl
meningkatkan risiko stroke 1,31 - 2,9 kali.
g. Merokok
Kebiasaan merokok meningkatkan risiko terkena stroke sebesar 4 kali. Merokok
menyebabkan penyempitan dan pengerasan arteri di seluruh tubuh (termasuk yang ada
di otak dan jantung), sehingga merokok mendorong terjadinya aterosklerosis,
mengurangi aliran darah, dan menyebabkan darah mudah menggumpal.
h. Alkohol
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat mengganggu metabolisme tubuh, sehingga
terjadi dislipidemia, diabetes melitus, mempengaruhi berat badan dan tekanan darah,
dapat merusak sel-sel saraf tepi, saraf otak dan lain – lain. Konsumsi alkohol
berlebihan meningkatkan risiko terkena stroke 2-3 kali.
i. Stres
Stres psiokososial dapat menyebabkan depresi. Jika depresi berkombinasi dengan
faktor risiko lain (misalnya, aterosklerosis berat, penyakit jantung atau hipertensi)
dapat memicu terjadinya stroke. Depresi meningkatkan risiko terkena stroke sebesar 2
kali.
j. Penyalahgunaan Obat
8
Pada orang-orang yang menggunakan narkoba terutama jenis suntikan akan
mempermudah terjadinya stroke, akibat dari infeksi dan kerusakan dinding pembuluh
darah otak. Di samping itu, zat narkoba itu sendiri akan mempengaruhi metabolisme
tubuh, sehingga mudah terserang stroke.

D. KLASIFIKASI STROKE

Soeharto dalam bukunya tentang stroke mengutip pembagian stroke menurut National
Stroke Association (NSA) USA, dimana stroke dibagi dalam dua jenis. yaitu stroke karena
sumbatan dan penyempitan pembuluh darah arteri otak atau stroke iskemik dan stroke karena
perdarahan atau stroke hemoragik (Soertidewi, 2009).
Stroke iskemik, berdasarkan etiologinya dibagi menjadi :
1. Stroke trombotik
2. Stroke embolik

Sedangkan, menurut WHO dalam International Statistical Classification of Diseases and


Related Health Problem 10th Revision, stroke hemoragik dapat dibagi 2, yaitu:
1. Perdarahan Intraserebral (PIS)
PIS adalah perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan
bukan disebabkan oleh trauma.
2. Perdarahan Subarakhnoidal (PSA)
PSA adalah keadaan terdapatnya/masuknya darah ke dalam ruangan subarakhnoid.

E. PATOFISIOLOGI STROKE
Penyakit serebrovaskuler (cerebrovascular disease / CVD) atau stroke adalah setiap
kelainan otak akibat proses patologi pada sistem pembuluh darah otak. Proses patologi pada
sistem pembuluh darah otak ini dapat berupa penyumbatan lumen pembuluh darah oleh
trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh darah, perubahan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan perubahan viskositas maupun kualitas darah sendiri. Perubahan dinding
pembuluh darah serta komponen lainnya dapat bersifat primer karena kelainan kongenital
maupun degeneratif, atau sekunder akibat proses lain, seperti peradangan arteriosklerosis,
hipertensi dan diabetes mellitus. (Soertidewi, 2009)
Proses primer yang terjadi mungkin tidak menimbulkan gejala (silent) dan akan
muncul secara klinis jika aliran darah ke otak (cerebral blood flow /CBF) turun sampai ke
9
tingkat melampaui batas toleransi jaringan otak, yang disebut ambang aktivitas fungsi otak
(threshold of brain functional activity). Keadaan ini menyebabkan sindrom klinik yang
disebut stroke. Gejala klinik stroke tergantung lokalisasi daerah yang mengalami iskemik
ataupun perdarahan. (Soertidewi, 2009)

Edema serebral dan infark otak


Pada infark serebri yang cukup luas, edema serebri timbul akibat kegagalan energi
dari sel-sel otak dengan akibat perpindahan elektrolit (Na+,K+ ) dan perubahan permeabilitas
membran serta gradasi osmotik. Akibatnya terjadinya pembengkakan sel (cytotoxic edema).
Keadaan ini terjadi pada iskemia berat dan akut seperti hipoksia dan henti jantung. dema
serebri dapat juga timbul akibat kerusakan sawar otak yang mengakibatkan permeabilitas
kapiler rusak, sehingga cairan dan protein bertambah mudah memasuki ruangan ekstraseluler
sehingga menyebabkan edema vasogenik (vasogenic edema). Efek edema jelas menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial dan akan memperburuk iskemia otak. Selanjutnya terjadi
efek masa yang berbahaya dengan akibat herniasi otak. (Soertidewi, 2009)

Patogenesis Perdarahan Otak


Pendarahan otak merupakan penyebab stroke kedua terbanyak setelah infark otak,
yaitu 20 – 30 % dari semua stroke di Jepang dan Cina. Sedangkan di Asia Tenggara
(ASEAN), pada penelitian stroke oleh Misbach,1997 menunjukkan stroke perdarahan 26%,
terdiri dari lobus 10%, ganglionik 9%, serebellar 1%, batang otak 2% dan perdarahan
subarakhnoid 4 %. (Soertidewi, 2009)
Pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan menurut anatominya atas perdarahan
intraserebral dan perdarahan subarakhnoid. Sedangkan berdasarkan penyebab, perdarahan
intraserebral dibagi atas perdarahan intraserebral primer dan sekunder. Perdarahan
intraserebral primer (perdarahan intraserebral hipertensif) disebabkan oleh hipertensif kronik
yang menyebabkan vaskulopati serebral dengan akibat pecahnya pembuluh darah otak.
Sedangkan perdarahan sekunder (bukan hipertensif) terjadi antara lain akibat anomali
vaskuler kongenital, koagulopati, tumor otak, vaskulopati non hipertensif (amiloid serebral),
vaskulitis, post stroke iskemik, obat anti koagulan (fibrinolitik atau simpatomimetik).
Diperkirakan hampir 50 % penyebab perdarahan intraserebral adalah hipertensif kronik, 25 %
karena anomali kongenital dan sisanya penyebab lain. (Soertidewi, 2009)
Pada perdarahan intraserebral, pembuluh yang pecah terdapat di dalam otak atau pada
massa otak, sedangkan pada perdarahan subarakhnoid, pembuluh yang pecah terdapat di
10
ruang subarakhnoid, di sekitar sirkulus arteriosus willisi. Pecahnya pembuluh darah
disebabkan oleh kerusakan dindingnya (arteriosklerosis), atau karena kelainan kongenital
misalnya malformasi arteri-vena, infeksi (sifilis), dan trauma. (Soertidewi, 2009)

Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma (Berry
aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah subkortikal,
serebelum, pons dan batang otak. Perdarahan di daerah korteks lebih sering disebabkan oleh
sebab lain misalnya tumor otak yang berdarah, malformasi pembuluh darah otak yang pecah,
atau penyakit pada dinding pembuluh darah otak primer misalnya Congophilic angiopathy,
tetapi dapat juga akibat hipertensi maligna dengan frekuensi lebih kecil dari pada perdarahan
subkortikal. (Soertidewi, 2009)

Perdarahan Intraserebral Hipertensif


Secara etiologi, penyebab tersering perdarahan intracranial adalah hipertensi
arterial. Peningkatan tekanan darah patologis merusak dinding pembuluh darah arteri yang
kecil, menyebabkan mikroaneurisma (aneurisma charcot) yang dapat rupture spontan.
Lokasi predileksi untuk perdarahan intraserebral hipertensif adalah ganglia basalia, thalamus,
nucleus serebeli dan pons. Substansia alba yang dalam sebaliknya, jarang terkena. (Arifputra
& Tanto, 2014)
Tabel 2. Beberapa penyebab perdarahan intraserebrum (Price & Wilson, 2005)
Beberapa penyebab perdarahan intraserebrum
- Perdarahan intraserebrum hipertensif
- Perdarahan subarachnoid (PSA)
• Ruptura aneurisma sakular (Berry)
• Rupture malformasi arteriovena (MAV)
• Trauma
- Penyalahgunaan kokain, Amfetamin
- Perdarahan akibat tumor otak
- Infark hemoragik
- Penyakit perdarahan sistemik termasuk terapi antikoagulan.

11
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100– 400 mikrometer
mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa hipohialinosis,
nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Arteriol-arteriol dari cabang-
cabang lentikulostriata, cabang tembus arteriotalamus (thalamo perforate arteries) dan
cabang-cabang paramedian arteria vertebro-basilar mengalami perubahan-perubahan
degeneratif yang sama. Kenaikan tekanan darah yang mendadak (abrupt) atau kenaikan
dalam jumlah yang sangat mencolok dapat menginduksi pecahnya pembuluh darah terutama
pada pagi hari dan sore hari (early afternoon). (Soertidewi, 2009)
Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat berlanjut sampai dengan
6 jam dan jika volumenya besar akan merusak struktur anatomi otak dan menimbulkan gejala
klinik. Jika perdarahan yang timbul kecil ukurannya, maka massa darah hanya dapat merasuk
dan menyela di antara selaput akson massa putih “dissecan spilitting” tanpa merusaknya.
Pada keadaan ini absorpsi darah akan diikuti oleh pulihnya fungsi-fungsi neurologi.
Sedangkan pada perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peninggian tekanan
intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan hermiasi otak pada falks serebri atau
lewat foramen magnum. (Soertidewi, 2009)
Kematian dapat disebabkan karena kompresi batang otak, hemisfer otak, dan
perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah
ke ventrikel otak terjadi pada 1/3 kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, thalamus dan
pons. Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan
mengakibatkan peninggian tekanan intrakranial yang menyebabkan menurunnya tekanan
perfusi otak serta terganggunya drainase otak. (Soertidewi, 2009)

Perdarahan Intrasebral Nonhipertensif


Perdarahan intraserebral dapat disebabkan oleh banyak penyebab selain hipertensi arterial.
Penyebab paling penting adalah malforasi arteriovenosus tumor, aneurisma, penyakit
vascular yang meliputi vaskulitis dan angiopati amyloid, kavernoma dan obstruksi aliran
vena. (Baehr & Frotscher, 2010)

Perdarahan subarakhnoid
Aneurisma
Penyebab tersering perdarahan subarachnoid spontan adalah rupture aneurisma salah satu
arteri di dasar otak. Ada beberapa jenis aneurisma: (Baehr & Frotscher, 2010)

12
Aneurisma Sakular (“berry”)
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena pecahnya aneurisme sakuler (berry) pada 80
% kasus non traumatik. Karena perdarahan dapat masif dan ekstravasasi darah ke dalam
ruang subarachnoid lapisan meningen dapat berlangsung cepat, maka angka kematian sangat
tinggi, sekitar 50% pada bulan pertama setelah perdarahan. Penyebab tingginya angka
kematian ini adalah bahwa empat penyulit utama dapat menyebabkan iskemia otak serta
morbiditas dan mortalitas “tipe lambat” yang dapat terjadi lama setelah perdarahan
terkendali. Penyulit-penyulit tersebut adalah 1) vasospasme reaktif disertai infark, 2) ruptur
ulang, 3) hiponatremia, 4) hidrosefalus. Bagi pasien yang bertahan hidup setelah perdarahan
awal, rupture ulang atau perdarahan ulang adalah penyulit paling berbahaya pada masa pasca
perdarahan awal. Seberapa luas spasme arteri menyebabkan iskemia dan infark bergantung
pada keparahan dan distribusi pembuluh-pembuluh yang terlibat (Baehr & Frotscher, 2010).
Aneurisma sakular ditemukan pada titik bifurkasio arteri intracranial. Aneurisma ini
terbentuk pada lesi pada dinding pembuluh darah yang sebelumnya telah ada, baik akibat
kerusakan structural (biasanya kongenital) maupun cedera akibat hipertensi. Lokasi tersering
aneurisma sakular adalah arteri komunikans anterior (40%), bifurkasio arteri serebri media di
fisura sylvii (20%), dinding lateral arteri karotis interna (pada tempat berasalnya arteri
oftalmika atau arteri komunikans posterior, 30%) dan basilar tip (10%). Aneurisma dapat
menimbulkan deficit neurologis dengan menekan struktur di sekitarnya bahkan sebelum
rupture. Misalnya, aneurisma pada arteri komunikans posterior dapat menekan nervus
okulomotorius, menyebabkan paresis saraf kranial ketiga (pasien mengalami diplopia).

Aneurisma Fusiformis
Pembesaran pembuluh darah yang memanjang (berbentuk gelondong). Aneurisma tersebut
umumnya melibatkan segmen intracranial arteri karotis interna, trunkus utama arteri serebri
media dan arteri basilaris. Struktur ini biasanya disebabkan oleh aterosklerosis dan atau
hipertensi dan hanya sedikit yang bias menjadi sumber perdarahan. Aneurisma fusiformis
yang besar pada arteri basilaris dapat menekan batang otak. Aliran yang lambat di dalam
aneurisma fusiformis dapat mempercepat pembentukan bekuan intra-aneurismal, terutama
pada sisi-sisinya, dengan akibat stroke embolik atau tersumbatnya pembuluh darah perforans
oleh pelepasan thrombus secara langsung. Aneurisma ini biasanya tidak dapat ditangani
secara pembedahan saraf, Karena merupakan pembesaran pembuluh darah normal yang
memanjang, dibandingkan struktur patologis (seperti aneurisma sakular) yang tidak
memberikan kontribusi pada suplai darah serebral. (Baehr & Frotscher, 2010)
13
Aneurisma Mikotik
Dilatasi aneurisma pembuluh darah intracranial kadang-kadang disebabkan oleh
sepsis dengan kerusakan yang diinduksi oleh bakteri pada dinding pembuluh darah.
Aneurisma ini umumnya ditemukan pada arteri kecil otak. Terapi terdiri dari terapi infeksi
yang mendasarinya. Aneurisma ini kadang-kadang mengalami regresi spontan; struktur ini
jarang menyebabkan perdarahan subarahnoid (Baehr & Frotscher, 2010).
Penyebab lain perdarahan subarachnoid ini oleh trauma (tanpa aneurisma), arteritis,
neoplasma dan penggunaan kokain/amfetamin berlebihan, hubungan pasti antara kokain dan
perdarahan masih kontroversial, walaupun diketahui bahwa kokain meningkatkan aktivitas
system saraf simpatis sehingga dapat menyebabkan peningkatan mendadak tekanan darah,
hipertensi, perokok dan peminum alcohol (Baehr & Frotscher, 2010).
Malformasi arteriovena (MAV) adalah jaringan kapiler yang mengalami malformasi
kongenital dan merupakan penyebab jarang. Dalam keadaan normal, arterio-arteriol halus
memiliki resistensi vascular tinggi yang memperlambat aliran darah sehingga oksigen dan zat
makanan dapat berdifusi ke dalam jaringan otak. Pada MAV, pembuluh darah melebar
sehingga darah mengalir diantara arteri bertekanan tinggi dan sistem vena yang bertekanan
rendah. Akhirnya dinding venula melemah dan darah dapat keluar dengan cepat ke jaringan
otak. (Baehr & Frotscher, 2010)

F. GEJALA KLINIS STROKE


Salah satu ciri stroke adalah timbulnya gejala sangat mendadak dan jarang didahului
oleh gejala pendahuluan (warning signs) seperti sakit kepala, mual, muntah, dan sebagainya.
Gejala pendahuluan yang jelas berhubungan dengan stroke adalah serangan iskemia sepintas
(TIA) dan ini diketahui melalui anamnesis yang baik pada stroke akut. Selain gejala-gejala
yang timbul mendadak dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam dari mulai
serangan sampai mencapai maksimal. Tidak pernah terjadi dalam beberapa hari atau apalagi
dalam 1-2 minggu. Kalau terjadi demikian, bukan disebabkan stroke tetapi oleh sindroma
stroke karena tumor, primer maupun metastatik, trauma, peradangan dan lain-lain. (Price &
Wilson, 2005)

Perdarahan intraserebral ( perdarahan hipertensif)


Manifestasi perdarahan intraserebral bergantung pada lokasinya. Perdarahan ganglia
basalia dengan kerusakan kapsula interna biasanya menyebabkan hemiparesis kontralateral
berat, sedangkan perdarahan pons menimbulkan tanda-tanda batang otak.
14
Ancaman utama perdarahan intracranial akibat efek masa hematom. Tidak seperti
infark yang meningkatkan tekanan intracranial secara perlahan ketika edema sitotoksik yang
menyertainya bertambah berat, perdarahan intraserebral menaikkan tekanan intracranial
secara sangat cepat. Ruptur intraventrikular perdarahan intraserebral menyebabkan
hidrosefalus, baik melalui obstruksi aliran ventricular dengan bekuan darah atau dengan
gangguan resorpsi LCS dari granulasiones arakhnoideae, jika ada, hidrosefalus makin
meningkatkan tekanan intracranial. Di fosa posterior hamper tidak ada ruang kosong,
sehingga perdarahan intraparenkimal di bawah tentorium meningkatkan tekanan intracranial
secara cepat, kemungkinan menyebabkan herniasi di fosa posterior baik keatas melalui
insisura tentoria atau kebawah ke dalam foramen magnum. Karena itu, perdarahan
intraparenkimal di bagian otak atau serebelum memiliki prognosis yang jauh lebih buruk
dibandingkan perdarahan berukuran sama di hemisfer serebri. (Baehr & Frotscher, 2010)

Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan subarachnoid nontraumatik akut biasanya disebabkan oleh rupture spontan
aneurisma sakular, dengan aliran darah kedalam ruang subarachnoid. Gejala yang
menunjukkan perdarahan subarachnoid adalah sakit kepala tiba-tiba yang sangat hebat (“sakit
kepala terberat yang pernah dirasakan seumur hidup”). Iritasi meningeal oleh darah
subarachnoid menyebabkan kaku kuduk (diagnosis banding: meningitis). Kesadaran dapat
terganggu segera atau dalam beberapa jam pertama. Kelumpuhan saraf kranial dan tanda
neurologis fokal dapat timbul tergantung pada lokasi dan luas perdarahan. Skema grading
yang diajukan oleh Hunt dan Hess pada tahun 1986 dapat memberikan gambaran kasar pada
prognosis pasien. (Baehr & Frotscher, 2010)

Tabel 3.Grading perdarahan subarachnoid menurut Hunt dan Hess (Baehr & Frotscher, 2010)
Grade Gambaran Klinis
1 Asimtomatik atau sakit kepala ringan dan iritasi meningeal
2 Sakit kepala sedang atau berat (sakit kepala terhebat seumur hidupnya),
meningismus, deficit saraf kranial (paresis nervus abdusen sering ditemukan)
3 Mengantuk, konfusi, tanda neurologis fokal ringan
4 Stupor, deficit neurologis berat (misalnya hemiparesis), manifestasi otonom
5 Koma, deserebrasi

15
Perdarahan subarakhnoid sering bersifat residif selama 24-72 jam pertama, dan dapat
menimbulkan vasospasme serebral hebat disertai infark otak. Alat yang sering digunakan
untuk mengklasifikasikan keparahan PSA adalah Hunt and Hess Classification Grading
Scale. Pasien dengan perdarahan subarakhnoid dapat diklasifikasi dengan skala klinis I-V
berdasarkan tingkat kesadaran dan gejala fokal defisit neurologi yang berguna untuk
menentukan prognosisnya. (Baehr & Frotscher, 2010)
Klasifikasi dengan skala klinis ini menunjukkan bahwa bila pasien berada di Grade I atau
II, maka pasien mempunyai prognosis baik dan dapat segera dilakukan angiografi serta
tindakan intervensi sesuai dengan indikasinya. Bila pasien berada di grade IV dan V, maka
pasien mempunyai prognosis buruk dan memerlukan terapi medikamentosa dulu sampai
kondisi stabil dan baik, baru direncanakan dilakukan angiografi untuk menentukan tindakan
terapi lanjutan sesuai kebutuhan pasien.

G. DIAGNOSIS STROKE
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
A. Anamnesis
• Gejala yang mendadak pada saat awal, lamanya awitan dan aktivitas serangan
• Deskripsi gejala yang muncul beserta kelanjutannya; progresif memberat,
perbaikan atau menetap
• Gejala penyerta; penurunan kesadaran, nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar,
kejang, gangguan penglihatan atau gangguan fungsi kognitif
• Ada tidaknya factor risiko stroke.
Pada anamnesis akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak sebelah badan, mulut
mencong atau bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Keadaan ini
timbul sangat mendadak, dapat sewaktu bangun tidur, mau sholat, selesai sholat,
sedang bekerja atau sewaktu beristirahat. Selain itu perlu ditanyakan pula faktor-
faktor risiko yang menyertai stroke misalnya penyakit kencing manis, darah tinggi
dan penyakit jantung, serta obat-obat yang sedang dipakai. Selanjutnya ditanyakan
pula riwayat keluarga dan penyakit lainnya. Pada kasus-kasus berat, yaitu dengan
penurunan kesadaran sampai koma, dilakukan pencatatan perkembangan kesadaran
sejak serangan terjadi.
B. Pemeriksaan fisik
• Tanda vital

16
• Pemeriksaan kepala dan leher (mencari cedera kepala akibat jatuh, bruit karotis,
peningkatan tekanan vena jugularis dan lain-lain)
• Pemeriksaan fisik umum
• Pemeriksaan neurologis, meliputi:
- Pemeriksaan kesadaran dengan menggunakan Glasgow coma scale (GCS)
Tabel 4. Glasgow Coma Scale(GCS)
Respon Skor
a. Membuka mata
1) Membuka spontan 4
2) Membuka dengan perintah 3
3) Membuka mata karena rangsang nyeri 2
4) Tidak mampu membuka mata 1
b.Kemampuan bicara
1) Orientasi dan pengertian baik 5
2) Pembicaraan yang kacau 4
3) Pembicaraan tidak pantas dan kasar 3
4) Dapat bersuara, merintih 2
5) Tidak ada suara 1
c.Tanggapan motorik
1) Menanggapi perintah 6
2) Reaksi gerakan lokal terhadap rangsang 5
3) Reaksi menghindar terhadap rangsang nyeri 4
4) Tanggapan fleksi abnormal 3
5) Tanggapan ekstensi abnormal 2
6) Tidak ada gerakan 1

Derajat kesadaran :
• Kompos mentis = GCS 15
• Somnolen = GCS 13-14
• Sopor = GCS 8-12
• Koma = GCS <7

- Pemeriksaan nervus kranialis, terutama Nervus VII dan XII

17
- Pemeriksaan tanda rangsang meniangeal: kaku kuduk (biasanya positif pada
perdarahan subarachnoid), tanda laseque, kernig dan brudzinski
- Pemeriksaan motoric, reflex dan sensorik
Penilaian kekuatan otot dalam derajat tenaga 0 sampai 5 secara praktis
mempunyai kepentingan dalam penilaian kemajuan atau kemunduran orang
sakit dalam perawatan dan bukan suatu tindakan pemeriksaan yang semata-
mata menentukan suatu kelumpuhan.
Pemeriksaan kekuatan otot adalah sebagai berikut : (IDI, 2017)
0 : Tidak ada pergerakan sama sekali, tonus otot tidak teraba
1 : Tonus otot teraba namun tidak ada pergerakan. Hanya bias menggerakkan
sendi kecil
2 : Terdapat pergerakan namun tidak dapat menahan gaya gravitasi (gerakan
menggeser ke kanan dan ke kiri. Hanya bisa menggeser di permukaan.
3 : kekuatan otot hanya cukup untuk melawan gravitasi namun tidak dapat
melawan tahanan ringan.
4 : Kekuatan otot dapat menahan tahanan ringan namun tidak dapat menahan
tahanan maksimal
5 : Kekuatan otot dapat menahan tahanan maksimal

Refleks patologis dapat dijumpai pada sisi yang hemiparetik. Refleks patologis yang
dapat dilakukan pada tangan ialah refleks Hoffmann–Tromner. Sedangkan refleks
patologis yang dapat dibangkitkan di kaki ialah refleks Babinsky, Chaddock,
Oppenheim, Gordon, Schaefer dan Gonda.

- Pemeriksaan saraf kranialis, terumatana N.VII dan N.XII


Jaras Corticobulbar Nervus Fasialis
Jaras corticobulbar adalah jaras desenden yang bertanggung jawab dalam inervasi
beberapa saraf kranialis dan jalan bersamaan dengan jaras corticospinal. Nervus fasialis
merupakan salah satu dari saraf kranialis yang dipersarafi oleh jaras corticobulbar. Setiap
gerakan motorik dari nervus facialis dimulai dari sinyal yang diberikan pada cerebral cortex,
terutama primary motor cortex pada otak, melewati kapsula interna lalu memasuki crus
cerebri dan masuk ke nukleus di pons. Pada nukleus di pons (batang otak)
jaras corticobulbar melakukan persilangan atau dekusasio. Serabut saraf yang mempersarafi
wajah bagian bawah akan melakukan persilangan atau dekusasio ke bagian kontralateral
18
wajah. Sedangkan serabut saraf yang mempersarafi wajah bagian atas mempunyai jalur yang
berbeda. Sebagian saraf akan melakukan persilangan untuk menginervasi wajah atas bagian
kontralateral, sedangkan sebagian lainnya tidak melakukan persilangan sehingga dapat
menginervasi wajah bagian atas ipsilateral. Maka dari itu, dahi dan mata akan mendapat
inervasi dari kedua hemisfer, sedangkan wajah bagian bawah hanya mendapat inervasi dari
sisi kontralateral.
Paralisis nervus fasialis sentral terjadi jika ditemukan lesi di upper motor
neuron (UMN), yaitu jika lesi terjadi di cerebral cortex ataupun pada jaras corticobulbar,
selama jaras belum memasuki nukleus pons. Lesi UMN bisa disebabkan oleh beberapa hal
seperti stroke, tumor intrakranial, dan multipel sklerosis. Sebaliknya, paralisis nervus fasialis
perifer terjadi jika terdapat lesi di lower motor neuron (LMN). Lesi LMN terjadi jika lesi
mengenai nukleus pada pons, ataupun setelah keluar batang otak. Penyakit yang dapat
menyebabkan lesi LMN adalah Bells’s palsy, stroke batang otak, otitis media, Lyme disease,
trauma seperti fraktur os temporal, sindrom Guillain-Barre, dan sarcoidosis.
Jika lesi terdapat di motor korteks (UMN), kelemahan pada wajah bagian bawah
kontralateral. Otot-otot wajah bagian atas tidak ikut terkena dikarenakan otot wajah bagian
atas juga mendapat inervasi dari jaras saraf ipsilateral (kecuali jika lesi terjadi di korteks
bilateral). Sehingga pasien masih dapat mengerutkan dahi, mengangkat alis, dan menutup
kelopak mata secara simetris, namun mempunyai wajah bagian bawah yang asimetris saat
tersenyum. Sebaliknya, pada lesi LMN, pasien tidak akan bisa menggerakan seluruh otot
wajah ipsilateral baik otot wajah bagian atas maupun bawah. Pasien tidak akan bisa
mengerutkan dahi, menutup mata secara rapat/ tersenyum pada satu sisi wajah yang sama
Tabel 5. Perbedaan Lesi UMN dan LMN

19
- Pemeriksaan fungsi kognitif sederhana berupa ada tidaknya afasia atau dengan
pemeriksaan mini mental state examination (MMSE)
Setelah penentuan keadaan kardiovaskular penderita serta fungsi vital seperti
tekanan darah kiri dan kanan, nadi, pernafasan, tentukan juga tingkat kesadaran
penderita. Jika kesadaran menurun, tentukan skor dengan skala koma Glasgow agar
pemantauan selanjutnya lebih mudah. Namun jika penderitanya sadar, tentukan berat
kerusakan neurologis yang terjadi, disertai pemeriksaan saraf-saraf otak dan motorik
apakah fungsi komunikasi baik atau adakah disfasia.
Stroke Siriradj Score, dilakukan bersama sama pemeriksaan fisik untuk
membedakan antara stroke iskemik dan stroke perdarahan. Penilaian ini, dapat
membantu bagi rumah sakit atau pusat pelayanan kesehatan yang tidak mempunyai
alat bantu diagnosis CT Scan otak.

Gambar 3. Siriraj Strok Score

Skor Stroke Siriraj = (2,5 x derajat kesadaran) + (2 x Muntah) + (2 x Nyeri


kepala) + (0,1x tekanan diastolik) – (3 x petanda ateroma) – 12
Penilaiannya adalah sebagai berikut :
- Skor ≥ 1 : Hemoragik
- Skor ≤ -1 : Non hemoragik
- Skor -1 s/d 1 : perlu pemeriksaan penunjang CT scan

Jika kesadaran menurun dan nilai skala koma Glasgow telah ditentukan, lakukan
pemeriksaan refleks-refkles batang otak yaitu:
- reaksi pupil terhadap cahaya
- refleks kornea
- refleks okulo sefalik
- Keadaan (refleks) respirasi, apakah terdapat pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi
neurogen, kluster, apneustik dan ataksik. Setelah itu tentukan kelumpuhan yang terjadi

20
pada saraf-saraf otak dan anggota gerak. Kegawatan kehidupan sangat erat hubungannya
dengan kesadaran menurun, karena makin dalam penurunan kesadaran, makin kurang
baik prognosis neurologis maupun kehidupan. Kemungkinan perdarahan intra serebral
dapat luas sekali jika terjadi perdarahan-perdarahan retina atau preretinal pada
pemeriksaan funduskopi.

Alogaritma Gajah Mada

Gambar 4. Algoritma Stroke Gadjah Mada

4 Pemeriksaan penunjang
• CT Scan/ MRI: Gambaran hipodens/hipointens didapatkan pada stroke iskemik dan
hiperdens/hiperintens pada stroke hemoragik pada T1W1.
CT scan Otak: segera memperlihatkan perdarahan intraserebral. Pemeriksaan ini
sangat penting karena perbedaan manajemen perdarahan otak dan infark otak. Pada
infark otak, pemeriksaan CT scan otak mungkin tidak memperlihatkan gambaran jelas
jika dikerjakan pada hari-hari pertama, biasanya tampak setelah 72 jam serangan. Jika
ukuran infark cukup besar dan hemisferik. Perdarahan/infark di batang otak sangat
sulit diidentifikasi,oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan MRI untuk
memastikan proses patologik di batang otak.

21
Intracerebral Hemorrhage Subarachnoid Hemorrhage

Gambar 4. Intracerebral Hemorage dan Subarakhnoid Hemorrage

Evaluasi diagnostic, CT secara sensitive mendeteksi perdarahan subarachnoid akut,


tetapi, semakin lama interval antara kejadian akut dengan CT scan semakin mungkin
temuan CT scan negative. CT Scan non kontras, terlihat gambaran adanya darah di
cistern, fisura Sylvii atau sulci yang meliputi konveksitas. Terkadang terlihat juga
darah di intraparenkimal..
Jika SAH masih dicurigai secara klinis kuat dugaan kearah perdarahan subarakhnoid
pada gambaran CT scan normal, pungsi lumbal haris dilakukan. Tindakan ini
memungkinkan terlihatnya darah atau siderofag secara langsung pada cairan
serebrospinal. Darah yang masuk ke ruang subarakhnoid dapat menyebabkan
komplikasi hidrosefalus karena gangguan absorpsi cairan otak di granulation
Pacchioni. Komplikasi lain yang bisa terjadi adalah intraparenchymal extention yang
menyebabkan edema otak, seizure, vasospasme.

• Elektrokardiografi
Pada sebagian kecil penderita stroke, terdapat juga perubahan elekrokardiografi
(EKG). Perubahan ini dapat berarti kemungkinan mendapat serangan infark jantung,
atau pada stroke dapat terjadi perubahan-perubahan EKG sebagai akibat perdarahan
otak yang menyerupai suatu infark miokard. Dalam hal ini pemeriksaan khusus atas
indikasi, misalnya pemeriksaan CK-MB lanjutan akan memastikan diagnosis. Pada
pemeriksaan EKG dan pemeriksaan fisik, mengarah kepada kemungkinan adanya
sumber emboli (potential source of cardiac emboli/PSCE) maka pemeriksaan
ekhokardiografi terutama Transesofageal echocardiography (TEE) dapat diminta
untuk visualisasi emboli kardial.
• Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, hemostasis,gula darah,
urinalisis, analisis gas darah, dan elektrolit)

22
• Foto toraks : untuk melihat adanya gambaran kardiomegali sebagai penanda adanya
hipertensi untuk factor risiko stroke dan infiltrate paru yang berkaitan dengan gagal
jantung kongestif.
• Pungsi lumbal : melibatkan pemeriksaan CSS untuk mengetahui kausa stroke,
terutama apabila pasien datang dalam keadaan tidak sadar dan tidak dapat
memberikan anamnesis. Sebagai contoh, mungkin terdapat darah di CSS pada stroke
hemoragik, terutama pada perdarahan subarachnoid. Informasi yang diperoleh harus
ditimbang terhadap risiko melakukan pungsi lumbal pada pasien koma. Yaitu pada
peningkatan TIK, penurunan mendadak tekanan CSS di tingkat spinal bawah dapat
memicu gerakan kebawah isi cranium disertai herniasi ke dalam batang otak dan
kematian mendadak.
• Transcranial Doppler (TCD) dan droppler karotis, antara lain untuk melihat adanya
penyumbatan dan patensi dinding pembuluh darah sebagai risiko stroke.
• Ultrasonografi karotis: untuk mendeteksi gangguan aliran darah karotis dan
kemungkinan memperbaiki kausa stroke.
• Angiografi serebrum: untuk mengidentifikasi dan mengukur stenosis arteri-arteri otak.
• PET ( Positron Emission Tomography) : untuk mengidentifikasi seberapa besar suatu
daerah di otak menerima dan memetabolisme glukosa serta luas cedera. Dengan
demikian, daerah-daerah yang perfusinya berkurang dapat diidentifikasi.

H. PENATALAKSANAAN STROKE
Tujuan dari penatalaksanaan stroke secara umum adalah menurunkan morbiditas dan
menurunkan tingkat kematian serta menurunnya angka kecacatan. Salah satu upaya yang
berperan penting untuk mencapai tujuan tersebut adalah pengenalan gejala-gejala stroke dan
penanganan stroke secara dini. Pengobatan farmakologik pada stroke dimaksudkan untuk
mencegah kematian sel neuron berkelanjutan pada saat akut dan mencegah stroke berulang.
Dari hasil penelitian epidemiologi stroke, sekitar 20% penderita stroke akan mendapat
serangan ulang (recurrent stroke).Untuk pencegahan stroke, prevensi primer dan sekunder
merupakan hal yang terbaik. (Guideline Stroke, 2011)

Terapi stroke hemoragik


Penanganan stroke hemoragik dapat bersifat medik atau bedah tergantung keadaan
dan syarat yang diperlukan untuk masing-masing jenis terapi. Penanganan medik fase akut
dilakukan pada penderita stroke hemoragik dengan menurunkan tekanan darah sistemik yang
23
tinggi dengan obat-obat anti hipertensi yang biasanya kerja cepat untuk mencapai tekanan
darah pre morbid atau diturunkan kira-kira 20 % dari tekanan darah waktu masuk rumah
sakit. Jika keadaan penderita cukup berat karena peninggian tekanan intrakranial (TIK)
disertai dengan deteriorasi fungsi neurologik progresif, intubasi, hyperventilation terkontrol
dan pemantauan diuresis dapat dilakukan dalam setting ICU. (Baehr & Frotscher, 2010)

Perdarahan intraserebal
Tindakan bedah pada perdarahan intraserebal sampai sekarang masih kontroversial
terutama pada perdarahan daerah ganglia, prognosis biasanya buruk secara fungsional.
Meskipun ada beberapa indikasi untuk tindakan bedah, misalnya volume darah > 55 cc dan
peregeseran garis tengah > 5 mm. Pada kasus perdarahan intraserebral, pasien dapat bertahan
hidup, tetapi level fungsionalnya kurang baik. (Baehr & Frotscher, 2010)
Pada stroke perdarahan intraserebral, jaringan otak di area perdarahan (kebalikan
dengan infark) umumnya tidak rusak total; jaringan otak yang hidup sering ditemukan di
tengah-tengah darah yang mengalami ekstravasasi. Hal ini menjelaskan mengapa deficit
neurologis pada pasien biasanya pulih dengan cepat, ketika hematoma teresorpsi, daripada
disebabkan oleh stroke iskemik. Dengan demikian, tujuan terapi ini adalah untuk
mempertahankan jaringan otak agar tetap hidup di area perdarahan. Hipertensi intracranial
persisten harus diterapi untuk menghindari kerusakan sekunder, tidak hanya jaringan otak
didalam dan disekitar hematoma tetapi juha jaringan otak yang terletak jauh. Tekanan
intracranial dapat diturunkan dengan farmakoterapi dan atau dengan pengangkatan hematoma
secara pembedahan saraf. Pembedahan harus dilakukan hanya bila diindikasikan sesuai
dengan kriteris yang ketat dengan mempertimbangkan usia pasien, serta lokasi dan ukuran
hematoma.
Penelitian berskala besar menunjukkan manfaat terapeutik hanya didapatkan dari
pengangkatan hematoma yang besar (>20 cm3). Pengangkatan hematoma yang lebih kecil
secara operatif sebenarnya dapat merugikan, karena dapat merusak lebih banyak jaringan
otak viable dibandingkan dengan jumlah jaringan otak yang diselamatkannya; dan
pengangkatan hematoma secara operatif dibagian otak yang dalam selalu menimbulkan
destruksi sebagian jaringan otak yang normal disepanjang jalir pembedahan saraf ke
hematoma. Untuk alasan ini, terapi pembedahan saraf untuk hematoma intraparenkimal yang
kecil terbatas pada penanganan hidrosefalus (jika ada) dengan drainase ventricular eksternal,
yang dapat dilakukan dengan cedera minimal pada jaringan otak yang normal. Pasien dengan

24
hematoma yang sangat besar (>60cm3) tidak akan memperoleh manfaat dari pengangkatan
hematoma karena terlalu banyak jaringan otak yang telah rusak.
Perdarahan intraserebral dibedakan atas perdarahan supratentorial dan infratetorial
dengan gejala klinis yang khas pada masing-masing lokasi. Tindakan pembedahan pada
perdarahan intraserebral primer tergantung tujuan tingkat keparahan klinis dan indikasi
bedahnya. Tindakan bedah yang dilakukan adalah: aspirasi sederhana, kraniotomi dan bedah
terbuka (open surgery), evakuasi endoskopik dan aspirasi stereotaksik. (Soertidewi, 2009)
Pembedahan perdarahan serebelum lebih pasti dalam indikasinya dibandingkan
perdarahan supratentorial dan jika dilakukan sesuai indikasi akan menolong hidup penderita.
indikasi yang jelas yaitu : adanya penurunan kesadaran yang disertai dengan kompresi batang
otak yang prokresif atau diameter hematoma > 3 cm. jika penderita menurun kesadarannya
dengan disertai hidrosefalus dan diameter hematoma < 3 cm, maka tindakan ventrikulostomi
(Ventriculo-Peritoneal shunt) dapat dilakukan sebagai tindakan awal dan kemudian observasi
pendertia akan menentukan apakah trepanasi sereberal perlu untuk tindakan.

Perdarahan Subarachnoid
Aneurisma dapat diterapi dengan operasi pembedahan saraf berupa penutupan leher
aneurisma dengan metal clip. Dengan demikian, aneurisma terekslusi dari sirkulasi secara
permanen, sehingga tidak dapat berdarah lagi. Bentuk terapi ini adalah terapi definitive,
kerugian terapi ini adalah memerlukan operasi kepala terbuka (kraniotomi) dan manipulasi
pembedahan saraf di sekitar dasar otak yang dapat menimbulkan komplikasi lebih lanjut.
Pembedahan sebaiknya dilakukan dalam 72 jam pertama setelah perdarahan subarachnoid,
yaitu sebelum periode dengan risiko terbesar terjadinya vasospasme. Pembedahan dini
diketahui memperbaiki prognosis pasien dengan SAH grade 1,2,3 pada Hunt dan Hess.
Tindakan ini merupakan bentuk terapi terpenting untuk mencegah perdarahan ulang. Selain
itu, bentuk terapi yang lebih tidak invasive adalah mengisi aneurisma dengan metal coils
(coiling; suatu prosedur yang menjadi bidang neuroradiology intervensional. Coil dihantarkan
dari ujung kateter angiografik khusus, yang dimasukkan secara transfemoral dan didorong
hingga mencapai aneurisma. Coiling menghindari perlunya craniotomy, tetapi mungkin tidak
sereliabel obliterasi aneurisma secara permanen. (Guideline Stroke, 2011)

25
Tata Laksana Umum di Ruang Gawat Darurat
1. Evaluasi Cepat Dan Diagnosis
Evaluasi gejala dan klinik stroke akut meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan neurologis. (Guideline Stroke, 2011)
2. Terapi umum
a. Stabilisasi Jalan Napas Dan Pernapasan
• Pemantauan secara terus menerus terhadap status neurologis, nadi, tekanan darah,
suhu tubuh dan saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan
deficit neurologis yang nyata.
• Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen < 95 %
• Perbaiki jalan nafas, termasuk pemasangan gudel dapat merangsang gag-reflex
yang agak sulit ditoleransi penderita, kecuali bila kesadaran sudah sangat
menurun. Jika penderita dengan kesadaran sangat menurun dan tidak mampu
mengendalikan sekret oral, pertimbangkan untuk intubasi dan ventilasi mekanik.
• Intubasi ETT atau LMA diperlukan pada pasien dengan hipoksia ( pO2 < 50
mmHg atau pCO2 > 50 mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk
terjadi aspirasi
• Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa
terpasang lebih dari 2 minggu, maka dianjurkan trakeostomi
b. Stabilisasi hemodinamik
• Komponen sirkulasi adalah denyut nadi, frekuensi detak jantung dan tekanan
darah.
• Monitor kardiak dan tekanan darah, pemasangan pulse-oksimetri, deteksi EKG.
Perubahan EKG dapat terjadi misalnya berupa inverse gelombang T pada 15 – 70
% kasus stroke akut. Disritmia jantung terjadi jika terjadi pelepasan katekolamin
otak yang bukan saja mempengaruhi hantaran listrik jantung tetapi juga
menimbulkan dekompensasi kordis (gagal jantung kongestif) atau infark miokard
akut.
• Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari cairan hipotonik seperti
glukosa karena hiperglikemia menyebabkan perburukan fungsi neurologis dan
keluaran)
• Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter) untuk memantau
kecukupan cairan, dan untuk memasukkan cairan dan nutrisi.
• Optimalisasi tekanan darah. Target tekanan darah sistol berkisar 140 mmHg.
26
• Bila TDS <120 mmHg dan cairan sudah mencukupi, maka obat-obat vasopressor
dapat diberikan secara titrasi seperti dopamine dosis sedang/tinggi, norepinefrin
atau epinefrin dengan target TDS berkisar 140 mmHg.
• Pada penderita stroke akut harus segera dipasang IVFD (intravenous fluid drip).
c. Pemeriksaan awal fisik umum
- Tekanan darah
- Pemeriksaan jantung
- Pemeriksaan neurologi umum awal : derajat kesadaran, pemeriksaan pupil dan
okulomotor, keparahan hemiparesis
d. Pengendalian peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
- Pemantauan ketat terhadap penderita dengan resiko edema serebral harus
dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologi pada
hari-hari pertama setelah serangan stroke.
- Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita yang
mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan TIK
- Sasaran terapi adalah TIK <20 mmHg dan CPP >70 mmHg.
- Tatalaksana penderita dengan peningkatan TIK meliputi:
• Elevasi kepala 20° - 30°
• Posisi pasien jangan menekan vena jugular
• Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
• Hindari hipernatremia
• Jaga normovolemia
• Osmoterapi atas indikasi :
 Manitol 0.25 – 0.5 gr/KgBB selama > 20 menit, diulang setiap 4-6 jam
dengan target ≤ 310 mOsm/L. osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali
sehari selama pemberian osmoterapi.
 Kalau perlu, berikan furosemid dengan dosis inisial 1 mg/KgBB
intravena
• Paralisis neuromuscular dan sedasi yang adekuay dapat mengurangi
naiknya TIK dengan cara mengurangi tekanan intratorakal dan tekanan
vena akibat batuk, suction, bucking ventilator
• Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema otak dan
tekanan intracranial pada stroke iskemik, tetapi dapat diberikan kalau
diyakini tidak ada kontraindikasi.
27
• Drainase ventrikular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke
iskemik serebelar
• Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik sereberal yang
menimbulkan efek masa, merupakan tindakan yang dapat menyelamatkan
nyawa dan memberiksan hasil yang baik.
e. Penanganan transformasi hemoragik, terapi ini sama dengan terapi stroke
perdarahan.
f. Pengendalian kejang
• Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5 – 20 mg diikuti oleh
fenitoin, loading dose 15 – 20 mg/Kg bolus dengan kecepatan maksimum 50
mg/menit. Pasien perlu di rawat di ICU jika terdapat kejang.
• Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis dapat
diberikan selama1 bulan, kemudian diturunkan dan dihentikan bila tidak ada
kejang selama pengobatan.
g. Pengendalian suhu tubuh
• Setiap penderita stroke yang disertai demam harus diberikan obat antipiretik dan
diatasi penyebabnya
• Beriksan acetaminophen 650 mg bila suhu > 38.5°C atau 37.5°C
• Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan
hapusan (trakea, darah, dan urin) dan diberikan antibiotic. Jika memakai kateter
ventrikuler, analisa cairan serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi
meningitis.
• Jika didapatkan meningitis, segera diikuti dengan terapi antibiotik
h. CT scan otak ulang mungkin diperlukan jika klinis memburuk dan dapat ditemukan
adanya perdarahan ulang ditempat yang sama atau tempat lain, hydrocephalus atau
jika status generalis menunjukkan adanya gangguan sistemik lain.
Diuretik Osmotik
Manitol
Istilah diuretic Osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang mudah dan
cepat diskskresi oleh ginjal. Suatu zat dapat bertindak sebagai diuretic osmotic apabila
memenuhi 4 syarat: (1) difiltrasi secara bebas oleh glomerulus. (2) tidak atau hanya sedikit
direbasorbsi sel tubulus ginjal. (3) secara farmakologis merupakan zat yang inert, dan (4)
umumnya resisten terhadap perubahan-perubahan metabolic. Dengan sifat-sifat ini, maka
diueretik osmotic dapat diberikan dalam jumlah cukup besar sehingga turut menentukan
28
derajat osmolalitas plasma, filtrate glomerulus dan cairan tubuli. (Farmakologi dan Terapi Ed
5, 2012)
Diuretik Osmotik (Manitol) mempuyai efek meningkatkan produksi urin, dengan cara
meningkatkan tekanan osmotic di filtrasi glomerulus dan tubulus. Mencegah tubulus
mereabsorbsi air. Tubulus proksimal dan ansa henle desenden sangat permeable terhadap
reabsobsi air. Diuretik osmotik yang tidak ditransportasi menyebabkan air dipertahankan
disegmen ini, yang dapat menimbulkan diuresis air. Contoh lain dari golongan obat anti
diuretik osmotic adalah: Manitol,urea,gliserin,isosorbid.(Farmakologi dan Terapi Ed 5, 2012)

A. Farmakokinetik
Manitol tidak mengalami metabolisme dalam badan dan hanya sedikit sekali direabsorpsi
tubuli bahkan praktis dianggap tidak direabsorpsi. Manitol meningkatkan tekanan osmotik
pada glomerulus filtrasi dan mencegah tubulus mereabsorbsi air dan sodium. Sehingga
manitol paling sering digunakan diantara obat ini. Sesuai dengan definisi, diuretic osmotic
absobsinya jelek bila diberikan peroral, yang berarti bahwa obat ini harus diberikan secara
parenteral. Manitol diekresikan melalui Filtrasi Glomerulus dalam waktu 30 – 60 menit
setelah pemberian. Efek yang segera dirasakan adalah peningkatan jumlah urine. Bila
diberikan peroral manitol menyebabkan diare osmotik. Karena Efek ini maka Manitol dapat
juga digunakan untuk meningkatkan efek pengikatan K+ dan resin atau menghilangkan
bahan-bahan toksin dari saluran cerna yang berhubungan dengan zat arang aktif. Pada pasien
payah jantung pemberian manitol berbahaya, karena volume darah yang beredar meningkat
sehingga memperberat kerja jantung yang telah gagal. (Farmakologi dan Terapi Ed 5, 2012)

B. Farmakodinamik.
Diuretik Osmotik (Manitol) mempunyai tempat utama yaitu: pada Tubulus Proksimal,
Ansa Henle dan Duktus kolingens (Sunaryo,2005). Diuresis osmotic digunakan untuk
mengatasi kelebihan cairan di jaringan (intra sel) otak. Diuretic osmotic yang tetap berada
dalam kompartemen intravaskuler efektif dalam mengurangi pembengkakan otak.
Manitol adalah larutan Hiperosmolar yang digunakan untuk terapi meningkatkan
osmolalitas serum. Dengan alasan fisiologis ini, cara kerja diuretic osmotik (manitol) ialah
meningkatkan osmolalitas plasma dan menarik cairan normal dari dalam sel otak yang
osmolarnya rendah ke intravaskuler yang osmolar tinggi, untuk menurunkan oedema otak.
pada sistem ginjal bekerja membatasi reabsobsi air terutama pada segmen dimana nefron
sangat permeable terhadap air, yaitu tubulus proksimal dan ansa henle desenden. Adanya
29
bahan yang tidak dapat direbasobsi air normal dengan masukkan tekanan osmotic yang
melawan keseimbangan. Akibatnya, volume urine meningkat bersamaan dengan ekskresi
manitiol. Peningkatan dalam laju aliran urin menurunkan waktu kontak antara cairan dan
epitel tubulus sehingga menurunkan reabsobsi Na+. namun demikian, natriureis yang terjadi
kurang berarti dibandingkan dengan diureisis air, yang mungkin menyebabkan
Hipernatremia. Karena diuretic osmotik untuk meningkatkan ekskresi air dari pada ekskresi
natrium, maka obat ini tidak digunakan untuk mengobati Retensi Na+. Manitol mempuyai
efek meningkatkan ekskresi sodium,air,potassium dan chloride, dan juga elekterolit lainnya.
(Farmakologi dan Terapi Ed 5, 2012)

Berdasarkan Farmakokinetik dan farmakodinamik diketahui beberapa Mekanisme aksi


dari kerja Manitol sekarang ini adalah segagai berikut:
1. Menurunkan Viskositas darah dengan mengurangi haematokrit, yang penting untuk
mengurangi tahanan pada pembuluh darah otak dan meningkatkan aliran darah ke otak,
yang diikuti dengan cepat vasokontriksi dari pembuluh darah arteriola dan menurunkan
volume darah otak. Efek ini terjadi dengan cepat (menit).
2. Manitol tidak terbukti bekerja menurunkan kandungan air dalam jaringan otak yang
mengalami injuri, manitol menurunkan kandungan air pada bagian otak yang yang tidak
mengalami injuri, yang mana bisa memberikan ruangan lebih untuk bagian otak yang
injuri untuk pembengkakan (membesar).
3. Cepatnya pemberian dengan Bolus intravena lebih efektif dari pada infuse lambat dalam
menurunkan Peningkatan Tekanan intracranial.
4. Terlalu sering pemberian manitol dosis tinggi bisa menimbulkan gagal ginjal. ini
dikarenakan efek osmolalitas yang segera merangsang aktivitas tubulus dalam mensekresi
urine dan dapat menurunkan sirkulasi ginjal.
5. Pemberian Manitol bersama Lasik (Furosemid) mengalami efek yang sinergis dalam
menurunkan PTIK. Respon paling baik akan terjadi jika Manitol diberikan 15 menit
sebelum Lasik diberikan. Hal ini harus diikuti dengan perawatan managemen status
volume cairan dan elektrolit selama terapi diuretik.

Indikasi
Manitol antara lain digunakan untuk :
1. Profilaksis gagal ginjal akut
2. Menurunkan tekanan maupun volume cairan intraocular.
30
3. Menurunkan tekanan atau volume cairan serebrospinal. Dengan meninggikan tekanan
osmotic plasma, maka air dari cairan bola mata atau dari cairan otak akan berdifusi
kembali ke plasama dan ke dalam ruangan ekstrasel.
4. Pengobatan sindrom disekuilibrium pada hemodialysis.
Diuretic osmotic meningkatkan osmolalitas cairan ekstrasel dan kembali menarik cairan ke
dalam sel.

Efek Samping
Manitol didistrbusi ke cairan ekstrasel, oleh karena itu pemberian larutan manitol hipertonis
akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstrasel, sehingga dapat menambah jumlah cairan
ekstrasel. Hal ini tentu berbahaya pada pasien payah jantung. Kadang-kadang manitol juga
dapat menimbulkan reaksi hipersensitif.

Kontraindikasi
Manitol dikontraindikasikan pada penyakit ginjal dengan anuria atau pada keadaan oliguria
yang tidak responsif dengan dosis percobaan; kongesti atau edema paru yang berat, dehidrasi
hebat dan perdarahan intracranial kecuali bila akan dilakukan kraniotomi. Infus manitol harus
segera dihentikan bila terdapat tanda-tanda gangguan fungsi ginjal yang progresif, payah
jantung atau kongesti paru.

Sediaan
Manitol untuk infus intravena digunakan larutan 20%. Dosis dewasa berkisar antara 50-100g
(250-500 mL) dengan kecepatan infus 30-50 mL/jam. Untuk mengurangi edema otak
diberikan 0,25-2 g/kgBB selama 30-60 menit. Untuk edema dan asites dan untuk mengatasi
GGA pada keracunan digunakan dosis 500 mL dalam 6 jam.

Penatalaksanaan Umum di Ruang Rawat.


Penatalaksanaan komprehensif secara garis besar di ruang rawat stroke, terdiri dari hal-hal
tersebut dibawah ini : (Guideline Stroke, 2011)
1. Cairan
a. Jaga euvolemi dengan pemberian isotonis.
b. Kebutuhan cairan total 30 ml/KgBB/hari
c. Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari ditambah
pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin sehari ditambah 500 ml untuk
31
kehilangan cairan yang tidak tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat celcius
pada penderita panas).
d. Jaga keseimbangan elektrolit (Na, K, Ca,Mg) usahakan nilai normal tercapai.
e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil AGD.
f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa dihindari kecuali pada keadaan
hipoglikemia
2. Nutrisi enteral paling lambat diberikan dalam 48 jam. Nutrisi oral hanya boleh diberikan
setelah hasol tes fungsi menelan baik. Apabila terdapat gangguan menelan dan penurunan
kesadaran, maka diberikan melalui selang NGT. Kebutuhan kalori 25-30 kkal/KgBB/hari.
3. Pencegahan dan penanganan komplikasi
a. Mobilisasi dan cegah komplikasi subakut (aspirasi, malnutrisi, pneumonia,
thrombosis vena dalam, emboli paru, decubitus, komplikasi ortopedi dan kontraktur).
b. Pada pasien yang berisiko mengalami thrombosis vena dalam diberikan heparin
subkutan 2x5000 IU/hari. Pada pasin imobilisasi yang tidak bisa menerima
antikoagulan, penggunakan stocking eksternal atau aspirin direkomendasikan untuk
mencegah thrombosis vena dalam.
c. Antibiotic atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur dan sensitivtas kuman
atau minimal terapi empiris sesuai dnegan pola kuman.
d. Pencegahan decubitus dengan mobilisasi terbatas dan/ memakai kasur antidekubitus
4. Penatalaksanaan medik yang lain
a. Pemantauan kadar glukosa darah. Hyperglikemia (GDS >180 mg/l) pada stroke akut
harus diobati dengan titrasi insulin. Target yang harus dicapai adalah normoglikemia.
Hipoglikemia berat (<50 mg/dl) harus diobati dengan dextrose 40% iv atau infuse
glukosa 10-20%.
b. Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan mayor
tranquilizer seperti benzodiazepin short acting atau propofol bisa di gunakan.
c. Analgesik dan anti muntah sesuai indikasi.
d. Berikan H2 antagonist, apabila ada indikasi (perdarahan lambung)
e. Hati-hati dengan suction, menggerakkan dan memandikan pasien karena dapat
mempengaruhi TIK.
f. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil
g. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi intermiten

32
h. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemeriksaan laboratorium, MRI, Dupleks
Carotid Sonography, Transcranial Doppler, TTE, TEE, dan lain-lain sesuai dengan
indikasi
i. Rehabilitasi.
j. Komunikasi, Informasi dan Edukasi pada pasien dan keluarga
k. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien setelah keluar dari rumah sakit)

Terapi Perdarahan Subarakhnoid


a. Manajemen Umum
Perhatian khusus ditujukan pada keadaan yang mempunyai potensi memperburuk
kondisi dari penderita. Ini meliputi :
1. ABC pada resusitasi kardiopulmoner
2. Pengelolaan hipertensi
Pengelolaan hipertensi harus hati-hati karena pengobatan yang agresif dapat
menyebabkan hipotensi yang menyebabkan bertambahnya iskemia. Sebaiknya
pengobatan hipertensi: hanya dilakukan bila ada kerusakan organ target dengan
menggunakan anti hipertensi kerja cepat.
3. Keseimbangan cairan elektrolit. Pemberian cairan dan elektrolit yang cukup dan
tidak boleh terjadi hipo atau hipervolemia.
4. Nyeri kepala pada penderita perdarahan subaraknoid yang sadar atau penurunan
sedikit kesadaran dapat sangat hebat. Terapi medik dapat diberikan bertahap mulai
dari ringan (parasetamol) sampai kodein, atau jika berat injeksi morfin secara
intravena diberikan dalam beberapa dosis sehari.
b. Pencegahan Perdarahan Berulang
Risiko perdarahan aneurisma ulang pada perdarahan subarakhnoid diperkirakaan 35 –
40 % pada 4 minggu pertama dari mereka yang hidup pada hari pertama. Penggunaan
terapi anti fibrinolik adalah untuk mencegah perdarahan ulang. Di Indonesia sering
dipakai adalah EACA (Epsilon Amino Caproic Acid) dengan dosis 3 – 4,5 gram
setiap 3 jam secara IV.atau per oral. Manfaatnya adalah untuk mencegah lisis dari
bekuan darah yang menutup dinding aneurisma bila belum pecah oleh bekuan fibrin
(thrombosed aneurism). Struktur molekul EACA ini mirip dengan lysine dan
memblok plasminogen untuk bergabung dengan fibrin yang memulai proses
fibrinolisis. Obat TEA (Tranexamid Acid) banyak dipakai dengan dosis (1 gram i.v.

33
atau 1,5 gram oral 4 sampai 6 kali sehari). Efek obat ini adalah sama dengan EACA,
dalam mencegah proses fibrinolisis pada thrombosed aneurysm.
c. Pencegahan Iskemia Serebral
Pencegahan yang efektif terhadap iskemia serebral, adalah dengan pengobatan
antagonis kalsium Nimodipin. Sampai sekarang nimodipin dianggap sebagai obat
yang mencegah dengan efektif kemungkinan timbulnya delayed cerebral iskemia post
aneurisma pada perdarahan subaraknoid.

Manajemen Kedaruratan Medik Stroke Pada Kondisi Khusus


A. Penatalaksanaan Hipertensi atau Hipotensi Pada Stroke Akut
1. Penatalaksanaan Hipertensi Pada Stroke
a. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut, apabila TDS > 200 mmHg atau
MAP > 150 mmHg, tekanan darah diturunkan secara kontinyu dengan pemantauan
tekanan darah setiap 5 menit.
i. Apabila TDS > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg disertai dengan gejala dan
tanda peningkatan TIK, lakukan pemantauan TIK. Tekanan darah dapat
diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinyu
atau intermiten dengan pemantauan tekanan perfusi serebral ≥ 60 mmHg.
ii. Apabila TDS > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg tanpa disertai dengan
gejala dan tanda peningkatan TIK, tekanan darah diturunkan secara hati – hati
dengan menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau intermiten
dengan pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg
atau tekanan darah 160/90 mmHg.
b. Pada pasien stroke pendarahan intraserebral dengan TDS 150 – 220 mmHg,
penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup aman.
Setelah kraniotomi target MAP adalah 100 mmHg.
c. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah pada
penderita stroke pendarahan intraserebral.
d. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan beta blocker (labetalol dan
esmolol), calcium channel blocker (nikardipin dan diltiazem) intravena digunakan
dalam upaya diatas.
e. Hidralazin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena mengakibatkan
peningkatan TIK, meskipun bukan kontraindikasi mutlak.

34
f. Pada perdarahan subarachnoid (PSA) anurismal, tekanan darah harus dipantau dan
dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk mencegah resiko
terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan ulang. Untuk mencegah
terjadinya PSA berulang, pada pasien stroke PSA akut, tekanan darah diturunkan
hingga TDS 140-160 mmHg. Sedangkan TDS 160-180 mmHg sering digunakan
sebagai target TDS dalam mencegah resiko terjadinya vasospasme.
g. Calcium chanel blocker (nimodipin) dapat digunakan untuk penatalaksanaan PSA
karena dapat memperbaiki keluaran fungsional pasien apabila vasospasme serebral
telah terjadi.
h. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih
rendah dari target diatas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ
lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut,
dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15 – 25 % pada jam
pertama, dan TDS 160/90 mmHg pada 6 jam pertama.

2. Penatalaksanaan Hipotensi Pada Stroke


- Hipotensi arterial pada stroke akut berhubungan dengan buruknya keluaran
neurologis, terutama bila tekanan darah sistolik <100mmHg atau tekanan darah
sistolik <70 mmHg.
- Oleh karena itu, hipotensi pada stroke akut harus diatasi dan dicari penyebab
hipotensinya, terutama diseksi aorta, hipovolemia, perdarahan dan penurunan curah
jantung karena iskemia miokardialial atau aritmia.
- Penggunaan obat obat vasopressor dapat diberikan dalam bentuk infus dan
disesuaikan dengan efek samping yang akan ditimbulkan seperti takikardia. Obat-obat
vasopressor yang dapat digunakan antara lain: fenilefrin, dopamine dan norepinefrin.
- Pemberian obat-obat tersebut diawali dengan dosis kecil dan dipertahankan pada
tekanan darah optimal, yaitu TDS sekitar140 mmHg pada kondisi stroke akut

B. Stroke Perdarahan
Pedoman penatalaksanaan
- Hilangkan faktor faktor yang berisiko meningkatkan tekanan darah seperti retensi urine,
nyeri, febris, peningkatan tekanan intrakranial, emosional stress dan sebagainya.
- Bila tekanan darah tinggi berikan dosis dan cara pemberian sesuai dengan tabel jenis-jenis
obat untuk terapi emergensi.
35
- Pada fase akut tekanan darah tidak boleh diturunkan lebih dari 20% - 25% dari tekanan
darah arteri rerata dalam 1 jam pertama • Bila tekanan darah rendah, harus diberikan obat
menaikkan tekanan darah (vasopresor).
Perhatian :
1. Peningkatan tekanan darah dapat disebabkan oleh stress akibat stroke, kandung kencing
yang penuh, nyeri, respon fisiologi dari hipoksia atau peningkatan tekanan intra-kranial.
2. Dengan memperhatikan dan melakukan penanganan pada keadaan tersebut di atas akan
banyak berpengaruh pada tekanan darah sistemik pada fase menunggu 5 - 20 menit
pengukuran berikutnya.
3. Untuk perdarahan subarakhnoid diberikan Nimodipine dengan dosis 60 mg tiap 4 jam
sampai 3 minggu.

Penatalaksanaan Khusus Stroke Akut.


1. Diagnosis dan penilaian gawat darurat
- CT scan dan MRI untuk membedakan stroke iskemik dengan perdarahan.
- Apabila dicurigai terdapat lesi struktural seperti malforasi vaskular dan tumor
dapat dilakukan pemeriksaan angiografi CT, venografi CT, CT dengan kontras atau
MRI dengan kontras.
2. Penatalaksanaan medis pendarahan intraserebral
• Pasien dengan defisiensi berat faktor koagulasi atau trombositopenia berat
sebaiknya mendapat terapi pengganti faktor koagulasi atau trombosit
• Apabila terjadi gangguan koagulasi dapat diberikan :
o Vitamin K 10 mg IV pada pasien dengan INR meningkat.
o Plasma segar beku (fresh frozen plasma) 2 – 6 unit diberikan untuk
mengoreksi defisiensi faktor pembekuan darah
• Pencegahan tromboemboli vena dengan stoking elastis.
• Heparin subkutan dapat diberikan apabila perdarahan telah berhenti (harus
terdokumentasi) sebagai pencegahan tromboemboli vena.
• Kontrol tekanan darah dan kadar glukosa darah
• Pemberian antiepilepsi apabila terdapat kejang.
• Prosedur/operasi
- Indikasi operasi evakuasi bekuan darah secepatnya
- Perdarahan serebelum dengan perburukan neurologis
- Adanya kompresi batang otak
36
- Hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel.
Pada pasien dengan bekuan darah di lobus dengan jumlah >30 ml dan
terdapat di 1 cm dari permukaan dapat dikerjakan kraniotomi standar untuk
mengevakuasi perdarahan intrakranial supratentorial. Drainase ventrikuler
sebagai tatalaksana hidrosefalus dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
penurunan kesadaran.
3. Penatalaksanaan pendarahan subaraknoid
a. Pasien dengan PSA sebaiknya dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala. Apabila
hasil CT scan tidak menunjukkan adanya tanda-tanda PSA pada pasien yang secara
klinis dicurigai PSA maka tindakan pungsi lumbal untuk analisis cairan
serebrospinal sangat direkomendasikan. (Guideline Stroke, 2011)
b. Tatalaksana umum :
o Tatalaksana PSA derajat I dan II berdasarkan Hunt dan Hess adalah sebagai berikut :
 Identifikasi dan atasi nyeri kepala sedini mungkin
 Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 30° dan nyaman, beri O2 2 –
3 L/menit.
 Hati–hati dalam penggunaan sedatif (kesulitan dalam penilaian tingkat
kesadaran)
 Usahakan euvolemia dan monitor ketat sistem kardiopulmoner dan kelainan
neurologi yang ada
o Tatalaksana PSA dereajat III, IV, dan V berdasarkan H&H perawatan harus lebih
intensif :
 Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai protokol di ruang gawat darurat
 Perawatan dilakukan di ruang intensif atau semiintensif
 Untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan napas yang adekuat
dipertimbangkan intubasi endotrakeal dengan hati-hati terutama apabila
didapatkan tanda-tanda peningkatan TIK.
 Hindari pemakaian sedatif
 Tindakan untuk mencegah pendarahan ulang stelah PSA :
o Kontrol dan monitor tekanan darah
o Bed rest total di tempat tidur.
o Terapi antifibrinolitik :
 Epsilon-aminocaproic acid : loading 1 g IV, kemudian diikuti dengan infus
kontinu 1 gr/jam atau asam traneksamat 1 gram IV kemudian dilanjutkan 1
37
gr setiap 6 jam sampai aneurisma tertutup atau biasanya disarankan selama
72 jam.
 Terapi umum :
o Berikan laxative untuk melunakkan feses secara reguler
o Analgetik : Acetaminophen ½ - 1 gr/4 – 6 jam dengan dosis maksimal 4 gr/4
– 6 jam
o Pasien yang sangat gelisah dapat diberikan :
 Haloperidol IM 1 – 10 mg tiap 6 jam
 Petidin IM 50 – 100 mg atau morfin SC atau IV 5 – 10 mg/4 – 6 jam
 Midazolam 0.06 – 1.1 mg/KgBB/jam
 Propofol 1 – 3 mg/KgBB/jam

Penatalaksanaan Gangguan Metabolik Pada Stroke


Gangguan metabolik yang timbul pada fase akut stroke terutama stroke berat.
Keadaan ini harus segera diatasi karena mempengaruhi prognosis dan kembalinya fungsi
neurologik. (Guideline Stroke, 2011)
Gangguan metabolik ini antara lain:
a. Dehidrasi, pemeriksaan bedside dan pemeriksaan tambahan lain.
b. Hiponatremia: sering terjadi pada stroke hemoragik dan perdarahan subaraknoid.
Salah satu penyebabnya adalah kehilangan garam yang berlebih oleh karena
penggunaan diuretika, atau karena faktor dilusi seperti SIADH (sindrome of
inappropriate diuretic hormone). Keadaan hiponatremia memperburuk kondisi
neurologis penderita stroke. Pengobatan, selain tambahan NaCI baik oral/parental
(NaCI 3%) diberikan pelan – pelan untuk mencegah komplikasi central pontine
myelinolysis (Machiava Bignami Disease).
c. Hiperglikemia dan hipoglikemi: Kenaikan kadar glukosa darah ditemukan pada 43%
penderita stroke akut, dan 25% diantaranya adalah penderita DM dan dalam jumlah
yang sama (25%) ditemukan kenaikan HbA1c pada serum. Setengahnya lagi (50%)
yaitu penderita non DM dengan respons hiperglikemia akibat stroke. Mungkin sekali
kenaikan ini akibat dari pelepasan katekolamin atau karena steroid yang dieskresi
berlebihan sebagai akibat stres (stress response).
Implikasi klinik dari hiperglikemia pada stroke kurang baik karena ini mencerminkan
respons terhadap stress berat (stroke yang parah) dan bahwa keadaan hiperglikemia
menghambat restorasi neuro penumbra. Sedangkan keadaan hipoglikemia jelas
38
memperburuk stroke. Biasanya akibat intake yang kurang atau pengobatan terhadap
hiperglikemia yang terlalu rendah. Keadaan hipoglikemia segera diatasi dengan
pemberian glukosa 40% atau memberikan gula peroral.
- Secara umum, hindari kadar gula darah >180 mg/dL.
- Kadar gula >180 mg/dL diturunkan dengan infus NaCl 0,9%.
- Sebaiknya hindari penggunaan larutan glukosa dalam 24 jam pertama setelah stroke.
- Hipoglikemia (<50 mg/dL) mungkin akan memperlihatkan gejala mirip stroke
infark dan dapat diatasi dengan pemberian bolus dextrose atau infus glukosa
10-20% sampai kadar gula darah 80-110 mg/dL.
- Insulin digunakan pada pasien stroke akut dengan DM tipe I maupun II, tetapi
tidak dapat digunakan pada pasien stroke lacunar.
- Kontrol gula darah selama fase akut stroke dapat dilakukan dengan sliding
scale insulin intravena, capai dengan :
• Insulin subkutan dengan sliding scale (Tabel.1)
• Insulin intravena dengan standar drip insulin 100 U/100mL salin
normal. Infus insulin harus dihentikan bila penderita makan dan
menerima dosis pertama insulin subkutan.

Tabel 5 Sliding scale Insulin regular manusia (Humulin R). (Arifputra & Tanto, 2014)
Gula Darah (mg/dL) Dosis Insulin Subkutan (Unit)
150-200 2
201-250 4
251-300 6
301-350 8
≥351 10

- Gula darah diperiksa satu jam sekali selama 4 jam pertama, kemudian apabila
stabil dapat diperiksa 2 jam sekali. Infus insulin dapat diturunkan apabila
kadar gula darah pasien stabil.

39
Tabel 6. Infus Insulin Intravena (Guideline Stroke, 2011)

I. KOMPLIKASI STROKE
Komplikasi stroke yang harus diwaspadai karena dapat mengakibatkan kematian dan
kecaatan adalah komplikasi medis, antara lain komplikasi pada jantung, paru (pneumonia),
perdarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, decubitus, thrombosis vena dalam dan
sepsis. Sedangkan komplikasi neurologis terutama adalah edema otak dan peningkatan
tekanan intracranial, kejang serta transformasi prdarahan infark. (Baehr & Frotscher, 2010)
Pada umumnya, angka kematian dan kecacatan semakin tinggi, jika pasien datang
terlambat (melewati therapeutic window) dan tidak ditangani dengan cepat dan tepat di
rumah sakit yang mempunyai fasilitas pelayanan stroke akut. (Baehr & Frotscher, 2010)
a. Edema otak (herniasi otak)
Merupakan komplikasi yan penting stroke akibat infark maupun karena perdarahan. Pada
kasus infark, edema terjadi secara vasogenik dan sitoksik, pada intra dan extraseluler.
b. Vasospasme (terutama pada PSA)
Terjadi beberapa hari kemudian, kemungkinan melalui efek zat vasoaktif yang
terkandung di dalam darah subarakhnoid yang mengalami ekstravasasi. Risiko
vasospasme dapat dikurangi dengan pengangkatan darah subarakhnoid sebanyak mungkin
dengan pembedahan dan dengan hipertensi yang diinduksi secara terapeutik. Cara ini
biasanya cukup untuk mencegah perkembangan infark vasospastik, komplikasi yang
sangat ditakuti. Vasospasme adalah penghambat serius pada diagnosis dan terapi efektif
perdarahan subarakhnoid aneurismal.
c. Hidrosefalus (gangguan sirkulasi dan/atau resorpsi LCS)

40
Jika terjadi timbul sangat cepat setelah munculnya SAH. Jika sejumlah besar darah,
sebagai akibat ruptur pembuluh darah, merembes ke dalam sistem ventrikel atau
membanjiri ruang subarachnoid bagaian basal, darah tersebut akan memasuki foramen
Luschka dan Magendie. Dimana pasien akan mengalami penurunan kesadaran hingga
pingsan sebagai akibat dari hidrosefalus akut. Hidrosefalus sub akut dapat terjadi akibat
blokade jalur cairan serebrospinal oleh darah setelah 2 hingga 4 minggu.
Hipertensi intrakranial yang disebabkannya sering menurunkan kesadaran dan pasien juga
dapat menimbulkan defisit neurologi fokal. Hidrosefalus dapat diterapi secara efektif
dengan drainase ventrikular eksternal. Drainase lumbal jarang digunakan.
d. Perdarahan ulang (komplikasi SAH)
Jika terjadi, lebih sering letal (50%) daripada perdarahan subarakhnoid awal. Risiko
perdarahan ulang adalah 20% pada 14 hari pertama setelah SAH awal dan 50% pada
enam bulan pertama, jika aneurisma belum diobliterasi. Tidak seperti SAH awal,
perdarahan ulang sering menimbulkan hematoma intraparenkimal yang besar, karena
ruang subarakhnoid di sekitar aneurisma sebagian tertutup oleh adhesi yang disebabkan
oleh perdarahan awal. Pada kasus-kasus tersebut, manifestasi klinis dan perjalanan
perdarahan ulang aneurismal adalah seperti yang dideskripsikan diatas mengenai
perdarahan intraserebral spontan.
e. Infeksi saluran kemih
Hindari pemasangan kateter urin bisa tidak ada indikasi kuat. Antibiotik profilaksi dapat
menurunkan risiko infeksi pada pasien stroke.
f. Bronkopneumonia
Pemberian antibiotik profilaksis tidak dianjurkan karena dapat memperburuk kondisi fase
akut stroke. Pneumonia akibat disfaga atau gangguan refleks menelan berhubungan
dengan aspirasi pneumonia. Oleh karena itu, refleks batuk perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi risiko pneumonia.oemberian NGT (dalam 48 jam) dianjurkan pada
pasien gangguan menelan. Dapat ditatalaksana dengan fisioterapi, pemberian antibiotik
sesuai indikasi, mobilisasi bertahap (jika terjai gagal nafas akut, dapat dilakukan
pemasangan ventilator sesuai indikasi dan kondisi pasien.
g. Stress ulcer
Untuk mencegah perdarahan lambung pada stroke, sitoprotektor atau penghambat
receptor H2 perlu diberikan. Antasida tidak perlu diberikan pada profilaksis stress ulcer.
Untk semua penderita stroke, pemberian obat-obatan seperti NSAID dan kortikosteroid
serta makanan atau minuman yang bersifat iritatif perlu dihindari.
41
h. Ulkus dekubitus
Memposisikan dan mereposisi tubuh bertujuan untuk menhindari tekanan langsung pada
tonjolan tulang dan permukaan tubuh.
i. Trombosis vena dalam
Pemakaian stoking dilakukan pada kelemahan tungkai. Mobilisasi dan hidrasi optimal.
j. Spastisitas.
Terapi spastisitas dengan fisioterapi
k. Disfagia
Mengajarkan merubah posisi untuk mengimbangi kesulitan menelan dan modifikasi diit
l. Disfungsi kanung kemih dan pencernaan
m. Depresi

J. PROGNOSIS STROKE
Prognosis bergantung pada jenis stroke dan sindrom klinis stroke. Kemungkinan hidup
setelah menderita stroke bergantung pada lokasi, ukuran, patologi lesi, ukuran, patologi lesi,
serta usia pasien dan penyakit yang menyertai sebelum stroke. Prognosis adalah dubia,
tergantung luasa dan letak lesi.
Perdarahan sibarakhnoid biasanya berhenti secara spontan, kemungkinan karena terbendung
oleh peningkatan tekanan intracranial. Hanya pasien dengan aneurisma yang telah berhenti
berdarah yang dapat selamat dirujuk ke rumah sakit; kematian pra rumah sakit untuk SAH
aneurismal sekitar 35%. (Baehr & Frotscher, 2010)

K. PENCEGAHAN STROKE
Pencegahan primer dan sekunder (Arifputra & Tanto, 2014)
• Hipertensi
- Primer : antihipertensi terbukti menurunkan resiko stroke iskemik pada lansia dengan
hipertensi sistolik terisolasi.
- Sekunder : penghambat ACE dan diuretik (tiazid) bermanfaat pada pasien dengan
riwayat stroke/TIA)
• Hiperkolesterolemia : statin untuk pencegahan primer atau sekunder
• Fibrilasi atrium : warfarin adalah agen lini pertama untuk pencegahan primer dan
sekunder tromboemboli
• Moifikasi gaya hip : Berhenti merokok , berhenti konsumsi alkohol, melakukan aktivtas
fisik
42
Rehabilitasi stroke
Rehabilitasi per individu sesuai dengan derajat dan jenis kecacatan, mungkin membutuhkan
program rawat inap dan dilanjutkan dirumah atau secara rawat jalan. Pendekatan
multidisipliner rehabilitasi stroke meliputi: (Arifputra & Tanto, 2014)
- Penilaian disfagia dan modifikasi diet
- Rehabilitasi komunikasi
- Penilaian kognitif dan psikologis, termasuk skrining untuk depresi
- Program olahraga terapeutik
- Penilaian ambulasi dan evaluasi alat bantu jalan
- Rehabilitasi vokasional

43
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.A
Umur : 53 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Kp. Ceger Sukatani
Pekerjaan : Tukang Ojek
Status Pernikahan : Menikah
Suku : Betawi
Pendidikan terakhir : SD
Tanggal masuk RS : 03 Februari 2019
Tanggal pemeriksaan : 03 Februari 2019
No. RM : 2431****

II. ANAMNESIS
Aloanamnesis dengan istri pasien pada tanggal 03 Februari 2019 pukul 18.50 WIB
Keluhan Utama

Penurunan kesadaran mendadak sejak 20 menit SMRS

Keluhan tambahan

Lemah anggota gerak kiri, bicara pelo, nyeri kepala, muntah.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien laki-laki berusia 53 tahun datang dibawa oleh keluarganya ke IGD RS


Karya Medika 1 dengan keluhan penurunan kesadaran mendadak sejak 20 menit sebelum
masuk rumah sakit. Penurunan kesadaran dirasakan saat pasien hendak tidur setelah
menonton televisi. Pasien masih ada kontak, tetapi cenderung tidur dan bangun jika
dipanggil. Pasien juga merasakan lengan kiri dan tungkai kirinya terasa lemah, mendadak
tidak dapat digerakkan. Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala, bicara pasien kurang jelas
44
(pelo), saat di IGD pasien muntah 1x isi cairan. Pasien masih dapat mengenali istri dan
anak. Keluarga pasien menyangkal pasien mengalami kejang, demam, pasien sulit buang
air besar dan buang air kecil. Keluarga mengatakan pasien pernah mengalami kecelakaan
motor 2 tahun yang lalu, pasien pingsan ± 10 menit, tidak terdapat luka pada kepala dan
tidak terdapat amnesia pada saat itu pasien tidak dibawa ke RS .
Pasien mempunyai riwayat hipertensi sejak 1 tahun, jarang berobat ke dokter dan
tidak teratur minum obat. Keluarga pasien menyangkal pasien mempunyai penyakit
jantung, DM, maupun TB paru.

Riwayat Penyakit Dahulu


• Riwayat hipertensi sejak 1 tahun tidak terkontrol
• Riwayat penyakit jantung disangkal
• Riwayat diabetes melitus disangkal
• Riwayat TB paru disangkal
• Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal

Riwayat penyakit keluarga

• Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal


• Riwayat tekanan darah tinggi (-), kencing manis (-), asthma (-), keganasan (-), TB (-).

Riwayat Kebiasaan
• Pasien tidak pernah mengkonsumsi alkohol.
• Pasien tidak pernah minum jamu.
• Pasien merokok sejak usia 18 tahun hingga sekarang, ±6 batang perhari

Riwayat Pengobatan
• Riwayat alergi obat (-)
• Riwayat mengkonsumsi obat-obat penghilang nyeri dalam waktu yang lama (-)

Riwayat pribadi dan sosial


• Pasien tinggal dirumah bersama istri dan anaknya
• Pasien bekerja sebagai tukang ojek.

45
• Pasien menggunakan jaminan BPJS kelas III untuk berobat
• Kesan ekonomi: menengah ke bawah

III. PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 03 Februari 2019 pukul 18.50 WIB di ruang ICU)
Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit berat


Kesadaran : Somnlen
GCS : E3M6V4

Tanda-Tanda Vital (di ICU)


Tekanan darah : 160/99 mmHg
MAP : 119
Nadi : 88 x/menit
Respirasi : 17 x/menit
Suhu : 36oC
SPO2 : 99%

Tanda-Tanda Vital (di IGD)


Tekanan darah : 223/127 mmHg
MAP : 159
Nadi : 75 x/menit
Respirasi : 24 x/menit
Suhu : 36oC
SPO2 : 99%

Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva Anemis -/-, Sklera ikterik -/-, Pupil bulat, Isokor,
diameter 3 mm/3mm, reflex cahaya langsung +/+, reflex cahaya tidak langsung +/+
Leher : Pembesaran KGB (-), Kaku kuduk (-)
Thoraks : Pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan
Cor : BJ I-II regular, Gallop (-), Murmur (-)
Pulmo : VBS ka=ki, Rh (-/-), Wh (-/-)
Abdomen : Datar, simetris, nyeri tekan - , bising usus +

46
Extremitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-)

Status Neurologis

Pupil

Kanan Kiri
Bentuk Bulat Bulat
Diameter 3 mm 3 mm
refleks cahaya langsung + +
refleks cahaya tak langsung + +

Tanda rangsang meningeal

Kanan Kiri
Kaku kuduk -
Brudzinski I - -
Laseque >70° >70°
Kernig >135° >135°
Brudzinski II - -

Saraf Kranial

Kanan Kiri
N. I (olfactorius) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. II(opticus)
• Reflek cahaya langsung + +
N. III (oculomotorius)
• Ptosis - -
N. IV (troklearis) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. V (trigeminus)
• Motoric : menggigit Baik
• Sensorik :sensibilitas wajah Sulit dinilai
• Reflex kornea baik
N. VI(abdusen) Tidak dilakukan Tidak dilakukan

47
N. VII (facialis)
Motoric
• Kerut dahi Simetris
• Angkat alis Simetris
• Menutup mata simetris
• Mencucurkan bibir Asimetris
• Menggembungkan pipi Asimetris, kanan lebih gembung
• Menyeringai Asimetris, kiri tertinggal, lebih datar
sensorik
• Daya pengecapan 2/3 lidah Tidak dilakukan
N.VIII(vestibulococlearis)
 Tes rhinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Tes weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Tes swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. IX (glossofaringeus)
 Posisi uvula ditengah
 Reflek muntah Sulit dinilai
N. X (vagus) Baik
N. XI (asesorius)
 Menengok Sulit dinilai Sulit dinilai
 Mengangkat bahu
N. XII (hipoglosus)
 Menjulurkan lidah Deviasi ke kiri
 fasikulasi -
 Atrofi lidah -

Motorik

Kanan Kiri
Kekuatan
 ekstremitas atas 5555 0000
 ekstremitas bawah 5555 0000
Tonus Normal Meningkat

48
Refleks fisiologis
 biceps + +
 triceps + +
 patella + +
 Achilles + +
Refleks patologis
 Hoffman - -
 Tromner - -
 Babinski - +
 Chaddok - -
 Oppenheim - -
 Gordon - -
 Schifer - -
 Gorda - -

Sensibilitas : Sulit dinilai

Keseimbangan dan Koordinasi

Kanan Kiri
Romberg Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Disdiadokokinesis Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes finger to nose Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes tumit- lutut Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Rebound phenomen Tidak dilakukan Tidak dilakukan

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Tanggal 03 Februari 2019


Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
LED 9 0-10
Hematologi
Hemoglobin 14.7 13,5- 17g/dl
Hematokrit 43.3 40 – 48%

49
Leukosit 14.3 5 – 10 ribu/ul
Trombosit 245 150 – 400 rb/ul
Kimia darah
Creatinin 1.27 0,50– 1,50 mg/dl
SGPT 16 0-41 U/L
Diabetes
GDS 129 < 170 mg/dl
Na, K, Cl
Natrium 143.12 135-145 mmol/l
Kalium 3,25 3,50 – 5 mmol/l
Chlorida 102.45 94 – 111 mmol/l

PEMERIKSAAN EKG
Tanggal 03 februari 2019

Kesan : sinus rithme, HR 75x/menit, terdapat T inverted di lead II, III dan aVF.

Tanggal 06 februari 2019


PEMERIKSAAN FOTO RONTGEN THORAX

Kesan :
• Pulmo tak tampak kelainan.
• Cardiomegaly (pembesaran chamber ventrikel
sinistra) disertai elongasi aorta, mengarah tanda-tanda
HHD.

50
PEMERIKSAAN CT SCAN KEPALA

Kesan :
Gambaran intracerebral hemorrhage
di lobus temporo-parietalis dextra
(volume ik. 46.61 ml), yang
mendesak dan menyempitkan
ventrikel lateralis dextra dan
menyebabkan herniasi subfalcine
ringan kearah sinistra sejauh ik. 0,4
cm.

IV. RESUME
Pasien laki-laki berusia 53 tahun dengan keluhan penurunan kesadaran mendadak dan
lemah anggota gerak kiri mendadak sejak 20 menit sebelum masuk rumah sakit. Lemah
anggota gerak kiri dirasakan pasien ketika hendak tidur malam setelah menonton televisi.
Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala, bicara pasien kurang jelas (pelo), saat di IGD pasien
muntah 1x isi cairan. Pasien masih ada kontak, tetapi cenderung tidur dan bangun jika
dipanggil. Pasien masih dapat mengenali istri dan anak. pasien pernah mengalami kecelakaan
motor 2 tahun yang lalu, pasien pingsan ± 10 menit, tidak terdapat luka pada kepala dan
tidak terdapat amnesia, pada saat itu pasien tidak dibawa ke RS. pasien mempunyai riwayat
hipertensi sejak 1 tahun, dan tidak rutin berobat.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat, kesadaran
somnolen, GCS E3M6V4 , Saat di IGD tekanan darah : 223/127 mmHg (MAP :159), Nadi: 75
x/menit, Respirasi: 24 x/menit, Suhu: 36oC, SPO2 : 99%, saat di ICU Tekanan darah: 160/99
mmHg (MAP : 119), Nadi: 88 x/menit, Respirasi: 17 x/menit, Suhu: 36oC, SPO2: 99%. Pada
Pada pemeriksaan neurologis didapatkan refleks patologis Babinski , pemeriksaan saraf
51
kranialis didapatkan parese N.VII dan N.XII sinistra. didapatkan motorik kekuatan otot
(5/0)(5/0).
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan peningkatan leukosit 14,300 dan
penurunan kalium 3,25 mmol/l. Pemeriksaan foto rontgen thoraks didapatkan Cardiomegaly
(pembesaran chamber ventrikel sinistra) disertai elongasi aorta, mengarah tanda-tanda HHD.
Pada pemeriksaan CT scan kepala terdapat Gambaran intra cerebral hemorrhage di lobus
temporo-parietalis dextra (volume ik. 46.61 ml), yang mendesak dan menyempitkan ventrikel
lateralis dextra dan menyebabkan herniasi subfalcine ringan kearah sinistra sejauh ik. 0,4 cm.

V. DIAGNOSIS
1. Diagnosis klinis : Hemiparesis sinistra
2. Diagnosis topis : Hemisfer Cerebri dextra lobus temporo-parietalis dextra
3. Diagnosis etiologis : Stroke Hemoragik intracerebral hemorrhage

VI. DIAGNOSIS BANDING


Stroke Non Hemoragik

VII. PENATALAKSANAAN
Non Mediakamentosa
1. Posisi tidur Elevasi kepala 20° - 30°
2. Pemasangan kateter urin
3. Pemasangan NGT
4. Pemantauan kesadaran

Medikamentosa
1. Oksigen nasal kanul 3 liter per menit
2. IVFD Asering /12 jam
3. Infus manitol 4x125cc
4. Injeksi asam tranexamat 3x 500mg
5. Injeksi citicolin 2x500mg
6. Injeksi ondancentron 2x4 mg
7. Injeksi ranitidine 2x50 mg
8. Injeksi ceftriaxone 1x2 gr
9. Injeksi azithromycin 1x500mg
52
10. Paracetamol drip 3x1 gr
11. Nicardipin mulai 0,5 mic/kgBB dalam 8 jam target penurunan TD 25% MAP
12. KSR tab 1x600mg
13. Amlodipine tab 1x10mg
14. Candesartan tab 1x8mg
15. Sukralfat syrup 4x10cc
16. N-Acetylcistein 3x200mg

VIII. PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : dubia ad bonam
Quo Ad Fungtionam : dubia ad malam
Quo Ad Sanationam : dubia ad malam

53
BAB IV
PEMBAHASAN
ANALISA KASUS

Telah dilakukan pemeriksaan pada seorang laki-laki berusia 53 tahun dengan


diagnosa klinis hemiparesis sinistra pada stroke hemoragik dan hipertensi emergency. Pada
pasien ini, diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan pada pasien terjadi penurunan
kesadara secara mendadak ketika pasien sedang istirahat. Keluhan juga disertai nyeri kepala
dan muntah 1x. pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 1 tahun tidak terkontrol. Pada
pemeriksaan fisik, Kesadaran somnolen, GCS E3M6V4= 13. Saat di IGD didapatkan tekanan
darah yang tinggi pada keadaan umum pasien yaitu 223/137 mmHg (MAP : 159). Pada
pemeriksaan neurologis didapatkan status motorik pada pasien ini sulit dinilai namun
memberikan kesan adanya hemiparese sinistra, karena ketika pasien diminta untuk
menggerakkan kedua ekstremitas, lengan dan tungkai kanan bergerak aktif, namun lengan
dan tungkai kiri tidak memberikan reaksi, didapatkan kekuatan otot (5/0)/(5/0), Babinski (+)
sinistra. Reflex cahaya (+/+). Pupil isokor dengan diameter 3mm/3mm.
Pada pasien ini ditemukan adanya gejala klinis fungsional otak yang bersifat fokal
yang timbul secara mendadak yaitu lengan dan tungkai kiri tidak dapat digerakkan, nyeri
kepala dan muntah. Menurut WHO stroke didefinisikan sebagai tanda-tanda klinis yang
berkembang dengan cepat akibat gangguan otak fokal atau global dengan gejala-gejala yang
berlangsung 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain
yang jelas selain vaskuler.
Secara garis besar faktor risiko stroke dibagi atas faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan yang tidak dapat di modifikasi. Faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi
diantaranya adalah hipertensi, hipertensi, diabetes mellitus, merokok, mengkonsumsi alkohol,
hiperlipidemia, dll. Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia,
jenis kelamin, ras/suku, dan faktor genetik. Pada pasien ini terdapat faktor risiko hipertensi,
dimana pasien sudah menderita hipertensi selama 1 tahun namun pasien jarang kontrol dan
tidak rutin mengkonsumsi obat hipertensi.
Hipertensi pada pasien dapat dikategorikan sebagai hipertensi emergensi. Hal ini
sesuai dengan klasifikasi hipertensi menurut The Seventh Report of The Joint National
Comittee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC
7), yaitu klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa. Hipertensi merupakan faktor risiko
54
stroke yang potensial. Hipertensi dapat mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya
pembuluh darah otak yang mengakibatkan perdarahan otak dan apabila pembuluh darah otak
menyempit maka aliran darah ke otak akan terganggu dan sel-sel otak akan mengalami
kematian.
Kemungkinan penyebab stroke pada pasien ini adalah karena pecahnya pembuluh
darah di otak (stroke hemoragik). Pecahnya pembuluh darah otak pada umumnya terjadi saat
pasien sedang beraktivitas maupun saat istirahat, adanya nyeri kepala yang hebat, timbulnya
defisit neurologis dalam waktu beberapa menit hingga beberapa jam yang diikuti dengan
adanya penurunan kesadaran, disertai keluhan mual hingga muntah karena tekanan
intrakranial yang meningkat. Pada kasus ini serangan terjadi saat pasien sedang beristirahat
saat akan tidur dan dirasakan sangat mendadak disertai adanya nyeri kepala hebat, terdapat
penurunan kesadaran, adanya kelemahan pada lengan dan tungkai kiri, adanya tanda‐tanda
peningkatan tekanan intrakranial berupa mual dan muntah.
Pada pasien ditemukan adanya kelemahan lengan dan tungkai kiri sehingga diagnosis
klinisnya adalah hemiparesis sinistra. Pada pasien juga terdapat refleks Babinsky yang positif
menunjukkan adanya lesi upper motor neuron (UMN) yang berarti kerusakan berada pada
saraf pusat. Kerusakan pada seluruh korteks piramidalis sesisi menimbulkan kelumpuhan
UMN pada belahan tubuh sisi kontralateral. Keadaan tersebut dikenal sebagai hemiparalisis
atau hemiplegia. Kerusakan yang menyeluruh, tetapi belum membutuhkan semua neuron
korteks piramidalis sesisi, menimbulkan kelumpuhan pada belahan tubuh kontralateral yang
ringan sampai sedang. Dalam hal ini digunakan istilah hemiparesis. Masih normalnya fungsi
motorik wajah pada bagian atas menandakan bahwa fungsi lower motoneuron masih dalam
keadaan baik.
Pada pasien didapatkan kelemahan lengan dan tungkai kiri yang disertai adanya
penurunan kesadaran, dan nyeri kepala yang terjadi secara mendadak mengarahkan diagnosis
etiologi pada stroke hemoragik. Kecurigaan diarahkan pada stroke hemoragik berdasarkan
manifestasi klinis yang terjadi, yaitu ditemukan tiga gejala berdasarkan Algoritma Gajah
Mada. Sesuai dengan algoritma tersebut, pada pasien ini ditemukan penurunan kesadaran,
nyeri kepala dan refleks Babinsky yang positif.
Untuk dapat mendiferensiasi stroke hemoragik dan stroke non hemoragik dibutuhkan
pemeriksaan penunjang berupa CT-Scan untuk membatu menegakkan diagnosis. Dari
pemeriksaan CT-Scan yang dilakukan didapatkan adanya gambaran perdarahan intraserebral
yang memastikan bahwa diagnosis pada pasien ini adalah stroke hemoragik. Tujuan
penatalaksanaan stroke secara umum adalah menurunkan morbiditas dan menurunkan angka
55
kematian serta menurunnya angka kecacatan. Penatalaksanaan umum yang dapat dilakukan
adalah dengan stabilisasi jalan napas dan pernapasan. Pemberian oksigen dapat dilakukan
pada pasien dengan saturasi oksigen <95%, Keseimbangan cairan diperhitungkan dengan
mengukur cairan yang dikeluarkan dari tubuh. Cairan yang diberikan pada pasien adalah
koloid asering secara intravena. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/KgBB per hari.
Pemasangan kateter diperlukan untuk mengukur banyaknya urine yang diproduksi dalam 24
jam. Pemasangan pipa nasogastrik diperlukan pada pasien ini untuk pemberian nutrisi, karena
adanya penurunan kesadaran. Diberikan juga manitol yang bertujuan untuk menurunkan
tekanan intrakranial. Manitol diberikan dengan dosis 0,25‐0,50 gr/kg BB selama lebih dari 20
menit. Pemberian manitol dapat diulangi setiap 4‐6 jam. Pada pasien diberikan Infus manitol
4x125cc.
Tekanan darah dapat diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena
secara kontinyu. Pada pasien ini diberikan obat antihipertensi intravena berupa Nicardipin
mulai 0,5 mic/kgBB dalam 8 jam target penurunan TD 25% MAP, amlodipin 1x10mg,
candesartan 1x 8mg. Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau
15‐20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan
volume hematoma bertambah. Selain itu, perlu diberikan antibiotik sebagai pencegahan
terhadap infeksi sekunder. Pada pasien ini diberikan ceftriaxone 1x2 gr dan Injeksi
azithromycin 1x500mg, neuroprotektor injeksi citicolin 2x500mg.
Pemberian terapi antihipertensi jika didapatkan tekanan darah yang tinggi (hipertensi
emergensi) diberikan dengan pertimbangan bukan hanya terhadap otak saja, tetapi juga
terhadap kerusakan organ lain misalnya jantung dan ginjal. Meskipun demikian jika tekanan
darahnya rendah pada pasien yang mempunyai riwayat hipertensi pada fase akut serangan
stroke, hal tersebut mungkin menandakan deteriorasi neurologis dini atau peningkatan
volume infark, dan merupakan outcome yang buruk pada bulan pertama saat serangan,
khususnya penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 20 mmHg. Pada pasien juga diberikan
injeksi asam tranexamat untuk mengatasi terjadinya gangguan koagulasi. Asam tranexamat
diberikan 3x500mg injeksi. Obat-obat untuk lambung, mengatasi mual dan muntah yaitu
injeksi ondancentron 2x4 mg, injeksi ranitidine 2x50 mg, Sukralfat syrup 4x10cc, untuk
mengurangi demam diberikan paracetamol drip 3x 1 gr, diberikan N-Acetylcistein 3x200mg
dan KSR tablet 1x600 mg untuk mengatasi hypokalemia pada pasien.
Pengendalian faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi bersifat tidak dapat dirubah
dan dapat dipakai sebagai penanda stroke pada seseorang. Selain itu juga untuk mencegah
stroke diperlukan modifikasi gaya hidup. Pencegahan berulang intracerebral haemorrhage
56
(ICH) dilakukan mengingat angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi dengan cara
menurunkan tekanan darah, tidak merokok, tidak meminum alkohol dan menghindari
penggunaan kokain. AHA merekomendasikan pencegahan ICH berulang dengan cara
mengobati hipertensi adalah langkah yang paling penting untuk mengurangi risiko ICH dan
ICH berulang. Merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan kokain adalah faktor risiko
untuk terjadinya ICH.
Pasien akan disarankan untuk menjalani rehabilitasi medik untuk memberi
kemampuan kepada penderita yang telah mengalami disabilitas fisik dan atau penyakit
kronis, agar dapat hidup atau bekerja sepenuhnya sesuai dengan kapasitasnya. Program
rehabilitasi medik yang dapat diikuti pasien berupa fisioterapi, terapi wicara dan psikoterapi.

57
PENUTUP

Telah ditegakkan diagnosis stroke hemoragik pada pasien Tn. A berusia 53 tahun atas
dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Faktor resiko pada pasien
dengan riwayat hipertensi yang tidak terkontrol merupakan salah satu faktor resiko terjadinya
stroke hemoragik dan berdasarkan penelitian epidemiologi laki-laki lebih banyak menderita
stroke dengan usia diatas 40 tahun. Stroke dapat memberikan prognosis yang buruk karena
dapat mengakibatkan kerusakan otak yang ireversibel sampai menyebabkan kematian.

58
DAFTAR PUSTAKA

Guideline Stroke. (2011). Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonsia


(PERDOSSI).
Farmakologi dan Terapi Ed 5. (2012). Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik
FKUI.
Panduan Keterampilan Klinis: Bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Primer. (2017). Jakarta:
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.
Arifputra, A., & Tanto, C. (2014). Kapita Selekta Kedokteran Essentials Medicine Ed IV Jilid
II. Jakarta: Media Aesculapius.
Baehr, M., & Frotscher, M. (2010). Diagnosis Topik Neurologi DUUS: Anatomi, Fisiologi,
Tanda, Gejala. Jakarta: EGC.
Depkes. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018. Jakarta: Kementrian Kesehatan-Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
IDI, P. (2017). Panduan Keterampilan Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Primer.
Jakarta: Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.
Loekman, J. S. (2016). Patogenesis dan Manajemen Hipertensi. Denpasar: Divisi Ginjal dan
Hipertensi, Departemen IPD FK Udayana.
Mardjono, M. (2009). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Ed 6 . Jakarta: EGC.
Soertidewi, L. (2009). Modul Induk Neurovaskular. Jakarta: Kolegium Neurologi Indonesia
(KNI)- PERDOSSI.

Loomis C, Mullen MT. Differentiating facial weakness caused by bell’s palsy vs acute stroke.
Journal of Emergency Medical Services. 2017 May. Didapat dari:
https://www.jems.com/articles/print/volume-39/issue-5/features/differentiating-facial-
weakness-caused-b.html

59

Anda mungkin juga menyukai