PENDAHULUAN
ILUSTRASI KASUS
Nama : Sdr. M. M
Usia : 19 Tahun
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Cijoho
Suku : Sunda
Agama : Islam
2.2 Anamnesis
Riwayat gastroenteritis akut (+) dua minggu SMRS, dirawat di Rumah Sakit
swasta selama lima hari. Riwayat ISPA (+) disertai demam tiga minggu SMRS,
dirawat di Rumah Sakit swasta selama tiga hari. Riwayat varicella zoster di sangkal.
Riwayat Campak disangkal. Riwayat Mump disangkal. Riwayat Hepatitis disangkal.
Riwayat Pneumonia disangkal. Riwayat demam Tifoid disangkal. Riwayat Malaria
disangkal. Riwayat penyakit Hodgkins disangkal. Riwayat Hipertiroid disangkal.
Riwayat trauma disangkal. Riwayat keluhan serupa disangkal. Riwayat penyakit
diabetes melitus disangkal .
2.2.4 Riwayat Keluarga
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan atau riwayat penyakit yang sama
dengan pasien. Riwayat hipertensi disangkal. Riwayat penyakit diabetes melitus
disangkal . Riwayat stroke disangkal.
Satu hari SMRS keluarga pasien mengira kelemahannya karena lemas akibat
penyakit GEA dua minggu sebelumnya sehingga pasien dibawa kontrol ke poliklinik
penyakit dalam, namun oleh doker spesialis penyakit dalam disarankan untuk
konsultasi ke dokter spesialis saraf. Pasien dibawa ke poliklinik dokter spesialis saraf
dan dikatakan bahwa penyakitnya ini adalah GBS dan diberi rujukan untuk berobat ke
RS Hasan Sadikin. Namun keadaan Pasien semakin memburuk sehingga keluarga
membawa ke IGD RSUD 45. Pasien diberi obat namun lupa nama obatnya dan tidak
dibawa obatnya ketika ke IGD.
a. Status Internus
- Kepala : normochepal
Rambut : hitam (+) distribusi merata.
Wajah : simetris,oedema (-), deformitas (-)
Mata : Pupil : isokor,diameter 3mm/3mm,
reflex cahaya (+/+)
Congjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-), Deformitas (-), Septum deviasi (-),
Sekret (-)
- Thorax :
Paru-paru
Dextra Sinistra
1. Inspeksi Bentuk dan pergerakan Bentuk dan pergerakan
Simetris, Simetris
2. Palpasi Rertaksi (-), jejas (-) Rertaksi (-), jejas (-)
Vocal Fremitus (+) sama Vocal Fremitus (+) sama
kanan dan kiri kanan dan kiri
Pelebaran ICS (-) Pelebaran ICS (-)
3. Perkusi
Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
4. Auskultasi
Suara dasar vesikuler Suara dasar vesikuler
Ronki (-) Ronki (-)
Wheezing (-) Wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas atas : ICS II linea parasternal sinistra
b. Status Neurologi
1. GCS
Eye :4
Verbal : 5
Motor : 6
2. Rangsang Meningeal
- Kaku kuduk : (-)
- Kuduk kaku : (-)
- Brudzinski I : (-)
- Brudzinski II : (-)
- Brudzinski III : (-)
- Laseque : (-), tidak terbatas
- Kernig : (-), tidak terbatas
3. Saraf Kranial
- CN I (Olfaktorius) : tidak dilakukan pemeriksaan
- CN II (Optikus) : OD OS
Tajam pengelihatan: dbn dbn
• Lapang pandang : dbn dbn
• Funduskopi : tidak dilakukan pemeriksaan
- CN V (Trigeminal)
• Motorik : Maseter dan Temporalis (dalam batas normal)
• Sensorik :
• Cabang oftalmik : normal
• Cabang Maksilari : normal
• Cabang Mandibularis: normal
• Kornea reflek: (+/+)
- CN VII (Fasial)
• Motorik :
Mengerutkan dahi : Tidak sempurna
4. Pemeriksaan Motorik
Inspeksi :
- atrofi (-)
- fasikulasi (-)
- Gerakan involunter (-)
- Muscle twitching (-)
- Dekortikasi (-)
- Deserebrasi (-)
Palpasi :
- Tonus : Hipotonus (+)
Perkusi :
- fasikulasi (-)
Pemeriksaan Kekuatan
6. Refleks
Fisiologis
Kanan Kiri
Biceps
Triceps
Radiobrachialis
Patella - -
Achiless - -
Patologis
Kanan Kiri
Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaefer - -
Mendel - -
Brechtrew
Rossolimo - -
Regresi
kanan kiri
Glabella - -
Graps - -
Palmomental - -
7. Koordinasi
Kanan kiri
• Tes telunjuk-hidung : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Tes Tumit-lutut : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Tes telunjuk-telunjuk : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Romberg : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Tandem : Tidak dilakukan pemeriksaan
8. Otonom
Dalam batas normal
9. Diagnosis Banding
1. Gullain Barre Syndrome
2. Periodik Paralisis Hipokalemia
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Tanggal 28-03-2019
Pemeriksaan Hasil Nilai
rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 15.8 g/dL 14-18
Hematokrit 46.5% 40-54
Leukosit 7.89 ribu/uL 4.000-10.000
Trombosit 261 ribu/uL 150-450 ribu
Eritrosit 5.47 juta/Ul 4.0-10.0
Indeks Eritrosit
MCV 85.0 fL 80-96
MCH 28.9 pg/mL 28-33
MCHC 34.0 g/dL 33-36
Kimia Klinik
Glukosa Darah Sewaktu 91 mg/dl 70-120
SGOT 19 U/L 5-40
SGPT 41 U/L <= 45
Ureum 28 mg/dL 10-50
Kreatinin 0.74 mg/dL 0.6-1.5
Pemeriksaan Elektrolit
Natrium 140 mmol/L 135-145
Kalium 3.8 mmol/L 3.5-5.1
Chlorida 108 mmol/L 95-110
2.5 Resume
Pasien laki-laki berusia 19 tahun dengan keluhan kedua tungkai terasa lemah
sejak tiga hari SMRS. Kelemahan dirasakan secara tiba-tiba dan terus menerus,
semakin hari semakin memburuk, berangsur-angsur mulai dari ujung jari-jari kaki
lalu menjalar ke tungkai, sehingga membuat pasien sulit berjalan. Lima hari SMRS
Keluhan kelemahan ini diawali dengan rasa kesemutan di ujung-ujung jari kaki
selama dua hari. Tiga hari SMRS pasien mulai mengeluhkan kelemahan di ujung-
ujung jari kaki namun pasien masih bisa berjalan dengan bantuan benda di
sekitarnya ataupun bantuan keluarga. Dua hari SMRS pasien tidak bisa
menggerakkan kedua tungkainya. Satu hari SMRS susah mengeluarkan suaranya.
Riwayat GEA 2 minggu SMRS (+). Riwayat ispa tiga minggu SMRS.
Pemeriksaan Fisik:
Tampak Sakit Sedang, CM, GCS : 15
TTV dan Status generalis dalam batas normal
Status neurologi :
cranial nerve : Parese nerve VII, IX, X
Motorik : kekuatan otot :
superior : 4/4
Inferior : 1/1
Tonus : Hipotonus
Refleks Fisiologis :
Biceps : Kanan ( ), Kiri ( )
Triceps : Kanan ( ), Kiri ( )
Brachioradialis : Kanan ( ), Kiri ( )
Patella : Kanan (-), Kiri (-)
Achilles : Kanan (-), Kiri (-)
Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan Laboratorium :
Darah rutin, Kimia rutin, Elektrolit : dalam batas normal
2.8 Penatalaksanaan
a. Non-Medikamentosa
- Monitoring tanda-tanda vital
- Konsul dr. Awaluddin SpS
b. Medikamentosa
IVFD RL 500cc /8jam
Metilprednisolon 2x125 mg iv
Mecobalamin 1x1
2.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
3. Follow Up
Jumat, 29-03-2019
S Kelemahan kedua tungkai, tidak bisa mengeluarkan suara,
O CM
GCS : E :4 V: 5 M: 6
Td: 130/70
N: 73x/menit
R: 22 x menit
S: 36
Status neurologis :
cranial nerve : Parese nerve VII, IX, X
Motorik : kekuatan otot :
superior : 4/4
Inferior : 1/1
Tonus : Hipotonus
Refleks Fisiologis :
Biceps : Kanan ( ), Kiri ( )
Triceps : Kanan ( ), Kiri ( )
Brachioradialis : Kanan ( ), Kiri ( )
Patella : Kanan (-), Kiri (-)
Achilles : Kanan (-), Kiri (-)
3.1 Definisi
Guillain–Barré syndrome (GBS) merupakan sekumpulan gejala yang
merupakan suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian
dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan karakterisasi berupa kelemahan dari
saraf motorik yang sifatnya ascending dan progresif. Kelainan ini juga dapat
menyerang saraf sensoris dan autonom.6
3.5 EPIDEMIOLOGI
Gullain Barre Syndrome (GBS) menyerang 1-4/100.000 populasi di dunia per
tahun dan merupakan penyebab utama dari paralisis neuromuscular yang akut. GBS
dapat menyerang semua usia, ras dan perbandingan antara pria dan wanita 1.5 : 1.
Kisaran usia sindroma ini antara 5- 70 tahun.19 Peningkatan 20% terlihat dengan setiap
kenaikan usia 10 tahun setelah dekade pertama.9,10 Usia dewasa merupakan puncak
pertama serangan GBS. Dua pertiga dari kasus didahului oleh gejala infeksi saluran
pernapasan atas diare akut.11 Dalam meta-analisis, agen infeksi yang paling sering
diidentifikasi adalah Campylobacter jejuni sekitar30%, sedangkan cytomegalovirus
telah diidentifikasi dalam hingga 10%. Insiden SGB diperkirakan 0,25-0,65 per 1.000
kasus infeksi Campylobacter jejuni, dan 0,6-2,2 per 1000 kasus sitomegalovirus
primer infection.12 Agen lain yang dihubungan dengan SGB adalah Epstein-Barr,
virus Varicella-Zoster, dan Mycoplasma pneumoniae.9
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian
Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III
(dibawah usia 35 tahun). Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa
perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. 9
3.6 ETIOLOGI
GBS merupakan penyakit autoimun (system kekebalab tubuh menyerang
sendiri). Sampai saat ini beberapa hal yang menjadi faktor pencetus penyakit ini masih
belum jelas. Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena
rusaknya myelin, yang membungkus saraf, disebut demyelinisasi. Mekanisme GBS
diyakini merupakan suatu neuropati inflamasi yang disebabkan oleh reaktivitas silang
antara antigen dan antibodi saraf yang disebabkan oleh infeksi tertentu yaitu
organisme menular, seperti C. jejuni, yang memiliki struktur dinding bakteri yang
mirip dengan gangliosida. Molekular mimikri ini akan menciptakan antibodi anti-
gangliosida yang akan menyerang saraf. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran
impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali.9
GBS seringkali dikaitkan dengan riwayat infeksi saluran pencernaan atau
infeksi saluran pernafasan atas sebelumnya. Biasanya infeksi yang diduga sebagai
factor penctus telah sembuh pada saat timbulnya gejala awal GBS. Infeksi awal yang
mendahului GBS biasanya karena infeksi Campylobacter jejuni, tetapi 60% kasus
tidak diketahui penyebabnya.6 Selain itu GBS dapat didahului oleh infeksi yang
disebabkan oleh virus, yaitu Cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, Hepatitis A virus,
8,12
HIV, Varicella-zoster, Influenza, Campak, Mump, Rubella, Coxsackievirus. Selain
virus, penyakit ini juga didahului oleh infeksi bakteri seperti Campylobacter jejuni
pada enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Salmonella thypoid, Parathypoid,
Brucellosis, Clamydia, Borrelia, Spirochaeta, Legionella, dan Mycobacterium
tuberculosa.1,5 Infeksi Parasit seperti Malaria, Toksoplasmosis6. Vaksinasi seperti
Infuenza, BCG, tetanus, varicella, dan hepatitis B. Penyakit sistemik seperti Leukimia,
Lymphoma Hodgkins, Hipertiroidisme, penyakit kolagen dan sarcoidos. Keadaaan
lain seperti kehamila, operasi, dan transplantasi organ.14,16 Infeksi virus ini biasanya
terjadi 2 - 4 minggu sebelum timbul GBS.7
3.7 KLASIFIKASI
GBS diklasifikasikan berdasarkan kerusakan saraf yang terjadi pada saraf
perifer, yaitu demielinasi dan degenerasi aksonal dimana serabut saraf motorik lebih
rentan terhadap penyakit daripada saraf sensorik7. Klasifikasi pada GBS dilihat
berdasarkan segi klinis; rangkaian waktu, dominasi keterlibatan saraf sensorik atau
motorik ataupun keduanya dan keterlibatan saraf kranial serta keterlibatan antibodi
yang beperan pada masing-masing varian17. Konduksi saraf biasanya membedakan
antara demielinasi dan degenerasi aksonal primer. GBS dapat diklasifikasikan menurut
selubung mielin atau akson yang dipengaruhi; apakah motor, sistem sensorik atau
otonom yang terlibat18.
3.8 PATOGENESIS
Mekanisme terjadinya Guillain Barré Syndrome (GBS) sebenarnya masih
belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan
saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi12. Bukti-
bukti bahwa imunopatogenesis merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf
tepi pada sindroma ini adalah didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan
seluler (cell mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi18. adanya
autoantibodi terhadap sistem saraf tepi, dan didapatkannya penimbunan kompleks
antigen antibodi dari peredaran pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses
demielinisasi saraf tepi 9 12.
Perjalanan penyakit ini umumnya diawali oleh kejadian atau faktor pemicu lain
seperti infeksi, vaksinasi dan pembedahan, yang paling sering adalah infeksi. Infeksi,
baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain memasuki sel
Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut mengaktivasi sel
limfosit T. Sel limfosit T ini selanjutnya mengaktivasi proses pematangan limfosit B
dan memproduksi autoantibodi spesifik yang dapat merusak atau mendestruksi mielin
maupun akson dari saraf tepi. Selain itu, pada saraf penderita GBS ditemukan sel
inflamasi dan makrofag, yang selanjutnya akan diikuti dengan dekstruksi mielin akibat
aktivitas sitokin. Inflamasi dan degenerasi mielin menyebabkan kebocoran protein dari
darah ke cairan serebrospinalis, sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi
protein cairan cerebrospinalis. Tanda ini merupakan ciri khas pada GBS. Destruksi
tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan sinyal secara efisien,
sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak
menerima lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh8 17.
Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi, yang pertama adalah
virus dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh
mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi
tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri
berkurang. Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang mielin
disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan mielin8.
Teori - teori tersebut diperjelas dengan adanya empat faktor utama yang diketahui
berperan dalam perjalanan penyakit GBS, antara lain antibodi antigangliosida, mimikri
molekular dan reaktivitas silang, aktivasi komplemen, dan faktor penjamu (host)18.
1. Antibodi antigangliosida
Gangliosida adalah asam N-acetylneuraminic (asam sialat) yang berhubungan
dengan glikospingolipid dan berada di luar membran sel saraf dan berkaitan
dengan oligosakarida pada permukaan sel. Gangliosida ini terdiri dari ceremide
yang melekat satu atau lebih gula (heksosa) dan mengandung asam N-
acetilneuraminic (asam sialat) yang berikatan pada inti oligosakarida dan
merupakan komponen penting dari sistem saraf perifer12.
Pada lebih dari separuh pasien GBS, ditemukan antibodi serum terhadap
berbagai gangliosida di saraf tepi, meliputi LM1, GM1, GM1b, GM2, GD1a,
Ga1Nac-GD1a, GD1b, GD2, GD3, GT1a, dan GQ1b. Sebagian besar antibodi
spesifik terhadap subtipe dari GBS itu sendiri. Antibodi GM1, GM1b, GD1a dan
Ga1Nac-GD1a berhubungan dengan GBS motorik murni atau varian aksonal.
Sedangkan antibodi GD3, GT1a, GQ1b berhubungan dengan oftalmoplegi pada
Miller Fisher Syndrome (MFS)8 12.
2. Mimikri molekuler dan reaksi silang
Mekanisme imunitas humoral dan seluler berperan dalam manifestasi GBS.
Onset GBS umumnya muncul 1-4 minggu setelah penyakit infeksius muncul.
Banyak organisme infeksius dianggap menginduksi produksi antibodi yang
bereaksi silang dengan gangliosid dan gikolipid, seperti GM1 dan GD1b, yang
tersebar luas disepanjang mielin pada saraf perifer. Reaksi silang ini disebut
molecular mimicry. C. jejuni yang diisolasi dari pasien GBS dapat
mengekspresikan lipo-oligosakarida (LOS) pada dinding bakteri, menyerupai
karbohidrat dari gangliosida. Mimikri molekuler ini membentuk antibodi
antigangliosida yang menyerang saraf perifer. Tipe mimikri gangliosida C.jejuni
berbeda – beda, tergantung spesifisitas antibodi antigangliosida dan berhubungan
dengan subtipe GBS. C.jejuni yang diisolasi dari pasien GBS motorik atau aksonal
umumnya mengekspresikan GM-1like dan GD1a-like LOS. Di sisi lain, C.jejuni
yang diisolasi dari pasien dengan optalmoplegi atau MFS biasanya
mengekspresikan GD3-like, GT1a-like atau GD1c-like LOS. Berbagai antibodi
pada pasien-pasien tersebut umumnya memiliki reaksi silang dan mengenali LOS
seperti gangliosida atau kompleks gangliosida9.
3. Aktivasi Komplemen
Studi post mortem menunjukkan bahwa aktivasi komplemen lokal terjadi pada
lokasi kerusakan saraf, seperti pada axolemma pada pasien AMAN dan membran
sel Schwann pada pasien AIDP. Beberapa antibodi antigangliosida sangat toksik
terhadap saraf perifer. Dalam studi percobaan, efek menyerupai α- latrotoxin dapat
diinduksi pada tikus percobaan, dikarakteristikan dengan pelepasan secara
dramatis, menyebabkan deplesi neurotransmiter tersebut pada ujung saraf, blokade
transmisi saraf, dan paralisis saraf-otot. Ujung saraf dan sel Schwann perisinaptik
juga akan dihancurkan. Antibodi terhadap GM-1 mempengaruhi kanal natrium
pada nodus Ranvier pada saraf perifer kelinci. Hal - hal tersebut nampaknya
bergantung pada aktivasi komplemen dan pembentukan membran attack complex
(MAC) efek neurotoksisk akibat antibodi tersebut dapat dihambat oleh
imunoglobulin dan inhibitor komplemen eculizumab8.
4. Faktor Penjamu (Host Factor)
Kurang dari 1 per 1000 pasien dengan infeksi C jejuni akan menderita GBS.
Meskipun beberapa waktu terjadi peningkatan insiden, namun tidak pernah
dilaporkan adanya epidemik atau wabah GBS. Faktor penjamu mungkin
mempengaruhi suseptibilitas (kerentanan) terhadap GBS, atau perluasan kerusakan
saraf dan keluaran yang dihasilkan. Single-nucleotide polymorphisms (SNPs) tidak
memiliki hubungan yang konsisten dengan suseptibilitas terhadap GBS. Namun,
SNP tersebut nampaknya memiliki peranan sebagai faktor yang memodifikasi
penyakit. Terdapat hubungan antara keparahan penyakit atau keluaran dan SNP
pada gen yang mengkode mannose-binding lectin, Fc gamma receptor III, matrix
metalloproteinasi 9, dan TNF-α8 16.
Gambar Patogenesis dan fase klinikal dari GBS
3.9 MANIFESTASI KLINIS
GBS umumnya dimulai dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan
diikuti secara cepat oleh paralisa keempat ekstremitas yang bersifat ascendens.
Parestesia ini biasanya bersifat bilateral7 17
. Refleks fisiologis akan menurun dan
kemudian menghilang sama sekali.8,16 Secara klinis SGB biasanya digambarkan dalam
3 fase, yaitu fase progresif, fase plateau dan fase pemulihan. Pada fase progresif
kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar
secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke ekstremitas atas, tubuh
dan saraf pusat.13,14 Kerusakan saraf motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan
sampai pada yang menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf kranial,
muncul pada 50% kasus, biasanya berupa facial diplegia.14 Kelemahan otot
pernapasan dapat timbul secara signifikandan bahkan 20% pasien memerlukan
bantuan ventilator dalam bernafas.8,14
Kelainan saraf otonom sering dijumpai dan dapat berakibat fatal. Kelainan ini
dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest,
facial flushing, sfingter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat.17
Hipertensi terjadi pada 10-30 % pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari
pasien.16 Gejala-gejala tambahan adalah kesulitan untuk mulai buang air kecil,
inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan bernapas, perasaan tidak
dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur.9
b. Pemeriksaan EMG
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas
normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada
akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ketiga mulai menunjukkan
adanya perbaikan.16 Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat
adanya keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran impuls,
gelombang F yang memanjang dan latensi distal yang memanjang.6,13 Bila
pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan
potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan menurunnya kecepatan
konduksi saraf motorik.13
Kriteria Diagnosis
Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan
timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks
tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam
disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik
perifer.
Gejala utama
1. Kelemahan progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa
disertai ataxia
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
Gejala tambahan
1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan elektrodiagnostik
3.13 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau
cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis
vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi.9
Pada negara-negara maju, 5% dari pasien dengan sindrom Guillain-Barre meninggal
akibat komplikasi medis seperti sepsis, emboli paru, atau henti jantung yang tidak
dapat dijelaskan, mungkin terkait dengan dysautonomia/ disfungsi otonom. Disfungsi
otonom adalah komplikasi umum pada dua pertiga pasien SGB. Distribusi saraf
otonom yang luas mungkin menyebabkan berbagai tanda dan gejala akibat kegagalan
atau overaktivitas simpatis dan parasimpatis. Gejalanya termasuk aritmia jantung,
fluktuasi tekanan darah, respon tidak normal hemodinamik terhadap obat, kelainan
keringat, kelainan pupil, dan disfungsi kandung kemih dan defekasi. Meskipun
disfungsi otonom biasanya tidak membahayakan, namun, komplikasi kardiovaskuler
dapat terjadi mengancam jiwa. 3-10% dari pasien SGB dapat meninggal, dan beberapa
pasien ini penyebabnya kemungkinan mati mendadak. Oleh karena itu, pengenalan
disfungsi otonom penting untuk memprediksi pasien akan mengalami gagal otonom
yang serius, oleh karena itu perlu pemantauan terus menerus. Bradiaritmia berpotensi
serius, mulai dari bradikardia menyebabkan kecacatan. Seringnya disfungsi otonom
terjadi dengan SGB. Pada beberapa kasus, penerapan alat pacu jantung transkutan atau
atropin harus diberikan. Secara umum, terapi vasoaktif dan morfin sebaiknya
digunakan dengan hati-hati. Saraf otonom dapat dipelajari dari biopsi kulit, dan kurang
berkorelasi pada saraf intraepidermal dengan menilai densitas saraf pada biopsi kulit
pasien dengan SGB.21, 27
Kelelahan setelah SGB merupakan problem penting yang dilaporkan pada 60%
dan 80% pasien. Dalam sebuah studi pasien dengan polineuropati, termasuk SGB,
80% dari pasien mengeluh kelelahan. Gejala kelelahan ini independen dari keparahan
kelemahan selama fase awal SGB dan mungkin menetap bertahun-tahun. Amantadine
tidak efektif untuk menghilangkan kepenatan setelah SGB.Program pelatihan intensif,
tiga kali seminggu dilaporkan dapat ditoleransi dengan baik, dan menurunkan skor
kelelahan secara signifikan. Program fisioterapi juga dinilai baik dalam meningkatkan
keluaran fungsional, dan kualitas hidup. Dari sudut pandang yang lebih holistik,
perubahan kelelahan, mobilitas dan fungsi dirasakan tampaknya tidak dipengaruhi
oleh perubahan fisik. Kombinasi faktor fisik dan psikologis tampaknya untuk
menentukan terjadinya kelelahan setelah SGB.20, 24
3.14 PROGNOSIS 6
Sebagian besar GBS secara klinis akan mengalami perbaikan pada minggu ke
empat dari onset penyakit. Sekitar 80% pasien mengalami perbaikan klinis yang
komplit atau sembuh meskipun kadang-kdang ditemukan gejala minor yang menetap
seperti arefleksia. Perbaikan ini dapat terjadi dalam beberapa bulan hingga tahun. 5-
10% terjadi perbaikan dengan gejala sisa kecacatan yang berat pada akson motorik
dan sensorik sampai proksimal tanpa adanya regenerasi akson. Kematian akibat
penyakit ini tetapi tergantung dari terapi dan suportif yang diberikan. Kondisi GBS
yang dirawat di unit intensif/ICU, angka kematian masih sekitar 2-3%. Menurut WHO
angka kematian ini lebih tinggi yaitu 4%, sebagian besar memerlukan perawatan
selama 4-6 minggu hingga satu tahun di ruang ICU dan ventilator di pasang bila
kondisi mengalami perburukan. Sekitar 5-10% pasien akan relaps, dan beberapa kasus
menjadi chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP).
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki berusia 19 tahun dengan keluhan kedua tungkai terasa lemah
sejak tiga hari SMRS. Kelemahan dirasakan secara tiba-tiba dan terus menerus,
semakin hari semakin memburuk, berangsur-angsur mulai dari ujung jari-jari kaki lalu
menjalar ke tungkai, sehingga membuat pasien sulit berjalan. Lima hari SMRS
Keluhan kelemahan ini diawali dengan rasa kesemutan di ujung-ujung jari kaki selama
dua hari. Tiga hari SMRS pasien mulai mengeluhkan kelemahan di ujung-ujung jari
kaki namun pasien masih bisa berjalan dengan bantuan benda di sekitarnya ataupun
bantuan keluarga. Dua hari SMRS pasien tidak bisa menggerakkan kedua tungkainya.
Satu hari SMRS susah mengeluarkan suaranya. Riwayat GEA 2 minggu SMRS (+).
Riwayat ispa tiga minggu SMRS.
Pada pemeriksaan fisik status interna dalam batas normal. Pada pemeriksaan
saraf cranial ditemukan parese nerve VII, IX,X. Kekuatan motorik atas 4/4 bawah 1/1.
Tonus otot menurun. Pada pemeriksaan reflex fisiologis menghilang dan menurun
reflex patologis dalam batas normal.
Pada data diatas, dapat disimpulkan bahwa diagnosis pasien ini mengarah pada
pada Gullain Barre Syndrome. Pasien laki-laki, 19 tahun, hal ini sesuia dengan data
epidemiologi kasus GBS dengan Kisaran usia sindroma ini antara 5- 70 tahun.19
Peningkatan 20% terlihat dengan setiap kenaikan usia 10 tahun setelah dekade
pertama.9,10 Usia dewasa merupakan puncak pertama serangan GBS. Perbandingan
antara pria dan wanita 1.5 : 1. 6
Ditemukannya pada pasien kelemahan otot , yang ditandai dengan kelemahan
secara tiba-tiba bersifat akut yang disertai kesulitan mengeluarkan suara. Yang
diawali dengan parastesia pada bagial distal yang diikuti secara cepat ke bagian
proksimal bersifat progresif atau yang disebut dengan paralisys ascending. Pada
sindrom guillain barre terjadi kerusakan saraf motoric maupun sensoric biasanya
dimulai dari ekstremitas bawah menyebar secara progresif , dalam hitungan jam , hari,
maupun minggu , pada pasien ini terjadi hanya dalam waktu beberapa hari. Dan
kerusakan saraf motoric nya bisa bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang
menimbulkan quadriplegia flaccid. Tetapi pada pasien ini belum sampai terjadi
quadriplegia flaccid. 19, 20. Pada pasien didapatkan parese saraf cranial VII, IX,X. Hal
ini sesuai dengan Keterlibatan saraf kranial, muncul pada 50% kasus, biasanya
14
berupa facial diplegia , parese nerve VII 49% , nerve IX, X 16%.
Ditemukannya tanda-tanda LMN mendukung untuk terjadinya sindrom
guillain barre sindrom, pada pasien ini ditemukan adanya tanda LMN yang
didapatkan adanya hipotoni , reflek fisiologis yang menghilang , dan tidak adanya
reflek patologis mendukung untuk terjadi sindrom guillain barre sindrom 4.
Penyebab infeksi pasein Riwayat GEA 2 minggu SMRS (+). Riwayat ispa tiga
minggu SMRS. GBS biasanya didahului infeksi saluran pencernaan atau saluran
pernafasan yang dapat diakibatkan oleh infeksi campylobacter jejuni , haemophilus
influenza, cytomegalovirus, Epstein barr virus, mycoplasma pneumonia , dsb . Dalam
meta-analisis, agen infeksi yang paling sering diidentifikasi adalah Campylobacter
jejuni sekitar 30%, sedangkan cytomegalovirus telah diidentifikasi dalam hingga
10%. Pada pasien ini terjadi antibody yang melawan agen infeksi mengdakan reaksi
silang ( cross – react ) dengan antigen spesifik pada sel schwan atau aksolemma.
Biasanya infeksi yang diduga sebagai factor penctus telah sembuh pada saat
timbulnya gejala awal GBS. Infeksi awal yang mendahului GBS biasanya karena
infeksi Campylobacter jejuni, tetapi 60% kasus tidak diketahui penyebabnya.6
Didalam GBS ini dibagi beberapa klasifikasi berupa acute inflammatory
demyelinating polyradiculoneuropathy ( AIDP ) , Acute motor sensory axonal
neuropathy ( AMSAN ) , Acute motor axonal neuropathy ( AMAN ) , Sindrom Miller
– Fisher. Pada pasien ini mengarah ke sindrom ke tipe AIDP karena biasanya pada tipe
Gejalanya bersifat progresif dengan kelemahan tubuh yang simetris dan terdapat
hiporefleksia atau arefleksia. Hal ini sesuia dengan penelitian Infalamasi akut
demielinasi polineuropati (AIDP) merupakan subtipe GBS yang sering terjadi, hampir
85-90% kasus dan ditandai dengan patologis terjadinya demielinasi, infiltrasi
limfositik, dan mediasi makrofag oleh myelin. Gambaran klinis ditunjukkan dengan
adanya kelemahan motor asenden secara simetris dengan hipo atau arefleksia 18.
Diagnosis banding untu pasien ini adalah Guallian Barre Syndrome dan
Periodik Paralisis Hiperkalemia . Dilihat dari diagnosis banding lebih mengarah
syndrome guillain barre , dilakukan pemeriksaan penunjang pada pasien ini saat
pemeriksaan laboratorium serum elektrolit tanggal 28 /03/2019 MRS dengan hasil
kalium 3,8 masih dalam batas normal. Tidak ada demam juga pada pasien.
Pada pasien didiagnosis Guallian Barre syndrome berdasarkan Kriteria
diagnostik GBS menurut National Institute of Neurological and Communicative
Disorders and Stroke (NINCDS)5
Gejala utama
Kelemahan progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa disertai
ataxia
Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
Gejala tambahan
1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan elektrodiagnostik
1. Snell RS. 2012. Neuroanatomi KlinikC . 7th edition. : Lippincott Williams &
Wilkins Inc. Jakarta : ECG pp. 157, 196-8.
2. Guyton, A.C dan Hall, A.J. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta :
EGC
3. Sherwood L. Susunan Saraf Tepi . In: Santoso IB, Editors.Fisilogi Manusia
Dari Sel ke Sistem,2th ed. Jakarta:EGC;2001;p.104-6
4. Bergman, R.A., Afifi, A.K., Heidger, P.M., (1996), Neural Tissue in
Histology, W.B. Saunders Company, Philadelphia, USA, pp. 112-132
5. Gerard J. Tortora, Bryan Derrickson,2011. Nervous Tissue In : Principles Of
Anatomy And Physiology, 13th Edition Volume 2, 1447.
6. Andi B, Sofiati D, dkk. Kegawatdaruratan Neurologi-Bagian Neurologi FK
Unpad-RSHS. Edisi 2. Bandung
7. Zhong M, Cai F. Current perspectives on Guillain-Barré syndrome. World J
Pediatr 2007;3(3):187-194
8. Hughes CA. Pathogenesis and treatment of inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy. Acta neurol. belg., 2000, 100, 167-170
9. Walling A, Dickson G. Guillain-Barré Syndrome. AAFP.2013.(87).3: 166-97
10. McClellan, K., Armeau, E., Parish, T. Recognizing Guillain-Barré Syndrome
in the Primary Care Setting. The Internet Journal ofAllied Health Sciences and
Practice. Jan 2007,(5):1
11. Phitadia A, Kakadia N. Guillain-Barré syndrome (SGB). Pharmacological
report. 2010. 220-232
12. Yuki N, Hartung HP. Guillain–Barré Syndrome. N Engl J Med
2012;366:2294-304.
13. Malgorzata QW, Georgios M,Sijan Wang, James S. Malter, Andrew
J.Waclawik. Plasma Exchange After Initial Intravenous Immunoglobulin
Treatment in Guillain-Barre´ Syndrome: Critical Reassessment of
Effectiveness and Cost-Efficiency. J Clin Neuromusc Dis 2010;12:55–61
14. Pieter A, Liselotte R, Bart C J. Clinical features, pathogenesis, and treatment of
Guillain-Barré syndrome. Lancet Neurol 2008; 7: 939–50. Available from
URL: www.thelancet.com/neurology Vol 7 October 2008 [ cited on Mei 15th
2019]
15. Japardi I. Sindroma Guillan-Barre. FK USU Bagian Bedah. Available
from:URL:http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-
iskandar%20japardi46.pdf. [diakses tanggal 15 Mei 2019].
16. Meena A. K., Khadilkar S. V. Murthy J. M. K.Treatment guidelines for
Guillain–Barré Syndrome. Ann Indian Acad Neurol. 2011; 14. S73–S81.
17. Wijayanti Sri. Aspek Klinis dan Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome.
SMF Neurologi FK UNUD: 2016
18. Tandel H, Vanza J, Panda N, Jani P. 2016. Guillain Barre Syndrome (GBS) : A
Review. Ejpm;
19. Bahrudin, M. (2012) Neuroanatomi dan Aplikasi Klinis Diagnosis Topis. 1st
edn.Edited by J. Triwanto. Malang: UPT Penerbitan Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Available at: http://ummpress.umm.ac.id.
20. Walling A D. Adjunctive steroid therapy for guillain-barré syndrome. Am fam
physician. 2004 ;70(6):1157-1161.
21. Winer JB. Treatment of Guillain-Barre´ syndrome. Q J Med 2002; 95:717–721
22. Cortese I, Chaundry V, So YT, Cantor F, Comblath DR. Evidence-based
guideline update: Plasmapheresis in neurologic disorder. Neurology. 2011.
294-302
23. Khan F, Amatya B, Brand C, Turner-Stokes L. Multidisciplinary care for
Guillain-Barré syndrome (Review). Cochrane Library 2010
24. Richard A,Hughes C,Anthony V. Swan,Jean-Claude R,Djillali A, Rinske
Konings. Immunotherapy for Guillain-Barre syndrome:a systematic review.
Brain (2007), 130, 2245-2257
25. Inayah N. Studi Penggunaan Kortikoseroid Pada Pasien Gullain Barre
Syndrome. SMF Neurologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya; 2010
#https: repository.unair.ac.id
26. Kusuma G,. Studi Penggunaan Obat Pada Pasien Gullain Barre Syndrome
(GBS) ; 2014. #https: repository.unair.ac.id