Word Demam Tifoid
Word Demam Tifoid
PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan oleh infeksi
sistemik Salmonella Thypi. Prevalens 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun,
kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Salmonella Thypi merupakan kuman gram negative,
motil dan tidak menghasilkan spora. Kuman ini dapat hidup baik pada suhu tubuh manusia maupun
suhu yang sedikit lebih rendah, serta mati pada suhu 70C ataupun oleh antiseptic. Salmonella
Antigen VI = kapsul = merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi
Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan pembentukan tiga macam
Kuman Salmonella masuk bersama makanan/minuman. Setelah berada dalam usus halus,
kuman mengadakan invasi ke jaringan limfosid usus halus (terutama plak peyer) dan jaringan
limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrosis setempat, kuman lewat
pembuluh limfe masuk ke darah (bacteremia primer) menuju organ retikuloendotelial system
(RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini, kuman kembali masuk ke darah, menyebar ke
seluruh tubuh (bacteremia sekunder), dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa,
kandung empedu yang selanjutnya dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan
Dalam masa bacteremia, kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya sama
dengan antigen somatic (lipopolisakarida) yang awalnya diduga bertanggung jawab terhadap
terjadinya gejala-gejala dari demam tifoid. Pada penelitian lebih lanjut ternyata endotoksin hanya
mempunya peranan membantu proses peradangan local. Pada keadaan tersebut kuman ini
berkembang.
Sampai saat ini, demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang disebabkan oleh
kesehatan lingkungan yang kurang memadai, penyediaan air minum yang tidak memenuhi syarat,
serta tingkat social ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat yang kurang. Walaupun
1
pengobatan demam tifoid tidak terlalu menjadi masalah, namun diagnosis kadang-kadang menjadi
masalah, terutama di tempat yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan kuman maupun pemeriksaan
laboratorium penunjang sehingga pengenalan gejala klinis menjadi sangat penting untuk
membantu diagnosis. Berikut ini disajikan kasus demam tifoid pada anak.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama : An. JT
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 9 tahun 11 bulan
Tanggal lahir : 21 Februari 2003
Jenis persalinan : Spontan letak belakang kepala
BBL : 3500 gr
ANAMNESIS
Keluhan utama :
Demam sejak ± 7 hari sebelum masuk rumah sakit
Imunisasi
Dasar : BCG : 1x
Polio : 3x
DPT : 3x
Campak : 1x
Hepatitis : 3x
Riwayat keluarga :
Dalam keluarga hanya penderita yang menderita sakit seperti ini
4
PEMERIKSAAN FISIK
TB : 132 cm
BB : 26 kg
Status Gizi : baik
Keadaan umum : tampak sakit
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 92 x/menit
Respirasi : 28 x/menit
Suhu : 38.0C
Kulit
Warna : sawo matang
Efloresensi : -
Pigmentasi : -
Turgor : kembali cepat
Tonus : normal
Oedema :-
Kepala
Bentuk : mesocephal
Rambut : hitam tidak mudah dicabut
Ubun-ubun besar : menutup
Mata :
Exophtalmus/endophtalmus : -
Tekanan bola mata : normal pada perabaan
Konjungtiva : anemis (-)
Sclera : ikterik (-)
Korneal refleks : normal
Pupil : bulat isokor 3mm – 3mm
Gerakan : normal
Telinga : secret (-)
Hidung : secret (-)
Mulut :
Bibir : sianosis (-)
Lidah : beslag
Gigi : caries (-)
Selaput mulut : basah
Gusi : perdarahan (-)
Tenggorokan :
Tonsil : T1-T1 hiperemis (-)
Faring : hiperemis
5
Leher :
Trakea : letak tengah
Kelenjar : pembesaran (-)
Kaku kuduk : (-)
Thoraks
Bentuk : simetris
Retraksi : (-)
Paru-paru :
Inspeksi : simetris kiri = kanan, retraksi (-)
Palpasi : stem fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor kiri = kanan
Auskultasi : sp. Bronkovesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
Detak jantung : 92 x/menit
Iktus kordis : tidak tampak
Batas kiri : linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : linea parasternalis dextra
Batas atas : ICS II-III
Bising : (-)
Abdomen
Bentuk : datar, lemas, bising usus (+) meningkat
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Genetalia : laki-laki normal
Kelenjar : pembesaran (-)
Anggota gerak : hangat, CRT < 2”, rumple leed (-)
Refleks : refleks fisiologis +/+
Refleks patologis -/-
Resume masuk :
Seorang anak laki-laki, umur 9 tahun 11 bulan, BB : 26 kg, TB : 132 cm, masuk rumah sakit
tanggal 27 Januari 2018 jam 20.00 WITA, dengan keluhan panas sejak 7 hari sebelum masuk
rumah sakit. Nyeri kepala ada. Nyeri menelan ada. Nyeri perut dan mual dirasakan penderita.
Napsu makan penderita menurun semenjak sakit. Buang air besar terakhir 3 hari yang lalu.
6
Kepala : coj.an (-), skl.ikt (-)
Pupil bulat isokor 3mm-3mm
Mulut : lidah beslag
THT : T1-T1 hiperemis (-)
Faring hiperemis (+)
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Cor : BJ I – BJ II normal, bising (-)
Pulmo : Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : datar, lemas, BU (+) meningkat, turgor kembali cepat
Hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2”
Rumple leed (-)
DIAGNOSIS
Observasi febris H-7 ec. Demam Tifoid
Faringitis
TERAPI
Tirah baring
IVFD RL 46 gtt/m (mikro)
Injeksi kloramfenikol 4 x 350 mg IV (H1)
Injeksi Amoxicilin 3 x 500 mg IV (H1)
Paracetamol syrup 3 x 1¼ cth
Antasida syrup 3 x 1½ cth
Observasi tanda komplikasi
7
Follow up
28 Januari 2018
S : Panas (-), intake (+)
O : Keadaan umum : tampak sakit Kesadaran : compos mentis
T : 90/60 mmHg R : 24 x/menit
N : 96 x/menit S : 37C
Kepala : conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Lidah beslag (+) berkurang
THT : Tonsil T1-T1 hiperemis (-)
Faring hiperemis (+)
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I-II normal, bising (-)
Paru : Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal
Hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT ≤ 2”
A : Demam Tifoid + Faringitis + Suspek Infeksi Bakterial Akut
P : Tirah baring
IVFD RL 46 gtt/m (mikro)
Injeksi kloramfenikol 4 x 350 mg IV (H2)
Injeksi Amoxicilin 3 x 500 mg IV (H2)
Paracetamol syrup 3 x 1¼ cth
Antasida syrup 3 x 1½ cth
Observasi tanda komplikasi
29 Januari 2018
S : Panas (-), intake (+)
O : Keadaan umum : tampak sakit Kesadaran : compos mentis
T : 90/60 mmHg R : 24 x/menit
N : 96 x/menit S : 37C
Kepala : conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Lidah beslag (+) berkurang
THT : Tonsil T1-T1 hiperemis (-)
Faring hiperemis (+)
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I-II normal, bising (-)
Paru : Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal
Hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT ≤ 2”
A : Demam Tifoid + Faringitis + Suspek Infeksi Bakterial Akut
8
P : Tirah baring
IVFD RL 46 gtt/m (mikro)
Injeksi kloramfenikol 4 x 350 mg IV (H3)
Injeksi Amoxicilin 3 x 500 mg IV (H3)
Paracetamol syrup 3 x 1¼ cth
Antasida syrup 3 x 1½ cth
Observasi tanda komplikasi
30 Januari 2018
S : Panas (+), batuk (+), intake (+)
O : Keadaan umum : tampak sakit Kesadaran : compos mentis
T : 90/60 mmHg R : 28 x/menit
N : 112 x/menit S : 38,8C
Kepala : conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Lidah beslag (-)
THT : Tonsil T1-T1 hiperemis (-)
Faring hiperemis (+)
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I-II normal, bising (-)
Paru : Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal
Hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT ≤ 2”
A : Demam Tifoid + Faringitis + Suspek Infeksi Bakterial Akut
P : Tirah baring
IVFD RL 46 gtt/m (mikro)
Injeksi kloramfenikol 4 x 350 mg IV (H4) Ganti Injeksi Ceftriaxone 2 x 700 mg
Injeksi Amoxicilin 3 x 500 mg IV (H4) IV (H1) ST
Paracetamol syrup 3 x 1¼ cth
Antasida syrup 3 x 1½ cth
Ambroxol syrup 3 x ½ cth
Observasi tanda komplikasi
Pro : DL, DDR
Hasil pemeriksaan penunjang :
DDR : Malaria (-)
Darah lengkap : Hematokrit : 33,1%
Hemoglobin : 10,6 mg/dL
Eritrosit : 4,29 x 106 mm3
Leukosit : 18.100 mm3
Trombosit : 420.000 mm3
9
31 Januari 2018
S : Panas (-), batuk (+) berkurang, intake (+)
O : Keadaan umum : tampak sakit Kesadaran : compos mentis
T : 90/60 mmHg R : 24 x/menit
N : 88 x/menit S : 36,1C
Kepala : conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Lidah beslag (-)
THT : Tonsil T1-T1 hiperemis (-)
Faring hiperemis (-)
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I-II normal, bising (-)
Paru : Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal
Hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT ≤ 2”
A : Demam Tifoid + Faringitis + Infeksi Bakterial Akut
P : Tirah baring
IVFD RL 46 gtt/m (mikro)
Injeksi Ceftriaxone 2 x 700 mg IV (H2)
Paracetamol syrup 3 x 1¼ cth
Ambroxol syrup 3 x ½ cth
Observasi tanda komplikasi
01 Februari 2018
S : Panas (-) 2 hari, intake (+)
O : Keadaan umum : tampak sakit Kesadaran : compos mentis
T : 90/60 mmHg R : 24 x/menit
N : 75 x/menit S : 36,5C
Kepala : conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Lidah beslag (-)
THT : Tonsil T1-T1 hiperemis (-)
Faring hiperemis (-)
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I-II normal, bising (-)
Paru : Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal
Hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT ≤ 2”
A : Demam Tifoid + Faringitis + Infeksi Bakterial Akut
P : Tirah baring
AFF infus
10
Ganti Injeksi Ceftriaxone 2 x 700 mg IV (H3) ganti Cefixime 2 x 70 mg
Paracetamol syrup 3 x 1¼ cth (k/p)
Ambroxol syrup 3 x ½ cth (k/p)
Observasi tanda komplikasi
02 Februari 2018
S : Panas (-) 3 hari, batuk (-), intake (+)
O : Keadaan umum : tampak sakit Kesadaran : compos mentis
T : 90/60 mmHg R : 24 x/menit
N : 80 x/menit S : 36,2C
Kepala : conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Lidah beslag (-)
THT : Tonsil T1-T1 hiperemis (-)
Faring hiperemis (-)
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I-II normal, bising (-)
Paru : Sp. Bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal
Hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT ≤ 2”
A : Demam Tifoid + Faringitis + Infeksi Bakterial Akut
P : Cefixime 2 x 70 mg
Paracetamol syrup 3 x 1¼ cth (k/p)
Ambroxol 3 x ½ cth (k/p)
Rawat jalan
Kontrol Poli Anak
11
BAB III
PEMBAHASAN
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai
negara yang sedang berkembang. Besarnya angka pasti demam tifoid di dunia ini sangat sukar di
tentukan, sebab penyakit ini di kenal memiliki gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas.
di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19 tahun
Laporan kasus ini membahas tentang seorang anak laki-laki, umur 9 tahun 11 bulan, BB
: 26 kg, TB : 132 cm, masuk rumah sakit tanggal 27 Januari 2018 jam 20.00 WITA, dengan keluhan
panas sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit dengan diagnosis kerja observasi febris H-7 ec.
demam tifoid. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau tyfoid fever. Demam tifoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau
tanpa gangguan kesadaran. Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke dalam tubuh
manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung dan sebagian masuk lagi ke usus halus dan berkembang biak.
Bila respon imunitas mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel
epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia, kuman berkembang biak
dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di
organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel
atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan
bakterimia yang ke dua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik,
sebelum pemakaian antibiotik, penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah
khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidious,
kemudian naik bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama.
Demam kemudian akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara lisis
kecuali bila terjadi fokus infeksi. Banyak orang tua penderita demam tifoid melaporkan demam
lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan pagi hari. Pada penderita juga ditemukan hal
yang sama dimana demam ditemukan lebih tinggi pada sore dan malam hari serta tidak turun
sampai normal setelah minum obat penurun panas. Penderita telah mengalami demam selama 7
Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Penderita dapat
mengeluh diare atau obstipasi kemudian disusul episode diare. Pada sebagian pasien termasuk
penderita ini terdapat lidah kotor dengan putih ditengah sedangkan ujung dan tepi lidah
kemerahan. Panderita juga mengeluh nyeri perut dan mual. Terdapat pula gejala konstipasi dimana
Diagnosis pasti demam tifoid adalah dengan melakukan isolasi Salmonella typhi dari
darah. Pada 2 minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi Salmonella typhi dari dalam darah
penderita lebih besar daripada minggu berikutnya. Biakan specimen yang berasal dari sum-sum
tulang mempunyai sensitivitas tertinggi namun karena bersifat invasive maka tidak dapat dipakai
Uji serologi widal memeriksa antibody aglutinasi terhadap antigen somatic (O), flagella
(H), banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia, pengambilan angka
titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan menggunakan uji widal slide agglutination menunjukkan nilai
ramal positif 96%. Aglutinin H banyak dihubungkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau. Pada penderita ini didapatkan angka titer H aglutinin : 1/320 dan titer O aglutinin : 1/320.
Prinsip uji widal adalah memeriksa reaksi antara antibody aglutinin dalam serum penderita yang
telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatic (O) dan flagella (H) yang
ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang
Intepretasi dari uji widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas,
spesifisitas, stadium penyakit; factor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat
13
mempengaruhi pembentukan antibody; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah
endemis atau non endemis); factor antigen; teknik serta reagen yang digunakan. Kelemahan uji
widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil
membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji
widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda
infeksi)
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (uji widal) maka
penderita di diagnosis dengan demam tifoid. Faringitis merupakan penyakit yang sering terjadi,
dapat disebabkan oleh virus dan bakteri. Pada awal penyakit biasanya penderita mengeluh adanya
rasa kering dan gatal pada tenggorokan serta anoreksia. Suhu badan sedikit meningkat dan eksudat
pada faring menebal. Keparauan dan nyeri menelan dapat ditemukan pada tahap lanjut.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah biakan usap tenggorok untuk mengetahui
jenis bakteri yang menyebabkan infeksi. Diagnosis faringitis pada penderita ini didasarkan oleh
anamnesa dimana penderita mengeluh adanya nyeri menelan dan pada pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan darah tepi pada penderita demam tifoid dapt ditemukan adanya anemia
juga dapat ditemukan namun tidak lebih dari 3000/ul, limfositosis relative serta adanya
trombositopenia terutama pada demam tifoid berat. Namun pada penderita ini ditemukan adanya
peningkatan leukosit yang kemungkinan berasal dari infeksi faring. Pemeriksaan darah lengkap
ditemukan leukosit 27.000 mm3 sehingga didiagnosis menjadi infeksi bacterial akut.
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi
yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk
kasus berat harus di rawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit, dan nutrisi disamping
observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama. Penggunaan antibiotic
merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya pathogenesis Salmonella typhi berhubungan
Makanan yang harus diberikan pada penderita demam tifoid adalah diet yang rendah serat
pada penderita tanpa meteorismus (perut kembung) dan pemberian bubur saring pada penderita
dengan meteorismus. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya perdarahan saluran cerna
dan perforasi usus. Gizi penderita juga diperhatikan untuk perbaikan keadaan umum dan
14
mempercepat penyembuhan. Cairan yang adekuat perlu diberikan untuk mencegah dehidrasi
Kloramfenikol masih merupakan pilihan yang pertama pada penderita demam tifoid.
bersifat bakteriostatik. Dosis yang diberikan adalah 50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali
pemberian selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun. Efek samping yang dapat
ditimbulkan obat ini adalah adanya reaksi hematologi dengan manifestasi depresi sum-sum tulang.
Pada saluran cerna bermanifestasi menjadi mual, muntah, glositis diare dan enterokolitis. Dapat
pula menimbulkan sindrom gray pada neonates premature dengan dosis yang tinggi. Salah satu
kelemahan kloramfenikol adalah tingginya angka relaps dan karier namun pada anak hal tersebut
jarang dilaporkan.
Pada penderita juga diberikan amoxicillin injeksi dengan dosis 40mg/kgBB/hari di bagi
dalam 3 dosis. Untuk strain yang resisten umumnya rentan terhadap sefalosporin generasi ketiga.
Pada penderita ini diberikan ceftriaxone injeksi 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.
kloramfenikol dan amoxicillin selama 4 hari pasien masih ditemukan demam. Untuk antipiretik
diberikan paracetamol syrup 3 kali sehari. Ceftriaxone kemudian diganti dengan cefixime yang
Prognosis demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya
dan ada tidaknya komplikasi. Munculnya komplikasi seperti perfoasi gastrointestinal atau
morbiditas tinggi. Pasien dapat dipulangkan bila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik,
15
BAB IV
PENUTUP
Secara umum untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi, maka setiap
individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi.
Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57C untuk beberapa menit.
Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air
dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat individu terhadap hygiene pribadi.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo S, dkk., demam tifoid, buku ajar infeksi dan pediatri tropis, edisi ke-2, Jakarta:
2. Rampengan T.H.R, demam tifoid, penyakit infeksi tropik pada anak edisi 2, Jakarta: EGC,
2008
http://www.ersty.blogspot.com/2011/03/diagnosis-dan-penatalaksanaan-demam.html.
4. Demam tifoid. Dalam : Pedoman Pelayanan Medis : Kesehatan anak, 2015: 201-204
5. Gunawan S.G, golongan tetrasiklin dan kloramfenikol, farmakologi dan terapi, edisi 5,
2016. 43 :694-704
6. Pawitro UE, NoorvitryM, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed. Ilmu
Penyakit Anak : Diagnosis dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2014: 1-
43
7. Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment and
17