Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan oleh infeksi

sistemik Salmonella Thypi. Prevalens 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun,

kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Salmonella Thypi merupakan kuman gram negative,

motil dan tidak menghasilkan spora. Kuman ini dapat hidup baik pada suhu tubuh manusia maupun

suhu yang sedikit lebih rendah, serta mati pada suhu 70C ataupun oleh antiseptic. Salmonella

Thypi mempunyai 3 macam antigen yaitu :

 Antigen O = Ohne Hauch = antigen somatic (tidak menyebar)

 Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil

 Antigen VI = kapsul = merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi

antigen O terhadap fagositosis

Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan pembentukan tiga macam

antibodi yang lazim disebut aglutinin.

Kuman Salmonella masuk bersama makanan/minuman. Setelah berada dalam usus halus,

kuman mengadakan invasi ke jaringan limfosid usus halus (terutama plak peyer) dan jaringan

limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrosis setempat, kuman lewat

pembuluh limfe masuk ke darah (bacteremia primer) menuju organ retikuloendotelial system

(RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini, kuman kembali masuk ke darah, menyebar ke

seluruh tubuh (bacteremia sekunder), dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa,

kandung empedu yang selanjutnya dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan

menyebabkan reinfeksi di usus.

Dalam masa bacteremia, kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya sama

dengan antigen somatic (lipopolisakarida) yang awalnya diduga bertanggung jawab terhadap

terjadinya gejala-gejala dari demam tifoid. Pada penelitian lebih lanjut ternyata endotoksin hanya

mempunya peranan membantu proses peradangan local. Pada keadaan tersebut kuman ini

berkembang.

Sampai saat ini, demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang disebabkan oleh

kesehatan lingkungan yang kurang memadai, penyediaan air minum yang tidak memenuhi syarat,

serta tingkat social ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat yang kurang. Walaupun

1
pengobatan demam tifoid tidak terlalu menjadi masalah, namun diagnosis kadang-kadang menjadi

masalah, terutama di tempat yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan kuman maupun pemeriksaan

laboratorium penunjang sehingga pengenalan gejala klinis menjadi sangat penting untuk

membantu diagnosis. Berikut ini disajikan kasus demam tifoid pada anak.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS
Nama : An. JT
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 9 tahun 11 bulan
Tanggal lahir : 21 Februari 2003
Jenis persalinan : Spontan letak belakang kepala
BBL : 3500 gr

Nama ibu : C.T Nama Ayah : E.T


Umur : 34 tahun Umur : 46 tahun
Pendidikan : S1 Pendidikan : S1
Pekerjaan : PNS Pekerjaan : Swasta
Alamat : Teling Atas
Agama : Kr. Protestan
Kebangsaan : Indonesia
Suku bangsa : Minahasa
Family tree

ANAMNESIS
Keluhan utama :
Demam sejak ± 7 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat penyakit sekarang :


Demam dialami oleh penderita sejak ± 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Panas terutama
timbul saat sore dan malam hari. Panas turun dengan obat penurun panas tidak sampai normal pada
perabaan, kemudian panas naik lagi. Perdarahan hidung tidak ada, perdarahan gusi tidak ada. Panas
disertai menggigil walaupun tidak selalu. Riwayat kejang sewaktu demam disangkal. Nyeri kepala
ada, berkeringat banyak ada. Nyeri saat menelan ada. Nyeri perut ada. Mual ada tidak disertai
dengan muntah. Batuk tidak ada, sesak tidak ada. Nafsu makan penderita menurun sejak sakit.
Buang air besar terakhir 3 hari yang lalu. Riwayat diare disangkal penderita. Buang air kecil biasa.
3
Anamnesis antenatal :
Pemeriksaan ANC tidak teratur di bidan sebanyak 5 kali
Imunisasi TT 2 kali
Selama hamil ibu penderita sehat

Penyakit yang sudah pernah dialami :


Morbili :-
Varicella :+
Pertusis :-
Cacingan :-
Batuk/pilek :+
Lain-lain :-

Kepandaian dan kemajuan bayi :


Pertama kali membalik : 4 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 4 bulan
Merangkak : 6 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 11 bulan
Tertawa : 5 bulan
Memanggil mama : 10 bulan
Memanggil papa : 10 bulan

Imunisasi
Dasar : BCG : 1x
Polio : 3x
DPT : 3x
Campak : 1x
Hepatitis : 3x

Riwayat keluarga :
Dalam keluarga hanya penderita yang menderita sakit seperti ini

Keadaan sosial, ekonomi dan lingkungan :


Penderita tinggal dirumah beratap seng, berdinding beton, dan berlantai tehel. Jumlah kamar 4
buah, dihuni oleh 7 orang, terdiri dari 4 orang dewasa dan 3 orang anak. KM/WC 2 buah didalam
rumah. Sumber air minum isi ulang. Sumber penerangan PLN. Penanganan sampah dibuang.

4
PEMERIKSAAN FISIK
TB : 132 cm
BB : 26 kg
Status Gizi : baik
Keadaan umum : tampak sakit
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 92 x/menit
Respirasi : 28 x/menit
Suhu : 38.0C

Kulit
Warna : sawo matang
Efloresensi : -
Pigmentasi : -
Turgor : kembali cepat
Tonus : normal
Oedema :-
Kepala
Bentuk : mesocephal
Rambut : hitam tidak mudah dicabut
Ubun-ubun besar : menutup
Mata :
Exophtalmus/endophtalmus : -
Tekanan bola mata : normal pada perabaan
Konjungtiva : anemis (-)
Sclera : ikterik (-)
Korneal refleks : normal
Pupil : bulat isokor  3mm – 3mm
Gerakan : normal
Telinga : secret (-)
Hidung : secret (-)
Mulut :
Bibir : sianosis (-)
Lidah : beslag
Gigi : caries (-)
Selaput mulut : basah
Gusi : perdarahan (-)
Tenggorokan :
Tonsil : T1-T1 hiperemis (-)
Faring : hiperemis

5
Leher :
Trakea : letak tengah
Kelenjar : pembesaran (-)
Kaku kuduk : (-)
Thoraks
Bentuk : simetris
Retraksi : (-)
Paru-paru :
Inspeksi : simetris kiri = kanan, retraksi (-)
Palpasi : stem fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor kiri = kanan
Auskultasi : sp. Bronkovesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
Detak jantung : 92 x/menit
Iktus kordis : tidak tampak
Batas kiri : linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : linea parasternalis dextra
Batas atas : ICS II-III
Bising : (-)
Abdomen
Bentuk : datar, lemas, bising usus (+) meningkat
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Genetalia : laki-laki normal
Kelenjar : pembesaran (-)
Anggota gerak : hangat, CRT < 2”, rumple leed (-)
Refleks : refleks fisiologis +/+
Refleks patologis -/-

Resume masuk :
Seorang anak laki-laki, umur 9 tahun 11 bulan, BB : 26 kg, TB : 132 cm, masuk rumah sakit
tanggal 27 Januari 2018 jam 20.00 WITA, dengan keluhan panas sejak 7 hari sebelum masuk
rumah sakit. Nyeri kepala ada. Nyeri menelan ada. Nyeri perut dan mual dirasakan penderita.
Napsu makan penderita menurun semenjak sakit. Buang air besar terakhir 3 hari yang lalu.

Keadaan umum : tampak sakit


Kesadaran : compos mentis
Status Gizi : baik
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 92 x/menit
Pernapasan : 28 x/menit
Suhu badan : 38C

6
Kepala : coj.an (-), skl.ikt (-)
Pupil bulat isokor  3mm-3mm
Mulut : lidah beslag
THT : T1-T1 hiperemis (-)
Faring hiperemis (+)
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Cor : BJ I – BJ II normal, bising (-)
Pulmo : Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : datar, lemas, BU (+) meningkat, turgor kembali cepat
Hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2”
Rumple leed (-)

DIAGNOSIS
Observasi febris H-7 ec. Demam Tifoid
Faringitis

TERAPI
Tirah baring
IVFD RL  46 gtt/m (mikro)
Injeksi kloramfenikol 4 x 350 mg IV (H1)
Injeksi Amoxicilin 3 x 500 mg IV (H1)
Paracetamol syrup 3 x 1¼ cth
Antasida syrup 3 x 1½ cth
Observasi tanda komplikasi

Pro : DL, WIDAL

Hasil pemeriksaan penunjang :


WIDAL : Typhi H : 1/320
Typhi O : 1/320
Paratyphi B O : 1/160
Paratyphi C O : 1/320
DL : Hematokrit : 32,4 %
Hemoglobin : 11,1 mg/dL
Eritrosit : 4,22 x 106 mm3
Leukosit : 27.000 mm3
Trombosit : 484.000 mm3

7
Follow up
28 Januari 2018
S : Panas (-), intake (+)
O : Keadaan umum : tampak sakit Kesadaran : compos mentis
T : 90/60 mmHg R : 24 x/menit
N : 96 x/menit S : 37C
Kepala : conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Lidah beslag (+) berkurang
THT : Tonsil T1-T1 hiperemis (-)
Faring hiperemis (+)
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I-II normal, bising (-)
Paru : Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal
Hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT ≤ 2”
A : Demam Tifoid + Faringitis + Suspek Infeksi Bakterial Akut
P : Tirah baring
IVFD RL  46 gtt/m (mikro)
Injeksi kloramfenikol 4 x 350 mg IV (H2)
Injeksi Amoxicilin 3 x 500 mg IV (H2)
Paracetamol syrup 3 x 1¼ cth
Antasida syrup 3 x 1½ cth
Observasi tanda komplikasi

29 Januari 2018
S : Panas (-), intake (+)
O : Keadaan umum : tampak sakit Kesadaran : compos mentis
T : 90/60 mmHg R : 24 x/menit
N : 96 x/menit S : 37C
Kepala : conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Lidah beslag (+) berkurang
THT : Tonsil T1-T1 hiperemis (-)
Faring hiperemis (+)
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I-II normal, bising (-)
Paru : Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal
Hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT ≤ 2”
A : Demam Tifoid + Faringitis + Suspek Infeksi Bakterial Akut

8
P : Tirah baring
IVFD RL  46 gtt/m (mikro)
Injeksi kloramfenikol 4 x 350 mg IV (H3)
Injeksi Amoxicilin 3 x 500 mg IV (H3)
Paracetamol syrup 3 x 1¼ cth
Antasida syrup 3 x 1½ cth
Observasi tanda komplikasi

30 Januari 2018
S : Panas (+), batuk (+), intake (+)
O : Keadaan umum : tampak sakit Kesadaran : compos mentis
T : 90/60 mmHg R : 28 x/menit
N : 112 x/menit S : 38,8C
Kepala : conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Lidah beslag (-)
THT : Tonsil T1-T1 hiperemis (-)
Faring hiperemis (+)
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I-II normal, bising (-)
Paru : Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal
Hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT ≤ 2”
A : Demam Tifoid + Faringitis + Suspek Infeksi Bakterial Akut
P : Tirah baring
IVFD RL  46 gtt/m (mikro)
Injeksi kloramfenikol 4 x 350 mg IV (H4) Ganti Injeksi Ceftriaxone 2 x 700 mg
Injeksi Amoxicilin 3 x 500 mg IV (H4) IV (H1) ST
Paracetamol syrup 3 x 1¼ cth
Antasida syrup 3 x 1½ cth
Ambroxol syrup 3 x ½ cth
Observasi tanda komplikasi
Pro : DL, DDR
Hasil pemeriksaan penunjang :
DDR : Malaria (-)
Darah lengkap : Hematokrit : 33,1%
Hemoglobin : 10,6 mg/dL
Eritrosit : 4,29 x 106 mm3
Leukosit : 18.100 mm3
Trombosit : 420.000 mm3

9
31 Januari 2018
S : Panas (-), batuk (+) berkurang, intake (+)
O : Keadaan umum : tampak sakit Kesadaran : compos mentis
T : 90/60 mmHg R : 24 x/menit
N : 88 x/menit S : 36,1C
Kepala : conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Lidah beslag (-)
THT : Tonsil T1-T1 hiperemis (-)
Faring hiperemis (-)
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I-II normal, bising (-)
Paru : Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal
Hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT ≤ 2”
A : Demam Tifoid + Faringitis + Infeksi Bakterial Akut
P : Tirah baring
IVFD RL  46 gtt/m (mikro)
Injeksi Ceftriaxone 2 x 700 mg IV (H2)
Paracetamol syrup 3 x 1¼ cth
Ambroxol syrup 3 x ½ cth
Observasi tanda komplikasi

01 Februari 2018
S : Panas (-) 2 hari, intake (+)
O : Keadaan umum : tampak sakit Kesadaran : compos mentis
T : 90/60 mmHg R : 24 x/menit
N : 75 x/menit S : 36,5C
Kepala : conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Lidah beslag (-)
THT : Tonsil T1-T1 hiperemis (-)
Faring hiperemis (-)
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I-II normal, bising (-)
Paru : Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal
Hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT ≤ 2”
A : Demam Tifoid + Faringitis + Infeksi Bakterial Akut
P : Tirah baring
AFF infus

10
Ganti Injeksi Ceftriaxone 2 x 700 mg IV (H3)  ganti Cefixime 2 x 70 mg
Paracetamol syrup 3 x 1¼ cth (k/p)
Ambroxol syrup 3 x ½ cth (k/p)
Observasi tanda komplikasi

02 Februari 2018
S : Panas (-) 3 hari, batuk (-), intake (+)
O : Keadaan umum : tampak sakit Kesadaran : compos mentis
T : 90/60 mmHg R : 24 x/menit
N : 80 x/menit S : 36,2C
Kepala : conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Lidah beslag (-)
THT : Tonsil T1-T1 hiperemis (-)
Faring hiperemis (-)
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I-II normal, bising (-)
Paru : Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal
Hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT ≤ 2”
A : Demam Tifoid + Faringitis + Infeksi Bakterial Akut
P : Cefixime 2 x 70 mg
Paracetamol syrup 3 x 1¼ cth (k/p)
Ambroxol 3 x ½ cth (k/p)
Rawat jalan
Kontrol Poli Anak

11
BAB III
PEMBAHASAN

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh

Salmonella typhi. Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai

negara yang sedang berkembang. Besarnya angka pasti demam tifoid di dunia ini sangat sukar di

tentukan, sebab penyakit ini di kenal memiliki gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas.

Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun

di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19 tahun

mencapai 91% kasus.

Laporan kasus ini membahas tentang seorang anak laki-laki, umur 9 tahun 11 bulan, BB

: 26 kg, TB : 132 cm, masuk rumah sakit tanggal 27 Januari 2018 jam 20.00 WITA, dengan keluhan

panas sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit dengan diagnosis kerja observasi febris H-7 ec.

demam tifoid. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang.

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau tyfoid fever. Demam tifoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau

tanpa gangguan kesadaran. Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke dalam tubuh

manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam

lambung dan sebagian masuk lagi ke usus halus dan berkembang biak.

Bila respon imunitas mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel

epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia, kuman berkembang biak

dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke

kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di

dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang

asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di

organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel

atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan

bakterimia yang ke dua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik,

seperti demam, malaise, myalgia, sakit kepala dan sakit perut.


12
Semua penderita demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era

sebelum pemakaian antibiotik, penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah

khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidious,

kemudian naik bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama.

Demam kemudian akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara lisis

kecuali bila terjadi fokus infeksi. Banyak orang tua penderita demam tifoid melaporkan demam

lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan pagi hari. Pada penderita juga ditemukan hal

yang sama dimana demam ditemukan lebih tinggi pada sore dan malam hari serta tidak turun

sampai normal setelah minum obat penurun panas. Penderita telah mengalami demam selama 7

hari sebelum masuk rumah sakit.

Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Penderita dapat

mengeluh diare atau obstipasi kemudian disusul episode diare. Pada sebagian pasien termasuk

penderita ini terdapat lidah kotor dengan putih ditengah sedangkan ujung dan tepi lidah

kemerahan. Panderita juga mengeluh nyeri perut dan mual. Terdapat pula gejala konstipasi dimana

penderita belum BAB sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.

Diagnosis pasti demam tifoid adalah dengan melakukan isolasi Salmonella typhi dari

darah. Pada 2 minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi Salmonella typhi dari dalam darah

penderita lebih besar daripada minggu berikutnya. Biakan specimen yang berasal dari sum-sum

tulang mempunyai sensitivitas tertinggi namun karena bersifat invasive maka tidak dapat dipakai

dalam praktek sehari-hari.

Uji serologi widal memeriksa antibody aglutinasi terhadap antigen somatic (O), flagella

(H), banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia, pengambilan angka

titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan menggunakan uji widal slide agglutination menunjukkan nilai

ramal positif 96%. Aglutinin H banyak dihubungkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau. Pada penderita ini didapatkan angka titer H aglutinin : 1/320 dan titer O aglutinin : 1/320.

Prinsip uji widal adalah memeriksa reaksi antara antibody aglutinin dalam serum penderita yang

telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatic (O) dan flagella (H) yang

ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang

masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibody dalam serum.

Intepretasi dari uji widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas,

spesifisitas, stadium penyakit; factor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat

13
mempengaruhi pembentukan antibody; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah

endemis atau non endemis); factor antigen; teknik serta reagen yang digunakan. Kelemahan uji

widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil

membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji

widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda

infeksi)

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (uji widal) maka

penderita di diagnosis dengan demam tifoid. Faringitis merupakan penyakit yang sering terjadi,

dapat disebabkan oleh virus dan bakteri. Pada awal penyakit biasanya penderita mengeluh adanya

rasa kering dan gatal pada tenggorokan serta anoreksia. Suhu badan sedikit meningkat dan eksudat

pada faring menebal. Keparauan dan nyeri menelan dapat ditemukan pada tahap lanjut.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah biakan usap tenggorok untuk mengetahui

jenis bakteri yang menyebabkan infeksi. Diagnosis faringitis pada penderita ini didasarkan oleh

anamnesa dimana penderita mengeluh adanya nyeri menelan dan pada pemeriksaan fisik

didapatkan faring hiperemis.

Pada pemeriksaan darah tepi pada penderita demam tifoid dapt ditemukan adanya anemia

karena supresi sum-sum tulang, defisiensi Fe ataupun perdarahan gastrointestinal. Leukopenia

juga dapat ditemukan namun tidak lebih dari 3000/ul, limfositosis relative serta adanya

trombositopenia terutama pada demam tifoid berat. Namun pada penderita ini ditemukan adanya

peningkatan leukosit yang kemungkinan berasal dari infeksi faring. Pemeriksaan darah lengkap

ditemukan leukosit 27.000 mm3 sehingga didiagnosis menjadi infeksi bacterial akut.

Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi

yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk

kasus berat harus di rawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit, dan nutrisi disamping

observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama. Penggunaan antibiotic

merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya pathogenesis Salmonella typhi berhubungan

dengan keadaan bakteriemia.

Makanan yang harus diberikan pada penderita demam tifoid adalah diet yang rendah serat

pada penderita tanpa meteorismus (perut kembung) dan pemberian bubur saring pada penderita

dengan meteorismus. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya perdarahan saluran cerna

dan perforasi usus. Gizi penderita juga diperhatikan untuk perbaikan keadaan umum dan

14
mempercepat penyembuhan. Cairan yang adekuat perlu diberikan untuk mencegah dehidrasi

karena muntah maupun diare.

Kloramfenikol masih merupakan pilihan yang pertama pada penderita demam tifoid.

Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Kloramfenikol umumnya

bersifat bakteriostatik. Dosis yang diberikan adalah 50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali

pemberian selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun. Efek samping yang dapat

ditimbulkan obat ini adalah adanya reaksi hematologi dengan manifestasi depresi sum-sum tulang.

Pada saluran cerna bermanifestasi menjadi mual, muntah, glositis diare dan enterokolitis. Dapat

pula menimbulkan sindrom gray pada neonates premature dengan dosis yang tinggi. Salah satu

kelemahan kloramfenikol adalah tingginya angka relaps dan karier namun pada anak hal tersebut

jarang dilaporkan.

Pada penderita juga diberikan amoxicillin injeksi dengan dosis 40mg/kgBB/hari di bagi

dalam 3 dosis. Untuk strain yang resisten umumnya rentan terhadap sefalosporin generasi ketiga.

Pada penderita ini diberikan ceftriaxone injeksi 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.

Kloramfenikol dan amoxicillin diganti dengan ceftriaxone karena setelah pemberian

kloramfenikol dan amoxicillin selama 4 hari pasien masih ditemukan demam. Untuk antipiretik

diberikan paracetamol syrup 3 kali sehari. Ceftriaxone kemudian diganti dengan cefixime yang

juga merupakan golongan sefalosporin generasi ke 3 dengan sediaan oral.

Prognosis demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya

dan ada tidaknya komplikasi. Munculnya komplikasi seperti perfoasi gastrointestinal atau

perdarahan hebat, meningitis, endocarditis dan pneumonia mengakibatkan mortalitas dan

morbiditas tinggi. Pasien dapat dipulangkan bila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik,

napsu makan membaik, klinis perbaikan dan tidak dijumpai komplikasi.

15
BAB IV
PENUTUP

Secara umum untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi, maka setiap

individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi.

Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57C untuk beberapa menit.

Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air

dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat individu terhadap hygiene pribadi.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo S, dkk., demam tifoid, buku ajar infeksi dan pediatri tropis, edisi ke-2, Jakarta:

bagian ilmu kesehatan anak FKUI, 2012. 3; 338-346.

2. Rampengan T.H.R, demam tifoid, penyakit infeksi tropik pada anak edisi 2, Jakarta: EGC,

2008

3. Ersty A, Diagnosis dan penatalaksanaan demam tifoid,

http://www.ersty.blogspot.com/2011/03/diagnosis-dan-penatalaksanaan-demam.html.

4. Demam tifoid. Dalam : Pedoman Pelayanan Medis : Kesehatan anak, 2015: 201-204

5. Gunawan S.G, golongan tetrasiklin dan kloramfenikol, farmakologi dan terapi, edisi 5,

Jakarta: departemen farmakologi dan terapeutik fakultas kedokteran universitas Indonesia

2016. 43 :694-704

6. Pawitro UE, NoorvitryM, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed. Ilmu

Penyakit Anak : Diagnosis dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2014: 1-

43

7. Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment and

prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2005; 7-18

17

Anda mungkin juga menyukai