Anda di halaman 1dari 11

PEMAHAMAN HADIS HERMENEUTIK

A. Pendahuluan
Teks hadis Nabi saw yang telah melewati masa yang sangat panjang tetap harus
dilakukan pemahaman yang sesuai dengan maksudnya. Mengingat Nabi saw sudah tiada,
pemahaman dari satu teks hadis bisa bervariasi. Oleh karena itu mazhab-mazhab pun muncul
dalam Islam
Kajian hadist menarik perhatian para peminat studi hadist, baik dari kalangan Islam,
maupun non Islam. Bahkan hingga sekarang, kajian terhadap hadist, mulai dari kritik otensitias
hadist, sampai pemaknaannya yang sampai sekarang masih terus berkembang.
Pemahaman hadist relatif berkembang dari zaman ke zaman, mulai dari tekstualis,
konservatif, sampai kontekstualis. Seiring dengan perkembangan zaman, hadist dimaknai
dengan sesuai kebutuhan pada zaman tersebut, dikarenakan teks hadist itu sangat terbatas
adanya, sedangkan realitas perkembangan zaman selalu dinamis, tidak terkecuali hermeneutik.
Dalam makalah ini penulis mencoba memaparkan pengertian dari para ahli, dan
langkah-langkah metode hermeneutik beserta contohnya untuk dapat kita pahami dimana
kedudukan dari metode hermeneutic itu sendiri.

B. Pembahasan
1. Tentang Hermeneutik

Kata Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani Hermeneuo yang berarti


menafsirkan.1Hermeneutika secara ringkas diartikan proses mengubah sesuatu atau situasi
ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti.
Lebih jelasnya jika melihat dari terminologinya, kata hermeneutika ini bisa
didefinisikan menjadi tiga hal, yaitu :

a. Pengungkapan pikiran dalam kata-kata, penerjemahan dan tindakan sebagai


penafsir.
b. Usaha pengalihan dari suatu Bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui
ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh sipembaca .
c. Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk
ungkapan yang lebih jelas.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa term hermeneutika mengacu pada cerita
mitologi zaman Yunani Kuno, yaitu kisah seorang tokoh legenda yang diberi nama Hermes
(Hermeios) yang sangat diagungkan dalam tradisi Yunani Kuno. Ia bertugas menjelaskan

1 Moch Nur Ihwan, Hermeneutika al-Qur’an: Analisis Peta Perkembangan Metodologi Tafsir al-Qur’an
Kontemporer, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga, 1995), h. 27

1
segala sesuatu yang di luar pengetahuan manusia ke dalam suatu bahasa yang dapat
diterima akal dan bisa dipahami manusia.2
Bila dikaitkan kata hermeneutika dengan Hermes, dapat menghasilkan beberapa
pengertian dari kata hermeneutika tersebut sebagai suatu proses penafsiran, yaitu:
a. Hermeneutika bermakna tanda, simbol, atau sebuah teks dari beberapa sumber
yang dibutuhkan.
b. Mediator atau penafsir teks (Hermes) untuk disampaikan kepada audiens.3
Dalam konteks agama samawi tugas menyampaikan dan menjelaskan pesan
teks dalam bahasa yang dimengerti umatnya termasuk tugas yang diemban oleh
para nabi dan rasul. Berkaitan dengan tugas tersebut, Seyyed Hossein Nasr
mengidentifikasikan sosok Hermes itu sebagai Nabi Idris.12 Dalam konsteks
penafsiran Alquran, Nabi memiliki otoritas penjelas dan penafsir teks Alquran
tersebut. (QS. al-Nahl : 44).

Lebih sederhana dapat dikategorikan cakupan makna dan cara kerja metode
hermeneutika menjadi tiga hal: (a) mengungkapkan sesuatu yang sebelumnya masih dalam
alam pikiran dengan menggunakan bahasa (kata-kata) sebagai medium penyampaian. (b)
menjelaskan secara rasional sesuatu yang sebelumnya masih multi tafsir atau samar-samar,
sehingga maksud sesuatu itu dapat dimengerti dan logis. (c) menerjemahkan suatu bahasa
asing ke dalam bahasa yang lebih dipahami pembaca atau pendengar.
Sebagai tehnik yang dipergunakan untuk memahami secara benar, hermeneutik
dipungsikan untuk:
a. Membantu mendiskusikan bahasa yang digunakan teks,
b. Membantu mempermudah menjelaskan teks, termasuk Al Quran dan Sunnah,
c. Memberi arahan untuk masalah yang terkait dengan hukum.

Beberapa ahli menjelaskan tentang makna dari hermeneutik yaitu :

a. Menurut Nizar Ali hermenetuik adalah Upaya untuk menjelaskan,


mengungkapkan, memahami dan menelusuri pesan dan pengertian dasar yang
mengejawantah dalam redaksi/teks/matn hadis Nabi saw.,sehingga dapat
dipahami isi, makna dan maksud terdalam dari sebuah hadis oleh pembacanya.
Melalui hermeneutik, pengarang teks dan pembacanya terjembatani,
bersambung dan berkomunikasi. Menurutnya, dalam hal ini ada tiga variabel;
pengarang, teks sebagi mediator dan pembaca yang membentuk sebuah struktur
tiga serangkai (triadic) dalam pemahaman.4
b. Menurut Suryadi hermenetuik adalah Proses yang dinamis dalam menafsirkan
teks berdasarkan asumsi-asumsi, pengalaman-pengalaman serta terjadinya

2 Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, dan Gadamer (Evanston:
Northswestern University Press,1969), 12-13
3 Van A. Harvey, Hermeneutics dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 5 (New York: Simon
& Schuster Macmillan,1995), 279
4 Nizar Ali, Hermeneutika dalam Tradisi Keilmuan Hadis; Studi tentang Tipologi Pemahaman Hadis (Jogjakarta:
Proyek Perguruan Tinggi Agama IAIN Sunan Kalijaga,1999), hlm. 33.

2
silang penafsiran antar teks atas teks yang kemudian melahirkan jaringan dan
lingkaran interteks. Menurut Suryadi, menyitir pernyataannya Amina Wadud,
bahwa dalam hermeneutik, terdapat tiga aspek yang harus dipertimbangkan
yakni; dalam konteks apa suatu teks ditulis, bagaimana komposisi tata bahasa
suatu teks dan dalam bentuk apa pengungkapannya serta bagaimana pandangan
hidup yang terkandung dalam keseluruhan teks. Menurutnya, dengan mengutip
pendapat dari Komaruddin Hidayat, bahwa ada empat agenda dalam memahami
sebuah teks yaitu; memiliki persyaratan yang cukup yang diperlukan untuk
menangkap gagasan dari luar, memiliki data yang cukup yang berkaitan dengan
kualitas pribadi dan intelektual serta kondisi sosio-kultural saat teks tersebut
lahir, mengetahui cara menghubungkan teks dengan pengarangnya, dan yang
terakhir adalah mengetahui kriteria memehami teks secara tepat dan benar.5
c. Menurut M. Al-Fatih Suryadilaga hermenetuik adalah penafsiran adalalah seni
yang memiliki ciri adanya kreatifitas, keindahan, fleksibilitas, imajinasi dan
efektifitas. Menurut Al-Fatih, Gadamer menggunakan bentuk pemahaman
efective history dalam memahami teks masa lampau. Waktu dalam
pandangannya terdiri dari tiga bagian yakni; Pertama masa lampau di mana teks
itu dilahirkan atau dipublikasikan. Dari teks masa lampau ini, teks bukan lagi
milik si penyusun lagi melainkan milik setiap orang. Mereka bebas
menginterpretasikannya. Kedua, present, yang di dalamnya terdapat
sekumpulan penafsir yang dipenuhi berbagai prejudice. Prasangka-prasangka
seperti ini akan menghasilkan dialog dengan masa sebelumnya sehingga akan
muncul penafsiran yang sesuai dengan konteks interpreter. Ketiga, masa depan,
di mana di sini terletak efective history yang terdapat nuansa segar yang
sifatnya produktif.6
d. Menurut Nurun Najwah hermenetuik adalah Penafsiran dengan ungkapan yang
memiliki rentang sejarah atau penfsiran terhadap teks tertulis yang memiliki
rentang rentang waktu yang panjang dengan audiencenya. Menurut Nurun,
sebagai sebuah teori interpretasi, ia dihadirkan untuk menjembatani
keterasingan dalam distansi waktu, wilayah dan sosio kultural Nabi antara teks
dan audience (umat Islam dari masa ke masa).7

2. Langkah Metode Hermeneutik


Dari penjelasan para ahli dalam memaparkan makna dari hermeneutic menurut
penulislangkah yang ditawarkan oleh Nurun Najwah lebih representatif dibanding yang
lainnya, hal ini dikarenakan:
a. Memahami dari aspek bahasa
b. Memahami konteks historis
c. Mengkomparasikan secara tematik –komprehensif dan itegral

5 Suryadi, “Rekonstruksi Pemahaman Hadis Nabi,” dalam Esensia Vol. 2 No. 1 Januari 2001, hlm. 99.

6 M. Al-Fatih Suryadilaga, “Metode hermeneutik dalam Pensyarahan Hadis; Ke Arah Pemahaman Hadis yang Ideal
dan Komprehensip,” dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Vol. 1, No. 2, Januari, 2001. hlm. 199.
7 Nurun Najwah, Ilmu Ma’anil Hadis; Metode Pemahaman Hadis Nabi: Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Cahaya
Pustaka, 2008), hlm. 17.

3
d. Memaknai teks dengan menyarikan ide dasarnya, dengan mempertimbangkan data-
data sebelumnya (membedakan wilayah tekstual-kontekstual)8

Contoh Makalah Aplikasi Metode Hermeneutik dalam Pensyarahan Hadis

Redaksi Hadis
‫الزنَا ِد َع ْن ْاْلَع َْرجِ َع ْن أ َ ِبي‬ ِ ‫ْب قَا َل َحدَّثَنَا أَبُو‬ ٌ ‫ش َعي‬ ِ ‫َحدَّثَنَا أَبُو ْال َي َم‬
ُ ‫ان قَا َل أ َ ْخ َب َرنَا‬
‫سلَّ َم قَا َل فَ َوالَّذِي نَ ْفسِي بِيَ ِد ِه‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫سو َل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫َّللاُ َع ْنهُ أ َ َّن َر‬
َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ُه َري َْرة َ َر‬
‫ََل يُؤْ ِم ُن أ َ َحدُ ُك ْم َحتَّى أ َ ُكونَ أ َ َحبَّ إِلَ ْي ِه ِم ْن َوا ِل ِد ِه َو َول ِد ِه‬
9 َ

“Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda “Demi Tuhan yang menguasai
diriku, tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian hingga saya lebih dicintai
daripada orang tua dan anaknya.”

Dalam upaya memahami hadis tentang kecintaan kepada Rasulullah saw.,ini, agar
didapatkan pemahaman yang proporsional dan komprehensif, penulis mengunakan metode
pemahaman hermeneuitik sebagaimana yang diuraikan oleh Nurun Najwah10 dengan
melalui beberapa aspek yang perlu dikaji diantaranya: Dengan memperhatikan redaksi
hadis yang variatif sebagaimana yang tertera di atas, maka dapat diketahui bahwa hadis
tetang kecintaan kepada Rasulullah saw., tersebut, diriwayatkan secara makna (al-riwayah
bi al-ma’na), hal ini bisa dibuktikan dengan adanya perbedaan redaksi sebagai berikut:

a. Memahami Konsep Bahasa

1) Sebagaian teks menggunakan lafadz ‫( َف َوالَّذِي نَ ْفسِي بِيَ ِد ِه‬hadis riwayat Bukhari, no. 13
dan al-Nasa’i, no. 4929) sedangkan riwayat yang lain tidaklah demikian.
2) Beberapa teks hadis menggunakan redaksi
a) ‫( ِم ْن َوا ِل ِد ِه َو َولَ ِد ِه‬riwayat al-Bukhari, no. 13 dan Al-Nasa’i, no. 4929)
b) َ‫اس أ َ ْج َم ِعين‬ ِ َّ‫( ِم ْن َولَ ِد ِه َو َوا ِل ِد ِه َوالن‬riwayat riwayat Al-Bukhari, no.
14,
Muslim, no. 63, al-Nasa’i, no. 4927, al-Darimi, no. 2797, Ibn Majah, no. 66,
Ahmad, no. 12349 & 13402 )
c) ِ َّ‫ف فِي الن‬
‫ار‬ َ َ‫سولُهُ أ َ َحبَّ ِإلَ ْي ِه ِم َّما ِس َواهُ َما َو َحتَّى يُ ْقذ‬ َّ َ‫َحتَّى يَ ُكون‬
ُ ‫َّللاُ َو َر‬
‫ ِم ْن َولَ ِد ِه‬.…… ُ‫َّللاُ ِم ْنه‬ َّ ُ‫أ َ َحبَّ ِإلَ ْي ِه ِم ْن أ َ ْن َيعُودَ فِي ُك ْف ٍر َب ْعدَ ِإ ْذ نَ َّجاه‬
َ‫اس أ َ ْج َم ِعين‬
ِ َّ‫( َو َوا ِل ِد ِه َوالن‬riwayat Ahmad, no. 12676 & 13449)
d) َ‫اس أ َ ْج َم ِعين‬
ِ َّ‫( ِم ْن َما ِل ِه َوأ َ ْه ِل ِه َوالن‬riwayat Al-Nasa’i, no. 4928).

8 Ibid. hlm. 18-19.


9 Shahih al-Bukhari, juz I, hal. 23. CD Rom, Al-Maktabah al-Syamilah, (Solo: Pustaka Ridwana, 2007)
10 Nurun Najwah, Ilmu Ma’anil Hadis; Metode Pemahaman Hadis Nabi: Teori dan Aplikasi, hlm. 42.

4
Pada permulaan, lafadz hadis tersebut berbunyi ‫ َف َوالَّذِي نَ ْفسِي بِيَدِه‬Ibn Al-Tiin
berkata bahwa ketika sebuah hadis Nabi saw., menggunakan redaksi sumpah wa ladzy
nafsy bi yadihi, maka menunjukan bahwa hadis tersebut shahih, benar-benar berasal dari
ُ ُ‫ ََل يُؤْ ِم ُن أ َ َحد‬yang
ucapan Beliau saw.11 kemudian dilanjutkan dengn lafadz ‫ك ْم‬
maknanya mengisyaratkan penegasan akan kesempurnaan keimanan seseorang di antara
umatnya. Meski pada jalur riwayat lain ada yang redaksinya lebih panjang yakni ‫َحتَّى‬
َ‫اس أ َ ْج َم ِعين‬ َّ َ‫يَ ُكون‬menurut penulis, hadis ini posisinya sebagai syarah
ِ َّ‫ َوالن‬.…… ُ‫َّللا‬
dari hadis yang lainnya. Sehingga menurut penulis, redaksi matan hadis ini tidaklah
janggal dan mengindikasikan bahwa ia benar-benar dari Nabi saw., meski ada beberapa
perbedaan lafadz sebagai implikasi dari periwayatannya secara makna.

b. Konteks Historis dalam Metode Hermeneutik


Dalam kitab Syarh Arba’in al-Nawawiyah diterangkan tentang peristiwa yang
melatarbelakangi Rasulullah saw., bersabda demikian (sabab wurud al-hadits), yaitu:
Pada suatu hari, terjadi perbincangan antara Umar dengan Nabi saw. Umar ra.,
bertanya kepada Nabi saw., wahai Rasulullah saw.,! sungguh engkau amat saya cintai
dibandingkan kecintaanku kepada segala sesuatu, kecuali cintaku kepada diriku sendiri.
Kemudian Rasulullah saw., menjawab: “Tidak, tidak demikian wahai Umar! Demi jiwaku
yang berada dalam genggaman-Nya (kekuasaan-Nya), -hendaklah engkau mencintaiku-
hingga aku menjadi orang yang paling dicintai dibandingkan dirimu sendiri.” Lantas
Umar berkata: “Sungguh demi Allah, semenjak sekarang, engkau adalah orang yang
paling saya cintai dibanding kecintaanku kepada diriku sendiri.” Kemudian Rasulullah
saw., bersabda: “Sungguh sekarang ini, cintamu telah sempurna.”12
Penulis belum menemukan penjelasan tentang bagaimana konteks perbincangan
antara Umar dengan Nabi saw., pada saat itu. Begitu pula dengan asbab wurud al-hadis
makronya. Penulis berpendapat, apabila hadis yang disampaikan Rasulullah saw., itu
menyangkut hal keimanan, maka konteksnya bersifat universal, kecuali pada peristiwa
tertentu dengan didukung oleh beberapa qorinah . Namun, dari isi dialog yang dilakukan
keduanya, dapat diketahui bahwa pada saat itu, umar mengatakan bahwa ia memang
mengunggulkan kecintaannya kepada Rasulullah saw., dibandingkan kepada segala
sesuatu yang lain. Namun, cintanya kepada dirinya sendiri lebih besar dibanding cintanya
kepada Nabi saw. Kemudian Rasulullah saw., menyangkal pernyataannya tersebut
dengan ungkapan bahwa Beliaulah (Rasul saw.) yang lebih berhak untuk menjadi sosok
yang paling dicintai meski kepada dirinya sendiri. Dan hal ini berlaku juga bagi umat
muslim seluruhnya sebab terkait dengan aspek aqidah.

11 Fathul bari’, bab al-Qasamah fi al-Jahiliyah, Juz 11, Hal. 163. CD Rom, Al-Maktabah al-Syamilah, (Solo:
Pustaka Ridwana, 2007)
12 ‫ َل والذي نفسي بيده حتى أكون أحب إليك‬:‫ فقال النبي صلى هللا عليه وسلم‬،‫ ( يا رسول هللا! ْلنت أحب إلي من كل شيء إَل من نفسي‬: ‫وقال عمر‬
‫ اآلن كملت المحبة‬:‫ أي‬،) ! ‫ اآلن يا عمر‬:‫ فقال النبي صلى هللا عليه وسلم‬،‫ فإنه اآلن وهللا ْلنت أحب إلي من نفسي‬: ‫ فقال له عمر‬،‫ من نفسك‬.
Lihat Syarh Arba’in an-Nawawiyah, Juz 83, hal. 7. CD Rom, Al-Maktabah al-Syamilah, (Solo: Pustaka Ridwana,
2007)

5
c. Syarah Hadis dalam Metode Hermeneutik
Dalam hadis tersebut, semua redaksinya menggunakan lafadz ahabbu, menurut
Al-Khitaby, maksud dari kata ini adalah cinta yang sifatnya ikhtiyari bukan cinta yang
sifatnya thabi’y,13 sebab kecintaan manusia terhadap dirinya dan keluarganya adalah
merupakan sebuah tabi’at dan bukan jalan pilihan bagi kecenderungan hatinya. Menurut
Fudhail ibn Iyad dan beberapa tabi’in lain berkata bahwa makna dari hadis ini adalah
tidaklah sempurna keimanan seseorang hingga ia mampu menafikan dirinya (untuk
memperturutkan hawa nafsunya) dalam ketaatan kepada Rasulullah saw.
Al-Khitaby menjelaskan bahwa cinta (Al-Mahabbah) itu, ada tiga macam yakni:
pertama, mahabbah ijlal wa i’dzam seperti cinta kepada orang tua. Kedua, mahabbah
syafaqah wa rahmah semisal cinta kepada anak dan ketiga, mahabbah masyakillah wa
istihsan seperti cinta kepada manusia secara umum. Dan Rasulullah saw., mengumpulkan
ketiga macam kategori cinta ini dalam kecintaan kepadanya. Ibnu Bathal berkata bahwa
maksud yang terkandung dari hadis tersebut adalah bahwasanya bagi siapa yang
menginginkan kesempurnaan imannya, maka hendaklah ia tahu, paham, sadar, bahwa
Nabi saw, lebih berhak untuk dicintai daripada anaknya, orang tuanya dan
manusia seluruhnya, lalu ia mengimplementasikan rasa cintanya tersebut dalam ketaatan
penuh terhadapnya (Rasulullah saw). Hal ini perlu dilakukan karena Beliau saw., adalah
orang yang menyelamatkan kita dari api neraka dan menunjukan kita ke jalan yang lurus
dari pada jalan yang sesat.14
Dalam terminologi ilmu tauhid, cinta (mahabbah) terbagi menjadi dua macam,
pertama, cinta yang bernilai ibadah (mahabbah ‘ubudiyah) yaitu perasaan cinta yang
berhubungan dengan apa yang dicintai oleh Allah dan Rosul-Nya. Cinta jenis ini,
sangatlah bermacam-macam, seperti cinta kepada sang Khaliq, cinta Rasul, cinta kepada
Al-Qur’an, cinta kepada ilmu, yang bermanfaat dan suka terhadap sifat-sifat
kesempurnaan seperti kehormatan, kemuliaan, menjaga diri, keberanian, sabar dan sifat-
sifat terpuji lainnya.
Adapun yang kedua adalah cinta yang tidak bernilai ibadah (mahabah laisat
‘ubudiyyah) dan jenis cinta ini, terbagi menjadi empat macam yaitu: pertama, mahabbah
thabi’iyah seperti kecintaan manusia kepada makanan, minuman, syahwat yang
dibolehkan serta kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kedua mahabbah ijlal , ketiga
mahabbah isyfaq -keduanya sudah diterangkan di atas- dan keempat adalah mahabbah
mushohabah yakni mencintai seseorang lantaran pergaulan atau interaksi dengannya,
seperti cinta kepada rekan kerja, teman berdagang, teman dalam perjalanan dan

13 Dalam kitabnya yang berjudul Raudlatu al-Muhibbin wa Nuzhatu al-Musytaqin, Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyah
menerangkan bahwa secara umum, cinta itu terbagi menjadi dua kategori, yang pertama adalah yang bersifat
ikhtiyary, yakni di dalamnya ada upaya untuk memilih sesuai dengan kemauan diri sendiri. Dan yang kedua adalah
idhthirary (thabi’y) yaitu sesuatu yang bersifat niscaya yang berada diluar kehendak dan kemampuan seseorang.
Lihat Muhammad Ibrahim Mubarouk, Mauqifu al-Islam mn al-Hubb; Tsaurah dhiddu Madiyyah al-‘Ashr, terj.
Team Azzam, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), hlm. 68.

14 Al-dibaz ‘ala Muslim, Juz I, hal. 60. CD Rom, Al-Maktabah al-Syamilah, (Solo: Pustaka Ridwana, 2007)

6
sebagainya. Dan kategori cinta yang kedua ini, tidaklah bernilai ibadah karena di
dalamnya tidak terdapat ketaatan (tha’ah) dan ketundukan (dzul).15
Keimanan dalam beragama, adalah sebuah pondasi yang harus dimiliki oleh setiap
orang yang mengaku dirinya sebagai insan yang taat beragama. Dalam Islam dikenal ada
konsep doktrin normatif yang bersifat tidak bisa dirasionalkan (ghairu ma’qulah al-
ma’na) dan yang bisa diterima oleh akal (ma’qulah al-ma’na). Pada konsep yang pertama,
untuk memahaminya, perlu menggunakan pendekatan keimanan (believe approach)
meski tidak berarti bahwa akal sama sekali tidak berposisi. Berkenaan dengan masalah
ini -memprioritaskan kecintaan kepada Nabi saw., di atas kecintaannya pada segala
sesuatu apapun-, maka menurut penulis, ia termasuk doktrin agama yang seakan-akan
tidak logis namun bila didekati dengan keimanan dan kesadaran akan begitu besarnya
jasa, perjuangan dan usaha Nabi saw., untuk mengentaskan umat manusia dari jalan
kejahiliaan, jalan kekafiran dan kesesatan menuju jalan yang lurus (keimanan), maka hal
ini bisa diterima oleh akal yang sehat.

d. Kajian Tematis (Maudlu’i) Metode Hermeneutik


Dalam memahami sebuah hadis, supaya dapat dihasilkan pemahaman yang
holistik, menyeluruh, komprehensif, tidak parsial dan proporsional (shalihun li kulli
zaman wa makan) maka mengkaji hadis secara tematik dengan mengintegrasikan serta
mengkoneksikan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, hadis-hadis lain dan berbagi ilmu yang
terkait, sangatlah perlu dilakukan.
1) Al-Qur’an
Berkenaan dengan hadis tentang anjuran untuk mencintai Nabi saw., di atas
kecintaannya kepada selainnya, ada sejumlah ayat Al-Qur’an yang menerangkan hal
tersebut. Dikarenakan ayat yang menjelaskan tentang kewajiban untuk beriman, taat
dan tunduk kepada Rasulullah saw., begitu banyak, pada bagian ini penulis membatasi
pada ayat-ayat yang ada kaitan dengan masalah kecintaan saja, diantaranya:

Q.S. Ali Imran Ayat 31

َّ ‫َّللاُ َو َي ْْغ ِف ْر لَ ُك ْم ذُنُو َب ُك ْم َو‬


ٌ ُ‫َّللاُ َغف‬
‫ور‬ َّ َ‫قُ ْل ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ت ُ ِحبُّون‬
َّ ‫َّللاَ فَات َّ ِبعُونِي يُ ْحبِ ْب ُك ُم‬
‫َر ِحي ٌم‬
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”

Dalam ayat ini, Allah swt., menegaskan bahwa bagi siapa yang mengaku cinta
kepada-Nya, maka pengakuannya belum bisa dibenarkan dan perkataannya belum
bisa dipercayai, kecuali apabila ia telah mencintai Rasul-Nya (mengikuti). Menurut

15 ‘Ianah al-Mustafid bi Syarh kitab al-tauhid , Juz 3, hal. 54. CD Rom, Al-Maktabah al-Syamilah, (Solo: Pustaka
Ridwana, 2007)

7
Ibn ‘Arabi dalam kitabnya Al-Futuhat al-Makiyah menyatakan bahwa cinta itu ada
beberapa tingkatan, adapun tingkat yang paling rendah adalah mengikuti
(mentaati).[14]
Ibn Katsir dalam tafsirnya Al-Qur’an al-‘Adzim menamakan ayat di atas
dengan ayat hakimah karena ayat di atas memberikan penilaian kepada orang yang
mengklaim dirinya kepada Allah Azza wa jalla, sedangkan Ibnul Qoyyim dalam
kitabnya Madaris al-Salikin menamai ayat tersebut dengan ayat mahabbah.16
Ibnu Rajab menerangkan bahwa adalah wajib memprioritaskan kecintaan
kepada Rasululah saw., dibandingkan kepada diri sendiri, anak-anak, kerabat dekat,
keluarga, harta dan kaum dhu’afa atau kepada selain mereka, karena kecintaan kepada
rasulullah sebagai syarat dan penyempurna cinta kepada Allah swt.17
Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa mengikuti dan mentaati Rasulullah
saw., adalah jalan atau syarat untuk mencapai mahabbah kepada Allah swt. Namun,
cinta itu perlu bukti, bukan hanya semata-mata pengakuan dan ucapan di bibir saja, ia
harus dibuktikan dengan amal perbuatan yakni mengikuti dan mentaati segala apa
yang diperintahkan, membenarkan apa yang dibawahnya dan mencontohnya dalam
segala aspek kehidupan.

Q.S. Al-Taubah ayat 24

‫ِيرت ُ ُك ْم َوأ َ ْم َوا ٌل‬


َ ‫قُ ْل إِ ْن َكانَ آَبَا ُؤ ُك ْم َوأ َ ْبنَا ُؤ ُك ْم َوإِ ْخ َوانُ ُك ْم َوأ َ ْز َوا ُج ُك ْم َو َعش‬
َّ َ‫ض ْونَ ََها أ َ َحبَّ ِإلَ ْي ُك ْم ِمن‬
ِ‫َّللا‬ َ ‫سا ِك ُن ت َ ْر‬
َ ‫سادَهَا َو َم‬ َ ‫ارة ٌ ت َ ْخش َْونَ َك‬ َ ‫ا ْقت َ َر ْفت ُ ُموهَا َوتِ َج‬
‫َّللاُ ََل يَ َْهدِي ْالقَ ْو َم‬
َّ ‫َّللاُ ِبأ َ ْم ِر ِه َو‬ ْ
َّ ‫ي‬ َ ِ‫صوا َحتَّى يَأت‬ ُ َّ‫سبِي ِل ِه فَت َ َرب‬
َ ‫سو ِل ِه َو ِج ََها ٍد فِي‬ ُ ‫َو َر‬
َ‫ْالفَا ِس ِقين‬
Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri,
kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang
kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah
lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya,
Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya”. dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

Syahhat Ibn Mahmud Al-Shawi dalam kitabnya Mahabbah ilahiyyah


menjelaskan bahwa ayat ini menerangkan bahwa cinta kepada Allah, cinta kepada
Rasulullah dan cinta kepada jihad fi sabilillah, merupakan cinta yang paling besar
yang semestinya menjadi pengendali gerak-gerik kita dan harus menguasai seluruh
pribadi kita. Allah meletakan setiap apa yang dicintai manusia di dunia dalam salah
satu piring timbangan dan menempatkan mahabbatullah, cinta kepada Rasul-Nya

16 Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi, Mahabbah Ilahiyyah terj. Nabhani Idris (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001),
hlm. 40.
17 Opcit. Fathu al-Bari’ li Ibn Rajab hlm. 22

8
serta jihad pada piring timbangan lain. Lantas Allah swt, memberi keluasan untuk
memilih di antara keduanya. Dan menegaskan, sebagai seorang yang beriman, cinta
kepada ketiga hal tersebut adalah sebuah keniscayaan meski berat dan sulit adanya.18
Ibnu Rajab menjelaskan bahwa mencintai Rasulullah saw., termasuk pondasi
dari Iman yaitu sebagai dasar disamping cinta kepada Allah swt. Dan Allah
menegaskan bahwa cinta kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya harus diprioritaskan
dibandingkan cintanya kepada segala sesuatu selainnya, seperti kecintaan kepada
kerabat, harta, tanah air dan lain sebagainya.19

2) Hadis Lain yang Setema (terkait)

: ‫ قَا َل‬، ‫سلَّ َم‬ َّ ‫صلَّى‬


َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫ َع ِن النَّ ِبي‬، ‫اص‬ ِ ‫َّللاِ ب ِْن َع ْم ِرو ب ِْن ْال َع‬
َّ ‫َع ْن َع ْب ِد‬
20
‫َل يُؤْ ِم ُن أ َ َحدُ ُك ْم َحتَّى يَ ُكونَ ه ََواهُ ت َ َبعًا ِل َما ِجئْتُ ِب ِه‬
“Dari Abdullah ibn Umar ibn ‘Ash dari Nabi saw.,berkata: “tidaklah
sempurna keimanan salah seorang di antara kamu hingga keinginanannya
mengikuti apa yang aku bawa”.
Yahya ibn Syarifuddin al-Nawawi menyatakan bahwa hadis ini kualitasnya
hasan shahih dengan isnad shahih.21 Lanjutnya, ia menjelaskan bahwa maksud dari
hadis ini adalah sebagai konsekuwensi dari keimanannya, yakni mengikuti apa yang
Allah perintahkan melalui Rasul-Nya dan tidak menyertai itu dengan hawa dan
keinginan nafsunya, maka seorang mukmin harus mengukur segala amal perbuatan,
perkataan dan tingkah lakunya dengan timbangan dan tolak ukur Al-Qur’an dan
sunnah, bukan mengikuti hawa nafsunya.22
Bila dikaitkan dengan hadis utama yang kita bahas, maka teranglah bahwa
nafsu -bisa dikatakan- identik dengan cinta, ketika seorang muslim, telah
mendeklarasikan kecintaannya kepada Rasulullah saw., maka ia harus menserasikan
keinginannya dengan apa yang Beliau saw., ajarkan serta berusaha sekuat mungkin
untuk menempiskan keinginannya itu bila terang bertentangan dengan ajaran dan
ketentuan yang diajarkan oleh Nabi saw.

e. Sekilas Penjelasan yang Berkenaan Dengan Cinta Metode Hermeneutik


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tidak dijelaskan asal kata cinta,
namun kata tersebut menunjukan rasa kasih sayang yang tulus tanpa pamrih. Para ahli
bahasa Arab berpendapat bahwa lafadz cinta -dalam bahasa Arab al-hubb- berasal dari
kata al-qurt (anting-anting), karena ia selalu bergerak, cenderung terguncang dan
bergoyang-goyang ditelinga pemakainya. Demikianlah keadaan seorang yang sedang

18 Ibid. hlm. 51.


19 Opcit. Fathu al-Bari’ li Ibn Rajab
20 Arba’un al-Nawawiyah, Juz I, hlm. 41. CD Rom, Al-Maktabah al-Syamilah, (Solo: Pustaka Ridwana, 2007)
21 Yahya ibn Syarifuddin al-Nawawi , Syarh matn al-‘Arba’in al-Nawawiyah terj. Harwin Murtadho dan
Salafuddin, (Jakarta: Al-Qowam, 2004), hlm. 262.
22 Ibid. hlm. 363.

9
jatuh cinta, hatinya selalu terguncang, ia tidak tenang, selalu merasa khawatir, grogi,
nerveus bila sang kekasih berada didekatnya.23
Sebagian lain ada yang berpendapat bahwa lafadz al-hubb berasal dari kata al-
habbab yang berarti gelembung air, karena seorang yang sedang jatuh cinta, hatinya selalu
bergejolak ingin selalu berada di samping kekasihnya. Di samping itu, ada yang
mengatakan bahwa ia berasal dari kata al-hibriyyah (gayung besar) karena ia tidak dapat
diisi lagi bila telah dipenuhi oleh air. Demikianlah hati, jika ia telah dipenuhi dengan
cinta, maka ia tidak bisa diisi dengan yang lainnya. Sementara ulama ma’ani berpendapat
bahwa cinta itu adalah kecenderungan hati kepada sesuatu, karena keindahan dan
kelezatan yang dirasakan oleh orang yang mencinta.24
Menurut Kahlil Gibran, cinta adalah keindahan sejati yang terletak pada
keserasian spiritual. Sedang menurut John Gray, cinta adalah memberi bukan menerima,
cinta jauh dari saling memaksa (kehendak), cinta tidak menuntut, tapi menegaskan lagi
menghargai. Adapun menurut para ahli tasawuf, mereka mengatakan bahwa cinta itu
meliputi ilham, pancaran, luapan hati, yang tak terbatas dan tak mengenal definisi, bahkan
hakikat dan rahasianya pun tak bisa diketahui.25
Adapun menurut penulis, setelah membaca berbagai definisi tentang cinta, maka
makna cinta itu beraneka ragam, tergantung pada perspektif, arah pandang dan
pengalaman mereka yang merasakannya. Adapun untuk mengetahui makna dan
hakikatnya secara menyeluruh, menurut penulis, cinta itu sulit untuk diungkapkan, sulit
untuk dinyatakan, hal yang memungkinkan untuk mengetahui hakikatnya adalah
menyifati atau menggambarkan fenomena-fenomena yang terjadi karena cinta. Sungguh
cinta hanya bisa dirasakan dan dimengerti namun tidak bisa terdefinisi (la ya’rifuha illa
man dzaqqoha).
Sebenarnya cinta Rasulullah saw., kepada umatnya tidak usah diragukan lagi.
Beliau saw, berupaya sekuat tenaga agar kita semua mendapat rahmat Allah. Ia tidak
meminta upah dari kita semua. Bahkan segala harta yang dimilikinya habis untuk
perjuangan menegakkan agama Allah. Sesungguhnya Nabi saw., bisa kaya jika ia
menghendakinya. Akan tetapi ia gunakan kekayaannya untuk mengajak kita masuk ke
dalam karunia Allah. Bahkan diakhir hayatnya, ketika nafas sudah di leher ia masih ingat
dan mencemaskan umatnya.
Oleh karena itu, amatlah naif kiranya, bila kita sebagai umatnya, tidak membalas
kecintaan Beliau saw, dengan sepenuh jiwa dan raga yang kita miliki. Bila kita kaitkan
berbagai makna cinta di atas dengan kecintaan seseorang kepada nabinya, maka secara
lahir (nahnu nahkumu bidzawahir la bi bawathin), dapat dilihat dari bukti akan keseriusan

23 Abu al-Ghifari, Bengkel Cinta; Soal Jawab Remaja tentang Cinta, Jodoh dan Seks (Bandung: Mujahid Press,
2006), hlm. 31.

24 Abu al-Ghifari, Remaja dan Cinta; Memahami Gelora Cinta Remaja dan Menyelamatkannya dari Berhala Cinta
(Bandung: Mujahid Press, 2007), hlm. 17.
25 Abu al-Ghifari, Remaja dan Cinta; Memahami Gelora Cinta Remaja dan Menyelamatkannya dari Berhala Cinta,
hlm. 15.

10
seseorang dalam mengikuti, membenarkan, mengunggulkan dan mencontohnya dalam
berbagi aspek kehidupan sehari-hari.
Daftar Pustaka
‘Ianah al-Mustafid bi Syarh kitab al-tauhid , Juz 3, hal. 54. CD Rom, Al-Maktabah al-Syamilah,
(Solo: Pustaka Ridwana, 2007)
Abu al-Ghifari, Bengkel Cinta; Soal Jawab Remaja tentang Cinta, Jodoh dan Seks (Bandung:
Mujahid Press, 2006), hlm. 31.
Abu al-Ghifari, Remaja dan Cinta; Memahami Gelora Cinta Remaja dan Menyelamatkannya dari
Berhala Cinta (Bandung: Mujahid Press, 2007), hlm. 17.
Al-dibaz ‘ala Muslim, Juz I, hal. 60. CD Rom, Al-Maktabah al-Syamilah, (Solo: Pustaka
Ridwana, 2007)
Arba’un al-Nawawiyah, Juz I, hlm. 41. CD Rom, Al-Maktabah al-Syamilah, (Solo: Pustaka
Ridwana, 2007)
Dalam kitabnya yang berjudul Raudlatu al-Muhibbin wa Nuzhatu al-Musytaqin, Imam Ibnu
Qoyyim al-Jauziyah menerangkan bahwa secara umum, cinta itu terbagi menjadi dua
kategori, yang pertama adalah yang bersifat ikhtiyary, yakni di dalamnya ada upaya untuk
memilih sesuai dengan kemauan diri sendiri. Dan yang kedua adalah idhthirary (thabi’y)
yaitu sesuatu yang bersifat niscaya yang berada diluar kehendak dan kemampuan
seseorang. Lihat Muhammad Ibrahim Mubarouk, Mauqifu al-Islam mn al-Hubb; Tsaurah
dhiddu Madiyyah al-‘Ashr, terj. Team Azzam, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), hlm. 68.
Fathul bari’, bab al-Qasamah fi al-Jahiliyah, Juz 11, Hal. 163. CD Rom, Al-Maktabah al-
Syamilah, (Solo: Pustaka Ridwana, 2007)
M. Al-Fatih Suryadilaga, “Metode hermeneutik dalam Pensyarahan Hadis; Ke Arah Pemahaman
Hadis yang Ideal dan Komprehensip,” dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan
Hadis, Vol. 1, No. 2, Januari, 2001. hlm. 199.
Moch Nur Ihwan, Hermeneutika al-Qur’an: Analisis Peta Perkembangan Metodologi Tafsir al-
Qur’an Kontemporer, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga, 1995), h. 27
Nizar Ali, Hermeneutika dalam Tradisi Keilmuan Hadis; Studi tentang Tipologi Pemahaman
Hadis (Jogjakarta: Proyek Perguruan Tinggi Agama IAIN Sunan Kalijaga,1999), hlm. 33.
Nurun Najwah, Ilmu Ma’anil Hadis; Metode Pemahaman Hadis Nabi: Teori dan Aplikasi,
(Yogyakarta: Cahaya Pustaka, 2008), hlm. 17.
Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, dan
Gadamer (Evanston: Northswestern University Press,1969), 12-13
Shahih al-Bukhari, juz I, hal. 23. CD Rom, Al-Maktabah al-Syamilah, (Solo: Pustaka Ridwana,
2007)
Suryadi, “Rekonstruksi Pemahaman Hadis Nabi,” dalam Esensia Vol. 2 No. 1 Januari 2001, hlm.
99.
Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi, Mahabbah Ilahiyyah terj. Nabhani Idris (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2001), hlm. 40.
Van A. Harvey, Hermeneutics dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 5
(New York: Simon & Schuster Macmillan,1995), 279
Yahya ibn Syarifuddin al-Nawawi , Syarh matn al-‘Arba’in al-Nawawiyah terj. Harwin Murtadho
dan Salafuddin, (Jakarta: Al-Qowam, 2004), hlm. 262

11

Anda mungkin juga menyukai