Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Anemia adalah suatu keadaan kadar hemoglobin dalam darah lebih rendah dari
nilai normal. Nilai batas ambang untuk anemia menurut World Health
Organization(WHO) adalah untuk umur 5-11 tahun <11,5 g/L, 11-14 tahun ≤12,0 g/L,
remaja diatas 15 tahun untuk anak perempuan <12,0 g/L dan anak laki-laki <13,0 g/L.
Anemia dapat terjadi akibat gangguan pembentukan sel darah merah oleh sumsum
tulang, akibat kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan), ataupun akibat proses
penghancuran sel darah merah dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).1
Menurut data WHO tahun 2008, jumlah wanita tidak hamil di dunia yang
mengalami anemia sebesar 468,4 juta orang (30,2%).2 Pada tahun 2001 data WHO di
Asia Tenggara menunjukkan penderita anemia wanita tidak hamil (15-49 tahun)
sebesar 45,7%, sedangkan untuk usia sekolah (5-15 tahun) sebesar 13,6%.1 Di
Indonesia, data WHO tahun 2008 jumlah penderita anemia pada wanita tidak hamil
usia reproduktif sebesar 33,1%.2 Menurut data Riskesdas 2013, prevalensi anemia
pada wanita usia subur yang tidak hamil (15-24 tahun) sebesar 22,9%. 3 Di Kabupaten
Tangerang tahun 2015 jumlah penderita anemia pada remaja (17-18 tahun) sebesar
48,93%, dan dari data yang didapatkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Puskesmas Cikupa di SMA Miftahul Jannah terhadap 50 siswi putri (17-18
tahun)didapatkan penderita anemia sejumlah 17 orang (34%).
Berdasarkan besarnya risiko remaja putri untuk menderita anemia, maka perlu
diwaspadai bahaya anemia yang dapat membahayakan kesehatannya saat remaja
maupun dimasa mendatang, terlebih lagi saat hamil dan melahirkan, selain itu belum
tercapainya target penurunan prevalensi anemia pada remaja yang dicanangkan oleh
pemerintah sejak tahun 2010, yakni sebesar 20%3, membuat penulis tertarik untuk
memilih topik mengenai anemia pada remaja putri dengan batasan usia 17-18 tahun di
SMA Wipama di wilayah kerja Puskesmas Cikupa.
Dalam menyusun dan melaksanakan program kesehatan masyarakat, salah
satu metode yang sering digunakan adalah pendekatan epidemiologi, dalam hal ini
berupa diagnosis komunitas. Diagnosis komunitas diselenggarakan untuk mengetahui
sampai sejauh mana tingkat kesakitan dan permasalahan kesehatan pada masyarakat
terhadap suatu penyakit tertentu dan faktor-faktor apa saja yang ikut mempengaruhi
atau variabel bebas yang ikut berperan dalam menularkan penyakit atau masalah
kesehatan kepada masyarakat dan tindakan apa yang harus dilakukan agar penyakit
atau masalah tersebut tidak menyebar luas menjadi epidemis.4
1.2 TUJUAN

1.2.1 Tujuan Umum :

1. Diturunkannya morbiditas anemia pada remaja putri di wilayah kerja Puskesmas


Kebon Bawang 1

2. Meningkatkan pengetahuan, pola hidup, pola makan pada remaja putri di


wilayah kerja Puskesmas Kebon Bawang 1

1.2.2 Tujuan Khusus :

1. Diketahuinya masalah anemia pada remaja putri di wilayah kerja Puskesmas


Kebon Bawang 1
2. Diketahuinya masalah-masalah penyebab yang menyebabkan tingginya
prevalensi anemia pada remaja putri di wilayah kerja Puskesmas Kebon
Bawang 1
3. Diketahuinya intervensi sebagai alternatif pemecahan masalah

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anemia

2.1.1 Definisi

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin seseorang dalam


darah lebih rendah dari normal. Remaja putri merupakan salah satu kelompok yang
berisiko menderita anemia.4 Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai
penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi
fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.5

Penyebab utama anemia pada wanita adalah asupan zat besi yang kurang,
kehilangan darah secara kronis pada saat persalinan dan kehilangan darah pada masa
haid.6

2.1.2 Kriteria

Nilai batas ambang untuk anemia menurut World Health Organization (WHO)
adalah untuk umur 5-11 tahun <11,5 g/L, 11-14 tahun ≤12,0 g/L, remaja diatas 15
tahun untuk anak perempuan <12,0 g/L dan anak laki-laki <13,0 g/L.1

2.1.3 Prevalensi Anemia

Organisasi WHO menyatakan anemia mempengaruhi 1,62 juta orang di dunia.


Prevalensi anemia bervariasi berdasarkan usia, jenis kelamin dan kondisi fisiologis,
patologis, lingkungan dan sosial ekonomi serta tahap kehidupan. Data Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 melaporkan bahwa prevalensi anemia
defisiensi besi pada remaja putri usia 10-18 tahun sebesar 57,1% dan usia 19-45 tahun
sebesar 39,5%.7

2.1.4 Etiologi dan Klasifikasi

Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam


penyebab. Pada dasarnya, anemia disebabkan oleh karena:

1. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang


2. Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)
3. Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).5

Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis


A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi B12
2. Gangguan penggunaan besi (utilisasi)
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
B. Anemia akibat hemoragi
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD
c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
- Thalassemia
- Hemoglobinopati structural: HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain
D. Anemia dengan penyebab yang tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang
kompleks.5
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik
dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia
dibagi menjadi tiga golongan:

1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV <80 fl dan MCH <27 pg


2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg
3. Anemia makrositer, bila MCV >95 fl.5

Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi

1. Anemia hipokromik mikrositer


a. Anemia defisiensi besi
b. Thalassemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
2. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologic
3. Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastik
- Anemia defisiensi asam folat
- Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
- Anemia pada penyakit hati kronik
- Anemia pada hipotiroidisme
- Anemia pada sindrom mielodisplastik
Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan akan sangat menolong
dalam mengetahui penyebab suatu anemia.5

2.1.5 Patofisiologi dan Gejala Anemia

Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia,
apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun dibawah harga tertentu. Gejala
umum anemia menjadi jelas (anemia simptomatik apabila kadar hemoglobin turun di
bawah 7 g/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada:

a. Derajat penurunan hemoglobin


b. Kecepatan penurunan hemoglobin
c. Usia
d. Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.5

Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu:

1. Gejala umum anemia


Gejala umum anemia, disebut juga sindrom anemia timbul karena iskemia
organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan
kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah
penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7 g/dl). Sindrom anemia
terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, tinnitus, mata berkunang-kunang,
kaki terasa dingin, sesak nafas dan dyspepsia.Pada pemeriksaan, pasien
tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjugtiva, mukosa mulut, telapak
tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik
karena dapat ditimbulkan oleh penyakit diluar anemia dan tidak sensitive
karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7 g/dl).5
2. Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing anemia. Sebagai contoh:

Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis,
dan kuku sendok

Anemia megaloblastik: glositis, gangguan neurologic pada defisiensi
vitamin B12

Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegali

Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi.5
3. Gejala penyakit dasar

Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi
cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak
tangan. Pada kasus tertentu sering terjadi penyakit dasar lebih dominan, seperti
misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena arthritis rheumatoid.5

2.1.6 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam
diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari:
1. Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran
kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat
dipastikan adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat
berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.5
2. Pemeriksaan Darah Seri Anemia
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit,
hitung retikulosit dan laju endap darah.5
3. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat
berharga mengenai keadaan sistem hematopoesis.Pemeriksaan ini dibutuhkan
untuk diagnosis definitif pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum
tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia
megaloblastik, serta pada kelainan hematologik yang dapat mesupresi sistem
eritroid.5
4. Pemeriksaan Khusus

Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada:

 Anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC (total iron binding


capacity), saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum,
reseptor transferin dan pengecatan besi pada sumsum tulang (Perl’s
stain).
 Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi
deoksiuridin dan tes Schiling.
 Anemia hemolitik: bilirubin serum, Coomb test, elektroforesis
hemoglobin dan lain-lain.
 Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang

Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti


misalnya pemeriksaan faal hati, faal ginjal atau faal tiroid.5

2.1.7 Pendekatan Diagnosis Anemia

Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit, (disease


entire), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease).Hal
ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak cukup hanya sampai pada
diagnosis anemia, tetapi sedapat mungkin kita harus dapat menentukan penyakit dasar
yang menyebabkan anemia tersebut.Maka tahap-tahap dalam diagnosis anemia
adalah:


Menentukan adanya anemia

Menentukan jenis anemia

Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia

Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi
hasil pengobatan.5

Terdapat bermacam-macam cara pendekatan diagnosis anemia antara lain


adalah pendekatan tradisional,morfologik, fungsional dan probabilistik serta
pendekatan klinis.5

2.1.8 Pendekatan Terapi

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien
anemia ialah:

1. Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah


ditegakkan terlebih dahulu
2. Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan

3. Pengobatan anemia dapat berupa :


a. Terapi untuk keadaan darurat seperti misanya pada perdarahan akut
akibatanemia aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia pasca
perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik
b. Terapi suportif
c. Terapi yang khas untuk masing-masing anemia
d. Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemi
tersebut.

Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda


gangguan hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika anemia
bersifat simtomatik atau adanya ancaman payah jantung. Di sini diberikan packed red
cell, jangan whole blood. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume
darah, oleh karena itu transfusi diberikan dengan tetesan lambat. Dapat juga diberikan
diuretik kerja cepat seperti furosemid sebelum transfuse.5

2.1.9 Akibat Anemia pada Remaja

Prevalensi anemia yang tinggi dapat membawa akibat negatif berupa


gangguan dan hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak dan
kekurangan Hb dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen yang
dibawa/ditransfer ke sel tubuh maupun ke otak.Hal ini dapat mempengaruhi perhatian,
persepsi, konsentrasi, dan prestasi belajar. Akibat jangka panjang anemia defisiensi
besi ini pada remaja putri adalah apabila remaja putri nantinya hamil, maka ia tidak
akan mampu memenuhi zat-zat gizi bagi dirinya dan juga janin dalam kandungannya
serta pada masa kehamilannya anemia ini dapat meningkatkan frekuensi komplikasi,
resiko kematian maternal, angka prematuritas, BBLR, dan angka kematian perinatal.
Sehingga untuk mencegah kejadian anemia defisiensi besi, maka remaja putri perlu
dibekali dengan pengetahuan tentang anemia defisiensi besi itu sendiri.5

2.2 Faktor-faktor penyebab/ risiko yang berhubungan dengan anemia


Gambar 1. Faktor-faktor penyebab atau risiko anemia

Anda mungkin juga menyukai