Anda di halaman 1dari 11

Farmaka

Volume 16 Nomor 1 61

ARTIKEL TINJAUAN: FITOSOM SEBAGAI SISTEM PENGHANTAR OBAT


TRANSDERMAL
Formulasi Baru Obat Herbal untuk Perkembangan Farmasetika di Indonesia

Akbar Rozaaq Mugni, Aliya Nur Hasanah


Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung Sumedang KM 21 Jatinangor 45636
*akbar.r@outlook.com

ABSTRAK
Indonesia memiliki tiga perempat spesies tanaman di bumi sehingga menjadi mega-center
keanekaragaman hayati dunia. Keragaman budaya, suku dan etnis yang memiliki warisan
pengetahuan masing-masing dibidang pengobatan membuat Indonesia berpotensi menguasai
pengembangan obat herbal. Namun, hal tersebut dibatasi oleh kurangnya pemanfaatan sumber
daya alam serta penerimaan praktisi kesehatan terhadap pengobatan herbal. Disisi lain,
perkembangan industri kefarmasian Indonesia mengalami masalah terkait bahan baku obat.
Terobosan terkait pemanfaatan sumber daya alam sebagai bahan baku obat herbal dengan
formulasi yang lebih mutakhir diperlukan untuk mengatasi dilemma tersebut. Peluang tersebut
didapat melalui aplikasi fitosom sebagai sistem penghantar obat transdermal yang baru
dikembangkan dunia kefarmasian. Dalam review artikel ini akan dibahas berbagai aspek dan
aplikasi dari fitosom pada formulasi sediaan obat herbal transdermal serta peluang Indonesia
dalam mengembangkan teknologi tersebut sebagai inovasi pengembangan farmasetika di
Indonesia.
Kata kunci: Fitosom, Sistem penghantar obat transdermal, Obat herbal

ABSTRACT

Indonesia has three-quarters of the world's plant species making it the world's mega-center
biodiversity. The cultures, tribes, and ethnic diversities which have their own knowledge for
medicine make Indonesia has a potential to lead the development of herbal medicine. But, the
potential has been limited by low natural resources utilization and medical practition acceptance
to herbal medicine. Besides, Indonesian pharmaceutical development has a trouble with
medicine raw materials. Indonesia needs to make a breakthrough by utilizing natural resources
as raw materials for herbal medicines with an advanced formulation to resolve those dilemma.
These opportunities are obtained through the application of phytosome as transdermal drug
delivery system which is newly developed technology in pharmaceutical sciences. In this review
article will discuss various aspects and application of phytosome in herbal medicine
transdermal dosage form and Indonesian opportunities in developing that technology as
innovative indonesian pharmaceutical development.
Keywords: Phytosome, Transdermal drug delivery system, Herbal medicine

Diserahkan: 19 Mei 2018, Diterima 23 Juni 2018

PENDAHULUAN
Praktisi kesehatan selalu berusaha didapatkan respon terapi yang cepat dan
menyediakan pengobatan dengan bentuk optimal. Obat diformulasikan dalam bentuk
obat yang terbaik kepada pasien agar sediaan yang sesuai untuk menjaga
Farmaka
Volume 16 Nomor 1 62

keamanan, efikasi, dan penerimaan dalam Faktor lain yang mendukung antara lain
beberapa faktor. Dengan kemajuan semua kekayaan hutan hujan tropis yang luas serta
lingkup ilmu pengetahuan dan teknologi saat beragamnya budaya, suku, maupun etnis
ini, bentuk sediaan telah mengalami yang memiliki warisan pengetahuan masing-
perkembangan dari campuran sederhana masing dibidang pengobatan. Terlebih lagi,
maupun pil menjadi bentuk sediaan dengan populasi penduduk Indonesia dapat menjadi
teknologi sistem penghantaran obat (Mandal prospek pasar yang baik disamping pasar
& Mandal, 2010). global (Moeloek, 2006; Menkes RI, 2007).
Selang dekade terakhir, penelitian Namun potensi tersebut berbanding
mengenai fitokimia dan fito-farmakologi terbalik dengan penerimaan praktisi
menghasilkan banyak komponen tumbuhan kesehatan terhadap obat herbal yang masih
dengan beragam aktivitas biologis yang rendah. Salah satu alasannya adalah ilmu
dapat menunjang kesehatan tubuh. kesehatan modern selalu memegang prinsip
Pengobatan herbal dikenal secara turun- pengobatan berbasis bukti (Evidence-based
temurun memiliki sisi keamanan dan efikasi Medicine) maupun pengobatan saintifik
yang lebih baik serta memiliki efek samping (Scientific-based Medicine) (Moeloek, 2006).
yang minimal. Masyarakat percaya Solusi untuk mengatasi keraguan tersebut
pengobatan herbal memiliki kompatibilitas adalah dengan melakukan formulasi sediaan
yang baik dengan tubuh manusia mengingat herbal dengan teknologi yang mutakhir.
konstituen kimia dalam pengobatan herbal Formulasi ekstrak tumbuhan menjadi
merupakan senyawa fisiologis dari makhluk sebuah sediaan memiliki langkah yang
hidup (bukan sintetis) (Goyal et al., 2011; kompleks. Kebanyakan zat aktif atau
More et al., 2013; Kuamwat & Mruthunjaya, fitokonstituen menunjukkan bioavaliabilitas
2012; Pathak & Das, 2013). yang rendah, ketidakstabilan pada pH yang
Indonesia memiliki banyak faktor sangat asam, metabolisme hati, dan
untuk dapat menjadi pemimpin dalam sebagainya (Goyal et al., 2011). Untuk
perkembangan obat herbal di dunia. Selain mendapatkan bioavailabilitas yang baik,
peran pemerintah yang mendukung produk herbal harus memiliki keseimbangan
kemajuan obat herbal melalui KOTRANAS antara hidrofilisitas dan lipofilisitas yang
(Kebijakan Obat Tradisional Nasional), menunjang kelarutan dan penembusan
Indonesia merupakan mega-center membran. Banyak fitokonstituen (komponen
keragaman hayati dunia dengan menempati dalam tumbuhan), seperti senyawa fenolik,
urutan terkaya kedua setelah negara Brazil. memiliki kelarutan yang baik dalam air
Farmaka
Volume 16 Nomor 1 63

namun sangat sulit diserap oleh tubuh pediatri / geriatri yang memiliki perubahan
disebabkan struktur gugus cincin ganda fungsi fisiologis tubuh (Tripathy et al., 2013;
dengan ukuran molekul yang besar sehingga Jing et al., 2014; Goyal et al., 2011). Selain
tidak dapat mengalami difusi. Selain itu, digunakan sebagai SPO rute oral, fitosom
rendahnya ketercampuran dengan lipid juga dapat digunakan sebagai SPO dalam
membatasi kemampuannya dalam melewati rute transdermal karena dapat menunjang
membran tubuh (Chivte et al., 2017; perjalanan obat menembus lapisan kulit
Tripathy et al., 2013). Oleh karena itu, perlu (Chen et al., 2012).
dibuat kajian mengenai solusi untuk Fitosom yang juga disebut herbosom
mengatasi permasalahan tersebut. termasuk dalam teknologi formulasi fitolipid
baru yang dapat mengatasi permasalahan
FITOSOM SEBAGAI PENGHANTAR barier tubuh namun tetap menjaga stabilitas
OBAT serta secara signifikan meningkatkan efikasi
Phyto-phospholipid Complex atau dan bioavailabilitas senyawa turunan
dikenal sebagai Fitosom merupakan tumbuhan (Chivte et al., 2017; Mazumder et
kompleks yang terbuat dari ikatan hidrogen al., 2016; More et al., 2013). Fitosom telah
antara fitokonstituen dengan fosfolipid yang banyak digunakan sebagai sistem penghantar
mampu menunjang stabilitas fisik dan obat, diantaranya yang populer yaitu
menunjang absorbsi fitokonstituen (Amit et formulasi sediaan mengandung asam
al., 2013). Fitosom termasuk dalam sistem Boswellia untuk mengatasi inflamasi,
penghantar obat (SPO) golongan vesikuler. sediaan Ginko dengan fitosom sebagai
SPO vesikuler merupakan kumpulan penunjang kognisi dan antioksidan, sediaan
konsentrat lipid yang terstruktur menjadi Hawthorn dengan fitosom untuk kesehatan
lapisan ganda (bilayer formed) ketika blok kardiovaskuler, sediaan Sericoside dengan
molekul-molekul ampifilik tertentu bertemu fitosom sebagai antikerut, serta “Meriva”
dengan air (Jadhav et al., 2012). sediaan Kurkumin dengan fitosom untuk
Penggunaan SPO dalam formulasi kesehatan persendian (More et al., 2013; Asit
obat dapat menjaga eksistensi obat dalam & Sunil, 2015).
sirkulasi sistemik dan mengatur Inti dari teknologi fitosom berasal
penghantaran obat dengan meminimalisir dari komponen flavonoid (Senyawa
degradasi obat atau metabolisme pre- polifenol) yang berikatan langsung dengan
sistemik dari zat aktif. Hal tersebut dapat molekul fosfatidilkolin. Fitosom terbentuk
menunjang penerimaan terapi pada golongan ketika fosfolipid bereaksi dengan ekstrak
Farmaka
Volume 16 Nomor 1 64

herbal dalam pelarut aprotik. Fosfatidilkolin • Memiliki profil stabilitas yang lebih baik
merupakan komponen amfoterik. Bagian karena adanya ikatan molekul
fosfatidil bersifat lipofilik, sedangkan bagian fosfatidilkolin dengan fitokonstituen
kolin bersifat hidrofilik. Polifenol berikatan • Komponen yang digunakan untuk
dengan bagian kolin pada fosfatidilkolin, pembuatan fitosom relatif aman dan
sedangkan bagian fosfatidil membentuk memiliki resiko toksisitas rendah
kompleks tubuh dan ekor serta menyelubungi • Fitosom termasuk sistem penghantar
inti struktur hidrofilik dari kolin. Molekul non-invasif dan pasif
terikat dengan ikatan kimia pada kutub • Pembuatan fitosom relatif mudah tanpa
kepala kolin dari fosfolipid(Chivte et al., investasi teknis yang rumit
2017; Das & Kalita, 2013). Disamping berbagai keungulan
Keunggulan fitosom dalam fitosom, terdapat batasan penggunaan
menghantarkan obat yaitu (Tripathy et al., fitosom yang jarang diungkap pada pasar.
2013; Kadu & Apte, 2017; Pawar & Fitosom dapat menghilangkan fitokonstituen
Bhangale, 2015): tertentu dalam sediaan dan mengurangi
• Penyerapan fitokonstituen meningkat konsentrasi obat yang diinginkan karena
baik melalui rute oral maupun topikal cepat tereliminasi (Pawar & Bhangale,
sehingga memiliki bioavailabilitas yang 2015). Namun jika diibandingkan dengan
lebih baik dan respon terepeutik yang SPO vesikuler lain, fitosom memiliki
optimal keunggulan yaitu fitokonstituen menyatu
• Dapat menghantarkan beragam kelompok dengan molekul fosfolipid pada kepala kolin
obat seperti peptida dan molekul protein yang bersifat hidrofilik. Sedangkan pada
• Dapat menghantarkan ekstrak non- SPO lain, molekul fosfolipid hanya
lipofilik dan meningkatkan absorbsinya menjebak fitokonstituen tanpa mengikatnya
• Membutuhkan dosis obat yang rendah secara spesifik. Selain itu, perbandingan
dikarenakan absorbsi konstituen aktif jumlah fosfolipid dengan fitokonstituen yang
yang meningkat terbentuk pada fitosom lebih efisien dengan
• Fosfatidilkolin sebagai molekul pembawa rasio 1:1 atau 2:1, sedangkan pada SPO
memiliki efek hepatoprotektif dan dapat vesikuler lain, ratusan bahkan ribuan
menutrisi kulit molekul fosfolipid mengelilingi beberapa
• Konstituen terkonjugasi dalam pembawa molekul yang larut air (Pawar & Bhangale,
sehingga pembungkusan sangat efisien 2015).
Farmaka
Volume 16 Nomor 1 65

APLIKASI FITOSOM SEBAGAI SPO rendah, serta interaksi dengan makanan


TRANSDERMAL maupun obat lain.
SPO transdermal merupakan suatu • Tidak mengalami metabolisme lintas
sistem penghantaran obat hingga sirkulasi pertama hati
sistemik melalui penembusan kulit secara • Regimen yang simpel sehingga
terkontrol dan dapat mempertahankan meningkatkan kepatuhan dan
konsentrasinya tetap dalam rentang terapetik menurunkan inter- maupun
untuk periode waktu tertentu (Raza et al., intravariabilitas pasien.
2015). Teknologi transdermal memiliki • Dapat diadministrasikan sendiri dan
prinsip modifikasi rute penembusan obat bersifat non-invasif, relatif tidak
melalui kulit secara aktif maupun pasif. menyakitkan seperti sediaan parenteral
Metode aktif biasa menggunakan ablasi • Pemasukan obat dalam tubuh dapat
thermal (laser dan radiofrekuensi), elektrikal segera dihentikan dengan melepas
(ionthoforesis dan elektroporasi), mekanikal sediaan dari kulit
(jarum mikro), dan teknologi lain (injeksi jet • Dapat dengan mudah teridentifikasi jika
dan gelombang ultra). Sedangkan metode terjadi kondisi kegawatdaruratan
pasif biasa menggunakan prodrug, sistem Beberapa penelitian yang sudah
eutektik, peningkat kimiawi, dan optimasi dilakukan menunjukkan penggunaan fitosom
formula yang dalam hal ini dapat sebagai sistem penghantar obat transdermal
menggunakan teknologi fitosom (Alkilani et memiliki hasil yang lebih baik. Das dan
al., 2015). Kalita (2014) membuktikan formulasi
Kelebihan dari rute transdermal yaitu sediaan transdermal mengandung rutin
(Raza et al., 2015; Fathima et al., 2017): dengan fitosom menghasilkan sediaan yang
• Melepaskan dosis obat dengan konstan memiliki tingkat solubilitas dan
dalam periode tertentu sehingga dapat permeabilitas yang lebih baik dibanding
menghindari peningkatan atau penurunan sediaan tanpa fitosom. Selain itu, sediaan
dosis yang tajam Panax ginseng dengan fitosom lebih aktif
• Rute alternatif untuk pasien yang tidak menjaga vasal, memiliki permeabilitas
dapat mentoleransi sediaan per oral kapiler yang baik, efektif melawan radiasi
• Meningkatkan nilai terapetik obat dengan UV, menunjukkan efek pelembab pada cutis
menghindari permasalahan spesifik dan membuatnya lebih elastis karena
seperti iritasi lambung, penyerapan yang stimulasi fibroblastik pada tingkat dermal
Farmaka
Volume 16 Nomor 1 66

dengan peningkatan proteoglikan dan B. Karakterisasi Fitosom


sisntesis kolagen (Chivte et al., 2017). Parameter yang dilakukan untuk
Pembuatan sediaan transdermal karakterisasi fitosom meliputi visualisasi,
dengan mengaplikasikan Fitosom sebagai ukuran vesikel dan potensial zeta, efisiensi
sistem penghantar obat dapat dilakukan penjebakan, temperatur transisi, pengukuran
sesuai tahap berikut: tegangan permukaan, stabilitas vesikel, dan
kandungan fitokonstituen dengan penjelasan
A. Formulasi Fitosom sebagai berikut (Pawar & Bhangale, 2015):
Preparasi dapat dilakukan dengan tiga o Visualisasi dapat dilakukan dengan
metode yaitu metode evaporasi solven, mikroskop transmisi elektron.
metode Salting-out, dan metode lyopilisasi o Pengukuran vesikel dan potensial zeta
dengan penjelasan sebagai berikut (Pawar & dilakukan dengan metode dynamic light
Bhangale, 2015): scattering (DLS) menggunakan
o Metode evaporasi solven dilakukan spektroskopi korelasi photon.
dengan cara mencampurkan o Efisiensi penjebakan dilakukan dengan
fitokonstituen dengan fosfatidilkolin ultrasentrifugasi.
dalam pelarut yang sesuai, campuran di- o Temperatur transisi dilakukan dengan
reflux beberapa jam, dan hasil reflux differential scanning calorimetry.
dievaporasi dalam vakum. o Tegangan permukaan dapat diukur
o Metode Salting-out dilakukan dengan menggunakan metode cincin dengan Du
cara mencampurkan fitokonstituen dan Nouy tensiometer.
fosfatidilkolin pada pelarut aprotik o Stabilitas vesikel dapat dimonitor dengan
seperti dioksan atau aseton dan diaduk mikroskop transmisi elektron dan
semalam sehingga terbentuk kompleks dianalisa dengan DLS.
yang mengalami presipitasi. o Kandungan fitokonstituen dapat dianalisa
o Metode lyopilisasi dilakukan dengan cara dengan kromatografi cair kinerja tinggi
melarutkan fitokonstituen dan fosfolipid (KCKT).
pada pelarut yang berbeda, larutan
mengandung fitokonstituen dimasukkan C. Formulasi Sediaan Transdermal
dalam larutan mengandung fosfolipid dan Sediaan transdermal memiliki
diaduk hingga terbentuk kompleks. komposisi dasar yaitu matriks polimer, zat
aktif, peningkat permeasi, pelekat, dan
Farmaka
Volume 16 Nomor 1 67

laminasi penutup dengan penjelasan sebagai casting dimana polimer dicampur dengan
berikut (John, 2014; Hafeez et al., 2013): pelarut dan diaduk perlahan sampai
o Matriks polimer berperan dalam kecepatan tinggi secara bertahap. Selanjutnya
mengontrol pelepasan obat dari sediaan. zat aktif, dalam hal ini yaitu kompleks
Polimer yang digunakan dapat berupa fitosom dengan fitokonstituen, dan eksipien
polimer alami seperti turunan selulosa, ditambahkan hingga homogen disertai
polimer sintetis seperti polivinilklorida, agitasi. Selanjutnya campuran tersebut
maupun elastomer sintetis seperti silikon. dituang dalam cetakan dan dikeringkan
o Zat aktif yang digunakan yaitu hasil dalam oven pada suhu 40oC. Cetakan yang
kompleks fitosom yang telah kering akan membentuk lapisan film dan
diformulasikan sebelumnya. dikemas dalam tipe sediaan yang sesuai
o Peningkat permeasi dapat bersifat (Mali et al., 2015).
kimiawi maupun fisika. Peningkat
permeasi kimiawi diantaranya yaitu D. Evaluasi Sediaan Transdermal
golongan terpen, pirolidon, asam lemak, Sediaan yang telah dibuat selanjutnya
sulfoksid, alkohol, dan golongan lain. dievaluasi dengan parameter fisikokimia, in
Sedangkan peningkat permeasi fisika vitro, dan in vivo. Parameter fisiokimia
diantaranya yaitu ionthoforesis dan meliputi ketebalan, keseragaman bobot pada
gelombang ultra. Disisi lain, penggunaan 10 sediaan secara acak, kandungan obat pada
fitosom telah menunjang penetrasi 100mg film, tingkat kelembaban,
fitokonstituen sehingga komponen kelengketan, dan uji daya lipat. Parameter in
peningkat permeasi dalam formulasi vitro meliputi pelepasan dan kinetika obat
sediaan transdermal dapat diabaikan. seperti uji penetrasi. Sedangkan untuk
o Pelekat yang biasa digunakan yaitu parameter in vivo dilakukan sama seperti
poliakrilat, poliisobutilen, dan pelekat jenis sediaan lain yaitu diuji pada binatang
silikon. seperti tikus, anjing, kera, kelinci, dan
o Laminasi penutup mencegah obat untuk binatang lain yang bulu/rambut nya telah
kontak dengan lingkungan luar. Bahan dicukur. Setelah teruji pada binatang,
yang biasa digunakan yaitu laminasi pengujian dilanjutkan pada manusia untuk
plastik metalik, aluminium foil, mengetahui profil farmakokinetik dan
poliuretan fleksibel, dan sebagainya. farmakodinamiknya secara nyata. Selain itu,
Secara umum, pembuatan sediaan sediaan juga perlu dilakukan uji stabilitas
transdermal dilakukan dengan cara solvent sesuai pedoman International Council for
Farmaka
Volume 16 Nomor 1 68

Harmonisation of Technical Requirements mampu berkompetisi dengan obat-obatan


for Pharmaceutical for Human (ICH) (Mali herbal dari Tiongkok (Ferianto, 2017).
et al., 2015). Perkembangan obat berbasis
transdermal bermula dari sediaan topikal
POSISI INDONESIA DALAM yang dimulai sejak zaman dahulu dimana
PENGEMBANGAN FITOSOM DAN ramuan dari olahan tanaman diikat pada
OBAT TRANSDERMAL daerah yang sakit pada permukaan kulit.
Dalam dua dekade terakhir, Perkembangan dilanjutkan pada abad kesatu
perkembangan obat-obatan dari bahan alam dimana Galen menciptakan krim dingin
menunjukkan peningkatan baik di negara dengan kandungan emulsi air dalam minyak.
berkembang maupun negara maju (Menkes Pada abad ke 14 mulai populer salep
RI, 2007). Didunia tercatat ada 40.000 merkuri. Abad ke 18 hingga 19 ditandai
spesies tumbuhan dimana 30.000 spesies dengan munculnya produk plester mustard
diantaranya terdapat di Indonesia dan 1000 dan belladona. Hingga perkembangan abad
spesies didalamnya diketahui memiliki 20 telah muncul teknologi transdermal
potensi sebagai obat (Moeloek, 2006; berupa patch atau sering dikenal dengan
Muchtar et al., 2009). Melimpahnya sumber istilah Koyo. Penelitian terkait sediaan
daya tersebut membuat Indonesia memiliki transdermal mulai populer semenjak
potensi menjadi pemimpin pengembangan ditemukannya teori obat-obatan rute topikal
obat herbal di dunia. dapat mencapai sirkulasi sistemik pada
Saat ini, Tiongkok menempati posisi pertengahan abad 19 saat sabun antiseptik
pertama sebagai produsen obat herbal di Asia mengandung 30% lanolin terbukti secara
bahkan menjadi eksportir produk herbal efektif mengatasi infeksi saluran kemih
terbesar di dunia. Negara Amerika menjadi (Pastore et al., 2015).
negara dengan penggunaan paten terbanyak Perkembangan sediaan transdermal
obat-obatan herbal. Dibalik fakta tersebut, dengan pelekat (patch / koyo) mulai terlihat
ternyata Indonesia hanya menempati posisi pertama kali sejak dikenalkan oleh Dale
sebagai penyedia bahan baku pembuatan Wurster pada tahun 1961 (Roberts, 2013).
obat-obatan tersebut (Ferianto, 2017; Hingga saat ini, banyak industri farmasi
Moeloek, 2006). Penyebabnya adalah mulai memproduksi obat-obatan dengan
penggunaan teknologi yang tidak terstandar sistem transdermal. Namun, obat-obatan
sehingga produk herbal Indonesia tidak yang diproduksi baru sebatas menggunakan
zat aktif senyawa sintetis (Pastore et al.,
Farmaka
Volume 16 Nomor 1 69

2015). Bahkan senyawa sintetis yang yaitu menggencarkan upaya kemandirian


digunakan juga terbatas karena pemilihan zat produksi bahan baku obat Indonesia, namun
aktif yang dapat diformulasikan menjadi solusi tersebut masih dibayangi
sediaan transdermal memiliki persyaratan ketidakpastian bahan baku obat dalam negeri
yang kompleks (Roberts, 2013). Penggunaan akan digunakan oleh industri swasta maupun
obat herbal dalam formulasi sediaan pengadaan pemerintah karena kalah bersaing
transdermal sendiri tergolong inovasi baru dengan produk impor (Ditjen Kefarmasian
dalam bidang kefarmasian. dan Alkes, 2016).
Perkembangan perindustrian di Sudah saatnya bangsa Indonesia
Indonesia dalam bidang kefarmasian saat ini memfokuskan potensi sumber daya alam
mengalami tren yang positif. Pada tahun sebagai salah satu upaya pengembangan
2011, sektor kefarmasian menempati urutan industri farmasi di Indonesia. Indonesia
kedua dengan proyek pengembangan dapat menggencarkan pemanfaatan sumber
terbanyak setelah industri makanan. Pada daya alam dengan meningkatkan produksi
tahun 2014, investasi untuk sektor obat herbal. Formulasi obat herbal dengan
kefarmasian juga menduduki peringkat tepat akan menjadi solusi kesehatan di masa
kedua dengan nominal lebih dari 13 Triliyun depan melihat tren penggunaan obat herbal
rupiah dari sektor domestik dan lebih dari 2 yang semakin meningkat. Salah satu
Triliyun rupiah dari sektor asing. Namun formulasi yang dapat digunakan yaitu
perkembangan industri kefarmasian hanya penggunaan Fitosom sebagai sistem
menduduki peringkat kesembilan dari total penghantar obat transdermal. Melihat
15 sektor industri non-minyak dan gas teknologi tersebut tergolong inovasi baru di
(Ministry of Industry RI, 2015). dunia, kesempatan Indonesia untuk
Kendala utama perkembangan mengembangkan teknologi tersebut sama
industri kefarmasian di Indonesia yaitu besar dibanding negara-negara lain. Bahkan
sekitar 95-96% bahan baku obat masih posisi Indonesia dapat diunggulkan
diimpor, terutama dari Tiongkok dan India. mengingat status Indonesia sebagai mega-
Selain itu pemanfaatan sumber daya alam center keanekaragaman hayati di dunia.
baik tumbuhan, hewan, biota laut, bahan
tambang dan mineral, serta gas bumi masih KESIMPULAN
terbatas. Solusi yang dilakukan pemerintah Indonesia berpotensi memimpin
Indonesia untuk meningkatkan perkembangan obat-obatan herbal didunia.
perkembangan sektor industri farmasi saat ini Selain fokus pada produksi bahan baku obat,
Farmaka
Volume 16 Nomor 1 70

Indonesia perlu mengembangankan industri Chivte P., Pardhi V., Joshi V., Ajhita RR.
2017. A Review on Therapeutic
herbal. Sektor herbal perlu difokuskan dalam
Applications of Phytosomes. Journal of
hal formulasi sediaan, terutama penggunaan Drug Delivery and Therapeutics. Vol
7(5): 17-21
teknologi Fitosom pada sediaan transdermal.
Tripathy S., Patel DK., Barob L., Naira SK.
Dengan teknologi yang relatif baru tersebut, 2013. A Review on Phytosomes, Their
Characterization, Advancement &
Indonesia memiliki peluang yang lebih tinggi
Potential for Transdermal Application.
dibanding negara-negara lain untuk bersaing Journal of Drug Delivery and
Therapeutics. Vol 3(3): 147-152
mengembangkan bidang farmasetika menjadi
Amit P., Tanwar YS., Rakesh S., Poojan P.
lebih maju. 2013. Phytosome : Phytolipid Drug
Delivery System for Improving
Bioavailability of Herbal Drug. J.
DAFTAR PUSTAKA Pharm. Sci. Biosci. Res. Vol 3(2): 51–57
Jadhav SM., Morey P., Karpe MM., Kadam
Mandal SC., Mandal M. 2010. Current status V. 2012. Novel Vesicular System: An
and future prospects of new drug Overview. J. Appl. Pharm. Sci. Vol
delivery system. Pharm Times.Vol 2(1): 193–202.
42(4): 13-6. Jing L., Xulin W., Ting Z., Chunling W.,
Goyal A., Kumar S., Nagpal M., Singh I., Zhenjun H., Xiang L., et al. 2014. A
Arora S. 2011. Potential of novel drug Review On Phospholipids and Their
delivery systems for herbal drugs. Ind J Main Applications in Drug Delivery
Pharm Edu Res. Vol 45(3): 225-235. Systems. Asian J. Pharm. Sci. Vol
More MS., Shende MA., Kolhe DB. 2013. 10(2): 81–98.
Herbosomes: herbo-phospholipid Chen Y., Wu Q., Zhang Z., Yuan L., Liu X.,
complex an approach for absorption Zhou L. 2012. Preparation of Curcumin-
enhancement. Int. J. Biol. Pharm. Res. Loaded Liposomes and Evaluation of
Vol 4(9): 634–639. Their Skin Permeation and
Kuamwat RS., Mruthunjaya K. 2012. Pharmacodynamics. Molecules. Vol 17:
Preparation, characterisation and 5972-5987.
antioxidant activities of gallic-acid Mazumder A., Dwivedi A., Du Preez JL., Du
phospholipid complex. Int. J. Res. Plessis J. 2016. In Vitro Wound Healing
Pharm. Sci. Vol 2: 138–148. and Cytotoxic Effects of
Pathak K., & Das RJ. 2013. Herbal Medicine Sinigrinphytosome Complex. Int. J.
- A Rational Approach in Health Care Pharm.Vol 498: 283–293
System. Int. J. Herb. Med. (IJHM). Vol Asit RS., Sunil BB. 2015. Formulation and
1(13): 86–89 Evaluation of Phytosome Drug Delivery
Moeloek FA. 2006. Herbal and Traditional System of Boswellia Serrata Extract. Int
Medicine: National Perspectives and J Res Med. Vol 4(2):94-99
Policies in Indonesia. Jurnal Bahan Das MK., Kalita B. 2013. Phytosome : An
Alam Indonesia. Vol 5 (1): 293-297 Overview. Journal of Pharmaceutical
Menkes RI. 2007. Keputusan Menteri and Scientific Innovation. Vol 2 (3): 7-
Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 11
381/Menkes/SK/III/2007 Tentang Kadu AS., Apte M. 2017. Phytosome: A
Kebijakan Obat Tradisional Nasional. Novel Approach to Enhance the
Departemen Kesehatan Republik Bioavailability of Phytoconstituent.
Indonesia: Jakarta
Farmaka
Volume 16 Nomor 1 71

Asian Journal of Pharmaceutics. Vol (TDDS): An Overview. Journal of


11(2): Suppl S453-S461 Scientific and Innovative Research. Vol
Pawar HA., Bhangale BD. 2015. Phytosome 2 (3): 695-709
as a Novel Biomedicine: A Mali AD., Bathe R., Patil M. 2015. An
Microencapsulated Drug Delivery Updated Review on Transdermal Drug
System. Journal of Bioanalysis & Delivery Systems. International Journal
Biomedicine. Vol 7(1): 006-012 of Advances in Scientific Research. Vol
Raza R., Mittal A., Kumar P., Alam S., 1(06): 244-254.
Prakash S., Chauhan N. 2015. Muchtar, Pangestu ME, et al. 2009.
Approaches and evaluation of Handbook of Commodity Profile,
Transdermal drug delivery system. Indonesian Herbal: The Traditional
International Journal of Drug Therapy. Trade Research dan
Development & Research. Vol 7 (1): Development Agency, Ministry of
222-233 Trade. Republic of Indonesia: Jakarta.
Alkilani AZ., McCrudden MTC., Donnelly Ferianto, Berliandaldo M. 2017. Mapping of
RF. 2015. Transdermal Drug Delivery: Management Strategic in Improving
Innovative Pharmaceutical Herbal Medicine Industry
Developments Based on Disruption of Competitiveness. International Journal
the Barrier Properties of the stratum of Business Management & Research
corneum. Pharmaceutics. Vol 7 : 438- (IJBMR). Vol 7(2): 75-82
470 Pastore MN., Kalia YN., Horstmann M.,
Fathima SA., Begum S., Fatima SS. 2017. Roberts MS. 2015. Transdermal
Transdermal Drug Delivery System. Patches: History, Development and
International Journal of Pharmaceutical Pharmacology. British Journal of
and Clinical Research. Vol 9 (1): 35-43 Pharmacology. Vol 172: 2179-2209
Das MK., Kalita B. 2014. Design and Roberts MS. 2013. Solute-Vehicle-Skin
Evaluation of Phyto-Phospholipid Interactions in Percutaneous Absorption:
Complexes (Phytosomes) of Rutin for The Principles And The People. Skin
Transdermal Application. Journal of Pharmacol Physiol. Vol 26: 356–370.
Applied Pharmaceutical Science. Vol. 4 Ministry of Industry RI. 2015. Industry:
(10): 051-057. Facts and Figures. Public
John, Lincy. 2014. Review on Transdermal Communication Center Ministry of
Drug Delivery System. International Industry Republic of Indonesia: Jakarta.
Journal of Pharma Research and Health Ditjen Kefarmasian dan Alkes. 2016.
Sciences. Vol 2 (4): 261-272 INFARKES: Upaya Kemandirian
Hafeez A., Jain U., Singh J., Maurya A., Produksi Bahan Baku Obat di
Rana L. 2013. Recent Advances in Indonesia. Kementrian Kesehatan
Transdermal Drug Delivery System Republik Indonesia: Jakarta Selatan

Anda mungkin juga menyukai