Anda di halaman 1dari 8

Geografi dan Teknologi Militer

Dispenad
TNI Angkatan Darat |
#TNIAD

Oleh : Brigjen TNI Makmur Supriyatno

Direktur Kerjasama Antar Kelembagaan dan Dosen Universitas Pertahanan Indonesia

Pendahuluan

Pakta yang tidak terbantahkan dan sangat merugikan umat manusia adalah bahwa
permukaan bumi ini tidak pernah berhenti menjadi ajang berperang yang dilakukan umat
manusia. Perang, baik itu perang terbatas maupun perang total dapat terjadi oleh Negara mana
saja, kapan saja, dan di mana saja tidak terbatas daerah operasinya di belahan bumi ini.

Dalam menghadapi Perang, para perencana dan pembuat strategi militer selalu
mengumpulkan dan mencari informasi geografi atau informasi geospasial[1] untuk dimanfaatkan
kelebihan dan atau kekurangannya dala rangka memenangkan peperangan atau pertempuran.

Informasi geospasial atau geografi itu sendiri sangat penting sebagai bahan pertimbangan
pada proses pengambilan kebijakan, penentuan strategi militer dan perencanaan operasi militer
untuk tujuan memenangkan perang dalam rangka mencapai kepentingan nasional suatu negara.
Pertanyaannya apakah faktor geografi yang berujud informasi geospasial[2] tersebut masih
digunakan sebagai salah satu faktor penentu dalam mempertimbangan aktifitas pertahanan atau
perang oleh para pengambil kebijakan pertahanan dan pembuat strategi militer?

Geografi dan Kesiapan Perang

Indonesia menganut filosofi: ‘Rakyat Indonesia mencintai perdamaian, namun lebih cinta
kemerdekaan, perang sebagai jalan terakhir setelah upaya-upaya perdamaian atau diplomasi
secara maksimal telah dilakukan’. Artinya, apabila terdapat permasalahan dengan Negara lain
dalam hubungan internasionalnya, kita harus melakukan melakukan upaya-upaya
menyelesaikan permasalahan tersebut sehingga tercapainya perdamaian. Namun apabila tidak
bisa, maka diperlukan kekuatan pertahanan untuk melakukan upaya-upaya pemaksaan supaya
terciptanya perdamaian.

Untuk itu diperlukan milter yang ‘siap’ dan kuat (readiness) untuk menangkal segala maksud
dan keinginan Negara lain untuk mengganggu dan mengancam kedaulatan teritori Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Militer yang kuat dalam rangka menjaga kedaulatan teritori,
bangsa dan negaranya, perlu dilakukan dengan membangun dan mengembangkan SDM yang
professional; system dan metoda; pengetahuan (knowledge) dan ilmu pengetahuan (science);
sarana dan alutsista-nya. Yaitu dengan mendidik dan melatih para prajuritnya supaya memiliki
tingkat keterampilan yang optimal. Piranti lunak dilengkapi, yaitu mulai doktrin, petunjuk operasi
(Jukops), Juknik dan Juklap serta publikasi lainnya. Sedangkan sarana dan prasarana pendidikan
dan latihan, home base dan lain-lain harus dilengkapi. Demikian pula alutsista harus disiapkan
dan diadakan secara maksimal, baik pengadaan dalam negeri maupun pengadaan dari luar
negeri.
Kesemuanya itu harus dilakukan pada saat damai sekali lagi pada saat damai, karena sesuatu
yang ‘mustahil’ apabila melakukan kesiapan pada saat atau sedang perang. Sebagai contoh di
AD AS, mereka mengembangkan suatu system yang disebut dengan Future Combat System
(FCS) untuk menghadapi pertempuran di masa mendatang, yang terdiri dari 4 (empat)
komponen, yaitu pengembangan persenjataan kendaraan tempur darat berawak (Manned
Ground Vehicles), system senjata tanpa awak (Unmanned Systems), jaringan system
persenjataan (FCS Network), dan SDM atau para prajurit.[3]

Pertimbangan dari pengembangan itu semua, baik di lingkungan TNI AD kita maupun di AS
adalah faktor ‘geografi’. Contoh pengadaan UAV atau Drone, misalnya karena kesulitan di
menembus medan atau geografi di medan operasi di Afganistan.

Geografi dan Doktrin Perang

Perang dapat dilakukan ‘di teritori nasional’ dan dapat pula dilakukan ‘di luar teritori nasional’
dalam lingkungan fisik dan psikologis wilayah waktu tertentu. Doktrin AS, menyatakan bahwa
perang tidak boleh terjadi teritori di Negara-nya. Sehingga mereka melakukan pre-emptive strike
atau bahkan melakukan invasi dengan mengerahkan kekuatan militer secara maksimal untuk
menghancurkan Negara yang diinvasinya. Untuk melakukan invasi tersebut, sudah pasti
memerlukan informasi geografi atau informasi geospasial. Terutama untuk dijadikan bahan
pertimbangan strategi militer, pengerahan pasukan, dan pelaksanaan perang dan demobilisasi
pasukan setelah perang berlangsung.

Doktrin perang Negara kita juga menganut pre-emptive strike, yaitu menghancurkan kekuatan
musuh di negaranya bila sudah ada tanda-tanda akan menyerang teritori kita; menghancurkan di
perjalanan sebelum memasuki wilayah ZEE: dan seterusnya hingga musuh mendarat di pantai
dan selanjutnya melakukan perang berlanjut sampai dengan kita dapat mengusir aggressor
keluar dari teritori kita.

Perang di teritori nasional.

Perang yang dilakukan di teritori nasional mempunyai kerugian dan keuntungan. Kerugiannya,
akan menimbulkan kerusakan lingkungan fisik dan non fisik bagi rakyat (kesengsaraan yang
sangat mendalam terhadap rakyat), baik korban jiwa maupun kerusakan total dari seluruh sarana-
prasarana yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Apalagi Indonesia menganut system
pertahanan rakyat semesta, yang mempunyai pengertian, yang berperang bukan hanya SDM
saja, tetapi seluruh potensi nasional-pun ikut berjuang. Bila potensi nasional, maka akan
termasuk di dalamnya seluruh permukaan bumi (geografi) Indonesia akan dimanfaatkan sebesar-
besarnya untuk memenangkan perang. Contoh perang Kemerdekaan, seperti Bandung Lautan
Api, Perang 10 Nopember, Ambarawa dan peperangan lainnya yang melibatkan komponen
nasional.

Sedangkan keuntungannya, seluruh potensi nasional yang dimiliki bisa didayagunakan


menjadi kekuatan nasional untuk menghadapi musuh. Termasuk di dalamnya adalah
pemanfaatan geografi Indonesia, apalagi bila secara spasial telah ditata dalam bentuk Rencana
Umum Tata Ruang Wilayah Pertahanan (RUTR Wilhan). Sehingga setiap ruang yang ada, telah
ditata, seperti: dimana spasial sebagai medan pertempuran, dimana medan yang disiapkan untuk
daerah komunikasi?, dimana daerah logistic wilayah?, dan dimana daerah penghancuran (killing
ground). Penataan juga akan mencakup pada, siapa berperan apa pada saat terjadi
pertempuran? Bagaimana komponen cadangan berperan? Bagaimana komponen pendukung
berperan? Dan seterusnya.

Keuntungan lainnya apabila peperangan terjadi di teritori nasional adalah, satuan-satuan


tempur kita akan sangat mengenal medan masing-masing secara baik. Artinya masih tergantung
pada masa damai apakah Pembinaan Teritorial (Binter) dalam menata Ruang, Alat dan Kondisi
Juang (RAK Juang) telah berjalan sebagaimana mestinya atau bahkan sebaliknya. Apabila Binter
tidak berjalan, maka perang di teritori nasional, akan menjadi kerugian yang besar bagi Negara.

Karena pada zaman modern, perang di luar teritoripun tetap saja berpengaruh terhadap teritori
nasionalnya. Seperti AS yang menginvasi beberapa Negara, antara lain Irak dan Afganistan,
secara langsung teritori-nya tidak terimbas, tetapi secara tidak langsung terimbas. Perang telah
mengakibatkan perekonomian mengalami defisit anggaran belanja negara yang demikian besar,
yang ahirnya terkena krisis ekonomi akibat membiayai mesin perangnya. Secara psikologis,
rakyat AS terbelah terhadap perang tersebut, terutama Perang Irak, karena tujuan dari perang
tersebut kurang begitu jelas dan kerugian jiwa dan material yang cukup dirasakan oleh rakyat AS.

Perang yang dilakukan di teritori nasional, perlu adanya perencanaan yang matang terutama
perencanaan kompartementasi teritori kondisi geografi menjadi pertimbangan utama bahwa
Indonesia merupakan kepulauan. Kondisi geografi secara factual merupakan daerah dataran,
daerah berawa, berbukit dan daerah pegunungan yang tinggi, dan berhutan lebat; dari daerah
yang belum dijamah, daerah jarang penduduknya sampai dengan daerah perkotaan atau daerah
padat penduduk; dari daerah dengan sungai-sungai yang panjang dan lebar hingga daerah yang
dihubungkan dengan selat dan laut. Perbedaan tersebut akan mempengaruhi berbagai macam
kebijakan dan strategi hingga kepada memilih cara bertindak (course of actions) yang tepat dalam
melaksanakan operasi militer perang. Militer harus siap dan mampu melaksanakan operasi
tempur di segala medan operasi, namun tetap saja pengenalan terhadap geografi Indonesia
harus terus menerus diberikan porsi yang cukup pada pendidikan militer.

Perang di luar teritori nasional.

Demikian pula perang yang dilakukan di luar teritori nasional, memiliki keuntungan dan
kerugian baik dari segi strategis maupun taktis. Kerugian utama, militer negara yang melakukan
operasi atau menyerang atau menginvasi tidak atau kurang mengenal geografi atau medan
negara yang diserang. Selain itu garis komunikasi dan logistik menjadi sangat jauh atau panjang,
keadaan iklim dan cuaca kemungkinan berbeda dan lain-lain.

Seperti halnya perang AS di Irak dan Afganistan memiliki medan yang berbeda. Medan perang
di Irak, secara relatif berupa gurun pasir dengan iklim dan cuaca relatif panas. Sedangkan di
Afganistan, medannya relatif bergunung-gunung dan dengan bebatuan yang terjal serta struktur
tanah yang berbeda dengan medan perang di Irak. Sehingga militer AS memerlukan strategi dan
taktik perang yang berbeda antara ke dua medan operasi tersebut.

Perencanaan perang di kedua wilayah tersebut direncanakan dengan kebijakan dan strategi
yang berbeda, terlihat dari yang paling sederhana, yaitu bagaimana merancang baju seragam
perang (camouflage) untuk di medan perang Irak dan Afganistan berbeda dari segi bahan dan
kombinasi warnanya.

Dari segi bahan baju, di Irak memilih lebih terang untuk menyesuaikan dengan teriknya sinar
matahari dan perlu menjadi ‘bunglon’ dengan menyesuaikan dengan warna padang pasir.
Pengerahan alutsista juga disesuaikan dengan kondisi medan. Untuk perang di Irak Angkatan
Darat AS, relatif lebih banyak dilengkapi dengan pengerahan tank-tank berat (main bettle
tank/MBT), karena medan yang relatif datar dan struktur tanah relatif tidak stabil dan
menggunakan tank-tank dengan tonase lebih ringan. Angkatan Udaranya, selain pesawat super
modern juga pesawat yang digunakan adalah pesawat anti pengamatan radar, karena medan
yang relatif datar dan bergurun dan sangat mudah untuk dideteksi radar.

Akan sangat berbeda dengan untuk keperluan operasi perang di Afganistan, dari segi
camouflage, lorengnya lebih gelap dan agak tebal untuk dapat menyerap panas guna
menghangatkan badan prajurit, karena udara di Afganistan relative lebih dingin dibandingkan
dengan di Irak. Selain itu untuk menyesuaikan dengan keadaan penumbuhan dan bebatuan yang
relative gelap di medan operasi. Demikian pula, alutsista yang digunakan relative lebih banyak
menggunakan helicopter serang dan pesawat tanpa awak (Unmanned Aerial Viechele/UAV) atau
sekarang lebih popular dengan sebutan ‘Drone’.

Penggunaan persenjataan tersebut dengan pertimbangan, sasaran yang sulit dijangkau


apabila menggunakan persenjataan tank-tank berat seperti pengalaman Russia ketika
menginvasi Afganistan. Selain itu, persenjataan musuh (Taliban) telah menggunakan
persenjataan multiguna yang diluncurkan dari bahu (The Shoulder-Launched Multipurpose
Assault Weapon/SMAW), dibandingkan bila menggunakan pesawat-pesawat tempur dengan
awak akan sangat membahayakan. Walaupun salah sasaran, yaitu masyarakat sipil menjadi
sasaran dari Drone, seringkali terliput oleh media dan itu sangat merugikan AS dalam percaturan
politik global.

Selain itu, militer AS untuk sampai ke Irak dan Afganistan memerlukan komando lintas laut
dan udara untuk mengangkut personil, logistik dan alutsista-nya mulai dari pangkalan utamanya,
yang berada di beberapa Komando AS, seperti US Central Command, US Pasific Command;
dan NATO dan berbagai Komando lainnya, sampai dengan daerah operasi di Irak dan Afganistan.
Untuk pergeseran pasukan dan logistik tersebut, memerlukan waktu dan sumberdaya yang luar
biasa besar, hanya untuk menggelar pasukan, alutsista dan logistic. Dengan demikian, militer
AS memerlukan homebases untuk pancangan kaki bagi aliran prajurit dan logistik untuk
keperluan pada saat akan (mobilization), selama berlangsungnya dan setelah perang
(demobilization), yang bisa memakan waktu bertahun-tahun seperti perang di Afganistan yang
hingga saat ini masih berlangsung.

Sedangkan keuntungannya, bahwa penderitaan rakyat relatif berkurang, seperti telah


dijelaskan di atas kerugiannya adalah menjadi beban ekonomi rakyat yang dirasakan sebagai
akibat dari defisit anggaran hutang yang meningkat, dan menjadi krisis finansial yang
sebenarnya juga mengakibatkan kesengsaraan secara ekonomis bagi masyarakat.

Pada prinsipnya, perang di luar wilayah nasional perlu adanya pertimbangan yang lebih
mendalam terhadap berbagai kemungkinan yang akan terjadi, mulai dari tingkat strategi sampai
dengan tingkat taktis. Selain itu, perang di luar teritori nasional memerlukan kekuatan Angkatan
Laut dan Udara yang besar dan kuat, yang memilik kemampuan untuk beroperasi di berbagai
medan dan cuaca. Selain itu, kekuatan intelijen dan ekonomi serta teknologi perang yang
dimiliki harus mencukupi untuk melaksanakan perang dalam jangka waktu lama. Perlu
dipertimbangkan pula, bahwa perang di luar teritori nasional termasuk dalam bentuk invasi,
dengan demikian perlu dipertimbangkan adanya sekutu dari negara yang diserang. Pada
strategi Perang Indonesia, dikenal dengan ‘defensive active’ atau ‘preemtive strike’, yaitu
menghancurkan kekuatan musuh di teritori negaranya.
Kesemuanya itu memerlukan pertimbangan para ahli intelijen geografi atau intelijen
geospasial untuk memberikan masukan, mulai dari pertimbangan dalam rangka pengambilan
kebijakan perang, yaitu apakah perang dilaksanakan atau tidak? Bagaimana strategi militer
yang akan diambil? Bagaimana pergeseran logistic dan prajurit? Alutsista apa yang fit dengan
medan operasi tersebut? Warna dan bahan apa yang cocok untuk seragam atau camouflage?
Hal-hal kecil lainnya memerlukan pertimbangan geografi.

Geografi dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP)

Operasi Militer Selain Perang (OMSP) atau Military Operation Other than War (MOOTW)[4]
adalah suatu bentuk operasi yang dilakukan oleh militer, baik yang dilaksanakan dalam rangka
mendukung Operasi Militer Perang (OMP) maupun OMSP yang dilaksanakan tidak dalam rangka
mendukung perang.

Yang dimaksud dengan OMSP dalam rangka mendukung OMP, yaitu operasi yang
direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai keberhasilan dan memenangkan perang atau
pertempuran. Misalnya dalam rangka mengatasi gerakan separatisme dan pemberontakan
yang merupakan inisiasi negara agresor dalam rangka menginvasi atau ofensif atau serangan
terhadap teritori negara RI; mengatasi permasalahan perbatasan yang eskalasinya telah
meningkat dari ketegangan dan akan meledak menjadi peperangan terbatas atau perang
umum. Semua OMSP tersebut, rencana operasi (Renops)-nya harus dikaitkan dan fokus
kepada keberhasilan operasi yang lebih besar, yaitu keberhasilan dan kemenangan dalam
pertempuran dan atau perang.

Geografi dan Alutsista

Diakui bahwa geografi medan (terrain) bukanlah satu-satunya bahan pertimbangan untuk
menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan dalam bidang pertahanan serta penentu
strategi militer termasuk di dalamnya penentuan kekuatan kemampuan, struktur, gelar pasukan,
dan penyiapan alutsista. Masih terdapat faktor-faktor lain yang perlu mendapat perhatian, yaitu
antara lain kepemimpinan, musuh, system dan teknologi militer, serta pengetahuan (knowledge).

Pengetahuan (knowledge) dan teknologi militer, yang di dalamnya termasuk perkembangan


teknologi geografi-nya sendiri. Perkembangan ketiga hal tersebut, diprediksi akan menjadi
primadona, lebih dominan dan penting dibandingkan dengan kondisi geografi dalam peperangan
masa kini dan dimasa mendatang. Rintangan dalam peperangan yang diakibatkan oleh geografi
akan teratasi atau bahkan tereliminasi oleh kecanggihan teknologi.

Kecanggihan teknologi militer yang ‘pertama’, yang dapat mengurangi bahkan mengiliminasi Commented [md1]: MANFAAT TEKNOLOGI
rintangan (obstacles) yang diakibatkan oleh kondisi geografi yang kurang bersahabat bagi para
komandan pasukan, yaitu teknologi dalam bidang survey dan pemetaan. Yaitu dengan
munculnya peta-peta topografi dan foto udara (aerial photography). Peta, merupakan jenis
informasi geospasial yang telah mengambil peran signifikan semenjak dimulainya kehidupan
manusia dan peperangan di dunia ini yaitu memerlukan peta-peta. Tidak ada perang yang tidak
memerlukan peta hingga saat ini, walaupun teknologi pemetaan telah berkembang dengan pesat.
Demikian pula foto udara, memberikan gambaran konkrit dan real tentang permukaan bumi. Data
dan informasi spasial tentang permukaan bumi tidak ada yang di seleksi tidak ada yang disaring
dan tidak ada yang ditutupi semuanya ada pada foto udara itu bahkan sekarang telah ada wahana
kamera udara digital (Digital Aerial Camera), lalu berkembang dengan teknologi LIDAR)[5], dan
citra satelit (imagery).

Teknologi setelah foto udara, lebih menguatkan, mempermudah, mempercepat, menigkatkan


kualias produk dan akurasi yang dihasilkan lebih dari yang dihasilkan foto udara. Selain itu, untuk
akurasi suatu posisi suatu obyek atau fenomena geografi di permukaan bumi, diperkuat dengan
berkembangnya teknologi Sistem Penentu Posisi Global (Global Positioning System/GPS).
Sehingga lengkaplah teknologi pengumpulan data atau informasi geografi, dari sisi gambar dan
posisi suatu obyek fenomena geografi di permukaan bumi.

Teknologi pengumpulan data atau informasi geospasial atau geografi yang demikian
berkembang tersebut, diimbangi dengan perkembangan ‘teknologi penyajian’ informasi geografi
yang didukung oleh berkembangnya teknologi Komputer dan informasi’ yang demikian pesat.
Sehingga membantu memudahkan dan mempercepat dalam menyajikan informasi geospasial
bagi para komandan pasukan, bahkan di militer AS telah mencapai komandan pada tingkat paling
bawah yaitu komandan regu.

Teknologi ‘penyajian informasi geografi’, yang terkenal dan yang sudah dikembangkan adalah
Sistem Informasi Geografi (SIG atau Geographic Information System/GIS). SIG, ini bukan hanya
menyajikan data atau informasi tentang obyek atau fenomena geografi saja, tetapi sudah
menghasilkan analisis yang langsung dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, baik untuk
sipil maupun militer. Digabungkan teknologi pengumpulan informasi geografi dengan teknologi
penyajian informasi geografi, dapat menghasilkan data, informasi, dan analsis geografi yang
bukan hanya lengkap, akurat dan tepat waktu melainkan juga data/informasi/hasil analisis
tersebut dapat diakses secara ‘real time’ pada saat itu juga.

Di militer AS kedua teknologi tersebut, dikembangkan oleh suatu badan ditingkat nasional,
yang disebut dengan Badan Nasional Geospasial Intelijen atau National Geospatial Intelligence
Agency tetapi disingkat tanpa menonjolkan intelijen, yaitu NGA.[6] Mereka telah berkembang
dengan memadukan dengan persenjataan, seperti: misil balistik antar benua (ICBM), meriam,
pesawat terbang tanpa awak (unmanned aerial vichele/UAV) atau Drone. Walaupun seringkali
menimbulkan korban warga sipil di Afganistan, namun Drone ini merupakan salah satu teknologi
tempur yang dapat mengeliminasi ‘geographical obstacles’ dan mengurangi korban pilot dari
pihak AS.

Dari uraian di atas, apabila suatu negara memiliki teknologi tersebut, maka sebagai
konsekwensinya komandan pasukan dari Negara tersebut akan lebih cepat dan mudah untuk
mendapatkan informasi medan atau daerah operasinya, dibandingkan dengan musuh yang akan
dihadapi. Sekali lagi, disitulah peran teknologi akan sangat membantu para perencana militer dan
pasukan di medan operasi untuk lebih memahami faktor geografi militer atau medan operasi.

Namun demikian, walaupun sudah ada dan akan terus berkembangnya teknologi informasi
dan teknologi perang, geografi, secara sosial dan fisik di lapangan akan tetap berpengaruh
terhadap pengambilan kebijakan pertahanan dan strategi militer; strategi dan taktik pada operasi
militer perang dan operasi militer selain perang (OMSP).[7]

Seperti disebutkan di atas, Drone atau UAV, sebagai salah satu kemajuan dari teknologi militer
yang tentunya didukung oleh teknologi survey dan pemetaan, yaitu menghancurkan sasaran
relatif tanpa diganjal oleh rintangan karena kondisi geografi. Walaupun sebenarnya tidak
sepenuhnya benar, karena tetap akan ada perhitungan yang berkaitan dengan kontur, topografi,
dan gravitasi bumi pada saat UAV tersebut melintas pada suatu daerah tertentu. UAV atau Drone
termasuk persenjataan Angkatan Udara. Sedangkan untuk persenjataan Angkatan Darat,
perkembangannya dapat dilihat pada peluru kendali (rudal) jarak pendek, sedang dan menengah
yang memadukan antara jarak jangkau tembakan dikombinasikan dengan pengetahuan tentang
posisi (kordinat x, y, dan z) sasaran.

Angkatan Darat AS, memiliki apa yang disebut dengan Army Transformation Road Map 2004,
antara lain tercantum Strategi Transformasi AD Amerika, ada tiga komonen yang perlu
ditransformasi dalam AD AS, yaitu: Transformasi budaya (transformed culture); Transformasi
proses (Transformed processes); dan Transformasi Kapabilitas (Transformed capabilities).
Ketiga transformasi komponen tersebut, tertuang dalam dokumen yang disebut dengan: System
Persenjataan dan Pertempuran di masa mendatang (Future Combat System). Pada dokumen
tersebut yang menonjol adalah pengembangan Penerbangan Angkatan Darat, Logistik dan
pengembangan persenjataan tempur lainnya. Termasuk pengembangan Infanteri Mekanis,
Divisi Gunung dan Divisi Pertahanan Udara. Serta yang menarik adalah pengembangan Satuan
Tugas Alat Ledak Improvisasi (Improvised Explosive Devices/IED), yang dilengkapi dengan
teknologi moder , dibutuhkan untuk meng-counter IED musuh.

Diyakini bahwa TNI AD juga memiliki road map dalam mengembangkan kekuatannya,
termasuk di dalamnya pengadaan Main Battle Tank/MBT, untuk kepentingan deterrence dan
menghadapi kemungkinan adanya musuh potensial. Pengadaan MBT diperdebatkan, antara lain
dikaitkan dengan kondisi geografi Indonesia. Geografi Indonesia secara umum memang terdiri
dari pulau-pulau. Pulau-pulau tersebut terdiri dari pulau besar dan kecil yang memiliki beragam
bentuk topografi atau geomorfologinya. Pulau besar, terutama Pulau Jawa, Sumatera,
Kalimantan, dan Irian.

Dari pulau-pulau besar yang disebutkan di atas, perlu dilihat pula unsur geografis lainnya
selain bentuk dari topografi dan geomorfologis, juga harus dilihat geografis lainnya. Unsur
geografis lainnya, yaitu adanya garis perbatasan darat dengan negara tetangga. Apabila
pertimbangan geografisnya adalah perbatasan Negara, maka terdapat 3 tiga Negara yang
berbatasan dengan teritori kita, yaitu di Pulau Kalimantan dengan Malaysia, Pulau Irian dengan
PNG, dan di Pulau Timor dengan RDTL. Maka sangat penting memiliki MBT, selain untuk
menghadapi penerobosan alutsista sejenis ke teritori kita, juga sebagai deterrence dan sivis
vacum parabellum. Deterrence sangat penting. Selain itu, negara tetangga telah memiliki alutsista
serupa.

Sivis vacuum parabellum, tiada kata yang paling penting selain segera melengkapi
perlengkapan perang (alutsista) pada masa damai. Seperti telah dijelaskan di muka, bahwa
melengkapi perlengkapan perang (alutsista) pada masa damai merupakan suatu keniscayaan,
karena apabila sudah dan sedang terjadi perang akan sulit mengadakan alutsista.

Salah satu kesulitannya adalah sangat tidak mungkin pada saat perang baru mengadakan
atau membuat alutsista, karena untuk memproduksi dan mengadakan alutsista dari luar akan
memerlukan waktu. Selain itu, akan adanya kemungkinan embargo dari negara tertentu, seperti
yang pernah kita alami, menjadikan sumber pengadaan alutsista akan semakin sulit.

Yang terpenting adalah mengkaji ‘geografi’ mana yang tepat untuk menempatkan MBT
tersebut. Apabila dilihat dari unsur ‘cu-me’, atau dengan kata lain berdasarkan pertimbangan
geografis, ke-3 locus di garis perbatasan tersebut, cocok untuk ditempatkannya tank-tank
tersebut. Namun, apabila dilihat dari unsur ‘cu-me-mu’ dan keterbatasan pengadaan MBT, maka
mengerucut pada satu locus, yaitu di Pulau Kalimantan Propinsi Kalimantan Barat dan Timur.

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa kesimpulan, sebagai berikut:

1. Bahwa geografi masih tetap merupakan factor penting dalam proses pengambilan
kebijakan atau keputusan terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan perang dan
operasi militer serta sebagai salah satu bahan dalam menentukan strategi militer;
2. Bahwa bebagai kesiapan perang, baik itu menyangkut kesiapan SDM yang professional;
system dan metoda; pengetahuan (knowledge) dan ilmu pengetahuan (science); sarana
dan alutsista-nyaperlu mempertimbangkan faktor geografi;
3. Bahwa peperangan yang dilakukan, baik di teritori nasional maupun di luar teritori nasional
akan merugikan rakyat, bangsa dan Negara—untuk itu perlu diingat akan adagium sivis
vacuum parabellum, dengan meyiapkan SDM yang professional; system dan metoda;
pengetahuan (knowledge) dan ilmu pengetahuan (science); sarana dan alutsista di masa
damai dalam rangka mengembangkan deterrence strategy supaya tidak terjadi perang;
4. Bahwa pengadaan alutsista tidak terpaku pada deterministic geografi, melainkan mencari
geografi yang fit dengan memfokuskan kepada lokus tertentu yang menjadi potensi
ancaman Negara di masa mendatang.

read:https://tniad.mil.id/2012/08/geografi-dan-teknologi-militer/

Anda mungkin juga menyukai