Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

Guillain–Barré syndrome (GBS) merupakan sekumpulan gejala dengan onset


akut yang merupakan penyakit yang diperantarai oleh sistem kekebalan tubuh yang
menyerang sistem saraf perifer. Guillain–Barré syndrome dikemukakan padatahun
1916 oleh Guillain dan Barre yang menjelaskan mengenai karakteristik temuan cairan
serebrospinal (CSS) dimana ditemukan peningkatan konsentrasi protein namun tanpa
disertai dengan kenaikan jumlah sel pada dua prajurit Perancis yang mengalami
kelemahan.17
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim dan dapat menyerang
semua umur. Angka kejadian tahunan keseluruhan GBS di Amerika Serikat adalah
1,65-1,79 per 100.000 orang dengan rasio kejadian pada laki-laki dan wanita 1.5 : 1.
Beberapa infeksi terlibat dalam perkembangan GBS. Sekitar dua-pertiga dari pasien
dengan infeksi saluran napas atau gejala gastrointestinal telah dilaporkan dalam tiga
minggu sebelum timbulnya gejala GBS. Bukti yang paling kuat adalah pada infeksi
Campylobacter jejuni, namun GBS juga dilaporkan pada infeksi berikut yaitu
Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenzae, cytomegalovirus, dan Epstein-
Barr.6
Guillain–Barré syndrome menyebabkan paralisis akut yang dimulai dengan
rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisis ke empat
ekstremitas yang bersifat ascendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral.
Refleksfisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali. Kerusakan
saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif,
dalam hitungan jam, hari maupun minggu ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat.
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan
kelemahan pada otot.7, 17
BAB II

ILUSTRASI KASUS

2.1 Identita Pasien

Nama : Sdr. M. M

Usia : 19 Tahun

Pekerjaan : Mahasiswa

Alamat : Cijoho

Suku : Sunda

Agama : Islam

Tanggal Masuk RS : 28-03-2019 Jam 17.00 WIB

Tanggal Pemeriksaan : 28-03-2019 Jam 17.00 WIB

2.2 Anamnesis

2.2.1 Keluhan Utama


Kelemahan kedua tungkai
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD 45 Kuningan dengan keluhan kedua tungkai


terasa lemah sejak tiga hari SMRS. Kelemahan dirasakan secara tiba-tiba dan terus
menerus, semakin hari semakin memburuk, berangsur-angsur mulai dari ujung jari-jari
kaki lalu menjalar ke tungkai, sehingga membuat pasien sulit berjalan. Lima hari
SMRS Keluhan kelemahan ini diawali dengan rasa kesemutan di ujung-ujung jari kaki
selama dua hari. Tiga hari SMRS pasien mulai mengeluhkan kelemahan di ujung-
ujung jari kaki namun pasien masih bisa berjalan dengan bantuan benda di sekitarnya
ataupun bantuan keluarga. Dua hari SMRS pasien tidak bisa menggerakkan kedua
kakinya. Satu hari SMRS susah mengeluarkan suaranya.
Keluhan tidak bertambah berat setelah aktifitas maupun berkurang dengan
istirahat. Menyangkal terdapat demam ketika terjadi kelemahan kedua kaki.
Menyangkal memakan makanan kaleng dan melihat ganda. Menyangkal mengalami
trauma sebelumnya.
Pasien pernah di rawat inap di Rumah Sakit swasta sebanyak dua kali, dua
minggu SMRS karena pasien muntah-muntah dan bab cair, pasien di rawat selama
lima hari. Tiga minggu SMRS dirawat karena demam dan juga terdapat batuk pilek, di
rawat selama tiga hari, orang tua pasien mengatakan diberitahu oleh petugas medis di
Rumah Sakit tersebut penyakitnya diakibatkan karena infeksi virus.

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat gastroenteritis akut (+) dua minggu SMRS, dirawat di Rumah Sakit
swasta selama lima hari. Riwayat ISPA (+) disertai demam tiga minggu SMRS,
dirawat di Rumah Sakit swasta selama tiga hari. Riwayat varicella zoster di sangkal.
Riwayat Campak disangkal. Riwayat Mump disangkal. Riwayat Hepatitis disangkal.
Riwayat Pneumonia disangkal. Riwayat demam Tifoid disangkal. Riwayat Malaria
disangkal. Riwayat penyakit Hodgkins disangkal. Riwayat Hipertiroid disangkal.
Riwayat trauma disangkal. Riwayat keluhan serupa disangkal. Riwayat penyakit
diabetes melitus disangkal .
2.2.4 Riwayat Keluarga

Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan atau riwayat penyakit yang sama
dengan pasien. Riwayat hipertensi disangkal. Riwayat penyakit diabetes melitus
disangkal . Riwayat stroke disangkal.

2.2.5 Riwayat Pengobatan

Satu hari SMRS keluarga pasien mengira kelemahannya karena lemas akibat
penyakit GEA dua minggu sebelumnya sehingga pasien dibawa kontrol ke poliklinik
penyakit dalam, namun oleh doker spesialis penyakit dalam disarankan untuk
konsultasi ke dokter spesialis saraf. Pasien dibawa ke poliklinik dokter spesialis saraf
dan dikatakan bahwa penyakitnya ini adalah GBS dan diberi rujukan untuk berobat ke
RS Hasan Sadikin. Namun keadaan Pasien semakin memburuk sehingga keluarga
membawa ke IGD RSUD 45. Pasien diberi obat namun lupa nama obatnya dan tidak
dibawa obatnya ketika ke IGD.

2.2.6 Riwayat Lingkungan Sosial

Pasien tinggal di Kuningan namun sedang kuliah semester 3 di Universitas


Negri di Bandung. Di Bandung os tinggal di kost-kostan. Orang tua pasien
mengatakan anaknya aktif di kegiatan kampus dan mengikuti kegiatan pecinta alam.
Kebiasaan merokok disangkal. Kebiasaan meminum alcohol disangkal.

2.3 Pemeriksaan Fisik


 Keadaan Umum : Sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 Status gizi : Normal
Tanda vital

 Tekanan darah : 120/70 mmHg


 Nadi : 76 x/menit
 Respirasi : 22 x/menit
 Suhu : 36,50C

a. Status Internus
- Kepala : normochepal
Rambut : hitam (+) distribusi merata.
Wajah : simetris,oedema (-), deformitas (-)
Mata : Pupil : isokor,diameter 3mm/3mm,
reflex cahaya (+/+)
Congjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)

Telinga : simetris, serumen (-/-), darah (-/-)

Hidung : Nafas cuping hidung (-), Deformitas (-), Septum deviasi (-),
Sekret (-)

Mulut : bibir : pucat (-), mukosa basah (-), sianosis (-)

Lidah : tremor (-), hiperemis (-), beslag(-)

Tonsil : hiperemis (-)

Faring : hiperemis (-)

- Leher : Kulit seperti warna sekitar

Pembesaran kelenjar tiroid (-)

Pembesaran kelenjar getah bening (-)


Deviasi trakea (-)

JVP meningkat (-)

- Thorax :
Paru-paru

Dextra Sinistra
1. Inspeksi Bentuk dan pergerakan Bentuk dan pergerakan
Simetris, Simetris
2. Palpasi Rertaksi (-), jejas (-) Rertaksi (-), jejas (-)
Vocal Fremitus (+) sama Vocal Fremitus (+) sama
kanan dan kiri kanan dan kiri
Pelebaran ICS (-) Pelebaran ICS (-)
3. Perkusi
Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
4. Auskultasi
Suara dasar vesikuler Suara dasar vesikuler
Ronki (-) Ronki (-)
Wheezing (-) Wheezing (-)

Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas atas : ICS II linea parasternal sinistra

batas kanan bawah : ICS IV linea parasternalis dextra


batas kiri bawah : ICS V linea medial midclavikula
sinistra
Auskultasi : S1S2 regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Supel
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani , pekak samping (-), pekak pindah (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba

Ekstrimitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)

b. Status Neurologi
1. GCS
Eye :4
Verbal : 5
Motor : 6
2. Rangsang Meningeal
- Kaku kuduk : (-)
- Kuduk kaku : (-)
- Brudzinski I : (-)
- Brudzinski II : (-)
- Brudzinski III : (-)
- Laseque : (-), tidak terbatas
- Kernig : (-), tidak terbatas

3. Saraf Kranial
- CN I (Olfaktorius) : tidak dilakukan pemeriksaan
- CN II (Optikus) : OD OS
 Tajam pengelihatan: dbn dbn
• Lapang pandang : dbn dbn
• Funduskopi : tidak dilakukan pemeriksaan

- CN III, IV, VI (Okulomotor, Koklear dan Abdusen) :


kanan kiri

• Fisura palpebra : dbn dbn


• Ptosis : (-) (-)
• Posisi mata : ortotropia ortotropia
• Gerak bola mata : baik, ke segala arah baik, ke segala
arah
versi (9) duksi (6) versi (9) duksi (6)
• Eksofthalamus : (-) (-)
• Diplopia : (-) (-)
• Tekanan bola mata : dbn dbn
• Nystagmus : (-) (-)
• Pupil ukuran : 3 mm 3 mm
• Reaksi cahaya :
• direct : + +
• indirect : + +

- CN V (Trigeminal)
• Motorik : Maseter dan Temporalis (dalam batas normal)
• Sensorik :
• Cabang oftalmik : normal
• Cabang Maksilari : normal
• Cabang Mandibularis: normal
• Kornea reflek: (+/+)
- CN VII (Fasial)
• Motorik :
Mengerutkan dahi : Tidak sempurna

Mengerutkan alis : Tidak sempurna

Menutup mata : Tidak menutup sempurna

Mengembungkan pipi : Normal

Lipatan Nasolabial : Normal

Sudut bibir : Normal

• Sensorik (2/3 ant.lidah) : tidak dilakukan pemeriksaan


- CN VIII (Vestibulokoklear)
- Koklear : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Rinne :-
• Weber :-
• Swabach :-
 Vestibular : Tidak dilakukan pemeriksaan
- CN IX dan X (Glosofaringeal dan vagus)
• Suara : afoni
• Menelan : dalam batas normal
• Palatum : simetris
• Uvula : posisi di tengah
• Refleks muntah : Tidak dilakukan pemeriksaan
- CN XI (Assesoris)
• Strenocleidomastoid : dalam batas normal
• Trapezius : dalam batas normal
- CN XII (Hipoglossus)
• Deviasi : (-)
• atropi : (-)
• fasikulasi : (-)

4. Pemeriksaan Motorik

Inspeksi :
- atrofi (-)
- fasikulasi (-)
- Gerakan involunter (-)
- Muscle twitching (-)
- Dekortikasi (-)
- Deserebrasi (-)

Palpasi :
- Tonus : Hipotonus (+)
Perkusi :
- fasikulasi (-)

Pemeriksaan Kekuatan

Kekuatan Otot Tonus Atrofi

Ekstremitas Atas 4/4 Hipotonus -/-

Ekstremitas Bawah 1/1 Hipotonus -/-


5. Sistem Sensoris
- Eksteroseptif (raba/ nyeri/ suhu)
• Wajah : dalam batas normal
• Ekstremitas atas : dalam batas normal
• Ekstremitas bawah : dalam batas normal
- Propioseptif
• Posisi : tidak dilakukakn pemeriksaan
• Vibrasi : tidak dilakukakn pemeriksaan
• Arah gerak : tidak dilakukakn pemeriksaan

6. Refleks
Fisiologis
Kanan Kiri
Biceps
Triceps
Radiobrachialis
Patella - -
Achiless - -
Patologis

Kanan Kiri
Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaefer - -
Mendel - -
Brechtrew
Rossolimo - -
Regresi

kanan kiri
Glabella - -
Graps - -
Palmomental - -

7. Koordinasi
Kanan kiri
• Tes telunjuk-hidung : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Tes Tumit-lutut : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Tes telunjuk-telunjuk : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Romberg : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Tandem : Tidak dilakukan pemeriksaan

8. Otonom
Dalam batas normal
9. Diagnosis Banding
1. Gullain Barre Syndrome
2. Periodik Paralisis Hipokalemia
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Tanggal 28-03-2019
Pemeriksaan Hasil Nilai
rujukan

Hematologi Rutin
Hemoglobin 15.8 g/dL 14-18
Hematokrit 46.5% 40-54
Leukosit 7.89 ribu/uL 4.000-10.000
Trombosit 261 ribu/uL 150-450 ribu
Eritrosit 5.47 juta/Ul 4.0-10.0
Indeks Eritrosit
MCV 85.0 fL 80-96
MCH 28.9 pg/mL 28-33
MCHC 34.0 g/dL 33-36

Kimia Klinik
Glukosa Darah Sewaktu 91 mg/dl 70-120
SGOT 19 U/L 5-40
SGPT 41 U/L <= 45
Ureum 28 mg/dL 10-50
Kreatinin 0.74 mg/dL 0.6-1.5

Pemeriksaan Elektrolit
Natrium 140 mmol/L 135-145
Kalium 3.8 mmol/L 3.5-5.1
Chlorida 108 mmol/L 95-110
2.5 Resume
Pasien laki-laki berusia 19 tahun dengan keluhan kedua tungkai terasa lemah
sejak tiga hari SMRS. Kelemahan dirasakan secara tiba-tiba dan terus menerus,
semakin hari semakin memburuk, berangsur-angsur mulai dari ujung jari-jari kaki
lalu menjalar ke tungkai, sehingga membuat pasien sulit berjalan. Lima hari SMRS
Keluhan kelemahan ini diawali dengan rasa kesemutan di ujung-ujung jari kaki
selama dua hari. Tiga hari SMRS pasien mulai mengeluhkan kelemahan di ujung-
ujung jari kaki namun pasien masih bisa berjalan dengan bantuan benda di
sekitarnya ataupun bantuan keluarga. Dua hari SMRS pasien tidak bisa
menggerakkan kedua tungkainya. Satu hari SMRS susah mengeluarkan suaranya.
Riwayat GEA 2 minggu SMRS (+). Riwayat ispa tiga minggu SMRS.
Pemeriksaan Fisik:
Tampak Sakit Sedang, CM, GCS : 15
TTV dan Status generalis dalam batas normal
Status neurologi :
cranial nerve : Parese nerve VII, IX, X
Motorik : kekuatan otot :
superior : 4/4
Inferior : 1/1
Tonus : Hipotonus
Refleks Fisiologis :
Biceps : Kanan ( ), Kiri ( )
Triceps : Kanan ( ), Kiri ( )
Brachioradialis : Kanan ( ), Kiri ( )
Patella : Kanan (-), Kiri (-)
Achilles : Kanan (-), Kiri (-)
Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan Laboratorium :
Darah rutin, Kimia rutin, Elektrolit : dalam batas normal

2.6 Diagnosis Kerja


Guallian Barre Syndrome

2.7 Usulan Pemeriksaan


- Lumbal Pungsi
- EMG

2.8 Penatalaksanaan
a. Non-Medikamentosa
- Monitoring tanda-tanda vital
- Konsul dr. Awaluddin SpS

b. Medikamentosa
 IVFD RL 500cc /8jam
 Metilprednisolon 2x125 mg iv
 Mecobalamin 1x1

2.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
3. Follow Up

Jumat, 29-03-2019
S Kelemahan kedua tungkai, tidak bisa mengeluarkan suara,
O CM
GCS : E :4 V: 5 M: 6
Td: 130/70
N: 73x/menit
R: 22 x menit
S: 36
Status neurologis :
cranial nerve : Parese nerve VII, IX, X
Motorik : kekuatan otot :
superior : 4/4
Inferior : 1/1
Tonus : Hipotonus
Refleks Fisiologis :
Biceps : Kanan ( ), Kiri ( )
Triceps : Kanan ( ), Kiri ( )
Brachioradialis : Kanan ( ), Kiri ( )
Patella : Kanan (-), Kiri (-)
Achilles : Kanan (-), Kiri (-)

A Guallian Barre Syndrome


P  IVFD RL 500cc /8jam
 Metilprednisolon 2x125 mg iv
 Mecobalamin 1x1
 Rujuk RS Hasan Sadikin
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Guillain–Barré syndrome (GBS) merupakan sekumpulan gejala yang
merupakan suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian
dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan karakterisasi berupa kelemahan dari
saraf motorik yang sifatnya ascending dan progresif. Kelainan ini juga dapat
menyerang saraf sensoris dan autonom.6

3.2 Anatomi Sistem Saraf 1

Bagian-bagian sistem saraf dapat dikelompokkan berdasarkan struktur atau


fungsinya. Pembagian sistem saraf secara anatomis atau secara strukturai adalah
sebagai berikut
1. Sistem saraf sentral /pusat (SSS), meliputi otak (encephalon) dan sumsum tulang
belakang (medulla spinalis).
2. Sistem saraf perifer / tepi (SSP) terdiri dari seluruh saraf di luar SSS, yang meliputi
saraf kranial (nervus cranialis) dan saraf spinal (nervus spinalis). Saraf kranial adalah
saraf yang membawa impuls dari dan ke otak; sedangkan saraf spinal adalah saraf
yang membawa pesan-pesan dari dan ke sumsum tulang belakang.
3.2.1 Sistem Saraf Perifer
Susunan saraf tepi (SST) yaitu saraf kranial dan saraf spinalis yang merupakan
garis komunikasi antara SSP dan tubuh . SST tersusun dari semua saraf yang
membawa pesan dari dan ke SSP.1
1. Saraf kranial
12 pasang saraf kranial muncul dari berbagai bagian batang otak. Beberapa
dari saraf tersebut hanya tersusun dari serabut sensorik, tetapi sebagian besar tersusun
dari serabut sensorik dan motorik. 1,
2. Saraf spinal
Ada 31 pasang saraf spinal berawal dari korda melalui radiks dorsal (posterior)
dan ventral (anterior). Saraf spinal adalah saraf gabungan motorik dan sensorik,
membawa informasi ke korda melalui neuron aferen dan meninggalkan melalui eferen.
Saraf spinal diberi nama dan angka sesuai dengan regia kolumna vertebra tempat
munculnya saraf tersebut.1, 5
3.3 Sel-sel pada Sistem Saraf
Sistem saraf pada manusia terdiri dari dua komponen yaitu sel saraf dan sel
glial. Sel saraf berfungsi sebagai alat untuk menghantarkan impuls dari panca indera
menuju otak yang selanjutnya oleh otak akan dikirim ke otot. Sedangkan sel glial
berfungsi sebagai pemberi nutrisi pada neuron. 4
1. Sel Saraf (Neuron)
Sel saraf (neuron) bertanggung jawab untuk proses transfer informasi pada
sistem saraf. Sel saraf berfungsi untuk menghantarkan impuls. Setiap satu neuron
terdiri dari tiga bagian utama yaitu badan sel (soma), dendrit dan akson.4
Badan sel (soma) memiliki satu atau beberapa tonjolan. Soma berfungsi untuk
mengendalikan metabolisme keseluruhan dari neuron. Badan sel (soma) mengandung
organel yang bertanggung jawab untuk memproduksi energi dan biosintesis molekul
organik, seperti enzim-enzim. Pada badan sel terdapat nukleus, daerah disekeliling
nukleus disebut perikarion. Badan sel biasanya memiliki beberapa cabang dendrit. 4
Dendrit adalah serabut sel saraf pendek dan bercabang-cabang serta merupakan
perluasan dari badan sel. Dendrit berfungsi untuk menerima dan menghantarkan
rangsangan ke badan sel. Khas dendrit adalah sangat bercabang dan masing-masing
cabang membawa proses yang disebut dendritic spines . 4
Akson adalah tonjolan tunggal dan panjang yang menghantarkan informasi
keluar dari badan sel. Di dalam akson terdapat benang-benang halus disebut
neurofibril dan dibungkus oleh beberpa lapis selaput mielin yang banyak mengandung
zat lemak dan berfungsi untuk mempercepat jalannya rangsangan. Selaput mielin
tersebut dibungkus oleh sel-sel Schwann yang akan membentuk suatu jaringan yang
dapat menyediakan makanan dan membantu pembentukan neurit. Bagian neurit ada
yang tidak dibungkus oleh lapisan mielin yang disebut nodus ranvier.4, 5
Pada SSP, neuron menerima informasi dari neuron dan primer di dendritic
spines, yang mana ditunjukkan dalam 80-90% dari total neuron area permukaan.
Badan sel dihubungkan dengan sel yang lain melalui akson yang ujung satu dengan
yang lain membentuk sinaps. Pada masing-masing sinap terjadi komunikasi neuron
dengan sel yang lain. 2
2. Sel penyokong atau Neuroglia (Sel Glial)
Sel glial adalah sel penunjang tambahan pada SSP yang berfungsi sebagai
jaringan ikat, selain itu juga berfungsi mengisolasi neuron, menyediakan kerangka
yang mendukung jaringan, membantu memelihara lingkungan interseluler, dan
bertindak sebagai fagosit. Jaringan pada tubuh mengandung kira-kira 1 milyar
neuroglia, atau sel glia, yang secara kasar dapat diperkirakan 5 kali dari jumlah
neuron4
Sel glia lebih kecil dari neuron dan keduanya mempertahankan kemapuan
untuk membelah, kemampuan tersebut hilang pada banyak neuron. Secara bersama-
sama, neuroglia bertanggung jawab secara kasar pada setengah dari volume sistem
saraf. Terdapat perbedaan organisasi yang penting antara jaringan sistem saraf pusat
dan sitem saraf tepi.4, 1
a. Neuroglia di Sistem Saraf Pusat
Ada empat macam sel glia yang memiliki fungsi berbeda yaitu :
 Astrosit/ Astroglia: berfungsi sebagai “sel pemberi makan” bagi sel saraf
 Oligodendrosit/ Oligodendrolia: sel glia yang bertanggung jawab
menghasilkan mielin dalam susunan saraf pusat. Sel ini mempunyai lapisan
dengan substansi lemak mengelilingi penonjolan atau sepanjang sel saraf
sehingga terbentuk selubung mielin.
 Mikroglia: sel glia yang mempunyai sifat fagosit dalam menghilangkan sel-sel
otak yang mati, bakteri dan lain-lain. Sel jenis ini ditemukan diseluruh SSP dan
dianggap penting dalam proses melawan infeksi.
 Sel ependimal: sel glia yang berperan dalam produksi cairan cerebrospinal.4,1
b. Neuroglia pada Sistem Saraf Tepi (SST)
Neuron pada sistem saraf tepi biasanya berkumpul jadi satu dan disebut
ganglia (tunggal: ganglion). Akson juga bergabung menjadi satu dan membentuk
sistem saraf tepi. Seluruh neuron dan akson disekat atau diselubungi oleh sel glia. Sel
glia yang berperan terdiri dari sel satelit dan sel Schwann1,4
 Sel Satelit
Badan neuron pada ganglia perifer diselubungi oleh sel satelit. Sel satelit
berfungsi untuk regulasi nutrisi dan produk buangan antara neuron body dan cairan
ektraseluler. Sel tersebut juga berfungsi untuk mengisolasi neuron dari rangsangan lain
yang tidak disajikan di sinap. 4,5
 Sel Schwann
Setiap akson pada saraf tepi, baik yang terbungkus dengan mielin maupun
tidak, diselubungi oleh sel Schwann atau neorolemmosit. Plasmalemma dari akson
disebut axolemma; pembungkus sitoplasma superfisial yang dihasilkan oleh sel
Schwann disebut neurilemma. Mielin pada susunan saraf tepi dibentuk oleh sel
4
Schwann. Sel ini membentuk mielin maupun neurolemma saraf tepi. Mielin
menghalangi ion natrium dan kalium melintasi membran neuronal dengan hampir
sempurna. Serabut saraf ada yang bermielin ada yang tidak. Transmisi impuls saraf
disepanjang serabut bermielin lebih cepat daripada serabut yang tak bermielin, karena
impuls berjalan dengan cara meloncat dari nodus ke nodus yang lain disepanjang
selubung mielin. Peran dari mielin ini sangatlah penting, oleh sebab itu pada beberapa
orang yang selubung mielinnya mengalami peradangan ataupun kerusakan seperti
pada pasien GBS maka akan kehilangan kemampuan untuk mengontrol otot-ototnya
sehingga terjadi kelumpuhan pada otot-otot tersebut5. Perbedaan struktur dari
selubung mielin normal dengan selubung mielin pada pasien GBS dapat dilihat pada
gambar berikut:
3.4 Anatomi Fisiologi
Sistem motorik berhubungan dengan sistem neuromuskular. sistem
neuromuskular terdiri atas Upper motor neurons (UMN) dan lower motor neuron
(LMN). Upper motor neurons (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang
menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik di
saraf kranial di batang otak atau kornu anterior medula spinalis. Berdasarkan
perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi dalam susunan piramidal
dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari traktus kortikospinal dan
traktus kortikobulbar. Traktus kortikobulbar fungsinya untuk geraakan-gerakan otot
kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinal fungsinya untuk gerakan-gerakan
otot tubuh dan anggota gerak 3.
Lower motorneuron adalah neuron-neuron yang menyalurkan impuls motorik
pada bagian perjalanan terakhir ke sel otot skeletal, hal ini, yang membedakan dengan
upper motorneuron. Lower motorneuron mempersarafi serabut otot dengan berjalan
melalui radix anterior, nervus spinalis dan saraf tepi. Lower motorneuron memiliki
dua jenis yaitu alfa-motorneuron memiliki akson yang besar, tebal dan menuju ke
serabut otot ekstrafusal (aliran impuls saraf yang berasal dari otak/medulla spinalis
menuju ke efektor), sedangkan gamma-motorneuron memiliki akson yang ukuran
kecil, halus dan menuju ke serabut otot intrafusal (aliran impuls saraf dari reseptor
menuju ke otak/medulla spinalis). Begitu halnya dengan nervi cranialis merupakan
dari LMN karena nervus-nervus cranialis ini sudah keluar sebelum medulla spinalis
yaitu di pons dan medulla oblongata2,3 .
UMN LMN
Spastic ( kaku ) Flaccid ( layu )
Hipertoni Hipotoni
Refleks fisiologis meningkat / Refleks fisiologis menurun /
hiperefleks hiporefleks
Refleks patologis meningkat Refleks patologis tidak ada
Atrofi otot (-) Atrofi otot (+)

3.5 EPIDEMIOLOGI
Gullain Barre Syndrome (GBS) menyerang 1-4/100.000 populasi di dunia per
tahun dan merupakan penyebab utama dari paralisis neuromuscular yang akut. GBS
dapat menyerang semua usia, ras dan perbandingan antara pria dan wanita 1.5 : 1.
Kisaran usia sindroma ini antara 5- 70 tahun.19 Peningkatan 20% terlihat dengan setiap
kenaikan usia 10 tahun setelah dekade pertama.9,10 Usia dewasa merupakan puncak
pertama serangan GBS. Dua pertiga dari kasus didahului oleh gejala infeksi saluran
pernapasan atas diare akut.11 Dalam meta-analisis, agen infeksi yang paling sering
diidentifikasi adalah Campylobacter jejuni sekitar30%, sedangkan cytomegalovirus
telah diidentifikasi dalam hingga 10%. Insiden SGB diperkirakan 0,25-0,65 per 1.000
kasus infeksi Campylobacter jejuni, dan 0,6-2,2 per 1000 kasus sitomegalovirus
primer infection.12 Agen lain yang dihubungan dengan SGB adalah Epstein-Barr,
virus Varicella-Zoster, dan Mycoplasma pneumoniae.9
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian
Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III
(dibawah usia 35 tahun). Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa
perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. 9
3.6 ETIOLOGI
GBS merupakan penyakit autoimun (system kekebalab tubuh menyerang
sendiri). Sampai saat ini beberapa hal yang menjadi faktor pencetus penyakit ini masih
belum jelas. Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena
rusaknya myelin, yang membungkus saraf, disebut demyelinisasi. Mekanisme GBS
diyakini merupakan suatu neuropati inflamasi yang disebabkan oleh reaktivitas silang
antara antigen dan antibodi saraf yang disebabkan oleh infeksi tertentu yaitu
organisme menular, seperti C. jejuni, yang memiliki struktur dinding bakteri yang
mirip dengan gangliosida. Molekular mimikri ini akan menciptakan antibodi anti-
gangliosida yang akan menyerang saraf. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran
impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali.9
GBS seringkali dikaitkan dengan riwayat infeksi saluran pencernaan atau
infeksi saluran pernafasan atas sebelumnya. Biasanya infeksi yang diduga sebagai
factor penctus telah sembuh pada saat timbulnya gejala awal GBS. Infeksi awal yang
mendahului GBS biasanya karena infeksi Campylobacter jejuni, tetapi 60% kasus
tidak diketahui penyebabnya.6 Selain itu GBS dapat didahului oleh infeksi yang
disebabkan oleh virus, yaitu Cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, Hepatitis A virus,
8,12
HIV, Varicella-zoster, Influenza, Campak, Mump, Rubella, Coxsackievirus. Selain
virus, penyakit ini juga didahului oleh infeksi bakteri seperti Campylobacter jejuni
pada enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Salmonella thypoid, Parathypoid,
Brucellosis, Clamydia, Borrelia, Spirochaeta, Legionella, dan Mycobacterium
tuberculosa.1,5 Infeksi Parasit seperti Malaria, Toksoplasmosis6. Vaksinasi seperti
Infuenza, BCG, tetanus, varicella, dan hepatitis B. Penyakit sistemik seperti Leukimia,
Lymphoma Hodgkins, Hipertiroidisme, penyakit kolagen dan sarcoidos. Keadaaan
lain seperti kehamila, operasi, dan transplantasi organ.14,16 Infeksi virus ini biasanya
terjadi 2 - 4 minggu sebelum timbul GBS.7
3.7 KLASIFIKASI
GBS diklasifikasikan berdasarkan kerusakan saraf yang terjadi pada saraf
perifer, yaitu demielinasi dan degenerasi aksonal dimana serabut saraf motorik lebih
rentan terhadap penyakit daripada saraf sensorik7. Klasifikasi pada GBS dilihat
berdasarkan segi klinis; rangkaian waktu, dominasi keterlibatan saraf sensorik atau
motorik ataupun keduanya dan keterlibatan saraf kranial serta keterlibatan antibodi
yang beperan pada masing-masing varian17. Konduksi saraf biasanya membedakan
antara demielinasi dan degenerasi aksonal primer. GBS dapat diklasifikasikan menurut
selubung mielin atau akson yang dipengaruhi; apakah motor, sistem sensorik atau
otonom yang terlibat18.

1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)


Infalamasi akut demielinasi polineuropati merupakan subtipe GBS yang sering
terjadi, hampir 85-90% kasus dan ditandai dengan patologis terjadinya demielinasi,
infiltrasi limfositik, dan mediasi makrofag oleh mielin18. Demielinasi merupakan ciri
patologis yang biasa terjadi pada AIDP dan mielin menjadi target imun yang paling
utama. Gambaran klinis ditunjukkan dengan adanya kelemahan motor asenden secara
simetris dengan hipo atau arefleksia. Yang perlu digaris bawahi pada proses patologi
menyebabkan inflamasi dan dekstruksi selubung mielin sekeliling saraf perifer akson
yang diaktifkan oleh makrofag. Hal ini menyebabkan perlambatan dan blokade
konduksi pada saraf perifer sehingga terjadi kelemahan otot. Pada kasus berat dapat
terjadi kerusakan aksonal sekunder. Sambungan saraf akson yang mengalami
kerusakan pada AIDP akan diikuti oleh ikatan antibodi (antibody binding) dan fiksasi
komplemen. Jalur aktivasi komplemen sebagian besar mengarah pada pembentukan
membran serangan kompleks atau yang disebut membrane attack complex (MAC)
dengan mengdegradasi sambungan sitoskeleton aksonal dan merusak mitokondria17,18.
2. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN).
Pada varian/ subtipe ini ditemukan gangguan motorik murni dan secara klinis
menyerupai demielinisasi pada GBS dengan paralisis asenden simetris (AIDP), terjadi
degenerasi aksonal yang selektif pada radiks motorik dan saraf perifer tanpa terjadinya
demielinasi dengan akson sebagai target utama dalam serangan imun19. Gambaran
klinis pada AMAN mirip dengan AIDP tapi refleks tendon dapat dipertahankan.
Varian ini dibedakan berdasarkan gambaran elektrofisiologi yang berupa
aksonopatimotorik murni yang konsisten, berupa selektif saraf motorik dan
keterlibatan aksonal yang ditunjukkan18. Pada AMAN terdapat hubungan dengan
terjadinya GBS yang diakibatkan karena infeksi sebagai contoh infeksi yang
diakibatkan oleh C.jejuni. Pada AMAN, proses patologis yang terjadi meliputi
pengikatan antibodi terhadap antigen ganglioside pada membran sel akson, invasi
makrofag, peradangan dan kerusakan aksonal18.
3. Acute Motor and Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN).
Pada varian ini diperkirakan terjadi demielinisasi radikular yang diperantarai
makrofag dan diikuti degenerasi Wallerian. Pada pemeriksaan elektrofisiologis
ditemukan ganguan aksonal motorik dan sensorik dan sedikit demielinisasi. Proses
patologis yang mendasari terjadinya AMSAN serupa dengan AMAN yaitu antibodi
dimediasi kerusakan akson. Secara umum gambaran klinis yang terjadi mirip dengan
AMAN, namun pada AMSAN terdapat keterlibatan saraf sensorik sehingga akan
timbul gejala sensorik17 18.
4. Miller Fisher Syndrome (MFS)
Merupakan varian GBS yang jarang ditemukan, sekitar 5% dari kasus GBS.
Adanya keterlibatan saraf kranial yang sangat jelas, yaitu pada saraf motorik okular
(oculomotor, trochlear, dan abdusens). Manifestasinya berupa ataksia, oftalmoplegia,
dan arefleksia12. Sekitar 25% pasien dapat mengalami kelemahan ekstremitas tubuh.
Studi elektrofisiologi menunjukkan penyebab utama terjadinya kerusakan konduksi
saraf. Antibodi antigangliosida GQ1b sering ditemukan (pada 90%) pasien dan
berkaitan dengan ophthalmoplegia. Studi patologik pada MFS cukup terbatas namun
demielinasi pada akar saraf sudah banyak dipublikasikan. Secara kritis, perbedaan
antara MFS dan AIDP atau AMAN terletak pada aktivasi dari antibodi antigangliosida
yaitu GQ1b dan GT1a pada MFS sasarannya saraf okulomotor dan saraf bulbar,
dimana kedua saraf tersebut diduga memiliki densitas gangliosida GQIb dan GT1a
yang relatif tinggi 17 18.

3.8 PATOGENESIS
Mekanisme terjadinya Guillain Barré Syndrome (GBS) sebenarnya masih
belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan
saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi12. Bukti-
bukti bahwa imunopatogenesis merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf
tepi pada sindroma ini adalah didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan
seluler (cell mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi18. adanya
autoantibodi terhadap sistem saraf tepi, dan didapatkannya penimbunan kompleks
antigen antibodi dari peredaran pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses
demielinisasi saraf tepi 9 12.
Perjalanan penyakit ini umumnya diawali oleh kejadian atau faktor pemicu lain
seperti infeksi, vaksinasi dan pembedahan, yang paling sering adalah infeksi. Infeksi,
baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain memasuki sel
Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut mengaktivasi sel
limfosit T. Sel limfosit T ini selanjutnya mengaktivasi proses pematangan limfosit B
dan memproduksi autoantibodi spesifik yang dapat merusak atau mendestruksi mielin
maupun akson dari saraf tepi. Selain itu, pada saraf penderita GBS ditemukan sel
inflamasi dan makrofag, yang selanjutnya akan diikuti dengan dekstruksi mielin akibat
aktivitas sitokin. Inflamasi dan degenerasi mielin menyebabkan kebocoran protein dari
darah ke cairan serebrospinalis, sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi
protein cairan cerebrospinalis. Tanda ini merupakan ciri khas pada GBS. Destruksi
tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan sinyal secara efisien,
sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak
menerima lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh8 17.
Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi, yang pertama adalah
virus dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh
mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi
tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri
berkurang. Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang mielin
disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan mielin8.
Teori - teori tersebut diperjelas dengan adanya empat faktor utama yang diketahui
berperan dalam perjalanan penyakit GBS, antara lain antibodi antigangliosida, mimikri
molekular dan reaktivitas silang, aktivasi komplemen, dan faktor penjamu (host)18.
1. Antibodi antigangliosida
Gangliosida adalah asam N-acetylneuraminic (asam sialat) yang berhubungan
dengan glikospingolipid dan berada di luar membran sel saraf dan berkaitan
dengan oligosakarida pada permukaan sel. Gangliosida ini terdiri dari ceremide
yang melekat satu atau lebih gula (heksosa) dan mengandung asam N-
acetilneuraminic (asam sialat) yang berikatan pada inti oligosakarida dan
merupakan komponen penting dari sistem saraf perifer12.
Pada lebih dari separuh pasien GBS, ditemukan antibodi serum terhadap
berbagai gangliosida di saraf tepi, meliputi LM1, GM1, GM1b, GM2, GD1a,
Ga1Nac-GD1a, GD1b, GD2, GD3, GT1a, dan GQ1b. Sebagian besar antibodi
spesifik terhadap subtipe dari GBS itu sendiri. Antibodi GM1, GM1b, GD1a dan
Ga1Nac-GD1a berhubungan dengan GBS motorik murni atau varian aksonal.
Sedangkan antibodi GD3, GT1a, GQ1b berhubungan dengan oftalmoplegi pada
Miller Fisher Syndrome (MFS)8 12.
2. Mimikri molekuler dan reaksi silang
Mekanisme imunitas humoral dan seluler berperan dalam manifestasi GBS.
Onset GBS umumnya muncul 1-4 minggu setelah penyakit infeksius muncul.
Banyak organisme infeksius dianggap menginduksi produksi antibodi yang
bereaksi silang dengan gangliosid dan gikolipid, seperti GM1 dan GD1b, yang
tersebar luas disepanjang mielin pada saraf perifer. Reaksi silang ini disebut
molecular mimicry. C. jejuni yang diisolasi dari pasien GBS dapat
mengekspresikan lipo-oligosakarida (LOS) pada dinding bakteri, menyerupai
karbohidrat dari gangliosida. Mimikri molekuler ini membentuk antibodi
antigangliosida yang menyerang saraf perifer. Tipe mimikri gangliosida C.jejuni
berbeda – beda, tergantung spesifisitas antibodi antigangliosida dan berhubungan
dengan subtipe GBS. C.jejuni yang diisolasi dari pasien GBS motorik atau aksonal
umumnya mengekspresikan GM-1like dan GD1a-like LOS. Di sisi lain, C.jejuni
yang diisolasi dari pasien dengan optalmoplegi atau MFS biasanya
mengekspresikan GD3-like, GT1a-like atau GD1c-like LOS. Berbagai antibodi
pada pasien-pasien tersebut umumnya memiliki reaksi silang dan mengenali LOS
seperti gangliosida atau kompleks gangliosida9.
3. Aktivasi Komplemen
Studi post mortem menunjukkan bahwa aktivasi komplemen lokal terjadi pada
lokasi kerusakan saraf, seperti pada axolemma pada pasien AMAN dan membran
sel Schwann pada pasien AIDP. Beberapa antibodi antigangliosida sangat toksik
terhadap saraf perifer. Dalam studi percobaan, efek menyerupai α- latrotoxin dapat
diinduksi pada tikus percobaan, dikarakteristikan dengan pelepasan secara
dramatis, menyebabkan deplesi neurotransmiter tersebut pada ujung saraf, blokade
transmisi saraf, dan paralisis saraf-otot. Ujung saraf dan sel Schwann perisinaptik
juga akan dihancurkan. Antibodi terhadap GM-1 mempengaruhi kanal natrium
pada nodus Ranvier pada saraf perifer kelinci. Hal - hal tersebut nampaknya
bergantung pada aktivasi komplemen dan pembentukan membran attack complex
(MAC) efek neurotoksisk akibat antibodi tersebut dapat dihambat oleh
imunoglobulin dan inhibitor komplemen eculizumab8.
4. Faktor Penjamu (Host Factor)
Kurang dari 1 per 1000 pasien dengan infeksi C jejuni akan menderita GBS.
Meskipun beberapa waktu terjadi peningkatan insiden, namun tidak pernah
dilaporkan adanya epidemik atau wabah GBS. Faktor penjamu mungkin
mempengaruhi suseptibilitas (kerentanan) terhadap GBS, atau perluasan kerusakan
saraf dan keluaran yang dihasilkan. Single-nucleotide polymorphisms (SNPs) tidak
memiliki hubungan yang konsisten dengan suseptibilitas terhadap GBS. Namun,
SNP tersebut nampaknya memiliki peranan sebagai faktor yang memodifikasi
penyakit. Terdapat hubungan antara keparahan penyakit atau keluaran dan SNP
pada gen yang mengkode mannose-binding lectin, Fc gamma receptor III, matrix
metalloproteinasi 9, dan TNF-α8 16.
Gambar Patogenesis dan fase klinikal dari GBS
3.9 MANIFESTASI KLINIS
GBS umumnya dimulai dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan
diikuti secara cepat oleh paralisa keempat ekstremitas yang bersifat ascendens.
Parestesia ini biasanya bersifat bilateral7 17
. Refleks fisiologis akan menurun dan
kemudian menghilang sama sekali.8,16 Secara klinis SGB biasanya digambarkan dalam
3 fase, yaitu fase progresif, fase plateau dan fase pemulihan. Pada fase progresif
kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar
secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke ekstremitas atas, tubuh
dan saraf pusat.13,14 Kerusakan saraf motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan
sampai pada yang menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf kranial,
muncul pada 50% kasus, biasanya berupa facial diplegia.14 Kelemahan otot
pernapasan dapat timbul secara signifikandan bahkan 20% pasien memerlukan
bantuan ventilator dalam bernafas.8,14

Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan


kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar.14
Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia pada
extremitas distal.17 Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang
terjadi,terutama pada anak anak.11 Nyeri yang dideskripsikan berupa nyeri berat,
dalam, seperti aching atau crampin/kaku pada otot yang terserang, sering memburuk
pada malam hari. Nyeri bersifat nosiseptif dan/atau neuropatik Rasa sakit ini biasanya
merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak dan dapat menyebabkan
kesalahan dalam mendiagnosis.13 14 15

Kelainan saraf otonom sering dijumpai dan dapat berakibat fatal. Kelainan ini
dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest,
facial flushing, sfingter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat.17
Hipertensi terjadi pada 10-30 % pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari
pasien.16 Gejala-gejala tambahan adalah kesulitan untuk mulai buang air kecil,
inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan bernapas, perasaan tidak
dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur.9

Abnormalitas Motorik 6 % Pasien


Kelumpuhan anggota gerak 98
 Proksimal 15
 Distal 35
 Proksimal dan Distal 50
Insufisiensi respirasi (kelumpuhan otot pernafasan)
 Penurunan kapasitas vital 8
 Ventilasi terganggu 23

Abnormalitas Sensorik 6 % Pasien


Gejala Sensoris
 Rasa baal atau gejala parestesi 72
 Nyeri 37

Pemeriksaaan fisik terdapat gangguan sensibilitas 62

Abnormalitas Saraf Kranial 6 % Pasien


KeterlibataN Saraf Kranial 45-75
III, IV, VI 8
V 10
VII 49
IX, X 16
XI 8
XII 5
3.10 Diagnosis
GBS pada umumnya merupakan kelainan pasca-infeksi yang terjadi pada
orang yang sehat. Pada kasus tertentu, gejala pertama yang menyertai adalah nyeri,
mati rasa, kelumpuhan, kelemahan pada anggota gerak atau beberapa kombinasi dari
gejala-gejala tersebut. Ciri utama GBS adalah progresif kelemahan otot berlangsung
secara cepat, bilateral dan relatif simetris pada anggota badan, dengan atau tanpa
keterlibatan dari otot-otot pernafasan atau otot kranial yang terinervasi saraf, dan
kelemahan yang berlangsung selama 12 jam sampai 28 hari sebelum mencapai fase
plateau. Pasien biasanya secara umum menderita hyporeflexia atau areflexia. Riwayat
penyakitnya meliputi infeksi saluran pernapasan atas atau diare 3 hari sampai 6
minggu sebelum timbul gejala GBS12.
Beberapa tanda dan gejala yang membantu menegakkan diagnosis GBS di antaranya:
17

 Gangguan muncul pada kedua sisi tubuh (gejala relatif simetris)


 Kelemahan otot terjadi dalam beberapa hari atau minggu, bahkan berbulan-
bulan.
 Kelemahan pada awalnya muncul di tungkai yang kemudian menjalar ke atas
hingga dapat mengenai otot pernafasan dan otot-otot lengan.
 Ditemukan riwayat infeksi saluran nafas atau pencernaan sebelum awitan.
 Adanya faktor pencetus seperti riwayat infeksius, vaksinasi, kehamilan,
operasi sebelumnya, dan lain-lain.
 Refleks tendon menghilang akibat terlambatnya penyampaian impuls saraf
karena kerusakan mielin.
 Keterlibatan saraf kranial, terutama kelemahan bilateral dari otot-otot wajah
 Disfungsi autonom
 Nyeri
3.10.1 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan LCS
Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan
kadar protein (1- 1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini
oleh Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi sitoalbumin.7 9 Pemeriksaan
LCS pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga.
Kekeliruan yang sering terjadi bahwa CSS protein harus selalu meningkat
dalam GBS, konsentrasi protein CSS pada pasien GBS seringkali normal
di minggu pertama, tetapi meningkat lebih dari 90 % pada akhir minggu
kedua.. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan
jumlah sel yang kurang dari 10/mm.9,10,13,15 Pada kultur LCS tidak
ditemukan adanya virus ataupun bakteri.7,9 Peningkatan jumlah protein
dalam cairan serebrospinal bisa melebihi 45 mg/dl (normal < 40 mg/dl)
yang puncaknya terjadi pada 4 sampai 5 minggu dan setelah itu berangsur-
angsur kembali normal.19,20

b. Pemeriksaan EMG
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas
normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada
akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ketiga mulai menunjukkan
adanya perbaikan.16 Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat
adanya keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran impuls,
gelombang F yang memanjang dan latensi distal yang memanjang.6,13 Bila
pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan
potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan menurunnya kecepatan
konduksi saraf motorik.13
Kriteria Diagnosis
Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan
timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks
tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam
disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik
perifer.

Kriteria diagnostik SGB menurut National Institute of Neurological and


Communicative Disorders and Stroke (NINCDS)11

Gejala utama

1. Kelemahan progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa
disertai ataxia
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
Gejala tambahan

1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu


2. Biasanya simetris
3. Adanya gejala sensoris yang ringan
4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
5. Disfungsi saraf otonom
6. Tidak disertai demam
7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4
Pemeriksaan LCS

1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan elektrodiagnostik

1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf


Gejala yang menyingkirkan diagnosis

1. Kelemahan yang sifatnya asimetri


2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
4. Gejala sensoris yang nyata

3.11 DIAGNOSIS BANDING 17


Diagnosis banding yang sering mirip GBS, dapat dibedakan dengan:
1. Miastenia gravis akut:
Tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun terdapat ptosis dan
kelemahan okulomotor. Otot mandibula penderita GBS tetap kuat,
sedangkan pada miastenia, otot mandibula akan melemah setelah
beraktivitas serta tidak didapati defisit sensorik ataupun arefleksia.
2. Thrombosis arteri basilaris:
Dapat dibedakan dari GBS dimana pada GBS, pupil masih reaktif, adanya
arefleksia dan abnormalitas gelombang F; sedangkan pada infark batang
otak terdapat hiperefleks serta refleks patologis Babinski.
3. Paralisis periodik:
Ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa keterlibatan otot
pernafasan dan hipo atau hiperkalemia. Pada GBS, terdapat paralisis
umum yang mendadak dan boleh menyebabkan paralisis otot respirasi.
4. Botulisme:
Didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan kaleng yang
terinfeksi, dimana gejala dimulai dengan diplopia, disertai dengan pupil
yang non-reaktif pada fase awal, serta adanya bradikardia; yang jarang
terjadi pada pasien GBS.
5. Tick paralysis:
Terjadi paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan; umumnya
terjadi pada anak-anak dengan didapatinya kutu yang menempel pada
kulit.
6. Porfiria intermiten akut:
Terdapat paralisis respiratorik akut dan mendadak, namun pada
pemeriksaan urin didapati porfobilinogen dan peningkatan serum asam
aminolevulinik delta. Pada GBS, terdapat keterlibatan paralisis otot
respirasi, namun hasil pemeriksaan urin dalam batas normal
7. Neuropati akibat logam berat:
Umumnya terjadi pada pekerja industri dengan riwayat kontak dengan
logam berat. Onset gejala lebih lambat daripada GBS.
8. Cedera medula spinalis:
Ditandai oleh paralisis sensorimotor di bawah tingkat lesi dan paralisis
sfingter. Gejala hampir sama yakni pada fase syok spinal, dimana refleks
tendon akan menghilang.
9. Poliomielitis:
Didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala meningeal, yang
diikuti oleh paralisis flasid asimetrik.
10. Mielopati servikalis:
Pada GBS, terdapat keterlibatan otot wajah dan pernafasan jika muncul
paralisis, defisit sensorik pada tangan atau kaki jarang muncul pada awal
penyakit, serta refleks tendon akan hilang dalam 24 jam pada anggota
gerak yang sangat lemah dalam melawan gaya gravitasi.
3.12 PENATALAKSANAAN
Saat ini, diketahui tidak ada terapi khusus yang dapat menyembuhkan penyakit
GBS. Tujuan dari terapi adalah untuk mengurangi tingkat keparahan penyakit dan
untuk mempercepat proses penyembuhan penderita. Meskipun dikatakan sebagian
besar dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan mengenai waktu perawatan yang lama
dan juga masih tingginya angka kecacatan atau gejala sisa pada penderita, sehingga
terapi tetap harus dilakukan 14.
3.12.1 Plasmaparesis
Plasmaparesis secara langsung mengeluarkan faktor-faktor humoral, seperti
autoantibody, kompleks imum, complement, sitokin, dan mediator inflamasi
nonspesifik lainnya. Plasmaparesis merupakan terapi pertama pada GBS yang
menunjukkan efektivitasnya, berupa adanya perbaikan klinis yang lebih cepat,
minimal penggunaan alat bantu napas, dan lama perawatan yang lebih singkat.
Dalam studi tersebut, plasmaparesis yang diberikan dalam dua minggu pada pasien
GBS menunjukkan penurunan waktu penggunaan ventilator (alat bantu napas).
Terapi ini melibatkan penghilangan plasma dari darah dan menggunakan
centrifugal blood separators untuk menghilangkan kompleks imun dan
autoantibody yang mungkin ada. Plasma kemudian dimasukan kembali ke tubuh
pasien dengan larutan yang berisis 5% albumin untuk mengkompensasi
konsentrasi protein yang hilang. Terapi ini dilakukan dengan menghilangkan 200-
250 ml plasma/kgBB dalam 7-14 hari. Dikatakan terapi plasmaparesis ini lebih
memberikan manfaat bila dilakukan pada awal onset gejala (minggu pertama
GBS). Keterbatasan plasmaparesis yaitu akses intravena memerlukan kateter
double-lumen besar melalui vena femoral atau vena subklavia internal. Komplikasi
yang mungkin terjadi antara lain: pneumothoraks, hipotensi, sepsis ,
trombositopenia, hipokalsemia, dan anemia. Selama plasmaparesis penting untuk
memonitoring tekanan darah, nadi, dan jumlah cairan masuk dan keluar. Selain itu,
perlu juga dilakukan monitoring CBC, elektrolit, PT, APTT, dan INR satu atau
dua hari bila ditemukan parameter koagulasi abnormal 7,17.
3.12.2 Imunoglobulin Intravena
Pengobatan dengn immunoglobulin intravena (IVIg) lebih
menguntungkan dibandingkan dengan terapi plasmaparesis karena efek samping
dan komplikasi yang sifatnya lebih ringan. Penggunaan IVIg dapat memodulasi
respon humoral dalam menghambat autoantibody dan menekan produksi
autoantibody dalam tubuh, sehingga kerusakan yang dimediasi oleh komplemen
dalam diredam. IVIg juga memblok ikatan reseptor Fc dan mencegah kerusakan
fagositik oleh makrofag. Studi awal untuk menunjukkan respon IVIg pada GBS
pertama kali dilakukan oleh Dutch Guillai-Barre Syndrome Group dua decade
silam. Dalam studi ini, mereka membandingkan efikasi IVIg dan plasmaparesis
dalam 147 pasien dan tidak ada kelompok kontrol. Hasil studi ini menunjukkan
bahwa IVIg tidak hanya efektif dalam GBS tetapi juga jauh lebih efektif
dibandingkan plasmaparesis. Pada penelitian tentang terapi IVIg pada kasus GBS
pada anak yang dilakukan oleh Korinthenberg et al ditemukan bahwa pengobatan
dengan IVIg pada kasus GBS ringan tidak mengubah tingkat keparahan penyakit
tetapi dapat mempercepat perbaikan klinis penderita. Dosis optimal yang dapat
diberikan pada penderita GBS adalah 400 mg/kg yang diberikan selama 5 hari.
Efek samping yang muncul dalam penggunaan IVIg dikatakan ringan dan jarang
terjadi. Meskipun efek samping dikatakan ringan dan jarang terjadi, pemberian
pertama biasanya dimulai dengan kecepatan rencah yaitu 25-50 cc/jam selama 30
menit dan ditingkatkan secara progresif 50cc/jam setiap 15-20 menit hingga
150200 cc/jam. Efek samping ringan berupa nyeri kepala, mual, menggigil, rasa
tidak nyaman pada dada, dan nyeri punggung muncul pada 10% kasus dan
mengalami perbaikan dengan penurunan kecepatan infuse serta dapat dicegah
dengan premedikasi berupa acetaminophen, benadryl dan bila perlu
methylprednisone intravena. Reaksi moderate yang jarang terjadi meliputi
meningitis neutropenia, macular hiperemis pada telapak tangan, telapak kaki, dan
badan dengan adanya 12 deskuaminasi. Sementara itu, reaksi berat dan jarang
sekali muncul berupa anafilaksis, stroke, infark miokardial akibat sindrom
hiperviskositas7 17.

3.12.3 Terapi Suportif


Sebanyak 25% kasus GBS dapat mengalami gagal pernapasan, sehingga
terapi suportif yang baik menjadi elemen penting dalam terapi GBS. Umumnya
pasien GBS dimasukkan ke ruang intensif ataupun ruang pelayanan intermediet
untuk memungkinkan monitoring pernapasan dan fungsi otonom yang lebih
intensif. Penurunan expiratory forced vital capacities < 15 cc/kgBB ideal atau
tekanan inspirasi negative dibawah 60 cmHO mengindikasikan bahwa pasien
memerlukan intubasi dan ventilator mekanik sebelum terjadi hipoksemia. Setelah
duaminggu penggunaan intubasi, perlu dipertimbangan dilakukannya
trakeostomi. Pasien dengan bed-ridden perlu diberikan profilaksis DVT berupa
kaos kaki kompres atau antikoagulan berupa heparin atau enoxaprin subkutan.
Apabila terjadi kelompuhan otot wajah dan otot menelan, maka perlu dipasang
selang NGT untuk dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan penderita.
Fisioterapi aktif juga diperlukan menjelang masa penyembuhan untuk
mengembalikan lagi fungsi alat gerak penderita, menjaga fleksibilitas otot,
berjalan dan melatih keseimbangan penderita. Fisioterapi pasif dilakukan setelah
terjadi masa penyembuhan untuk memulihkan kekuatan otot penderita17.

3.13 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau
cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis
vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi.9
Pada negara-negara maju, 5% dari pasien dengan sindrom Guillain-Barre meninggal
akibat komplikasi medis seperti sepsis, emboli paru, atau henti jantung yang tidak
dapat dijelaskan, mungkin terkait dengan dysautonomia/ disfungsi otonom. Disfungsi
otonom adalah komplikasi umum pada dua pertiga pasien SGB. Distribusi saraf
otonom yang luas mungkin menyebabkan berbagai tanda dan gejala akibat kegagalan
atau overaktivitas simpatis dan parasimpatis. Gejalanya termasuk aritmia jantung,
fluktuasi tekanan darah, respon tidak normal hemodinamik terhadap obat, kelainan
keringat, kelainan pupil, dan disfungsi kandung kemih dan defekasi. Meskipun
disfungsi otonom biasanya tidak membahayakan, namun, komplikasi kardiovaskuler
dapat terjadi mengancam jiwa. 3-10% dari pasien SGB dapat meninggal, dan beberapa
pasien ini penyebabnya kemungkinan mati mendadak. Oleh karena itu, pengenalan
disfungsi otonom penting untuk memprediksi pasien akan mengalami gagal otonom
yang serius, oleh karena itu perlu pemantauan terus menerus. Bradiaritmia berpotensi
serius, mulai dari bradikardia menyebabkan kecacatan. Seringnya disfungsi otonom
terjadi dengan SGB. Pada beberapa kasus, penerapan alat pacu jantung transkutan atau
atropin harus diberikan. Secara umum, terapi vasoaktif dan morfin sebaiknya
digunakan dengan hati-hati. Saraf otonom dapat dipelajari dari biopsi kulit, dan kurang
berkorelasi pada saraf intraepidermal dengan menilai densitas saraf pada biopsi kulit
pasien dengan SGB.21, 27
Kelelahan setelah SGB merupakan problem penting yang dilaporkan pada 60%
dan 80% pasien. Dalam sebuah studi pasien dengan polineuropati, termasuk SGB,
80% dari pasien mengeluh kelelahan. Gejala kelelahan ini independen dari keparahan
kelemahan selama fase awal SGB dan mungkin menetap bertahun-tahun. Amantadine
tidak efektif untuk menghilangkan kepenatan setelah SGB.Program pelatihan intensif,
tiga kali seminggu dilaporkan dapat ditoleransi dengan baik, dan menurunkan skor
kelelahan secara signifikan. Program fisioterapi juga dinilai baik dalam meningkatkan
keluaran fungsional, dan kualitas hidup. Dari sudut pandang yang lebih holistik,
perubahan kelelahan, mobilitas dan fungsi dirasakan tampaknya tidak dipengaruhi
oleh perubahan fisik. Kombinasi faktor fisik dan psikologis tampaknya untuk
menentukan terjadinya kelelahan setelah SGB.20, 24

3.14 PROGNOSIS 6
Sebagian besar GBS secara klinis akan mengalami perbaikan pada minggu ke
empat dari onset penyakit. Sekitar 80% pasien mengalami perbaikan klinis yang
komplit atau sembuh meskipun kadang-kdang ditemukan gejala minor yang menetap
seperti arefleksia. Perbaikan ini dapat terjadi dalam beberapa bulan hingga tahun. 5-
10% terjadi perbaikan dengan gejala sisa kecacatan yang berat pada akson motorik
dan sensorik sampai proksimal tanpa adanya regenerasi akson. Kematian akibat
penyakit ini tetapi tergantung dari terapi dan suportif yang diberikan. Kondisi GBS
yang dirawat di unit intensif/ICU, angka kematian masih sekitar 2-3%. Menurut WHO
angka kematian ini lebih tinggi yaitu 4%, sebagian besar memerlukan perawatan
selama 4-6 minggu hingga satu tahun di ruang ICU dan ventilator di pasang bila
kondisi mengalami perburukan. Sekitar 5-10% pasien akan relaps, dan beberapa kasus
menjadi chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP).
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki berusia 19 tahun dengan keluhan kedua tungkai terasa lemah
sejak tiga hari SMRS. Kelemahan dirasakan secara tiba-tiba dan terus menerus,
semakin hari semakin memburuk, berangsur-angsur mulai dari ujung jari-jari kaki lalu
menjalar ke tungkai, sehingga membuat pasien sulit berjalan. Lima hari SMRS
Keluhan kelemahan ini diawali dengan rasa kesemutan di ujung-ujung jari kaki selama
dua hari. Tiga hari SMRS pasien mulai mengeluhkan kelemahan di ujung-ujung jari
kaki namun pasien masih bisa berjalan dengan bantuan benda di sekitarnya ataupun
bantuan keluarga. Dua hari SMRS pasien tidak bisa menggerakkan kedua tungkainya.
Satu hari SMRS susah mengeluarkan suaranya. Riwayat GEA 2 minggu SMRS (+).
Riwayat ispa tiga minggu SMRS.
Pada pemeriksaan fisik status interna dalam batas normal. Pada pemeriksaan
saraf cranial ditemukan parese nerve VII, IX,X. Kekuatan motorik atas 4/4 bawah 1/1.
Tonus otot menurun. Pada pemeriksaan reflex fisiologis menghilang dan menurun
reflex patologis dalam batas normal.
Pada data diatas, dapat disimpulkan bahwa diagnosis pasien ini mengarah pada
pada Gullain Barre Syndrome. Pasien laki-laki, 19 tahun, hal ini sesuia dengan data
epidemiologi kasus GBS dengan Kisaran usia sindroma ini antara 5- 70 tahun.19
Peningkatan 20% terlihat dengan setiap kenaikan usia 10 tahun setelah dekade
pertama.9,10 Usia dewasa merupakan puncak pertama serangan GBS. Perbandingan
antara pria dan wanita 1.5 : 1. 6
Ditemukannya pada pasien kelemahan otot , yang ditandai dengan kelemahan
secara tiba-tiba bersifat akut yang disertai kesulitan mengeluarkan suara. Yang
diawali dengan parastesia pada bagial distal yang diikuti secara cepat ke bagian
proksimal bersifat progresif atau yang disebut dengan paralisys ascending. Pada
sindrom guillain barre terjadi kerusakan saraf motoric maupun sensoric biasanya
dimulai dari ekstremitas bawah menyebar secara progresif , dalam hitungan jam , hari,
maupun minggu , pada pasien ini terjadi hanya dalam waktu beberapa hari. Dan
kerusakan saraf motoric nya bisa bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang
menimbulkan quadriplegia flaccid. Tetapi pada pasien ini belum sampai terjadi
quadriplegia flaccid. 19, 20. Pada pasien didapatkan parese saraf cranial VII, IX,X. Hal
ini sesuai dengan Keterlibatan saraf kranial, muncul pada 50% kasus, biasanya
14
berupa facial diplegia , parese nerve VII 49% , nerve IX, X 16%.
Ditemukannya tanda-tanda LMN mendukung untuk terjadinya sindrom
guillain barre sindrom, pada pasien ini ditemukan adanya tanda LMN yang
didapatkan adanya hipotoni , reflek fisiologis yang menghilang , dan tidak adanya
reflek patologis mendukung untuk terjadi sindrom guillain barre sindrom 4.
Penyebab infeksi pasein Riwayat GEA 2 minggu SMRS (+). Riwayat ispa tiga
minggu SMRS. GBS biasanya didahului infeksi saluran pencernaan atau saluran
pernafasan yang dapat diakibatkan oleh infeksi campylobacter jejuni , haemophilus
influenza, cytomegalovirus, Epstein barr virus, mycoplasma pneumonia , dsb . Dalam
meta-analisis, agen infeksi yang paling sering diidentifikasi adalah Campylobacter
jejuni sekitar 30%, sedangkan cytomegalovirus telah diidentifikasi dalam hingga
10%. Pada pasien ini terjadi antibody yang melawan agen infeksi mengdakan reaksi
silang ( cross – react ) dengan antigen spesifik pada sel schwan atau aksolemma.
Biasanya infeksi yang diduga sebagai factor penctus telah sembuh pada saat
timbulnya gejala awal GBS. Infeksi awal yang mendahului GBS biasanya karena
infeksi Campylobacter jejuni, tetapi 60% kasus tidak diketahui penyebabnya.6
Didalam GBS ini dibagi beberapa klasifikasi berupa acute inflammatory
demyelinating polyradiculoneuropathy ( AIDP ) , Acute motor sensory axonal
neuropathy ( AMSAN ) , Acute motor axonal neuropathy ( AMAN ) , Sindrom Miller
– Fisher. Pada pasien ini mengarah ke sindrom ke tipe AIDP karena biasanya pada tipe
Gejalanya bersifat progresif dengan kelemahan tubuh yang simetris dan terdapat
hiporefleksia atau arefleksia. Hal ini sesuia dengan penelitian Infalamasi akut
demielinasi polineuropati (AIDP) merupakan subtipe GBS yang sering terjadi, hampir
85-90% kasus dan ditandai dengan patologis terjadinya demielinasi, infiltrasi
limfositik, dan mediasi makrofag oleh myelin. Gambaran klinis ditunjukkan dengan
adanya kelemahan motor asenden secara simetris dengan hipo atau arefleksia 18.
Diagnosis banding untu pasien ini adalah Guallian Barre Syndrome dan
Periodik Paralisis Hiperkalemia . Dilihat dari diagnosis banding lebih mengarah
syndrome guillain barre , dilakukan pemeriksaan penunjang pada pasien ini saat
pemeriksaan laboratorium serum elektrolit tanggal 28 /03/2019 MRS dengan hasil
kalium 3,8 masih dalam batas normal. Tidak ada demam juga pada pasien.
Pada pasien didiagnosis Guallian Barre syndrome berdasarkan Kriteria
diagnostik GBS menurut National Institute of Neurological and Communicative
Disorders and Stroke (NINCDS)5

Gejala utama

Kelemahan progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa disertai
ataxia
Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
Gejala tambahan

1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu


2. Biasanya simetris
3. Adanya gejala sensoris yang ringan
4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
5. Disfungsi saraf otonom
6. Tidak disertai demam
7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4
Pemeriksaan LCS

1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan elektrodiagnostik

1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf


Gejala yang menyingkirkan diagnosis

1. Kelemahan yang sifatnya asimetri


2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
4. Gejala sensoris yang nyata
Pada pasien memenuhi criteria gejala utama dan gejala tambahan meskipun
untuk proses penyembuhan belum berlangsung, dan juga tidak terdapat gejala yang
menyingkirkan diagnosis. Untuk pemeriksaan LCS an elektrodiagnostik belum
dilakukan karena tidak tersedianya alat.
Penatalaksanaan pada pasien di berikan metilprednisolon 2 x 125 mg iv.
Kortikosteroid secara teoritis merupakan obat antiinflamasi dan dapat memperbaiki
kerusakan sel pada saraf. Pada penelitian yang dilakukan Kusuma 2013, kortikosteroid
digunakan pada 27,5% pasien sebagai terapi imunosupresan dalam mengatasi GBS
maupun terapi penyakit penyerta yang lain. Kortikosteroid banyak digunakan untuk
mengobati gangguan autoimun dan diharapkan efektif untuk GBS. Namun, sebagian
besar penelitian menunjukkan tidak ada manfaat dari kortikosteroid sebagai terapi
pada GBS28. Tidak didapatkan perkembangan yang signifikan antara kelompok
dengan pemberian kortikosteroid dan kelompok control. Steroid oral atau
metilprednisolon intravena dengan dosis 500mg/hari selama 5 hari tidak dapat
memperbaiki kondisi pasien. Kombinasi dengan imunoglobulin intravena dengan
metilprednisolon intravena tidak lebih efektif dari pemberian imunoglobulin intravena
saja. Meskipun terdapat efek jangka pendek yang mungkin terjadi akibat kombinasi ini
tapi dapat digunakan sebagai faktor prognosis8. Pada penelitian retrospektif yang
dilakukan oleh Inayah 2014 mengenai studi penggunaan kortikosteroid pada pasien
GBS dinyatakan bahwa terapi kortikosteroid bersifat sebagai terapi suportif. Bentuk
sediaan yang diberikan bervariasi baik sediaan injeksi maupun tablet. Dosis yang
diberikan rata-rata menggunakan dosis tinggi dengan penggunaan >300mg/hari,
namun adapula yang diberikan dalam dosis kecil 12mg/hari, tergantung dari kondisi
pasien 25. Pada pasien terapi kortikosteroid sebagai terapi suportif sebelum di rujuk ke
RSHS untuk mendapatkan terapi lanjutan berupa IVIG ataupun Plasma paresis.
Penatalaksanaan pada pasien di berikan mecobalamin 2 x 125 mg iv. Terapi
neuroprotektan dan neurotropik ini bermanfaat pada GBS karena:
1. penyimpangan respon autoimun yang menyebabkan kerusakan saraf pada GBS
hanya bersifat sementara;
2. saraf perifer pada dasarnya memiliki kemampuan regenerasi dan memperbaiki diri
setelah terjadi kerusakan;
3. blood-nerve barrier juga mengalami kerusakan pada saraf yang rusak, sehingga
neuroprotektan yang diberikan selama fase akut GBS dapat mencapai serabut saraf
yang rusak; dan
4. intervensi neuroprotektan dan neurotropik berlangsung dalam jangka waktu yang
terbatas,
sehingga efek samping potensial yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan jangka
panjang obat-obatan ini dapat diminimalkan7.
Dari hasil penelitian Hartiningtyas di Rumah Sakit di Surabaya vitamin B1,
B6, dan B12 merupakan neuroprotective agent sebagai terapi suportif untuk pasien
GBS karena mampu membantu meminimalkan atau mencegah progresifitas penyakit.
Dalam penelitian ini penggunaan kombinasi terapi pada 40 pasien GBS yang paling
sering adalah fursultiamin dan metilcobalamin (90%). Kedua kombinasi tersebut
digunakan untuk membatasi jumlah cedera saraf selama perkembangan fase penyakit
dan meningkatkan perbaikan saraf / regenerasi akson selama fase pemulihan GBS
dilihat dari manfaat kedua obat tersebut untuk sel saraf .26
Prognosis pada pasien ini dubia ad bonam karena pasien kelemahan belum
mencapai ke empat anggota gerak dan pasien juga segera dirujuk ke RSHS untuk
mendapatkan terapi IVIG dan Plasmaparesis. Dikatakan terapi plasmaparesis ini lebih
memberikan manfaat bila dilakukan pada awal onset gejala (minggu pertama GBS)7 .
Sebagian besar GBS secara klinis akan mengalami perbaikan pada minggu ke empat
dari onset penyakit. Sekitar 80% pasien mengalami perbaikan klinis yang komplit atau
sembuh meskipun kadang-kdang ditemukan gejala minor yang menetap seperti
arefleksia. Perbaikan ini dapat terjadi dalam beberapa bulan hingga tahun. Sekitar 5-
10% pasien akan relaps, dan beberapa kasus menjadi chronic inflammatory
demyelinating polyneuropathy (CIDP).6
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell RS. 2012. Neuroanatomi KlinikC . 7th edition. : Lippincott Williams &
Wilkins Inc. Jakarta : ECG pp. 157, 196-8.
2. Guyton, A.C dan Hall, A.J. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta :
EGC
3. Sherwood L. Susunan Saraf Tepi . In: Santoso IB, Editors.Fisilogi Manusia
Dari Sel ke Sistem,2th ed. Jakarta:EGC;2001;p.104-6
4. Bergman, R.A., Afifi, A.K., Heidger, P.M., (1996), Neural Tissue in
Histology, W.B. Saunders Company, Philadelphia, USA, pp. 112-132
5. Gerard J. Tortora, Bryan Derrickson,2011. Nervous Tissue In : Principles Of
Anatomy And Physiology, 13th Edition Volume 2, 1447.
6. Andi B, Sofiati D, dkk. Kegawatdaruratan Neurologi-Bagian Neurologi FK
Unpad-RSHS. Edisi 2. Bandung
7. Zhong M, Cai F. Current perspectives on Guillain-Barré syndrome. World J
Pediatr 2007;3(3):187-194
8. Hughes CA. Pathogenesis and treatment of inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy. Acta neurol. belg., 2000, 100, 167-170
9. Walling A, Dickson G. Guillain-Barré Syndrome. AAFP.2013.(87).3: 166-97
10. McClellan, K., Armeau, E., Parish, T. Recognizing Guillain-Barré Syndrome
in the Primary Care Setting. The Internet Journal ofAllied Health Sciences and
Practice. Jan 2007,(5):1
11. Phitadia A, Kakadia N. Guillain-Barré syndrome (SGB). Pharmacological
report. 2010. 220-232
12. Yuki N, Hartung HP. Guillain–Barré Syndrome. N Engl J Med
2012;366:2294-304.
13. Malgorzata QW, Georgios M,Sijan Wang, James S. Malter, Andrew
J.Waclawik. Plasma Exchange After Initial Intravenous Immunoglobulin
Treatment in Guillain-Barre´ Syndrome: Critical Reassessment of
Effectiveness and Cost-Efficiency. J Clin Neuromusc Dis 2010;12:55–61
14. Pieter A, Liselotte R, Bart C J. Clinical features, pathogenesis, and treatment of
Guillain-Barré syndrome. Lancet Neurol 2008; 7: 939–50. Available from
URL: www.thelancet.com/neurology Vol 7 October 2008 [ cited on Mei 15th
2019]
15. Japardi I. Sindroma Guillan-Barre. FK USU Bagian Bedah. Available
from:URL:http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-
iskandar%20japardi46.pdf. [diakses tanggal 15 Mei 2019].
16. Meena A. K., Khadilkar S. V. Murthy J. M. K.Treatment guidelines for
Guillain–Barré Syndrome. Ann Indian Acad Neurol. 2011; 14. S73–S81.
17. Wijayanti Sri. Aspek Klinis dan Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome.
SMF Neurologi FK UNUD: 2016
18. Tandel H, Vanza J, Panda N, Jani P. 2016. Guillain Barre Syndrome (GBS) : A
Review. Ejpm;
19. Bahrudin, M. (2012) Neuroanatomi dan Aplikasi Klinis Diagnosis Topis. 1st
edn.Edited by J. Triwanto. Malang: UPT Penerbitan Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Available at: http://ummpress.umm.ac.id.
20. Walling A D. Adjunctive steroid therapy for guillain-barré syndrome. Am fam
physician. 2004 ;70(6):1157-1161.
21. Winer JB. Treatment of Guillain-Barre´ syndrome. Q J Med 2002; 95:717–721
22. Cortese I, Chaundry V, So YT, Cantor F, Comblath DR. Evidence-based
guideline update: Plasmapheresis in neurologic disorder. Neurology. 2011.
294-302
23. Khan F, Amatya B, Brand C, Turner-Stokes L. Multidisciplinary care for
Guillain-Barré syndrome (Review). Cochrane Library 2010
24. Richard A,Hughes C,Anthony V. Swan,Jean-Claude R,Djillali A, Rinske
Konings. Immunotherapy for Guillain-Barre syndrome:a systematic review.
Brain (2007), 130, 2245-2257
25. Inayah N. Studi Penggunaan Kortikoseroid Pada Pasien Gullain Barre
Syndrome. SMF Neurologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya; 2010
#https: repository.unair.ac.id
26. Kusuma G,. Studi Penggunaan Obat Pada Pasien Gullain Barre Syndrome
(GBS) ; 2014. #https: repository.unair.ac.id

Anda mungkin juga menyukai