Anda di halaman 1dari 26

Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

BAB I
PENDAHULUAN

Spinal anestesi atau Subarachniod Blok (SAB) adalah salah satu teknik anestesi
regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesilokal ke dalam ruang
subarachnoid untuk mendapatkan analgesi setinggi dermatom tertentu dan relaksasi otot
rangka.
Subarachnoid Spinal Block, sebuah prosedur anestesi yang efektif dan bisa digunakan
sebagai alternatif dari anestesi umum. Umumnya digunakan pada operasi bagian bawah
tubuh seperti ekstremitas bawah, perineum, atau abdomen bawah
Analgesi adalah kata yang berarti hilangnya atau bebas dari nyeri. Istilah ini pada
masa kini menunjukkan makna ganda. Pertama, untuk menunjukkan proses penderita bebas
dari nyeri tanpa kehilangan kesadaran. Kedua, dipergunakan oleh beberapa pakar dalam
kaitannya dengan istilah anestesi untuk menunjukkan anestesi lokal atau regional obat
analgesi dibagi ke dalam dua kelompok yakni golongan NSAID dan golongan opioid, yang
bekerja di perifer atau sentral, sedangkan obat untuk melakukan analgesi lokal adalah
kelompok obat analgesi lokal, seperti prokain, lidokain dan bupivakain.
Efek samping tindakan anstesi spinal diantaranya hipotensi berat, bradikardi, trauma
pembuluh darah, hipoventilasi, trauma pembuluh darah, trauma saraf, mual-muntah,
gangguan pendengaran, blok spinal tinggi, spinal total. Sedangkan komplikasi pasca tindkn
diantaranya nyeri tempat suntikan, nyeri punggung, nyeri kepala, retensi urin, dan meningitis.
Pemilihan teknik anestesi berdasarkan pada faktor-faktor seperti usia (bayi, anak,
dewasa muda, geriatri), status fisik, jenis operasi, ketrampilan ahli bedah, ketrampilan ahli
anestesi, dan pendidikan. Tujuan penulisan ini untuk menjelaskan dasar pemilihan teknik
anestesi pada kasus kehamilan ektopik terganggu.
Istilah ektopik berasal dari bahasa Inggris, ectopic, dengan akar kata dari bahasa
Yunani, topos yang berarti tempat. Jadi istilah ektopik dapat diartikan “berada di luar tempat
yang semestinya”. Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi terjadi diluar
rongga uterus, tuba falopii merupakan tempat tersering untuk terjadinya implantasi kehamilan
ektopik, sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba, jarang terjadi implantasi pada
ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang rudimenter dan divertikel
pada uterus.

1
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

Apabila pada kehamilan ektopik terjadi abortus atau pecah, dalam hal ini
dapat berbahaya bagi wanita hamil tersebut maka kehamilan ini disebut kehamilan
ektopik terganggu. Kehamilan ektopik terganggu merupakan penyebab kematian
tertinggi pada kehamilan trimester pertama. Pada KET, hal yang paling berbahaya adalah
terjadinya shock hipovolemik akibat perdarahan yang terjadi dari pecahnya kehamilan
ektopik tersebut.
Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat berakibat fatal.
Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti
cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit.

Laparotomy adalah operasi yang dilakukan untuk membuka abdomen (bagian perut).
Kata “laparotomy” pertama kali digunakan untuk merujuk operasi semacam ini pada tahun
1878 oleh seorang ahli bedah Inggris, Thomas Bryant. Kata tersebut terbentuk dari dua kata
Yunani, “lapara” dan “tome”. Kata “lapara” berarti bagian lunak dari tubuh yg terletak di
antara tulang rusuk dan pinggul. Sedangkan “tome” berarti pemotongan. Laparotomy
dilakukan untuk memeriksa beberapa organ di abdomen sebelah bawah dan pelvis (rongga
panggul).

Pada laporan kasusu kali ini, akan dibahas mengenai manajemen anastesi pada
penderita KET yang dilakukan tindakan laparatomy.

2
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi

Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-“tidak, tanpa” dan aesthesos,
“persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh.

Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya perlu
dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih besar, bila pasien
tak sadar. Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius pada bagian utama pengantar
register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga,
obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu.

Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu terhambat
dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi atau efek mati rasa
akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.

Metode pemberian Anestesi regional dibagi menjadi dua, yaitu secara blok sentral dan blok
perifer (Latief, 2001).

A. Blok Sentral (Blok Neuroaksial).

Blok sentral dibagi menjadi tiga bagian yaitu anestesi Spinal, Epidural dan Kaudal
(Latief, 2001).

a. Anestesi Spinal

Anestesia spinal (intratekal, intradural, subdural, subarakhnoid) ialah anestesi


regional dengan tindakan penyuntikan obat anestesi lokal ke dalam ruang
subarakhnoid. Larutan anestesi lokal yang disuntikan pada ruang subarachnoid akan
memblok konduksi impuls sepanjang serabut syaraf secara reversible. Terdapat tiga
bagian syaraf yaitu motor, sensori dan autonom. Motor menyampaikan pesan ke otot
untuk berkontraksi dan ketika di blok, otot akan mengalami paralisis. Syaraf sensori akan

3
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

menghantarkan sensasi seperti rabaan dan nyeri ke sumsum tulang dan ke otak,
sedangkan syaraf otonom akan mengontrol tekanan darah, nadi, kontraksi usus dan fungsi
lainnya yang diluar kesadaran.

Pada umumnya, serabut otonom dan nyeri adalah yang pertama kali diblok dan
serabut motor yang terakhir. Hal ini akan menimbulkan timbal balik yang penting.
Contohnya, vasodilatasi dan penurunan tekanan darah yang mendadak mungkin akan
terjadi ketika serabut otonom diblok dan pasien merasakan sentuhan dan
masih merasakan sakit ketika tindakan pembedahan dimulai.

Anestesi spinal merupakan pilihan anestesi pada daerah dibawah umbilikus,misalnya


repair hernia, ginekologi, operasi urogenital dan operasi di daerah perineum dan genitalia.

Indikasi anestesi spinal adalah:


1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rectum-perineum
4. Bedah obstetric-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatric biasanya
dikombinasi dengan anesthesia umum ringan.
7. Pasien lanjut usia dan pasien dengan penyakit sistemik.
Kontra indikasi anesthesia spinal ada dua macam yakni relative dan absolute.

Kontra indikasi absolute Kontra indikasi relative


1. Pasien menolak 1. Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
2. Infeksi pada tempat suntikan 2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok 3. Kelainan neurologis
4. Koagulopati atau mendapat 4. Kelainan psikis
terapiantikoagulan 5. Bedah lama
5. Tekanan intracranial meninggi 6. Penyakit jantung
6. Fasilitas resusitasi minim 7. Hipovolemia ringan
7. Kurang pengalaman atau / tanpa 8. Nyeri punggung kronis
didampingi konsultan anesthesia

4
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

Kelebihan pemakaian anestesi spinal diantaranya adalah biaya minimal, tidak ada
efek pada pernafasan, jalan nafas pasien terjaga, dapat dilakukan pada pasien diabetes
mellitus, perdarahan minimal, aliran darah splancnic meningkat, terdapat
tonusvisceral, jarang terjadi gangguan koagulasi.
Sedangkan kekurangan pemakaian anestesi spinal akan menimbulkan hipotensi,
hanya dapat digunakan pada operasi dengan durasi tidak lebih dari dua jam, bila tidak aseptik
akan menimbulkan infeksi dalam ruang subarachnoid dan meningitis, serta kemungkinan
terjadi postural headache.

Persiapan Anastesi Spinal :

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia umum.
Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada
kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan
prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:

1. Informed consent (Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia
spinal)

2. Pemeriksaan fisik (Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang


punggung)

3. Pemeriksaan laboratorium anjuran (Hb, ht,pt,ptt)

Premedikasi :

1. Memberikan rasa nyaman kepada pasien: menghilangkan rasa kwatir, memberikan


ketenangan, membuat amnesia, memberikan analgesia dan mencegah muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
3. Mengurangi dosis obat anestesi
4. Menekan reflex yang tidak diharapkan
5. Mengurangi sekresi: saluran nafas, saliva
6. Mengurangi resiko aspirasi
7. Merupakan salah satu tehnik anestesi

5
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

Persiapan alat yang dibutuhkan :


1. Peralatan monitor tekanan darah, nadi, oksimetri denyutan dan EKG
2. Peralatan resusitasi
3. Jarum spinal

Menentukan lokasi pungsi :


1. Berpatokan bahwa garis khayalan setinggi krista iliaka dianggap setinggi L4 atau L4-
L5
2. Garis khayalan setinggi margo inferior scapula sesuai dengan ketinggian T7
3. Prosesus spinosus yang paling menonjol didasar leher sesuai dengan vertebrae C7
Lokasi pungsi L3-L4 pada conus medularis dewasa berakhir di L2 untuk mencegah
trauma medulla spinalis.

Penusukan :
Secara anatomis, bila dilihat dari posisi sagital maka struktur vertebra dari lumbar adalah :
1. Kulit
2. Lemak subkutan
3. Ligamentum Supraspinosus
4. Ligamentum Interspinosum
5. Ligamentum Flavum
6. Ruang epidural
7. Duramater
8. Ruang subdural
9. Araknoid
10. Ruang subarachnoid

6
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

Teknik Anestesia Spinal :


1. Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan posisi termudah.
Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa di pindah lagi, karena perubahan
posisi berlebihan dalam waktu 30 menit pertama akan
menyebabkan penyebaran obat. Jika posisinya duduk, pasien disuruh memeluk
bantal, agar posisi tulang belakang stabil, dan pasien membungkuk agar prosesus
spinosus mudah teraba. Jika posisinya dekubitus lateral, maka
beri bantal kepala, agar pasien merasa enak dan menstabilkan tulang belakang.
2. Tentukan tempat tusukan. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua
krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Untuk operasi hernia ini,
dilakukan tusukan pada L3-4. Tusukan pada L1-2 atau di atasnya berisiko trauma
terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol.
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan. Pada kasus ini diberikan obat anestesi lokal
bupivakain.
5. Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang medial dengan
sudut 10-30 derajad terhadap bidang horizontal ke arah cranial. Jarum lumbal akan
menembus kulit - subkutis - lig.supraspinosum - lig.interspinosum - lig.flavum -
ruang epidural - duramater - ruang sub arakhnoid. Kira-kira jarak kulit - lig.flavum
dewasa ± 6cm.
6. Cabut stilet maka cairan serebrospinal akan menetes keluar.
7. Pasang spuit yang berisi obat, masukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, untuk memastikan posisi jarum tetap baik.

Faktor – Faktor yang mempengaruhi tinggi blok anastesi spinal:


1. Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
2. Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
3. Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah
analgetik.
4. Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.
Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
5. Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan
akibat batas analgesia bertambah tinggi.

7
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

6. Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung berkumpul
ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung menyebar ke cranial.
7. Berat jenis larutan: hiper,iso atau hipo barik
8. Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas analgesia
yang lebih tinggi.
9. Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar dosis
yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
10. Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan,umumnya larutan analgetik sudah
menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.
11. Gravitasi : Cairan serebrospinal pada suhu 37°C mempunyai BJ 1,003-1,008. Jika
larutan hiperbarik yang diberikan kedalam cairan serebrospinal akan bergerak oleh
gaya gravitasi ke tempat yang lebih rendah, sedangkan larutan hipobarik akan
bergerak berlawanan arah dengan gravitasi seperti menggantung dan jika larutan
isobarik akan tetap dan sesuai dengan tempat injeksi.
12. Anatomi kolumna vertebralis akan mempengaruhi lekukan-lekukan saluran
serebrospinal, yang akhirnya akan mempengaruhi tinggi anestesi spinal pada
penggunaan anestesi lokal jenis hiperbarik.

Obat-Obatan Yang Dipakai :


1. Atropin sulfat
Farmakodinamika
Atropin merupakan antimuskarinik. Atropin memblok asetilkolin endogen maupun
eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih besar pada eksogen. Kepekaan reseptor muskarinik
terhadap anti muskarinik berbeda antar organ. Pada dosis kecil (sekita 0,25 mg) dapat
menekan sekresi air liur, mucus bronkus dan keringat. Pada dosis yang lebih besar (0,5 – 1
mg) baru terlihat dilatasi pupil, gangguan akomodasi dan penghambatan N.Vagus sehingga
terjadi takikardi. Pada dosis sekitar 0,3 mg dapat merangsang N.vagus sehingga frekunesi
denyut jantung berkurang. Perangsangan respirasi sebagai akibat dari dilatasi bronkus. Pada
dosis yang besar atropin malah dapat menyebabkan depresi nafas,delirium dll. Pada saluran
nafas dapat bekerja sebagai pengurang secret hidung, mulut, faring dan bronkus. Sehingga
penggunaan pada premedikasi anestesi mengurangi resiko aspirasi.

8
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

Indikasi
a. Antidotum keracunan antikolinesterase dan keracunan kolinergik yang ditandai dengan
gejala muskarinik
b. Medikasi praanestesi
c. Menghambat motilitas usus dan lambung
Efek samping
a. Mulut kering
b. Gangguan miksi
c. Meteorisme
d. Sindrom demensia pada orang tua
e. Alergi atropine namun jarang ditemukan
f. Muka memerah

2. Bunascan Spinal 0,5% Heavy


Bunascan Spinal 0,5% Heavy merupakan nama dagang, isinya adalah bupivacaine
HCL 5mg/ml dan dextrose 80mg/ml. Pada pasien ini, diberikan Bunascan Spinal 0,5%
Heavy 10mg.
Farmakodinamik :
Anestesi lokal adalah obat yang digunakan untuk mencegah rasa nyeri dengan memblok
konduksi sepanjang serabut saraf secara reversible. Obat menembus saraf dalam bentuk tidak
terionisasi (lipofilik), tetapi saat di dalam akson terbentuk beberapa molekul terionisasi, dan
molekul-molekul ini memblok kanal Na+, serta mencegah pembentukan potensial aksi.
Anestesi lokal dapat menekan jaringan lain yang dapat dieksitasi (miokard) bila konsentrasi
dalam darah cukup tinggi, namun efek sistemik utamanya mencakup system saraf pusat. Pada
konsentrasi darah yang dicapai dengan dosis terapi, terjadi perubahan konduksi jantung,
eksitabilitas, refrakteritas, kontraktilitas dan resistensi vaskuler perifer yang minimal.
Kontraktilitas miokardium ditekan dan terjadi vasodilatasi perifer, mengakibatkan penurunan
curah jantung dan tekanan darah arteri. Absorpsi sistemik anestetik lokal juga dapat
mengakibatkan perangsangan dan atau penekanan sistem saraf pusat. Rangsangan pusat
biasanya berupa gelisah, tremor dan menggigil, kejang, diikuti depresi dan koma, akhirnya
terjadi henti napas. Fase depresi dapat terjadi tanpa fase eksitasi sebelumnya.
Farmakokinetik :
Kecepatan absorpsi anestetik lokal tergantung dari dosis total dan konsentrasi obat yang
diberikan, cara pemberian, dan vaskularisasi tempat pemberian, serta ada tidaknya epinefrin

9
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

dalam larutan anestetik. Bupivacaine mempunyai awitan lambat (sampai dengan 30 menit)
tetapi mempunyai durasi kerja yang sangat panjang,sampai dengan 8 jam bila digunakan
untuk blok syaraf. Lama kerja bupivacaine lebih panjang secara nyata daripada anestetik
lokal yang biasa digunakan. Juga terdapat periode analgesia yang tetap setelah kembalinya
sensasi.
Efek samping :
Penyebab utama efek samping kelompok obat ini mungkin berhubungan dengan
kadar plasma yang tinggi, yang dapat disebabkan oleh overdosis, injeksi intravaskuler yang
tidak disengaja atau degradasi metabolik yang lambat.
Sistemik : Biasanya berkaitan dengan sistem saraf pusat dan kardiovaskular seperti
hipoventilasi atau apneu, hipotensi dan henti jantung.
SSP : Gelisah, ansietas, pusing, tinitus, dapat terjadi penglihatan kabur atau tremor,
kemungkinan mengarah pada kejang. Hal ini dapat dengan cepat diikuti rasa mengantuk
sampai tidak sadar dan henti napas. Efek SSP lain yang mungkin timbul adalah mual,
muntah, kedinginan, dan konstriksi pupil.
Kardiovaskuler : Depresi miokardium, penurunan curah jantung, hambatan jantung,
hipotensi, bradikardia, aritmia ventrikuler, meliputi takikardia ventrikuler dan fibrilasi
ventrikuler, serta henti jantung.
Alergi : Urtikaria, pruritus, eritema, edema angioneuretik (meliputi edema laring),
bersin, episode asma, dan kemungkinan gejala anafilaktoid (meliputi hipotensiberat).
Neurologik : Paralisis tungkai, hilangnya kesadaran, paralisis pernapasan dan
bradikardia (spinal tinggi), hipotensi sekunder dari blok spinal, retensi urin,inkontinensia
fekal dan urin, hilangnya sensasi perineal dan fungsi seksual;anestesia persisten, parestesia,
kelemahan, paralisis ekstremitas bawah dan hilangnya kontrol sfingter, sakit kepala, sakit
punggung, meningitis septik, meningismus, lambatnya persalinan, meningkatnya kejadian
persalinan dengan forcep, atau kelumpuhan saraf kranial karena traksi saraf pada kehilangan
cairanserebrospinal.

10
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

3. Ketopain 30 mg sebagai analgesik


Farmakodinamik
Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini
merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik yang lemah
dan anti-inflamasi. Ketorolac tromethamine menghambat sintesis prostaglandin dan dapat
dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap
reseptor opiat.
Farmakokinetik
Ketorolac tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap setelah pemberian
intramuskular dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma sebesar 2,2 mcg/ml setelah
50 menit pemberian dosis tunggal 30 mg. Waktu paruh terminal plasma 5,3 jam pada dewasa
muda dan 7 jam pada orang lanjut usia (usia rata-rata 72 tahun). Lebih dari 99% Ketorolac
terikat pada konsentrasi yang beragam. Farmakokinetik Ketorolac pada manusia setelah
pemberian secara intramuskular dosis tunggal atau multipel adalah linear. Kadar steady state
plasma dicapai setelah diberikan dosis tiap 6 jam dalam sehari. Pada dosis jangka panjang
tidak dijumpai perubahan bersihan. Setelah pemberian dosis tunggal intravena, volume
distribusinya rata-rata 0,25 L/kg. Ketorolac dan metabolitnya (konjugat dan metabolit para-
hidroksi) ditemukan dalam urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya (rata-rata 6,1%) diekskresi
dalam feses. Pemberian Ketorolac secara parenteral tidak mengubah hemodinamik pasien.
Indikasi
Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut
sedang sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total Ketorolac tidak boleh lebih dari
lima hari. Ketorolac secara parenteral dianjurkan diberikan segera setelah operasi. Harus
diganti ke analgesik alternatif sesegera mungkin, asalkan terapi Ketorolac tidak melebihi 5
hari. Ketorolac tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai obat prabedah obstetri atau untuk
analgesia obstetri karena belum diadakan penelitian yang adekuat mengenai hal ini dan
karena diketahui mempunyai efek menghambat biosintesis prostaglandin atau kontraksi
rahim dan sirkulasi fetus.
Kontra indikasi
a. Pasien yang sebelumnya pernah mengalami alergi dengan obat ini, karena ada
kemungkinan sensitivitas silang.
b. Pasien yang menunjukkan manifestasi alergi serius akibat pemberian Asetosal atau obat
anti-inflamasi nonsteroid lain.
c. Pasien yang menderita ulkus peptikum aktif.

11
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

d. Penyakit serebrovaskular yang dicurigai maupun yang sudah pasti.


e. Diatesis hemoragik termasuk gangguan koagulasi.
f. Sindrom polip nasal lengkap atau parsial, angioedema atau bronkospasme.
g. Terapi bersamaan dengan ASA dan NSAID lain.
h. Hipovolemia akibat dehidrasi atau sebab lain.
i. Gangguan ginjal derajat sedang sampai berat (kreatinin serum >160 mmol/L).
j. Riwayat asma.
k. Pasien pasca operasi dengan risiko tinggi terjadi perdarahan atau hemostasis inkomplit,
pasien dengan antikoagulan termasuk Heparin dosis rendah (2.500–5.000 unit setiap 12
jam).
l. Terapi bersamaan dengan Ospentyfilline, Probenecid atau garam lithium.
m. Selama kehamilan, persalinan, melahirkan atau laktasi.
n. Anak < 16 tahun.
o. Pasien yang mempunyai riwayat sindrom Steven-Johnson atau ruam vesikulobulosa.
p. Pemberian neuraksial (epidural atau intratekal).
q. Pemberian profilaksis sebelum bedah mayor atau intra-operatif jika hemostasis benar-
benar dibutuhkan karena tingginya risiko perdarahan.
Dosis
Ketorolac ampul ditujukan untuk pemberian injeksi intramuskular atau bolus intravena.
Dosis untuk bolus intravena harus diberikan selama minimal 15 detik. Ketorolac ampul tidak
boleh diberikan secara epidural atau spinal. Mulai timbulnya efek analgesia setelah
pemberian IV maupun IM serupa, kira-kira 30 menit, dengan maksimum analgesia tercapai
dalam 1 hingga 2 jam. Durasi median analgesia umumnya 4 sampai 6 jam. Dosis sebaiknya
disesuaikan dengan keparahan nyeri dan respon pasien. Lamanya terapi : Pemberian dosis
harian multipel yang terus-menerus secara intramuskular dan intravena tidak boleh lebih dari
2 hari karena efek samping dapat meningkat pada penggunaan jangka panjang.
Dewasa
Ampul : Dosis awal Ketorolac yang dianjurkan adalah 10 mg diikuti dengan 10–30 mg
tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan. Harus diberikan dosis efektif terendah. Dosis harian total
tidak boleh lebih dari 90 mg untuk orang dewasa dan 60 mg untuk orang lanjut usia, pasien
gangguan ginjal dan pasien yang berat badannya kurang dari 50 kg. Lamanya terapi tidak
boleh lebih dari 2 hari. Pada seluruh populasi, gunakan dosis efektif terendah dan sesingkat
mungkin. Untuk pasien yang diberi Ketorolac ampul, dosis harian total kombinasi tidak boleh

12
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

lebih dari 90 mg (60 mg untuk pasien lanjut usia, gangguan ginjal dan pasien yang berat
badannya kurang dari 50 kg).
Efek Samping
Efek samping di bawah ini terjadi pada uji klinis dengan Ketorolac IM 20 dosis dalam 5
hari. Insiden antara 1 hingga 9% : Saluran cerna : diare, dispepsia, nyeri gastrointestinal,
nausea. Susunan Saraf Pusat : sakit kepala, pusing, mengantuk, berkeringat.

4. Ondansetron
Farmakologi
Ondansetron adalah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan
mual dan muntah karena sitostatika misalnya cisplatin dan radiasi. Mekanisme kerjannya
diduga langsung mengantagonisasi reseptor 5-HT yang terdapat pada chemoreseptor trigger
zone didaerah postrema otak dan mungkin juga pada aferen vagal saluran cerna. Ondansetron
mempercepat pengosongan lambung, bila kecepatan basal rendah. Tetapi waktu transit
saluran cerna memanjang sehingga dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Ondansetron
dometabolisme di hati.

Indikasi
Ondansetron digunakan untuk mencegah mual dan muntah yang berhubungan dengan
operasi dan pengobatan kanker dengan radiografi dan sitostatika. Dosis yang digunakan 0,1-
0,2 mg/Kg IV.
Efek samping
Keluhan biasanya dapat ditoleransi dengan baik. Keluhan yang umum ditemukan adalah
konstipasi. Gejala lain dapat berupa sakit kepala, mengantuk, gangguan saluran cerna.
Kontraindikasi
Hipersensitivitas merupakan kontraindikasi penggunaan ondansetron. Obat ini sebaiknya
tidak digunakan pada ibu hamil dan menyusui karena kemungkinan disekresikan ke dalam
ASI. Pasien dengan penyakit hatimudah mengalami intoksikasi.

13
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

Pencegahan:

1. Pakailah jarum lumbal yang lebih halus

2. Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater

3. Hidrasi adekuat, minum/infuse 3L selama 3 hari

Pengobatan:

1. Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam

2. Hidrasi adekuat

3. Hindari mengejan

4. Bila cara diatas tidak berhasil berikan epidural blood patch yakni penyuntikan darah
pasien sendiri 5-10ml ke dalam ruang epidural.

Bromage score digunakan untuk menilai pasien pasca operasi dengan anastesi spinal.
Kriteria penilaian, sbb:

1. Gerakan penuh dari tungkai, 0


2. Tak mampu ekstensi tungkai, 1
3. Tak mampu fleksi lutut, 2
4. Tak mampu fleksi pergelangan kaki, 3

Jika Bromage Score <2 dapat pindah ke ruangan.

b. Anestesi Epidural

Anestesi epidural ialah blokade saraf dengan menempatkan obat pada ruang epidural
(peridural, ekstradural) di dalam kanalis vertebralis pada ketinggian tertentu, sehingga daerah
setinggi pernapasan yang bersangkutan dan di bawahnya teranestesi sesuai dengan teori
dermatom kulit.

14
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

c. Anestesi Kaudal

Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena ruang kaudal adalah
kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan di ruang kaudal melalui hiatus
sakralis.

B. Blok Perifer (Blok Saraf)

Anestesi regional dapat juga dilakukan dengan cara blok perifer. Salah satu teknik yang
dapat digunakan adalah anestesi regional intravena.

Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan kesepakatan dan
pengetahuan yang dalam baik antara pasien dan faktor–faktor pembedahan.

Dalam beberapa kelompok populasi pasien, pembiusan regional ternyata lebih baik
daripada pembiusan total. Blokade neuraksial bisa mengurangi resiko trombosis vena, emboli
paru, transfusi, pneumonia, tekanan pernapasan, infark miokardial, dan gagal ginjal.

Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan anestesi antara lain: keterampilan dan
pengalaman ahli anestesi dan ahli bedah, tersedianya obat dan peralatan, kondisi klinis
pasien, waktu yang tersedia, tindakan gawat darurat atau efektif, keadaan lambung, dan
pilihan pasien. Untuk operasi kecil (misalnya menjahit luka atau manipulasi fraktur lengan),
jika lambung penuh, maka pilihan yang terbaik adalah anestesi regional. Untuk operasi besar
gawat darurat, anestesi regional atau umum sangat kecil perbedaannya dalam hal
keamanannya.

2.2 Kehamilan Ektopik Terganggu


Kehamilan Ektopik adalah kehamilan dengan hasil konsepsi berimplantasi dan
tumbuh di luar endometrium kavum uteri (Hanifa, 1992).
Kehamilan Ektopik Terganggu merupakan penyebab 1 dari 200 (5-6%) motarlitas
maternal di negara maju. Dengan 60.000 kasus setiap tahun 3% dari populasi masyarakat.
Angka kejadian KET di Indonesia diperkirakan tidak jauh berbeda dengan Negara maju,
menurut WHO. Kehamilan ektopik merupakan salah satu kehamilan yang berakhir abortus,
sekitar 16% kematian dalam kehamilan karena pendarahan dilaporkan yang disebabkan
kehamilan ektopik yang pecah.

15
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

Etiologi tergantung pada Fungsi tuba falopii pada alat reproduksi wanita yang sangat
penting, yaitu:
A. Proses ovum pick up mechanism
B. Transportasi spermatozoa menuju ampula tuba sebagai tempat yang paling besar
untuk terjadinya konsepsi.
C. Alat transportasi ovum menuju ampula tuba sehingga dapat terjadi konsepsi.
D. Tempat tumbuh kembangnya hasil konsepsi, dari bentuk zygot sampai
blastula sehingga siap untuk melakukan implantasi.
E. Alat tempat transportasi hasil konsepsi menuju uterus sebagai tempat akhir
implantasi dan tumbuh kembang sampai menjadi aterm.

Disebutkan terdapat trias KET yaitu amenorea, pendarahan, dan akut abdomen. Selain itu
menegakan diagnosis KET dapat pula dilakukan pemeriksaan penunjang.
A. Laboratorium: Pemeriksaan Hb serial setiap 1 jam menunjukkan penurunan kadar Hb,
ditemukan juga adanya leukositosis.
B. Tes Kehamilan: Apabila tesnya positif, itu dapat membantu diagnosis khususnya
terhadap tumor-tumor adneksa yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehamilan.
C. Ultrasonografi: Diagnosis pasti ialah apabila ditemukan kantung gestasi di luar uterus
yang di dalamnya tampak denyut jantung janin.
D. Kuldosintesis: Adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam
kavum Douglas ada darah. Jika darah segar berwarna merah yang dalam beberapa
menit akan membeku; darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk, sedangkan
darah tua berwarna coklat sampai hitam yang tidak membeku, atau yang berupa
bekuan kecil-kecil; darah ini menunjukkan adanya hematokel retrouterina.
E. Laparoskopi: Hanya digunakan sebagai alat diagnosis terakhir untuk
kehamilan ektopik. Dikerjakan apabila pada pemeriksaan klinik tidak dijumpai tanda
klasik dari kehamilan ektopik yang pecah, ataupun hasil kuldosintesis tidak positif.
F. Dilatasi dan kuretase: Biasanya dilakukan apabila setelah amenorea terjadi
perdarahan yang cukup lama tanpa ditemukan kelainan nyata di samping uterus,
sehingga dipikirkan abortus inkompletus atau perdarahan uterus
disfungsional. Apabila pada spesimen kuretase itu tidak dijumpai villus korealis
sekalipun terdapat desidua dengan atau tanpa reaksi Arias-Stella pada
endometriumnya, maka diagnosis kehamilan ektopik dapat ditegakkan.

16
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

Penanganan kehamilan ektopik pada umunya adalah laparotomi. Dalam tindakan


demikian, beberapa hal harus diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu kondisi penderita
pada saat itu, keinginan penderita akan fungsi reproduksinya. Lokasi kehamilan ektopik,
kondisi anatomic organ pelvis, kemampuan teknik bedah mikro dokter operator, dan
kemampuan teknologi fertilisasi invitro setempat. Hasil pertimbangan ini menentukan
apakah perlu dilakukan salpingektomi pada kehamilan tuba, atau dapat dilakukan
pembedahan konservatif dalam arti hanya dilakukan salpingostomi atau reanastomosis
tuba. Apabila kondisi penderita buruk, misalnya dalam keadaan syok, lebih baik
dilakukan salpingektomia.

17
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

LAPORAN KASUS

PEMBAHSAN KASUS

Laporan Pra Operatif :

1. Keadaan umum dan Vital sign baik


2. Informed consent
3. Pasang iv line
4. Pasang Kateter

Persiapan di kamar operasi :


Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :
1. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan.
2. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.
3. Alat-alat resusitasi (STATICS).
4. Obat-obat anastesia yang diperlukan.
5. Obat-obat resusitasi, misalnya ; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium bikarbonat
dan lain-lainnya.
6. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
7. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.
8. Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse Oxymeter” dan
“Capnograf”.
9. Kartu catatan medik anestesia

18
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

Tabel komponen STATICS


S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien, pada kasus ini
digunakan laryngeal mask airway ukuran 2 ½.
LA Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
a hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan
p lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan
o jalan napas.
rT Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
a tercabut.
nI Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
D trakea mudah dimasukkan. Pada pasien ini tidak digunakan
u introducel atau stilet.
rC Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.
aS Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
n
Durante Operatif

1. Anastesiologi : dr. SpAN


2. Jenis Anastesi : Regional anastesi
3. Lama Anastesi :
4. Lama Operasi :
5. Ahli Obgyn : dr. Sp.Og

Pasien wanita G3P2A0 masuk ke ruang Operasi pada tanggal 07 April 2017
pukul 11.45 wita dengan terpasang infus Gelafusal 500 cc ditangan kanan.
Dilakukan pemasangan alat untuk pemeriksaan tanda vital dengan hasil TD
118/70mmHg, N 79x/menit dan saturasi oksigen (SpO2) 100%. Pada pukul
11.50wita dilakukan anastesi spinal dengan pemberian injeksi bupivacaine 0,5%
sebanyak 10mg dengan posisi Left Lateral decubitus (LLD).

19
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

Pernapasan spontan, dilakukan pemeliharaan anastesi dengan pemberian


oksigen 3liter/menit, selama operasi berlangsung. Selain itu, dilakukan juga
pengontrolan monitor untuk tanda – tanda vital pasien, yang setiap 5 menit
dilakukan pencatatan.

Premedikasi diberikan midazolam 2.5mg, sedangan Medikasi yang


diberikan selama operasi berlangsung yaitu ranitidin 50mg, ondancentron 4mg,
asam tranexamat 250mg, ketorolac 30mg, efedrin 10mg. Terapi cairan yang
diberikan pre-operasi yakni RL 350cc (cairan yang masuk saat puasa) + Gelafusal
500cc. Terapi cairan durante operasi RL 1500cc. Tindakan laparatomi
berlangsung sekitar 50menit dengan jumlah pendarahan 500cc dan urin 400cc.

Terapi Cairan

 BB : 54kg
 EBV : 65cc/kgBB x 54kg = 3510cc
 Jumlah Pendarahan : 500cc

(%pendarahan = 500/3510 x 100% = 14.2%)

𝐻𝑐𝑡 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛−𝐻𝑐𝑡 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟


𝑀𝐴𝐵𝐿 = 𝐸𝐵𝑉 × (𝐻𝑐𝑡 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛+𝐻𝑐𝑡 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 )/ 2
38−25 13
= 3510 × (38+25)/ 2
= 3510 × = 903 𝑚𝑙
50

Input yang diperlukan selama operasi

 Maintanance (M) = (4x10) + (2x10) + (1x34) = 94ml/jam


 Cairan defisit Pengganti Puasa (P) = lama puasa x maintanance = 8 x 94 =
752ml - 350ml (cairan yang masuk saat puasa) = 402ml
 Stress operasi : Pada kasus ini termasuk jenis operasi besar karena
dilakukan tindakan laparatomy, sehingga stress operasi = 8 x 54 = 432cc
 Cairan defisit darah dan urin selama 30menit = 500 + 400 = 900ml
 Total kebutuhan cairan selama 50menit operasi = (94x1) + 402 + 432 +
900 = 1828cc
 Cairan masuk Kristaloid 1500cc + koloid 500cc = 2000cc

20
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

 Keseimbangan Kebutuhan
o Cairan masuk – cairan dibutuhkan 2000 – 1828 = 172cc

Laporan Post Operatif

Pemantauan di Post Anasthesia Care Unit (PACU) / Recovery Room (RR)

1. Tekanan darah, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.


2. Memasang O2 3 L/menit nasal kanul.
3. Memberikan antibiotik profilaksis, antiemetik, H2 reseptor bloker dan
analgetik.
4. Mengevaluasi Bromage Score bila ≤ 2 boleh pindah ruangan.
5. Bila mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), makan dan minum diperbolehkan
sesuai instruksi sejawat obgyn.
6. IVFD RL 20 tetes/menit.

Pasien dianjurkan untuk berbaring dengan posisi kepala yang lebih tinggi untuk
mencegah terjadinya spinal headache, karena obat anastesi masih ada. Selain itu juga
dianjurkan untuk tidak duduk dalam 24 jam post operatif.

21
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

Pasien wanita 34th dengan diagnosis G3P2A0 + KET + Post kuretase akan dilakukan
tindakan laparatomy. Klasifikasi ASA mulai diperkenalkan pada tahun 1960-an oleh
American Society of Anesthesiologist sebagai deskripsi yang mudah yang menunjukkan status
fisik pasien yang berhubungan dengan indikasi apakah tindakan bedah harus dilakukan
segera/cito atau elektif. Klasifikasi ini sangat berguna harus diaplikasikan pada pasien yang
akan dilakukan tindakan pembedahan, meskipun banyak faktor-faktor lain yang berpengaruh
terhadap hasil keluaran setelah tindakan pembedahan. Dengan keadaan tersebut di atas,
pasien termasuk dalam kategori PS ASA I. Adapun pembagian kategori ASA adalah :
I : Pasien normal dan sehat fisis dan mental
II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan fungsional
III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang menyebabkan keterbatasan
fungsi
IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan menyebabkan
ketidakmampuan fungsi
V : Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa operasi
VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil.

Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka penggolongan ASA diikuti huruf
E (misalnya IE atau IIE).

Pemilihan anastesi regional dengan teknik spinal, untuk pertimbangan :

1. Lokasi yang akan dilakukan operasi terletak pada daerah abdominal-


inguinal
2. Durasi operatif relatif singkat (sekitar 3jam)
3. Pada pemeriksaan fisik, laboraturium dan pemeriksaan penunjang
lainnya tidak ditemukan kelainan yang menyebabkan kontraindikasi
anastesi spinal
4. Posisi pasien selama operasi adalah terlentang
5. Operasi yang tidak memerlukan instrumen alat bantu napas
6. Pasien tetap sadar, komunikatif, relaksasi optimal, perawatan pasca
bedah minimal, sehingga nyeri pasca bedah dapat dikelola
7. Tidak ada penolakan dari pasien/keluarga untuk dilakukannya tindakan
anastesi spinal

22
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

Pemantauan blokade anastesi spinal dengan skore bromage. Dimana skore bromage
sebelum operasi dimulai adalah 3 (tidak dapat memfleksikan pergelangan kaki).

Premedikasi dengan midazolam 2.5mg yang berperan sebagai induksi dan


pemeliharaan selama anastesi.

Obat anastesi yang digunakan adalah Bunascan Spinal 0,5%


Heavy merupakan nama dagang, isinya adalah bupivacaine HCL 5mg/ml dan dextrose
80mg/ml. Pada pasien ini, diberikan Bunascan Spinal 0,5% Heavy 10 mg. Barisitas anestesi
lokal mempengaruhi penyebaran obat tergantung dari posisi pasien. Larutan hiperbarik
disebar oleh gravitasi, larutan hipobarik menyebar berlawanan arah dengan gravitasi dan
isobarik menyebar lokal pada tempat injeksi.
Untuk menghindarkan terjadinya penurunan tekanan darah yang hebat, sebelum
dilakukan anestesi spinal diberikan cairan elektrolit Nacl fisiologis atau ringer laktat 10-20
ml pada anestesi spinal. Terjadi penurunan frekuensi nadi dan penurunan tekanan darah
dikarenakan tejadinya blok saraf simpatis yang bersifat akselerator jantung.
Efedrin merupakan vasopresor yang biasanya digunakan selama anestesia untuk
melawan penurunan tekanan darah arterial dan denyut jantung setelah anestesi spinal dan
epidural, sebagai vasopresor dan simpatomimetik, efedrin telah digunakan dengan aman dan
efektif, baik untuk pencegahan maupun pengobatan hipotensi yang disebabkan oleh
anestesia, khususnya anestesia pada obstetri. obat ini juga dapat menurunkan respon
hemodinamik yang disebabkan oleh pemberian bolus propofol sebagai tambahan efek alfa
vasokonstriktor dan beta kardiostimulannya, efedrin juga memiliki keuntungan yaitu
durasinya yang singkat, jadi memiliki profil kriteria yang serupa dengan propofol.

Asam traneksamat adalah obat golongan antifibrinolitik yang bekerja mengurangi


perdarahan dengan cara menghambat aktivasi plasminogen menjadi plasmin pada pembekuan
darah. Karena plasmin berfungsi mendegradasi fibrin, maka asam traneksamat bekerja
menghambat degradasi fibrin yang berujung pada meingkatnya aktivitas pembekuan darah.

Sebagai analgetik digunakan Ketorolak (berisi 30 mg/ml ketorolac tromethamine)


sebanyak 1 ampul (1 ml) disuntikan iv. Ketorolak merupakan nonsteroid anti inflamasi
(AINS) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan rasa
nyeri/analgetik efek. Ketorolac 30 mg mempunyai efek analgetik yang setara dengan 50 mg

23
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

pethidin atau 12 mg morphin, tetapi memiliki durasi kerja yang lebih lama serta lebih aman
daripada analgetik opioid karena tidak menimbulkan depresi nafas.

24
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

BAB IV

KESIMPULAN

Penatalaksanaan anastesi pada penderita ”KET (Kehamilan Ektopik Terganggu)”


yang dilakukan operasi Laparatomy pada seorang wanita berumur 34 tahun menggunakan
anastesi Regional dengan teknik anastesi spinal pada lumbal 3 - lumbal 4 dan status fisik
ASA I.
Dilakukan premedikasi dengan midazolam, Medikasi induksi dengan bupivakain HCl
10 mg. Maintenance dengan inhalasi O2 3,0 liter/menit, pemberian injeksi sedacum
(Midazolam 2,5 mg IV), ranitidin 50mg IV, ondancentron 4mg IV, asam tranexamat 250mg
IV dan Ketorolac 30 mg IV. Durante operasi monitoring tensi dan nadi. Induksi anastesi
dilakukan selama ± 5 menit dan bertahan selama operasi yang berlangsung selama 50 menit.
Durante operasi tidak didapatkan penyulit anastesi maupun pembedahan.
Mengingat perdarahan merupakan salah satu kondisi yang dapat menyebabkan syok
hipovolemik, pemantauan tanda-tanda syok dan resusitasi yang optimal sangat diperlukan.
Selama di ruang pemulihan tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara
umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan cukup baik.

25
Bagian Anastesiologi Dan Reanimasi

DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarjo, Jatmiko, HD. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi


Intensif, Fakultas Kedokteran Undip / RSUP dr. Kariadi. Semarang.2010
2. Purmono A. Buku Kuliah Anastesi. EGC : Jakarta. 2015.
3. Rustam. M, Sinopsis Obstetri, Jilid 1, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hal.226-235
4. Anthonius Budi. M, Kehamilan Ektopik, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta,2001.
5. Arif M. dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2001. Hal. 267-271.
6. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th ed.
Philadelphia:Lippincot williams and wilkins; 2006: 74-97.
7. Sood J, Kumra VP. Anaesthesia for Laparoscopy. Indian Journal Surgery
2003;65;232 – 40
8. Sarwono. Buku Ajar Ilmu Kebidanan. Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo:
Jakarta. 2008.

26

Anda mungkin juga menyukai